Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Aliran Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan
bersifat filofofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khowarij dan Murji’ah. Dalam
pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis Islam”.

Aliran ini muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2H tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’Al-
Makhzumi Al-Ghozzal.

Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai reaksi atas pertentangan antara aliran Khawarij dan aliran Murjiah
mengenai soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khawarij, orang mukmin yang berdosa
besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi, melainkan sudah menjadi kafir. Sementara itu, kaum Murjiah
tetap menganggap orang mukmin yang berdosa besar itu sebagai mukmin, bukan kafir. Menghadapi
kedua pendapat yang kontroversial ini, Wasil bin Atha' yang ketika itu menjadi murid Hasan Al-Basri,
seorang ulama terkenal di Basra, mendahalui gurunya mengeluarkan pendapat bahwa orang mukmin yang
berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan
pula kafir, tetapi di antara keduanya. Oleh karena di akhirat nanti tidak ada tempat di antara surga dan
neraka, maka orang itu dimasukkan ke dalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih ringan dari
siksaan orang kafir.

B. Rumusan Masalah

A. Bagaimana sejarah Mu’tazilah?

B. Bagaimana penanaman aliran Mu’tazilah?

C. Bagaimana ajaran aliran Mu’tazilah?

D. Siapa tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Mu’tazilah

2. Untuk mengetahuiajaran aliran Mu’tazilah

3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah


BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Aliran Mu’tazilah

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul
di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan
khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang
penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-
Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar
masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar
murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok
Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah
manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan
mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti berisah atau memisahkan diri, yang
berarti juga menjauh atau menjauhkan diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.

Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh
sebahai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara
Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Menurut
penulis, golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
pertikaian masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada
pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.

Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di
kalangan Khawarij dan Mur’jiah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka
berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian status kafir kepada yang
berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya
memiliki banyak versi.

B. Penamaan Aliran Mu’tazilah

Berbagai analisa yang dimajukan tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada mereka. Uraian
yang bisa disebut buku-buku ‘ilm al-Kalam berpusat pada peristiwa yang terjadi antara Wasil ibn ‘Ata’
serta temannya ‘Amr bin ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti pelajaran-pelajaran
yang diberikan Hasan al-Basri di masjid Basrah. Pada suatu hari datang seorang bertanya mengenai
pendapatnya tentang orang yang berdosa besar. Sebagaimana diketahui kaum Khawarij memandang
mereka kafir sedang kaum murji’ah memandang mereka mukmin. Ketika Hasan al-Basri masih berfikir,
Wasil mengeluarkan pendapatnya sendiri dengan mengatakan: “Saya berpendapat bahwa orang yang
berdosa besar bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya; tidak
mukmin dan tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan menjauhkan diri dari Hasan al-Basri pergi ke tempat
lain di masjid; disana ia mengulangi pendapatnya kembali. Atas peristiwa ini Hasan al-Basri mengatakan:
“Wasil menjauhkan diri dari kita (i’tazala’ anna)”. Dengan demikian ia serta teman-temannya, kata al-
Syahrastani, disebut kaum Mu’tazilah.[1]

Al-Mas’udi memberikan keterangan lain lagi, yaitu dengan tidak mempertalikan pemberian nama
itu dengan peristiwa pertikaian paham antara Wasil dan ‘Amr dari satu pihak dan Hasan al-Basri
daripihak lain. Mereka disebut kaum Mu’tazilah karena mereka berpendapat bahwa orang berdosa besar
bukan mukmin dan bukan juga kafir, tetapi mengambil posisi diantara kedua posisi itu (al-Manzilah bain
al-Manzilatain).[2] Menurut versi ini mereka disebut kaum Mu’tazilah, karena mereka membuat orang
yang berdosa besar jauh dari (dalam arti tidak masuk) golongan mukmin dan kafir.

Dengan demikian golongan Mu’tazilah pertama ini mempunyai corak politik. Dan dalam pendapat
Ahmad Amin, Mu’tazilah kedua yaitu golongan yang ditimbulkan Wasil, juga mempunyai corak
politikkarena mereka sebagai kaum Khawarij dan kaum Murji’ah. Perbedaan antara keduanya ialah
bahwa Mu’tazilah kedua menambahkan persoalan-persoalan teologi dan falsafat ke dalam ajaran-ajaran
dan pemikiran mereka.

An-Nasysyar berpendapat bahwa nama Mu’tazilah timbul dalam pertentangan-pertentangan


politik islam terutama antara ‘Ali dan Mu’awiyah tetapi nama itu tidak di pakai untuk satu golongan
tertentu. Argumentasi yang diajukan An-Nasysyar ialah bahwa kata-kata i’tazala dan al-
Mu’tazilahterkadang di pakai untuk orang yang menjauhkan diri dari peperangan, orang yang
menjauhkan diri dari ‘Ali dan sebagainya. Orang yang demikian pada hakikatnya menjauhkan diri dari
masyarakat umum dan memusatkan pemikiran pada ilmu pengetahuan dan ibadat. Jadi menurut an-
Nasysyar, golongan Mu’tazilah kedua timbul dari orang-orang yang mengasingkan diri untuk ilmu
pengetahuan dan ibadat, dan bukan dari golongan Mu’tazilah yang dikatakan merupakan aliran politik.[3]

Untuk mengetahui asal usul nama Mu’tazilah itu sebenarnya memang sulit. Berbagai pendapat
dimajukan ahli-ahli, tetapi belum ada kata sepakat antara mereka. Yang jelas ialah bahwa nama
Mu’tazilah sebagai aliran teologi rasional dan liberal dalam islam timbul sesudah peristiwa Wasil dan
Hasan al-Basri di Basrah dan bahwa lama sebelum terjadinya peristiwa Basrah itu telah pula terdapat
kata-kata i’tazala, al-Mu’tazilah. Tetapi apa hubungna antara Mu’tazilah pertama dan Mu’tazilah kedua,
fakta-fakta yang ada belum memberikan kepastian. Selanjutnya siapa sebenarnya yang memberikan
nama Mu’tazilah kepada Wasil dan pengikut-pengikutnya tidak pula jelas. Ada yang mengatakan
golongan lawanlah yang memberikan nama itu kepada mereka. Tetapi kalau kita kembali ke ucapan-
ucapan kaum Mu’tazilah itu sendiri, akan kita jumpai disana keterangan-keterangan yang dapat
memberikan kesimpulan bahwa mereka sendirilah yang memberikan nama itu kepada golongan mereka;
atau setidaknya mereka setuju dengan nama itu. Al Qadi’ Abd al-Jabbar, umpamanya mengatakan bahwa
kata-kata i’tazala yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung arti menjauhi yang salah dan tidak benar
dan dengan demikian kata Mu’tazilah mengandung arti pujian.[4]Selanjutnya ia menerangkan adanya
hadits Nabi yang mengatakan bahwa umat akan terpecah menjadi 73 golongan dan yang paling patuh dan
terbaik dari seluruhnya ialah golongan Mu’tazilah.[5] Bahkan menurut Ibn al-Murtada kaum Mu’tazilah
sendirilah, dan bukan orang lain yang memberikan nama itu kepada golongan mereka.[6]

Dengan demikian mereka tidak memandang nama Mu’tazilah itu sebagai nama ejekan. Selain
dengan nama Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Mereka sendiri selalu
menyebut golongan mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan
Tuhan, dan juga Ahl at-Tauhid wa al-‘Adl, golongan yang mempertahankan keESAan murni dan
Keadilan Tuhan. Lawan mereka memakai nama-nama seperti al-Qadariah, karena mereka menganut
pahamfree willdan free act; al Mu-‘attilah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat dalam arti sifat mempunyai wujud diluar zat Tuhan; dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat
bahwa ancaman-ancaman Tuhan terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti akan menimpa diri mereka.

Dari uraian-uraian diatas dapat di ketahui bahwa orang yang pertama membina aliran Mu’tazilah
adalah Wasil bin Ata’. Sebagai dikatakan al-Mas’udi ia ialah Syaikh al-Mu’tazilah wa qadilmuha,[7]yaitu
kepala dan Mu’tazilah yang tertua. Ia lahir tahun 81 H di Madinah dan meninggal tahun 131 H. Disana ia
belajar pada Abu Hasyim ‘Abdullah Ibn Muhammad Ibn al-Hanifah, kemudian pindah ke Basrah dan
belajar pada Hasan al-Basri.

C. Pokok Ajaran Aliran Mu’tazilah

Abu huzail Al-Allaf,merumuskan lima prinsip pokok-pokok ajaran mu’tazilah antara lain :

1) At-Tauhid (Keesaan Allah)

Ar-Tauhid adalah prinsip dan dasar pertama dan yang paling utama dalam aqidah islam. Dengan
demikian prinsip ini bukan hanya milik mu’tazilah, melainkan milik semua umat islam. Akan tetapi
mu’tazilah lebih mengkhususkannya lagi kedalam empat beberapa pendapat diantaranya

a) Menafikan sifat-sifat Allah.

dalam hal ini mu’tazilah tidak mengakui adanya sifat pada allah. Apa yang dipandang orang sebagai sifat
bagi mu’tazilah tidak lain adalah Dzat allah itu sendiri, dalam artian allah tidak mempunyai sifat karena
yang mempunyai sifat itu adalah makhluk. Jika tuhan mempunyai sifat berarti ada dua yang qadim yaitu
dzat dan sifat sedangkan allah melihat, mendengar itu dengan dzatnya bukan dengan sifatnya.

b) Al-Qur’an adalah makhluk.

Dikatakan makhluk karena al-Qur’an adalah firman dan tidak qadim dan perlu diyakini bahwa segala
sesuatu selain allah itu adalah makhluk.

c) Allah tidak dapat dilihat dengan mata.

Karena allah adalah dzat yang ghaib, dan tidak mungkin dapat dilihat dengan mata akan tetapi kita harus
meyakininya dengan keyakinan yang pasti.

d) Berbeda dengan makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)

2) Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)

Prinsip ini mengajarkan bahwa, allah tidak menghendaki keburukan bagi hambanya, manusia sendirilah
yang menghendaki keburukan itu. Karena pada dasarnya manusia diciptakan dalam kedaan fitrah (Suci).
Hanya dengan kemampuan yang diberikan tuhanlah, manusia dapat melakukan yang baik. Karena itu, jika
ia melakukan kejahatan, berarti manusia itu sendirilah yang menghendaki hal tersebut. Dari prinsip inilah,
timbul ajaran mu’tazilah yang dikenal dengan nama Al-Shalah Wa Al-Ashlah, artinya allah hany
menghendaki sesuatu yang baik, bahkan sesuatu terbaik untuk kemaslahatan manusia.

3) Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d (Janji baik dan ancaman)

Dalam hal ini Allah menjanjikan akan memberikan pahala kepada orang yang berbuat baik dan akan
menyiksa kepada orang yang berbuat jahat. Janji ini pasti dipenuhi oleh tuhan karena Allah tidak akan
ingkar terhadap janjinya. Dalam prinsip ini mu’tazilah menolak adanya syafa’at atau pertolonagn dihari
kiamat. Sebab syafaat bertentangan dengan janji tuhan.

4) Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)

Pendapat ini dikemukakan oleh Washil Bin Atha’ dan merupakan pendapat yang pertama dari aliran
mu’tazilah. Menurut ajaran ini, seorang muslim yang melakukan dosa besar dan tidak sempat bertaubat
kepada allah SWT maka ia tidaklah mukmin dan tidak pula kafr. Ia berada diantara keduanya. Dikatakan
tidak mukmin karena ia melakukan dosa besar dan dikatakan tidak kafir karena ia masi percaya kepada
allah dan berpegang teguh pada dua kalimat syahadat. Dengan demikian Washil bin atha’ menyebutnya
sebagai orang fasiq.

5) Amar Makruf dan Nahi munkar.

Prinsip ini menitik beratkan kepada permasalahan hukum fiqh, bahwa amar makruf dan nahi munkar
harus ditegakkan dan wajib dilaksanakan. Kaum mu’tazilah sangat gigih melaksanakan prinsip ini,
bahkan pernah melakukan kekerasan demi amar makruf dan nahi munkar.

D. Tokoh-tokoh Aliran Mu’tazilah

1. Washil bin Atha’

Pokok-pokok pikiran teologis washil bin atha’ dapat disimpulkan kepada tiga hal yang penting
diantaranya : a) tentang seorang muslim yang melakukan dosa besar.b) kekuasaan berbuat atau
berkehendak bagi manusia (Free will) c) tentang sifat tuhan.

2. Abu Huzail Al-Allaf

Beliau merupakan generasi kedua dari aliran mu’tazilah yang menyusun dasar-dasar faham mu’tazilah
yang lima (At-Tauhid, Al-‘Adl, Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d, Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain, Amar Makruf
dan Nahi munkar), memerintah orang untuk berbuat baik dan melarang orang untuk berbuat jahat wajib
dijalankan, kalu perlu dengan kekerasan.

3. Ibrahim Ibn Sayyar Ibn HaniAl-Nazzam

Al-Nazzam memeberikan gambaran tentang dirinya sebagai orang yang mempunyai kecerdasan yang
lebih tinggi besar dari gurunya Abu al-Huzail. Dan banyak mempunyai hubungan dengan filsafat Yunani.

Dalam membahas soal keadilan Tuhan, Abu Huzail berpendapat bahwa Tuhan berkuasa untuk bersikap
zalim, tetapi mustahil. Al-Nazzam berlainan dengan gurunya, berpendapat bahwa bukan hanya mustahil
bagi Tuhan bersikap zalim, bahkan Tuhan tidak berkuasa untuk bertindak zalim[8]. Bahwa kezaliman
hanya dilakun oleh orang yang mempunyai cacat dan berhajat atau oleh orang yang tidak mempunyai
pengetahuan (jahil).

4. Abd al-Wahhab al-Jubba’i

Berpendapat bahwa yang disebut kalam atau sabda Tuhan tersusun dari huruf dan suara. Tuhan
disebut Mutakallim dalam arti menciptakan kalam. Mutakallim tidak mengandung arti sesuatu yang
berbicara[9]. Juga mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak akan dapat dilihat manusia dengan mata
kepalanya diakhirat. Daya untuk beruat sesuatu telah ada didalam diri manusia sebelum perbuatan
dilakukan; dan daya itu merupakan sesuatu diluar tubuh yang baik dan sehat[10].
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut
muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa
pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-
Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim
berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan
perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan
kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya.
kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah
Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).

Mereka tidak memandang nama Mu’tazilah itu sebagai nama ejekan. Selain dengan nama
Mu’tazilah golongan ini juga dikenal dengan nama-nama lain. Mereka sendiri selalu menyebut golongan
mereka sebagai Ahl al-Adl dalam arti golongan yang mempertahankan keadilan Tuhan, dan juga Ahl at-
Tauhid wa al-‘Adl, golongan yang mempertahankan keESAan murni dan Keadilan Tuhan. Lawan mereka
memakai nama-nama seperti al-Qadariah, karena mereka menganut paham free willdan free act; al Mu-
‘attilah, karena mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat dalam arti sifat mempunyai
wujud diluar zat Tuhan; dan Wa’idiah, karena mereka berpendapat bahwa ancaman-ancaman Tuhan
terhadap orang-orang yang tidak patuh, pasti akan menimpa diri mereka.

Abu huzail Al-Allaf,merumuskan lima prinsip pokok-pokok ajaran mu’tazilah antara lain :

1) At-Tauhid (Keesaan Allah)

· Menafikan sifat-sifat Allah

· Al-Qur’an adalah makhluk

· Allah tidak dapat dilihat dengan mata

· Berbeda dengan makhluknya (Mukhalafatuhu lilhawadist)

2) Al-‘Adl (Keadilan Tuhan)

3) Al-Wa’d Wa-Al-Wai’d (Janji baik dan ancaman)

4) Al-Manzilah Bain Al-Manzilatain (Posisi diantara dua posisi)

5) Amar Makruf dan Nahi munkar


DAFTAR PUSTAKA

Nasution Harun. Teologi Islam, Jakarta: UI-Press, 2013

DR. Abdul Razak, M. IlmuKalam,Bandung: PustakaSetia, 2009

Drs. H. A Nasir Sahilun, Pengantar Ilmu Kalam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996

Anda mungkin juga menyukai