Anda di halaman 1dari 5

Potensi Kakao

Masih Cukup Besar di Aceh

K akao merupakan salah satu komoditas unggulan kualitas ekspor di Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), namun sayangnya potensi ini belum ditangani
dengan baik. Rantai pemasaran dari petani ke konsumen masih panjang,
sehingga merugikan petani. Pertanaman kakao relatif sesuai untuk perkebunan
rakyat, karena tanaman ini dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun, sehingga
dapat menjadi sumber pendapatan harian atau mingguan bagi petani. Kakao dapat
mulai berproduksi pada umur 18 bulan (1,5 tahun) dan dapat menghasilkan biji kakao
yang selanjutnya bisa di olah menjadi bahan setengah jadi (bubuk coklat) maupun
bahan jadi (coklat).

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan luas 58,375.63 km2, dengan rincian
lahan persawahan 311.825 ha (5,44 %), pertanian tanah kering semusim 137.616 ha
(2,40 %), kebun 305.577 ha (5,33 %) dan perkebunan 678.450 ha (11,83 %), (Badan
Pusat Statistik, 2008). Provinsi NAD merupakan salah satu daerah yang mempunyai
potensi cukup baik di bidang perkebunan kakao karena lahan dan cuacanya
mendukung. Sementara itu, peranan kakao di NAD masih jauh lebih kecil di bandingkan
potensinya. Luas areal tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 102.000
ha (www.bps.go.id). Dari total areal tersebut, 74.547 ha terdapat di Provinsi NAD
dengan komposisi sebagian besar merupakan areal perkebunan rakyat yakni 70.873 ha.

Perkembangan kakao di NAD tidak terlepas dari berbagai masalah yang dijumpai
dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor hulu antara lain
produktivitas tanaman masih rendah. Permasalahan di sektor hilir mengenai rendahnya
kualitas mutu biji terutama biji yang tidak difermentasi. Meskipun areal dan produksi
kakao di NAD selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan, namun dari segi
aspek produktivitas menurun 4,25 % pertahun. Usaha pengembangan hasil perkebunan
tidak hanya dengan memperbaiki cara berusaha petani saja, tetapi harus diikuti dengan
penyempurnaan dalam bidang pemasaran.

Areal pertanaman kakao nasional pada tahun 2007 seluas 102,000 ha dengan
produksi sebesar 59.100 ton, (www.bps.go.id), 25.697 ton berasal dari NAD.
Produktivitas kakao nasional adalah 660 kg/ha. Angka ini lebih rendah daripada
produktivitas kakao NAD yakni 788 kg/ha (Dishutbun, 2008), namun jika petani mau
mengembangkan dan menerapkan teknologi budidaya kakao secara benar, potensi
produksi kakao bisa mencapai 1,5 – 2 ton/ha.
Potensi Lahan

Secara topografi Nanggroe Aceh Darussalam sangat cocok untuk di kembangkan


komoditas kakao, selain itu kakao sudah familiar dengan masyarakat. Pasca berakhirnya
konflik banyak lahan perkebunan yang secara teknis sangat baik untuk di kembangkan
komoditas kakao karena terbengkalainya lahan terutama di Kabupaten Pidie, Pidie Jaya,
Bireun, Aceh Barat, Aceh Timur, dan Aceh Tenggara yang juga merupakan sentra-
sentra perkebunan kakao.

Pengembangan usaha kakao membutuhkan


ketersediaan lahan yang luas, tenaga kerja yang
cukup, modal dan sarana serta prasarana yang
memadai. Nanggroe Aceh Darussalam masih
memiliki lahan yang sementara tidak diusahakan
seluas 258.067 ha, (BPS, 2007). Lahan yang
cukup luas ini masih mungkin digunakan untuk
pengembangan komoditas kakao dengan terlebih
dahulu dilakukan analisis kesesuaian lahan,
terutama di kabupaten-kabupaten yang
merupakan sentra perkebunan kakao yakni
Kabupaten Pidie seluas 15.527 ha, Bireun seluas 890 ha, Aceh Utara seluas 13.928 ha,
Aceh Timur seluas 30.119 ha dan Aceh Tenggara seluas 3.385 ha (BPS, 2007).
Sehingga dapat di perkirakan luas lahan yang tersedia untuk pengembangan kakao di
Provinsi NAD seluas 63.849 ha, sedangkan luas lahan yang sudah eksis penanaman
kakao seluas 74.547 ha (Dishutbun, 2008). Dengan demikian terdapat potensi
pengembangan kakao di NAD seluas 119.671 ha. Potensi terbesar pengembangan
kakao terdapat di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Pidie, Bireun dan Aceh Utara.

Produksi dan produktivitas

Peningkatan produksi kakao dapat ditingkatkan melalui kultur teknis yang baku,
antara lain penggunaan bahan tanam unggul, pemangkasan, pengendalian
hama/penyakit dan pemupukan. Pada tanaman yang tidak produktif peningkatan
produksi dapat di upayakan melalui rehabilitasi tanaman dengan teknologi sambung
samping/sambung pucuk atau dengan teknik tanam ulang (tanpa melakukan
pembongkaran). Untuk meningkatkan pendapatan pekebun dapat diterapkan
diversifikasi usahatani melalui tumpang sari dengan tanaman tahunan lain yang
kompatibel.

Semua petani di NAD menjual kakao dalam wujud produksi biji kering dan diekspor
melalui pedagang-pedagang eksportir yang ada di Medan. Produk yang diekspor
sebagian besar dalam bentuk produk primer (biji kering ) dan hanya sebagian kecil
dalam bentuk hasil olahan.
Perluasan areal perkebunan kakao setiap tahunnya menunjukkan peningkatan
sebesar 189,38 % pertahun, umumnya dilakukan oleh petani sehingga perkebunan
rakyat telah mendominasi perkebunan kakao di NAD.

Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Perkebunan Rakyat Selama Lima
Tahun Terakhir ( 2004 - 2008 )
TAHUN LUAS AREAL (Ha) RATA-RATA JUMLAH
JUMLAH PRODUKSI
PRODUKTIVITAS PETANI
TBM TM TR (Ha) (Ton)
(Kg/Ha) (KK)
2004 9.309 13.689 1.493 24.491 11.269 823 37.290
2005 12.213 17.216 2.866 32.295 14.522 844 49.503
2006 15.836 17.677 4..921 38.434 14.866 841 61.021
2007 19.639 21.533 5.256 46.427 17.705 822 69.509
2008 32.283 32.612 5.978 70.873 25.697 788 100.194
Pertumbuhan(%) 246,79 138,23 300,40 189,38 128,03 (4,25) 168,68
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi NAD, 2008

Ket : TBM = Tanaman Belum Menghasilkan


TM = Tanaman Menghasilkan
TR = Tanaman Rusak

Perkembangan luas areal TBM mengalami peningkatan pesat pada tahun 2008 dan
perkembangan luas areal tanam dan produksi meningkat setiap tahunnya. Hal ini
membuktikan minatnya petani terhadap pengembangan kakao ini yang didukung oleh
kondisi dan prospek harga kakao di pasaran internasional yang menunjukkan prospek
yang cerah. Dari segi luas areal memang terus meningkat namun dari segi produktivitas
masih rendah bahkan cenderung sangat menurun pada tahun 2008. Hal ini dikarenakan
sebagian besar petani masih kurangnya melakukan pemeliharaan, sebagian besar
tanaman sudah tua, belum menggunakan bahan tanam unggul, terserang hama
(Penggerek Buah Kakao, PBK), penyakit dan terbengkalainya kebun pada masa konflik
sehingga banyak petani pada saat itu meninggalkan lahan kakaonya begitu saja,
sehingga menyebabkan turunnya produktivitas sebesar 56 kg/ha/tahun atau sebesar 6
% dari produktivitas yang pernah dicapai (844 kg/ha/thn) pada tahun 2005 (Dishutbun,
2008).
Produk biji kakao di NAD khususnya kakao rakyat
umumnya masih bermutu rendah yang tercermin
pada tingginya kandungan biji tidak fermentasi dan
kandungan non kakao (kotoran). Disamping itu
rendahnya mutu kakao di NAD karena proses
pengeringannya dilakukan secara tradisional dengan
dijemur di panas matahari, sedangkan biji kakao
yang baik harus melalui fermentasi sebelum
dijemur. Cara-cara tradisional inilah yang
menjadikan biji kakao NAD belum menjadi komoditas kelas satu sehingga harganya bisa
jatuh. Penetapan mutu biji kakao di Indonesia berdasarkan jumlah biji per 100 gram.
Biji yang bermutu beratnya tidak kurang dari 1 gram (Tumpal, 2007).

Harga dan pemasaran


Harga kakao di tiap-tiap daerah sentra produksi kakao berbeda-beda. Harga
tersebut sangat ditentukan oleh harga penjualan ekspor. Naik dan turunnya harga
kakao di NAD sangat di pengaruhi oleh harga dan permintaan pasar di Medan. Namun
perbedaan harga kakao di tingkat petani juga sangat dipengaruhi antara kakao yang
difermentasi dengan harga kakao yang tidak di fermentasi.

Tabel 4. Perkembangan Harga Rata-rata Penjualan Kakao oleh Petani pada


Pedagang Pengumpul Selama Tujuh Bulan Terakhir (Januari-Juli) Tahun
2009.

Kabupaten Kecamatan Rata-rata


Pidie Mutiara 21.142
Pidie Padang Tiji 19.857
Aceh Barat Daya Kuala Bate 18.100
Aceh Tamiang Seruway 13.000
Sumber : Laporan bulanan Badan Pusat Statistik ( BPS ), 2009

Perkembangan harga rata-rata penjualan kakao setiap bulannya selama tujuh bulan
terakhir bervariasi, perbedaan harga kakao di tiap-tiap kabupaten disebabkan karena
kualitas kakao yang ditawarkan produsen ke pedagang berbeda-beda. Untuk kualitas
bagus di tingkat petani bisa mencapai Rp.21.000,-/kg sedangkan kualitas nomor dua
masih berkisar Rp.13.000 hingga Rp.19.000/kg (BPS, 2009). Pada umumnya pasaran
harga kakao di NAD sangat tergantung pada standar patokan harga dari agen besar
yang ada di Medan (Sumatera Utara).

Kakao dari NAD sebagian besar di ekspor ke luar negeri melalui eksportir-eksportir
yang ada di Medan, hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk industri di dalam
negeri. Pemasaran kakao di NAD tidak jauh berbeda dengan pemasaran komoditas
perkebunan lainnya. Dalam pemilihan saluran pemasaran sangatlah penting bagi petani
untuk meningkatkan pendapatannya, karena tidak ketidaksesuaian dalam hal ini akan
mempengaruhi tingkat pendapatan yang akan diterima dari hasil usahatani itu. Oleh
karena itu petani harus dapat menentukan pemilihan saluran pemasaran yang tepat
dalam penyaluran hasil usahanya dengan berpedoman kepada informasi pasar seperti
harga jual, jumlah permintaan dan tingkat keuntungan. Umumnya saluran pemasaran
kakao yang dilalui oleh komoditas kakao di NAD adalah melalui dua tipe saluran
pemasaran dengan perincian sebagai berikut :
Tipe 1

Petani / Produsen Pedagang Desa Pedagang Kabupaten Pedagang Besar

Tipe 2

Petani / Produsen Pedagang kabupaten Pedagang Besar

Gambar 1. Saluran Pemasaran Kakao Tipe I dan II di NAD

Pada umumnya tipe I merupakan tipe saluran pemasaran yang paling sering
digunakan oleh petani, ini dikarenakan hampir semua waktu petani dicurahkan ke
kebun dan kesibukan lainnya, jadi petani tidak sempat menjualnya ke kabupaten karena
jauhnya jarak yang ditempuh ke kabupaten. Sedangkan petani yang melalui saluran
tipe II hanya sebagian kecil saja, ini dikarenakan petani tersebut sambilan pergi ke
kabupaten karena bekerja di kabupaten dan keperluan lainnya dan menjual hasil
usahataninya tersebut, saluran ini sangat menguntungkan bagi petani.
Kendala

Kendala-kendala yang masih ditemui pada petani kakao di NAD, diantaranya : a)


Penerapan teknologi budidaya secara benar masih kurang. b) Produktivitas kakao di
NAD masih rendah. c) Kualitas kakao yang dihasilkan petani masih di bawah standar
ekspor. d) Penanganan pascapanen kakao masih minim. e) Pemasaran hasil kakao
hanya di pasarkan keluar provinsi (Sumatera Utara), sehingga terjadi fluktuasi harga
dikarenakan pedagang belum mampu melakukan ekspor akibat keterbatasan dana.

Daftar Pustaka

__________, 2008. Laporan Dinas Kehutanan dan Perkebunan NAD. Dishutbun. Banda
Aceh.

__________, 2008. Banda Aceh dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Banda Aceh.

http//www.bps.go.id/tab-sub/view.php/ diakses pada 3 Nopember 2009

http//www.google.co.id/kakao html/ diakses pada 29 Oktober 2009

John,BB dan Soetanto,A. 2004. Potensi Lahan Untuk Pengembangan Kakao Rakyat
Sumatera Volume 20 Nomor 3. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember
Tumpal, H., Slamet dan Laili. 2007. Budidaya Pengolahan dan Pemasaran Coklat.
Penebar Swadaya. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai