Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan luas 58,375.63 km2, dengan rincian
lahan persawahan 311.825 ha (5,44 %), pertanian tanah kering semusim 137.616 ha
(2,40 %), kebun 305.577 ha (5,33 %) dan perkebunan 678.450 ha (11,83 %), (Badan
Pusat Statistik, 2008). Provinsi NAD merupakan salah satu daerah yang mempunyai
potensi cukup baik di bidang perkebunan kakao karena lahan dan cuacanya
mendukung. Sementara itu, peranan kakao di NAD masih jauh lebih kecil di bandingkan
potensinya. Luas areal tanaman kakao di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 102.000
ha (www.bps.go.id). Dari total areal tersebut, 74.547 ha terdapat di Provinsi NAD
dengan komposisi sebagian besar merupakan areal perkebunan rakyat yakni 70.873 ha.
Perkembangan kakao di NAD tidak terlepas dari berbagai masalah yang dijumpai
dari sektor hulu hingga sektor hilir. Beberapa masalah di sektor hulu antara lain
produktivitas tanaman masih rendah. Permasalahan di sektor hilir mengenai rendahnya
kualitas mutu biji terutama biji yang tidak difermentasi. Meskipun areal dan produksi
kakao di NAD selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan, namun dari segi
aspek produktivitas menurun 4,25 % pertahun. Usaha pengembangan hasil perkebunan
tidak hanya dengan memperbaiki cara berusaha petani saja, tetapi harus diikuti dengan
penyempurnaan dalam bidang pemasaran.
Areal pertanaman kakao nasional pada tahun 2007 seluas 102,000 ha dengan
produksi sebesar 59.100 ton, (www.bps.go.id), 25.697 ton berasal dari NAD.
Produktivitas kakao nasional adalah 660 kg/ha. Angka ini lebih rendah daripada
produktivitas kakao NAD yakni 788 kg/ha (Dishutbun, 2008), namun jika petani mau
mengembangkan dan menerapkan teknologi budidaya kakao secara benar, potensi
produksi kakao bisa mencapai 1,5 – 2 ton/ha.
Potensi Lahan
Peningkatan produksi kakao dapat ditingkatkan melalui kultur teknis yang baku,
antara lain penggunaan bahan tanam unggul, pemangkasan, pengendalian
hama/penyakit dan pemupukan. Pada tanaman yang tidak produktif peningkatan
produksi dapat di upayakan melalui rehabilitasi tanaman dengan teknologi sambung
samping/sambung pucuk atau dengan teknik tanam ulang (tanpa melakukan
pembongkaran). Untuk meningkatkan pendapatan pekebun dapat diterapkan
diversifikasi usahatani melalui tumpang sari dengan tanaman tahunan lain yang
kompatibel.
Semua petani di NAD menjual kakao dalam wujud produksi biji kering dan diekspor
melalui pedagang-pedagang eksportir yang ada di Medan. Produk yang diekspor
sebagian besar dalam bentuk produk primer (biji kering ) dan hanya sebagian kecil
dalam bentuk hasil olahan.
Perluasan areal perkebunan kakao setiap tahunnya menunjukkan peningkatan
sebesar 189,38 % pertahun, umumnya dilakukan oleh petani sehingga perkebunan
rakyat telah mendominasi perkebunan kakao di NAD.
Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Komoditas Kakao Perkebunan Rakyat Selama Lima
Tahun Terakhir ( 2004 - 2008 )
TAHUN LUAS AREAL (Ha) RATA-RATA JUMLAH
JUMLAH PRODUKSI
PRODUKTIVITAS PETANI
TBM TM TR (Ha) (Ton)
(Kg/Ha) (KK)
2004 9.309 13.689 1.493 24.491 11.269 823 37.290
2005 12.213 17.216 2.866 32.295 14.522 844 49.503
2006 15.836 17.677 4..921 38.434 14.866 841 61.021
2007 19.639 21.533 5.256 46.427 17.705 822 69.509
2008 32.283 32.612 5.978 70.873 25.697 788 100.194
Pertumbuhan(%) 246,79 138,23 300,40 189,38 128,03 (4,25) 168,68
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi NAD, 2008
Perkembangan luas areal TBM mengalami peningkatan pesat pada tahun 2008 dan
perkembangan luas areal tanam dan produksi meningkat setiap tahunnya. Hal ini
membuktikan minatnya petani terhadap pengembangan kakao ini yang didukung oleh
kondisi dan prospek harga kakao di pasaran internasional yang menunjukkan prospek
yang cerah. Dari segi luas areal memang terus meningkat namun dari segi produktivitas
masih rendah bahkan cenderung sangat menurun pada tahun 2008. Hal ini dikarenakan
sebagian besar petani masih kurangnya melakukan pemeliharaan, sebagian besar
tanaman sudah tua, belum menggunakan bahan tanam unggul, terserang hama
(Penggerek Buah Kakao, PBK), penyakit dan terbengkalainya kebun pada masa konflik
sehingga banyak petani pada saat itu meninggalkan lahan kakaonya begitu saja,
sehingga menyebabkan turunnya produktivitas sebesar 56 kg/ha/tahun atau sebesar 6
% dari produktivitas yang pernah dicapai (844 kg/ha/thn) pada tahun 2005 (Dishutbun,
2008).
Produk biji kakao di NAD khususnya kakao rakyat
umumnya masih bermutu rendah yang tercermin
pada tingginya kandungan biji tidak fermentasi dan
kandungan non kakao (kotoran). Disamping itu
rendahnya mutu kakao di NAD karena proses
pengeringannya dilakukan secara tradisional dengan
dijemur di panas matahari, sedangkan biji kakao
yang baik harus melalui fermentasi sebelum
dijemur. Cara-cara tradisional inilah yang
menjadikan biji kakao NAD belum menjadi komoditas kelas satu sehingga harganya bisa
jatuh. Penetapan mutu biji kakao di Indonesia berdasarkan jumlah biji per 100 gram.
Biji yang bermutu beratnya tidak kurang dari 1 gram (Tumpal, 2007).
Perkembangan harga rata-rata penjualan kakao setiap bulannya selama tujuh bulan
terakhir bervariasi, perbedaan harga kakao di tiap-tiap kabupaten disebabkan karena
kualitas kakao yang ditawarkan produsen ke pedagang berbeda-beda. Untuk kualitas
bagus di tingkat petani bisa mencapai Rp.21.000,-/kg sedangkan kualitas nomor dua
masih berkisar Rp.13.000 hingga Rp.19.000/kg (BPS, 2009). Pada umumnya pasaran
harga kakao di NAD sangat tergantung pada standar patokan harga dari agen besar
yang ada di Medan (Sumatera Utara).
Kakao dari NAD sebagian besar di ekspor ke luar negeri melalui eksportir-eksportir
yang ada di Medan, hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk industri di dalam
negeri. Pemasaran kakao di NAD tidak jauh berbeda dengan pemasaran komoditas
perkebunan lainnya. Dalam pemilihan saluran pemasaran sangatlah penting bagi petani
untuk meningkatkan pendapatannya, karena tidak ketidaksesuaian dalam hal ini akan
mempengaruhi tingkat pendapatan yang akan diterima dari hasil usahatani itu. Oleh
karena itu petani harus dapat menentukan pemilihan saluran pemasaran yang tepat
dalam penyaluran hasil usahanya dengan berpedoman kepada informasi pasar seperti
harga jual, jumlah permintaan dan tingkat keuntungan. Umumnya saluran pemasaran
kakao yang dilalui oleh komoditas kakao di NAD adalah melalui dua tipe saluran
pemasaran dengan perincian sebagai berikut :
Tipe 1
Tipe 2
Pada umumnya tipe I merupakan tipe saluran pemasaran yang paling sering
digunakan oleh petani, ini dikarenakan hampir semua waktu petani dicurahkan ke
kebun dan kesibukan lainnya, jadi petani tidak sempat menjualnya ke kabupaten karena
jauhnya jarak yang ditempuh ke kabupaten. Sedangkan petani yang melalui saluran
tipe II hanya sebagian kecil saja, ini dikarenakan petani tersebut sambilan pergi ke
kabupaten karena bekerja di kabupaten dan keperluan lainnya dan menjual hasil
usahataninya tersebut, saluran ini sangat menguntungkan bagi petani.
Kendala
Daftar Pustaka
__________, 2008. Laporan Dinas Kehutanan dan Perkebunan NAD. Dishutbun. Banda
Aceh.
__________, 2008. Banda Aceh dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Banda Aceh.
John,BB dan Soetanto,A. 2004. Potensi Lahan Untuk Pengembangan Kakao Rakyat
Sumatera Volume 20 Nomor 3. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember
Tumpal, H., Slamet dan Laili. 2007. Budidaya Pengolahan dan Pemasaran Coklat.
Penebar Swadaya. Jakarta