Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tinea Pedis
Definisi
Tinea pedis adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur
dermatofita. Tinea pedis disebut juga Athlete’s foots “Ringworm of the foot”.
Penyakit ini sering menyerang orang – orang dewasa yang banyak bekerja di tempat
basah, dan kelembapan kulit terbukti menjadi salah satu faktor terjadinya tinea pedis.
Walaupun infeksi jamur tidak mengancam jiwa, tetapi dapat menyebabkan turunnya
kualitas hidup pasien.1
Etiologi
Epidemiologi
Terjadi di seluruh dunia, tinea pedis dan tinea manuum adalah dermatofitosis
yang paling umum. Prevalensi yang tinggi, diperkirakan sekitar 10%, terutama
disebabkan oleh alas kaki oklusif modern, walaupun peningkatan perjalanan di
seluruh dunia juga telah terlibat. 42 Kejadian tinea pedis lebih tinggi di antara
mereka yang menggunakan mandi komunal, pancuran atau kolam renang. Dengan
kehadiran dermatofit di lingkungan, bagaimanapun, mungkin faktor inang seperti
respons kekebalan individu terhadap dermatofit, selain pemaparan, memainkan peran
yang menentukan dalam perolehan tinea pedis.1
Gejala klinis
1) Tipe Interdigitalis
2) Tipe Moccasin
Bentuk lain ialah yang disebut dengan moccasin foot. Pada seluruh kaki, dari
telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan bersisik.
Eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Bersifat
Kronik dan kadang resisten pada pengobatan.di tepi lesi dapat pula dilihat
papul dan kadang – kadang vesikel.4
Gambar 5. Tinea pedis dan manus. "Dua kaki satu tangan" presentasi
Trichophyton rubrum. Scaling di tangan (kanan) yang terlibat ditekankan
dalam lipatan.1
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis Banding2
Prognosis
lempeng
lipatan dorsum proksimal kuku kutikula
kuku
dasar
lipatan ventral proksimal kuku
kuku
bagian lipatan hiponikium
proksimal kuku
lekukan distal
Kuku merupakan struktur unit yang tiap komponennya bergabung dan disebut
sebagai unit kuku. Unit kuku terdiri dari lempeng kuku (nail plate) dan empat
struktur epitel: lipatan kuku proksimal (proximal nail fold), matriks, dasar kuku (nail
bed) dan hiponikium. (Gambar 1). Lempeng kuku berbentuk persegi panjang, tembus
pandang relatif tidak fleksibel, mengandung kalsium, fosfat, besi, seng, mangan dan
tembaga, juga sulfur dalam matriks kuku yang bertanggung jawab untuk kualitas
fisik kuku. Lempeng kuku muncul dari bawah lipatan kuku proksimal dan berbatasan
di kedua sisi dengan lipatan kuku lateralis. Di bagian proksimal terdapat lingkaran
putih yang disebut lunula. Permukaan dorsal unit kuku tampak berwarna merah
muda karena peningkatan pembuluh darah dari dasar kuku (nail bed). Daerah antara
permukaan dorsal dan ventral terdapat kutikula (eponychium) yang melindungi
matriks dari kerusakan.11
Pada tinea unguium invasi terjadi pada kuku yang sehat. Jamur dapat masuk
melalui tiga cara yaitu dari manusia ke manusia (antrofopilik), dari hewan ke
manusia (zoofilik) dan dari tanah ke manusia (geofilik). Dermatofita, tidak seperti
kebanyakan jamur lain, menghasilkan keratinases (enzim yang memecah keratin),
yang memungkinkan untuk invasi jamur ke dalam jaringan keratin. Dinding sel
dermatofit juga mengandung mannans (sejenis polisakarida) yang dapat menghambat
respon kekebalan tubuh. Trichophyton rubrum khususnya mengandung mannans yang
dapat mengurangi proliferasi keratinosit. Terdapat beberapa predisposisi yang
memudahkan terjadinya tinea unguium yang mungkin sama dengan penyakit jamur
superfisial lainnya seperti kelembaban, trauma berulang pada kuku, penurunan
imunitas serta gaya hidup seperti penggunaan kaos kaki dan sepatu tertutup terus-
menerus, olahraga berlebihan dan juga penggunaan tempat mandi umum. Invasi
kuku oleh jamur juga akan meningkat pada pasien dengan defek pada suplai
vaskularisai seperti akibat pertambahan usia, insufisiensi vena, penyakit arteri
perifer, serta pasien imunokompromise.6
Jamur menyerang kuku melalui berbagai area sesuai dengan bagian kuku
yang pertama diinfeksinya. Invasi jamur ke kuku biasanya di mulai dari lipatan kuku
lateral atau ujung kuku, hal ini akan memberikan gambaran klinis berbeda sesuai
dengan klasifikasi berdasarkan bagian kuku yang terkena. Selanjutnya dapat terjadi
onikomikosis sekunder dimana infeksi terjadi setelah jaringan di sekitar kuku sudah
terinfeksi seperti pada psoriasis atau trauma pada kuku. tinea unguium pada kuku jari
kaki biasanya terjadi setelah tinea pedis, pada kuku jari tangan dikaitkan dengan
tinea manus, tinea corporis dan tinea kapitis.9
Gambaran Klinis
Kuku jari kaki lebih sering terinfeksi dibandingkan kuku jari tangan.6 Sekitar
80% tinea unguium terjadi pada kaki. Gambaran klinis tinea unguium berdasarkan
klasifikasinya, yaitu:
+ -
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan adalah pemeriksaan
mikroskopik langsung yang diikuti biakan untuk identifikasi spesies penyebab.
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan
langsung sediaan basah untuk menentukan spesies jamur. Pada biakan jamur
pemisahan jamur akan lebih baik jika menggunakan antibiotik untuk mencegah
kontaminasi bakteri. Penghancuran spesimen kuku harus dilakukan sebelum
inokulasi pada media. Sampel yang diambil dari kuku yang terinfeksi disuntikkan ke
media agar Sabouraud dengan atau tanpa cycloheximide. Biakan jamur menggunakan
media agar Sabouroud dengan chloramphenicol dan cycloheximide memiliki
sensitivitas 32%. Untuk melihat hasil biakan jamur ini dibutuhkan waktu beberapa
hari sampai dengan satu minggu.11,12
Pemeriksaan Histopatologi
Bila secara klinis kecurigaan tinea unguium besar namun hasil sediaan
mikroskopik langsung maupun biakan negatif, pemeriksaan histopatologi dapat
membantu. Dapat dilakukan biopsi kuku atau cukup dengan nail clippings pada
Onikomikosis Subungual Distal (ODS). Periodic Acid Schiff (PAS) digunakan untuk
mencari elemen jamur pada kuku. Pemeriksaan ini dapat sekaligus membantu
memastikan bahwa jamur terdapat dalam lempeng kuku dan bukan komensal atau
kontaminan di luar lempeng kuku. Teknik ini merupakan teknik yang paling dapat
dipercaya untuk membangun diagnosis tinea unguium. Pada beberapa penelitian
sensitivitas PAS adalah 41-93%.9,12
Penatalaksanaan
Seperti penatalaksanaan penyakit jamur superfisial lainnya, maka prinsip
penatalaksanaan tinea unguium menghilangkan faktor predisposisi yang
memudahkan terjadinya penyakit, serta terapi dengan obat anti jamur yang sesuai
dengan penyebab dan keadaan patologi kuku. Perlu ditelusuri pula sumber
penularan.12
Pengobatan pada tinea unguium yaitu dengan pemberian obat anti jamur baik
secara topikal maupun sistemik. Pengobatan topikal yaitu dengan menggunakan
siklopiroks dan amprolfin. Sedangkan pengobatan sistemik digunakan anti jamur
golongan alilamin seperti terbinafin dan golongan azol seperti flukonazol dan
itrakonazoltinea unguium ada dua cara yaitu secara sistemik dengan menggunakan
obat.9
Obat topikal
Obat topikal berbentuk krim dan solusio, namun sulit untuk penetrasi ke
dalam kuku sehingga kurang efektif untuk pengobatan tinea unguium, namun
masih dapat digunakan untuk superfisial Onikomikosis Superfisial Putih (OSPT).
Obat topikal dengan formulasi khusus dapat meningkatkan penetrasi obat ke
dalam kuku, yakni:
a. Amorolfin : merupakan derivat morfolin yang bersifat fungisidal. Bekerja
dengan cara menghambat biosintesis ergosterol jamur. Untuk infeksi jamur
pada tinea unguium digunakan amorolfin dalam bentuk cat kuku konsentrasi
5% untuk kuku jari tangan, dioleskan satu atau dua kali setiap minggu selama
6 bulan sedangkan untuk kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.9
b. Siklopiroks merupakan anti jamur sintetik hydroxypiridone, bersifat
fungisidal, sporosidal dan anti jamur ini mempunyai penetrasi yang baik pada
kulit dan kuku. Untuk pengobatan tinea unguium digunakan siklopiroks nail
lacquer 8%. Setelah dioleskan pada kuku yang sakit, larutan tersebut akan
mengering dalam waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari
pembawa berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku
dalam beberapa jam sampai kedalaman 0,4 mm dan hasil pengobatan akan
dicapai setelah 24-48 kali pemakaian. Diberikan 2 hari sekali selama bulan
pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan kedua dan seminggu sekali pada
bulan ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Dianjurkan pemakaian cat
kuku siklosporik tidak melebihi dari 6 bulan.9
Dibutuhkan ketekunan pasien karena umumnya masa pengobatan panjang.
Meskipun penggunaan obat topikal mempunyai keterbatasan, namun masih dapat
digunakan sebagai pengobatan tinea unguium karena tidak mempunyai risiko
sistemik, relatif lebih murah dan dapat digunakan sebagai kombinasi dengan oral
untuk memperpendek masa pengobatan, selain itu bentuk cat kuku juga mudah
digunakan.9
Obat Sistemik
Terapi anti jamur sistemik, meski dikaitkan dengan tingginya angka kejadian
dan peningkatan keparahan efek samping, namun tetap diperlukan untuk
pengobatan infeksi tertentu, termasuk tinea manus, kapitis dan unguium. Obat
antijamur baru memberikan lebih banyak pilihan untuk terapi sistemik.6
Table 3. Obat yang dianjurkan pada tinea unguium.6
Flukonazol Griseofulvin Itrakonazol Terbinafin
Kuku tangan dan kuku kaki
150–200 1–2 g/hari 200 mg/hari × 12 250 mg/hari × 12
mg/minggu × hingga kuku minggu minggu
9 bulan normal Atau
200 mg × 1
minggu/bulan selama
Dosis 3–4 bulan
Dewasa Hanya kuku tangan
150–200 1–2 g/day 200 mg/hari × 6 250 mg/hari × 6
mg/minggu × hingga kuku minggu minggu
6 bulan normal Atau
200 mg × 1 bulan
selama 2 bulan
Dosis 6 mg/kg/ 20 5 mg/k/hari (<20 kg), 62.5 mg/hari (<20
anak- minggu × 12– mg/kg/hari 100 mg/hari (20–40 kg)
anak 16 minggu hingga kuku kg), 200 mg/hari (40– 125 mg/hari (20–40
(kuku tangan) normal 50 kg) kg) or
or 18–26 Atau 250 mg/hari (>40
minggu (kuku 200 mg (>50 kg) × 1 kg) × 6 minggu
kaki) minggu/bulan for 2 (kuku tangan) or 12
(kuku tangan) atau 3 minggu (kuku kaki)
(kuku kaki) bulan
Obat sistemik yang dapat digunakan untuk pengobatan tinea unguium yaitu
derivat azol dan derivat alilamin. Derivat azol bersifat fungistatik tetapi
mempunyai spektrum anti jamur luas dan derivat alilamin bersifat fungisidal
namun efektif terutama terhadap dermatofita.9
Terapi Bedah
Pengangkatan kuku dengan tindakan bedah skalpel selain menyebabkan nyeri
juga dapat memberikan gejala sisa distrofi kuku. Tindakan bedah dapat
dipertimbangkan bila kelainan hanya 1-2 kuku, bila terdapat kontraindikasi terhadap
obat sistemik, dan pada keadaan patogen resisten terhadap obat. Tindakan bedah
tetap harus dikombinasi dengan obat anti jamur topikal atau sistemik.12
PROGNOSIS
Kondisi ini sulit diobati, dibutuhkan pengobatan dalam waktu yang panjang.3
Tinea unguium tahap awal lebih mudah diobati pada orang muda, dan individu sehat
dibandingkan dengan individu yang sudah tua dengan kondisi kesehatan yang
buruk.9
Tinea Kruris
Definisi
Etiologi
Epidemiologi
Banyak terjadi pada daerah tropis dan ketika musim panas dimana tingkat
kelembapannya cukup tinggi.13 Penyakit ini lebih sering mengenai laki-laki, terutama
pada individu dengan obesitas atau pada individu yang sering menggunakan pakaian
ketat.15 Penyakit ini lebih banyak ditemukan pada orang dewasa dibandingkan
dengan anak-anak.15
Patogenesis
Cara penularan jamur dapat secara langsung maupun tidak langsung. 13,15
Penularan langsung dapat secara fomite, epitel, rambut yang mengandung jamur baik
dari manusia, binatang, atau tanah.15 Penularan tidak langsung dapat melalui
tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu.15 Agen penyebab juga dapat
ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita.13 Jamur
ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan
invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-
cabangnya didalam jaringan keratin yang mati.13,15 Hifa ini menghasilkan enzim
keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi
peradangan.13Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan
timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm).13 Reaksi kulit
semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.13
Menyebabkan penderita merasa gatal atau sedikit panas di tempat tersebut akibat
timbulnya peradangan dan iritasi.13 Faktor risiko infeksi awal atau kekambuhan
adalah memakai pakaian ketat atau basah.13
2. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
Secara subyektif, penderita dengan Tinea kruris mengeluh gatal yang kadang-
kadang meningkat waktu berkeringat.13,14,15
Kelainan kulit yang tampak pada Tinea kruris pada lipat paha merupakan lesi
berbatas tegas yang bilateral pada lipat paha kiri dan kanan, dapat bersifat akut atau
menahun.1,2,3 Mula-mula sebagai bercak eritema yang gatal, lama kelamaan meluas
secara sentrifugal dan membentuk bangun setengah bulan dengan batas tegas, yang
dapat meliputi skrotum, pubis, gluteal, bahkan sampai paha, bokong dan perut
bawah.1 Tepi lesi aktif (peradangan pada tepi lebih nyata daripada daerah
tengahnya), bentuk polimorf, ditutupi skuama dan kadang-kadang dengan banyak
papul maupun vesikel di sekelilingnya.1,2 Bila penyakit ini menjadi menahun
(kronis), dapat berupa bercak hitam disertai sedikit skuama.3 Erosi dan ekskoriasi,
keluarnya cairan serum maupun darah, biasanya akibat garukan maupun pengobatan
yang diberikan.2 Keluhan sering bertambah sewaktu tidur sehingga digaruk-garuk
dan timbul erosi dan infeksi sekunder.3
Gambar 9. Tinea kruris15
Diagnosis
Komplikasi
Tinea kruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain.3
Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.13
Diagnosis Banding
1. Kandidiasis inguinalis
Pada wanita, ada tidaknya flour albus biasanya dapat membantu diagnosis.
Pada penderita diabetes mellitus, kandidiasis merupakan penyakit yang sering
dijumpai.
2. Eritrasma
3. Dermatitis Seboroik
2.9 Penatalaksanaan
b. Pengobatan sistemik13,14
Pencegahan
Beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada Tinea kruris dan
Tinea corporis harus dihindari atau dihilangkan antara lain : 13,18
a. Temperatur lingkungan yang tinggi, keringat berlebihan, pakaian dari karet atau
nilon.
b. Pekerjaan yang banyak berhubungan dengan air misalnya perenang.
c. Kegemukan : selain faktor kelembaban, gesekan yang kronis dan keringat
berlebihan disertai higiene yang kurang, memudahkan timbulnya infeksi.
Prognosis
Tinea Korporis
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Gambaran Klinis
Kelainan yang dilihat merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas
terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di tepi.
Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, kadang terlihat erosi akibat garukan.
Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah dengan yang lain.
Kelainan kulit dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi dengan pinggir yang
polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Bentuk dengan tanda
radang yang lebih nyata, lebih sering dilihat pada anak-anak daripada orang
dewasa karena umumnya mereka mendapat infeksi baru pertama kali. 19
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama
dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris
atau sebaliknya tinea cruris et corporis. Bentuk menahun yang disebabkan oleh
Trichophyton rubrum biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguium. 19
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Penyakit ini terdapat di berbagai daerah
tertentu di Indonesia, misalnya Kalimantan, Sulawesi, Papua, Kepulauan Aru
dan Kei, dan Sulawesi Tengah. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul
berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu
mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama
yang konsentris. Bila dengan jari tangan kita meraba dari bagian tengah ke arah
luar, akan terasa jelas skuama yang menghadap ke dalam. Lingkaran-lingkaran
skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran-lingkaran
di sebelahnya sehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada permulaan
infeksi, penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi kelainan yang menahun
tidak menimbulkan keluhan pada penderita. Pada kasus menahun, lesi kulit
kadang dapat menyerupai iktiosis. Kulit kepala penderita dapat terserang, akan
tetapi rambut biasanya tidak. 19
Bentuk lain tinea korporis yang disertai kelainan pada rambut adalah
tinea favosa atau favus. Penyakit ini biasanya dimulai di kepala sebagai titik
kecil di bawah kulit yang berwarna merah kuning dan berkembang menjadi
krusta berbentuk cawan dengan berbagai ukuran. Krusta tersebut biasanya
ditembus oleh satu atau dua rambut dan bila krusta diangkat terlihat dasar yang
cekung merah dan membasah. Rambut kemudian tidak berkilat lagi dan akhirnya
terlepas. Bila tidak diobati, penyakit ini meluas ke seluruh kepala dan
meninggalkan parut dan botak. Berlainan dengan tinea korporis, yang
disebabkan oleh jamur lain, favus tidak menyembuh pada usia akil balik.
Biasanya dapat tercium bau tikus atau mousy odor pada para penderita favus.
Kadang penyakit ini dapat menyerupai dermatitis seboroika. Tinea favosa pada
kulit dapat dilihat sebagai kelainan kulit papulovesikel dan papuloskuamosa,
disertai kelainan kulit berbentuk cawan yang khas, yang kemudian menjadi
jaringan parut. Favus pada kuku tidak dapat dibedakan dengan tinea unguium
pada umumnya, yang disebabkan oleh spesies dermatofita yang lain. Tiga
spesies dermatofita dapat menyebabkan tinea favus, yaitu Trichophyton
schoenleini, Trichophyton violaceum, dan Microsporum gypseum. Berat ringan
bentuk klinis yang tampak tidak bergantung pada spesies jamur penyebab, akan
tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat kebersihan, umur, dan ketahanan
penderita sendiri. 19
Gambar 12. Tinea Korporis
Pemeriksaan Penunjang
Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada
kulit sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis.
Akan tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga
diperlukan pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis menjadi lebih tepat.
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau
pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk
melihat elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi
spesies jamur penyebab yang lebih akurat.
Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui
infeksi dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini
diidentifikasi dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. Berikut adalah
gambaran mikroskopik dan morfologi koloni beberapa etiologi dari tinea
korporis.
Gambar 13.
Penatalaksanaan20
Definisi
Tinea kapitis adalah kelainan pada kulit dan rambut kepala yang disebabkan
oleh spesies dermatofita.
EPIDEMIOLOGI
Tinea capitis paling sering terjadi pada anak-anak berusia antara 3 dan 14
tahun. Secara umum, tinea capitis lebih sering terjadi pada anak-anak keturunan
Afrika karena alasan yang tidak diketahui. Tinea kapitis bisa disebabkan karena sisir,
topi, sarung bantal, mainana dan tempat duduk teater.22
PATHOGENESIS
Infeksi rambut oleh ectothrix, endothrix dan favus dermatofit menyebabkan
infeksi pada perifollicular stratum korneum dan menyebar disekitarnya dan masuk ke
batang rambut untuk menembus korteks. Dengan pertumbuhan rambut, bagian
rambut yang terinfeksi naik di atas permukaan kulit kepala di mana ia bisa pecah
karena kerapuhannya yang meningkat. Pada pemeriksaan lampu wood terdapat
fluoresensi kuning-hijau. Di infeksi endothrix (lihat Gambar 188-2), arthroconidia
dan Hifa tetap berada di dalam batang rambut dan meninggalkan korteks dan
kutikula utuh. Pola tinea capitis ini terkait dengan munculnya "titik hitam" yang
mana Merupakan rambut pecah di permukaan kulit kepala. 22
TEMUAN KLINIS
Penampilan klinis tinea capitis tergantung pada penyebabnya spesies serta faktor
lainnya seperti inang respon imun. Secara umum, infeksi dermatofit Kulit kepala
menghasilkan kerontokan rambut. 22
Jenis Noninflammatory
2. Kerion
Kerion adalah reaksi peradangan yang berat pada tinea kapitis, berupa
pembengkakan yang menyerupai sarang lebah dengan sebukan sel radang
yang padat di sekitarnya. Bila penyebabnya Microsporum canis dan
Microsporum gypseum, pembentukan kerion ini lebih sering dilihat, agak
kurang bila penyebabnya Trichophyton tonsurans, dan sedikit sekali bila
penyebabnya adalah Trichophyton violaceum. Kelainan ini dapat
menimbulkan jaringan parut dan berakibat alopesia yang menetap. Jaringan
parut yang menonjol kadang-kadang dapat terbentuk.21
Gambar 16. Kerion kulit kepala.22
Gambar 17. "Black dot" tinea capitis disebabkan oleh Trichophyton tonuran.22
Pengobatan
Terapi adjuvant. Selenium sulfida (1% dan 2,5%), zinc pyrithione (1% dan 2%),
povidone iodine (2,5%), dan ketokonazol (2%) adalah preparat sampo yang
membantu menghilangkan dermatofit dari kulit kepala dari anak-anak. Penggunaan
direkomendasikan 2-4 kali seminggu selama 2-4 minggu.Penggunaandari sampo
ketokonazol 2% atau selenium sulfida 2,5%tiga kali seminggu.22
Daftar pustaka
1. Stefan M. Schieke & Amit Garg. Superficial Fungal Infection. In: Wolff K, Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fittzpatrick’s Dermatology
in General Medicine. 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies Inc; 2012. pp. 2291-
2295
2. K C Leung Alexander. Benjamin Barankin. Tinea Pedis. Clinical Professor of
Pediatrics, University of Calgary, Pediatric Consultant, Alberta Children's Hospital,
Canada.2015 vol 2
3. Budimulja U. Dermatofitosis, In : Mendaldi SLS, editor, Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. Edisi 6.:Jakarta: Penerbitan Buku FKUI; 2013. p. 93 – 99.
4. Effendi, Evita H. Dermatofitosis, In: Menaldi, SLSW. Bramono, K. Indriatmi, W.
editor, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2016. p.110 – 116
5. Hiromi Sanada , Gojiro Nakagami, et al. Antifungal Effect of Non-Woven Textiles
Containing Polyhexamethylene Biguanide with Sophorolipid. Department of
Gerontological Nursing/Wound Care Management, Graduate School of Medicine, The
University of Tokyo. Japan : 2014 april : 113-0033.
6. Elewski BE, Hughey LC, Sobera JO, Hay R. Fungal disease. In: Bolognia J L, Lorizzo
J L, Rapini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. New York: Mosby Elsevier; 2008; p.
1265-70.
7. Verma S, Haffernan MP. Fungal disease. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008; p.1817-18.
8. James D, Berger G, Elston M. Diseases resulting from fungi and yeast. Andrew’s
Disease of The Skin Clinical Dermatology, 10th edition. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2008; p.305-7.
9. Wolff KL. Johnson RA. Disorder of The Nail Apparatus. In: Fitzpatrick’s Color Atlas
& Sinopsis Of Clinical Dermatology, 5th ed. New York: The McGraw-Hill companies;
2007. p.1016-21.
10. Perez M, Torres JM, Martinez A, Segura S, Grira G, Trivino L, ED et al. Prevalence of
tinea pedis, tinea unguium of toenails and tinea capitis in school children from
Barcelona. Revista Iberoamericana de Micologı´a, 2009;26(1): p.228-32.
11. Moore Mk, Hay RJ. Anatomy and organization of human skin. In: Berth-jones J,
editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 8th ed. Cambridge: Wiley-Balckwell: 2010;
p.3.14-5.
12. Budi IP. Onikomikosis. Medan: Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Universitas Sumatera Utara. 2008; hal.9-12.
13. Budimulja U. Mikosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI 2010. p. 94-105.
14. Adiguna MS, Rusyati LM. Recent Treatment of Dermatomycosis. In: Kumpulan
Makalah Lengkap Peningkatan Profesionalisme di Bidang Infeksi Kulit dan Kelamin
Serta Pemakaian Anti Mikrobial yang Bijak. Denpasar: Bag/SMF Ilmu Kesehatan
Kulit & Kelamin FK UNUD/RS Sanglah, Bagian Mikrobiologi Klinik FK UNUD/RS
Sanglah 2011. p. 37-38.
15. Verma S, Hefferman MP. Tinea Cruris. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ
(editor). 7th ed. New York: McGraw-Hill 2008. p. 1807-21.
16. Kuswadji. Kandidosis. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S (editor). Ilmu Penyakit
Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI 2010. p. 106-9.
17. Gupta AK, Chaudhry M, Elewski B. Tinea Corporis, Tinea Cruris, Tinea Nigra, and
Piedra. Dermatologic Clinics 2003; vol (21). p. 395-400.
18. Lee DJ, Rea TH, Modlin RL. Special Clinical and Laboratory Aids to Dermatological
Diagnosis.Dalam: Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP, et al, eds. Fitzpatrick’s Color
Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill;
2013.p.616-17.
19. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2016.
p.109-16.
20. Schieke SM, Garg A. Superficial Fungal Infection. In: Goldsmith LA, Katz SI,
Gilchrest BA, Paller AS, Lefeell DJ, Wolff K, editor. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th Edition. New York: The McGaw-Hill Companies;2012. p.
2277-97
21. Widaty S, Budimulja U. Dermatofitosis. In: Menaldi SLS, Bramono K, Indriatmi W,
editor. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Jakarta: Badan Penerbit FKUI;
2015.p. 109-16
22. Shear, Neil H. Knowles, Sandra R. Cutaneous Reactions to Drugs. In: Goldsmith LA.
Katz, Stephen I. Gilchrest, Barbara A. Paller, Amy S. Leffel, David J. Wolff K.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th edition. New York: McGraw Hill
Medical; P 2278-2297, P. 1807-21.