Anda di halaman 1dari 7

Perbandingan antara Metilprednisolon dengan Deksametason Dalam Mengontrol Vertigo

Pada Pasien Dengan Penyakit Meniere Definit

Abstrak
Pendahuluan :
Penyakit meniere definit atau Meniere’s disease (MD) berhubungan dengan dua atau lebih
periode vertigo definitive yang terjadi bersamaan dengan hilangnya fungsi pendengaran,
ditambah tinitus atau rasa penuh atau keduanya. Studi ini bertujuan untuk membandingkan efek
deksametason dan metilprednisolon intratimpatik dalam skala tingkat fungsional dari pure-tone
audiometry (PTA) dan hasil pengukuran kelas vertigo.

Material dan metode :


Pada studi klinis ini, terdapat 69 pasien dengan penyakit meniere definit, yang dirujuk ke pusat
otolaringologi tersier, yang dimasukkan secara acak ke dalam dua kelompok : 36 pasien diobati
dengan deksametason intratimpani (4mg/dl) dan 33 pasien diobati dengan metilprednisolon
intratimpani (40mg/dl). Pada setiap kelompok, mendapatkan inejksi 3 kali seminggu. Setelah
follow up dilakukan pada bulan ke 1 dan 6, dilakukan evaluasi terhadap perubahan yang terjadi
pada PTA dan pengendalian vertigo.

Hasil
Tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara dua kelompok tersebut pada
bagian pengendalian vertigo (P=0.866, P=0.879 untuk bulan 1 dan 6 setelah injeksi, secara
berurutan). Peningkatan PTA secara statistik lebih tinggi pada kelompok metilprednisolon
(P=0.006).

Kesimpulan :
Kesimpulannya yaitu, kortikosteroid intratimpani merupakan pengobatan yang efektif untuk
penyakit meniere dan dapat mencegah pengobatan secara invasif lainnya. Metilprednisolon
intratimpanik dapat meningkatkan fungsi pendengaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan
deksametason intratimpanik, tetapi kedua kelompok tersebut sama-sama bermanfaat dalam
mengontrol vertigo. Tetapi, terdapat kecendrungan pada metilprednisolon yang lebih memiliki
manfaat yang tetap.

Kata kunci :

Deksametason, Injeksi Intratimpani, Penyakit Meniere, Metilprednisolon, Vertigo


Pendahuluan
Penyakit meniere merupakan penyakit yang mengenai telinga dalam dengan kumpulan
gejala berupa vertigo yang sering muncul (96.2%), tinnitus (91.1%), tuli sensorineural (87.7%),
dan rasa penuh yang terjadi akibat hydrops endolimfatik. Prevalensi dari MD bervariasi di dunia,
contohnya 10.7 dalam 100,000 orang di Jepang dan 513 per 100.000 orang di Finlandia juga
dilaporkan mengalami penyakit ini. Hal ini mungkin terdapat perbedaan pada kriteria diagnostik
atau periode follow up yang berbeda. Pathogenesis dari penyakit ini yaitu hydrops endolimfatik
dan teori yang paling sering digunakan yaitu penurunan absorpsi endolimpatik pada sakus
endolimfatikus.

Tidak terdapat satupun alat diagnostic untuk mendiagnosa MD, dan definisi terbaik
penyakit ini bedasarkan kriteria dari American Academy of Otolaryngology–Head and Neck
Surgery (AAO–HNS). Kriteria AAO–HNS untuk mendiagnosa MD, termasuk vertigo, tuli dan
tinnitus. Pada dasarnya MD terbagi menjadi bentuk possible, probable, definite dan certain.
Kumpulan gejala MD yaitu vertigo, serangan tiba-tiba, tinnitus, rasa penuh, dan kehilangan
fungsi pendengaran dapat sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Ketersediaan pilihan
pengobatan seperti modifikasi gaya hidup ( pembatasan konsumsi garam dan kafein serta hidrasi
yang cukup), terapi medis (terdiri atas diuretik dan injeksi kortikosteroid atau gentamisin
intrarimpatik (IT)), dekompresi dari sakus endolimfatik dan seksi saraf vestibular. Penggunaan
steroid topikal (injeksi IT) tampaknya layak digunakan sehingga memungkinkan pemberian
dosis kumulatif yang sesuai untuk jaringan yang ditargetkan tanpa penggunaan steroid sistemik
yang berhubungan dengan efek samping. Resiko ototoksisitas yang ada, membuat banyak dokter
menggunakan injeksi IT kortikosteroid daripada gentamisin. Berdasarkan literatur terkini, injeksi
deksametason IT dapat meningkatkan gejala MD secara aman (vertigo dan hilangnya fungsi
pendengaran tetapi bukan tinnitus) dan kualitas hidup pasien, meskipun beberapa studi
melaporkan bahwa efek ini hanya transisi. Konsentrasi metiprednisolon dapat lebih tinggi pada
cairan perilimfatik.

Disisi lain, studi menunjukkan bahwa perlekatan reseptor mineralkortikoid memiliki


peranan penting dalam meningkatkan fungsi pendengaran dan metilprednisolon memiliki afinitas
perlekatan yang lebih besar untuk reseptor ini dibandingkan deksametason. Pada satu studi,
penggunaan metilprednisolon IT menunjukkan pencapaian penurunan serangan vertigo pada
MD yang dapat diintraksi sebesar 90%.

Sepengetahuan kami, tidak terdapat data mengenai perbedaan kortikosteroid yang


digunakan dalam konteks manajemen MD. Dalam studi ini, kami membandingkan hasil injeksi
IT deksametason dan metilprednisolon pada pasien MD berdasarkan skala tingkat fungsional
audiometrik dan hasil pengukuran kelas vertigo.
Material dan metode
Delapan pasien dengan diagnose MD definit berdasarkan kriteria AAO–HNS (refraktori
dengan pengobatan berupa restriksi garam, diuretik dan betahistin selama 3 bulan) yang dirujuk
ke RS Amir Alam antara Juli 2015 dan Desember 2016 terdaftar dalam studi ini setelah
mendapatkan izin secara tertulis. Kriteria inklusi yaitu usia lebih dari 18 tahun, tidak ada riwayat
kelainan neurologis. Pasien dengan infeksi telinga tengah, tuli kondutktif, riwayat penggunaan
obat-obatan ototoksik, riwayat operasi telinga (osikuloplasti dan stapedotomi) dan operasi telinga
dalam, MD bilateral, perforasi membrane timpani, adiksi, penyakit saraf spinal, penyakit SSP,
penyakit neuromuscular, dan kehamilan diekslusi. Lesi sudut Cerebellopontine (CP) dikeluarkan
sebelum studi menggunakan MRI. Pasien dengan riwayat awal penggunaan glukokortikoid 1
bulan sebelum masuk ke dalam studi ini selama percobaan juga dieksklusi.

Pertimbangan etik :
Pasien diberi informasi mengenai studi ini dan didapatkan izin tertulis. Pasien secara suka rela
berpartisipasi dalam studi ini dan bebas untuk keluar dari studi ini. Efek samping pengobatan
yang mungkin muncul telah dijelaskan pada awal studi.

Metode interventsi
Delapan pasien secara acak dimasukkan ke dalam 2 kelompok menggunakan pengacakan
blok (N1=N2=40).
Kelompok 1 mendapatkan deksametason IT (4mg/d) dan kelompok 2 mendapat
metilprednisolon IT (40mg/dl) tiga kali seminggu. Empat pasien kelompok 1 dan tujuh pasien
dalam kelompok 2 hilang saat foloow up, pada potongan data akhir, 36 pasien dalam kelompok 1
dan 33 pasien dalam kelompok 2 dianalisa dalam studi ini. Sebuah kuesioner yang berisi nama,
usia, jenis kelamin, keluhan utama (kehilangan fungsi pendengaran, vertigo, atau tinnitus), onset,
durasi penyakit, gejala lain yang ada, dan penyakit komorbid lain diisi oleh paien. Dalam
kuesioner ini, hasil pure-tone audiometry (PTA), termasuk frekuensi threshold specific dan ada
atau tidaknya reflex stapedius dan timpanogram, direkam. Tingkat pendengaran dianalisa
menggunakan kriteria AAO–HNS (Tabel 1), sementara skala numeric vertigo ditentukan
berdasarkan kriteria AAO–HNS (Tabel 2).
Dalam menjalankan prosedur, pasien diminta untuk berada dalam posisi supinasi.
Lidokain digunakan untuk anestesi lokal. Pada kedua kelompok agen di injeksikan pada bagian
anterior inferior membrane timpani hingga telinga tengah terisi. Pasien tetap berada dalam posisi
supinasi selama 15 menit dan diinstruksikan untuk tidak menelan pada beberapa menit pertama
setelah injeksi. 4 minggu setelah injeksi terakhir, tes audiometrik diulangi dan pasien memasuki
periode follow up. 6 bulan kemudian setelah injeksi terakhir, pasien menjalani tes audiometrik
kembali, dan peningkatan vertigo dinilai menggunakan hasil pengukuran kelas vertigo. Pasien
tidak menerima pengobatan lain selama periode follow up.

Analisa statistik
Data dianalisa menggunakan SPSS 20.0. tes Friedman digunakan untuk membandingkan
rata-rata perbedaan dalam vertigo. Lalu, tes 2×2 Wilcoxon signed rank digunakan sebelum
intervensi, juga pada bulan 1 dan 6 post intervensi. Perbandingan pada kedua kelompok
menggunakan tes Kolmogorov– Smirnov. Nilai p kurang dari 0,05 artinya signifikan secara
statistik. Distribusi data yang ada tidak normal, maka digunakan statistik nonparametric.

Hasil
Data demografik ditampilkan dalam tabel 3. Sebelum intervensi, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan dalam tingkat pendengaran dalam kedua kelompok (Tabel 4). Tetapi, terdapat
perbedaan yang signifikan pada tingkat pendengaran diantara kedua kelompok tersebut pada 6
bulan setelah intervensi (Tabel 5).
Vertigo dicatat berdasarkan kriteria AAO–HNS (Tabel 2) pada 3 titik potong :
Sebelum 1 bulan dan 6 bulan setelah injeksi terakhir. Hasilnya ditampilkan dalam Tabel 6.
Dalam kedua kelompok menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam vertigo diantara fase
sebelum pengobatan dan 1 bulan setelah injeksi terakhir (P<0.001), antara fase sebelum
pengobatan dan 6 bulan setelah injeksi terakhir (P=0.002), dan antara 1 bulan dan 6 bulan setelah
inejeksi terakhir (P=0.001) dalam kelompok metilpredinosolon dan vertigo antara fase sebelum
pengobatan dan 1 bulan setelah injeksi terakhir (P<0.001) ,antara 1 bulan dan 6 bulan setelah
injeksi terakhir (P<0.001) dalam kelompok deksametason (P=0.206) (Tabel.7).
Diskusi
Sepengetahuan kami, ini merupakan studi pertama yang membandingkan efek dari kedua
kortikosteroid dalam pengobatan MD untuk mengendalikan vertigo dan merubah pendengaran.
Dalam studi ini, angka pengendalian vertigo pada setidaknya 1 kategori dalam skala numeric 1
bulan setelah pengobatan 75% dan 66% untuk deksametason dan metilprednisolon, secara
berurutan. Oleh sebab itu, tampaknya efektivitas deksametason awalnya lebih tinggi. Tetapi
setelah 6 bulan, efektivitas pengobatan menurun pada kedua kelompok. Dalam kedua kelompok,
tidak terdapat efek pengendalian vertigo dalam 6 bulan setelah pengobatan terakhir. Tetapi
ketiga pengendalian vertigo dikembalikan pada tingkat sebelum pengobatan dalam kelompok
deksametason, setelah 6 bulan, tetap lebih tinggi daripada sebelum pegobatan dalam kelompok
metilprednisolon. Dalam analisa sesame kelompok, kedua kelompok secara signifikan tidak
berbeda.

Hasil dari studi ini berbeda dengan hasil dari studi lain. Pada studi yang dilakukan oleh
She tahun 2015, dimana dilakukan penilaian efektivitas metilprednisolon dalam mengobati
pasien dengan MD resisten obat , tingkat pengendalian vertigo pada 6 bulan pertama setelah
intervensi dan dalam periode follow up memanjang 94% dan 81% secara berurutan. Perbedaan
ini mungkin akibat metode yang berbeda yang dilakukan. Dalam studi She, setelah diaagnosa
dan konfirmasi MD dapat diintraksi pada pasien, mereka dirawat 10 hari. Juga, setelah
memasukan kateter IT 20mg/0.5ml setiap hari selama 10 hari, pasien mendapat pengobatan
metilprednisolon melalui kateter yang sama. Berdasarkan temuan dalam studi ini, dalam 2 jam
setelah injeksi, konsentrasi maksimal metilprednisolon terbentuk dalam cairan perilimfatik, dan
efeknya akan menetap hingga 6 jam, sebelum menurun secara bertahap lebih dari 24 jam setelah
injeksi. alasan yang sama juga terhadap efektivitas maksimal dari obat, injeksi dilakukan setiap
hari dan pasien mendapatkan pengobatan intravena setiap hari dengan obat yang berbeda seperti
ginko atau derivate vitamin B12. Follow up yang dilakukan pada pasien yaitu 2 hingga 3 tahun,
yang berbeda secara substansial dengan studi yang dilakuakn saat ini.

Pada studi lain yang dilakukan oleh Patel tahun 2016, (30 pasien), dilaporkan terdapat
90% penurunan vertigo pada pasien dalam kelompok metilprednisolon pada 6 bulan pertama
setelah pengobatan dengan metilprednisolon IT. Pada studi ini, dosis metilprednisolon IT yaitu
62.5mg/ml, diberikan 2 injeksi dengan interval 2 minggu. Selain itu, pasien ini juga mengikuti
fase sebelum pengobatan selama 6 bulan sebelum diikutsertakan dalam studi ini. Kemudian,
pasien tersebut dibanfingkan dalam 6 bulan sebelum dan sesudah intervensi serta durasi follow
up yakni 2 tahun.

Pada studi yang dilakukan sekarang, terdapat peningkatkan fungsi pendengaran baik
secara kuantitatif maupun kualitatif pada kedua kelompok, meskipun perbedaannya tidak
signifikan dalam kelompok deksametason. Sama dengan studi lainnya. Kami juga menemukan
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut berkaitan dengan peningkatan fungsi
pendengaran. Sejumlah artikel mendukung hasil studi kami yang menunjukkan peran steroid IT
terhadap vertigo dan peningkatan tingkat pendengaran dalam MD, tetapi tidak terdapat artikel
yang membandingkan perbedaan steroid dalam konteks ini.

Pada studi kohort yang dilakukan oleh Gabra et al. pada tahun 2013 80 pasien dengan
diagnosis MD diikutsertakan dalam studi ini, dimana 47 pasien diobati menggunakan gentamisin
IT (ITG) dan 42 lainnya diobati dengan metilprednisolon (ITMP). Kemudian pada follow up 2
episode, dilakukan pemeriksaan pengendalian serangan vertigo , tinnitus, fase penuh telinga,
PTA, dan SDS dari awal hingga 6 bulan dan dari 6 bulan hingga 12 bulan. Antara 6 dan 12 bulan
setelah injeksi pada kelompok ITG dan kelompok ITMP, dilaporkan sebuah peningkatan veritgo
sebesar 82.9% dan 48.1%, secara berurutan. Selain itu, penegndalian tinnitus dan rasa penuh
pada telinga tampak lebih baik dalam kelompok ITG dibandingkan dengan kelompok ITMP, dan
tidak terdapat perbedaan konteks pendengaran sebelum dan sesudah injeksi pada kedua
kelompok. Hal ini tampaknya berlawanan dengan hasil stdi kami yang menemukan adanya
peningkatan fungsi pendegnarran dan pengendalian vertigo yang lebih baik pada pasien kami
yang mendapatkan metilprednisolon. Selebihnya, tinjauan Cochrane menunjukkan bahwa
gentamisin merupakan obat vestibulotoksik yang dapat merusak fungsi pendengaran, sehingga
hasil dari artikel ini harus diinterpretasikan dengan hati-hati.

Batasan
Batasan dari studi ini termasuk ukuran sampel yang kecil dan keterbatasan follow up.
Pada studi ini juga tidak terdapat fase sebelum pengobatan (pre treatment) dan tidak
menggunakan metode single/double blind.

Rekomendasi
Direkomendasikan studi menggunakan ukuran sampel yang lebih luas dan follow up yang
lebih panjang. Selain itu, prosedur pemasangan kateter mikro dan injeksi perhari mungkin dapat
menjadi alternatif yang baik terhadap injeksi IT periodik. Pengukuran audiologik dan objektif
seperti elektrokokleografi dan vestibular evoked myogenic potential juga dibandingkan antara
kelompok agar dapat menggambarkan lebih baik perbedaan yang mungkin dapat terjadi.

Kesimpulan
Menurut studi ini, kortikosteroid IT, mungkin dapat menjadi metode yang menarik dan non
invasif dalam menurunkan simtom MD. Baik kedua agen ini menunjukkan efek sementara dalam
mengendalikan vertigo. Metilprednisolon IT mencapai peningkatan fungis pendengaran yang
lebih baik dibandingkan deksametason IT, dan mungkin juga efektivitasnya lebih lama dalam
mengontrol vertigo pada pasien MD.

Anda mungkin juga menyukai