A. Pendahuluan
Pengendalian mikroba telah dimulai oleh para ilmuwan sekitar 100 tahun
lalu. Saat itu, kematian akibat infeksi nosokomial pada proses pembedahan
mencapai 10% dan angka kematian ibu melahirkan tinggi, hingga 25%. Pada
pertengahan tahun 1800, Ignas Semmelweis dan Joseph Lister ilmuwan pertama
yang berpikir untuk mengembangkan cara praktis untuk mengendalikan mikroba
dalam penanganan medik. Cara praktis tersebut meliputi mencuci tangan
menggunakan klorid jeruk limau dan teknik bedah aseptik untuk menghindari
kontaminasi pada luka bedah (Sri Murwani, 2015).
Paul Ehrlich mengenalkan kemoterapi dengan konsep afinitas selektif
menggunakan pewarna. Pada tahun 1904, Erlich mengenalkan juga bahwa
antimikroba harus mampu berikatan secara spesifik dengan mikroba, tetap tidak
dengan sel hospes. Dinyatakan bahwa selektivitas tersebut merupakan syarat
penting suatu kemoterapi (Sri Murwani, 2015).
Kemoterapi merupakan perlakuan untuk kesembuhan terhadap suatu
penyakit menggunakan substansi kimia. Bahan kimiawi kemoterapi disebut agen
kemoterapeutik. Beberapa di antara bahan kimiawi tersebut dihasilkan
mikroorganisme, disebut antibiotik (Sri Murwani, 2015).
Para ilmuwan masih terus melakukan penelitian untuk mengembangkan
berbagai metode fisik dan agen kimia untuk mengendalikan pertumbuhan
mikroba. Pemilihan kemoterapi, metode pemberian, dosis, jangka waktu
pemberian yang tepat menjadi hal yang sangat penting harus diperhatikan.
Penggunaan yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi
mikroorganisme terhadap obat dan dapat mengganggu keseimbangan flora normal
tubuh manusia. (Sri Murwani, 2015).
Toksisitas selektif
Beberapa ratus bahan yang mempunyai aktivitas antibiotik, yang diisolasi dari
mikroorganisme beberapa tahun lalu beberapa tahun lalu, kan tetapi hanya beberapa
yang bermanfaat secara klinis, dalam arti toksisitas selektif obat dapat digunakan
secara klinik.
Antimikroba sebaiknya mempunyai sifat toksisitas selektif. Dengan sifat
tersebut, diharapkan antimikroba yang digunakan untuk penanganan masalah klinik
berbahaya bagi parasite, tetapi tidak berbahayabagi hospes. Dapat diartikan bahwa
pemakaian obat tersebut, pada konsentrasi yang dapat ditoleransi oleh hospes, dapat
menggangu kehidupan mikroorganisme yang menginfeksi. Sebagai dasar penentuan
tingkat toksisitas selektif adalah therapeutic index (TI), yaitu rasio dari dosis toksik
(terhadap pasien), terhadap dosis terapeutik (dosis terapi indeksi). Semakin tinggi TI,
obat semakin aman terhadap manusia ataupun hewan.
Uraian tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa antibacterial
mempunyai sifat toksisitas selektif paling tinggi dibandingkan antiparasit, antiviral
dan anti jamur. Hal tersebut karena bakteri merupakan prokariot, sedangkan hewan,
manusia dan tanaman termasuk eukariotik, sehingga antibakteri mempunyai efek
samping terhadap hospes paling rendah. Sebagai contoh penggunaan obat beta lactam
(penisilin dan derivatnya), membunuh bakteri dengan cara menghambat sintetis
peptidoglikan dinding sel. Pada manusia dan hewan pada dinding sel tidak
mengandung peptidoglikan, sehingga penisilin tidak berefek pada manusia dan hewan.
Antibiotik lainnya adalah streptomisin dan tetrasiklin, yang mempunya target pada
sintetis protein bacterial di ribosom. Riboson bakteri 70S, berbeda dengan ribosom
manusia dan eukariot lainnya 80S. subunit ribosom, komposisi kimia, dan fungsi
spesifik berbeda, sehingga antimikroba hanya mempunyai efek pada sintetis protein
mikroba, tetapi tidak mempunyai efek yang berarti terhadap ribosom mamalia.
Antibiotik fluorquinolon menghambat replikasi DNA prokariot, dan tidak replikasi
DNA eukariot. Rimfamisin menghambat transkripsi DNA prokariot, dan tidak terhadap
transkripsi DNA eukariot.
Jamur merupakan eukariot, sama dengan manusia, hewan dan tanaman.
Antijamur mempunyai tingkat toksisitas selektif rendah, sehingga pemakaian
antijamur dapat berdampak efek samping ke hospes sangat tinggi.
2. Jumlahdari mikroba
Jumlah mikroba pada populasi awal memengaruhi waktu yang diperlukan
antimikroba untuk menurunkan atau membunuh mikroba. Semakin banyak
jumlah mikroba, akan memerlukan waktu lebih lama untuk membunuhnya
3. Lingkungan
Adanya bahan organic dapat menghambat kerja antimikroba. Adanya darah,
sputum, muntahan, feses, memengaruhi kerja disinfektan dan proses
pemanasan
5. pH
konsentrasi ion hydrogen memengaruhi efek bakterisidal obat dan
mikroorganisme. Ketika obat disuspensikan pada medium pertumbuhan
dengan pH 7, bakteri mempunyai muatan negative. Peningkatan pH dapat
meningkatkan muatan medium, yang dapat menggangu konsentrasi efektif
obat yang bekerja pada permukaan sel
pH juga menentukan tingkat ionisasi kimiawi. Secara umum, bentuk non-
ionisasi lebih mudah penetrasi ke dalam sel mikroba disbanding bentuk
ionisasi.
Sterilisasi panas lebih efektif dipergunakan pada kondisi asidik
6. Temperatur
Sifat membunuh bakteri umumnya akan meningkatkan dengan meningkatnya
temperature. Hal tersebut diduga karena reaksi menjadi lebih kompleks pada
temperature tinggi.
Paparan lama pada suhu rendah dapat memberikan efek yang sama dengan
paparan sebentar pada suhu tinggi. Akan tetapi sebagian besar disinfektan
bekerja lebih baik pada suhu hangat
Panas
Panas merupakan metode sterilisasi yang mudah dilakukan, dan masih
merupakan metode yang banyak dipilih. Pada saat ini banyak kita temukan
beberapa makanan kaleng yang diawetkan dengan cara pemanasan. Pemanasan
masih merupakan metode yang baik untuk mengendalikan mikroba pada
makanan. Media pertumbuhan di laboratorium, peralatan yang berasal dari
gelas, peralatan rumah sakit, biasanya disterilisasi dengan menggunakan
pemanasan. Pemanasan membunuh mikroorganisme dengan cara
mendenaturasi enzim. Dengan pemanasan, bentuk tiga dimensi enzim akan
rusak, sehingga enzim menjadi inaktif.
Beberapa mikroba tahan terhadap panas, terutama yang dapat
membentuk spora. Terminology untuk membedakan ketahanan mikroba
terhadap pemanasan antara lain thermal death point (TDP). TDP adalah
temperature terendah yang menyebabkan semua mikroorganisme pada
suspense cairan tertentu mati dalam waktu 10 menit. Thermal death time adalah
waktu paling minimal yang menyebabkan semua bakteri mati pada kultur cair
tertentu dan suhu tertentu.
1. Panas basah
Sterilisasi menggunakan panas basah membutuhkan waktu yang lebih cepat
dibandingkan dengan panas kering. Panas basah membunuh
mikroorganisme terutama melalui proses denaturasi dan koagulasi dari
protein, yang dapat menyebabkan lepasnya ikatan hydrogen sehingga
bentuk tiga dimensi protein rusak. Pada kejadian sehari-hari, denaturasi
dapat dilihat ketika memasak telur, terjadi koagulasi protein pada putih
telur.
Ada beberapa metode strerilisasi panas basah, yaitu memanaskan pada
air mendidih, menggunakan panas uap air, atau kombinasi panas uap air dan
tekanan. Pada proses pemanasan sampai air mendidih, dapat membunuh
seluruh vegetative bakteri pathogen, membunuh hamper semua virus, jamur
dan sporanya, dalam waktu 10 menit, atau bahkan lebih cepat. Uap panas
(tanpa tekanan), secara garis besar sama dengan temperature air yang
mendidih, akan tetapi endospore dan beberapa virus tidak rusak secara
cepat.
Sterilisasi menggunakan panas basah akan memberikan hasil yang lebih
baik apabila dilakukan pada suhu di atas suhu mendidih. Suhu yang tinggi
dapat lebih cepat membunuh mikroba apabila panas basah disertai dengan
tekanan, karena suhu melebihi dari suhu air mendidih. Sebagai contoh
pemakaian autoklaf (table 9.4.1). autoklaf merupakan salah satu metode
sterilisasi yang disukai, karena bahan yang disterilisasi tidak rusak oleh
panas.
Semakin tinggi tekanan dalam autoklaf, maka semakin tinggi suhunya.
Sterilisasi menggunakan autoklaf masih merupakan metode yang paling
efektif, organisme kontak secara langsung dengan uap air dan menggunakan
hanya sedikit cairan, pada kondisi seperti autoklaf, maka pada tekanan
sekitar 15 psi (1210C), dapat membunuh semua organisme (tetapi tidak
terhadap prion). Endospore biasanya mati dalam waktu 15 menit.
Untuk bahan-bahan padat, pemanasan memerlukan waktu yang lebih
lama. Demikian juga untuk cairan yang terdapat di dalam suatu wadah padat
(table 9.4.2). Pada sterilisasi bahan-bahan padat, maka harus dipastikan
bahwa uap air kontak dengan semua permukaan bahan.
Pada proses autoklaf, untuk material padat sebaiknya tidak
menggunakan pembungkus alumunium foil, dapat diganti menggunakan
kertas. Diusahakan tidak ada air yang terjebak dalam botol yang
disterilisasi, karena air tidak akan hilang oleh uap air.
Sterilisasi cairan atau material semisolid yang mudah rusak oleh panas,
dianjurkan menggunakan metode sterilisasi fraksional. Proses tersebut
disebut juga tindalisasi. Proses tindalisasi meliputi pemanasan pada 800C
atau 1000C selama 30 menit, tiga hari berturut-turut. Diharapkan dengan
metode ini, semua sel vegetative mikroba dan spora mati pada pemanasan
pertama; spora yang lebih resistanakan germinasi, dan mati pada pemanasan
kedua dan ketiga.
B. Pasteurisasi
Louis Pasteur menemukan metode praktis untuk menghindari pembusukan
minuman bir dan anggur. Pasteur menggunakan pemanasan sedang yang
dapat mematikan mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan tanpa
merusak secara serius rasa dan kandungan produk. Cara tersebut telah
diaplikasikan untuk susu dan disebut pasteurisasi. Dalam kulkas susu yang
sudah di pasteurisasi akan tetap mempunyai kualitas bagus dalam waktu
yang lebih lama. Produk-produk lai nseperti es krim, yogurt, bir mempunyai
waktu dan suhu pasteurisasi tertentu
Pasteurisasi susu biasanya dilakukan dalam waktu 30 menit, pada suhu
sekitar 600C - 650C. saat ini pasteurisasi ada yang menggunakan metode
HTST (high-temperature short-time), yaitu pasteurisasi pada suhu
sekurang-kurangnya 720C dalam waktu 15 deetik. Teknik lain adalah UHT
(ultra-high-temperature), susu dipasteurisasi pada suhu yang sangat tinggi,
dalam waktu kurang dari satu detik. Pasteurisasi tidak hanya mensterilkan
susu, tetapi yang lebih penting adalah pencegahan penyebaran penyakit
melalui susu.
C. Panas Kering
Sterilisasi menggunakan panas kering bekerja melalui proses oksidasi.
Salah satu metode paling sederhana dari sterilisasi panas kering adalah
pemanasan secara langsung (flaming). Metode ini sering dilakukan di
laboratorium mikrobiologi, yaitu pada saat akan dan setelah pengambilan
isolate bakteri menggunakan mata ose. Mata ose dipanaskan di atas nyala
api, sampai menjadi merah. Prinsip yang sama dilakukan pada saat
membakar bahan-nahan yang terkontaminasi bakteri (baju, kertas, dll) di
tempat pembakaran (incinerator)
Bentuk lain dari sterilisasi panas kering adalah sterilisasi menggunakan
udara panas (hot-air sterilization). Sterilisasi ini dengan cara memasukkan
bahan yang disterilisasi ke dalam oven. Sterilisasi panas kering
membutuhkan waktu yang lebih lama dan suhu yang lebih tinggi, yaitu
hamper 2 jam, pada sekitar 1700C. metode sterilisasi ini dapat membunuh
semua mikroorganisme, termasuk spora.
Filtrasi
Filtrasi mmerupakan metode sterilisasi dengan cara melewakan bahan yang
umumnya berbentuk cairan atau gas, melalui alat yang menyerupai saringan
dengan pori-pori yang sangat kecil, yang dapat menahan mikroorganisme.
Filtrasi ini banyak dipergunakan untuk sterilisasi bahan-bahan yang tidak
tahan panas. Cairan antibiotik, serum, medium pertumbuhan, enzim, vaksin,
disterilisasi dengan metide filtrasi.
Dalam kamar operasi, pasien mendapatkan udara yang lebih difiltrasi,
untuk mengurangi jumlah mikroorganisme yang mengkontaminasi udara.
Filter yang digunakan adalah high-efficienty particular air (HEPA), dengan
diameter pori 0.33 um, mampu menyaring hamper semua mikroorganisme
di udara. Biosafety laminar flow, biohazard laminal flow , menggunakan
filter HEPA untuk mengurangi kontaminasi cabinet dari mikroorganisme
udara.
Temperatur rendah
Efek temperature rendah terhadap miktoorganisme tergantung dari jenis
mikroba dan berapa lama waktu paparan. Pada temparatur refrigerator (0-
70C), laju metabolism pada sebagian besar mikroba menurun, mikroba tidak
dapat melakukan reproduksi ataupun sintetis toksin. Refrigerator
mempunyai efek bateriostatik. Mikroba psikofil dapat tumbuh lambat di
refrigerator, dan masih mempunyai kemampuan menyebabkan kerusakan
makanan. Mikroba patogenik umumnya tidak dapat tumbuh pada
temperature refrigerator.
Tekanan tinggi
Tekanan tinggi biasanya dipergunakan untuk peralatan yang berfungsi
menyalurkan suspense cairan, dari satu tempat ke tempat yang lain.
Tekanan yang cukup tinggi dapat merusak struktur molekuler protein dan
karbohidrat, sehingga dapat menyebabkan sel vegetative bakteri secara
cepat menjadi tidak aktif. Endospore relative tahan terhadap tekanan tinggi.
Endospore dapat dimatikan dengan metode kombinasi antara suhu dan
tekanan tinggi atau dengan kombinasi antara tekanan yang mengganggu
siklus germinasi dan tekanan yang mematikan sel vegetative. Di Jepang dan
Amerika telah menjual jus buah yang diawetkan dengan perlakuan tekanan
tinggi. Pengawetan dengan tekanan tinggi dapat menjaga kualiltas jus,
karena rasa, warna dan kandungan jus masih bagus.
Pengeringan (Desikasi)
Pada kondisi lingkungan tidak terdapat air (desikasi), mikriorganisme tidak
dapat tumbuh, melakukan reproduksi, akan tetapi masih dapat hidup untuk
beberapa tahun. Bakteri disimpan dalam jangka waktu yang lebih lama
dengan metode ini, seperti liofilisasi (lyophilization) atau kering-beku
(freeze-drying). Kopi dan sereal juga melalui proses kering-beku.
Resistensi sel vegetative bakteri terhadap perngeringan bervariasi
tergantung spesies dan lingkungannya. Bakteri gonorrhea hanya mampu
bertahan hidup selama satu jam pada kondisi kekeringan, M. tuberculosis
dapat bertahan hidup sampai beberapa bulan. Virus umumnya lebih tahan
terhadap kekeringan , tetapi tidak lebih tahan dibandingkan dengan spora
bakteri.
Tekanan osmotic
Pemanfaatan tekanan osmotic sering dipergunakan untuk pengawetan
makanan, seperti asinan sayuran, manisan, garam dan gula dengan
konsentrasi tinggi dapat dimanfaatkan untuk pengawetan makanan, karena
pegaruh tingginya tekanan osmotic. Konsentrasi yang tinggi menyebabkan
suasana hipertonik untuk bakteri, sehingga air keluar dari sel bakteri.
Metode pengendalian mikroba ini mirip dengan desikasi. Kelembapan pada
desikasi maupun tekanan osmotic tidak sesuai untuk pertumbuhan mikroba.
Radiasi
Radiasi mempunyai efek yang bervariasi terhadap sel, tergantung dari
panjang gelombang, intensitas, dan lama paparan. Radiasi yang dapat
membunuh mikroorganisme (sterilizing radiation) dibagi menjadi dua tipe,
yaitu ionisasi dan non ionisasi.
A. Radiasi ionisasi
Gamma ray, X ray, atau sinaar radiasi dengan energy electron tinggi,
mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek disbanding radiasi
yang tidak melalui proses ionisasi, kurang dari 1nm, sehingga
membawa energy yang lebi tinggi.
Prinsip kerja dari radiasi ionisasi adalah proses ionisasi air, membentuk
oksigen toksik (radikal hidroksil reaktif). Radikal tersebut bersifat
sangat reaktif, akan bereaksi dengan komponen organic seluler, seperti
protein, enzim, lipid, karbohidrat, dan terutama DNA. Pada proses
radiasi, apda paparan radiasi pertama atau hanya beberapa kali radiasi,
dapat menyebabkan mutase tetapi tidak lethal bagi mikroorganisme. Hal
tersebut kadang menguntungkan mikroorganisme. Pada paparan yang
lebih banyak, dapat menyebabkan mutase dan akhirnya membunuh
mikroorganisme.
Pabrik makanan, saat ini sudah banyak yang memanfaatkan radiasi
untuk mengawetkan makanan. Derajat rendah radiasi ionisasi yang
tidak membahayakan telah diaplikasikan oleh beberapa negara. USA
memanfaatkannya untuk memproses bumbu rempah-rempah, daging
dan sayuran tertentu. Radiasi ionisasi, terutama sinar electron energy
tinggi, dipergunakan untuk sterilisasi pabrik obat-obatan, bahan dental
sekali pakai, peralatan medik (plastic, siring, sarung tangan untuk
operasi, peralatan bedah, dan kateter). Bahkan dapat dimanfaatkan
untuk proteksi adanya bioterorisme.
B. Radiasi non ionisasi
Radiasi non ionisasi mempunyai panjang gelombang lebih panjang dari
radiasi ionisasi, dan lebih besar dari 1 nm. Contoh yang sudah dikenal
untuk radiasi non ionisasi adalah radiasi sinar ultra violet (UV). Sinar
UV bersifat mutagenic, dapat merusak DNA sel yang terpapar,
menyebabkan terbentuknya ikatan diantara basa pirimidin yang
berdekatan (biasanya dengna timin), pada satu pita DNA, terbentuk
cyclobutane-type pyrimidine dimer. Dimer pirimidin (dimer timin)
menyebabkan distorsi struktur DNA, menyebabkan kekeliruan repliaski
DNA pada saat terjadi pembelahan sel.
Manfaat radiasi sinar UV karena efektif untuk membunuh
mikroorganisme, yaitu pada panjang gelombang 240-280 nm, dan
paling efektif pada 260 nm. Pada panjang gelombang tersebut, UV dapat
masuk terabsorsi secara maksimum oleh DNA seluler. Radiasi UV juga
dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan mikroba di udara. UV
bersifat germisidal. Lampu UV dapat ditemukan di ruang-ruang rumah
sakit (seperti ruang perawatan pasien, ruang operasi), di laboratorium
(seperti ruang kultur mikroba, ruang kultur sel, ruang isolasi DNA dan
RNA), di beberapa pabrik (seperti disinfeksi vaksin, peralatan medik).
Kelemahan dari radiasi sinar UV adalah kurangnya kemampuan
penetrasi, sehingga disinfeksi biasanya hanya pada bagian-bagian yang
kontak langsung dengan sinar UV. Bahaya potensial dari sinar UV
apabila kontak dengan mata, karena dapat merusak mata. Paparan lama
dengna sinar UV dapat menyebabkan terbakar, dan kanker kulit
Sinar matahari mengandung radiasi sinar UV dengan panjang
gelombang pendek, sehingga sangat efekitif terhadap miktoorganisme,
karena tersaring oleh adanya lapisan ozon atmosfir. Efek antimikroba
dari sinar UV adalah pembentukan oksigen singlet dalam sitoplasma sel
mikroba. Beberapa pigen diproduksi oleh bakteri untuk melindungi diri
dari sinar matahari.