Anda di halaman 1dari 10

study profil klinis demam tifoid pada anak

abstrak

latar belakang :

demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi. demam tifoid merupakan masalah yang
besar di India. demam tifoid merupakan penyakit endemik di banyak negara berkembang.
banyak variasi dalam manifestasi klinis demam tifoid membuat diagnosisnya menjadi suatu
tugas yang menantang. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui beragam manifestasi klinis,
komplikasi dan pola sensitivitas antibiotik demam tifoid pada anak-anak.

metode :

penelitian dilakukan secara prospektif , 113 anak yang dirawat di bagian pediatrik dengan
demam tifoid dari bulan September 2015 sampai Desember 2016 di rumah sakit KIMS,
Bangalore di ikut sertakan. Data setiap kasus, usia, jenis kelamin, keluhan, pemeriksaan
laboratorium dan pola kepekaan antibiotik dikumpulkan dan dianalisis.

Hasil :

Dari 113 kasus, 72 kasus (63,8,1%) terdiri dari laki-laki dan 41 kasus (36,2%) perempuan.
kelompok usia paling banyak yaitu rentang usia 5- 10 tahun. Gejala yang paling umum
adalah demam terlihat dalam 100 % kasus, diikuti anoreksia (61%), muntah (44%) dan sakit
perut (18%). Tanda yang paling terlihat adalah toxic look pada 68% kasus, selanjutnya lidah
kotor pada 49% dan hepatomegali pada 44 % kasus.
Leukositopenia ditemukan pada 34% kasus, Eosinopenia ditemukan pada 39% kasus. Anemia
ditemukan pada 16% kasus. Trombositopenia ditemukan pada 15% kasus. Kultur darah
positif pada 20% kasus. Penggunaan air kota untuk minum ditemukan pada 65% kasus.
Makan di luar ditemukan di 40% kasus. Unhygienic practices ditemukan pada 64% kasus.
Lama tinggal di rumah sakit bervariasi dari 3-10 hari. Tidak ada laporan kematian.

Simpulan :
demam tifoid paling sering terjadi karena Unhygienic practices dan konsumsi makanan luar
yang tidak sehat. Masalah kesehatan masyarakat yang besar ini, dapat ditangani dengan
menumbuhakan kesadaran masyarakat tentang penularan penyakit dan berbagai tindakan
pencegahannya.
Kata kunci: Anak, profil klinis, lidah kotor, demam tifoid

Pendahuluan
Tifoid berasal dari kata yunani ‘TYPHOS’ yang berarti asap atau stupor. 1 Tifoid adalah
penyakit infeksi multi sistemik yang disebabkan oleh spesies salmonella, subspesies enterica
dan serovar typhi.
Bentuk yang lebih ringan dari penyakit ini disebabkan oleh serovars paratyphi A, B dan C.
Sekitar 26,9 juta kasus tifoid dan lebih dari 2 kematian terjadi setiap tahun, dengan sebagian
besar kasus dilaporkan di Asia.2 Kejadian tifoids sangat bervariasi di Asia, dengan insidensi
tertinggi terjadi di asia dan pakistan. standar hidup yang rendah dan prktik kebersihan yang
buruk berkontribusi terhadap beban penyakit dan membuat india menjadi endemik demam
tifoid. Bagi negara berkembang seperti india, hal ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang besar karena standar sanitasi dan kesehatan masyarakat buruk.
Kembali pada abad ke-19, demam tifoid merupakan penyebab penting masuknya rumah sakit
dan kematian dalam kondisi perkotaan yang padat dan tidak sehat di Eropa dan Amerika
Serikat.4 Pengenalan air bersih dan sistem pembuangan limbah yang baik berkontribusi
terhadap penurunan dramatis dalam kejadian penyakit tifoid. Saat ini sebagian besar beban
penyakit ini terlihat di negara-negara berkembang yang kondisi sanitasi buruk.

Masa inkubasi bakteri Salmonella typhi berkisar 7-14 hari. Namun, hal itu dapat berubah
antara 3-30 hari tergantung pada dosis infektif. 2 Penularan penyakit ini terutama disebabkan
oleh proses tertelannya organisme. Rute feoco oral atau konsumsi makanan atau minuman
yang terkontaminasi organisme masuk ke dalam tubuh manusia2. Pembawa tifoid
melepaskan organisme dalam tinja dan air kencing. Cara penularan tifoid yang paling umum
adalah melalui konsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi dengan S. typhi dari
kotoran manusia.5
Gambaran klinis tifoid sangat bervariasi dari gejala konstitusional ringan sampai komplikasi
penyakit yang parah. Demam tifoid memiliki berbagai manifestasi pada kelompok usia anak-
anak, dapat terjadi sebagai septikemia pada neonatus, pada bayi terjadi diare, dan terjadi
6-8
infeksi saluran pernapasan bagian bawah pada anak yang lebih tua. Biasanya, hal tersebut
ditandai dengan terjadinya demam, sakit kepala, lesu, muntah, sakit perut,
hepatosplenomegali dan jarang sampai stupor. Terdapat perbedaan yang signifikan pada
distribusi usia dan populasi yang berisiko. Penyakit ini sebagian besar terjadi pada anak usiaa
sekolah dan dewasa muda. Berbagai gejala klinis terutama pada anak-anak sering meniru
penyakit menular endemik lainnya, yang menyebabkan penundaan diagnosis dan pengobatan,
yang pada akhirnya menyebabkan komplikasi bert sampai kematian.9-11
Penyakit tifoid dapat melibatkan berbagai organ sehingga menghasilkan gejala yang
beragam.12
manifestasi klinis yang atipikal pada tifoidyang terjadi pada anak yang lebih tua meliputi
abses hati, abses limpa, meningitis, ataksia, kolesistitis, korea, palatal palsy, osteomielitis,
peritonitis, afasia dan bahkan psikosis.13-20
tes widal yang berkelnjutan menjadi penting dalam mengelola pasien demam tifoid meskipun
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang bervariasi di India. Antibodi terhadap antigen O
dan H Salmonella typhi diukur dengan tes Widal. Tes tersebut memiliki sensitivitas dan
spesivisitas yang kurang di daerah endemik. Kultur darah adalah gold standard untuk
diagnosis.2
kulur feses dan urin memberikan hasil positif setelah 1 minggu pertama.
jumlah leukosit ditemukan rendah pada tifoid hal ini berhubungan dengan toksisitas dan
demam, namun pada anak-anak yang lebih muda, leukositosis sering terjadi.
Trombositopenia adalah penanda keparahan dan mungkin menyertai DIC.2

saat ini komplikasi dapat diturunkan dengan penggunaan antibiotik terlebih dahulu sebelum
terapi yang sesuai. walaupun jarang, manifestasi klinis hepatits, jaundice, dan kolesistitis
dapat muncul.
Perdarahan usus dan perforasi sangat jarang terjadi pada anak-anak. Miokarditis toksin
biasanya bermanifestasi sebagai aritmia atau blok sinus. Komplikasi SSP relatif jarang terjadi
pada anak-anak; seperti delirium, psikosis dan ketegangan intrakranial yang meningkat.
Komplikasi lainnya meliputi DIC, gagal sumsum tulang, sindrom uremik hemolitik,
meningitis, pielonefritis dan sindrom nefrotik.2

Chloramphenicol diperkenalkan pada tahun 1948. obat tersebut menjadi antibiotik standar
namun dalam waktu 2 tahun sejak diperkenalkan,obat tersebut mulai terjadi resistensi.
Demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol menjadi masalah utama pada tahun 1972
ketika wabah terjadi di Asia dan Amerika Latin.21-23
S typhi mengembangkan resistensi multi obat terhadap kloramfenikol, trimetoprim dan
ampisilin kemudian pada tahun 1980 ketika obat ini digunakan sebagai obat lini pertama.
Hal ini menyebabkan wabah di Asia dan Afrika.24-27
Fluoroquinolon sangat efektif pada awal tahun 1990an, namun kemudian terjadi resistensi
terhadap obat ini.28 Saat ini, resistensi terhadap ceftriaxon terlihat pada kasus sporadis
tertentu.29 Pengobatan tifoid meliputi hidrasi yang tepat, koreksi ketidakseimbangan
elektrolit, terapi antipiretik dan antibiotik yang tepat. diet dengan makanan yang lembut dan
mudah dicerna. Prognosis tergantung pada kecepatan diagnosis dan terapi antibiotik yang
tepat.
Faktor lain yang menentukan prognosis meliputi usia pasien, status kesehatan umum dan gizi.
Anak-anak dengan malnutrisi dan resistensi terhadap banyak obat memiliki risiko lebih
tinggi.
Tindakan pencegahan meliputi mencuci tangan dengan disinfektan setelah buang air besar
dan sebelum konsumsi makanan. Tindakan ini akan membantu dalam memutuskan transmisi
tifoid sehingga mengurangi beban penyakit. Konsumsi makanan di luar seperti es krim dan
buah potong, terutama di musim panas, dikaitkan dengan risiko tinggi terkena penyakit tifoid.
Vaksin tifoid memainkan peran yang sangat penting dalam mengurangi beban penyakit.
Orangtua harus di beri anjuran agar anak mereka divaksinasi.

Metode

Penelitian ini adalah penelitian observasional prospektif, yang dilakukan di Departemen


Pediatri, Rumah Sakit KIMS. Pnelitian dilakukan dalam jangka waktu 16 bulan antara bulan
September 2015 sampai dengan Desember 2016. Anak-anak berusia 6 bulan sampai 18 tahun
yang dilaporkan ke departemen Pediatrik dengan riwayat demam lebih dari 7 hari lamanya
disertakan dalam penelitian ini. Kasus-kasus ini akan dimasukkan dalam penelitian setelah
mengesampingkan sumber infeksi lain seperti sistem pernapasan, saraf, jantung dan
genitourinari; tes Widal positif (tes Widal TO Titer> 1: 100 atau TH titre> 1: 200) atau kultur
darah positif untuk spesies Salmonella. Persetujuan diambil dari orang tua atau wali setelah
dijelaskanmengenai penelitian ini. Kasus yang diberhentikan karena saran medis dan kasus
yang tidak memperoleh persetujuan dikeluarkan dari penelitian ini. Total 113 kasus yang
memenuhi kriteria inklusi kami.

Semua kasus dilakukan pencatatan, usia, jenis kelamin, durasi penyakit, gejala dan gejala
lainnya yang mengarah ke komplikasi. selanjutnya mengenai riwayat detail kebiasaan makan,
sanitasi dan kebiasaan praktik hygienic yang buruk, dan sumber air minum.
Ditanyakan juga mengenai riwayat demam tifoid sebelumnya, anggota keluarga yang
menderita tifoid atau pengobatan tifoid sebelumnya, informasi dicatat dan dianalisis. Riwayat
tentang resep antibiotik sebelumnya juga telah dicatat. Penggunaan antibiotik dimulai pada
masing-masing kasus setelah pengambilan darah untuk tes Widal dan kultur darah untuk
spesies Salmonella. Setiap kasus ditindaklanjuti secara klinis untuk perbaikan.

Untuk kasus yang tidak menunjukkan perbaikan setelah 4 hari pemberian antibiotik,
dilakukan perubahan pemberian antibiotik sesuai dengan hasil kultur. Kasus-kasus dengan
hasil kultur selain spesies salmonella dikeluarkan dari penelitian. Pola sensitivitas antibiotik
tercatat untuk kasus positif kultur. Kasus diikuti sampai selesai. Data yang dikumpulkan
dianalisis hubungan dengan usia, jenis kelamin dan keluhan yang diajukan.

Hasil

Dalam penelitian ini, semua kasus disajikan ke OPD dengan rata-rata durasi demam selama 7
hari. 78 kasus (69%) telah menerima antibiotik untuk jangka waktu minimal 4-5 hari sebelum
masuk Rumah sakit. Dari 113 kasus, 72 kasus (63,8%) terdiri dari laki-laki dan 41 kasus
(36,2%) adalah perempuan. Ini menunjukkan dominasi laki-laki dalam penelitian ini (Gambar
1). Seperti ditunjukkan pada Gambar 2, sebagian besar kasus berusia antara 5 dan 10 tahun.
33 kasus di bawah 5 tahun, mewakili 29,2%. 26 kasus berusia di atas 10 tahun, mewakili
23,0%. 54 kasus berusia antara 5 dan 10 tahun (47,8%). Dalam semua kelompok usia di atas
di dominasi oleh laki-laki.

Lama perawatan di rumah sakit bervariasi dari 3-10 hari. Seperti ditunjukkan pada Tabel-1,
sebagian besar kasus (71%) dirawat di rumah sakit sampai hari ke 3 dan 7 setelah masuk.
23% kasus di rawat sampai 3 hari di rumah sakit dan hanya 14,2% kasus yang di rawat di
rumah sakit lebih dari 7 hari. Dalam kasus ini, demam bertahan lebih dari 7 hari. Tidak ada
kematian yang diamati selama masa penelitian. Walaupun terdapat peningkatan ringan enzim
liver yang diamati dalam beberapa kasus, namun tidak ada komplikasi yang terlihat dalam
kasus apapun.

Demam tifoid hadir dengan berbagai gejala. Karena penggunaan antibiotik sebelum
diagnosis, pada anak-anak mungkin tidak terlihat adanya gejala yang khas. Dalam penelitian
kami, gejala yang paling umum adalah demam (100%), diikuti anoreksia (61%), muntah
(44%), sakit perut (18%), diare (16%), sakit kepala (12%), dan batuk (10%).

Temuan pemeriksaan fisik, yang paling umum kami amati adalah toxic look pada 68% kasus
kemudian lidah kotor pada 49%, hepatomegali 44%, splenomegali 21%, hepatosplenomegali
pada 16% kasus dan pucat pada 10% kasus. Dalam penelitian ini, kami juga melaporkan
mengenai sumber air minum. Sebagian besar kasus (65%), menggunakan sumber air minum
dari jaringan pipa air kota. Hanya di 35% kasus, sumber air minum berasal dari sumur bor,
Kasus ini berasal dari latar belakang pedesaan.

Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3, kejadian kasus tifoid bervariasi menurut status
sosiol ekonomi. Insidensi tifoid terbanyak pada sosial ekonomi kelas bawah (51%), diikuti
kelas menengah (38%) dan paling sedikit sosial ekonomi kelas atas (11%).

Diantara semua kasus hanya 7% (8 kasus) yang memiliki riwayat demam tifoid sebelumnya.
Dalam semua kasus ini, pasien telah menghentikan pengobatan tanpa saran medis. Makan
makanan diluar, terutama makanan yang dimasak pinggir jalan di temukan pada 40% (45
kasus). kemudian juga, praktik yang tidak higienis seperti mencuci tangan yang tidak tepat
setelah buang air besar atau sebelum asupan makanan ditemukan pada 64% kasus.

tabel 4 menggambarkan parameter laboratorium. Anemia ditemukan pada 18 (16%) kasus.


leucopenia dan leukositosis terjadi pada 38 (34%) kasus dan 17 (15%) kasus. neutropenia
ditemukan pada 46 (40%) kasus dan neutrofilia pada 36 (32%) kasus. Eosinopenia terlihat
pada 44 kasus (39%), eosinofilia pada 10 (8,8%) kasus dan trombositopenia pada 17 (15%)
kasus. Tingkat SGOT meningkat (> 200IU / ml) dalam 10 (8,8%) kasus dan SGPT (> 200IU /
ml) pada 13 (11,5%) kasus. peningkatan enzim liver hanya berlangsung dalam beberapa hari.
Tidak ada komplikasi yang terjadi selama masa penelitian ini. Titer O Salmonella typhi > 1:
100 yang terlihat pada 102 (90%) kasus dan titer TH> 1: 200 pada 92 (81,5%) kasus. Kultur
darah positif untuk Salmonella typhi tercatat pada 23 (20%) kasus. Dari 113 kasus hanya 14
kasus yang telah diimunisasi dengan vaksin tifoid. Mereka telah mendapatkan vaksin
polisakarida tifoid lebih dari 3 tahun yang lalu sebelum timbulnya penyakit tifoid ini.

Tabel 5 menggambarkan pola sensitivitas antibiotik di antara kasus yang dikulur


menunjukkan hasil positif. Seperti yang disebutkan di tabel, sensitivitas ceftriaxone dan
cefixime terlihat pada semua kasus (100%) diikuti oleh ofloxacin (96%), ciprofloxacin
(87%), kloramfenikol (84%), sefotaksim (82%), amoksisilin (70% ) dan azitromisin 20 kasus
(60%). S. typhi lebih sensitif terhadap ceftriaxone, cefixime diikuti oleh ofloxacin.
Sensitivitas yang paling sedikit terlihat dengan azitromisin. Selama penelitian kami, tidak ada
subjek yang mengalami komplikasi dan juga tidak ada mortalitas. Semua pasien kembali
sehat.

Diskusi

demam tifoid merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar di india. Penelitian ini
bertujuan untuk memahami profil klinis, hasil dan pola sensitivitas antibiotik pada anak-anak
yang dirawat di KIMS. Dalam penelitian ini, di dominasi oleh anak laki-laki. Hasil serupa
telah dilaporkan dalam penelitian lain.30-32 Usia terbanyak dalam penelitian ini adalah usia 5-
10 tahun. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh R Modi et al juga melaporkan kejadian
tertinggi tifoid pada kelompok usia 6 sampai 10 tahun. 33 penelitian lain juga melporkan kasus
34
tifoid terbanyak terjadi pada usia dibawah 5 tahun. Kejadian demam tifoid tertinggi di
kelompok usia ini mungkin disebabkan oleh makan makanan di luar. Hasil ini sesuai dengan
konsep tifoid yang menyebutkan demam tifoid biasanya terjadi pada anak usia sekolah.
Anak-anak sekolah berisiko tinggi mengkonsumsi air minum yang terkontaminasi. Mereka
juga terpapar berbagai makanan dari pedagang kaki lima. Faktor-faktor ini membuat mereka
lebih rentan terhadap paparan bakteri tifoid. Durasi perawatan di rumah sakit bervariasi,
dengan jumlah kasus terbanyak perawatan di rumah sakit antara hari ke 3 dan 7. Kasus
dikeluarkan setelah 2 hari berturut-turut bebas demam tanpa antipiretik. Hasil ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Hyder et al.35

kami mengobservasi tingginya kejadian demam tifoid pada sosial ekonomi kelas bawah,
selanjutnya pada kelas menengah dan paling sedikit pada kelas sosial ekonomi tinggi. hal
tersebut dapat dijelaskan oleh perbedaan sumber air minum dan praktik higien seperti fasilitas
cuci tangan dan sanitasi jamban. Hasil serupa dilaporkan pada penelitian lain. 36 Demam tifoid
lebih sering diamati pada mereka yang menggunakan air kota sebagai sumber minum
dibandingkan dengan air sumur bor. Hasil serupa dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan
oleh R Modi et al .33 Kami juga mengamati kejadian penyakit tifoid yang lebih tinggi pada
kasus dengan riwayat konsumsi makanan dari luar. hal ini kemungkinan dikaitkan dengan
makan tanpa mencuci tangan atau kualitas makanan yang dijual oleh penjual kaki lima.

Manifestasi klinis demam tifoid beragam. Gejala yang paling umum selain demam adalah
anoreksia, muntah, nyeri perut, diare diikuti dengan sakit kepala dan batuk. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh Sinha A et al.37 Kapoor JP et al juga melaporkan hasil yang serupa.38
Penelitian lain juga menunjukkan gambaran klinis yang serupa. 21,39,40 Bertentangan dengan
ini, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Joshi et al melaporkan sakit kepala sebagai gejala
yang paling umum. di samping demam.41 Dalam penelitian ini, kami melaporkan bahwa toxic
look (68%) sebagai tanda yang paling umum diikuti oleh lidah kotor (49%), Hepatomegali
(44%), splenomegali, Hepatosplenomegali. Penelitian yang telah dilakukan oleh Laishram et
al melaporkan lidah kotor (80%) sebagai tanda yang paling umum diikuti oleh Hepatomegali
42
(76%) dan splenomegali (38%). Penelitian lain melaporkan bahwa toxic look (93%) dan
lidah kotor (66%) merupakan tanda yang paling umum. 33 Dalam penelitian lain mereka telah
melaporkan bradikardia relatif dan hepatomegali sebagai tanda yang paling umum.43 Selama
penelitian ini, semua kasus positif terhadap uji Widal. Kultur darah positif pada 20% kasus.
Penelitian lain melaporkan 16% kasus positif kultur. 35 Studi yang dilakukan oleh Banu et al
juga melaporkan 28% kasus positif kultur.43 Karena penggunaan antibiotik sebelumnya, kasus
positif kultur menurun. Dengan demikian, dibuuhkan tes serologis lainnya untuk diagnosis
tifoid. Studi yang dilakukan oleh Modi et al melaporkan 97% kasus positif tes Widal. 33
Anemia terlihat pada 16% kasus. Penelitian lain melaporkan persentase anemia yang sedikit
lebih tinggi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Raj C et al melaporkan anemia pada 41,8%
pasien dan Lefebvre et al melaporkan anemia pada 78% kasus.44,45 Pada penelitian ini,
Leukositopenia dan Eosinopenia masing-masing ditemukan pada 34% dan 39%. Hasil serupa
dilaporkan oleh Lefebvre et al.45

walaupun leukositosis dan eosinofilia jarang terjadi pada tifoid, namun pada penelitian ini
dilaporkan leukositosis pada 15 % kasus dan eosinofilia pada 8 % kasus. trombositopenia
ditemukan pada 15 % kasus. Peningkatan SGOT terjadi pada pada 9% kasus dan SGPT
meningkat pada 12% kasus. Penelitian lain melaporkan peningkatan enzim liver pada 70%
kasus. 46

Hasil sensitivitas antibiotik serupa dengan penelitian lainnya. Sebagian besar kasus positif
menunjukkan sensitivitas terhadap ceftriaxone, cefixime, ofloksasin, siprofloksasin. Pola
kepekaan serupa dilaporkan pada penelitian lain.41 Namun, pola kepekaan bervariasi dari satu
tempat ke tempat lain. Studi lain menunjukkan kembalinya pola sensitivitas dengan
kloramfenikol, kotrimoksazol, amoksisilin.39,47 Sebuah studi yang dilakukan oleh Mishra et al
melaporkan sensitivitas 100% pada azitromisin.48 Dalam penelitian ini, sensitivitas terhadap
azitromisin sebesar 60%. Sebuah studi yang dilakukan oleh Hyder et al melaporkan
sensitivitas 100% terhadap ceftriaxone dan ciprofloxacin. 35 Kasus dengan hasil kultur negatif
di terapi dengan ceftriaxone. Semua kasus respon terhadap antibiotik di atas tanpa adanya
komplikasi dan mortalitas.

Simpulan

Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan masyarakat utama di negara-negara


berkembang yang sebagian besar di dominasi oleh anak usai sekolah. Intervensi kesehatan
masyarakat seperti penyediaan air minum yang aman, sanitasi yang layak, kesadaran akan
penyakit dan penularannya, dan praktik kebersihan pribadi yang baik dapat diterapkan.
Penyedia makanan terutama di penginapan, asrama dan sekolah pemerintah harus di eduaksi
tentang teknik mencuci tangan yang tepat. selain itu, vaksinasi tifoid dan penggunaan
antibiotik secara rasional berdasarkan pola sensitivitas kultur akan membantu mengurangi
beban penyakit.

Anda mungkin juga menyukai