Disusun Oleh
Kelompok 2
Puji syukur dengan tulus saya ucapkan kehadiran Allah SWT, karena berkat Taufik
dan hidayahnya, makalah Sejarah Perkembangan Pers tentang Pers Jepang bisa hadir
ditengah-tengah kita semua.
Namun demikian, disadari bahwa sungguhpun makalah ini telah mengalami revisi
dan penambahan, didalamnya masih banyak kekurangan.
Kekurangan ini akan diupayakan untuk terus disempurnakan sesuai kemampuan
penulis. Untuk itu saran dan kritik dari pembaca guna menyempurnakan buku ini akan
disambut dengan senang hati.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dan ini berjalan hingga pasukan Jepang masuk ke Jawa (1942). Yang lebih terkenal ialah
S. Kubo yang berusaha mendirikan suratkabar dengan modal Jepang; tetapi dalam
perkembangannya justru gagal, dengan mengikutkan dua orang wartawan Indonesia
terkemuka di zamannya, yaitu Saeroen dan Soediono Djojopranoto. Semula S. Kubo
bersama rekannya telah berhasil menerbitkan suratkabar berbahasa Jepang, Java Nippo.
Sewaktu timbul sengketa internal maka S. Kubo mendirikan suratkabar sendiri
bernama Nichiran Sogyo Shimbun, yang di kemudian hari berganti nama menjadi Tohindo
Nippo. Pemerintah Hindia Belanda mencium bahwa Kubo berniat juga menerbitkan
suratkabar dalam bahasa Indonesia, di samping usahanya yang sudah berhasil,
menerbitkan suratkabar Cina dengan huruf Cina yang mempergunakan tenaga
redaktur Cina. Usaha Kubo hendak diperluas, mengusahakan penerbitan Indonesia
dengan tenaga Indonesia pula. Yang dihubungi adalah Saeroen. Antara keduanya
kemudian tercapai persetujuan bahwa yang bergerak Saeroen dan yang memodali pihak
Jepang. Maka dibelilah percetakan Tjahaja Pasundan milik Sasmita. Untuk
menghilangkan kecurigaan pihak pemerintah (Hindia Belanda), maka Sasmita pun
dibenarkan tetap menjadi pemimpin percetakan itu. Dicarilah tenaga redaksi yang
dipercayakan kepada Soediono Djojopranoto; sedangkan korannya diberi nama Warta
Suratkabar yang berkantor di Jalan Kramat Raya Jakarta.
Selang beberapa waktu kemudian S.Kubo mendapat kabar, bahwa proses
pembelian percetakan kurang beres, karena masih ada kekurangan pembayaran, meskipun
kepada Saeroen telah diberikan uang seluruhnya. S. Kubo kemudian minta nasehat kepada
atasannya yang ternyata adalah salah satu cabang atau bagian dari Kementerian Luar
Negeri Jepang. Kepada Kubodianjurkan agar melapor kepada Kejaksaan Tinggi Hindia
Belanda. Dengan adanya laporan Kubo itu maka usaha pemerintah mengusut liku-liku
Jepang dalam usaha berpropaganda melalui pers di Indonesia mendapat jalan.
Dalam perkembangannya, Saeroen ditahan, kemudian dijatuhi hukuman karena terbukti
kesalahannya. Dengan adanya apa yang kemudian dikenal sebagai“kubo-affair” itu,
gemparlah seluruh pers di Indonesia. Pers Belanda paling santer menyiarkan peristiwa itu
dan berulang kali mengingatkan adanya bahaya kuning yang akan datang dari Utara.
Sementara itu pers Tionghoa-Melayu sikapnya terpecah, sebab, kala itu ada
yang menganut faham pro Chiang Kai Shek, dan ada pula yang diam-diam yang memang
pro Jepang.
Sedangkan pers Indonesia sebagian besar menyuguhkan berita “kubo affair” secara
apaadanya. Usaha Jepang untuk mempengaruhi masyarakat Indonesia dengan media massa
tidak terhenti sampai di situ saja. Beberapa waktu sebelum Perang Pasifik pecah, dari
Tokyo dengan gencar dan teratur tiap petang diadakan siaran radio. Yang menjadi
penyiarnya adalah Jusuf Hassan; dan tiap kali sebelum penyiaran, dikumandangkan
lagu Indonesia Raya. Begitu pula setelah perang Pasifik pecah, sering di daerah Surakarta
dan Yogyakarta disebarkan selebaran-selebaran, mengajak rakyat berontak terhadap
pemerintah Belanda, karena saatnya kini sudah tiba. Yaitu dengan kedatangan pasukan
Jepang, sesuai dengan bunyi Ramalan\\ Jayabaya. Hanya saja dalam surat selebaran
itu tidak disebutkan, bahwa “orang cebol kepalang berkulit kuning itu hanya seumur
jagung diam di Nusantara untuk kemudian pulang ke asalnya kembali”
Sementara itu untuk bacaan rakyat di desa-desa yang masyarakatnya sebagian besar belum
atautidak menguasai bahasa Indonesia, diterbitkan lembaran koran untuk tiap keresidenan.
Bahasanya bahasa daerah (Sunda, Jawa, Madura). Edisi Sunda diawasi Anwar
Tjokroaminoto, sedangkan edisi Jawa dan Madura diawasi Imam Soepardi. Kedudukan
Hoodoohan (bagian sensor) yang dibagi dalam dua bagian sangat penting.
Bagian Penyiaran yang mengurus penyiaran-penyiaran pemerintah dipimpin T. Itjiki dan
Syamsuddin Sutan Makmur. Bagian sensor, penilikan atas isi suratkabar, majalah, buku
dan lain sebagainya, dipimpin Oejehara dan Mr. Elkana Tobing. Selain itu juga diadakan
Peraturan Pemerintah tentang pelayanan terhadap wartawan terdiri dari 11 pasal. Pasal
pertama menyebutkan, semua pegawai suratkabar, termasuk pegawai Tata Usaha, kecuali
pegawai rendahan tidak terhitung, disebut wartawan. Juga disebutkan, bahwa wartawan
ada di bawah penilikan pegawai-pegawai pemerintah daerah masing-masing.
Pasal 8 dan 9 menetapkan hukuman bagi para wartawan jika melanggar maksud
pemerintah.Kewajiban wartawan ialah semata-mata menyokong usaha pemerintah, Jika
ada wartawan yang merintangi pekerjaan pemerintah, maka akan diambil sikap yang
sekeras-kerasnya. Terjadi peristiwa penangkapan atas sejumlah wartawan. Korban pertama
adalah Mr. Sumanang karena membiarkan korannya (Pemandangan) memuat gambar
Tenno Heika kaisar Jepang tertutup oleh bulatan hinomaru (bendera Jepang). Juga
Mohammad Tabrani ditangkap, karena di zaman Belanda dianggap menghasut R.H.
Oned Djoenaedi agar tidak menjual PercetakanPemandangan kepada pihak Jepang
untuk menerbitkan suratkabamya. Juga R.M. WinarnoHendronoto ditangkap karena
memasang bendera merah-putih di depan mobilnya. Sedangkan diMalang, Jawa Timur,
wartawan Domei bernama Koesen dibunuh Kenpei dengan tuduhanmendengarkan siaran
radio musuh. Ada yang berkisah, karena dia menyembunyikan orang yangkebetulan
sedang dicari Jepang.
Sedangkan Dr. Wahidin dikenal sebagai “pemberi nama” kepada organisasi yang didirikan
Soetomo dan kawan-kawan, Boedi Oetomo. Dia memimpin Retnodoemilah sejak 1900
yang semula didirikan dan diasuh oleh F.L. Winter, penerbitannya dalam bahasa Melayu
dan bahasa Jawa Ada pula yang menyebutkan, bahwa sebagai Bapak Jurnalistik Indonesia
adalah Landjumin Datuk Temenggung, yang mengemudikan majalah Tjahaja Hindia dan
kemudian suratkabar Neratja.
Menurut ukuran zamannya, Neratja merupakan suratkabar yang cukup modern; karena,
selainmerupakan suratkabar milik bangsa Indonesia asli, juga yang mulai memuat gambar-
gambar foto, dengan tata muka yang sudah meninggalkan tatacara lama. Hal yang sangat
langka pada masa itu.
Ada pula yang mengatakan, bahwa Datuk Sutan Maharadja pengasuh Utusan Melayu
(Padang),yang terbit 3 x seminggu, layak dianggap Bapak Jurnalistik, setidak-tidaknya
untuk wilayahSumatera.Yang jelas, atas bantuan Datuk Sutan Maharadjalah maka bisa
diterbitkan SuntingMelaju, terbit sekali seminggu yang membawa tenar nama
pengasuhnya, Rohana Kuddus (lihatema Rohana Kuddus) dan Ratna Djuita
sebaga redaktris. Rohana Kuddus boleh disebut sebagaiwartawati pertama Indonesia dan
namanya bisa dijajarkan dengan R.A. Kartini di Jawa atau Dewi Sartika (di daerah
Priangan).
Di samping artikel-artikel biasa Sunting Melaju yang mempunyai moto “Suratkabar untuk
kaum wanita Minangkabau” itu juga memuat sejarah, biografi, syair-syair dan
iklan. Menarik juga bahwa sebagian besar dari penulis karangan untuk Sunting Melayu
terdiri dari kaumperempuan juga, yang diam di sekitar kota Padang.
Kaum Zending sebelum itu sudah mempunyai medianya. Biang Lala yang diasuh oleh
guru/pendeta Stefanus Sandiman terbit pada 1867, disusul Bintang Djohar (1873) dan
lebih kurangpada waktu yang bersamaan terbitlah di Menado Tjahaja Siang yang kuat
bertahan hingga 1927.Pers Indonesia boleh dikatakan mulai berkembang setelah kaum elit
Indonesia merasa memerlukan alat komunikasi, terutama sebagai akibat bertambahnya
sekolah-sekolah baik yang dibuka pemerintah maupun oleh bangsa Indonesia
sendiri. Terutama lagi setelah berdirinya berbagai perkumpulan dan organisasi, yang
kemudian merasa masing-masing memerlukan alatpropaganda atau corongnya sendiri.
Empat organisasi dan partai politik Indonesia yangmemegang peranan dalam
perkembangan pers Indonesia adalah Boedi Otomo, Sarekat Islam, deIndische Partij dan
PKI.
Setelah dua tahun berdiri Boedi Oetomo berhasil mempunyai organ yakni Darmo Kondho
yang baru pada 1926 menjadi koran suratkabar. Mula-mula dianggap bersuara lunak,
kemudian dinilai agak keras. Tenaga yang mengasuhnya berganti-ganti, satu di antaranya
adalah Raden Mas Soedarjo Tjokrosisworo, wartawan terkemuka di zamannya. Dalam
perkembangannya, Darmo Kondho terbit dalam dua edisi; edisi Jawa dan edisi
Indonesia, masing-masing bernama Pustaka Warti dan Pewarta Oemoem. Setelah Boedi
Oetomo fusi dengan Partai Bangsa Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya (Parindra),
semua suratkabar yang diasuhnya diberi nama“Oemoem”. Di Surabaya ada Soeara
Oemoem, di Solo ada Pewarta Oemoem, dan di Bandung, kemudian pindah ke Jakarta
Berita Oemoem.
Menjelang datangnya Jepang Parinda merupakan satu-satunya partai di Indonesia yang
mempunyai media propaganda yang paling banyak, baik yang menggunakan bahasa
daerah maupun yang menggunakan bahasa Belanda. Sarekat Islam, dengan organnya
Oetoesan Hindia(Surabaya) langsung diasuh oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dinilai
sangat radikal, terutama tulisan-tulisan dari pembantu-pembantunya seperti Haji Agus
Salim, Abdoel Moeis, Soerjopranoto, Samsi dan lain-lain, dianggap sangat
berpengaruh kepada komunitasnya. Bahkan penerbitan di luar Jawa sering pula mengambil
oper tulisan dari Oetoesan Hindia. Sayang sekali, karena sebagian pembaca Oetoesan
Hindia kurang rajin membayar uang langganan, maka akhirnya suratkabar tadi terpaksa
menghentikan penerbitannya (1923).
Oetoesan Hindia bukan satu-satunya organ Sarekat Islam. Di Semarang SI mempunyai
Sinar Djawa dan Pantjaran Warta di Jakarta, dan Saroetomo di Surakarta. Di Saroetomo ini
wartawan muda Mas Marco (Soemarko Kartodikromo) sering rnenulis artikel-artikel yang
menyebabkan dia sering berurusan dengan pengadilan. Kemudian dia mendirikan majalah
Doenia Bergerak yang membawa suara PKI dan yang menyebabkan dia akhirnya dibuang
ke Boven Digul, Papua.
PKI bukan hanya memiliki Doenia Bergerak saja, tetapi juga Mowo (= arang membara);
Hobromarkoto (=Rata Bersinar) semuanya di Solo. Lalu Proletar (Surabaya), Petir dan
Torpedo (Padang), Goentoer (Medan), Halilintar (Pontianak), dan di beberapa tempat
lainnya lagi.
Oplah media mereka tidak terlalu besar dan biasanya hanya berumur beberapa nomor saja.
De Indische Partij, juga mempunyai penerbitannya sendiri, namun yang terkenal ialah Het
Tijdschrift dan De Expres. Kedua nama itupun tidak dapat dipisahkan dengan tiga nama
yang pernah mengasuh dan mengisinya yaitu Ernest Douwes Dekker, Tjipto
Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Dalam tahun 1913 ketiga insan itu
dibuang ke tiga tempat di Indonesia, tetapi ketiga-tiganya memilih untuk pergi ke
Nederland. Di sana pun mereka masih meneruskan menulis artikel untuk berbagai
penerbitan di Indonesia.
Di Nederland sendiri, pada masa penjajahan itu, para mahasiswa Indonesia yang belajar di
sana menghimpun diri dalam Perhimpunan Indonesia, yang mempunyai organ Indonesia
Merdeka terbit dalam dua bahasa, Indonesia dan Belanda.
Meskipun oplaag-nya sangat kecil, namun pengaruh Indonesia Merdeka cukup besar,
terutama bagi para pemimpin pergerakan serta kaum terpelajar yang ada di Indonesia yang
kala itu sebagian besar masih muda usia.
Perkembangan pers Indonesia bisa dikatakan sejajar dengan perkembangan partai politik
dan organisasi komunitas yang memilikinya. Sekitar tahun 1930 Mohammad Tabrani
merpakan sedikit di antara pemuda Indonesia yang kala itu menuntut ilmu jurnalistik di
luar negeri (Jerman), menulis mengenai keadaan pers Indonesia. Dalam bukunya Ons
Wapen (Senjata Kita) dia mengulas, bahwa keadaan pers Indonesia masih mengecewakan.
Pendidikan kaum wartawannya sangat minim; cara pemberitaannya sangat primitif dan
sering tidak dapat dipercaya; kurang adanya rubrik seperti pandangan luar negeri,
kesenian, perdagangan, ilmu pengetahuan, sedangkan tatausahanya sangat amburadul.
Sedangkan para langganannya membayar uang abonemen tidak pada waktunya, dan teknik
percetakan pun kurang memadai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hubungan pers Tionghoa dengan nasionalisme Indonesia dapat dilihat melalui
fungsi-fungsi yang dijalankan pers. Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan
sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan
masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang diapakai pers Tionghoa peranakan adalah
bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang
ketika itu sedang dikampnayekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah
Pemuda. Fungsi-fungsi pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan
ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat
Indonesia kala itu.
3.2 Saran
Penulis sangat menyadari masih banyak kekuranngan dalam makalah ini yang
disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang dimiliki. Dengan demikian, diharapkan kepada
pembaca untuk membeerikan saran yang sifatnya membangun agar makalh ini menjadi
lebih berkualitas, supaya penulisan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi.