Anda di halaman 1dari 24

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN


DAN PERILAKU MASYARAKAT SEKITAR SUMATRA SELATAN

Tugas 1 Sosiologi Lingkungan


Program Pascasarjana Pengelolaan Lingkungan Universitas Sriwijaya

Abstrak: Mencegah terjadinya kebakaran ekosistem hutan gambut merupakan prioritas


utama dalam menyelesaikan permasalahan hutan dan merupakan langkah awal untuk
menuju pembangunan berkelanjutan dengan basis ekonomi di dalam suatu pedesaan. Setiap
tahun masyarakat merasakan dampak negatif dari kebakaran hutan gambut khususnya di
wilayah Sumatra dan Kalimantan. Kebakaran hutan terjadi dengan luas wilayah sebesar 2,6
juta hektar dan 60 juta orang1 telah menghirup asap yang berasal dari kebakaran hutan
tersebut. Selain penyakit infeksi pernafasan akut yang diderita oleh masyarakat sekitar,
kabut asap telah menyebabkan kematian beberapa warga sekitar hutan gambut. Fakta
tersebut memberikan perspektif dampak yang sangat negatif bagi masyarakat serta
mengubah perilaku masyarakat. Kebakaran hutan ini terjadi akibat perilaku manusia
khususnya pengusaha besar yang bergelut dibidang palm and oil plantation. Untuk
mencegah dan menghentikan kebakaran hutan gambut maka diperlukan beberapa langkah
dan strategi untuk mengubah perilaku manusia menjadi lebih ramah lingkungan dan
berwawasan lingkungan.

Kata Kunci: kebakaran hutan, pencegahan kebakaran, lahan gambut, OKI, perilaku

I. PENDAHULUAN
Kebakaran hutan adalah salah satu permasalahan serius yang dihadapi oleh seluruh
masyarakat, pemimpin negara maupun seluruh warga negara Indonesia. Kebakaran hutan
juga menimbulkan banyak dampak negatif baik dari segi ekologi hingga ekonomi. Berikut ini
merupakan beberapa dampak yang sangat merugikan dari kebakaran hutan dan lahan gambut
yakni :

1. Hilangnya tempat tinggal atau habitat satwa liar


Hutan dan lahan gambut di Indonesia memiliki keanekaragaman satwa liar yang hidup di
dalamnya. Berbagai jenis hutan di Indonesia salah satunya adalah Hutan Taman Nasional
yang berfungsi sebagai habitat asli satwa langka yang dilindungi seperti harimau Sumatra,
Owa – owa, Bekantan dan Beruang madu. Kebakaran hutan memberikan dampak langsung
kepada satwa – satwa tersebut sehingga statusnya kini terancam punah. Hutan yang terbakar
tidak dapat langsung dipulihkan dikarenakan membutuhkan proses yang sangat lama untuk
mendapatkan ekosistem beserta keanekaragaman hayati yang terdapat didalam hutan.

1
Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia : 1, Hal.1

Halaman 1 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

2. Meningkatnya emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim


Lahan gambut atau hutan gambut merupakan tempat penyimpan karbon yang sangat baik.
Semakin besar kedalaman lahan gambut maka semakin banyak jumlah karbon yang
tersimpan. Cadangan karbon berasal dan proses pengikatan gas CO2 dari atmosfer.
Penambatan karbon dari gas CO2 merupakan pengendalian perubahan iklim yang sangat
penting. Apabila hutan atau lahan gambut terbakar maka terjadi pelepasan karbon maka
terjadi pencemaran emisi udara yang dapat meningkatkan efek rumah kaca.

3. Mengganggu kesehatan manusia


Kebakaran hutan dan lahan gambut menyebabkan polusi udara yang berdampak langsung
terhadap masyarakat yang tinggal disekitar wilayah hutan baik dekat maupun jauh yakni
beberapa kilometer dari lokasi kebakaran. Asap yang ditimbulkan menimbulkan
meningkatnya jumlah korban ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan total masyarakat
yang terpapar partikel asap mencapai lebih dari 55.000 jiwa2 dan puluhan sekolah terpaksa
diliburkan.

4. Merugikan negara secara ekomoni


Akibat asap yang mengganggu di sekitar lokasi hutan, banyak aktivitas masyarakat yang
terpaksa berhenti mulai dari sekolah hingga berdagang. Oleh karena itu, hal tersebut
mengakibatkan kerugian dan imbas perputaran ekonomi yang buruk dalam suatu daerah.
Selain ekonomi, asap yang menjangkau wilayah negara tetangga juga berakibat buruk bagi
hubungan bilateral.

II. Kawasan Hutan di Sumatra Selatan


Provinsi Sumatra selatan sebelah utara berbatasan dengan provinsi Jambi. Sebelah
selatan berbatasan dengan Lampung, sebelah timur berbatasan dengan provinsi Bangka dan
sebelah barat berbatasan dengan provinsi Bengkulu. Kawasan hutan di provinsi Sumatra
Selatan yakni seluas 3.466.901 (tiga juta empat ratus enam puluh enam ribu sembilan ratus
satu) hektar3.

2
WWF Indonesia 2015
3
Gambit. APPGIS. 2017. Kehutanan Pulau Sumatra. https://appgis.blogspot.co.id/2017/05/peta-kawasan-
hutan-sumatera-selatan_3.html

Halaman 2 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Kawasan hutan di Sumatra Selatan dibagi berdasarkan fungsinya 4 sebagai berikut :


1. Kawasan Hutan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seluas ±
790.625 hektar
2. Kawasan Hutan Lindung (HL) seluas ± 577.327 hektar
3. Kawasan Hutan Produksi terbatas (HPT) seluas ± 208.724 hektar
4. Kawasan Hutan Tanaman Produksi (HTP) seluas ± 1.713.531 hektar
5. Kawasan Hutan yang dapat dikonversi (HPK) seluas ± 176.694 hektar
Berikut gambar peta provinsi Sumatra Selatan dibawah ini :

Sumber:https://appgis.blogspot.co.id/2017/05/peta-kawasan-hutan-sumatera selatan.html
Sebagian besar mata pencaharian masyarakat Palembang dan sekitarnya adalah
bertani, sebagai petani karet dan berkebun. Area perkebunan di Sumatra Selatan meliputi
daerah Lahat dimana di dataran tinggi Lahat tersebut tanahnya sangat baik untuk ditanami
sayuran maupun buah – buahan. Sedangkan, tanah yang lebih rendah seperti daerah Muara
Enim, Ujanmas dan sekitarnya banyak ditanami pohon karet. Karet merupakan komoditas
utama bagi masyarakat dalam mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari -
hari.

4
APPGIS Blogspot. https://appgis.blogspot.co.id/2017/05/peta-kawasan-hutan-sumatera selatan.html

Halaman 3 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

III. LATAR BELAKANG


Masyarakat dan lingkungan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Perilaku
masyarakat mempengaruhi lingkungannya dan banyak perilaku manusia yang merugikan
lingkungan akibat krisis ekonomi, pemenuhan kebutuhan pokok, tekanan masyarakat dan
sebagainya. Kenyataan ini membuktikan perspektif teori antroposentrisme bahwa manusia
sebagai pusat dari alam masih sangat dominan [Pahrudin HM, MA].
Manusia tidak dapat hidup tanpa adanya daya dukung lingkungan. Namun,
lingkungan atau alam itu sendiri dapat melangsungkan kehidupan tanpa adanya manusia.
Oleh karena itu, ilmu sosiologi lingkungan perlu diterapkan agar perilaku manusia terjaga
sesuai etika sehingga dapat mewujudkan kelestarian lingkungan. Sosiologi lingkungan
mempelajari keterkaitan antara lingkungan dan perilaku sosial manusia. Kajian lingkungan
tidak dapat terlepas dari fenomena sosial – budaya sebuah masyarakat. Bahan kajian dalam
artikel ini yakni ekonomi, fisik, perspektif sosial dan budaya memiliki keterkaitan dan
problema yang harus diselesaikan.
Metode pembakaran telah menjadi alat pertanian bagi masyarakat. Proses pembakaran
saat membuka lahan baru dipercaya oleh masyarakat dapat menyuburkan tanah. Sementara
dampak daripada proses pembakaran tersebut merugikan banyak pihak. Berikut data luas
lahan yang terbakar menurut provinsi antara bulan Juni sampai Oktober 2015 :
Luas lahan terbakar menurut Provinsi, Juni - Oktober 20155
Provinsi Ribu hektar Persen
Sumatera Selatan 608 23
Kalimantan Tengah 429 16
Kalimantan Timur 388 15
Kalimantan Selatan 292 11
Papua 268 10
Kalimantan Barat 178 7
Riau 139 5
Jambi 123 5
Lainnya 186 7
Total 2611 99
Sumber : Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, (BPPT); Kementrian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan; Perhitungan Staff Bank Dunia

5
Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia : 1, Hal.1

Halaman 4 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

a. Riwayat Kebakaran Hutan dan Lahan


Ramon dan Wall (1998) dari proyek FFPCP menaksir luas kebakaran hutan dan lahan
tahun 1997 / 1998 di Sumatra Selatan adalah sebagai berikut 6 :
1). Laporan resmi [Djoko Setijono, 2004] : 2). Prediksi FFPCP [Djoko Setijono, 2004] :
a). Kawasan hutan : 34,299 ha a). Kawasan hutan : 697,500 ha
b). Non kawasan hutan : 19,318 ha b). Non kawasan hutan : 1,508,900 ha
Kebakaran di lahan Sumatra Selatan sebagian besar diakibatkan oleh kegiatan manusia
dibandingkan faktor alam. Selain disebabkan oleh aktivitas industri, aktivitas Sonor dan
Nglebung di lahan rawa / gambut yang menggunakan api juga menjadi salah satu aktivitas
yang tidak ramah lingkungan7.

Tabel 2. Riwayat Perpindahan Penduduk dan Kebakaran Hutan Sumatra Selatan 8


Tahun Riwayat Perpindahan Penduduk dan Kebakaran Hutan
Masyarakat lokal pertama kali menempati 4 kampung di sepanjang
sungai Air Sugihan. Daerah ini masih terdapat hutan alam yang
1970 - 1980
mencapai 37% (Laumonier et al. 1983, 1985; Brady 1989, 1997). Pada
tahun 1978, kebakaran hutan mulai terjadi
Penduduk Mesuji yang berdatangan dari Sumatra Selatan, pertama kali
1980 - an
tinggal di lokasi sekitar sungai Air Sugihan
Sebagian besar wilayah di Mesuji merupakan bekas pembalakan kayu
1984
dan merupakan areal sonor yang sudah dilakukan sejak 1950-an
1986 Hutan alam berkurang menjadi 17% akibat kebakaran hutan
Penduduk kedatangan transmigran dari luar Sumatra, baik yang datang
1990
dari program pemerintah atau atas kehendak pribadi
Terjadi kebakaran hutan yang sangat besar sehingga menurunnya
1991
ketersediaan kayu dan menurunnya produksi kan
Hutan alam berkurang lagi menjadi 6% akibat kebakaran hutan.
1992
Luas area kebakaran mencapai 84%
Masyarakat melakukan sistem sonor untuk membuka lahan pertanian.
1994 Masyarakat Mesuji juga mulai membuat arang dengan bahan baku
kayu gelam. Migrasi tenaga kerja ke daerah lain.
Mulai dari tahun 1984 hingga 1996, sebagian masyarakat masih
melakukan pembalakan kayu sekitar 2 km dari arah sungai. Pemegang
1996
HPH melakukan pembalakan di daerah selatan dan diikuti dengan
pembangunan perkebunan HTI
Kebakaran hutan di OKI, Kecamatan Air Sugihan, Kecamatan
1997 - 1998 Tulung Selapan, Kecamatan Pampangan. Hutan alam hilang sama
sekali akibat kebakaran hutan

6
Djoko Setijono, 2004
7
Djoko Setijono, 2004
8
Unna Chokkalingam, 2004 dan WALHI 2015, 2016

Halaman 5 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Kebakaran hutan terjadi hingga diperoleh hasil perhitungan hutan


2001 primer 0%, hutan sekunder 81,1%. Permudaan 10.7%, padang rumput
2,7%, air 0,7%, pertanian / hutan tanaman 4,8%, awan 0%
Kebakaran hutan di OKI. Kebakaran ini ditinjau langsung oleh
2015 presiden Jokowi pada tanggal 6 September 2015. Kebakaran juga
terjadi di Riau, Jambi
Kebakaran hutan di kecamatan Indralaya Utara atau jalur TOL
2016
Palindra
Sumber : Data Unna Chokkalingam,2004 dan WALHI 2015, 2016

b. Kerugian Ekonomi dari Kebakaran Hutan


Menurut data pemerintah, kebakaran hutan yang terjadi seluas 2,6 juta hektar antara
bulan Juni sampai Oktober 2015 setara dengan ukuran empat setengah kali lipat luas pulau
Bali. Kerugian akibat kebaran hutan pada tahun 2015, negara Indonesia mencapai 221 triliun
rupiah9. Biaya pemadaman api yang dikeluarkan oleh pemerintah mencapai 55 milliar USD 10.
Penelitian dari sebelas situs di luar perkebunan yang dikonsesikan di empat kabupaten
diRiau. CIFOR menyimpulkan bahwa pembakaran hutan untuk pembebasan dan pembukaan
lahan menghasilkan arus kas sebesar 3077 dolar AS per hektar kelapa sawit hanya dalam
waktu 3 tahun11. Jika setiap hektar lahan yang terbakar pada tahun 2015 diubah menjadi
perkebunan kelapa sawit, nilainya mencapai sekitar 8 miliar dolar AS 12. Hal ini menunjukan
perolehan laba dalam waktu singkat serta menunjukan sifat atau karakter manusia yang
cenderung mengambil keuntungan sebesar – besarnya tanpa usaha yang berarti.
Jumlah lahan basah (rawa dan gambut) yang terbakar pada tahun 1997 dan 1998
mencapai 1,5 juta hektar dan menyumbang 60% asap serta 76% emisi CO 2 13. Namun,
kebakaran lahan basah dan deforestasi belum begitu jelas pengaruhnya terhadp kehidupan
masyarakat.
Menurut perkiraan, kebakaran dan kabut asap telah mengakibatkan kerusakan dan
kerugian yang nilainya berkisar antara 11,8 triliun rupiah di Jambi dan 53,7 triliun rupiah di
Sumatra Selatan14. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat besar dibanding tahun – tahun
sebelumnya. Dampak sepenuhnya dari kebakaran dan kabut asap sistemik Indonesia terhadap
flora dan fauna tidak diketahui. Kebakaran menghancurkan keberagaman genetika alamiah,

9
Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia : 1, Hal.2
10
WALHI, 2016. Climate Justice
11
Center For International Forestry (CIFOR), P.O. BOX 6596 JKPWB, Jakarta 10065
12
Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indoensia : 1, Hal.3
13
Laporan SSFFMP Pengelolaan Api, Perubahan Suberdaya Alam dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan
Masyarakat di Areal Rawa/Gambut – Sumatra Selatan oleh Prof. Dr. Ir. Robiyanto H. Susanto M.Agr.Sc dan tim
14
Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indoensia : 1, Hal.4

Halaman 6 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

yang membantu spesies beradaptasi agar tahan terhadap parasit dan penyakit menular.
Biomassa yang terbakar menghasilkan cikal bakal (precursor) dari ozon (O3) di tingkat dasar
(troposfer), yang berdampak terhadap pertumbuhan tanaman dan fotosintesis serta
menyebabkan efek jangka panjang pada struktur dan fungsi ekosistem.
Ozon telah terbukti mengurangi hasil tanaman pangan utama dan mempengaruhi
kualitas gizi dari gandum, beras dan kedelai. Ozon dapat pula mengurangi kapasitas lahan
untuk dapat bertindak sebagai penyerap karbon. Material partikulat dalam kabut asap juga
telah terbukti mengurangi curah hujan lokal, yang pada gilirannya, dapat berdampak pada
tanaman yang baru ditanam.
Paparan berkepanjangan terhadap kabut asap juga dapat menyebabkan “efek gunung
berapi”, yaitu penurunan produktivitas tanaman dalam jangka pendek akibat paparan sinar
matahari yang terbatas dan efek merusak pada fisiologi tanaman dan proses fotosintesis.
Dalam jangka panjang, hal tersebut dapat menyebabkan melemahnya kemampuan spesies
tanaman secara keseluruhan untuk pulih dari guncangan akibat paparan kumulatif terhadap
tekanan. Dalam kasus yang ekstrim, paparan kabut asap dapat mempengaruhi kemampuan
suatu spesies untuk bertahan hidup. Kebakaran dan kabut asap juga berpengaruh negatif
terhadap para penyerbuk, yang pada gilirannya mempengaruhi produksi pertanian. Paparan
kabut asap yang kronis menciptakan tekanan berkelanjutan terhadap lingkungan, yang
dampaknya terhadap produktivitas dan evolusi belum diketahui.

Berikut gambar – gambar kebakaran hutan dibawah ini :


Gambar 1. Lahan Bekas Kebakaran Hutan

Sumber : WWF Indonesia 2015. http://earthhour.wwf.or.id/4-dampak-yang-sangat-


merugikan-dari-kebakaran-hutan/

Halaman 7 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Gambar 2. Dampak Kebakaran Hutan

Sumber : Kompas 2016. Ilustrasi: asap mengepul dari kebakaran hutan yang berbatasan dengan
kawasan konsesi di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, Selasa (15/3/2016).(TRIBUN PEKANBARU /

MELVINAS PRIANANDA)

c. Kajian Teoritis Sosiologi Lingkungan


Permasalahan lingkungan hidup dewasa ini telah menjadi perhatian seorang sosiolog
Amerika yang bernama Schanaiberg15. Dalam analisanya terhadap lingkungan yang
menitikberatkan pada hubungan manusia dengan alam sebagai tempat keberlangsungan
hidup. Sejalan dengan itu maka lahirlah sistem kapitalis dalam sistem masyarakat.
Kapitalisme yang berkembang dijadikan sebagai pedoman hidup dalam keberlangsungan
manusia. Modernisasi dan pertumbuhan ekonomi menjadikan manusia sebagai peran sentral.
Hal ini merupakan cikal bakal teori antroposentrisme16.
Ekspansi ekonomi yang dilakukan demi memenuhi kepentingan pribadi atau tujuan
manusia seperti yang dilakukan oleh pengusaha HTI maupun “big industry” diatas
memberikan dampak negatif terhadap alam dan lingkungan sekitar. Dalam hal ini, praktek
tersebut berimbas pada degradasi lahan, deforestasi, banjir dan perubahan iklim. Hal ini
merupakan bukti teori antroposentrisme masih ada sampai sekarang. Karakter manusia yang
kecenderungannya meraih keuntungan ekonomi sebesar – besarnya membuat tindakan yang
bersifat antroposentrisme tersebut sulit untuk dikendalikan.

15
Loren Lutzenhiser. Environment Sociology. Washington State University
16
Sonny Keraf, 2010 : Etika Lingkungan Hidup, Hal.47

Halaman 8 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Pandangan antroposentrisme mendapat perlawanan dari teori biosentrisme dan


ekosentrisme [Rachmad K, Dwi Susilo, 2014 hal : 99] yang menekankan adanya penghargaan
setiap makhluk baik organisme maupun anorganisme yang hidup di alam semesta. Manusia
dan hewan saling memiliki sifat saling membutuhkan terhadap alam semesta bahkan benda
mati (abiotik) memiliki nilainya tersendiri.
Selain teori ekosentrisme dan biosentrisme terdapat teori deep ecology [Sonny Keraf,
2010]. Teori tersebut memberikan pandangan bahwa seharusnya tercipta keharmonisan
dengan alam yang berkaitan dengan segala aktivitas manusia baik sosial, ekonomi, politik,
maupun budaya. Berbagai pendekatan deep ecology17 yang ditawarkan terhadap
kesejahteraan manusia yaitu dapat melalui pemanfaatan alam menggunakan tekhnologi yang
sesuai, menggunakan sistem daur ulang, berlandaskan tujuan non material. Seluruh praktek
18
deep ecology ini bertujuan untuk menciptakan hubungan harmonis antara manusia dengan
alam.

III. Kehidupan dan Perilaku Masyarakat Kaitannya dengan Pembakaran


Hutan
1. Analisa Penyebab Tindakan Pembakaran Hutan dan Lahan
Salah satu alasan mengapa manusia atau pelaku usaha “big industry”19lebih memilih
lahan gambut sebagai target pembukaan lahan baru adalah lahan – lahan tersebut tidak
berpenghuni dan bebas dari klaim masyarakat yang harus mengganti rugi nilai tanah yang
diperjualbelikan.
Berdasarkan hal tersebut, perusahaan tidak ingin mempersulit atau meminimasi
konflik dengan masyarakat sekitar terkait kepemilikan lahan. Jika perusahaan mengalami
konflik dengan masyarakat sekitar maka penyelesaian akan lebih sulit dan tidak akan ada
akhirnya. Perusahaan besar dengan modal besar melakukan pembuatan kanal – kanal di
sekitar lahan gambut [Multimedia Walhi, 2016]. Kemudian air yang terkandung di dalam
tanah atau lahan gambut tersebut mengalir ke dalam kanal sehingga lahan gambut menjadi
kering dan mudah terbakar. Kebakaran ini banyak dilakukan dengan sengaja oleh pengusaha
untuk membuka lahan baru yang digunakan untuk perkebunan terutama di sektor perkebunan
kelapa sawit.

17
Sonny Keraf, 2010 : Etika Lingkungan Hidup, Hal.93
18
Rahmad K, 2014 : Sosiologi Lingkungan, Hal.105
19
Walhi video. www.youtube.com

Halaman 9 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Selain maraknya pembakaran lahan oleh perusahaan besar, masyarakat juga memiliki
tradisi bakar lahan atau sonor untuk membuka lahan pertanian atau perkebunan karet.
Pembakaran lahan ini bertujuan agar kondisi tanah sebelum ditanami lebih subur dan biaya
yang dikeluarkan lebih murah. Hal ini disebabkan oleh pendapatan masyarakat yang rendah
sehingga masyarakat tidak memiliki pilihan lain selain membakar lahan.

Kronologi secara umum pembukaan lahan pertanian dengan metode pembakaran20 adalah :
1. Petani mengadakan pendekatan atau pemberitahuan ke pemilik tanah atau kebun yang
berbatasan dengan tanahnya atau yang kemungkinan terkena dampak pembakaran
2. Petani melaksanakan nebas atau nebang untuk membersihkan lahan dari pohon –
pohon serta semak belukar hingga tanah tersebut menjadi lebih kering
3. Setelah lahan menjadi kering maka petani menggunakan sonor untuk membakar sisa –
sisa batang pohon yang sudah pendek. Metode pembakaran ini sudah menjadi
kebiasaan turun temurun yang sulit dihilangkan
Efek pembakaran lahan tersebut tidak diketahui oleh sebagian besar petani atau masyarakat
sehingga tidak ada usaha pengawasan api dari masyarakat untuk mengendalikannya.

2.Perilaku dan Adaptasi Masyarakat Sekitar di Air Sugihan dan Mesugih


Berdasarkan luas hutan yang berubah fungsi menjadi lahan gambut di provinsi
Sumatra Selatan dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi masyrakat dalam melestarikan
hutan cukup rendah. Kecenderungan utama penyebab rendahnya partisipasi masyararakat
dalam pelestarian hutan yaitu :
(1)pengambilan keputusan dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan bersama
masyarakat didominasi oleh Perum Perhutani,
(2)menanam pohon adalah investasi usaha jangka panjang,
(3)kegiatan pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat belum dapat menjamin
pemenuhan kebutuhan masyarakat.
Kehidupan masyarakat di Air Sugihan di sektor perikanan sebagai matas pencaharian
yang utama. Pada tahun 1970 hingga 1990, terjadi konsesi lahan oleh perusahaan sehingga
masyarakat merubah mata pencaharian menjadi pembalakan kayu. Namun, akibat kebakaran

20
Unna Chokkalingam. Pengelolaan Api, Perubahan Suberdaya Alam dan Pengaruhnya terhadap Kehidupan
Masyarakat di Areal Rawa/Gambut – Sumatra Selatan oleh Prof. Dr. Ir. Robiyanto H. Susanto M.Agr.Sc dan tim.
Hal.40

Halaman 10 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

hutan pada tahun 1991, pembalakan kayu sebagai sumber mata pencaharian masyarakat juga
menurun seiring dengan menurunnya ketersediaan kayu.
Kemudian berganti mata pencaharian menjadi ekstraksi gelam pada awal tahun 1990
– an tetapi nilai jual kayu gelam cukup rendah sehingga tidak menjadi sumber mata
pencaharian masyarakat yang utama. Akibat sumber daya alam yang sudah tidak ada lagi
nilainya maka masyarakat mulai bekerja sebagai tenaga kerja musiman untuk melakukan
kerja tambang di daerah Bangka dan pembalakan kayu di daerah Jambi dan Riau.
Demikian sama halnya dengan masyarakat Mesuji yang berganti mata pencaharian
seiring dengan perubahan sumber daya alam21. Awalnya mereka memiliki mata pencaharian
di sektor perikanan. Kemudian berubah menjadi pembalakan kayu dan akibat kebakaran
hutan tahun 1991, mata pencaharian mereka berubah menjadi ekstraksi kayu gelam.
Dikarenakan peminat kayu gelam cukup rendah maka pada tahun 1994, masyarakat Mesuji
membuat arang dari kayu gelam. Selain itu, terjadinya migrasi tenaga kerja ke daerah lain
sebagai sumber penghidupan [Unna Chokkalingam, 2004].
Masyarakat secara cepat dapat beradaptasi terhadap perubahan sumberdaya alam
dengan bekerja di luar daerah atau daerah tambang, bekerja keluar lokasi pembalakan kayu
dan membuat boat22.

3. Kriteria Perubahan Perilaku dan Mata Pencaharian Masyarakat OKI


a. Kehidupan Masyarakat Sekitar dan Adaptasinya

Dalam pemilihan desa prioritas dilaksanakan proyek SSFFMP pada tgl 24 September

s/d 7 Oktober 2003, melakukan kegiatan Pra Survei Sosial Ekonomi yang dilakukan pada
masing-masing 10 desa pada 3 Kabupaten prioritas yakni Kab. Musi Banyuasin (Muba), Kab
Banyuasin dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).

Pelaksana survei adalah gabungan antara beberapa lembaga swadaya masyarakat dan
staf proyek. Djoko Setijono mengikuti beberapa kegiatan survey pada Kabupaten OKI
bersama tiga rekan dari LSM yaitu Yayasan Damar, Kelompok Pengamat Burung – Spirit
Youth of Sumatra (KPB – SOS).
Desa-desa yang disurvei adalah Kecamatan Tulung Selapan meliputi Desa Simpang
Tiga, Desa Lebung Gajah dan Desa Ujung Tanjung; Kecamatan Pampangan meliputi Desa
Riding, Desa Perigi, Desa Kuro dan Desa Ulak Tanjung; Kecamatan Indralaya meliputi Desa

21
Unna Chokkalingam. 2004.Hal.43
22
Unna Chokkalingam. 2004.Hal.45

Halaman 11 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Tanjung Lubuk dan Desa Sungai Rambutan dan Kecamatan Air Sugihan pada Desa Bukit
Batu.
Metodologi yang digunakan dalam kegiatan survei adalah melaksanakan
pengumpulan data-data sekunder dan interview terhadap responden dari berbagai kelompok
masyarakat desa, mengadakan diskusi kelompok dengan menggunakan alat bantu kartu-kartu
metaplan dan membuat sketsa secara bersama. Berdasarkan diskusi tersebut diperoleh data
sosial ekonomi desa dan identifikasi potensi, permasalahan desa setempat.

b. Kehidupan Masyarakat Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI)


Mata pencaharian masyarakat Kabupaten OKI yang utama adalah bertani dan
berkebun secara tradisional. Sebagian masyarakat lainnya hidup di “laut”23 dalam artian
masyarakat yang hidup disekitar sungai atau lahan gambut. Lahan perkebunan di dominasi
dengan karet dan buah – buahan. Sedangkan masyarakat yang hidup di “laut”, pada musim
kemarau bertani menggunakan sistem sonor.
Akibat dari kebakaran hutan pada tahun 1997 dan 1998, sumberdaya hutan menjadi
habis. Beberapa kepala keluarga yang menggantungkan hidup nya dari hasil kayu berpindah
mata pencaharian menjadi pencari ikan atau berladang. Sebagian lainnya berimigrasi mencari
penghidupan diluar daerah seperti Jambi, Riau, pulau Bangka untuk bekerja di tambang timah
dan Kalimantan untuk berkayu sesuai keahlian yang dimiliki.
Kehidupan masyarakat “laut” cenderung stagnan dan tidak berkembang seiring
dengan habisnya sumber daya alam hutan. Hal ini juga diikuti dengan menurunnya potensi
ikan yang dieksploitasi melebihi daya dukungnya. Sedangkan kecenderungan masyarakat di
daerah lahan darat dengan dukungan tanaman seperti karet, kopi dan buah – buahan relatif
stabil dan berkembang [Djoko Setijono, 2004]. Matrix hasil rangkuman hasil diskusi
kelompok disajikan dalam Tabel 1.
Dalam pelaksanaan survey sosial dan ekonomi di kabupaten OKI terdapat kearifan
budaya yang membuka kebun karet di lahan darat menggunakan sistem pembakaran
terkendali24. Kronologi secara umum pembukaan lahan dan peremajaan kebun karet adalah
sebagai berikut :
1. Sebagai persiapan, petani memberitahukan kepala desa dan para pemiliki lahan
yang berbatasan.

23
Djoko Setijono, 2004.Hal.49
24
Djoko Setijono, 2004.Hal.50

Halaman 12 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

2. Petani melaksanakan “nebang” atau “nebas” atau pembersihan lahan dengan


menebang pohon – pohon atau semak belukar hingga kering benar.
3. ìNgekasíí atau membuat ìkekasanî atau ilaran api (sekat bakar) di sekeliling
lahan yang akan dibuka/dibakar dengan lebar yang cukup dan aman, dengan lebar
minimal 2 meter.
4. Setelah penebangan dan sisa pohon yang kering dimulai ìnunuíí atau membakar
dan menjaga selama pembakaran agar api tidak merembet keluar tidak terkendali,
dilanjutkan dengan ìmundukíí atau membakar sisa-sisa potongan kayu yang
belum terbakar.
5. Setelah pembakaran selesai, selanjutnya peladang membuat pagar di sekeliling
ladangnya guna menjaga dari gangguan hama babi dan mendirikan gubuk atau
pondok guna pengerjaan ladang selanjutnya.
6. Pada acara ìnugalî yakni membuat lubang tanaman dan menaburkan benih padi
atau tanaman palawija lainnya. Kegiatan nugal biasanya tanpa imbalan upah tetapi
hanya dengan menjamu makan siang sesuai kemampuan.
Berikut matriks desa dan potensinya dibawah ini :
Tabel 1. Matriks Desa dan Potensinya

Sumber : Djoko Setijono, 2004

Halaman 13 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Berikut matriks desa dan permasalahannya sebagai berikut :

Tabel 2. Matriks Desa dan Permasalahannya

Sumber : Djoko Setijono, 2004

Berdasarkan pengamatan Djoko Setijono, tradisi praktek pembukaan dan peremajaan


kebun dengan sistim pembakaran yang terkendali terjadi pada desa-desa yang relatif telah
berkembang, yakni di daerah darat (bukan rawa) dengan tata kepemilikan lahan yang jelas.
Hal ini disebabkan apabila seseorang melakukan pembakaran lahan secara tidak hati-hati dan
mengakibatkan kebun/lahan orang lain terbakar. Maka konsekuensinya si pembakar akan
digugat oleh pemilik kebun ke pemerintah desa dan secara musyawarah adat dikenakan ganti
rugi yang disepakati.
Sejauh ini seluruh kasus-kasus yang terkait dengan kebakaran kebun dan ladang dapat
diselesaikan secara adat dengan mediasi kepala desa beserta perangkatnya dan belum ada
kasus yang sampai ke tangan polisi dan pengadilan.

Halaman 14 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

c. Budaya Pembakaran Lahan Gambut untuk Sawah Sonor (OKI)


Setiap musim kemarau panjang, lahan rawa gambut menjadi kering dan subur untuk
menjadi lahan sawah yang siap tanam tanpa memerlukan penggarapan lebih lanjut.
Selanjutnya, penanaman benih padi dilakukan dengan cara ditugal. Para petani sonor lebih
suka menanam padi dengan cara ditugal agar tanaman padi mempunyai perakaran yang lebih
dalam sehingga pada saat air rawa meninggi tanaman padi tidak mudah tercabut, sehingga
padi dapat tetap tumbuh dan panen tetap dapat dilaksanakan walau air rawa cukup tinggi.
Untuk mengeringkan air rawa lebih cepat pada musim kemarau, para petani sonor
sering membuat kanal/parit-parit drainase yang dilakukan secara individu maupun gotong
royong. Kegiatan pembukaan semacam ini dilaksanakan masyarakat Desa Simpang Tiga,
Kecamatan Tulung Selapan. Ukuran kanal sepanjang 3 Km memotong daerah rawa di
pinggiran desanya menembus / bermuara ke sungai terdekat (Sungai Lumpur).
Setelah air rawa kering dan sebelum ditaburi benih padi, lahan atau tanah dibakar
menggunakan sonor. Pembakaran lahan yang cukup luas inilah yang menyebabkan kebakaran
hutan atau lahan yang mengganggu kehidupan masyarakat lainnya. Contoh kasus-kasus
kebun di darat yang terbakar akibat menjalarnya api dari lebak (sonor) atau api dari nglebung
(mencari ikan) yakni kejadian di desa Ujung Tanjung, Kec Tulung Selapan.,di tahun 2002.
Api yang merembet membakar kebun Karet milik Suleman: 1,5 ha, Sakoni: 2 ha, Amin: 3 ha,
Temayun: 1 ha, Diter: 0,5 ha, Mat Lebung 1.200 batang, Mat Sali: 2.500 batang [Djoko
Setijono, 2004]. Kebakaran lahan ini sulit dikendalikan dan masyarakat tidak menyadari
dampak yang merugikan bagi lingkungan. Penyebaran api tersebut cukup cepat sampai
bertemu dengan batas sekam.

d. Budaya Pembakaran Lahan Gambut untuk Mencari Ikan (OKI)


Mata pencaharian yang dominan pada masyarakat desa Ilauti adalah mencari ikan di
sungai dan rawa-rawa yang tersebar sangat luas dan kaya akan ikan. Daerah tempat tinggal
masyarakat Ilauti di pinggir sungai sebagian besar adalah rawa gambut yang kaya dengan
ikan. Namun, berdasarkan hasil wawancara Djoko Setijono dan seorang nelayan diperoleh
data pendapatan nelayan sehari dengan hasil tangkapan 20 kg ikan memberikan pendapatan
sebesar Rp. 400.000,- / bulan. Besar pendapatan ini tidak cukup layak untuk hidup.
Setiap rumah penduduk dilengkapi dengan keramba ikan yang berfungsi sebagai
tempat penampungan sementara menunggu pedagang yang datang dengan perahu. Beberapa
tahun terakhir kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan setrum memakai baterai/
accu mobil / motor meningkat. Masyarakat pada umumnya mengeluhkan harga ikan yang
Halaman 15 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

rendah karena sistem monopoli melalui sistem lelang lebak lebung. Di sini, harga yang
diterima nelayan sangat rendah.
Pada musim kemarau, air sungai sangat surut sehingga sungai dan kanal-kanal
menjadi dangkal. Ikan sulit diperoleh karena air yang dangkal dan untuk mengatasi hal
tersebut masyarakat mencari ikan dengan cara membakar semak atau rerumputan rawa
kering untuk menemukan cekungan-cekungan lebak atau rawa yang masih ada air, tempat
ikan banyak terjebak. Metode pembakaran semak atau rumput rawa ini merugikan
lingkungan dan membawa dampak negatif jika tidak terkendali.

4. Perspektif Masyarakat Lokal Terhadap Masalah Kebakaran Berkaitan


Dengan Kehidupan Masyarakat Di Areal Rawa / Gambut (Di Air
Sugihan Sumatra Selatan)
Masyarakat lokal di Sungai Sugihan biasanya menggunakan api hanya untuk beberapa
kegiatan saja. Penggunaan api untuk mencari ikan di rawa – rawa lebak. Ikan merupakan
sumber mata pencaharian yang utama. Sedangkan untuk mencari kayu gelam, masyarakat
membakar semak untuk membuka jalan menuju lokasi gelam.
Pada setiap kemarau panjang, di lokasi Air Sugihan selalu terjadi kebakaran yang
disebabkan karena kegiatan sengaja atau tidak sengaja. Namun, bagi masyarakat setempat
kebakaran lahan ini bukan masalah karena hasil padi yang diperoleh sangat besar sehingga
cukup untuk kebutuhan pangan beberapa tahun. Dampak yang dirasakan bagi masyarakat
tidak ada, hanya sedikit gangguan pernafasan dan gangguan kesehatan saja sehingga belum
ada usaha – usaha yang dilakukan masyarakat untuk mengendalikan kebakaran di lahan
gambut Air Sugihan. Hal ini dikarenakan, sumber penghidupan masyarakat sangat
bergantung pada hasil padi atau sumber daya alam pertanian [Baharuddin, 2004].

5. Perspektif LSM Terhadap Masalah Kebakaran Berkaitan Dengan


Kehidupan Masyarakat Di Areal Rawa / Gambut
Pola pikir masyarakat sampai saat ini, masih memandang rawa gambut sebagai
penyedia kebutuhan ekonomi mereka. Pada kegiatan inilah, api mempunyai peran yang
penting sebagai sarana pembukaan lahan. Oleh sebab itu, pengelolaan atau perlindungan
lahan gambut tidak popular bagi masyarakat karena tidak memberikan manfaat yang berarti.

Halaman 16 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Komunitas LSM memberikan solusi untuk mencegah pembakaran lahan gambut


dengan melakukan proses penyadaran dan pendampingan tentang pentingnya lahan gambut
serta akibat pembakaran lahan gambut. Selain itu, diperlukan dukungan lain dari lembaga
atau support kepala desa sebagai pencegahan pembakaran lahan dan hutan [Ahmad Samodra,
2004].

IV. Upaya Yang Dilakukan Untuk Mencegah Kebakaran Hutan


Berdasarkan Undang – undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, peningkatan alih fungsi hutan merupakan resiko lingkungan
hidup. Kerusakan lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan atau lahan
adalah pengaruh perubahan pada lingkungan hidup yang berupa kerusakan dan / atau
pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan / atau lahan yang
diakibatkan oleh suatu usaha dan / atau kegiatan25. Adapun kegiatan oleh pelaku usaha
maupun masyarakat terkait pembakaran hutan dengan metode sonor merupakan pelanggaran
hukum. Berikut disajikan tabel analisa antara perilaku maysrakat dan Undang – undang
No.32 Tahun 2009 yakni :

No Regulasi /kebijakan Analisa


1 UU Nomor 32 Tahun 2009 Masyarakat dan pelaku usaha yang telah
-Pasal 15 ayat 2e melakukan pembakaran lahan baik berdasarkan
budaya setempat merupakan pelanggaran
-Pasal 21 ayat 3c
hukum. Karena terdapat alih fugsi lahan dan
-Pasal 108 proses pembakaran yang merusak lingkungan
2.a.Masyarakat di daerah Sumatra Selatan
belum mengenal pengelolaan dan pemanfaatan
2 UU Nomor 41 Tahun 1999 :
hutan secara terpadu yang diatur dalam UU
No.41 Tahun 1999.
b.Masyarakat dapat menggugat dipengadilan
-Pasal 71dan 72
terkait kerusakan hutan
-Pasal 76 c.Penyelesaian sengketa lahan
-Pasal 78
Sumber : UU No.32 Tahun 2009 dan UU No.41 Tahun 1999

Pengendalian kebakaran hutan yang disebabkan oleh perusahaan besar tidak dapat
ditempuh melalui jalan lain selain penegakan hukum sesuai Undang – undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan. Penegakan hukum yang dilakukan berupa sanksi pidana

25
Undang – undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup, Pasal 21
ayat 3

Halaman 17 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

hingga penutupan usaha26. Salah satu orang sebagai penggagas / penggerak kebakaran hutan
di Sumatra Selatan telah ditangkap dan dipenjara atas perbuatannya.

Berdasarkan pemaparan sejumlah langkah – langkah penyelesaian kebakaran hutan


oleh mentri lingkungan hidup Siti Nurbaya Bakar yakni penutupan kanal – kanal yang
menampung air dari lahan gambut atau hutan rawa gambut dan ditata ulang dengan canal
blocking dapat meminimisasi kebakaran hutan dan lahan. Selain metode ini, peran
masyarakat dituntut agar lebih aktif dalam berpartisipasi menjaga kelestarian hutan. Jika ada
seseorang yang sengaja membakar hutan atau mengalihkan fungsi hutan maka masyarakat
harus melapor agar kebakaran hutan dapat dicegah.
Selain, metode canal blocking, kementrian KLHK telah mensosialisasikan
pengelolaan hutan tanpa bakar. penataan lahan gambut, sistem peringatan dini, serta
pemadaman dini (crisis center). Penutupan kanal dapat mencegah pengeringan air pada
lahan gambut sehingga air di lahan gambut tetap terjaga. Pengelolaan hutan tanpa bakar
diatur dalam Undang – undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan pasal 26 yang
mengatur bahwa setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/ atau mengolah
lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi
lingkungan hidup27.
Seorang penggerak petani lahan gambut, Sumarjito (53) berhasil mengembangkan
tanaman nanas dan jeruk di lahan dengan pH rendah atau tingkat keasaman tinggi. Dengan
metode yang dikembangkannya, menurutnya petani tidak perlu lagi membakar di atas
lahannya. Sumarjito pun dikenal sebagai salah seorang penggagas pengembangan sistem
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalteng dan
Koordinator Pencegahan dan Deteksi Dini Manggala Agni di Kuala Kapuas28. Hal ini
merupakan suatu terobosan dan bukti bahwa pengelolaan hutan tanpa bakar bisa dilakukan
walaupun membutuhkan waktu yang cukup lama.
Dalam rangka menanggulangi kondisi lahan gambut di Sumatra Selatan akibat
kebakaran hutan yang terjadi beberapa tahun terakhir ini, presiden Joko Widodo telah
menerbitkan Peraturan Presiden untuk restorasi lahan gambut yang diatur dalam Peraturan
Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Badan Restorasi Gambut. Penerbitan Perpres ini
mendorong pembentukan lembaga yang langsung bertanggung jawab kepada presiden.

26
Undang – undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
27
Undang – undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
28
Indra Nugraha. Mongabay Indonesia. http://www.mongabay.co.id/2016/09/01/sumarjito-pertanian-lahan-
tanpa-bakar-bisa-dilakukan-di-lahan-gambut

Halaman 18 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Lembaga tersebut wajib melakukan perencanaan dan pelaksanaan restorasi gambut dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun dengan luas lahan 2.000.000 hektar. Implementasi pelaksanaan
Perpres tersebut adalah keikutsertaan almarhum Prof. Dr. Ir. Robiyanto H Susanto, M.Agr.Sc
selaku ketua program studi S3 dari program pascasarjana Universitas Sriwijaya yang dikenal
sebagai pakar rawa yang menjadi salah satu anggota penanggulangan restorasi lahan gambut
Sumatra Selatan. Dalam hal ini, pemerintah sudah berupaya untuk menyelesaikan masalah
kebakaran pada ahlinya dan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk penyelesaian lebih
baik. Berikut bentuk upaya lainnya dalam penanggulangan kebakaran hutan untuk seluruh
area Sumatra Selatan (Jambi, Riau, Lampung dll) dibawah ini29 :

1. Penyuluhan kepada masyarakat. Penyuluhan dilakukan oleh pihak ketiga dengan isi
materi tentang bahaya kebakaran hutan dan pelatihan persiapan kebakaran hutan.
2. Pemasangan papan peringatan termasuk dengan sanksinya dipasang pada areal atau
petak / areal yang dilindungi seperti PUP, Petak plasma nuftah, Tegakan Benih Alam.
3. Kegiatan pengawasan dan patroli dilakukan dengan membuat menara – menara
pengawas kebakaran yang dapat mengawasi hutan dari kebakaran. Setiap pos
Kepolisian Sektoral dijadikan posko karhutla yang membantu dalam pemadaman titik
api.
4. Membuat peta rawan kebakaran untuk memudahkan petugas dalam memadamkan api.
5. Pembuatan selat bakar berupa parit yang berfungsi untuk menahan sebaran api tidak
masuk ke dalam areal hutan dan menjaga agar kebakaran tidak meluas.

29
Suyanto, Unna Cokkhalingam dan Prianto Wibowo. 2003. Kebakaran di Lahan Rawa Gambut di Sumatra :
Masalah dan Solusi. Prosiding Semiloka

Halaman 19 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

V. KESIMPULAN
1. Kebakaran hutan sangat merugikan masyarakat dari berbagai sektor serta
membahayakan kesehatan masyarakat secara luas.
2. Kebakaran hutan dapat dicegah jika masyarakat dan swasta berperan aktif dalam satu
kesatuan ekosistem.
3. Perilaku masyarakat harus diarahkan dan diberi pembinaan dalam rangka menjaga
kelestarian hutan Sumatra Selatan.
4. Kurangnya kesadaran lingkungan masyarakat terhadap dampak kebakaran lahan dan
hutan sehingga tidak memperdulikan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi.
5. Penggunaan api dalam pembakaran lahan semakin meningkat dengan penggunaan
sonor, pembalakan hutan dan diikuti dengan degradasi lahan.
6. Tidak ada pengawasan titik api dan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
dampak kebakaran hutan.
7. Penggunaan api untuk pembakaran lahan merupakan cara satu – satunya yang masih
dipakai oleh sebagian besar masyarakat pedesaan Sumatra Selatan yang masih
menggantungkan hidupnya di bidang pertanian.
8. Masyarakat pedesaan di Air Sugihan, Mesuji cepat beradaptasi dengan perubahan
sumberdaya alam.
9. Masyarakat pedesaan di kabupaten OKI sudah mengenal sistem pengolahan lahan
dengan metode pembakaran sonor terkendali.
10. Masyarakat tidak dapat beralih dari mata pencaharian sebagai petani karena
keterbatasan pendidikan sehingga terus melakukan pembakaran hutan dan lahan
setiap tahunnya
11. Persiapan dan pembukaan lahan hingga saat ini masih diperlukan dalam menunjang
perekonomian Sumatra Selatan.
12. Perusahaan besar sejogjanya wajib menerapkan zero burning land clearing melalui
penegakan hukum (law enforcement).
13. Diperlukan upaya – upaya dokumentasi terhadap kearifan budaya penggunaan api di
dalam masyarakat Sumatra Selatan.
14. Memfasilitasi desa melalui Badan Perwakilan guna sosialisasi dampak kebakaran
hutan dan lahan
15. Memfasilitasi desa melalui Badan Perwakilan guna sosialisasi Pengelolaan Hutan
Tanpa Bakar

Halaman 20 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

16. Mengembangkan konsep pengendalian kebakaran hutan dan lahan melalui pendekatan
masyarakat agar masyarakat dapat mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan
17. Memfasilitasi program atau kegiatan yang dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat desa di Sumatra Selatan
18. Mengintensifkan program – program penyuluhan dan kampanye mencegah kebakaran
hutan kepada masyarakat luas
19. Melaksanakan restorasi lahan gambut di Sumatra Selatan secara cepat agar fungsi
lahan kembali menjadi seperti semula

Halaman 21 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

DAFTAR PUSTAKA
J. Herman S. Sosiologi Lingkungan dan Risk Society : Perspektif Pendidikan Kritis
Masyarakat Modern Terhadap Lingkungannya. Universitas Brawijaya

WWF Indonesia. 4 Dampak Yang Sangat Merugikan dari Kebakaran Hutan. Earth Hour
Indonesia, 22 May 2015. http://earthhour.wwf.or.id/4-dampak-yang-sangat-
merugikan-dari-kebakaran-hutan/

Bagus Prihantoro Nugroho. Detiknews.com. 2015. Langkah – langkah Penyelesaian


Kebakaran Hutan Menurut Mentri Siti. http://news.detik.com/berita/3012630/langkah-
langkah-penyelesaian-kebakaran-hutan-menurut-menteri-siti. Diakses tanggal 18
September 2017

Fahmi Rasyid, 2014. Jurnal Lingkar Widyaiswara Edisi 1 No.4, Oktober – Desember 2014 :
Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Pusdiklat Lingkungan Hidup

Rachmad K., 2014. Sosiologi Lingkungan. Jakarta : Rajawali Pers.

Sonny Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Lutzenhiser, Loren. 2002. Environment Sociology. Symposium on Environment Sociology.


Washington State University

Tim Penyusun Laporan Pengetahuan Lanskap Berkelanjutan Indonesia. 2016. Kerugian dari
Kebakaran Hutan : Analisa Dampak Ekonomi dari Krisis Kebakaran Tahun
2015. Jakarta : The World Bank Right

Loricus Stigmatus. Implementasi RAN – GRK di Sektor Kehutanan. Jakarta, 29 Agustus


2013.

Unna Chokkalingam dan Tim penyusun. Suyanto, Rizki Pandu Permana, Iwan Kurniawan,
Josni Mannes, Andy Darmawan, Noviana Khususyiah, Robiyanto Hendro
Susanto. Laporan Pengelolaan Api, Perubahan Sumber Daya Alam dan Pengaruhnya

Halaman 22 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

Terhadap Kehidupan Masyarakat di Areal Rawa / Gambut – Sumatra


BagianSelatan. Palembang,2004.http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/B
Suyanto0301I2.pdf

Djoko Setijono. Kehidupan Masyarakat dan Kaitannya dengan Kebakaran Lahan Rawa /
Gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir – Propinsi Sumatra Selatan.
Palembang,2004.http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BSuyanto0301I2.
pdf

Baharuddin. Perspektif Masyarakat Lokal Terhadap Masalah Kebakaran Berkaitan Dengan


Kehidupan Masyarakat Di Areal Rawa / Gambut (Di Air Sugihan Sumatra
Selatan).Palembang,2004.http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BSuyant
o0301I2.pdf

Ahmad Samodra. Perspektif LSM Terhadap Masalah Kebakaran Berkaitan Dengan


Kehidupan Masyarakat Di Areal Rawa / Gambut. Palembang, 2004.
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BSuyanto0301I2.pdf

Hasanuddin. Perspektif Pemerintah Terhadap Masalah Kebakaran Berkaitan dengan


Kehidupan Masyarakat di Areal Rawa / Gambut. Palembang, 2004.
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/Books/BSuyanto0301I2.pdf

Ihsannudin.Kompas.com.2016.Mentri Siti Tegaskan Penanganan Kebakaran Hutan Tidak


Atas Desakan Negara Lain.
(http://nasional.kompas.com/read/2016/08/28/06482631/menteri.siti.indonesia.siaga.d
arurat.kebakaran.hutan). Diakses tanggal 18 September 2017.

Indra Nugraha. 2016. Sumarjito : Pertanian Lahan Tanpa Bakar Bisa Dilakukan di Lahan
Gambut. http://www.mongabay.co.id/2016/09/01/sumarjito-pertanian-lahan-tanpa-
bakar-bisa-dilakukan-di-lahan-gambut/

Tempo.co.2017.https://bisnis.tempo.co/read/news/2017/05/18/090876636/pemerintah-bahas

Halaman 23 dari 24
DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP KEHIDUPAN MASYARAKAT SEKITAR SUMSEL

pencegahan-dan-penanggulangan-kebakaran-hutan

Undang – undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Undang – undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut

http://yusfianlomo.blogspot.co.id/2015/05/teknik-pembukaan-lahan-tanpa-bakar.html

Walhi. 2016. Climate Justice, Save Peatland Ecosystem.


http://www.youtube.com/watch?v=Rq4REFf-1ks

Halaman 24 dari 24

Anda mungkin juga menyukai