Anda di halaman 1dari 40

PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan yang menandung zat tanduk,


misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan kuku, yang di sebabkan
golongan jamur dermatofita. Jamur ini dapat menghasilkan gejala melalui aktivasi
respons imun pejamu.4

Dermatofita ialah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.


Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerakan keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Tricophyton,
dan Epidermophyton. Selain sifat keratofilik masih banyak sifat yang sama di antara
dermatofita, misalnya sifat faali, taksonomis, antigenik, kebutuhan zat makanan
untuk pertumbuhannya dan penyebab penyakit.4

hingga kini dikenal 41 spesies dermatofita, masing – masing 2 spesies


Epidermophyton, 17 spesies Microsporum, dan 21 spesies Trichophyton 4

Untuk kepentingan klinis dan epidemiologis, dermatofita yang menginfeksi


manusia dibagi berdasarkan tempat hidupnya, yaitu geofilik untuk jamur berasal dari
tanah antara lain M.Gypseum: golongan zoofilik berasal dari hewan, misalnya
M.Canis : antrofilik khusus untuk jamur yang bersumber dari manusia cintohnya T.
Rubrum.4

Untuk memudahkan diagnosis pada tinjauan pustaka ini akan di bahas


berbagai bentuk klinis dari dermatofitosis.4
TINJUAN PUSTAKA

Tinea Pedis

Definisi

Tinea pedis adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur
dermatofita. Tinea pedis disebut juga Athlete’s foots “Ringworm of the foot”.
Penyakit ini sering menyerang orang – orang dewasa yang banyak bekerja di tempat
basah, dan kelembapan kulit terbukti menjadi salah satu faktor terjadinya tinea pedis.
Walaupun infeksi jamur tidak mengancam jiwa, tetapi dapat menyebabkan turunnya
kualitas hidup pasien.1

Gambar 1 : Tinea pedis1

Etiologi

Tiga spesies jamur, Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes, dan


Epidermophyton floccosum adalah penyebab tinea pedis di seluruh dunia. Dari ketiga
organisme keratolitik ini, Trichophyton rubrum merupakan patogen dari antropofilik
yang paling sering.1

Epidemiologi

Terjadi di seluruh dunia, tinea pedis dan tinea manuum adalah dermatofitosis
yang paling umum. Prevalensi yang tinggi, diperkirakan sekitar 10%, terutama
disebabkan oleh alas kaki oklusif modern, walaupun peningkatan perjalanan di
seluruh dunia juga telah terlibat. 42 Kejadian tinea pedis lebih tinggi di antara
mereka yang menggunakan mandi komunal, pancuran atau kolam renang. Dengan
kehadiran dermatofit di lingkungan, bagaimanapun, mungkin faktor inang seperti
respons kekebalan individu terhadap dermatofit, selain pemaparan, memainkan peran
yang menentukan dalam perolehan tinea pedis.1

Diperkirakan 10 sampai 15% populasi dunia memiliki tinea pedis.


Prevalensinya lebih tinggi pada orang dewasa (17%) dibandingkan anak-anak (4%).
Kondisi ini lebih sering terjadi pada remaja daripada pada anak prasekolah. Kejadian
usia puncak adalah antara 16 dan 45 tahun, saat aktivitas kerja dan liburan
maksimal.2 Prevalensi tinea pedis meningkat seiring bertambahnya usia, dengan
prevalensi tertinggi antara usia 50 sampai 60 tahun.5 Tinea pedis lebih sering terjadi
pada pria daripada wanita. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dekat dengan
orang yang terinfeksi, hewan (khususnya hewan peliharaan rumah), keluarga
terkontaminasi, atau tanah. Transmisi antar anggota keluarga adalah rute yang paling
umum; Anak-anak sering terinfeksi spora atau fragmen kulit yang terinfeksi yang
ditumpahkan oleh kontak rumah tangga. Autoinfection oleh dermatophytes di tempat
lain di tubuh juga dapat terjadi. Penularan tinea pedis difasilitasi oleh lingkungan
yang hangat dan lembab serta memakai sepatu oklusif. Kondisinya lebih banyak
terjadi di kalangan atlet dan buruh manual. Imunodefisiensi, diabetes mellitus,
dermatitis atopik, hiperhidrosis, perawatan kaki kurang, dan obesitas adalah faktor
predisposisi lainnya.2

Gejala klinis

1) Tipe Interdigitalis

Tinea pedis yang tersering dilihat adalah bentuk interdigitalis. Diantara


jari IV dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini
dapat meluas ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh
karena daerah ini lembab, maka sering dilihat maserasi. Aspek klinis
maserasi berupa kulit putih dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini
dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru, yang pada umumnya juga telah
diserang oleh jamur. Bentuk klinis ini dapat berlangsung bertahun – tahun
dengan menimbulkan sedikit keluhan atau tanpa keluhan sama sekali. Pada
suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga
terjadi selulitis, limfangitis, limfadenitis, dan dapat pula terjadi erysipelas,
yang disertai gejala – gejala umum.3

Presentasi yang paling umum Tinea pedis dimulai sebagai


penskalaan, eritema dan maserasi kulit interdigital dan subdigital kaki, dan
khususnya antara sepertiga lateral dan jari kaki keempat dan kelima.1

Gambar 2. tinea pedis tipe interdigitalis1

2) Tipe Moccasin

Bentuk lain ialah yang disebut dengan moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik.
Eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Bersifat
Kronik dan kadang resisten pada pengobatan.di tepi lesi dapat pula dilihat
papul dan kadang – kadang vesikel.4

Pada tipe tinea pedis hiperkeratotik kronis, terjadi penskalaan ringan


atau meradang pada telapak kaki dan aspek lateral dan medial kaki, dalam
distribusi yang mirip dengan moccasin pada kaki Derajat eritema bervariasi,
dan mungkin juga ada beberapa vesikula yang sembuh dengan diameter
kurang dari 2 mm. Patogen yang paling umum adalah T. rubrum diikuti oleh
strain E. floccosum dan anthropophilic T. interdigitale.1

Gambar 3. Tinea pedis tipe moccasin1


3) Tipe Vesiculobullous.
Jenis tinea pedis Vesiculobullous, biasanya disebabkan oleh strain
zoophilic T. Interdigitale. Memperlihatkan vesikel yang lebih besar dari
diameter 3 mm, vesiculopustules, atau bullae pada sol dan area
periplantar. Jenis tinea pedis jarang terjadi pada masa kanak-kanak namun
disebabkan oleh T. rubrum.1

Pada bentuk subakut terkihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang


kadang bula. Kelainan ini dapat mulai pada daerah jari , kemudian meluas
ke punggung kaki atau telapak kaki. Isi vesikel berupa cairan jernih yang
kental. Setelah pecah,vesikel tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk
lingkaran disebut koleret.4

Gambar 4. Tinea pedis Vesiculobullous

4) Jenis Ulseratif Akut.


Tinea pedis dengan zoophilic T. interdigitale bersamaan dengan
superinfeksi bakteri yang merajalela dengan organisme Gram negatif
menghasilkan vesikula, pustula dan ulkus purulen pada permukaan
plantar. Selulitis, limfangitis, limfadenopati dan demam sering dikaitkan.
Jenis ulseratif Vesiculobullous dan akut biasanya menghasilkan reaksi Id
vesikular, baik pada kaki lateral atau jari kaki, atau pada aspek lateral jari.
Tinea manus, infeksi dermatofit pada tangan, biasanya memiliki
presentasi noninflammatory dengan penskalaan kering dan akselerasi
bervariasi dalam lipatan. Namun, vesikula, pustula dan pengelupasan kulit
mungkin ada, terutama bila dermatofit zoofilik terlibat. Tinea manus
umumnya terjadi berhubungan dengan jenis tinea pedis moccasin dan
onikomikosis, yang juga harus diobati untuk meminimalkan kambuh.1

Gambar 5. Tinea pedis dan manus. "Dua kaki satu tangan" presentasi
Trichophyton rubrum. Scaling di tangan (kanan) yang terlibat ditekankan
dalam lipatan.1

Pemeriksaan Penunjang

Tabel 1 . Pemeriksaan sediaan basah KOH 10%1

Sediaan basah dibuat dengan meletakan bahan di atas gelas alas,


kemudian di tambah 1-2 tetes larutan KOH , konsentrasi larutan KOH untuk
sediaan rambut 10 % untuk kulit 20 % . setelah sediaan di campur dengan
larutan KOH, ditunggu 15 – 20 menit hal ini di perlukan untuk melarutkan
jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemanasan
sediaan basah di atas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan
tersebut,pemanasan sudah cukup. Bila terjadi penguapan akan terbentuk
kristal KOH, sehingga tujuan yang tidak tercapai.4
Pada sediaan kulit dan kuku terlihat hifa , sebagai dua garis sejajar ,
terbagi oleh sekat , dan bercabang, maupun spora berderet (artospora) pada
kelainan kulit lama dan / atau sesudah diobati.4
Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong
pemeriksaan langsung sediaan basah untuk menentukan spesies jamur.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media
buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar
dekstrosa sabouraud. Pada agar Sabouraud dapat ditambah pula
klorheksamid. Kedua zat tersebut diperlukan untuk menghindarkan
kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan.4

Diagnosis Banding2

- Kemungkinan besar Interdigital: erosio interdigitalis blastomycetica,


eritrasma, koinfeksi bakteri
- Hiperkeratotik: dyshidrosis, psoriasis, dermatitis kontak, dermatitis atopik,
keratodermas turunan atau yang didapat
- Vesiculobullous: dyshidrosis, dermatitis kontak, psoriasis pustular, bakteri,
pustulosis palmoplantar, pyodermas bakteri, kudis
- Pertimbangkan Pityriasis rubra pilaris
- Rule Out Reactive arthritis
Penatalaksanaan

Tabel 2. Penatalaksanaan Tinea Pedis1

Kelainan pada Tatalaksana topikal Tatalaksana per oral


kulit
Tinea pedis / Allylamine Dewasa :
manus Imidazole Terbinafine, 250 mg/ hari selama 2 minggu
Ciclopirox Itraconazole, 200 mg/hari selama 1 minggu
Benzylamine Fluconazole, 150 mg/minggu selama 3 – 4
Tonlnaftate minggu
Undecenoic acid Anak – anak :
Terbinafine, 3-6 mg/kg/hari selama 2 minggu
Itraconazole, 5 mg/kg/hari/ selama 2 minggu

Tinea pedis interdigital ringan tanpa keterlibatan bakteri ditangani secara


topikal dengan krim allylamine, imidazole, ciclopirox, benzylamine, tolnaftate, atau
undecenoic acid. Krim terinafin dua kali sehari selama 1 minggu efektif pada 66%
kasus. Jadwal dosis oral terbinafine adalah 250 mg setiap hari selama 2 minggu.
Itrakonazol pada orang dewasa diberikan 400 mg setiap hari selama 1 minggu, 200
mg setiap hari selama 2-4 minggu, atau 100 mg setiap hari selama 4 minggu dengan
efikasi yang sama dari semua rejimen, sedangkan itrakonazol pada anak diberikan
pada 5 mg / kg / hari untuk 2 minggu. Flukonazol 150 mg seminggu selama 3-4
minggu juga efektif. Kortikosteroid topikal atau sistemik dapat membantu untuk
menghilangkan gejala selama periode awal pengobatan antijamur. Pasien yang
dicurigai memiliki koinfeksi Gram negatif harus diobati dengan agen antibakteri
topikal atau sistemik berdasarkan pada laporan budaya dan kepekaan. Onikomikosis
terkait umum terjadi; Jika ada pengobatan atikomikosis yang lebih awet diperlukan
untuk mencegah terulangnya tinea pedis. Obat antijamur oral yang baru telah
menggantikan griseofulvin sebagai pengobatan pilihan untuk tinea pedis berat atau
refrakter saat infeksi ini juga disertai dengan onikomikosis.1
Obat per oral, yang efektif untuk dermatofitosis yaitu ketokonazole yang
bersifat fungistik. Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan
hepar, sebagai pengganti ketokonazole yang mempunyai sifat hepatotoksik terutama
bila diberikan lebih dari sepuluh hari, dapat di berikan suatu obat triazol yaitu
itrakonazol merupakan pemilihan yang baik.4

Terbafirin yang bersifat fungisidal juga dapat di berikan sebagai pengganti


griseofulfin selama 2-3 minggu. Efek samping terbafinin ditemukan kira – kira 10%
penderita yangtersering adalah gangguan gastrointestinal diantaranya nausea,
vomitus, nyeri lambung , diare, konstipasi, umumnya ringan . Efek samping yang
lain dapat berupa gangguan pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya setelah
beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara.4

Prognosis

Prognosis baik dengan pengobatan yang tepat.2


Tinea Unguium
Definisi
Tinea unguium (dermatophytic onychomycosis) adalah infeksi jamur
dermatofita pada kuku.6,7Sedangkan onikomikosis adalah infeksi pada kuku yang
disebabkan oleh jamur dermatofita, jamur non-dermatofita atau yeast.6,7,8.
Epidemiologi
Tinea unguium terjadi di seluruh belahan dunia. Dapat terjadi baik pada anak-
anak maupun dewasa.6 Prevalensi tinea unguium meningkat sesuai dengan
pertambahan usia. Sekitar 1% pada individu <18 tahun dan hampir 50% pada usia
>70 tahun.9 Dari 1305 anak yang berusia 3-15 tahun di 17 sekolah di Barcelona tahun
2003-2004 didapatkan bahwa prevalensi dermatofita di kaki (tinea pedis) 2,5%,
dermatofita di kepala (tinea kapitis) 0,23% dan di kuku (tinea unguium) 0,15%.10 The
Achilles project memperkirakan prevalensi tinea unguium di Eropa sekitar 27% dan
di Amerika Utara sebesar 13,8%. Peningkatan prevalensi ini dikarenakan
peningkatan status imunosupresi seseorang, sepatu yang terlalu sempit, dan
peningkatan penggunaan locker room bersama.7 Tinea unguium lebih banyak terjadi
pada laki-laki dan biasanya dikaitkan dengan tinea pedis.6,4
Etiologi
Dermatofita merupakan penyebab terbanyak terjadinya onikomikosis. Yaitu
sekitar 80-90%. Semua jenis dermatofita dapat menyebabkan tinea unguium,
penyebab terbanyak adalah Trichophyton rubrum (71%) dan Trichophyton
mentagrophytes (20%). Penyebab lain diantaranya E. Floccosum, T, violaaceum, T.
Schoenleinii, T. Verrrucosum.7
Patogenesis
Sebelum memahami patogenesis terjadinya tinea unguium maka diperlukan
pemahaman mengenai fungsi dan anatomi kuku. Fungsi utama dari kuku adalah
untuk memberikan perlindungan ke ujung digiti, meningkatkan diskriminasi
sensorik, dan dalam beberapa individu, berfungsi sebagai aksesori kosmetik.

Lipatan kuku lempeng


proximal lunula kuku

kutikula dasar tautan onikodermal


kuku

lempeng
lipatan dorsum proksimal kuku kutikula
kuku
dasar
lipatan ventral proksimal kuku
kuku
bagian lipatan hiponikium
proksimal kuku
lekukan distal

matriks phalanges distal

Gambar 6. Anatomi dan struktur kuku.11

Kuku merupakan struktur unit yang tiap komponennya bergabung dan disebut
sebagai unit kuku. Unit kuku terdiri dari lempeng kuku (nail plate) dan empat
struktur epitel: lipatan kuku proksimal (proximal nail fold), matriks, dasar kuku (nail
bed) dan hiponikium. (Gambar 1). Lempeng kuku berbentuk persegi panjang, tembus
pandang relatif tidak fleksibel, mengandung kalsium, fosfat, besi, seng, mangan dan
tembaga, juga sulfur dalam matriks kuku yang bertanggung jawab untuk kualitas
fisik kuku. Lempeng kuku muncul dari bawah lipatan kuku proksimal dan berbatasan
di kedua sisi dengan lipatan kuku lateralis. Di bagian proksimal terdapat lingkaran
putih yang disebut lunula. Permukaan dorsal unit kuku tampak berwarna merah
muda karena peningkatan pembuluh darah dari dasar kuku (nail bed). Daerah antara
permukaan dorsal dan ventral terdapat kutikula (eponychium) yang melindungi
matriks dari kerusakan.11
Pada tinea unguium invasi terjadi pada kuku yang sehat. Jamur dapat masuk
melalui tiga cara yaitu dari manusia ke manusia (antrofopilik), dari hewan ke
manusia (zoofilik) dan dari tanah ke manusia (geofilik). Dermatofita, tidak seperti
kebanyakan jamur lain, menghasilkan keratinases (enzim yang memecah keratin),
yang memungkinkan untuk invasi jamur ke dalam jaringan keratin. Dinding sel
dermatofit juga mengandung mannans (sejenis polisakarida) yang dapat menghambat
respon kekebalan tubuh. Trichophyton rubrum khususnya mengandung mannans yang
dapat mengurangi proliferasi keratinosit. Terdapat beberapa predisposisi yang
memudahkan terjadinya tinea unguium yang mungkin sama dengan penyakit jamur
superfisial lainnya seperti kelembaban, trauma berulang pada kuku, penurunan
imunitas serta gaya hidup seperti penggunaan kaos kaki dan sepatu tertutup terus-
menerus, olahraga berlebihan dan juga penggunaan tempat mandi umum. Invasi
kuku oleh jamur juga akan meningkat pada pasien dengan defek pada suplai
vaskularisai seperti akibat pertambahan usia, insufisiensi vena, penyakit arteri
perifer, serta pasien imunokompromise.6
Jamur menyerang kuku melalui berbagai area sesuai dengan bagian kuku
yang pertama diinfeksinya. Invasi jamur ke kuku biasanya di mulai dari lipatan kuku
lateral atau ujung kuku, hal ini akan memberikan gambaran klinis berbeda sesuai
dengan klasifikasi berdasarkan bagian kuku yang terkena. Selanjutnya dapat terjadi
onikomikosis sekunder dimana infeksi terjadi setelah jaringan di sekitar kuku sudah
terinfeksi seperti pada psoriasis atau trauma pada kuku. tinea unguium pada kuku jari
kaki biasanya terjadi setelah tinea pedis, pada kuku jari tangan dikaitkan dengan
tinea manus, tinea corporis dan tinea kapitis.9
Gambaran Klinis
Kuku jari kaki lebih sering terinfeksi dibandingkan kuku jari tangan.6 Sekitar
80% tinea unguium terjadi pada kaki. Gambaran klinis tinea unguium berdasarkan
klasifikasinya, yaitu:

1. Onikomikosis Distal Subungual (ODS)


Onikomikosis Distal Subungual (ODS) merupakan pola tinea unguium yang
paling sering terjadi. Infeksi dimulai dari stratum korneum daerah hiponokium
atau lipatan kuku, kemudian masuk ke subungual. Onikomikosis Distal
Subungual (ODS) sering dikaitkan dengan tinea pedis. Biasanya disebabkan oleh
T. rubrum.8,9

Gambar 7. Onikomikosis Subungual Distal (OSD)9

2. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)


Jamur masuk melalui kutikula lipatan kuku posterior kemudian berpindah
sepanjang lipatan kuku proksimal menginvasi matrik kuku. Pada tipe ini, paling
sering disebabkan oleh T. rubrum. Tipe ini selalu dikaitkan dengan keadaan
immunocompromised. Banyak ditemukan pada pasien HIV. Onikomikosis
Subungual Proksimal (OSP) dapat mengenai satu atau dua kuku. Gambaran klinis
yang dapat ditemukan adalah bintik putih di bawah lipatan kuku proksimal. 8,9
Gambar 8. Onikomikosis Subungual Proksimal (OSP)9

3. Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT)


Pada tipe ini, jamur menginvasi permukaan dorsal kuku. Penyebab terbanyak
adalah T. mentagrophytes atau T. rubrum (pada anak-anak). Penyebab yang
jarang Acremonium, Fusarium, dan Aspergillus terreus. Permukaan lempeng
kuku yang terinvasi oleh jamur menunjukkan gambaran putih, seperti tepung/
serbuk kapur (chalky white) dan kadang mudah retak. 8,9

Gambar 9. Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT)9


Diagnosis Banding

Sangat penting untuk membedakan tinea unguium dengan berbagai penyakit


lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama, yaitu kuku psoriasis,
ekzema dan dermatitis kontak, liken planus, serta pakionikia kongenital. 8,9
Pada psoriasis, selain kuku pada umumnya kelainan juga ditemukan pada
bagian kulit lain. Meski demikian dapat terjadi kelainan psoriasis yang hanya
mengenai kuku. Psoriasis kuku memberikan gambaran mirip Onikomikosis
Subungual Distal (OSD). Pada kuku psoriasis sering ditemukan pitting nail dan tanda
onikolisis berupa “oil spot” dan “salmon patch” yaitu warna kuning-kemerahan,
translusen di bawah lempeng kuku dan sering meluas ke hiponikium. Gambaran ini
tidak ditemukan pada tinea unguium.8,9
Pada ekzema dan dermatitis kontak, kelainan biasanya terdapat pada lipatan
kuku posterior. Pada dermatitis kelainan pada ujung jari kadang disertai onikolisis.3
Pada liken planus dapat ditemukan papul merah ungu yang dapat dilihat di bawah
lempeng kuku dan manifestasi lanjut berupa pterigium. Pakionikia kongenital
memberikan gambaran bagian proksimal lempeng kuku tampak licin, mengkilat dan
melekat pada dasar. Bagian distal terdorong ke atas oleh akumulasi bahan keratin di
bawahnya sehingga bagian lempeng kuku bebas menghadap ke atas.8
Diagnosis
Anamnesis dan gambaran klinis saja pada umumnya sulit untuk memastikan
diagnosis terutama pada tinea unguium yang merupakan kelainan sekunder pada
kelainan kuku yang telah ada sebelumnya. Gambaran klinis harus dikonfirmasi
dengan ditemukannya elemen jamur pada pemeriksaan mikroskopik langsung
dengan preparat KOH, pemeriksaan histopatologi dari clipping nail atau dengan
biakan jamur. Mengingat banyaknya diagnosis banding secara klinis, maka dapat
digunakan pendekatan diagnosis pada kuku yang distrofi.6
Singkirkan penyebab non-jamur
 Penyakit kulit yang bermanifestasi pada kuku atau penyakit
sistemik (contoh; psoriasis, lichen planus, dermatitis)
 Faktor dari luar (contoh: trauma, kontak iritan)
 Genodermatosis (contoh: pachyonychia congenital, Darier
disease)

Pemeriksaan mikroskopik dengan preparat


KOH/Calcoflour, pemeriksaan dengan kerokan
kuku dan debris subungual
Atau
PAS ( Periodic Acid Schiff Stain)
Ulangi

+ -

Biakan dan mulai pengobatan


untuk tinea unguium Biakan

Terapi tinea unguium

Bagan 1. Pendekatan diagnosis pada kuku distrofi.6

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
mikroskopik langsung yang diikuti biakan untuk identifikasi spesies penyebab.

Pemeriksaan mikroskopik langsung


Pemeriksan langsung dapat dilakukan dengan sediaan KOH 20-30% dalam
air atau dalam dimetil sulfoksida (DMSO) 40% untuk mempermudah lisis keratin.
Zat warna tambahan misalnya tinta parker blue-black, atau pewarnaan PAS akan
mempermudah visualisasi jamur. Penambahan zat warna chorazol black E atau
calcofluor white pada KOH bersifat spesifik untuk elemen jamur karena hanya
terikat pada khitin yang merupakan dinding jamur, tetapi tidak pada keratin atau
benang dan artefak lain. Namun untuk calcoflour white dibutuhkan mikroskop
fluoresen untuk memeriksannya.9,12
Selain memastikan hasil positif atau negatif, perlu dicari bentuk tipikal atau
atipikal elemen jamur, misalnya hifa dermatofita tidak berwarna (hialin), hifa
Scytalidium panjang dan berkelok-kelok serta jamur dematiaceae berwarna hitam.12
Pada pemeriksaan mikroskopik terkadang sulit untuk mengidentifikasi jenis
jamur spesifik tetapi pada kebanyakan kasus yeast dapat dibedakan dengan
dermatofita secara morfologi. Pemeriksaan secara mikroskopik merupakan
pemeriksaan yang paling sederhana dan cepat.9

Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah untuk menentukan spesies jamur. Pada biakan jamur
pemisahan jamur akan lebih baik jika menggunakan antibiotik untuk mencegah
kontaminasi bakteri. Penghancuran spesimen kuku harus dilakukan sebelum
inokulasi pada media. Sampel yang diambil dari kuku yang terinfeksi disuntikkan ke
media agar Sabouraud dengan atau tanpa cycloheximide. Biakan jamur menggunakan
media agar Sabouroud dengan chloramphenicol dan cycloheximide memiliki
sensitivitas 32%. Untuk melihat hasil biakan jamur ini dibutuhkan waktu beberapa
hari sampai dengan satu minggu.11,12

Pemeriksaan Histopatologi
Bila secara klinis kecurigaan tinea unguium besar namun hasil sediaan
mikroskopik langsung maupun biakan negatif, pemeriksaan histopatologi dapat
membantu. Dapat dilakukan biopsi kuku atau cukup dengan nail clippings pada
Onikomikosis Subungual Distal (ODS). Periodic Acid Schiff (PAS) digunakan untuk
mencari elemen jamur pada kuku. Pemeriksaan ini dapat sekaligus membantu
memastikan bahwa jamur terdapat dalam lempeng kuku dan bukan komensal atau
kontaminan di luar lempeng kuku. Teknik ini merupakan teknik yang paling dapat
dipercaya untuk membangun diagnosis tinea unguium. Pada beberapa penelitian
sensitivitas PAS adalah 41-93%.9,12

Penatalaksanaan
Seperti penatalaksanaan penyakit jamur superfisial lainnya, maka prinsip
penatalaksanaan tinea unguium menghilangkan faktor predisposisi yang
memudahkan terjadinya penyakit, serta terapi dengan obat anti jamur yang sesuai
dengan penyebab dan keadaan patologi kuku. Perlu ditelusuri pula sumber
penularan.12
Pengobatan pada tinea unguium yaitu dengan pemberian obat anti jamur baik
secara topikal maupun sistemik. Pengobatan topikal yaitu dengan menggunakan
siklopiroks dan amprolfin. Sedangkan pengobatan sistemik digunakan anti jamur
golongan alilamin seperti terbinafin dan golongan azol seperti flukonazol dan
itrakonazoltinea unguium ada dua cara yaitu secara sistemik dengan menggunakan
obat.9
Obat topikal
Obat topikal berbentuk krim dan solusio, namun sulit untuk penetrasi ke
dalam kuku sehingga kurang efektif untuk pengobatan tinea unguium, namun
masih dapat digunakan untuk superfisial Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT).
Obat topikal dengan formulasi khusus dapat meningkatkan penetrasi obat ke
dalam kuku, yakni:
a. Amorolfin : merupakan derivat morfolin yang bersifat fungisidal. Bekerja
dengan cara menghambat biosintesis ergosterol jamur. Untuk infeksi jamur
pada tinea unguium digunakan amorolfin dalam bentuk cat kuku konsentrasi
5% untuk kuku jari tangan, dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama
6 bulan sedangkan untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.9
b. Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypiridone, bersifat
fungisidal, sporosidal dan anti jamur ini mempunyai penetrasi yang baik pada
kulit dan kuku. Untuk pengobatan tinea unguium digunakan siklopiroks nail
lacquer 8%. Setelah dioleskan pada kuku yang sakit, larutan tersebut akan
mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari
pembawa berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku
dalam beberapa jam sampai kedalaman 0,4 mm dan hasil pengobatan akan
dicapai setelah 24-48 kali pemakaian. Diberikan 2 hari sekali selama bulan
pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali pada
bulan ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat
kuku siklosporik tidak melebihi dari 6 bulan.9
Dibutuhkan ketekunan pasien karena umumnya masa pengobatan panjang.
Meskipun penggunaan obat topikal mempunyai keterbatasan, namun masih dapat
digunakan sebagai pengobatan tinea unguium karena tidak mempunyai risiko
sistemik, relatif lebih murah dan dapat digunakan sebagai kombinasi dengan oral
untuk memperpendek masa pengobatan, selain itu bentuk cat kuku juga mudah
digunakan.9
Obat Sistemik
Terapi anti jamur sistemik, meski dikaitkan dengan tingginya angka kejadian
dan peningkatan keparahan efek samping, namun tetap diperlukan untuk
pengobatan infeksi tertentu, termasuk tinea manus, kapitis dan unguium. Obat
antijamur baru memberikan lebih banyak pilihan untuk terapi sistemik.6
Table 3. Obat yang dianjurkan pada tinea unguium.6
Flukonazol Griseofulvin Itrakonazol Terbinafin
Kuku tangan dan kuku kaki
150–200 1–2 g/hari 200 mg/hari × 12 250 mg/hari × 12
mg/minggu × hingga kuku minggu minggu
9 bulan normal Atau
200 mg × 1
minggu/bulan selama
Dosis 3–4 bulan
Dewasa Hanya kuku tangan
150–200 1–2 g/day 200 mg/hari × 6 250 mg/hari × 6
mg/minggu × hingga kuku minggu minggu
6 bulan normal Atau
200 mg × 1 bulan
selama 2 bulan
Dosis 6 mg/kg/ 20 5 mg/k/hari (<20 kg), 62.5 mg/hari (<20
anak- minggu × 12– mg/kg/hari 100 mg/hari (20–40 kg)
anak 16 minggu hingga kuku kg), 200 mg/hari (40– 125 mg/hari (20–40
(kuku tangan) normal 50 kg) kg) or
or 18–26 Atau 250 mg/hari (>40
minggu (kuku 200 mg (>50 kg) × 1 kg) × 6 minggu
kaki) minggu/bulan for 2 (kuku tangan) or 12
(kuku tangan) atau 3 minggu (kuku kaki)
(kuku kaki) bulan

Obat sistemik yang dapat digunakan untuk pengobatan tinea unguium yaitu
derivat azol dan derivat alilamin. Derivat azol bersifat fungistatik tetapi
mempunyai spektrum anti jamur luas dan derivat alilamin bersifat fungisidal
namun efektif terutama terhadap dermatofita.9

Terapi Bedah
Pengangkatan kuku dengan tindakan bedah skalpel selain menyebabkan nyeri
juga dapat memberikan gejala sisa distrofi kuku. Tindakan bedah dapat
dipertimbangkan bila kelainan hanya 1-2 kuku, bila terdapat kontraindikasi terhadap
obat sistemik, dan pada keadaan patogen resisten terhadap obat. Tindakan bedah
tetap harus dikombinasi dengan obat anti jamur topikal atau sistemik.12

PROGNOSIS
Kondisi ini sulit diobati, dibutuhkan pengobatan dalam waktu yang panjang.3
Tinea unguium tahap awal lebih mudah diobati pada orang muda, dan individu sehat
dibandingkan dengan individu yang sudah tua dengan kondisi kesehatan yang
buruk.9
Tinea Kruris

Definisi

Sinonim : Eksema marginatum, Dhobie itch, Jockey itch, Ringworm of the


groin. Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan
penyakit yang berlangung seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerah genito
krural (lipat paha, genitalia eksterna, sekitar anus dan dapat meluas ke bokong dan
perut bagian bawah).13

Etiologi

Penyebab dari Tinea kruris adalah Trichophyton rubrum dan Epidermophyton


floccosum. Dapat juga disebabkan oleh Trichopyton mentagrophytes dan Trichopyton
verrucosum. Infeksi Tinea kruris dapat disebabkan oleh infeksi langsung
(autoinoculation) misalnya karena penderita sebelumnya menderita Tinea manus,
Tinea pedis, atau Tinea unguium. Dapat juga ditularkan secara tidak langsung,
misalnya melalui handuk. 13,15

Epidemiologi

Banyak terjadi pada daerah tropis dan ketika musim panas dimana tingkat
kelembapannya cukup tinggi.13 Penyakit ini lebih sering mengenai laki-laki, terutama
pada individu dengan obesitas atau pada individu yang sering menggunakan pakaian
ketat.15 Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan
dengan anak-anak.15

Patogenesis

Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. 13,15
Penularan langsung dapat secara fomite, epitel, rambut yang mengandung jamur baik
dari manusia, binatang, atau tanah.15 Penularan tidak langsung dapat melalui
tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu.15 Agen penyebab juga dapat
ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita.13 Jamur
ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan
invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-
cabangnya didalam jaringan keratin yang mati.13,15 Hifa ini menghasilkan enzim
keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi
peradangan.13Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan
timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm).13 Reaksi kulit
semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.13
Menyebabkan penderita merasa gatal atau sedikit panas di tempat tersebut akibat
timbulnya peradangan dan iritasi.13 Faktor risiko infeksi awal atau kekambuhan
adalah memakai pakaian ketat atau basah.13

Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah1:

1. Faktor virulensi dari dermatofita


Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur antropofilik, zoofilik,
geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang
lain dalam hal afinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh
misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython
fluccosum paling sering menyerang lipat paha bagian dalam.

2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.

3. Faktor suhu dan kelembapan


Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur, tampak pada
lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari
paling sering terserang penyakit jamur.

4. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan


Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana terlihat insiden
penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering
ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik
5. Faktor umur dan jenis kelamin

Tanda dan Gejala Klinis

Secara subyektif, penderita dengan Tinea kruris mengeluh gatal yang kadang-
kadang meningkat waktu berkeringat.13,14,15

Kelainan kulit yang tampak pada Tinea kruris pada lipat paha merupakan lesi
berbatas tegas yang bilateral pada lipat paha kiri dan kanan, dapat bersifat akut atau
menahun.1,2,3 Mula-mula sebagai bercak eritema yang gatal, lama kelamaan meluas
secara sentrifugal dan membentuk bangun setengah bulan dengan batas tegas, yang
dapat meliputi skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut
bawah.1 Tepi lesi aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah
tengahnya), bentuk polimorf, ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan banyak
papul maupun vesikel di sekelilingnya.1,2 Bila penyakit ini menjadi menahun
(kronis), dapat berupa bercak hitam disertai sedikit skuama.3 Erosi dan ekskoriasi,
keluarnya cairan serum maupun darah, biasanya akibat garukan maupun pengobatan
yang diberikan.2 Keluhan sering bertambah sewaktu tidur sehingga digaruk-garuk
dan timbul erosi dan infeksi sekunder.3
Gambar 9. Tinea kruris15

Gambar 10. Tinea Kruris


Gambar 11. Tinea Kruris18

Diagnosis

Dari anamnesis, gambaran klinis dan lokalisasinya, tidak sulit untuk


mendiagnosis Tinea kruris.Sebagai penunjang diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan sediaan langsung dari kerokan bagian tepi lesi dengan KOH dan biakan,
kadang-kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu Wood, yang mengeluarkan
sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao. Pemeriksaan sediaan langsung dengan
KOH 10-20% positif bila memperlihatkan elemen jamur berupa hifa panjang dan
artrospora.13,15

Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan


langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur.13 Pemeriksaan ini
dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan.15 Yang dianggap
paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud.15 Biakan
memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal
biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang (±
60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung.15

Komplikasi

Tinea kruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain.3
Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.13
Diagnosis Banding

1. Kandidiasis inguinalis

Kandidiasis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida.


Kandidosis kadang sulit dibedakan dengan Tinea kruris jika mengenai lipatan paha
dan perianal. Lesi dapat berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah dan
berkrusta. Perbedaannya ialah pada kandidiasis terdapat eritema berwarna merah
cerah berbatas tegas dengan satelit-satelit di sekitarnya. Predileksinya juga bukan
pada daerah-daerah yang berminyak, tetapi lebih sering pada daerah yang lembab.
Selain itu, pada pemeriksaan dengan larutan KOH 10 %, terlihat sel ragi, blastospora
atau hifa semu.17

Pada wanita, ada tidaknya flour albus biasanya dapat membantu diagnosis.
Pada penderita diabetes mellitus, kandidiasis merupakan penyakit yang sering
dijumpai.

2. Eritrasma

Eritrasma merupakan penyakit yang sering berlokalisasi di sela paha.


Efloresensi yang sama, yaitu eritema dan skuama, pada seluruh lesi merupakan
tanda-tanda khas penyakit ini. Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan lampu Wood
dapat menolong dengan adanya fluoresensi merah ( red coral ).17

3. Dermatitis Seboroik

Penyakit peradangan pada kulit yang di pengaruhi faktor konstitusi dan


bertempat predileksi di tempat- tempat seboroik. Efloresensi yang sama, yaitu
eritema dan skuama, tetapi pada dermatitis seboroik lesi dapat berkrusta, dan
cenderung residif.

2.9 Penatalaksanaan

Pada umumnya pengobatan untuk infeksi jamur dermatofitosis secara topikal


saja cukup, kecuali untuk lesi-lesi kronik dan luas serta infeksi pada rambut dan kuku
yang memerlukan pula pengobatan sistemik, oleh karena dermatofitosis merupakan
penyakit jamur superfisial.14
a. Pengobatan topikal13,14

- Kombinasi asam salisilat (3-6%) dan asam benzoat (6-12%) dalam


bentuk salep (Salep Whitfield).
- Kombinasi asam salisilat dan sulfur presipitatum dalam bentuk
salep (salep 2-4, salep 3-10).
- Derivat azol : ketokonazol, mikonazol 2%, klotrimasol 1%, sangat
berguna terhadap kasus-kasus yang diragukan penyebabnya
dermatofita atau candida.

b. Pengobatan sistemik13,14

- Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa selama 3 minggu,


sedangkan dosis untuk anak-anak adalah 10-25 mg/kgBB sehari
untuk anak antara 15 sampai 25 kg berat badan, sedangkan untuk
anak dengan berat badan lebih dari 25 kg dapat diberikan antara
125/250 mg per hari.
- Ketokonazol 200 mg sehari untuk dewasa atau 3-6 mg/kgBB
sehari untuk anak-anak lebih dari 2 tahun.
- Antihistamin diberikan untuk mengurangi gejala gatal.
- Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder.

Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin, dapat diberikan griseofulvin


dengan dosis yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama atau bisa juga
dipertimbangkan penggunaan derivat azol seperti itrakonazol, flukonazol dll. Selain
pengobatan kausatif tersebut, penting juga diperhatikan pengobatan simtomatik
untuk menanggulangi rasa gatal, panas, maupun nyeri.14,18

Pencegahan

Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada Tinea kruris dan
Tinea corporis harus dihindari atau dihilangkan antara lain : 13,18

a. Temperatur lingkungan yang tinggi, keringat berlebihan, pakaian dari karet atau
nilon.
b. Pekerjaan yang banyak berhubungan dengan air misalnya perenang.
c. Kegemukan : selain faktor kelembaban, gesekan yang kronis dan keringat
berlebihan disertai higiene yang kurang, memudahkan timbulnya infeksi.
Prognosis

Prognosis tergantung penyebab, disiplin pengobatan, status imunologis dan


sosial budayanya, tetapi pada umumnya baik.13,18

Tinea Korporis

Definisi

Tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh tidak


berambut (Glabrous skin) selain telapak tangan, kaki, dan lipatan paha.19,20

Epidemiologi

Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi


mereka bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis
prevalensinya sama antara pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua
orang dari semua tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada
preadolescen. Secara geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis.
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi
manusia atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi
T.rubrum di kaki. Anak-anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti
M.canis pada kucing atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan
dengan banyaknya frekuensi dan beratnya erupsi.20

Etiologi

Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai


didaerah yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum
diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. T. interdigitale,
M. canis, T.tonsurans juga merupakan beberapa patogenyang berpengaruh. 20

Gambaran Klinis

Kelainan yang dilihat merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi.
Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, kadang terlihat erosi akibat garukan.
Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah dengan yang lain.
Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang
polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda
radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang
dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. 19
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama
dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris
atau sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk menahun yang disebabkan oleh
Trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguium. 19
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Penyakit ini terdapat di berbagai daerah
tertentu di Indonesia, misalnya Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Aru
dan Kei, dan Sulawesi Tengah. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul
berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu
mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama
yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari bagian tengah ke arah
luar, akan terasa jelas skuama yang menghadap ke dalam. Lingkaran-lingkaran
skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran-lingkaran
di sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada permulaan
infeksi, penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan yang menahun
tidak menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus menahun, lesi kulit
kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit kepala penderita dapat terserang, akan
tetapi rambut biasanya tidak. 19
Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah
tinea favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik
kecil di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi
krusta berbentuk cawan dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya
ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang
cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya
terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala dan
meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis, yang
disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil balik.
Biasanya dapat tercium bau tikus atau mousy odor pada para penderita favus.
Kadang penyakit ini dapat menyerupai dermatitis seboroika. Tinea favosa pada
kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit papulovesikel dan papuloskuamosa,
disertai kelainan kulit berbentuk cawan yang khas, yang kemudian menjadi
jaringan parut. Favus pada kuku tidak dapat dibedakan dengan tinea unguium
pada umumnya, yang disebabkan oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga
spesies dermatofita dapat menyebabkan tinea favus, yaitu Trichophyton
schoenleini, Trichophyton violaceum, dan Microsporum gypseum. Berat ringan
bentuk klinis yang tampak tidak bergantung pada spesies jamur penyebab, akan
tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan
penderita sendiri. 19
Gambar 12. Tinea Korporis
Pemeriksaan Penunjang
Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada
kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis.
Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis menjadi lebih tepat.
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau
pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk
melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi
spesies jamur penyebab yang lebih akurat.
Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui
infeksi dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini
diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. Berikut adalah
gambaran mikroskopik dan morfologi koloni beberapa etiologi dari tinea
korporis.
Gambar 13.

Penatalaksanaan20

Penatalaksanaan tinea korporis untuk plak yang terisolasi pada kulit


glabrosa, pemberian topikal allyamin, imidazole, tolnaftate, butenafine, atau
ciclopirox dianggap efektif. Digunakan 2 kali/hari selama 2–4 minggu. Agen
antifungal oral digunakan untuk yang telah meluas atau pada erupsi inflamasi
yang lebih berat. Beberapa studi komparatif pada dewasa menunjukkan
pemberian terbinafine 250 mg/hari selama 2–4 minggu, itraconazole 200 mg 1
kali/hari selama 1 minggu, dan fluconazole 150-300 mg/minggu selama 4-6
minggu lebih digunakan dibanding griseofulvin 500 mg/hari hingga
penyembuhan tercapai. Regimen yang aman dan efektif untuk anak termasuk
terbinafine 3-6 mg/kg/hari selama 2 minggu, itraconazole 5 mg/kg/hari selama 1
minggu, dan griseofulvin ultramikro 10-20 mg/kg/hari hingga 2–4 minggu.
Untuk tinea favus penatalaksanaan sama seperti tinea kapitis.20
Tinea Kapitis

Definisi

Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan
oleh spesies dermatofita.

EPIDEMIOLOGI

Tinea capitis paling sering terjadi pada anak-anak berusia antara 3 dan 14
tahun. Secara umum, tinea capitis lebih sering terjadi pada anak-anak keturunan
Afrika karena alasan yang tidak diketahui. Tinea kapitis bisa disebabkan karena sisir,
topi, sarung bantal, mainana dan tempat duduk teater.22

PATHOGENESIS
Infeksi rambut oleh ectothrix, endothrix dan favus dermatofit menyebabkan
infeksi pada perifollicular stratum korneum dan menyebar disekitarnya dan masuk ke
batang rambut untuk menembus korteks. Dengan pertumbuhan rambut, bagian
rambut yang terinfeksi naik di atas permukaan kulit kepala di mana ia bisa pecah
karena kerapuhannya yang meningkat. Pada pemeriksaan lampu wood terdapat
fluoresensi kuning-hijau. Di infeksi endothrix (lihat Gambar 188-2), arthroconidia
dan Hifa tetap berada di dalam batang rambut dan meninggalkan korteks dan
kutikula utuh. Pola tinea capitis ini terkait dengan munculnya "titik hitam" yang
mana Merupakan rambut pecah di permukaan kulit kepala. 22

TEMUAN KLINIS

Penampilan klinis tinea capitis tergantung pada penyebabnya spesies serta faktor
lainnya seperti inang respon imun. Secara umum, infeksi dermatofit Kulit kepala
menghasilkan kerontokan rambut. 22

1. Grey patch ringworm


Bentuk ini biasanya disebabkan oleh genus Microsporum dan sering
ditemukan pada anak-anak. Penyakit mulai dengan papul merah yang kecil di
sekitar rambut. Papul ini melebar dan membentuk bercak, yang menjadi pucat
dan bersisik. Keluhan penderita adalah rasa gatal. Warna rambut menjadi
abu-abu dan tidak berkilat lagi. Rambut mudah patah dan terlepas dari
akarnya, sehingga mudah dicabut dengan pinset tanpa rasa nyeri. Semua
rambut di daerah terserbut terserang oleh jamur, sehingga dapat terbentuk
alopesia setempat. Tempat-tempat ini terlihat sebagai grey patch. Grey patch
yang dilihat di dalam klinik tidak menunjukkan batas-batas daerah sakit
dengan pasti. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood dapat dilihat fluoresensi
hijau kekuning-kuningan pada rambut yang sakit melampaui batas-batas grey
patch tersebut. Pada kasus-kasus tanpa keluhan, pemeriksaan dengan lampu
Wood ini banyak membantu diagnosis. Tinea kapitis yang disebabkan oleh
Microsporum audouini biasanya disertai tanda peradangan ringan, hanya
sekali-sekali dapat terbentuk kerion.22
Gambar 15. Tinea capitis “gray patch”. Besar, plak hiperkeratotik bulat karena
alopecia karena putusnya akar rambut yang dekat permukaan. sisik rambut yang
tersisa menunjukkan fluoresensi hijau Saat diperiksa dengan lampu wood22

Jenis Noninflammatory

Tinea kapitis noninflammatory paling sering terlihat pada organisme


anthropophilic seperti Microsporum audouinii atau Microsporum ferrugineum.
Alopecia mungkin tidak terlihat, lebih banyak kasus peradanganeritematous
sirkumskripbercak bersisik dari alopecia nonscarring dengan kerusakan rambut (grat
patch pada gambar 188-3). Ketika melibatkan ectothrix. Rambut yang terinfeksi
menunjuka floresensi hijau di bawah lampu wood. 22

2. Kerion
Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang
yang padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan
Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak
kurang bila penyebabnya Trichophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila
penyebabnya adalah Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan
parut yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk.21
Gambar 16. Kerion kulit kepala.22

3. Black dot ringworm


Kelainan ini disebabkan oleh Tricohophyton tonsurans dan
Trichophyton violaceum. Pada permulaan penyakit, gambaran klinisnya
menyerupai kelainan yang disebabkan oleh genus Microsporum. Rambut
yang terkena infeksi patah, tepat pada muara folikel, dan yang tertinggal
adalah ujung rambut yang penuh spora. Ujung rambut yang hitam di dalam
folikel rambut ini member gambaran khas yaitu black dot. Ujung rambut
yang patah, kalau tumbuh kadang-kadang masuk ke bawah permukaan kulit.
Dalam hal ini perlu dilakukan irisan kulit untuk mendapat bahan biakan
jamur.21

Gambar 17. "Black dot" tinea capitis disebabkan oleh Trichophyton tonuran.22

Pengobatan

Infeksi kulit biasanya menggunakan obat antijamur oral: griseofulvin


bersamaan dengan allyylamine (terbinafine) dan triazol (itrakonazol dan flukonazol)
dianggap aman dan efektif.22

Griseofulvin. Griseofulvin bersama dengan terbinafine. Pada pasien yang berusia


lebih dari 4 tahun adalah pengobatan sistemik yang direkomendasikan. Dosis
pediatrik 10-20 mg / kg / hari terbagi. Dosis selama 6-8 minggu dengan makanan
berlemak untuk memudahkan penyerapan. Efeksamping dari obat ini adalah
fotosensitifitas, sakit kepala, gangguan gastrointestinal.22

Terbinafine. Dosis terbinafin 3-6 mg / kg / hari dapat menyembuhkan Trichophyton


tinea capitis dalam 2-4 minggu.Terbinafin dapat menyebabkangangguan
gastrointestinal.22
Itraconazole. Pada dosis 5 mg / kg / hari 2-4 minggu, itrakonazol efektif mengobati
tinea capitis yang disebabkan oleh Microsporum atau Trichophyton selama 1
minggu. Efek samping obat ini gangguan gastrointestinal, diare dengan konsistensi
cair dan edema perifer, terutama jika diberikan bersamaan dengan calcium channel
blocker.22

Fluconazole. Dosis 6 mg / kg / hari selama 20 hari efektif dalam menyembuhkan


tinea capitis.Sebagai alternatif, flukonazol dapat diberikan sekali seminggu dengan 6
mg / kg / hari8-12 minggu.22

Terapi adjuvant. Selenium sulfida (1% dan 2,5%), zinc pyrithione (1% dan 2%),
povidone iodine (2,5%), dan ketokonazol (2%) adalah preparat sampo yang
membantu menghilangkan dermatofit dari kulit kepala dari anak-anak. Penggunaan
direkomendasikan 2-4 kali seminggu selama 2-4 minggu.Penggunaandari sampo
ketokonazol 2% atau selenium sulfida 2,5%tiga kali seminggu.22
Daftar pustaka

1. Stefan M. Schieke & Amit Garg. Superficial Fungal Infection. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fittzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2012. pp. 2291-
2295
2. K C Leung Alexander. Benjamin Barankin. Tinea Pedis. Clinical Professor of
Pediatrics, University of Calgary, Pediatric Consultant, Alberta Children's Hospital,
Canada.2015 vol 2
3. Budimulja U. Dermatofitosis, In : Mendaldi SLS, editor, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 6.:Jakarta: Penerbitan Buku FKUI; 2013. p. 93 – 99.
4. Effendi, Evita H. Dermatofitosis, In: Menaldi, SLSW. Bramono, K. Indriatmi, W.
editor, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2016. p.110 – 116
5. Hiromi Sanada , Gojiro Nakagami, et al. Antifungal Effect of Non-Woven Textiles
Containing Polyhexamethylene Biguanide with Sophorolipid. Department of
Gerontological Nursing/Wound Care Management, Graduate School of Medicine, The
University of Tokyo. Japan : 2014 april : 113-0033.
6. Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO, Hay R. Fungal disease. In: Bolognia J L, Lorizzo
J L, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008; p.
1265-70.
7. Verma S, Haffernan MP. Fungal disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008; p.1817-18.
8. James D, Berger G, Elston M. Diseases resulting from fungi and yeast. Andrew’s
Disease of The Skin Clinical Dermatology, 10th edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008; p.305-7.
9. Wolff KL. Johnson RA. Disorder of The Nail Apparatus. In: Fitzpatrick’s Color Atlas
& Sinopsis Of Clinical Dermatology, 5th ed. New York: The McGraw-Hill companies;
2007. p.1016-21.
10. Perez M, Torres JM, Martinez A, Segura S, Grira G, Trivino L, ED et al. Prevalence of
tinea pedis, tinea unguium of toenails and tinea capitis in school children from
Barcelona. Revista Iberoamericana de Micologı´a, 2009;26(1): p.228-32.
11. Moore Mk, Hay RJ. Anatomy and organization of human skin. In: Berth-jones J,
editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Cambridge: Wiley-Balckwell: 2010;
p.3.14-5.
12. Budi IP. Onikomikosis. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Universitas Sumatera Utara. 2008; hal.9-12.
13. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI 2010. p. 94-105.
14. Adiguna MS, Rusyati LM. Recent Treatment of Dermatomycosis. In: Kumpulan
Makalah Lengkap Peningkatan Profesionalisme di Bidang Infeksi Kulit dan Kelamin
Serta Pemakaian Anti Mikrobial yang Bijak. Denpasar: Bag/SMF Ilmu Kesehatan
Kulit & Kelamin FK UNUD/RS Sanglah, Bagian Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RS
Sanglah 2011. p. 37-38.
15. Verma S, Hefferman MP. Tinea Cruris. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ
(editor). 7th ed. New York: McGraw-Hill 2008. p. 1807-21.
16. Kuswadji. Kandidosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI 2010. p. 106-9.
17. Gupta AK, Chaudhry M, Elewski B. Tinea Corporis, Tinea Cruris, Tinea Nigra, and
Piedra. Dermatologic Clinics 2003; vol (21). p. 395-400.
18. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Special Clinical and Laboratory Aids to Dermatological
Diagnosis.Dalam: Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP, et al, eds. Fitzpatrick’s Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill;
2013.p.616-17.
19. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.
p.109-16.
20. Schieke SM, Garg A. Superficial Fungal Infection. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Lefeell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th Edition. New York: The McGaw-Hill Companies;2012. p.
2277-97
21. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2015.p. 109-16
22. Shear, Neil H. Knowles, Sandra R. Cutaneous Reactions to Drugs. In: Goldsmith LA.
Katz, Stephen I. Gilchrest, Barbara A. Paller, Amy S. Leffel, David J. Wolff K.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th edition. New York: McGraw Hill
Medical; P 2278-2297, P. 1807-21.

Anda mungkin juga menyukai