BAB 1
PENDAHULUAN
1
2
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami mengeni perubahan psikologis pada
remaja
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan memahami mengenai perubahan psikologis
2. Untuk mengetahui dan memahami mengenai gangguan psikologi pada remaja
3. Untuk mengetahui dan memahami mengenai Oppositional Defiant Disorder
(ODD)
4. Untuk mengetahui dan memahami mengenai Borderline Personality Disorder
5. Untuk mengetahui dan memahami mengenai antagonisme
6. Untuk mengetahui dan memahami mengenai rasa malu berlebih dan kurang
percaya diri
7. Untuk mengetahui dan memahami mengenai bipolar
3
BAB 2
PEMBAHASAN
3
4
Bagi anak-anak penderita ODD, tidak ada yang bisa dilakukan untuk
membuat mereka bahagia. Anak-anak ini tidak hanya akan melakukan sesuatu
untuk sengaja menimbulkan konflik atau dengan sengaja mengganggu orang-
orang di sekitar mereka, tapi seringkali mereka menyalahkan orang lain.
2. Penyebab dan Faktor Risiko Oppositional Defiant Disorder
Penyebab spesifik yang mungkin timbul akibat awalan ODD tidak dapat
dipersempit menjadi faktor spesifik. Dipercaya secara luas bahwa kombinasi
faktor bekerja sama untuk menyebabkan seseorang mengembangkan gejala
gangguan menentang oposisi. Berikut adalah beberapa contoh berbagai sebab
dan faktor yang mungkin berperan dalam pengembangan ODD:
a. Genetik
Biasa terjadi pada anak-anak yang didiagnosis menderita ODD untuk
memiliki anggota keluarga yang juga menderita berbagai penyakit jiwa.
Penyakit seperti itu bisa meliputi gangguan mood, gangguan kepribadian,
dan gangguan kecemasan. Fakta ini menunjukkan bahwa ada
kemungkinan komponen genetik yang menyebabkan seseorang lebih
rentan terkena gangguan menentang oposisi, dibandingkan dengan orang
yang sebelumnya tidak terpapar jenis genetika yang sama.
b. Fisik
Kehadiran ciri-ciri gangguan menentang oposisi telah dikaitkan dengan
adanya sejumlah kimiawi otak tertentu yang tidak normal. Bahan kimia
otak ini, yang dikenal sebagai neurotransmitter, bekerja untuk membantu
menjaga agar bahan kimia otak mereka seimbang dengan baik. Bila terjadi
ketidakseimbangan, dan pesan tiba-tiba tidak dapat berkomunikasi dengan
benar dengan aspek otak lainnya, gejala ODD mungkin terjadi.
c. Lingkungan
Lingkungan di mana seseorang dinaikkan dapat memiliki dampak
signifikan pada apakah dia mungkin jatuh ke dalam gejala gangguan
pemberontakan oposisi. Jika seorang anak dikelilingi oleh kehidupan
rumah yang agak kacau (di mana kekerasan, argumen, dan bentuk
perselisihan umum lainnya) lazim, tidak beralasan untuk berasumsi bahwa
5
anak tersebut dapat mulai bertindak sebagai hasilnya. Demikian pula, jika
anak-anak terkena kekerasan atau memiliki teman yang berperilaku tidak
sopan dan ceroboh, anak-anak itu juga cenderung mulai menampilkan
gejala perilaku yang berkorelasi dengan onset ODD.
Faktor resiko yang dapat menyebabkan Oppositional Defiant Disorder antara
lain:
a. Perselisihan keluarga
b. Kehidupan rumah disfungsional
c. Terpapar kekerasan
d. Sejarah penyakit jiwa dalam keluarga
e. Paparan penyalahgunaan zat
f. Pengasuhan tidak konsisten (disiplin yang tidak konsisten, interaksi yang
tidak konsisten, dll.)
g. Penyalahgunaan / pengabaian
3. Tanda dan Gejala Oppositional Defiant Disorder
Tanda dan gejala ODD akan bervariasi dari orang ke orang. Mungkin juga
ada perbedaan yang signifikan dalam bagaimana gejala muncul pada diri anak
laki-laki dibandingkan dengan penampilan mereka pada anak perempuan.
Berikut adalah beberapa contoh tanda dan gejala yang mungkin menjadi bukti
bahwa seorang anak sedang berjuang melawan gangguan melawan oposisi:
a. Gejala perilaku:
1) Mudah kehilangan kesabaran seseorang / membuang amarah berulang-
ulang
2) Berdebat
3) Pertarungan
4) Menolak mengikuti aturan
5) Sengaja berakting dengan cara yang akan mengganggu orang lain
6) Menyalahkan orang lain
7) Permusuhan terhadap orang lain
8) Tidak mau berkompromi atau bernegosiasi
9) Dengan sengaja menghancurkan persahabatan
6
seseorang. Kondisi ini berdampak pada cara berpikir dan perasaan terhadap
diri sendiri maupun orang lain, serta adanya pola tingkah laku abnormal.
2. Penyebab Borderline Personality
Penyebab pasti BPD belum dapat diketahui dengan jelas. Diperkirakan
riwayat pelecehan atau penyiksaan yang dialami semasa kecil memiliki
keterkaitan dengan terjadinya BPD. Hal lain yang juga terkait dengan BPD
adalah faktor genetik. Menurut beberapa penelitian, riwayat gangguan
kepribadian yang dimiliki oleh salah satu anggota keluarga kemungkinan
dapat diwariskan melalui gen ke anggota keluarga lain.
Beberapa penelitian juga menunjukkan perubahan pada beberapa area di
otak, terutama yang berperan mengatur sisi emosi, agresi, dan impulsif
seseorang, dapat dikaitkan dengan kemunculan kondisi BPD. Selain itu,
penurunan fungsi dari zat-zat kimia pada otak, seperti serotonin, juga
dikaitkan dengan BPD. Serotonin berfungsi mengendalikan suasana
hati (mood). Ciri kepribadian tertentu juga dapat menjadi faktor risiko
berkembangnya BPD. Misalnya seseorang dengan kepribadian agresif dan
impulsif.
3. Tanda dan Gejala Borderline Personality
Borderline Personality Disorder ini dapat memengaruhi pola pikir dan
perilaku seseorang. Gejala-gejala yang dapat muncul antara lain:
a. Merasa takut diabaikan sehingga membuat penderitanya menghindari
perpisahan, kritik, atau penolakan.
b. Perubahan citra dan identitas diri yang berlangsung dengan cepat sehingga
memengaruhi nilai-nilai dan tujuan yang diketahuinya. Penderita BPD
dapat memandang dirinya sebagai sosok yang buruk, menyerupai sosok
antagonis di dalam sebuah film.
c. Mengalami periode stres yang memicu paranoia, serta kehilangan
hubungan dengan kenyataan yang dapat berlangsung hingga beberapa jam.
d. Mengalami perubahan suasana hati yang berlangsung hingga berhari-hari.
e. Memiliki perilaku impulsif yang berisiko dan terkadang berbahaya, seperti
judi, hubungan seksualyang tidak aman, mengemudi dengan ceroboh, atau
9
dan meminum alkohol hingga mabuk pada 29 April 2012, pukul 12 malam
anak harus mencari kepuasan seks untuk tenang dan bisa tidur nyenyak
dengan cara memperkosa L. Kebiasaan tersebut timbul sejak dia kecil. Dia
melakukan hal tersebut karena tidak mendapatkan perhatian dari ibunya. Saat
ini anak A dihukum kurungan dan menunggu pemeriksaan lebih lanjut dari
psikiater.
5. Cara Mengatasi Borderline Personality Disorder
Pengobatan borderline personality disorder (BPD) yang utama adalah
melalui psikoterapi. Obat-obatan dan perawatan di rumah sakit juga dapat
dianjurkan, sesuai dengan kondisi dan keselamatan pasien jika diperlukan.
Pada kasus tertentu, penderita BPD dapat melalui perawatan di rumah sakit
untuk mencegah kecenderungan melukai dirinya sendiri atau bunuh diri.
Penanganan BPD melalui psikoterapi bermaksud membantu penderita
memiliki hidup yang lebih stabil dan mengarahkan aspek kehidupannya
menjadi lebih baik. Psikoterapi yang juga disebut dengan talk
therapy merupakan pendekatan mendasar dalam penanganan BPD untuk
membantu penderita memahami kondisi ini dan berfokus pada
kemampuannya saat ini. Psikoterapi juga bertujuan membantu penderita BPD
dalam mengatur sisi-sisi emosi yang membuat dirinya tidak nyaman,
mengenali dirinya sendiri, serta mengendalikan perasaannya terhadap diri
sendiri dan orang lain.
Psikoterapi bermaksud melatih penderita dalam mengenali dan
menganalisis perasaannya sendiri. Penderita juga diharapkan mampu
menekan perasaannya yang impulsif, misalnya menahan amarah yang timbul
akibat situasi yang dihadapinya. Dengan demikian dapat mengurangi perilaku
kasar dan akhirnya dapat meningkatkan kualitas hubungan sosial. Maka dari
itu, penderita BPD akan menjalani suatu bentuk terapi psikologi, misalnya:
a. Dialectical behavior therapy (DBT)
Terapi ini menggunakan pendekatan berbasis kemampuan dalam mengajari
penderita BPD mengatur emosi, mentolerasi tekanan jiwa, dan
11
2.3.3. Antagonisme
Antagonisme terdiri dari dua macam, yaitu:
1. Antagonisme Sex
a. Definisi Antagonisme Sex
Antagonisme sex dapat di artikan sebagai suatu perasaan tidak senang atau
menentang suatu yang berhubungan dengan sex, yang diaplikasikan dalam
sikap dan prilaku. Seorang yang mengalami hambatan sexual, tidak dapat
merasakan ataupun membedakan, antara gender yang ada pada dirinya.
b. Faktor Risiko Antagonisme Sex
1) Meskipun dia seorang laki-laki atau perempuan tidak normal yang sering
kita sebut dengan gay atau lesbi, maka dia tidak akan menikmati fantasi
seksual yang normal, dan dia akan gagal menikmati fantasi sexual pada
dirinya.
2) Memiliki hambatan nafsu sex dengan lawan jenis
3) Trauma perkosaan, atau melihat kejadian penyiksaan yang berhubungan
dengan sex.
4) Mendengar cerita-cerita tentang sex yang tidak jelas, dan yang ada hanya
informasi yang salah tentang sex (ketidaktahuan tentang info sex).
5) Hubungan keluarga dan lingkungan yang buruk, dimana beberapa orang
tua mengajarkan anak gadisnya untuk mempercayai sex adalah sesuatu
yang buruk, kegiatan yang memalukan, dimana seseorang berbuat
sekehendak hatinya, sex tidak pernah dibicarakan terbuka dalam
keluarga.
6) Kesehatan yang buruk, mengalami penyakit fisik dan mental, namun ini
kemungkinannya sangat kecil
c. Contoh Kasus Antagonisme Sosial dan Sex
Anak remaja laki-laki yang berusia 17 tahun. Dia merasakan tertarik
dengan sesama jenis kelamin dan dia merasa tidak ada rasa tertarik dengan
13
lawan jenis. Setiap hari dia selalu bergaul dengan laki-laki. Dan dia sering
tertarik dengan film-film dewasa yang tidak senonoh. Sebenarnya dia
sangat tidak nyaman dengan keadaan dirinya. Tapi, dia tidak bisa merubah
kebiasaannya. Suatu hari dia pergi ke guru BK untuk konsultasi mengenai
keadaannya. Dan dia mengungkapkan dia mulai tertarik dengan laki-laki
dan sering menonton film dewasa sejak dia berumur 10 tahun karena
orangtuanya sering mengekang dia dan dia sering mendengar cerita teman
tentang video-video porno. Dan keluarga cenderung malu-malu dalam
memberikan seks education kepada anaknya.
2. Antagonisme Sosial
a. Pengertian Antagonisme Sosial
Pada usia remaja 14-15 tahun sampai 17-18 tahun, percepatan
pertumbuhan fisik sangat menonjol dan kematangan fungsi layaknya
orang dewasa akan timbul. Gejolak emosional sebagai penyertaan
perkembangan fisik sering terjadi begitu ekstrim sehingga menyulitkan
remaja sendiri maupun lingkungannya. Konflik dengan orang tua, teman
sebaya, umumnya akan berkembang yang sering ditandai oleh satu sisi
kebutuhan untuk mandiri, sedangkan di sisi lain ketergantungan baik
moril maupun materiil masih sangat besar terutama pada orang tua. Dan
pada kenyataannya remaja merasa belum yakin akan kebutuhan otonomi
sehingga remaja sering dihadapkan pada situasi frustrasi.
b. Contoh Kasus Antagonisme Sosial
Di sebuah sekolah SMA terdapat gadis yang bernama Ariani. Dia sejak
SMP sudah berpacaran dengan Glen. Kebetulan Arini dan Glen berada di
sekolah yang sama. Suatu hari Arini mengetahui bahwa Glen keluar ke
kantin dengan cewek lain. Lalu Arini marah dan dia membuat status di
media sosial yang isinya menyindir dan mengolok-olok cewek tersebut.
Akhirnya mengetahui status Arini, cewek tersebut tidak terima lalu
langsung mendatangi Arini di kelasnya dan terjadi percekcokan antara
Arini dan cewek tersebut hingga mereka mendapat teguran guru BK.
14
memiliki riwayat keluarga dekat (saudara kandung atau orang tua) yang
menderita gangguan bipolar.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan psikologis pada masa remaja merupakan disfungsi psikologis
dalam diri remaja yang berhubungan dengan distres atau respon atipikal secara
kultural yang tidak diharapkan. Disfungsi psikologis yang mengacu pada
gangguan dalam fungsi kognitif, emosional atau perilaku. Beberapa gangguan
psikologis pada remaja antara lain: Oppositional Defiant Disorder (ODD),
Borderline Personality Disorder, antagonisme, rasa malu berlebih dan kurang
percaya diri, serta bipolar.
3.2 Saran
Semoga dengan adanya makalah ini, pembaca dapat mengambil manfaat dari
topik dari makalah ini, karena banyaknya ilmu pengetahuan yang sangat penting
diketahui oleh pembaca. Pembaca dapat mengembangkan dan menerapkan cara
mengatasi gangguan psikologis pada remaja baik dalam praktik klinik ataupun
kehidupan sehari-hari.
23
24
DAFTAR PUSTAKA
24