Anda di halaman 1dari 16

PENGENDALIAN MIKROBA DARI KERJA ANTIMIKROBA

A. Pendahuluan
Pengendalian mikroba telah dimulai oleh para ilmuwan sekitar 100 tahun
lalu. Saat itu, kematian akibat infeksi nosokomial pada proses pembedahan
mencapai 10% dan angka kematian ibu melahirkan tinggi, hingga 25%. Pada
pertengahan tahun 1800, Ignas Semmelweis dan Joseph Lister ilmuwan pertama
yang berpikir untuk mengembangkan cara praktis untuk mengendalikan mikroba
dalam penanganan medik. Cara praktis tersebut meliputi mencuci tangan
menggunakan klorid jeruk limau dan teknik bedah aseptik untuk menghindari
kontaminasi pada luka bedah (Sri Murwani, 2015).
Paul Ehrlich mengenalkan kemoterapi dengan konsep afinitas selektif
menggunakan pewarna. Pada tahun 1904, Erlich mengenalkan juga bahwa
antimikroba harus mampu berikatan secara spesifik dengan mikroba, tetap tidak
dengan sel hospes. Dinyatakan bahwa selektivitas tersebut merupakan syarat
penting suatu kemoterapi (Sri Murwani, 2015).
Kemoterapi merupakan perlakuan untuk kesembuhan terhadap suatu
penyakit menggunakan substansi kimia. Bahan kimiawi kemoterapi disebut agen
kemoterapeutik. Beberapa di antara bahan kimiawi tersebut dihasilkan
mikroorganisme, disebut antibiotik (Sri Murwani, 2015).
Para ilmuwan masih terus melakukan penelitian untuk mengembangkan
berbagai metode fisik dan agen kimia untuk mengendalikan pertumbuhan
mikroba. Pemilihan kemoterapi, metode pemberian, dosis, jangka waktu
pemberian yang tepat menjadi hal yang sangat penting harus diperhatikan.
Penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi
mikroorganisme terhadap obat dan dapat mengganggu keseimbangan flora normal
tubuh manusia. (Sri Murwani, 2015).

B. Sejarah Penemuan Kemoterapi Antimikroba


Pemakaian kemoterapi sebagai upaya terapi penyakit infeksi dan
pengendalian mikroba bukan hal yang baru. Pada tahun 1495, digunakan merkuri
untuk penyembuhan penyakit sifilis, suatu penyakit yang ditularkan secara
seksual. Penggunaan merkuri bermasalah, karena bersifat toksik. Kemoterapi
seharusnya aman bagi pasien, di samping memiliki kemampuan membunuh
mikroorganisme. Pada awal 1630 seseorang dari Eropa menggunakan kuinin alami
yang diekstrak dari pohon kina untuk penyembuhan malaria. Selain itu juga
ditemukan emetin untuk amoebiasis.

Paul Ehrlich dan Penemuan Salvarsan


Permulaan era modern dari kemoterapi sebagai ilmu pengetahuan dimulai
dari hasil pengamatan Paul Ehrlich, pada awal 1900. Ehrlich, dokter
berkebangsaan Jerman yang memiliki bakat dalam bidang kimia, merumuskan
prinsip toksisitas selektif, beberapa agen kimiawi terhadap mikroba pathogen,
perkembangan resistensi terhadap obat, dan peran kombinasi terapi. Ehrlich
melakukan penelitian tentang penggunaan kemoterapi untuk sifilis, yang tidak
berbahaya untuk pasien. Pada saat itu, arsenik dapat digunakan untuk
menyembuhkan sifilis, namun bersifat toksik. Ehrlich mengombinasikan arsenik
dengan bahan organik untuk mengurangi efek toksik, dan menghasilkan
komponen yang efektif terhadap sifilis. Formula komponen Ehrlich no. 606,
disebut Salvarsan (Arsfenamen). Salvarsan merupakan bahan kimia pertama yang
diproduksi di laboratorium, yang dapat menyembuhkan penyakit tanpa
menimbulkan toksisitasa pada pasien. Penemuan Arsfenamen untuk sifilis ini
membuat Ehrlich dihargai nobel pada tahun 1908. .(Sri Murwani, 2015)
Penggunaan Salvarsan tidak lama, sejak ditemukan antibiotik Penisilin.
Penisilin ditemukan pada tahun 1929, dan diperkenalkan pada tahun 1940, dan saat
itu dinyatakan sebagai antimikroba yang efektif untuk penyakit terapi infeksius.
Domagk, Tréfouёl, dan Penemuan Sulfonamid
Tiga puluh tahun setelah penemuan Salvarsan, perkembangan terapi maju
pesat. Pada tahun 1935, Gerhark Domagk, bekerja di Bayer Chemical Company,
di Jerman, menemukan beberapa bahan kimiawi penting sebagai antimikroba.
Domagk melanjutkan konsep Ehrlich, berharap menemukan ikatan spesifik
pewarna dengan jaringan. Akhirnya, dia berhasil menemukan pewarna sintetik
yang dapat digunakan untuk menyembuhkan pasien dari infeksi streptokokal, yaitu
pewarna merah protonsil. Zat pewarna tersebut secara laboratorik gagal
menghambat pertumbuhan bakteri, akan tetapi efektif secara in vivo pada hewan.
Penemuan tersebut menghasilkan nobel pada tahun 1939.(Sri Murwani, 2015)
Hasil penemuan Domagk kontradiktif dengan penemuan Jacques Tréfouёl
dan koleganya, ahli kimia dari Perancis. Pada tahun yang sama, Tréfouёl
menemukan komponen yang tidak berwarna, yaitu Sulfanilamid (p-aminobenzene
sulfonamide), dari urin pasien. Sulfanilamid dibuktikan efektif terhadap bakteri,
baik di laboratorium maupun dalam tubuh. Penelitian-penelitian berikutnya
dilakukan oleh para ilmuwan untuk menemukan antimikroba. Pada tahun 1945,
ditemukan ratusan derivate sulfanilamid, yang kemudian disebut sebagai
sulfonamid atau grup sulfa. Beberapa di antaranya lebih efektif dari sulfanamid
dan masih dipergunakan sampai saat ini untuk terapi infeksi

Fleming dan Penemuan antibiotik Penisilin


Salvarsan dan sulfonamide adalah contoh-contoh ahen kemoterapi sintetik, yang
dibuat oleh ahli kimia di laboratorium. Sedang kemoterapeutika alami disebut dengan
antibiotik. Antibiotik dihasilkan mikroorganisme, dan dalam jumlah sedikit mampu
menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain.
Alexander Fleming, seorang biologis, farmakologis dan botanis dari Skotlandia
Fleming, banyak menulis artikel tentang bakteriologi, imunologi dan kemoterapi.
Penemuannya terbanyak pada tahun 1923, yaitu enzim liozin, dan tahun 1928
menemukan penisilin yang dihasilkan oleh jamur Penicillium notatum.
Selama 25 tahun berikutnya mulai berkembang penelitian-penelitian untuk
menemukan antibiotik. Dikembangkan teknologi isolasi, konsentrasi, purifikasi dan
produksi secara besar-besaran penisilin, kemudian diikuti dengan pengembangan
streptomisin, tetrasiklin, khloramfenikol, dan beberapa antimikroba lainnya.
Antimikroba tersebut diisolasi dari filtrate media pertumbuhan cendawan. Pada saat ini
banyak dikembangkan modifikasi biosintetik untuk menemukan antimikroba yang
lebih proten, dengan toksisitas rendah.

Toksisitas selektif
Beberapa ratus bahan yang mempunyai aktivitas antibiotik, yang diisolasi dari
mikroorganisme beberapa tahun lalu beberapa tahun lalu, kan tetapi hanya beberapa
yang bermanfaat secara klinis, dalam arti toksisitas selektif obat dapat digunakan
secara klinik.
Antimikroba sebaiknya mempunyai sifat toksisitas selektif. Dengan sifat
tersebut, diharapkan antimikroba yang digunakan untuk penanganan masalah klinik
berbahaya bagi parasite, tetapi tidak berbahayabagi hospes. Dapat diartikan bahwa
pemakaian obat tersebut, pada konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh hospes, dapat
menggangu kehidupan mikroorganisme yang menginfeksi. Sebagai dasar penentuan
tingkat toksisitas selektif adalah therapeutic index (TI), yaitu rasio dari dosis toksik
(terhadap pasien), terhadap dosis terapeutik (dosis terapi indeksi). Semakin tinggi TI,
obat semakin aman terhadap manusia ataupun hewan.
Uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa antibacterial
mempunyai sifat toksisitas selektif paling tinggi dibandingkan antiparasit, antiviral
dan anti jamur. Hal tersebut karena bakteri merupakan prokariot, sedangkan hewan,
manusia dan tanaman termasuk eukariotik, sehingga antibakteri mempunyai efek
samping terhadap hospes paling rendah. Sebagai contoh penggunaan obat beta lactam
(penisilin dan derivatnya), membunuh bakteri dengan cara menghambat sintetis
peptidoglikan dinding sel. Pada manusia dan hewan pada dinding sel tidak
mengandung peptidoglikan, sehingga penisilin tidak berefek pada manusia dan hewan.
Antibiotik lainnya adalah streptomisin dan tetrasiklin, yang mempunya target pada
sintetis protein bacterial di ribosom. Riboson bakteri 70S, berbeda dengan ribosom
manusia dan eukariot lainnya 80S. subunit ribosom, komposisi kimia, dan fungsi
spesifik berbeda, sehingga antimikroba hanya mempunyai efek pada sintetis protein
mikroba, tetapi tidak mempunyai efek yang berarti terhadap ribosom mamalia.
Antibiotik fluorquinolon menghambat replikasi DNA prokariot, dan tidak replikasi
DNA eukariot. Rimfamisin menghambat transkripsi DNA prokariot, dan tidak terhadap
transkripsi DNA eukariot.
Jamur merupakan eukariot, sama dengan manusia, hewan dan tanaman.
Antijamur mempunyai tingkat toksisitas selektif rendah, sehingga pemakaian
antijamur dapat berdampak efek samping ke hospes sangat tinggi.

C. TERMINOLOGI PENGENDALIAN MIKROBA

Terminologi Definisi Keterangan


Sterilisasi Penghancuran atau elliminasi Biasanya dilakukan melalui
segala bentuk kehidupan proses penguapan (uap air),
mikroba, termasuk endospore disertai tekanan tinggi atau
penggunakan gas seperti etilen
oksid
Sterilisasi Pemanasan untuk membunuh Endospore bakteri termofilik
komersial endospore, seperti C. biasanya lebih resisten, tetapi
botulinium pada makanan tidak bertahan hidup pada
kaleng penyimpanan suhu normal
Disinfeksi Penghancuran vegetative Dapat berupa metode fisik atau
patogen bahan kimia
Antiseptis Penghancuran vegetative Umumnya mempergunakan
pathogen pada jaringan hidup bahan-bahan antimikroba
Degerming Eliminasi mikroba pada area Umumnya menggunakan
terbatas seperti pada area alcohol yang dioleskan pada
kulit yang akan diinjeksi area yang dikehendaki
Sanitasi Ditujukan untuk mengurangi Mungkin dilakukan dengan
jumlah mikroba pada mencuci pada temperature
peralatan, sebagai upaya tinggi, atau dengan
untuk keselamatan mencelupkan ke dalam
masyarakat disinfektan kimia

Laju Kematian mikroba


Pada saat populasi mikroba dipanaskan atau diberi perlakuan menggunakan bahan
antimikroba, biasanya mati dengan laju konstan. Beberapa factor yang mempengaruhi
efektivitas perlakuan menggunakan antimikroba, yaitu :

1. Konsentrasi agen mikroba


Umumnya semakin tinggi konsentrasi akan memberikan efek lethal pada
mikroba. Ada hubungan antara konsentrasi obat dengan lama paparan, untuk
mendapatkan efek membunuh mikroba, yaitu: Cnt = K
C : Konsentrasi obat
T : waktu paparan
n dan K konstanta

2. Jumlahdari mikroba
Jumlah mikroba pada populasi awal memengaruhi waktu yang diperlukan
antimikroba untuk menurunkan atau membunuh mikroba. Semakin banyak
jumlah mikroba, akan memerlukan waktu lebih lama untuk membunuhnya

3. Lingkungan
Adanya bahan organic dapat menghambat kerja antimikroba. Adanya darah,
sputum, muntahan, feses, memengaruhi kerja disinfektan dan proses
pemanasan

4. Lama waktu paparan


Pada bakteri-bakteri yang lebih resisted dan endospore, aktivitas antimikroba
menjadi efektif apabila waktu paparan yang diberikan lebih lama.
Untuk air susu, biasanya setelah pasteurisasi, diteruskan dengan penggunaan
suhu normal pertumbuhan mikroba, hal tersebut terutama ditujukan untuk
menangani adanya endospore dan disebut tindalisasi

5. pH
konsentrasi ion hydrogen memengaruhi efek bakterisidal obat dan
mikroorganisme. Ketika obat disuspensikan pada medium pertumbuhan
dengan pH 7, bakteri mempunyai muatan negative. Peningkatan pH dapat
meningkatkan muatan medium, yang dapat menggangu konsentrasi efektif
obat yang bekerja pada permukaan sel
pH juga menentukan tingkat ionisasi kimiawi. Secara umum, bentuk non-
ionisasi lebih mudah penetrasi ke dalam sel mikroba disbanding bentuk
ionisasi.
Sterilisasi panas lebih efektif dipergunakan pada kondisi asidik

6. Temperatur
Sifat membunuh bakteri umumnya akan meningkatkan dengan meningkatnya
temperature. Hal tersebut diduga karena reaksi menjadi lebih kompleks pada
temperature tinggi.
Paparan lama pada suhu rendah dapat memberikan efek yang sama dengan
paparan sebentar pada suhu tinggi. Akan tetapi sebagian besar disinfektan
bekerja lebih baik pada suhu hangat

7. Sifat karakteristik mikroba


Termasuk di dalam sifat karakteristik mikroba adalah fasepertumbuhan
perbenihan bakteri, adanya struktur tambahan (contoh: spora, kapsula, biofilm)
memengaruhi kepekaan terhadap pengendalian menggunakan bahan kimia atau
secara fisik. Biofilm melindungi bakteri dari bahan-bahan antimikroba.
D. METODE FISIK PENGENDALIAN MIKROBA
Beberapa metode fisik sudah diterapkan untuk mengendalikan pertumbuhan
mikroba. Proses pengeringan makanan, pengasinan, pembuatan manisan sudah
diterapkan di masyarakat dan merupakan teknik untuk mengendalikan
pertumbuhan mikroba
Sebagian besar bakteri patogenik mempunyai toleransi rendah terhadap
variasi fisik lingkungan yang ekstreme dan umumnya kemampuan hidup di luar
hospes rendah. Beberapa bakteri pembentukan spora mempunyai resistensi
yang tinggi terhadap perubahan lingkungan
Pemilihan metode pengendalian mikroba harus memerhatikan bahan
yang akan diberi perlakuan. Metode yang dipilih tidak boleh merusak bahan.
Pengendalian mikroba dalam air susu sapi, serum tidak boleh menggunakan
pemanasan, karena dapat merusak protein. Enzim, vitamin dan antibiotik
menjadi inaktif karena pemanasan. Beberapa peralatan laboratorium, rumah
sakit, yang menggunakan bahan karet dan lateks dapat rusak karena pemanasan
yang berulang. Pemanasan kering tidak direkomendasikan untuk strerilisasi
beberapa peralatan operasi yang membutuhkan ketajaman, karena dapat
menyebabkan tumpulnya alat.

Panas
Panas merupakan metode sterilisasi yang mudah dilakukan, dan masih
merupakan metode yang banyak dipilih. Pada saat ini banyak kita temukan
beberapa makanan kaleng yang diawetkan dengan cara pemanasan. Pemanasan
masih merupakan metode yang baik untuk mengendalikan mikroba pada
makanan. Media pertumbuhan di laboratorium, peralatan yang berasal dari
gelas, peralatan rumah sakit, biasanya disterilisasi dengan menggunakan
pemanasan. Pemanasan membunuh mikroorganisme dengan cara
mendenaturasi enzim. Dengan pemanasan, bentuk tiga dimensi enzim akan
rusak, sehingga enzim menjadi inaktif.
Beberapa mikroba tahan terhadap panas, terutama yang dapat
membentuk spora. Terminology untuk membedakan ketahanan mikroba
terhadap pemanasan antara lain thermal death point (TDP). TDP adalah
temperature terendah yang menyebabkan semua mikroorganisme pada
suspense cairan tertentu mati dalam waktu 10 menit. Thermal death time adalah
waktu paling minimal yang menyebabkan semua bakteri mati pada kultur cair
tertentu dan suhu tertentu.

1. Panas basah
Sterilisasi menggunakan panas basah membutuhkan waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan panas kering. Panas basah membunuh
mikroorganisme terutama melalui proses denaturasi dan koagulasi dari
protein, yang dapat menyebabkan lepasnya ikatan hydrogen sehingga
bentuk tiga dimensi protein rusak. Pada kejadian sehari-hari, denaturasi
dapat dilihat ketika memasak telur, terjadi koagulasi protein pada putih
telur.
Ada beberapa metode strerilisasi panas basah, yaitu memanaskan pada
air mendidih, menggunakan panas uap air, atau kombinasi panas uap air dan
tekanan. Pada proses pemanasan sampai air mendidih, dapat membunuh
seluruh vegetative bakteri pathogen, membunuh hamper semua virus, jamur
dan sporanya, dalam waktu 10 menit, atau bahkan lebih cepat. Uap panas
(tanpa tekanan), secara garis besar sama dengan temperature air yang
mendidih, akan tetapi endospore dan beberapa virus tidak rusak secara
cepat.
Sterilisasi menggunakan panas basah akan memberikan hasil yang lebih
baik apabila dilakukan pada suhu di atas suhu mendidih. Suhu yang tinggi
dapat lebih cepat membunuh mikroba apabila panas basah disertai dengan
tekanan, karena suhu melebihi dari suhu air mendidih. Sebagai contoh
pemakaian autoklaf (table 9.4.1). autoklaf merupakan salah satu metode
sterilisasi yang disukai, karena bahan yang disterilisasi tidak rusak oleh
panas.
Semakin tinggi tekanan dalam autoklaf, maka semakin tinggi suhunya.
Sterilisasi menggunakan autoklaf masih merupakan metode yang paling
efektif, organisme kontak secara langsung dengan uap air dan menggunakan
hanya sedikit cairan, pada kondisi seperti autoklaf, maka pada tekanan
sekitar 15 psi (1210C), dapat membunuh semua organisme (tetapi tidak
terhadap prion). Endospore biasanya mati dalam waktu 15 menit.
Untuk bahan-bahan padat, pemanasan memerlukan waktu yang lebih
lama. Demikian juga untuk cairan yang terdapat di dalam suatu wadah padat
(table 9.4.2). Pada sterilisasi bahan-bahan padat, maka harus dipastikan
bahwa uap air kontak dengan semua permukaan bahan.
Pada proses autoklaf, untuk material padat sebaiknya tidak
menggunakan pembungkus alumunium foil, dapat diganti menggunakan
kertas. Diusahakan tidak ada air yang terjebak dalam botol yang
disterilisasi, karena air tidak akan hilang oleh uap air.
Sterilisasi cairan atau material semisolid yang mudah rusak oleh panas,
dianjurkan menggunakan metode sterilisasi fraksional. Proses tersebut
disebut juga tindalisasi. Proses tindalisasi meliputi pemanasan pada 800C
atau 1000C selama 30 menit, tiga hari berturut-turut. Diharapkan dengan
metode ini, semua sel vegetative mikroba dan spora mati pada pemanasan
pertama; spora yang lebih resistanakan germinasi, dan mati pada pemanasan
kedua dan ketiga.

B. Pasteurisasi
Louis Pasteur menemukan metode praktis untuk menghindari pembusukan
minuman bir dan anggur. Pasteur menggunakan pemanasan sedang yang
dapat mematikan mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan tanpa
merusak secara serius rasa dan kandungan produk. Cara tersebut telah
diaplikasikan untuk susu dan disebut pasteurisasi. Dalam kulkas susu yang
sudah di pasteurisasi akan tetap mempunyai kualitas bagus dalam waktu
yang lebih lama. Produk-produk lai nseperti es krim, yogurt, bir mempunyai
waktu dan suhu pasteurisasi tertentu
Pasteurisasi susu biasanya dilakukan dalam waktu 30 menit, pada suhu
sekitar 600C - 650C. saat ini pasteurisasi ada yang menggunakan metode
HTST (high-temperature short-time), yaitu pasteurisasi pada suhu
sekurang-kurangnya 720C dalam waktu 15 deetik. Teknik lain adalah UHT
(ultra-high-temperature), susu dipasteurisasi pada suhu yang sangat tinggi,
dalam waktu kurang dari satu detik. Pasteurisasi tidak hanya mensterilkan
susu, tetapi yang lebih penting adalah pencegahan penyebaran penyakit
melalui susu.

C. Panas Kering
Sterilisasi menggunakan panas kering bekerja melalui proses oksidasi.
Salah satu metode paling sederhana dari sterilisasi panas kering adalah
pemanasan secara langsung (flaming). Metode ini sering dilakukan di
laboratorium mikrobiologi, yaitu pada saat akan dan setelah pengambilan
isolate bakteri menggunakan mata ose. Mata ose dipanaskan di atas nyala
api, sampai menjadi merah. Prinsip yang sama dilakukan pada saat
membakar bahan-nahan yang terkontaminasi bakteri (baju, kertas, dll) di
tempat pembakaran (incinerator)
Bentuk lain dari sterilisasi panas kering adalah sterilisasi menggunakan
udara panas (hot-air sterilization). Sterilisasi ini dengan cara memasukkan
bahan yang disterilisasi ke dalam oven. Sterilisasi panas kering
membutuhkan waktu yang lebih lama dan suhu yang lebih tinggi, yaitu
hamper 2 jam, pada sekitar 1700C. metode sterilisasi ini dapat membunuh
semua mikroorganisme, termasuk spora.

Filtrasi
Filtrasi mmerupakan metode sterilisasi dengan cara melewakan bahan yang
umumnya berbentuk cairan atau gas, melalui alat yang menyerupai saringan
dengan pori-pori yang sangat kecil, yang dapat menahan mikroorganisme.
Filtrasi ini banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan-bahan yang tidak
tahan panas. Cairan antibiotik, serum, medium pertumbuhan, enzim, vaksin,
disterilisasi dengan metide filtrasi.
Dalam kamar operasi, pasien mendapatkan udara yang lebih difiltrasi,
untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi udara.
Filter yang digunakan adalah high-efficienty particular air (HEPA), dengan
diameter pori 0.33 um, mampu menyaring hamper semua mikroorganisme
di udara. Biosafety laminar flow, biohazard laminal flow , menggunakan
filter HEPA untuk mengurangi kontaminasi cabinet dari mikroorganisme
udara.

Temperatur rendah
Efek temperature rendah terhadap miktoorganisme tergantung dari jenis
mikroba dan berapa lama waktu paparan. Pada temparatur refrigerator (0-
70C), laju metabolism pada sebagian besar mikroba menurun, mikroba tidak
dapat melakukan reproduksi ataupun sintetis toksin. Refrigerator
mempunyai efek bateriostatik. Mikroba psikofil dapat tumbuh lambat di
refrigerator, dan masih mempunyai kemampuan menyebabkan kerusakan
makanan. Mikroba patogenik umumnya tidak dapat tumbuh pada
temperature refrigerator.

Temperatur Efek terhadap pertumbuhan bakteri


Tidak ada pertumbuhan yang berarti di bawah suhu
-300C - 00C
beku
Bakteri pembusuk dapat tumbuh lambat. Hanya
00C - 70C
sedikit bakteri pathogen dapat tumbuh
(suhu
refrigerator)
Beberapa bakteri bertahan hidup, dan beberapa yang
70C - 200C
mampu tumbuh

Metode kering beku (freeze – drying) disebut liofilisasi, sering


dipergunakan untuk penyimpanan perbenihan bakteri. Menggunakan
metode ini kematian sel dapat berkurang

Tekanan tinggi
Tekanan tinggi biasanya dipergunakan untuk peralatan yang berfungsi
menyalurkan suspense cairan, dari satu tempat ke tempat yang lain.
Tekanan yang cukup tinggi dapat merusak struktur molekuler protein dan
karbohidrat, sehingga dapat menyebabkan sel vegetative bakteri secara
cepat menjadi tidak aktif. Endospore relative tahan terhadap tekanan tinggi.
Endospore dapat dimatikan dengan metode kombinasi antara suhu dan
tekanan tinggi atau dengan kombinasi antara tekanan yang mengganggu
siklus germinasi dan tekanan yang mematikan sel vegetative. Di Jepang dan
Amerika telah menjual jus buah yang diawetkan dengan perlakuan tekanan
tinggi. Pengawetan dengan tekanan tinggi dapat menjaga kualiltas jus,
karena rasa, warna dan kandungan jus masih bagus.

Pengeringan (Desikasi)
Pada kondisi lingkungan tidak terdapat air (desikasi), mikriorganisme tidak
dapat tumbuh, melakukan reproduksi, akan tetapi masih dapat hidup untuk
beberapa tahun. Bakteri disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama
dengan metode ini, seperti liofilisasi (lyophilization) atau kering-beku
(freeze-drying). Kopi dan sereal juga melalui proses kering-beku.
Resistensi sel vegetative bakteri terhadap perngeringan bervariasi
tergantung spesies dan lingkungannya. Bakteri gonorrhea hanya mampu
bertahan hidup selama satu jam pada kondisi kekeringan, M. tuberculosis
dapat bertahan hidup sampai beberapa bulan. Virus umumnya lebih tahan
terhadap kekeringan , tetapi tidak lebih tahan dibandingkan dengan spora
bakteri.

Tekanan osmotic
Pemanfaatan tekanan osmotic sering dipergunakan untuk pengawetan
makanan, seperti asinan sayuran, manisan, garam dan gula dengan
konsentrasi tinggi dapat dimanfaatkan untuk pengawetan makanan, karena
pegaruh tingginya tekanan osmotic. Konsentrasi yang tinggi menyebabkan
suasana hipertonik untuk bakteri, sehingga air keluar dari sel bakteri.
Metode pengendalian mikroba ini mirip dengan desikasi. Kelembapan pada
desikasi maupun tekanan osmotic tidak sesuai untuk pertumbuhan mikroba.

Radiasi
Radiasi mempunyai efek yang bervariasi terhadap sel, tergantung dari
panjang gelombang, intensitas, dan lama paparan. Radiasi yang dapat
membunuh mikroorganisme (sterilizing radiation) dibagi menjadi dua tipe,
yaitu ionisasi dan non ionisasi.
A. Radiasi ionisasi
Gamma ray, X ray, atau sinaar radiasi dengan energy electron tinggi,
mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek disbanding radiasi
yang tidak melalui proses ionisasi, kurang dari 1nm, sehingga
membawa energy yang lebi tinggi.
Prinsip kerja dari radiasi ionisasi adalah proses ionisasi air, membentuk
oksigen toksik (radikal hidroksil reaktif). Radikal tersebut bersifat
sangat reaktif, akan bereaksi dengan komponen organic seluler, seperti
protein, enzim, lipid, karbohidrat, dan terutama DNA. Pada proses
radiasi, apda paparan radiasi pertama atau hanya beberapa kali radiasi,
dapat menyebabkan mutase tetapi tidak lethal bagi mikroorganisme. Hal
tersebut kadang menguntungkan mikroorganisme. Pada paparan yang
lebih banyak, dapat menyebabkan mutase dan akhirnya membunuh
mikroorganisme.
Pabrik makanan, saat ini sudah banyak yang memanfaatkan radiasi
untuk mengawetkan makanan. Derajat rendah radiasi ionisasi yang
tidak membahayakan telah diaplikasikan oleh beberapa negara. USA
memanfaatkannya untuk memproses bumbu rempah-rempah, daging
dan sayuran tertentu. Radiasi ionisasi, terutama sinar electron energy
tinggi, dipergunakan untuk sterilisasi pabrik obat-obatan, bahan dental
sekali pakai, peralatan medik (plastic, siring, sarung tangan untuk
operasi, peralatan bedah, dan kateter). Bahkan dapat dimanfaatkan
untuk proteksi adanya bioterorisme.
B. Radiasi non ionisasi
Radiasi non ionisasi mempunyai panjang gelombang lebih panjang dari
radiasi ionisasi, dan lebih besar dari 1 nm. Contoh yang sudah dikenal
untuk radiasi non ionisasi adalah radiasi sinar ultra violet (UV). Sinar
UV bersifat mutagenic, dapat merusak DNA sel yang terpapar,
menyebabkan terbentuknya ikatan diantara basa pirimidin yang
berdekatan (biasanya dengna timin), pada satu pita DNA, terbentuk
cyclobutane-type pyrimidine dimer. Dimer pirimidin (dimer timin)
menyebabkan distorsi struktur DNA, menyebabkan kekeliruan repliaski
DNA pada saat terjadi pembelahan sel.
Manfaat radiasi sinar UV karena efektif untuk membunuh
mikroorganisme, yaitu pada panjang gelombang 240-280 nm, dan
paling efektif pada 260 nm. Pada panjang gelombang tersebut, UV dapat
masuk terabsorsi secara maksimum oleh DNA seluler. Radiasi UV juga
dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan mikroba di udara. UV
bersifat germisidal. Lampu UV dapat ditemukan di ruang-ruang rumah
sakit (seperti ruang perawatan pasien, ruang operasi), di laboratorium
(seperti ruang kultur mikroba, ruang kultur sel, ruang isolasi DNA dan
RNA), di beberapa pabrik (seperti disinfeksi vaksin, peralatan medik).
Kelemahan dari radiasi sinar UV adalah kurangnya kemampuan
penetrasi, sehingga disinfeksi biasanya hanya pada bagian-bagian yang
kontak langsung dengan sinar UV. Bahaya potensial dari sinar UV
apabila kontak dengan mata, karena dapat merusak mata. Paparan lama
dengna sinar UV dapat menyebabkan terbakar, dan kanker kulit
Sinar matahari mengandung radiasi sinar UV dengan panjang
gelombang pendek, sehingga sangat efekitif terhadap miktoorganisme,
karena tersaring oleh adanya lapisan ozon atmosfir. Efek antimikroba
dari sinar UV adalah pembentukan oksigen singlet dalam sitoplasma sel
mikroba. Beberapa pigen diproduksi oleh bakteri untuk melindungi diri
dari sinar matahari.

Anda mungkin juga menyukai