Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji sukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT atas berkat dan rahmat-Nya saya
dapat menyelesaikan referat ini yang berjudul “Insomnia”. Referat ini disusun sebagai salah
satu tugas persyaratan kelulusan kepaniteraan klinik Psikiatri RS Jiwa Islam Klender Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Metta Desvini P
Siregar, Sp.KJ sebagai pembimbing dalam pembuatan referat ini. Tidak lupa terima kasih
juga penulis sampaikan kepada dokter-dokter pembimbing di RS Jiwa Islam Klender
Jakarta.atas bimbingan yang kami dapat selama kepaniteraan klinik ini.
Saya menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak
kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter
pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan masukan yang
berguna bagi penulis.
Lepas dari segala kekurangan yang ada, kami berharap semoga referat ini
membawa manfaat bagi kita semua.

Jakarta, Juli 2017

Penulis

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Insomnia adalah gejala kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk
tidur atau mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk itu1. Gejala tersebut
biasanya diikuti gangguan fungsional saat bangun dan beraktivitas di siang hari.
Sekitar sepertiga orang dewasa mengalami kesulitan memulai tidur dan atau
mempertahankan tidur dalam setahun, dengan 17% di antaranya mengakibatkan
gangguan kualitas hidup2. Sebanyak 95% orang Amerika telah melaporkan sebuah
episode dari insomnia pada beberapa waktu selama hidup mereka1. Di Indonesia, pada
tahun 2010 terdapat 11,7% penduduk mengalami insomnia.
Insomnia umumnya merupakan kondisi sementara atau jangka pendek. Dalam
beberapa kasus, insomnia dapat menjadi kronis. Hal ini sering disebut sebagai
gangguan penyesuaian tidur karena paling sering terjadi dalam konteks situasional
stres akut, seperti pekerjaan baru atau menjelang ujian. Insomnia ini biasanya hilang
ketika stressor hilang atau individu telah beradaptasi dengan stressor. Namun,
insomnia sementara sering berulang ketika tegangan baru atau serupa muncul dalam
kehidupan pasien3.
Insomnia jangka pendek berlangsung selama 1-6 bulan. Hal ini biasanya berhu-
bungan dengan faktor-faktor stres yang persisten, dapat situasional (seperti kematian
atau penyakit) atau lingkungan (seperti kebisingan). Insomnia kronis adalah setiap
insomnia yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hal ini dapat dikaitkan dengan berbagai
kondisi medis dan psikiatri biasanya pada pasien dengan predisposisi yang mendasari
untuk insomnia3.

Meskipun kurang tidur, banyak pasien dengan insomnia tidak mengeluh


mengantuk di siang hari. Namun, mereka mengeluhkan rasa lelah dan letih, dengan
konsentrasi yang buruk. Hal ini mungkin berkaitan dengan keadaan fisiologis
hyperarousal. Bahkan, meskipun tidak mendapatkan tidur cukup, pasien dengan
insomnia seringkali mengalami kesulitan tidur bahkan untuk tidur siang.
Insomnia kronis juga memiliki banyak konsekuensi kesehatan seperti
berkurangnya kualitas hidup, sebanding dengan yang dialami oleh pasien dengan
kondisi seperti diabetes, arthritis, dan penyakit jantung. Kualitas hidup meningkat
dengan pengobatan tetapi masih tidak mencapai tingkat yang terlihat pada populasi
umum. Insomnia kronis dikaitkan dengan terganggunya kinerja pekerjaan dan sosial.
Insomnia merupakan salah satu faktor risiko depresi dan gejala dari sejumlah
gangguan medis, psikiatris, dan tidur. Bahkan, insomnia tampaknya menjadi prediksi
sejumlah gangguan, termasuk depresi, kecemasan, ketergantungan alkohol,
ketergantungan obat, dan bunuh diri.

2
Insomnia sering menetap meskipun telah dilakukan pengobatan kondisi medis
atau kejiwaan yang mendasari, bahkan insomnia dapat meningkatkan resiko
kekambuhan penyakit primernya. Dalam hal ini, dokter perlu memahami bahwa
insomnia adalah suatu kondisi tersendiri yang membutuhkan pengakuan dan
pengobatan untuk mencegah morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup bagi pasien
mereka3,4.

1.2 INSIDENSI

Hampir semua orang pernah mengalami gangguan tidur selama masa


kehidupannya. Diperkirakan tiap tahun 20%-40% orang dewasa mengalami kesukaran
tidur dan 17% diantaranya mengalami masalah serius.
Prevalensi gangguan tidur setiap tahun cenderung meningkat, hal ini juga
sesuai dengan peningkatan usia dan berbagai penyebabnya. Kaplan dan Saddock
melaporkan kurang lebih 40-50% dari populasi usia lanjut menderita gangguan tidur.
Gangguan tidur kronik (10-15%) disebabkan oleh gangguan psikiatri, ketergantungan
obat dan alkohol.
Menurut data Internasional of sleep disorder, prevalensi penyebab-penyebab
gangguan tidur adalah sebagai berikut: Penyakit asma (61-74%), gangguan pusat
pernafasan (40-50%), kram kaki malam hari (16%), psychophysiological (15%),
sindroma kaki gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat
tidur (5-10%), depresi (65). Demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja (25%),
gangguan obstruksi sesak saluran nafas (1-2%), penyakit ulkus peptikus (<1%),
narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 FISIOLOGI TIDUR


Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan jasmani dan kelelahan
mental. Dengan tidur semua keluhan hilang atau berkurang dan akan kembali
mendapatkan tenaga serta semangat untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.
Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan yang sesuai dengan beredarnya
waktu dalam siklus 24 jam. Irama yang seiring dengan rotasi bola dunia disebut sebagai
irama sirkadian1,4. Tidur tidak dapat diartikan sebagai menifestasi proses deaktivasi Sistem
Saraf Pusat. Saat tidur, susunan saraf pusat masih bekerja dimana neuron-neuron di
substansia retikularis ventral batang otak melakukan sinkronisasi.
Pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior hypothalamus.
Bagian susunan saraf pusat yang mengadakan kegiatan sinkronisasi terletak pada
substansia ventrikulo retikularis medulo oblongata yang disebut sebagai pusat tidur. (sleep
center). Bagian susunan saraf pusat yang menghilangkan sinkronisasi/desinkronisasi
terdapat pada bagian rostral medulo oblongata disebut sebagai pusat penggugah atau
arousal state.

Tidur dibagi menjadi 2 tipe yaitu:


1. Tipe Rapid Eye Movement (REM)
2. Tipe Non Rapid Eye Movement (NREM)

Fase awal tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 stadium, lalu diikuti
oleh fase REM. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara
bergantian antara 4-7 kali siklus semalam. Bayi baru lahir total tidur 1620 jam/hari, anak-
anak 10-12 jam/hari, kemudian menurun 9-10 jam/hari pada umur diatas 10 tahun dan
kira-kira 7-7,5 jam/hari pada orang dewasa.
Tidur NREM yang meliputi 75% dari keseluruhan waktu tidur, dibagi dalam empat
stadium, antara lain:

Tipe NREM dibagi dalam 4 stadium yaitu:


1. Tidur stadium Satu.
Fase ini berlangsung selama 5% dari keseluruhan waktu tidur, merupakan antara fase
terjaga dan fase awal tidur. Stadium ini dianggap stadium tidur paling ringan. Fase ini
didapatkan kelopak mata tertutup, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata
kekanan dan kekiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali
dibangunkan. Gambaran EEG biasanya terdiri dari gelombang campuran alfa, betha
dan kadang gelombang theta (gambaran kumparan tidur yang khas, bervoltase rendah,
dengan frekuensi 3 sampai 7 siklus perdetik) dengan amplitudo yang rendah. Tidak
didapatkan adanya gelombang sleep spindle dan kompleks K.

4
2. Tidur stadium dua
Pada fase ini berlangsung paling lama, yaitu 45% dari keseluruhan waktu tidur,
didapatkan bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam
dari pada fase pertama. Gambaran EEG terdiri dari gelombang theta simetris. EEG
menggambarkan gelombang yang berbentuk pilin (spindle shaped) yang sering dengan
frekuensi 12 sampai 14 siklus perdetik, lambat, dan trifasik yang dikenal sebagai
kompleks K dan gelombang vertex. Pada stadium ini, orang dapat dibangunkan dengan
mudah.
3. Tidur stadium tiga
Fase ini berlangsung 12% dari keseluruhan waktu tidur, dengan tidur yang lebih dalam
dari fase sebelumnya. Gambaran EEG terdapat lebih banyak gelombang delta
(gelombang bervoltase tinggi dengan frekuensi 0,5 hingga 2,5 siklus perdetik) simetris
antara 25%-50% serta tampak gelombang sleep spindle. Orang tidur dengan sangat
nyenyak, sehingga sukar dibangunkan.
4. Tidur stadium empat
Merupakan tidur yang dalam serta sukar dibangunkan, berlangsung 13% dari
keseluruhan waktu tidur. Gambaran EEG hampir sama dengan stadium 3 dengan
perbedaan kuantitatif didominasi oleh gelombang delta sampai 50%, tampak
gelombang sleep spindle. Stadium 3 dan 4 juga dikenal dengan nama tidur dalam, atau
delta sleep, atau Slow Wave Sleep (SWS).

Sedangkan tidur REM meliputi 25% dari keseluruhan waktu tidur. Tidak dibagi-bagi
dalam stadium seperti dalm tidur NREM1,4.

Fase tidur NREM, ini biasanya berlangsung antara 70 menit sampai 100 menit, setelah itu
akan masuk ke fase REM. Pada waktu REM jam pertama prosesnya berlangsung lebih cepat
dan menjadi lebih insten dan panjang saat menjelang pagi atau bangun.
Pola tidur REM ditandai adanya gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah,
apabila dibangunkan hampir semua organ akan dapat menceritakan mimpinya, denyut nadi
bertambah dan pada laki-laki terjadi eraksi penis, tonus otot menunjukkan relaksasi yang
dalam.
Pola tidur REM berubah sepanjang kehidupan seseorang seperti periode neonatal bahwa tidur
REM mewakili 50% dari waktu total tidur. Periode neonatal ini pada EEG-nya masuk ke fase
REM tanpa melalui stadium 1 sampai 4. Pada usia 4 bulan pola berubah sehingga persentasi
total tidur REM berkurang sampai 40% hal ini sesuai dengan kematangan sel-sel otak,
kemudian akan masuk keperiode awal tidur yang didahului oleh fase NREM kemudian fase
REM pada dewasa muda dengan distribusi fase tidur sebagai berikut:
- NREM (75%) yaitu
stadium 1: 5%;
stadium 2 : 45%;
stadium 3 : 12%;
stadium 4 : 13%;
REM; 25 %.

5
2.2. PERANAN NEUROTRANSMITER

Keadaan jaga atau bangun sangat dipengaruhi oleh sistim ARAS (Ascending
Reticulary Activity System). Bila aktifitas ARAS ini meningkat orang tersebut dalam keadaan
tidur. Aktifitas ARAS menurun, orang tersebut akan dalam keadaan tidur. Aktifitas ARAS ini
sangat dipengaruhi oleh aktifitas neurotransmiter seperti sistem serotoninergik, noradrenergik,
kholinergik, histaminergik.
• Sistem serotonergik
Hasil serotonergik sangat dipengaruhi oleh hasil metabolisme asam amino trypthopan.
Dengan bertambahnya jumlah trypthopan, maka jumlah serotonin yang terbentuk juga
meningkat akan menyebabkan keadaan mengantuk/tidur. Bila serotonin dari tryptopan
terhambat pembentukannya, maka terjadi keadaan tidak bisa tidur/jaga.
Menurut beberapa peneliti lokasi yang terbanyak sistem serotogenik ini terletak pada
nukleus raphe dorsalis di batang otak, yang mana terdapat hubungan aktifitas serotonis
di nukleus raphe dorsalis dengan tidur REM.
• Sistem Adrenergik
Neuron-neuron yang terbanyak mengandung norepineprin terletak di badan sel nukleus
cereleus di batang otak. Kerusakan sel neuron pada lokus cereleus sangat mempengaruhi
penurunan atau hilangnya REM tidur.
Obat-obatan yang mempengaruhi peningkatan aktifitas neuron noradrenergik akan
menyebabkan penurunan yang jelas pada tidur REM dan peningkatan keadaan jaga.
• Sistem Kholinergik
Sitaram et al (1976) membuktikan dengan pemberian prostigimin intra vena dapat
mempengaruhi episode tidur REM. Stimulasi jalur kholinergik ini, mengakibatkan
aktifitas gambaran EEG seperti dalam keadaan jaga. Gangguan aktifitas kholinergik
sentral yang berhubungan dengan perubahan tidur ini terlihat pada orang depresi,
sehingga terjadi pemendekan latensi tidur REM. Pada obat antikolinergik (scopolamine)
yang menghambat pengeluaran kholinergik dari lokus sereleus maka tampak gangguan
pada fase awal dan penurunan REM.
• Sistem histaminergik
Pengaruh histamin sangat sedikit mempengaruhi tidur
• Sistem hormon
Pengaruh hormon terhadap siklus tidur dipengaruhi oleh beberapa hormon seperti
ACTH, GH, TSH, dan LH. Hormon hormon ini masing-masing disekresi secara teratur
oleh kelenjar pituitary anterior melalui hipotalamus pathway. Sistem ini secara teratur
mempengaruhi pengeluaran neurotransmiter norepinefrin, dopamin, serotonin yang
bertugas menagtur mekanisme tidur dan bangun.

Pola siklus tidur dan bangun adalah bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur
sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan
terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan mempengaruhi suatu
bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra chiasmatic (NSC). NSC akan
mengeluarkan neurotransmiter yang mempengaruhi pengeluaran berbagai hormon

6
pengatur temperatur badan, kortisol, growth hormone, dan lain-lain yang memegang
peranan untuk bangun tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan
bangun tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon
yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol dan GH sehingga orang
terbangun. Jila malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga
orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula
pineal. Saat hari mulai gelap, melatonin dikeluarkan dalam darah dan akan
mempengaruhi terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan dan kortisol.
Kadar melatonin dalam darah mulai meningkat pada jam 9 malam, terus meningkat
sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi.5

Perubahan tidur akibat proses menua


Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di
tempat tidur sebelum tidur) dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur
nyenyaknya.
Pada penelitian di laboratorium tidur, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang
dalam lebih pendek, sedangkan tidur stadium 1 dan 2 lebih lama. Hasil uji dengan alat
polysomnographic didapatkan penurunan yang bermakna dalam slow wave sleep dan
rapid eye movement (REM). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun di tengah
malam akibat perubahan fisik karena usia dan penyakit yang dideritanya sehingga
kualitas tidur secara nyata menurun. Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama
sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang.
Dalam irama sirkadian yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan
perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi kortisol dan GH meningkat
pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut,
ekskresi kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh berfluktuasi dan kurang
menonjol. Melatonin menurun dengan meningkatnya umur.
Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada
bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktif sepanjang hari,
pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidurnya, sebaliknya bila siang hari tidak ada
kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur.5

Hypnograms memerlihatkan perbedaan karakter tidur pada orang muda dan orang tua.
Dibandingkan dengan orang muda, Orang tua cenderung memiliki onset tidur yang
lama, tidur yang terfragmentasi, bangun terlalu dini di pagi hari dan menurun-nya tidur
tahap 3 dan 4.5

7
2.3 DEFINISI INSOMNIA

Menurut DSM –IV, gangguan tidur dibagi menjadi dyssomnias dan parasomnias.
Dyssomnias adalah gangguan dari kuantitas atau waktu tidur, dibagi menjadi insomnia
dan hypersomnia. Insomnia lebih diartikan pada gangguan kualitas atau kuantitas tidur,
yang bergantung pada keadaan tertentu. Bentuk dari insomnia termasuk primary
insomnia dan gangguan irama sirkardian tidur. Hypersomnia menunjukan kondisi klinis
sebagai rasa ngantuk yang berlebihan. Parasomnia adalah tingkah laku yang tidak
normal saat tidur atau transisi antara tidur dan terbangun. 9

Menurut DSM-IV, Insomnia didefinisikan sebagai keluhan dalam hal kesulitan untuk
memulai atau mempertahankan tidur atau tidur non-restoratif yang berlangsung
setidaknya satu bulan dan menyebabkan gangguan signifikan atau gangguan dalam
fungsi individu. The International Classification of Diseases mendefinisikan Insomnia
sebagai kesulitan memulai atau mempertahankan tidur yang terjadi minimal 3
malam/minggu selama minimal satu bulan. Menurut The International Classification of
Sleep Disorders, insomnia adalah kesulitan tidur yang terjadi hampir setiap malam,
disertai rasa tidak nyaman setelah episode tidur tersebut. Jadi, Insomnia adalah gejala
kelainan dalam tidur berupa kesulitan berulang untuk tidur atau mempertahankan tidur
walaupun ada kesempatan untuk melakukannya. Insomnia bukan suatu penyakit, tetapi
merupakan suatu gejala yang memiliki berbagai penyebab, seperti kelainan emosional,
kelainan fisik dan pemakaian obat-obatan. Insomnia dapat mempengaruhi tidak hanya
tingkat energi dan suasana hati tetapi juga kesehatan, kinerja dan kualitas hidup.

2.4 KLASIFIKASI INSOMNIA

a. Insomnia Primer
Insomnia primer ini mempunyai faktor penyebab yang jelas. insomnia atau susah tidur
ini dapat mempengaruhi sekitar 3 dari 10 orang yang menderita insomnia. Pola tidur,
kebiasaan sebelum tidur dan lingkungan tempat tidur seringkali menjadi penyebab dari
jenis insomnia primer ini.

b. Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder biasanya terjadi akibat efek dari hal lain, misalnya kondisi medis.
Masalah psikologi seperti perasaan bersedih, depresi dan dementia dapat menyebabkan
terjadinya insomnia sekunder ini pada 5 dari 10 orang. Selain itu masalah fisik seperti
penyakit arthritis, diabetes dan rasa nyeri juga dapat menyebabkan terjadinya insomnia
sekunder ini dan biasanya mempengaruhi 1 dari 10 orang yang menderita insomnia atau
susah tidur. Insomnia sekunder juga dapat disebabkan oleh efek samping dari obat-
obatan yang diminum untuk suatu penyakit tertentu, penggunaan obat-obatan yang
terlarang ataupun penyalahgunaan alkohol. Faktor ini dapat mempengaruhi 1-2 dari 10
orang yang menderita insomnia.

8
Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem diagnostik yaitu Interna-tional code
of diagnosis (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Men-tal Disorders (DSM)
IV dan International Classification of Sleep Disorders (ISD).

Dalam ICD 10, insomnia dibagi menjadi 2 yaitu:


• Organik
• Non organik
- Dyssomnias (gangguan pada lama, kualitas dan waktu tidur)
- Parasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur seperti mampu
buruk, berjalan sambil tidur, dll).
Dalam ICD 10 tidak dibedakan antara insomnia primer atau sekunder. Insomnia disini
adalah insomnia kronik yang sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah
menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu:
1. Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain
2. Gangguan tidur yang disebabkan oleh kondisi medis umum
3. Gangguan tidur yang diinduksi oleh bahan-bahan atau keadaan tertentu
4. Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan
kondisi mental, penyakit, ataupun obat-obatan.) Gangguan ini menetap dan
diderita minimal 1 bulan.

Berdasarkan International Classification of Sleep Disordes yang direvisi, insomnia


diklasifikasikan menjadi:
a. Acute insomnia
b. Psychophysiologic insomnia
c. Paradoxical insomnia (sleep-state misperception)
d. Idiopathic insomnia
e. Insomnia due to mental disorder
f. Inadequate sleep hygiene
g. Behavioral insomnia of childhood
h. Insomnia due to drug or substance
i. Insomnia due to medical condition
j. Insomnia not due to substance or known physiologic condition, unspecified
(nonorganic)
k. Physiologic insomnia, unspecified (organic) 8

9
2.5. Etiologi Insomnia

Insomnia diklasifikasikan sebagai gangguan tidur sementara (tidak lebih dari beberapa
malam), akut (kurang dari 3-4 minggu), dan kronis (lebih dari 3-4 minggu). Insomnia
sementara atau akut biasanya terjadi pada orang yang tidak memiliki riwayat gangguan
tidur dan sering berhubungan dengan penyebab yang dapat diidentifikasi. Pencetus
insomnia akut termasuk penyakit medis akut, perubahan pada lingkungan tidur, obat-
obatan, jet lag, dan stresor psikososial akut atau berulang. Insomnia kronis atau
jangka-panjang dapat dikaitkan dengan berbagai dasar kondisi medis, perilaku, dan
lingkungan dan berbagai obat-obatan.

Penyebab Insomnia
1) Gangguan tidur spesifik primer: Gangguan irama sirkadian:
a. Sindrom fase tidur lanjut
b. Sindrom fase tidur terlambat
- Sleep apnea (obstruktif, pusat, atau campuran)
- Restless legs syndrome, Gangguan gerak ekstremitas periodik

2) Penyakit Fisik:
- Nyeri: artritis, nyeri muskuloskeletal, kondisi menyakitkan lainnya
- Penyakit jantung : gagal jantung, sesak napas malam hari, angina malam
hari
- Paru: penyakit paru obstruktif kronik, rinitis alergi (sumbatan hidung)
- Gastrointestinal: penyakit refluks gastroesofageal, penyakit tukak lambung,
sembelit, diare.
- Inkontinensia urin.
- Gangguan Sistem saraf pusat: stroke, penyakit Parkinson, penyakit
Alzheimer, gangguan kejang
- Psikiatri: kecemasan, depresi, psikosis, demensia, delirium
- Pruritus
- Menopause

3) Perilaku: tidur siang, menggunakan tempat tidur untuk aktivitas lain


(misalnya, membaca dan menonton televisi), makan berat, kurang olahraga,
dan gaya hidup bermalas-malasan.

4) Lingkungan: suara, cahaya dan gangguan lainnya, suhu ekstrim, tempat tidur
tidak nyaman, dan kurangnya pajanan sinar matahari.

5) Pengobatan: Stimulan sistem saraf pusat: sympathomimetics, kafein, nikotin,


antidepresan, amfetamin, efedrin, fenilpropanolamin, fenitoin.
- Antidepresan: bupropion, penghambat selektif ambilan-kembali serotonin,
venlafaksin
- Obat anti-Parkinsonian agen: levodopa

10
- Dekongestan: pseudoefedrin
- Bronkodilator: teofilin
- Jantung: penghambat-β, diuretik
- Antihipertensi: klonidin, metildopa, kortikosteroid
- Antihistamin,
- Penghambat H 2: simetidin
- Antikolinergik
- Alkohol
- Obat herbal
- Pencahar

2.6 FAKTOR RISIKO INSOMNIA

Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia
meningkat jika terjadi pada:
1. Wanita
Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormon selama siklus
menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama menopause, sering
berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering mengganggu tidur.

2. Usia lebih dari 60 tahun


Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia meningkat sejalan dengan usia.

3. Memiliki gangguan kesehatan mental


Banyak gangguan, termasuk depresi, kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic
stress disorder, mengganggu tidur.

4. Stres
Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang seperti kematian
orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan insomnia kronis. Menjadi miskin
atau pengangguran juga meningkatkan risiko terjadinya insomnia.

5. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja


Bekerja di malam hari sering meningkatkan resiko insomnia.1,4

2.7 DIAGNOSIS

Untuk mendiagnosis insomnia, dilakukan penilaian terhadap:


a. Pola tidur penderita.
b. Pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang.

11
c. Tingkatan stres psikis.
d. Riwayat medis.
e. Aktivitas fisik
f. Diagnosis berdasarkan kebutuhan tidur secara individual.

Sebagai tambahannya, dokter akan melengkapi kuisioner untuk menentukan pola tidur dan
tingkat kebutuhan tidur selama 1 hari. Jika tidak dilakukan pengisian kuisioner,untuk
mencapai tujuan yang sama Anda bisa mencatat waktu tidur Anda selama 2 minggu.

Pemeriksaan fisik akan dilakukan untuk menemukan adanya suatu permasalahan yang bisa
menyebabkan insomnia. Ada kalanya pemeriksaan darah juga dilakukan untuk menemukan
masalah pada tyroid atau pada hal lain yang bisa menyebabkan insomnia.
Jika penyebab dari insomnia tidak ditemukan, akan dilakukan pemantauan dan penca-tatan
selama tidur yang mencangkup gelombang otak, pernapasan, nadi, gerakan ma-ta, dan
gerakan tubuh5.

Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan PPDGJ6


Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti:
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas
tidur yang buruk.
b. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan.
c. Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan
yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.
e. Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan
diagnosis insomnia diabaikan.
f. Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak diguankan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di
sini, dapat dimasukkan dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian
(F43.2)

2.8 TALAKSANA UMUM

1. Non Farmakoterapi
Penanganan terapi non farmakologi terdiri dari cognitive and behavioral therapy. Lakukan
pendekatan hubungan antara pasien dan dokter, tujuannya:
- Untuk mencari penyebab dasarnya dan pengobatan yang adekuat
Sangat efektif untuk pasien gangguan tidur kronik
- Untuk mencegah komplikasi sekunder yang diakibatkan oleh penggunaan obat hipnotik,
alkohol, gangguan mental.

12
- Untuk mengubah kebiasaan tidur yang jelek

a. Sleep Hygiene
Sleep hygiene adalah salah satu komponen terapi perilaku untuk insomnia yang
merupakan serangkaian instruksi yang akan membantu pasien mempertahankan kualitas
tidur dengan menjaga lingkungan yang kondusif untuk tidur, mempertahankan waktu tidur
dan bangun, menghindari tembakau, alkohol, serta menghindari makan atau olah raga
terlalu banyak beberapa jam sebelum tidur. Sleep hygiene tidak terlalu bermanfaat jika
digunakan sebagai terapi tunggal.95 Pemberitahuan pasien dengan selebaran saja
cenderung mengakibatkan ketidakpatuhan, hilangnya kepercayaan, dan pemikiran bahwa
mungkin ada cara lain untuk membantu penyembuhan insomnia.
Beberapa langkah sederhana dapat diambil untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
tidur pasien. Langkah – langkah ini meliputi mencuci muka, sikat gigi, buang air kecil
sebelum tidur, berolahraga secara rutin minimal 20 menit sehari, idealnya 4-5 jam sebelum
waktu tidur, hindari memaksa diri untuk tidur, hindari caffeine, alcohol, dan nikotin 6 jam
sebelum tidur, hindari kegiatan lain yang tidak ada kaitannya dengan tidur,
Mempertahankan suhu yang nyaman di kamar tidur, meminimalisir kebisingan
semaksimal mungkin, batasi asupan cairan pada malam hari.

b. Terapi Tingkah Laku


Terapi tingkah laku bertujuan untuk mengatur pola tidur yang baru dan mengajarkan
cara untuk menyamankan suasana tidur. Terapi tingkah laku ini umumnya
direkomendasikan sebagai terapi tahap pertama untuk penderita insomnia.
Terapi tingkah laku meliputi :
1. Edukasi tentang kebiasaan tidur yang baik.
2. Teknik Relaksasi.
Meliputi merelaksasikan otot secara progresif, membuat biofeedback, dan latihan
pernapasan. Cara ini dapat membantu mengurangi kecemasan saat tidur. Strategi ini dapat
membantu Anda mengontrol pernapasan, nadi, tonus otot, dan mood.

c. Terapi kognitif.
Beberapa bentuk terapi kognitif untuk insomnia sering dilakukan bahkan sering tumpang
tindih. Beberapa terapi berfokus pada pendidikan, tujuan paradoks, perubahan
pemahaman, perilaku mencari aman dan bias attensional. Walaupun pendekatan-
pendekatan ini berbeda secara prosedural, semua terapi ini berdasarkan observasi bahwa
pasien dengan insomnia memiliki pikiran negatif mengenai kondisinya sekaligus
dampaknya. Pada dasarnya terapi kognitif membantu pasien untuk mengurangi kecemasan
dan hal-hal yang dapat memicu timbulnya insomnia.

13
Meliputi merubah pola pikir dari kekhawatiran tidak tidur dengan pemikiran yang positif.
Terapi kognitif dapat dilakukan pada konseling tatap muka atau dalam grup.
Walaupun CBT-I dapat dipakai sebagai terapi tunggal, namun multi component CBT-I
merupakan pendekatan terapi terbaik. Program yang dapat diberikan adalah terapi kognitif,
terapi relaksasi, dan fototerapi jika ada indikasi.
Terapi kontrol stimulus: merupakan terapi perilaku lini pertama pada insomnia primer
kronis sehingga sebaiknya diprioritaskan. Pada terapi ini waktu bangun pasien di tempat
tidur dipersingkat untuk merekondisi keinginan untuk tidur. Yang termasuk dalam terapi ini
yaitu:
(i) Pertahankan waktu bangun 7 hari/minggu, berapa banyak tidur pada malam hari
tidak berpengaruh;
(ii) Hindari aktivitas lain selain tidur dan aktivitas seksual di tempat tidur;
(iii) Tidurlah hanya di tempat tidur;
(iv) Tinggalkan tempat tidur ketika sudah bangun 10-15 menit; dan
(v) Kembali ke tempat tidur hanya jika mengantuk.
Kombinasi dari langkah-langkah tersebut akan membuat tempat tidur sebagai isyarat untuk
tidur dan mengembalikan irama sirkadian.

Pembatasan tidur: Terapi pembatasan tidur membuat pasien membatasi waktu tidur
mereka agar sebanding dengan waktu tidur total rata-rata. Terapi ini merupakan
kontraindikasi bagi pasien-pasien dengan gangguan bipolar, kejang, atau hipersomnolen
karena dapat memperburuk kondisi pasien.

Langkah terapi pembatasan tidur


1. Tetapkan waktu tidur total I (Total Sleep time – TST) rata-rata dalam 1-2 minggu.
2. Tetapkan waktu terjaga secara pasti.
3. Tetapkan jeda tidur dengan mengatur waktu tidur agar seimbang dengan TST
(jangan mengatur jeda tidur <4,5 jam).
4. Jaga waktu tidur per minggu.
5. Atur jeda tidur berdasarkan efisiensi waktu tidur per minggu.
a. Jika efisiensi ≥90%, naikkan jeda tidur 15 menit
b. Jika efisiensi 85% - 90%, pertahankan jeda tidur
c. Jika efisiensi <85%, turunkan jeda tidur 15 menit
6. Pertahankan waktu tidur harian dan sesuaikan setiap minggu sampai pengobatan
selesai.
7. Pasien dapat melanjutkan terapi ini sendiri.

Stimulus Control Therapy


Terapi ini dimaksudkan untuk membatasi waktu yang dihabiskan untuk beraktivitas.
Instruksi dalam terapi stimulus-kontrol:8
a. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur, tidak untuk membaca, menonton televisi,
makan atau bekerja.
b. Pergi ke tempat tidur hanya bila sudah mengantuk. Bila dalam waktu 20 menit di tempat

14
tidur seseorang tidak juga bisa tidur, tinggalkan tempat tidur dan pergi ke ruangan lain dan
melakukan hal-hal yang membuat santai. Hindari menonton televisi. Bila sudah merasa
mengantuk kembali ke tempat tidur, namun bila alam 20 menit di tempat tidur tidak juga
dapat tidur, kembali lakukan hal yang membuat santai, dapat berulang dilakukan sampat
seseorang dapat tidur.
c. Bangun di pagi hari pada jam yang sama tanpa mengindahkan berapa lama tidur pada
malam sebelumnya. Hal ini dapat memperbaiki jadwal tidur-bangun (kontrol waktu).
d. Tidur siang harus dihindari.

Restriksi Tidur.
Membatasi waktu di tempat tidur hanya untuk tidur sehingga dapat meningkatkan kualitas
tidur. Terapi ini disebut pembatasan tidur. Hal ini dicapai dengan rata-rata waktu di tempat
tidur dihabiskan hanya untuk tidur. Pasien dipaksa untuk bangun pada waktu yang
ditentukan walaupun pasien masih merasa mengantuk. Ini mungkin membantu tidur pasien
yang lebih baik pada malam berikutnya karena kurang tidur dari malam sebelumnya. Sleep
restriction ini didasarkan atas pemikiran bahwa waktu yang terjaga di tempat tidur adalah
kontra produktif sehingga mendorong siklus insomnia. Metode ini memiliki tujuan untuk
menigkatkan efisiensi tidur sampai setidaknya 85%.
Terapi ini dimaksudkan untuk mengurangi waktu yang dihabiskan di tempat tidur yang
dapat membuat lelah pada malam berikutnya3,5.

Gaya hidup dan pengobatan di rumah


Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi insomnia :
- Mengatur jadwal tidur yang konsisten termasuk pada hari libur
- Tidak berada di tempat tidur ketika tidak tidur.
- Tidak memaksakan diri untuk tidur jika tidak bisa.
- Hanya menggunakan tempat tidur hanya untuk tidur.
- Relaksasi sebelum tidur, seperti mandi air hangat, membaca, latihan pernapasan atau
beribadah
- Menghindari atau membatasi tidur siang karena akan menyulitkan tidur pada malam hari.
- Menyiapkan suasana nyaman pada kamar untuk tidur, seperti menghindari kebisingan
- Olahraga dan tetap aktif, seperti olahraga selama 20 hingga 30 menit setiap hari sekitar
lima hingga enam jam sebelum tidur.
- Menghindari kafein, alkohol, dan nikotin.
- Menghindari makan besar sebelum tidur.
- Cek kesehatan secara rutin.
- Jika terdapat nyeri dapat digunakan analgesik1,2,3,5

2. Farmakoterapi
Prinsip dasar terapi pengobatan insomnia yaitu, jangan menggunakan obat hipnotik sebagai
satu-satunya terapi, pengobatan harus dikombinasikan dengan terapi non farmakologi,
pemberian obat golongan hipnotik dimulai dengan dosis yang rendah, selanjutnya dinaikan
perlahan –lahan sesuai kebutuhan, khususnya pada orang tua, hindari penggunaan

15
benzodiazepin jangka panjang, hati –hati penggunaan obat golongan hipnotik khususnya
benzodiazepin pada pasien dengan riwayat penyalahgunaan atau ketergantungan obat,
monitor pasien untuk melihat apakah ada toleransi obat.
Dalam mengobati gejala gangguan tidur, selain dilakukan pengobatan secara
kausal, juga dapat diberikan obat golongan sedatif hipnotik. Pada dsarnya semua obat
yang mempunyai kemampuan hipnotik merupakan penekanan aktifitas dari reticular
activating system (ARAS) diotak. Hal tersebut didapatkan pada berbagai obat yang
menekan susunan saraf pusat, mulai dari obat anti anxietas dan beberapa obat anti
depres.
Obat hipnotik selain penekanan aktivitas susunan saraf pusat yang dipaksakan
dari proses fisiologis, juga mempunyai efek kelemahan yang dirasakan efeknya pada
hari berikutnya (long acting) sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Begitu pula
bila pemakain obat jangka panjang dapat menimbulkan over dosis dan
ketergantungan obat. Sebelum mempergunakan obat hipnotik, harus terlebih dahulu
ditentukan jenis gangguan tidur misalnya, apakah gangguan pada fase latensi panjang
(NREM) gangguan pendek, bangun terlalu dini, cemas sepanjang hari, kurang tidur
pada malam hari, adanya perubahan jadwal kerja/kegiatan atau akibat gangguan
penyakit primernya.
Walaupun obat hipnotik tidak ditunjukkan dalam penggunaan gangguan tidur kronik,
tapi dapat dipergunakan hanya untuk sementara, sambil dicari penyebab yang
mendasari. Dengan pemakaian obat yang rasional, obat hipnotik hanya untuk
mengkoreksi dari problema gangguan tidur sedini mungkin tanpa menilai kondisi
primernya dan harus berhati-hati pada pemakaian obat hipnotik untuk jangka panjang
karena akan menyebabkan terselubungnya kondisi yang mendasarinya serta akan
berlanjut tanpa penyelesaian yang memuaskan
.

Pemberian edukasi kepada pasien mengenai efek penggunaan obat hipnotik penting
meliputi gejala-gejala efek samping yaitu mual dan sedatif yang dapat mengakibatkan
mengantuk saat mengendarai kendaraan yang mengakibatkan kecelakaan saat mengemudi
atau bekerja, khususnya golongan obat jangka panjang. Edukasi lain yaitu mengenai
penghentian obat secara perlahan untuk menghindari terjadi rebound insomnia (Liya,
2013).

Terapi pengobatan insomnia diklasifikasikan menjadi tiga yaitu : Benzodiazepin,


Nonbenzodiazepin -hipnotik, dan obat –obat yang lain yang dapat memberikan efek tertidur.
a. Benzodiazepine (Nitrazepam,Trizolam, dan Estazolam)
b. Non benzodiazepine (Chloral-hydrate, Phenobarbital)

Pemilihan obat, ditinjau dari sifat gangguan tidur :


- Initial Insomnia (sulit masuk ke dalam proses tidur)
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep inducing anti-insomnia” yaitu golongan
benzodiazepine (Short Acting). Misalnya pada gangguan anxietas.
- Delayed Insomnia (proses tidur terlalu cepat berakhir dan sulit masuk kembali ke proses

16
tidur selanjutnya). Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Prolong latent phase Anti-
Insomnia”, yaitu golongan heterosiklik antidepresan (Trisiklik dan Tetrasiklik). Misalnya pada
gangguan depresi.
- Broken Insomnia (siklus proses tidur yang normal tidak utuh dan terpecah-pecah menjadi
beberapa bagian (multiple awakening).
Obat yang dibutuhkan adalah bersifat “Sleep Maintining Anti-Insomnia”, yaitu golongan
phenobarbital atau golongan benzodiazepine (Long acting). Misalnya pada gangguan stres
psikososial.

a. Benzodiazepin
Dalam penggunaanya, efek benzodiazepin yang diinginkan adalah efek hipnotik-sedatif. Sifat
yang diinginkan dari penggunaan hipnotik-sedatif antara lain adalah perbaikan anxietas,
euporia dan kemudahan tidur sehingga obat ini sebagai pilihan utama untuk insomnia.
Benzodiazepin (BZD) memperbaiki insomnia dengan mengurangi fase REM, menurunkan
latensi tidur, dan menurunkan terbangun malam hari. Penyerapan BZD tidak terpengaruh oleh
penuaan, namun penurunan massa otot, penurunan protein plasma, dan peningkatan lemak
tubuh yang terlihat pada usia lanjut mengakibatkan peningkatan konsentrasi obat tak-terikat
dan peningkatan waktu paruh eliminasi.
Jika keadaan ini terjadi terus menerus, maka pola penggunaanya akan menjadi kompulsif
sehingga terjadi ketergantungan fisik. Hampir semua golongan obat-obatan hipnotik-sedatif
dapat menyebabkan ketergantungan. Efek ketergantungan ini tergantung pada besar dosis
yang digunakan tepat sebelum penghentian penggunaan dan waktu paruh serta golongan obat
yang digunakan. Obat-obatan hipnotik-sedatif dengan waktu paruh lama akan dieliminasi lama
untuk mencapai penghentian obat bertahap sedikit demi sedikit. Sedangkan pada obat dengan
waktu paruh singkat akan dieliminasi dengan cepat sehingga sisa metabolitnya tidak cukup
adekuat untuk memberikan efek hipnotik yang lama. Oleh karena itu, penggunaan obat dengan
waktu paruh singkat sangat bergantung dari dosis obat yang digunakan tepat sebelum
penghentian penggunaan. Gejala gejala abstinensi dapat terjadi pada penggunaan berbagai
golongan obat hipnotik-sedatif. Gejala –gejala ini dapat berupa lebih sukar tidur dibanding
sebelum penggunaan obat-obatan hipnotik-sedatif (Liya, 2013).

b. Nonbenzodiazepin Hipnotik
Nonbenzodiazepin hipnotik adalah sebuah alternatif yang baik dari penggunaan benzodiazepin
tradisional, selain itu obat ini menawarkan efikasi yang sebanding serta rendahnya insiden
amnesia, tidur sepanjang hari, depresi respirasi , ortostatik hipotensi dan terjatuh pada lansia.
Obat golongan non-benzodiazepin juga efektif untuk terapi jangka pendek insomnia. Obat-
obatan ini relative memiliki waktu paruh yang singkat sehingga lebih kecil potensinya untuk
menimbulkan rasa mengantuk pada siang hari; selain itu penampilan psikomotor dan daya
ingat nampaknya lebih tidak terganggu dan umumnya lebih sedikit mengganggu arsitektur
tidur normal dibandingkan obat golongan benzodiazepine (Liya, 2013).
c. Sleep-promoting Agents (Melatonin)
Melatonin adalah hormon yang dibentuk di glandula pineal, yaitu sebuah kelenjar yang hanya
sebesar kacang tanah yang terletak di antara kedua sisi otak. Hormon ini mempunyai fungsi

17
yang sangat khas karena produksinya dipicu oleh gelap dan hening tetapi dapat dihambat oleh
sinar yang terang. Hormon ini sedang menjadi fokus para peneliti saat ini. Sebenarnya belum
ada penelitian yang menunjukkan adanya hubungan langsung antara peningkatan melatonin
dengan lelapnya tidur seseorang. Berdasarkan teori yang ada, hormon melatonin ini meningkat
pada saat seseorang tertidur, terutama pada saat suasana sekitarnya gelap, sesuai dengan
sebutan hormon ini, “hormone of the darkness.” Adanya hormon ini dikatakan dapat
membantu meningkatkan kualitas tidur seseorang. Dari beberapa penelitian klinik
menunjukkan bahwa penggunaan melatonin untuk insomnia ternyata sangat signifikan dalam
menurunkan waktu yang dibutuhkan seseorang untuk jatuh tertidur, memperpanjang durasi
tidur termasuk kualitas tidurnya, sehingga seseorang tidak mengantuk lagi saat beraktifitas di
pagihari. Dosis melatonin yang direkomendasikan ialah 3 mg dan dapat ditingkatkan hingga
12 –15 mg. Efek samping yang dilaporkan ialah sakit kepala, pusing,lemah, iritabel.
Megadosis (300mg perhari) dapat menghampat fungsi ovarium. Kontraindikasi pada Wanita
hamil dan menyusui (Liya, 2013).

d. Antihistamin
Three–diphenhydramine hydrochloride, dypenhydramine citrate dan doxylamine yang sering
digunakan untuk membantu tidur. Efek samping penggunaanya adalah pusing, lemah, mual
(Liya, 2013).

e. Antidepresan
Dosis rendah pada antidepresan yg memiliki efek sedasi seperti trazodone (desyrel),
amitriptyline (elavil), doxepine (sinequen, adapin) dan mirtazapin ( remeron) sering
diresepkan pada pasien bukan depresi untuk pengobatan insomnia, antidepresan sering
diberikan untuk insomnia karena pemberiannya tidak terjadwal, relatif tidak mahal, dan
memiliki sedikit potensi untuk disalahgunakan. Namun demikian harus digunakan secara
konservatif untuk insomnia karena keberhasilannya terbatas dan berpotensi menghasilkan efek
samping yang bermakna (Liya, 2013).

Terapi untuk gangguan pola tidur pada usia lanjut sebaiknya dengan menggunakan dosis obat
seminimal mungkin. Setiap intervensi obat dapat menimbulkan potensi bahaya pada orang tua
dengan lanjut usia. Pemeliharaan terhadap kondisi fungsional pasien merupakan tujuan dari
terapi. Manipulasi lingkungan dan penyebab eksternal yang potensial merupakan pendekatan
yang terbaik. Berbagai tindakan non-spesifik yang disebut higiene tidur dapat memperbaiki
pola tidur (Kapplan et al., 2007).

Pengaturan Dosis
- Pemberian tunggal dosis anjuran 15 sampai 30 menit sebelum pergi tidur.
- Dosis awal dapat dinaikkan sampai mencapai dosis efektif dan dipertahankan sampai 1-2
minggu, kemudian secepatnya tapering off (untuk mencegah timbulnya rebound dan toleransi
obat).
- Pada usia lanjut, dosis harus lebih kecil dan peningkatan dosis lebih perlahan-lahan, untuk
menghindari oversedation dan intoksikasi.

18
- Ada laporan yang menggunakan antidepresan sedatif dosis kecil 2-3 kali seminggu (tidak
setiap hari) untuk mengatasi insomnia pada usia lanjut.
Lama Pemberian
- Pemakaian obat antiinsomnia sebaiknya sekitar 1-2 minggu saja, tidak lebih dari 2 minggu,
agar resiko ketergantungan kecil. Penggunaan lebih dari 2 minggu dapat menimbulkan
perubahan “Sleep EEG” yang menetap sekitar 6 bulan lamanya.
- Kesulitan pemberhetian obat seringkali oleh karena “Psychological Dependence”
(habiatuasi) sebagai akibat rasa nyaman setelah gangguan tidur dapat ditanggulangi.

Efek Samping
Efek samping dapat terjadi sehubungan dengan farmakokinetik obat anti-insomnia (waktu
paruh) :
- Waktu paruh singkat, seperti Triazolam (sekitar 4 jam). Gejala rebound lebih berat pada pagi
harinya dan dapat sampai menjadi panik.
- Waktu paruh sedang, seperti Estazolam gejala rebound lebih ringan.
- Waktu paruh panjang, seperti Nitrazepam menimbulkan gejala “hang over” pada pagi
harinya dan juga “intensifying daytime sleepiness”.
Penggunaan lama obat anti-insomnia golongan benzodiazepine dapat terjadi “disinhibiting
effect” yang menyebabkan “rage reaction”.

Interaksi obat
- Obat anti-insomnia + CNS Depressants (alkohol dll) menimbulkan potensiasi efek supresi
SSP yang dapat menyebabkan “oversedation and respiratory failure”.
- Obat golongan benzodiazepine tidak menginduksi hepatic microsomal enzyme atau “produce
protein binding displacement” sehingga jarang menimbulkan interaksi obat atau dengan
kondisi medik tertentu.
- Overdosis jarang menimbulkan kematian, tetapi bila disertai alkohol atau “CNS Depressant”
lain, resiko kematian akan meningkat.

Perhatian Khusus
- Kontraindikasi :
o Sleep apneu syndrome
o Congestive Heart Failure
o Chronic Respiratory Disease
- Penggunaan Benzodiazepine pada wanita hamil mempunyai risiko menimbulkan
“teratogenic effect” (e.g.cleft-palate abnormalities) khususnya pada trimester pertama. Juga
benzodiazepine dieksresikan melalui ASI, berefek pada bayi (penekanan fungsi SSP)1,3,7.

2.9 KOMPLIKASI

Tidur sama pentingnya dengan makanan yang sehat dan olahraga yang teratur. Insomnia
dapat mengganggu kesehatan mental dan fisik.

19
Komplikasi insomnia meliputi :
• Gangguan dalam pekerjaan atau di sekolah.
• Saat berkendara, reaksi reflex akan lebih lambat. Sehingga meningkatkan reaksi
kecelakaan.
• Kelebihan berat badan atau kegemukan
• Daya tahan tubuh yang rendah
• Meningkatkan resiko dan keparahan penyakit jangka panjang, contohnya tekanan darah
yang tinggi, sakit jantung, dan diabetes.

2.10 PROGNOSIS

Prognosis umumnya baik dengan terapi yang adekuat dan juga terapi pada gangguan
lain seperti depresi. Lebih buruk jika gangguan ini disertai skizophrenia.

20
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Insomnia merupakan kesulitan untuk masuk tidur, kesulitan dalam mempertahankan


tidur, atau tidak cukup tidur. Insomnia merupakan gangguan fisiologis yang cukup
serius, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat mempengaruhi kinerja dan
kehidupan sehari-hari. Insomnia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti stres,
kecemasan berlebihan, pengaruh makanan dan obat-obatan, perubahan lingkungan,
dan kondisi medis. Insomnia didiagnosis dengan melakukan penilaian terhadap pola
tidur penderita, pemakaian obat-obatan, alkohol, atau obat terlarang, tingkatan stres
psikis, riwayat medis, aktivitas fisik, dan kebutuhan tidur secara individual.
Mengingat prevalensi insomnia pada populasi usia lanjut dan ketersediaan
pengobatan yang tepat, maka sangat penting untuk menapis individu usia lanjut yang
memiliki gangguan tidur. Pasien harus diberi pengetahuan tentang perubahan
normal terkait siklus tidur, dan memberikan pengertian masalah tidur bukan
merupakan bagian dari penuaan normal. Insomnia merupakan bentuk gangguan tidur
yang paling sering terjadi dan banyak menimbulkan dampak negatif. Hal ini
berhubungan langsung dengan efek residu dari insomnia yang dapat menyebabkan
rasa lelah, iritabilitas, dan menurunkan performa aktivitas. kronis. Karena penyebab
insomnia banyak dan multifaktorial, maka multi-component CBT-I dapat merupakan
pilihan bagi pasien dengan insomnia kronis. Obat-obat hipnotik-sedatif baru
berperan secara agresif terhadap insomnia akut. Beberapa farmakoterapi lain
memiliki efek yang baik terhadap insomnia kronis. Namun CBT-I tampaknya
merupakan pilihan terbaik setelah pengobatan dihentikan. Kombinasi CBT-I dan
hipnotik dapat diberikan dan membutuhkan lebih banyak data empiris. Pada
akhirnya, jika insomnia merupakan akibat dari kondisi medis atau psikiatris,
sebaiknya tetap dilakukan penatalaksanaan pada insomnia.

3.2. Saran

Karena kurangnya data mengenai epidemiologi insomnia di Indonesia, maka


diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran insomnia di Indonesia.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010. Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed: Wiguna, I
Made. Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
2. American Academy of Sleep Medicine. ICSD2 - International Classification of Sleep
Disorders. American Academy of Sleep Medicine Diagnostic and Coding Manual .
Diagnostik dan Coding Manual. 2nd. 2. Westchester, Ill: American Academy of Sleep
Medicine; 2005:1-32.
3. Zeidler, M.R. 2011. Insomnia. Editor: Selim R Benbadis.
4. Tomb, David A. 2004. Buku Saku Psikiatri Ed 6. Jakarta: EGC
5. Insomnia.(mayoclinic.com/health/insomnia/DS00187/DSECTION=alternative-
medicine Diakses tanggal 28 April 2013)
6. Maslim, Rusdi. 2001. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
7. Maslim, Rusdi. 2001. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
8. Gelder, Michael G, etc. 2003. New Oxford Textbook of Psychiatry. London: Oxford
University Press
9. Hazzard, William R, et. Al. Principle of geriatric medicine and gerontology. Second
edition. McGrow Hill Inc. USA, 1990.
10. Daniel J. 2008. Chronic insomnia. Am J Psychiatry June 2008 165: 678 - 685
11. Liya S. 2013. Penanganan Insomnia. E-journal Medika Udayana Vol 2 No. 5

22

Anda mungkin juga menyukai