Anda di halaman 1dari 30

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang merupakan bagian dari
media refraksi, kornea juga berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela
yang dilalui berkas cahaya menuju retina. Kornea terdiri atas 5 lapis yaitu epitel,
membran bowman, stroma, membran descemet, dan endotel. Endotel lebih
penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi dan cedera kimiawi atau fisik
pada endotel jauh lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel
endotel menyebabkan edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya
cedera pada epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea
yang akan menghilang bila sel-sel epitel itu telah beregenerasi.1,2
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri,
virus, dan jamur. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lapis kornea yang
terkena seperti keratitis superficial dan profunda, atau berdasarkan penyebabnya.
Keratitis diklasifikasikan berdasarkan lapisan pada kornea yang terkena, keratitis
superfisial dan keratitis profunda, atau berdasarkan penyebabnya yaitu keratitis
karena berkurangnya sekresi air mata, keratitis karena keracunan obat, keratitis
reaksi alergi, infeksi, reaksi kekebalan, reaksi terhadap konjungtivitis menahun.
2,3,4

Pada Keratitis sering timbul rasa sakit yang berat oleh karena kornea
bergesekan dengan palpebra, karena kornea berfungsi sebagai media untuk
refraksi sinar dan merupakan media pembiasan terhadap sinar yang yang masuk
ke mata maka lesi pada kornea umumnya akan mengaburkan penglihatan terutama
apabila lesi terletak sentral dari kornea. Fotofobia terutama disebabkan oleh iris
yang meradang Keratitis dapat memberikan gejala mata merah, rasa silau dan
merasa ada yang mengganjal atau kelilipan. 3,4
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan kejadian terjadinya
keratitis antara lain perawatan lensa kontak yang buruk, Herpes genital atau
infeksi virus lain, kekebalan tubuh yang menurun karena penyakit lain, higienis
dan nutrisi yang tidak baik
2

Klasifikasi keratitis berdasarkan lokasi yang terkena dari lapisan kornea :


1. Keratitis superfisialis
a. Keratitis epitelial
1) Keratitis pungtata superfisialis
2) Herpes simplek
3) Herpes zoster
b. Keratitis subepitelial
1) Keratitis didiformis dari Westhoff
2) Keratitis numularis dari Dimmer
c. Keratitis stromal
1)Keratitis neuroparalitik
2. Keratitis profunda
a. Keratitis sklerotikan
b. Keratitis intersisial
c. Keratitis disiformis 3
Di Indonesia kekeruhan kornea masih merupakan masalah kesehatan mata
sebab kelainan ini menempati urutan kedua penyebab kebutaan dan bila terlambat
di diagnosis atau diterapi secara tidak tepat akan mengakibatkan kerusakan stroma
dan meninggalkan jaringan parut yang luas. Pada referat ini akan dibahas
mengenai keratitis numularis
3

BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Mitra, purdadi
Pekerjaan : Petani
Statua : Menikah

2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Pandangan mata kiri kabur sejak ± 5 hari yang lalu
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan pandangan kabur sejak ± 5 hari yang lalu. Mata kiri
pasien terasa sakit setelah tertusuk pelepah sawit saat hendak memotongnya kira-
kira 7 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan nyeri yang dirasakan
pasien disertai mata merah, nyeri, silau serta terasa ada yang mengganjal. Setelah
terkena pelepah sawit, mata pasien dibersihkan menggunakan air sirih. Nyeri
kepala (-), mual (-), muntah (-).

2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu


- Tidak pernah sakit seperti ini sebelumnya
- Riwayat operasi mata disangkal
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat trauma disangkal
- Riwayat kencing manis disangkal
- Riwayat penggunaan obat-obatan dalam waktu yang lama disangkal
4

2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada anggota keluarga mengalami keluhan yang sama
- Riwayat hipertensi dalam keluarga tidak tahu
- Riwayat kencing manis dalam keluarga disangkal

2.2.5 Riwayat Gizi


Baik, tidak ada keluhan.

2.2.6 Keadaan Sosial Ekonomi


Menengah ke bawah.

2.2.7 Penyakit Sistemik


 Tractus Respiratorius : Tidak ada keluhan
 Tractus Digestivus : Tidak ada keluhan
 Cardio Vascular : Tidak ada keluhan
 Endokrin : Tidak ada keluhan
 Neurologi : Tidak ada keluhan
 Kulit : Tidak ada keluhan
 THT : Tidak ada keluhan
 Gigi dan Mulut : Tidak ada keluhan
5

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Status Oftalmologikus
Pemeriksaan OD OS
Visus 6/6 6/12 pinhole 6/7
Kedudukan Bola Mata
Posisi Ortoforia Ortoforia

Pergerakan bola mata

- Duksi Baik Baik


- Versi Baik Baik

prolaps iris sklera robek

Injeksi perikornea

Palpebra
Superior Hiperemis (-), edema (-) Hiperemis (-), edema (-),
laserasi (-)
Inferior Hiperemis (-), edema (-), Hiperemis (-), edema (-),
laserasi (-) laserasi (-)

Cilia
Trichiasis - -
Madarosis - -
Aparatus Lacrimalis
6

Lakrimasi - hiperlakrimasi
Konjungtiva
Konjungtiva tarsus Hiperemis (-), anemis (-), Hiperemis (-), anemis (-),
superior Papil (-), folikel (-), lytiasis Papil (-), folikel (-),
(-) lytiasis (-)
Konjungtiva tarsus Hiperemis (-), Anemis (-), Hiperemis (-), Anemis (-),
inferior Papil (-), folikel (-), lytiasis Papil (-), folikel (-),
(-) lytiasis (-)
Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (-), Injeksi konjungtiva (-),
Injeksi Silier (-), jar. Injeksi Silier (-), jar.
Fibrovascular (-), sekret (-) Fibrovasular (-), sekret (-)

Kornea

Jernih + Injeksi perikornea (+)


Darah - -
Edema - -
Ulkus - -
Perforasi - -
Makula - -
Leukoria - -
Kripta iris - -
Laserasi - -
Bekas jahitan - -
Jaringan fibrovaskuler - -
Infiltrat -
COA
Kedalaman Sedang Sedang
Hipopion - -
Hipema - -
Sklera
7

Sklera biru - -
Episkleritis - -
Skleritis - -
Laserasi - -
Iris
Warna Cokelat Kehitaman Cokelat Kehitaman
Prolaps - -
Pupil
Bentuk Bulat Bulat
Isokoria Anisokor Anisokor
Ukuran 3 mm 3 mm
RCL - +
RCTL - +
Lensa
Kejernihan Jernih Jernih
Pemeriksaan Tonometri
Schiotz Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Digital Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pemeriksaan
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Funduskopi
Visual Field Normal Normal

2.3.2 Pemeriksaan Umum


Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 60 kg
Tekanan darah : 120/90 mmHg
Nadi : 96x/menit
Suhu : Afebris
Pernafasan : 24 x/menit
8

2.4 Diagnosa Kerja


Keratitis Numularis OS

2.5 Diagnosis Banding


1. OD Ulkus Kornea disingkirkan karena adanya penurunan tajam
penglihatan disertai dengan mata yang merah dan berair. Tetapi tidak
didapatkan fotofobia dan pengeluaran sekret. Selain itu, pada
pemeriksaan oftalmologis, kekeruhan berwarna putih pada kornea
berasal dari lensa dan edem pada kornea.
2. Kontusio sklera OD

2.6 Pemeriksaan Anjuran


1. Ciprofloxacin 6x1 gtt
2. B complex 1x1 tab
3. Edukasi

2.9 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
9

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1. Anatomi dan Fisiologi Kornea

Gambar 3.1 Kornea

Kornea (latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian
selaput mata yang tembus cahaya.² Kornea transparan (jernih), bentuknya hampir
sebagian lingkaran dengan diameter vertikal 10-11mm dan horizontal 11-12mm,
tebal 0,6-1mm terdiri dari 5 lapis .Kemudian indeks bias 1,375 dengan kekutan
pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus cahaya ini disebabkan oleh
struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau keadaan dehidrasi
relative jaringan kornea, yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada
endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel lebih penting daripada
epitel dalam mencegah dehidrasi, dan cedera kimiawi atau fisik pada endotel jauh
lebih berat daripada cedera pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel jauh
menyebabkan sifat transparan hilang dan edema kornea, sedangkan kerusakan
epitel hanya menyebabkan edema lokal sesaat karena akan menghilang seiring
dengan regenerasi epitel.
10

Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensoris terutama saraf siliaris
longus, saraf nasosiliaris, saraf ke V saraf siliaris longus berjalan supra koroid ,
masuk kedalam stroma kornea, menembus membrane bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah
limbus. Daya regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam
waktu 3 bulan. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan
system pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi
edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.

Gambar 3.2 Lapisan Kornea

Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan
terdiri atas lapis:²

1. Epitel
Bentuk epitel gepeng berlapis tanpa tanduk. Bersifat fat soluble substance.
Ujung saraf kornea berakhir di epitel oleh karena itu kelaianan pada epitel
akan menyebabkan gangguan sensibilatas korena dan rasa sakit dan
mengganjal. Daya regenerasi cukup besar, perbaikan dalam beberapa hari
tanpa membentuk jaringan parut. Tebalnya 50um, terdiri atas sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan
11

sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi
sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel
poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini
menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan barrier.
Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila
terjadi gangguan akan menjadi erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm
permukaan.2

2. Membrana Bowman
Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen
yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan
stroma. Mempertahankan bentuk kornea Lapis ini tidak mempunyai daya
regenerasi. Kerusakan akan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut.2

3. Stroma
Lapisan yang paling tebal dari kornea. Bersifat water soluble substance.
Terdiri atas jaringan kolagen yang tersusun atas lamel-lamel, pada permukaan
terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen
bercabang. Stroma bersifat higroskopis yang menarik air, kadar air diatur oleh
fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh sel epitel. Gangguan dari
susunan serat kornea terlihat keruh. Terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak di antara
serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat
kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.2

4. Membran Descemet
Lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat dan tidak berstruktur dan bening
terletak dibawah stroma dan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya
pembuluh darah. Merupakan membrane selular dan merupakan batas belakang
12

stroma kornea dihasilkan. sel endotel dan merupakan membrane basalnya.


Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal
40um.2

5. Endotel
Satu lapis sel terpenting untuk mempertahankan kejernihan kornea, mengatur
cairan didalam stroma kornea, tidak mempunyai daya regenerasi, pada
kerusakan bagian ini tidak akan normal lagi. Dapat rusak atau terganggu
fungsinya akibat trauma bedah, penyakit intra okuler dan usia lanjut jumlah
mulai berkurang. Berasal dari mesotalium, berlapis satu bentuk heksagonal
besar 20-40um. Endotel melekat pada mebran descemet melalui hemi
desmosom dan zonula okluden.2
Kornea dipersyarafi oleh banyak saraf sensorik terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf V saraf siliar longus berjalan suprakoroid,
masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran bowman melepaskan
selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel di persyarafi sampai pada kedua lapis
terdepan tanpa ada akhir syaraf. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan di
daerah limbus. Daya regenerasi syaraf sesudah dipotong di daerah limbus terjadi
dalam waktu 3 bulan. Kornea bersifat avaskular, mendapat nutrisi secara difusa
dari humor aquos dan dari tepi kapiler. Bagian sentral kornea menerima oksigen
secara tidak langsung dari udara, melalui oksigen yang larut dalam lapisan air
mata, sedangkan bagian perifer, menerima oksigen secara difusa dari pembuluh
darah siliaris anterior. 4
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan sistem
pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema
kornea. Endotel tidak memiliki daya regenerasi.4 Pembiasan sinar terkuat
dilakukan oleh kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk
kornea dilakukan oleh kornea. Transparansi kornea disebabkan oleh strukturnya
yang seragam, avaskularitas dan detrugensi.4
Lapisan epitel merupakan sawar yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea. Cedera pada epitel mengakibatkan stroma dan
13

membran bowman mudah terkena infeksi, seperti bakteri, amuba dan jamur.
Kortikosteroid lokal maupun sistemik akan mengubah reaksi imun hospes dengan
berbagai cara dan memungkinkan terjadi infeksi oportunistik.2
Kornea memiliki banyak serabut nyeri sehingga lesi kornea dapat
menimbulkan rasa sakit dan fotofobia. Rasa sakit diperhebat oleh gesekan
palpebra (terutama palpebra superior) pada kornea dan menetap sampai sembuh.
Lesi kornea pada umumnya dapat mengaburkan penglihatan terutama pada lesi di
tengah kornea.2
Fotofobia kornea terjadi akibat kontraksi dari iris yang meradang. Dilatasi
pembuluh darah iris merupakan fenomena refleks yang disebabkan oleh iritasi
pada ujung saraf kornea. Meskipun mata berair dan fotofobia umumnya menyertai
penyakit kornea namun kotoran mata hanya terjadi pada ulkus bakteri purulenta.

3.2 Keratitis

3.2.1 Definisi

Keratitis adalah suatu kondisi dimana kornea bagian depan mata


mengalami inflamasi. Kondisi ini sering ditandai dengan rasa nyeri,kemudian
berkembang menjadi photofobia atau rasa silau bila terkena cahaya dan dapat
terjadi gangguan penglihatan.
Keratitis dapat terjadi pada setiap kelompok usia dan tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin.

Gambar 3.3 Keratitis 8


14

3.2.2 Etiologi

Penyebab keratitis bermacam-macam, seperti infeksi bakteri, virus


maupun jamur (virus herpes simpleks merupakan penyebab tersering), kekeringan
kornea, pajanan cahaya yang terlalu terang, benda asing, reaksi alergi terhadap
kosmetik, debu, polusi atau bahan iritan lainnya, kekurangan vitamin A dan
penggunaan lensa kontak yang kurang baik.2

3.2.3 Gejala dan Tanda Keratitis

a. Gejala keratitis 1,2,4

 Mata terasa sakit


 Gangguan penglihatan
 Trias keratitis (lakrimasi, fotofobia dan blefarospasme)

b. Tanda keratitis 1,2,4

 Infiltrat (berisi infiltrat sel radang, kejernihan kornea berkurang,


terjadi supurasi dan ulkus)
 Neovaskularisasi (superfisial bentuk bercabang-cabang, profunda
berbentuk lurus seperti sisir)
 Injeksi perikornea
 Kongesti jaringan yang lebih dalam (iridosiklitis yang dapat
disertai hipopion)

3.2.4 Stadium Perjalanan Keratitis

Stadium infiltrasi. Infiltrasi epitel stroma, sel epitel rusak, edema,


nekrosis lokal. Hanya stadium 1 yang terjadi pada keratitis, sedangkan
stadium 2 dan 3 terjadi pada keratitis lanjut seperti pada ulkus kornea.
Gejala objektif pada stadium ini selalu ada dengan batas kabur, disertai
tanda radang, warna keabu-abuan dan injeksi perikorneal.9
Stadium regresi. Ulkus disertai infiltrasi di sekitarnya,
vaskularisasi meningkat dengan tes flouresensi positif.9
15

Stadium sikatrik. Pada stadium ini terjadi epitelisasi, ulkus


menutup, terdapat jaringan sikatrik dengan warna kornea kabur. Tanpa
disertai tanda keratitis, batas jelas, tanpa tanda radang, warna keputihan
dan tanpa injeksi perikorneal.9

3.3. Patofisiologi

Karena kornea avaskular, maka pertahanan sewaktu peradangan tidak


dapat segera datang. Maka badan kornea, sel-sel yang terdapat di dalam stroma
segera bekerja sebagai makrofag baru kemudian disusul oleh pembuluh darah
yang terdapat di limbus dan tampak sebagi Injeksi perikornea. Sesudahnya baru
terjadi infiltrat, yang tampak sebagai bercak bewarna kelabu, keruh, dan
permukaan yang licin. Kemudian dapat terjadi kerusakan epitel kornea dan timbul
ulkus yang dapat menyebar ke permukaan dalam stroma. Pada peradangan yang
hebat, toksin dari kornea dapat menyebar ke iris dan badan siliar dengan melalui
membran descemet dan endotel kornea. Baru demikian iris dan Badan siliar
meradang dan timbullah kekeruhan dicairan COA, disusul dengan terbentuknya
hipopion. Bila peradangan terus mendalam, tetapi tidak mengenai membran
descemet dapat timbul tonjolan membran descement yang disebut mata lalat atau
descementocele. Pada peradangan dipermukaan kornea, penyembuhan dapat
berlangsung tanpa pembentukan jaringan parut. Pada peradangan yang lebih
dalam, penyembuhan berakhir dengan terbentuknya jaringan parut yang dapat
berupa nebula, makula, atau leukoma. Bila ulkusnya lebih mendalam Lagi dapat
timbul perforasi yang dapat mengakibatkan endoftalmitis, panoftalmitis, dan
berakhir dengan ptisis bulbi.2

3.4. Klasifikasi Keratitis

Keratitis diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang terkena yaitu keratitis


superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau Bowman dan keratitis profunda
atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai
lapisan stroma. Pada keratitis epitelial dan keratitis stromal, tes fluoresin (+),
sedangkan pada keratitis subepitelial dan keratitis profunda, tes fluoresin (-).
16

Menurut tempatnya, keratitis diklasifikasikan sebagai berikut:

I. Keratitis Superfisial
1. Keratitis epitelial
a. Keratitis punctata superfisialis
b. Herpes simpleks
c. Herpes zoster
2. Keratitis subepitelial
a. Keratitis nummularis
b. Keratitis disiformis
3. Keratitis stromal
a. Keratitis neuroparalitik
b. Keratitis et lagoftalmus

II. Keratitis Profunda


1. Keratitis interstisial
2. Keratitis sklerotikans
3. Keratitis disiformis

3.5. Keratitis Superfisial

Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi keratitis superfisial nonulseratif dan


keratitis superfisial ulseratif.

3.5.1 Keratitis Superfisial nonulseratif


a. Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs
Merupakan suatu peradangan akut, yang mengenai satu, kadang-kadang
dua mata, mulai dengan konjungitivitis kataral, disertai dengan infeksi dari
traktus respiratorius bagian atas. Disusul dengan pembentukan infiltrat yang
berupa titik-titik pada kedua permukaan membran Bowman. Infiltrat tersebut
dapat besar atau kecil dan dapat timbul hingga berratus-ratus. Infiltrat ini di
17

dapatkan di bagian superfisial dari stroma, sedang epitel di atasnya tetap licin
sehingga tes fluoresin (-) oleh karena letaknya di subepitelial.

Gambar 3.4 Keratitis pungtata superfisial

Penyebabnya adalah infeksi virus, bakteri, parasit, neurotropik, dan nutrisial.

b. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer

Gambar 3.5 Keratitis Numularis

Keratitis numularis disebut juga keratitis sawahica atau keratitis punctata


tropica. Keratitis numularis diduga diakibatkan oleh virus. Diduga virus yang
masuk ke dalam epitel kornea melalui luka setelah trauma. Replikasi virus pada
sel epitel diikuti penyebaran toksin pada stroma kornea sehingga menimbulkan
kekeruhan atau infiltrat berbentuk bulat seperti mata uang. Pada kornea terdapat
infiltrat bulat-bulat subepitelial dan di tengahnya lebih jernih, seperti halo. Tes
2,3,7
fluoresinnya (-).
18

Untuk melihat adanya defek pada epitel kornea dapat dilakukan uji
fluoresin. Caranya, kertas fluoresin dibasahi terlebih dahulu dengan garam
fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva inferior setelah terlebih
dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta menutup matanya selama
20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan terlihat berwarna hijau dan
disebut sebagai uji fluoresin positif.

c. Keratitis Disiformis dari Westhoff

Gambar 3.6 Keratitis disiformis

Disebut juga sebagai keratitis sawah, karena merupakan peradangan kornea


yang banyak di negeri persawahan basah. Penyebabnya adalah virus yang berasal
dari sayuran dan binatang. Pada anamnesa umumnya ada riwayat trauma dari
lumpur sawah. Pada mata tanda radang tidak jelas, mungkin terdapat injeksi silier.
Apabila disertai dengan infeksi sekunder, mungkin timbul tanda-tanda
konjungtivitis. Pada kornea tampak infiltrat yang bulat-bulat, di tengahnya lebih
padat dari pada di tepi dan terletak subepitelial. Tes Fluoresin (-).3 Terletak
terutama dibagian tengah kornea. Umumnya menyerang orang-orang berumur 15-
30 tahun.
19

d. Keratokonjungtivitis Epidemika
Keratokonjungtivitis epidemika umumnya bilateral. Awalnya sering pada
satu mata saja, dan biasanya mata pertama lebih parah. Kekeruhan subepitel bulat.
Sensasi kornea normal. Nodus preaurikuler yang nyeri tekan adalah khas. Edema
palpebra, kemosis, dan hiperemia konjungtiva menandai fase akut. Folikel dan
perdarahan konjungtiva sering muncul dalam 48 jam. Dapat membentuk
pseudomembran dan mungkin diikuti parut datar atau pembentukan simbelfaron. 2,
Konjungtivitis berlangsung paling lama 3-4 minggu. Kekeruhan subepitel
terutama terdapat di pusat kornea, bukan di tepi, dan menetap berbulan-bulan
namun tidak meninggalkan jaringan parut ketika sembuh. 4 Keratokonjungtivitis
epidemika pada orang dewasa terbatas pada bagian luar mata. Namun, pada anak-
anak mungkin terdapat gejala sistemik infeksi virus seperti demam, sakit
tenggorokan, otitis media, dan diare.4 Keratokonjungtivitis epidemika disebabkan
oleh adenovirus tipe 8, 19, 29, dan 37 (subgroub D dari adenovirus manusia).
Virus-virus ini dapat diisolasi dalam biakan sel dan diidentifikasi dengan tes
netralisasi. Kerokan konjungtiva menampakkan reaksi radang mononuklear
primer; bila terbentuk pseudomembran, juga terdapat banyak neutrofil. 2
Transmisi nosokomial selama pemeriksaan mata sangat sering terjadi melalui
jari-jari tangan dokter, alat-alat pemeriksaan mata yang kurang steril, atau
pemakaian larutan yang terkontaminasi. Larutan mata, terutama anastetika topikal,
mungkin terkontaminasi saat ujung penetes obat menyedot materi terinfeksi dari
konjungtiva atau silia. Virus itu dapat bertahan dalam larutan itu, yang menjadi
sumber penyebaran. 2,4
Kontaminasi botol larutan dapat dihindari dengan memakai penetes steril
pribadi atau memakai tetes mata dengan kemasan unit-dose. Cuci tangan secara
teratur di antara pemeriksaan dan pembersihan serta sterilisasi alat-alat yang
menyentuh mata khususnya tonometer. Tonometer aplanasi harus dibersihkan
dengan alkohol atau hipoklorit, kemudian dibilas dengan air steril dan dikeringkan
dengan hati-hati. 4
20

3.5.2. Keratitis Superfisial Ulseratif


a. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa

Penyakit ini didahului oleh konjungtivitis kataral, akibat stafilokok


ataupun pneumokok. Tes fluoresin (+).4

b. Keratokonjungtivitis Flikten

Gambar 3.7 Keratokonjungtivitis flikten

Merupakan radang kornea dan konjungtiva akibat dari reaksi imun yang
mungkin sel mediated pada jaringan yang sudah sensitif terhadap antigen. Pada
mata terdapat flikten yaitu berupa benjolan berbatas tegas berwarna putih keabuan
yang terdapat pada lapisan superfisial kornea dan menonjol di atas permukaan
kornea. 2,5
Bentuk keratitis dengan gambaran bermacam-macam, dengan
ditemukannya infiltrat dan neovaskularisasi pada kornea. Gambaran
karakteristiknya adalah dengan terbentuknya papul dan pustula pada kornea
ataupun konjungtiva. Pada mata terdapat flikten pada kornea berupa benjolan
berbatas tegas berwarna putih keabuan, dengan atau tanpa neovaskularisasi yang
menuju kearah benjolan tersebut. Biasanya bersifat bilateral yang dimulai dari
daerah limbus.
Pada gambaran klinis akan terlihat suatu keadaan sebagai hiperemia
konjungtiva, kurangnya air mata, menebalnya epitel kornea, perasaan panas
disertai gatal dan tajam penglihatan yang berkurang. Pada limbus di dapatkan
21

benjolan putih kemerahan dikelilingi daerah konjungtiva yang hyperemia. Bila


terjadi penyembuhan akan terjadi jaringan parut dengan noevaskularisasi pada
kornea.
Pada anak-anak keratitis flikten disertai gizi buruk dapat berkembang
menjadi tukak kornea karena infeksi sekunder. Tukak flikten sering ditemukan
berbentuk sebagai benjolan abu-abu, yang pada kornea terlihat sebagai:
- Ulkus fasikular, berbentuk ulkus yang menjalar melintas kornea dengan
pembuluh darah jelas dibelakangnya.
- Flikten multipel di sekitar limbus
- Ulkus cincin, yang merupakan gabungan ulkus.

c. Keratitis Herpetika

Keratitis herpes simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh


infeksi virus herpes simpleks tipe 1 maupun tipe 2. Kelainan mata akibat infeksi
herpes simpleks dapat bersifat primer dan kambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh
adanya demam, malaise, limfadenopati preaurikuler, konjungtivitis folikutans,
bleparitis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis epitelial. Kebanyakan kasus bersifat
unilateral, walaupun dapat terjadi bilateral khususnya pada pasien-pasien atopi.
Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak sebanding dengan luasnya lesi
epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas kornea. Dalam hal ini harus
diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai hipestesi kornea, misalnya
pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan dan mata kering,
pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik. Gejala spesifik
pada keratitis herpes simpleks ringan adalah tidak adanya fotofobia.
Infeksi herpes simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu paska infeksi
primer dengan mekanisme yang tidak jelas. Virus menjadi inaktif dalam neuron
sensorik atau ganglion otonom. Dalam hal ini ganglion servikalis superior,
ganglion nervus trigeminus, dan ganglion siliaris berperan sebagai penyimpan
virus. Namun akhir-akhir ini dibuktikan bahwa jaringan kornea sendiri berperan
sebagai tempat berlindung virus herpes simpleks6.
22

Gambar 3.8 Keratitis dendritik

Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik.


Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang
diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkañ kematian
sel serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat
berkembang menjadi keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian
gambaran ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi
ulkus.
Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis herpes
zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel yang
dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil.
Keratitis epitelial dapat berkembang menjadi ulkus metaherpetik, dalam
hal ini terjadi perobekan membrana basalis. Ulkus metaherpetik bersifat steril,
deepitelisasi meluas sampai stroma. Ulkus ini berbentuk bulat atau lonjong
dengan ukuran beberapa milimeter dan bersifat tunggal. Pada kasus ini dapat
dijumpai adanya edema stroma yang berat disertai lipatan membrana descemet.
23

Reaksi iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek


lakrimasi berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup.
Ulkus metaherpetik dapat menetap dalam beberapa minggu sampai beberapa
bulan. Untuk penyembuhannya memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6
minggu.
Klasifikasi Diagnosis:
Hogan dkk. (1964) membuat klasifikasi diagnosis keratitis herpes
simpleks sebagai berikut:
1. Superfisial, dibedakan atas bentuk dendritika, dendritika dan stroma,
geografika.
2. Profunda, dibedakan atas stroma dan disciform, stroma dan penyembuhan,
stroma dan ulserasi.
3. Uveitis, dibedakan atas kerato uveitis dan uveitis; dalam hal ini
keratouveitis dibedakan atas bentuk ulserasi dan non ulserasi.
Klasifikasi tersebut ternyata kurang sempurna, karena bentuk keratitis
pungtata yang merupakan awal keratitis dendnitik tidak dimasukkan. Selain itu,
pada beberapa kasus yang berat ternyata dijumpai glaukoma sekunder yang
diakibatkan oleh radang jaringan trabekulum.
Untuk membuat diagnosis, sekarang ini dianut kiasifikasi yang dibuat
oleh Pavan-Langston (1983) sebagai berikut:
1. Ulserasi epitelial, dibedakan atas bentuk pungtata, dendritika,
dendrogeografika, geografika.
2. Ulserasi trophik atau meta herpetika.
3. Stroma, dibedakan atas bentuk keratitis disciform, keratitis interstitialis.
4. Uveitis anterior dan trabekulitis.

Klasifikasi menurut Pavan-Langston inipun belum sempurna, mengingat


sangat jarang ditemukan kasus uveitis anterior maupun trabekulitis yang berdiri
sendiri tanpa melibatkan adanya keratitis.
24

d. Keratokonjungtivitis Sika

Gambar 3.9 Keratokonjungtivitis sika

Keratokonjungtivitis sika adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea


dan konjungtiva. Kelainan ini terjadi pada penyakit yang mengakibatkan :
1. Defisiensi komponen lemak air mata. Misalnya: blefaritis menahun,
distikiasis dan akibat pembedahan kelopak mata.
2. Defisiensi kelenjar air mata: sindrom Sjogren, sindrom Riley Day,
alakrimia congenital, aplasi congenital saraf trigeminus, sarkoidosis
limfoma kelenjar air mata, obat-obat diuretik kimia, atropin dan usia tua.
3. Defisiensi komponen musin: benign ocular pemphigoid, defisiensi vitamin
A, trauma kimia, sindrom Stevens Johnson, penyakit-penyakit yang
mengakibatkan cacatnya konjungtiva.
4. Akibat penguapan yang berlebihan seperti pada keratitis neroparalitik,
hidup di gurun pasir, keratitis lagoftalmus.
5. Karena parut pada kornea atau menghilangnya mikrovili kornea.
Pada keratokonjungtivitis sika terdapat rasa gatal pada mata. Pada mata
didapatkan sekresi mukus yang berlebihan. Sukar menggerakkan kelopak mata.
Mata kering karena dengan erosi kornea.
Pada pemeriksaan lama celah didapatkan miniskus air mata pada tepi kelopak
mata bawah hilang, edema konjungtiva bulbi, filamen (benang-benang) melekat di
kornea.1
25

2.6. Penatalaksanaan

2.6.1 Keratitis Superfisial nonulseratif

a. Keratitis Pungtata Superfisial dari Fuchs


Pengobatan yang dapat diberikan pada keratitis pungtata superfisial
dari Fuchs adalah pengobatan lokal, yaitu salep antibiotik atau sulfa untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder, dan dapat dikombinasi dengan
kortikosteroid.

b. Keratitis Numularis atau Keratitis Dimmer


Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap penyakit ini. Obat-obatan
hanya diberikan untuk mencegah infeksi sekunder. Untuk terapi lokal
diberikan salep antibiotika yang dapat dikombinasi dengan kortikosteroid.

c. Keratitis Disiformis dari Westhoff


Untuk keratitis Disiformis dari Westhoff dapat diberikan salep mata
antibiotik yang dapat dikombinasikan dengan kortikosteroid. Pada keratitis
ini, biasanya perjalanan penyakit lama hingga berbulan-bulan.3

d. Keratokonjungtivitis Epidemika
Pengobatan pada keadaan akut sebaiknya diberikan kompres dingin
dan pengobatan penunjang lainnya. Lebih baik diobati secara konservatif.
Bila terjadi kekeruhan pada kornea yang menyebabkan penurunan visus yang
berat dapat diberikan steroid tetes mata 3 kali sehari.2 Antibiotik sebaiknya
diberikan apabila terdapat superinfeksi bakteri.
2.6.2. Keratitis Superfisial Ulseratif

a. Keratitis Pungtata Superfisial Ulserativa


Salep antibiotika atau sulfa yang sesuai dengan kumannya yang
didapatkan atau memakai obat antibiotika yang berspektrum luas.

b. Keratokonjungtivitis Flikten
Pengobatan keratokonjungtivitis flikten adalah dengan memberi
steroid lokal maupun sistemik. Flikten kornea dapat menghilang tanpa
26

bekas namun apabila telah terjadi ulkus akibat infeksi sekunder dapat
terjadi parut kornea. Dalam keadaan yang berat dapat terjadi perforasi
kornea.

c. Keratitis Herpetika
Pengobatan kadang-kadang tidak diperlukan karena dapat sembuh
spontan atau dapat sembuh dengan melakukan debridement. Dapat juga
dengan memberikan obat antivirus topikal dan antibiotika topikal.
Antivirus seperti IDU 0.1% diberikan setiap 1 jam atau asiklovir.
Sebagian besar para pakar menganjurkan melakukan debridement
sebelumnya. Debridement epitel kornea selain berperan untuk
pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk menghilangkan sawar
epitelial sehingga antiviral lebih mudah menembus. Dalam hal ini juga
untuk mengurangi subepithelial "ghost" opacity yang sering mengikuti
keratitis dendritik. Diharapkan debridement juga mampu mengurangi
kandungan virus epithelial sehingga reaksi radang akan cepat berkurang.

d. Keratokonjungtivitis Sika
Pengobatan harus langsung bertujuan untuk mempertahankan
lapisan air mata dengan menggantinya dengan air mata buatan. Pada
keratokonjungtivitis yang berhubungan dengan Sjogren sindrom
pemberian kortikosteroid dosis rendah dan topikal siklosporin
menunjukkan keefektifan.

3.7. Prognosis
Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa faktor, termasuk
luas dan dalamnya lapisan kornea yang terlibat, ada atau tidaknya perluasan ke
jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya immunocompromised),
virulensi patogen,ada atau tidaknya vaskularisasi dan deposit kolagen pada
jaringan tersebut, waktu penegakkan diagnosis klinis yang dapat dikonfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang seperti kultur pathogen di laboratorium. Pasien
27

dengan infeksi ringan dan diagnosis mikrobiologi yang lebih awal memiliki
prognosis yang baik; bagaimana pun, kontrol dan eradikasi infeksi yang meluas
didalam sklera atau struktur intraokular sangat sulit. Diagnosis awal dan terapi
tepat dapat membantu mengurangi kejadian hilangnya penglihatan. Imunitas
tubuh merupakan hal yang penting dalam kasus ini karena diketahui reaksi
imunologik tubuh pasien sendiri yang memberikan respon terhadap virus ataupun
bakteri. Pada keratitis superfisialis pungtata penyembuhan biasanya berlangsung
baik meskipun tanpa pengobatan

.
28

BAB IV
PEMBAHASAN

Keratitis adalah peradangan pada kornea yang ditandai dengan adanya


infiltrat di lapisan kornea. Keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan lokasinya,
yaitu superfisial, interstisial dan profunda. Keratitis superfisial adalah radang
kornea yang mengenai lapisan epitel dan membran bowman. Keratitis dapat
terjadi pada anak-anak maupun dewasa. Keratitis dapat memberikan gejala mata
merah, rasa silau, epifora, nyeri, kelilipan, dan penglihatan menjadi sedikit kabur.
Keratitis superfisial dapat dibagi menjadi :

Keratitis superfisial nonulseratif, yang terdiri atas:


1. Keratitis pungtata superfisial dari Fuchs
2. Keratitis numularis dari Dimmer
3. Keratitis disiformis dari Westhoff
4. Keratokonjungtivitis epidemika

Keratitis superfisial ulseratif, yang terdiri atas :


1. Keratitis pungtata superfisial ulserativa
2. Keratitis flikten
3. Keratitis herpertika
4. Keratitis sika

Setiap etiologi menunjukan gejala yang berbeda – beda tergantung dari


jenis pathogen dan lapisan kornea yang terkena. Diagnosis keratitis dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan lampu celah. Dengan pemeriksaan lampu celah,
penatalaksanaan keratitis dapat dilakukan dengan tepat dan sesuai dengan
etiologi penyebabnya. Prognosis pada setiap kasus tergantung pada beberapa
faktor, termasuk luasnya dan kedalaman lapisan kornea yang terlibat, ada atau
tidak nya perluasan ke jaringan orbita lain, status kesehatan pasien (contohnya
immunocompromised), virulensi patogen, ada atau tidaknya vaskularisasi dan
deposit kolagen pada jaringan tersebut.
29

Penatalaksanaan yang diberikan pada awalnya adalah dilakukan irigasi


terhadap mata pasien dengan menggunakan larutan fisiologis sebanyak 1000 cc.
Kemudian pasien dirawat dan bedrest untuk direncanakan operasi haecting sclera
dan prolaps iris. Pengobatan menjelang operasi dilaksanakan adalah pemberian
antibiotik sistemik Ceftriaxon 1 x 1 gr dan antibiotik lokal Ofloxacin tetes. Untuk
analgetiknya diberikan drip Ketorolac IV. Untuk terapi suportif diberikan IV
Vitamin C dan ranitidin. Setelah operasi dilaksanakan, pasien diistirahatkan
(bedrest) kembali untuk diobservasi perkembangan perdarahan dan komplikasi
yang mungkin terjadi. Setelah observasi pasien dibolehkan untuk pulang dan
diminta untuk rawat jalan beberapa hari lagi untuk kontrol post operatif.
30

DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Externa disease and cornea. San


Fransisco 2007
2. Vaughan, Daniel G et al. 2010. Oftalmologi Umum edisi-14. Jakarta:
Widya Medika. Hal: 129 – 152
3. ILyas S. Mata merah dengan penglihatan turun mendadak. Dalam : Ilyas
S. Ilmu Penyakit Mata edisi 3; 2004. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Hal ; 149
4. Srinivasan M, et al. Distinguishing infectious versus non infectious
keratitis. Indian Journal of Opthalmology. 2006. 56:3; 50-56
5. Radjiman T, dkk. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga. Surabaya, 1984
6. Zorab R A, Straus H,Dondrea, et.al. Fundamental and Principles of
Ophtalmology. Section 2. International ophtalmology american academy
of ophtalmology. The Eye M.D;2008-2009. p.43
7. Lang G.Infectious Keratitis dalam Opthamology.A textbook Atlas.2nd
Edition 2006.
8. Kaye SB, Lynas C, Patterson A, Risk JM, McCarthy K, Hart CA.
Evidence for herpes simplex viral latency in the human cornea, Bri
Ophthalmol 1991; 75: 195200
9. Anonym. 2010. Keratitis. Faculty of Harvard Medical School, National
Eye Institute. Diakses tanggal 29 Maret 2013
10. Wilson. SA. 2008. Management of Corneal Abrasion. www.aafp.com,
diakses tanggal 30 Maret 2013
11. Anatomy of Eye. 2010. www.medscape.com, diakses tanggal 30 Maret
2013
12. Opthalmology of Evaluation. 2010. www.medscape.com, diakses tanggal
30 Maret 2013
13. Keratitis. 2012. www.medscape.com, diakses tanggal 30 Maret 2013

Anda mungkin juga menyukai

  • CSS THT Fix
    CSS THT Fix
    Dokumen22 halaman
    CSS THT Fix
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • DAFTAR PUSTAKAtrp
    DAFTAR PUSTAKAtrp
    Dokumen1 halaman
    DAFTAR PUSTAKAtrp
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • Cover CRS
    Cover CRS
    Dokumen4 halaman
    Cover CRS
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • Cover CRS
    Cover CRS
    Dokumen4 halaman
    Cover CRS
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • Bob Firman
    Bob Firman
    Dokumen31 halaman
    Bob Firman
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • Dapus CRS
    Dapus CRS
    Dokumen1 halaman
    Dapus CRS
    Sarah Humaira Dennison
    Belum ada peringkat
  • 11716627
    11716627
    Dokumen56 halaman
    11716627
    Febrian Parura
    Belum ada peringkat
  • Crs Anestesi
    Crs Anestesi
    Dokumen45 halaman
    Crs Anestesi
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • COVER Jurna
    COVER Jurna
    Dokumen4 halaman
    COVER Jurna
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • Keratitis Numularis Os-1
    Keratitis Numularis Os-1
    Dokumen18 halaman
    Keratitis Numularis Os-1
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • Mata Tenang Visus Turun Mendafak
    Mata Tenang Visus Turun Mendafak
    Dokumen66 halaman
    Mata Tenang Visus Turun Mendafak
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • Cover Crs DR - Hum
    Cover Crs DR - Hum
    Dokumen2 halaman
    Cover Crs DR - Hum
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen3 halaman
    Cover
    Chika Marzelina
    Belum ada peringkat