Bab I Pendahuluan 1.1 Landasan: Wus'i Wa Thaqati (Pengaarahan Segala Kesanggupan Dan Kekuatan) Atau Juga
Bab I Pendahuluan 1.1 Landasan: Wus'i Wa Thaqati (Pengaarahan Segala Kesanggupan Dan Kekuatan) Atau Juga
PENDAHULUAN
1.1 Landasan
Secara etimologi ijtihad berakal dari kata jahda yang berarti al-masyaqqah
(yang sulit yang susah). Namun dalam Al-Quran kata jahda sebagaimana dalam
QS. An-Nahl: 38, an-Nur: 53, Fathir: 42 semuanya mengandung arti badzl al-
wus’i wa thaqati (pengaarahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga
berarti al-mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah).
Al-Zubaidi berpendapat bahwa kata juhda dan jahda mempunyai arti
kekuatan dan kesanggupan, sedangkan bagi Ibnu Katsir jahda berarti yang sulit,
belebih-lebihan atau bahkan tujuan, sedangkan Sa’id al-Taftani memberikan
arti Ijtihad dengan tahmil al-juhdi (kearah yang membutuhkan kesungguhan)
kendati semua arti itu, maka ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan dan
kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai pada batas puncaknya.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui hokum melakukan ijtihad
2. Mengetahui metode ijtihad
3. Mengetahui landasan berijtihad
.
1
BAB II
PEMBAHASAN
IJTIHAD SEBAGAI SUMBER DAN METODE STUDI ISLAM
A. Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berakal dari kata jahda yang berarti al-masyaqqah
(yang sulit yang susah). Namun dalam Al-Quran kata jahda sebagaimana dalam
QS. An-Nahl: 38, an-Nur: 53, Fathir: 42 semuanya mengandung arti badzl al-wus’i
wa thaqati (pengaarahan segala kesanggupan dan kekuatan) atau juga berarti al-
mubalaghah fi al-yamin (berlebih-lebihan dalam sumpah).
2
islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan manusia yang lazim
disebut dengan hokum taklifi. Dengan demikian, ijtihad tidak mengeluarkan hokum
syara’ amali yang statusnya qath’i.
B. Landasan Berijtihad
Islam adalah agama yang senantiasa sesuai untuk segala zaman dan tempat.
Sifat dasar Islam ini didukung oleh instrumen-instrumen hukum yang
menjadikannya fleksibel dengan segala perubahan zaman. Hal ini sebagaimana
terlihat dalam sifat dasar hukum yang digariskan oleh al-Qur’an yaitu ada hukum
yang bersifat qat‘iyyat dan mutasyabihat (zanniyyat), di mana jenis yang kedua
terbuka untuk diinterpretasi sesuai ta‘lil al-ahkam (melihat hukum berdasarkan
‘illah) yang dipahami mujtahid akademik dan juga tuntutan zaman serta realitas
sosial dan budaya lokal.
Selain itu terdapat hadis-hadis, seperti dua hadis tersebut diatas yang
memberikan justifikasi untuk berijtihad kepada siapa saja yang berkelayakan
terhadap persoalan-persoalan yang muncul (kontemporer) yang tidak ditentukan
hukumnya oleh al-Qur’an dan al-Sunnah. Bahkan dua hadis tersebut menunjukkan
bahwa orang yang berijtihad mendapatkan tempat yang utama dan mulai dalam
ajaran Islam. Dengan demikian jelas sekali, bahwa al-Qur’an dan al-Sunnah
memberikan landasan yang kuat untuk melakukan ijtihad saintifik.
Di samping itu, setelah mendalami makna dan filosofi yang terkandung
dalam al-Quran dan al-Sunnah, para ulama menyimpulkan bahwa tujuan utama
penetapan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia,
baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini sejalan dengan misi Islam secara
keseluruhan yang rahmatan lil‘alamin.
Dua ungkapan tersebut menggambarkan secara jelas bagaimana eratnya
hubungan antara hukum Islam dengan kemaslahatan. Kemaslahatan yang dimaksud
3
adalah bersifat dinamis dan fleksibel, artinya pertimbangan kemaslahatan itu
seiring dengan perkembangan zaman. Konsekuensinya, bisa jadi yang dianggap
maslahat pada waktu yang lalu belum tentu dianggap maslahat pada masa sekarang.
Kemaslahatan yang ingin diwujudkan hukum Islam bersifat universal,
kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi, lahir dan batin, material dan
spiritual, maslahat individu dan maslahat umum, maslahat hari ini dan esok.
Hukum ijtihad adalah wajib bagi yang mampu dan memenuhi syarat untuk
melakukannya. Adapun ijtihad adalah proses pengambilan hukum (istinbat al-
hukm) yang harus dilakukan dengan hati-hati oleh ahli di bidangnya.
4
2. mengetahui tempat-tempat khilafiyyah atau perbedaan pendapat, dan memelihara
kesalehan dan ketaqwaan.
Ijtihad dalam Pendidikan harus tetap bersumber dari Al-Qur’an dan as-
Sunnah yang di oleh akal yang sehat daru para ahli Pendidikan islam ijtihad tersebut
haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup
disuatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu. Teori-teori Pendidikan baru hasil
ijtihad harus dikaitkan dengan ajaran islam dan kebutuhan hidup.
Ijtihad dibidang Pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran islam yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah adalah bersifat pokok-pokok dan prinsip-
prinsipnya saja. Bila ternyata ada yang agak terperinci, maka perincian itu adalah
sekedar contoh dalam menerapkan yang prinsipitu. Sejak diturunkan sampai nabi
Muhammad SAW. Wafat, ajaran islam telah tumbuh dan berkembang pula.
Sebaliknya, ajaran islam sendiri telah berperan mengubah kehidupan manusia
menjadi kehidupan muslim.
Sebagai makhluk individu dan sekaligus makhluk social, manusia tentu saja
mempunyai kebutuhan individu dan kebutuhan social menurut tingkatan-
5
tingkatannya. Dalam kehidupan Bersama, mereka mempunyai kebutuhan Bersama
untuk kelanjutan hidup kelompoknya. Kebutuhan-kebutuhan ini meliputi berbagai
aspek kehidupan individu dan social, seperti system politik, ekonomi, social dan
Pendidikan. Pendidikan adalah kebutuhan yang terpenting karena ia menyangkut
pembinaan generasi mendatang dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan
yang tersebut sebelumnya.
Artinya: “Dan dari mana saja kamu keluar maka palingkanlah wajahmu
kea rah Masjidil Haram dan dimana saja kamu (sekalian) berada maka
palingkanlah wajahmu kearahnya.” (Q.S. Al-Baqarah, 2: 150).
Dari ayat Al-Qur’an tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh
dari Baitullah (Ka’bah) Masjidil Haram, apabila hendak mengerjakan shalat, ia
dapat mencari dan menentukan arah kiblat shalat itu (Masjidil Haram) melalui
ijtihad dengan mencurahkan pikirannya berdasarkan tanda-tanda yang ada.
Hadist yang dijadikan dalil ijtihad ialah hadist riwayat Tirmidzi dan Abu
Daud tentang dialog antara Rasulullah Saw dengan sahabatnya Mu’az bin Jabal,
yang telah disebutkan di muka.
Hadist lainnya, yang juga dapat dijadikan dalil tentang kebolehan berijtihad
adalah sabda Rasulullah yang artinya: “Apabila seorang hakim didalam
menjatuhkan hukum berijtihad, lalu ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua
pahala. Apabila ijtihadnya itu salah, maka ia memperoleh satu pahala.” (H.R.
Bukhari dan Muslim).
6
F. Metode Ijtihad
1. Metode Bayani
Yaitu metode istinbath hokum islam yang mana cara pemecahan masalah
langsung digali dari Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tugas mujtahid disini adalah
menjelaskan, menguraikan, dan menganalisis isi kandungan kedua sumber
itu, sehingga dapat dikeluarkan produk hukum. Asumsi metode bayani
adalah bahwa seluruh masalah yang terjadi pada manusia telah ditercaver
didalam kedua sumber tersebut, sehingga tidak ada lagi dalil kecuali dari
keduanya. Allah SWT. Berfirman dalam QS. Al-An’am ayat 38 “tiadalah
kami alpakan sesuatu didalam al Kitab, kemudian kepada tuhanlah mereka
dihimpunkan” dan QS. An-Nahl ayat 89 “dan kami turunkan kepadamu al-
Kitab (Al-Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta
rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserh diri” dua ayat
diatas memberikan isyarat bahwa pemecahan hukum islam cukup digali dari
sumber autentik islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadist.
2. Metode Qiyasi
Yaitu metode ijtihad hukum islam yang mana cara pemecahan masalah
tidak langsung dirujuk dari Al-Qur’an dan al-Sunnah, melainkan
berdasarkan persamaan motif (illat). Karena hukum yang dipecahkan belum
ada dasar hukumnya, maka ia dapat menganalogikan dengan dasar hukum
masalah lain berdasarkan kesaman motif. Asumsi metode qiyasi adalah
bahwa tidak semua masalah yang terjadi pada manusia telah ditercaver
didalam kedua sumber tersebut, sehingga perlu dalil yang mirip karena
persamaan illat. Tugas mujtahid disini adalah mencari illat yang
tersembunyi didalam nash, sehingga dapat dikeluarkan produk hukum kasus
tertentu berdasarkan kesamaan illat.
3. Metode Istishlahi
Yaitu metode ijtihad hukum islam yang mana cara pemecahan masalah
tidak langsung dirujuk dari Al-Qur’an dan as-Sunnah, melainkan
berdasarkan pertimbangan kemaslahatan yang diambil dari prinsip-prinsip
dasar kedua sumber. Kasus yang dipermasalahkan tidak ada acuan dalil,
7
sehingga hanya mengambil hikmah yang terkandung didalam nashuntik
kemudian diterapkan dalam pemecahan masalah tersebut. Asumsi metode
istishlahi adalah bahwa semua masalah yang terjadi pada manusia telah
diterkaver didalam kedua sumber tersebut, tetapi pada prinsipnya Al-Qur’an
dan as-Sunnah telah memberikan prinsip-prinsip dasar dalam ijtihad hukum
islam yang bertujuan untuk kemaslahatan manusia. Tugas mujtahid disini
adalah mencari prinsip-prinsip dasar dalil untuk kemudian diterapkan dalam
hukum islam agar umat islam dapat memperoleh kemaslahatan berdasarkan
hukum tersebut
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
9
10