Paper Rina Farida Revisi PDF
Paper Rina Farida Revisi PDF
Disusun Oleh:
RINA FARIDA
S091708006
Pengertian Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai nilai-nilai yang
menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human
dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah
tidak bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan
dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah
melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan realitas
yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup agama,
metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Maka perlunya pengembangan
sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan manusia dalam dunianya. Dapat dipahami
karena apa yang disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran. Pertama, pada
dimensi fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya yaitu
bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek sasaran yang
akan diteliti atau dipertanyakan tanpa mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara
tertentu, sedang hasil-hasil temuannya diletakkan dalam satu kesatuan sistem.
Anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah telah mengakibatkan
pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan fungsinya bagi kehidupan manusia.
Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian dipergunakan orang untuk menolak atau menerima
suatu pemikiran manusia. Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang
kebenaran ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tidak
bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah
kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya
(dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan).
Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna“kebenaran keilmuan
(ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama ataupun selamanya, melainkan bersifat
nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan. Kebenaran
intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-
bidang kehidupan. Kebenaran merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian
maka pengabdian ilmu secara netral, tidak bermuara, dapat melunturkan pengertian
kebenaran sehingga ilmu terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat
sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna: kebenaran moral, kebenaran
logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral menjadi bahasan etika, ia menunjukkan
hubungan antara yang kita nyatakan dengan apa yang kita rasakan. Kebenaran logis
menjadi bahasan epistemologi, logika, dan psikologi, yang merupakan hubungan antara
pernyataan dengan realitas objektif. Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang ada
sejauh berhadapan dengan akal budi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal
budi yang ada merupakan dasar dari kebenaran, dan akal budi yang menyatakannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, persoalan atau masalah sering muncul akibat beberapa
pihak mempertahankan yang menurut pendapatnya merupakan suatu kebenaran, dan
kebenaran yang muncul satu dengan yang lain secara kebetulan atau tidak ternyata
berbeda. Menurut Jaaspers, sengketa merupakan situasi batas. Setiap orang potensial
menghadapi sengketa karena pendapatnya tidak selalu sama dengan pendapat orang lain
adalah suatu kemungkinan yang tidak bisa dilawannya (Fuad Hasan, 1992).
Kebenaran Ilmu
Ilmu pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk menjelaskan berbagai fenomena
empiris yang terjadi di alam ini, tujuan dari upaya tersebut adalah untuk memperoleh suatu
pemahaman yang benar atas fenomena tersebut.
Terdapat kecenderungan yang kuat sejak berjayanya kembali akal pemikiran manusia
adalah keyakinan bahwa ilmu merupakan satu-satunya sumber kebenaran, segala sesuatu
penjelasan yang tidak dapat atau tidak mungkin diuji, diteliti, atau diobservasi adalah
sesuatu yang tidak benar, dan karena itu tidak perlu dipercayai.
Akan tetapi kenyataan menunjukan bahwa tidak semua masalah dapat dijawab dengan
ilmu, banyak sekali hal-hal yang merupakan konsern manusia, sulit, atau bahkan tidak
mungkin dijelaskan oleh ilmu seperti masalah Tuhan, Hidup sesudah mati, dan hal-hal lain
yang bersifat nonempiris. Oleh karena itu apabila manusia hanya mempercayai kebenaran
ilmiah sebagai satu-satunya kebenaran, maka ia telah mempersempit kehidupan dengan
hanya mengikatkan diri dengan dunia empiris, untuk itu diperlukan pemahaman tentang
apa itu kebenaran baik dilihat dari jalurnya (gradasi berfikir) maupun macamnya.
Dalam konteks Ilmu, kebenaran pun mendapatkan perhatian yang serius, pembicaraan
masalah ini berkaitan dengan validitas pengetahuan atau ilmu, apakah pengetahuan yang
dimiliki seseorang itu benar atau tidak, untuk itu para ahli mengemukakan berbagai teori
kebenaran (Theory of Truth), yang dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis teori
kebenaran yaitu :
1. Teori korespondensi (The Correspondence theory of truth). Menurut teori ini
kebenaran, atau sesuatu itu dikatakan benar apabila terdapat kesesuaian antara suatu
pernyataan dengan faktanya (a proposition - or meaning - is true if there is a fact to which
it correspond, if it expresses what is the case). Menurut White Patrick “truth is that which
conforms to fact, which agrees with reality, which corresponds to the actual situation.
Truth, then can be defined as fidelity to objective reality”. Sementara itu menurut Rogers,
keadaan benar (kebenaran) terletak dalam kesesuaian antara esensi atau arti yang kita
berikan dengan esensi yang terdapat di dalam objeknya. Contoh: jeruk, hal ini dapat
diketahui setelah diuji dengan indikator pH meter yang menunjukkan pH<7. pH yang lebih
kecil dari 7 bersifat asam. Contoh Lain adalah ibukota Indonesia adalah Jakarta, maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataa itu dengan objek yang bersifat faktual yakni
Jakarta memang ibukota Indonesia, bukanlah Bandung.
2. Teori Konsistensi (The coherence theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah
keajegan antara suatu pernyataan dengan pernyataan lainnya yang sudah diakui
kebenarannya, jadi suatu proposisi itu benar jika sesuai/ajeg atau koheren dengan proposisi
lainnya yang benar. Kebenaran jenis ini biasanya mengacu pada hukum-hukum berfikir
yang benar. Misalnya semua manusia pasti mati, Roy adalah Manusia, maka Roy pasti
mati, kesimpulan Roy pasti mati sangat tergantung pada kebenaran pernyataan pertama
(semua manusia pasti mati).
3. Teori Pragmatis (The Pragmatic theory of truth). Menurut teori ini kebenaran adalah
sesuatu yang dapat berlaku, atau dapat memberikan kepuasan, dengan kata lain sesuatu
pernyataan atau proposisi dikatakan benar apabila dapat memberi manfaat praktis bagi
kehidupan, sesuatu itu benar apabila berguna. Teori-teori kebenaran tersebut pada dasarnya
menunjukan titik berat kriteria yang berbeda, teori korespondensi menggunakan kriteria
fakta, oleh karena itu teori ini bisa disebut teori kebenaran empiris, teori koherensi
menggunakan dasar fikiran sebagai kriteria, sehingga bisa disebut sebagai kebenaran rasional,
sedangkan teori pragmatis menggunakan kegunaan sebagai kriteria, sehingga bisa disebut
teori kebenaran praktis. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang
lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa
rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika
rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki
atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu,
Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang
difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan
oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris. Dalam fase hidupnya,
manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang
menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat,
dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun,
kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Masyarakat yang
mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang
inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada
beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-
akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak
terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
Dasar Pembenaran
Dasar pembenaran yang akan kita gunakan mengharuskan seluruh cara kerja ilmiah
yang diarahkan untuk mendapatkan derajat kepastian yang semaksimal mungkin dari
pengetahuan yang dihasilkan. Hal demikian mengandung pengertian sebagai berikut:
Pertama, pemahaman yang akan diuji dalam suatu cara kerja ilmiah haruslah dapat
dibenarkan secara a priori (sebelum teruji melalui metode ilmiah).
Kedua, cara pengujian itu sendiri harus memiliki dasar pembenaran yang sudah teruji,
sehingga dapat disebut sebagai metode ilmiah.
Ketiga, setelah teruji melalui metode ilmiah, pemahaman tadi menjadi pengetahuan
ilmiah atau ilmu, seyogyanya dapat dibenarkan secara a postereori (setelah teruji melalui
metode ilmiah).
Dalam banyak situasi, pemahaman yang dapat dibenarkan secara a priori yaitu,
pemahaman yang akan diuji melalui suatu metode ilmiah, adalah hasil kajian cara berfikir
deduktif atau induktif dari berbagai pengetahuan yang telah memiliki kadar kebenaran
tertentu, dan karenanya pemahaman itu sendiri sering sudah merupakan pengetahuan atau
pemahaman a posteori pada kesempatan lain. Cara-cara bertingkat itu akan berlangsung
terus menerus dan dengan demikian paling sedikit akan menjadikan: Pertama, makin
tingginya tingkat kepastian suatu kebenaran ilmiah. Kedua, makin berkembang dan
bervariasinya ilmu karena potensi besar ke arah itu yang boleh dikatakan dimiliki oleh
setiap ilmu.
Ukuran Kebenaran
Bila dalam filsafat bersifat logis tidak empiris atau logis dan logis saja, maka ukuran
kebenarannya adalah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis maka dipandang benar,
dan bila tidak logis maka salah. Sementara itu dalam ilmu bersifat logis empiris.
Ukuran kebenaran dalam ilmu pengetahuan, filsafat, dan mistis juga memiliki kriteria
yang berbeda. Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu akan terlihat
pada argumen yang menghasilkan simpulan atau teori tersebut. Oleh karena itu pada
kebenaran filsafat tidak diperlukan menuntut bukti empiris, karena kebenaran filsafat
cukup logis san logis saja.
Berbeda pula dengan ukuran kebenaran penegtahuan mistis. Pengetahuan mistis
memiliki berbagai ukuran. Pertama, jika pengetahuan tersebut dari Tuhan, maka
ukurannya teks Tuhan yang ada dalam kitab suci. Bila teksnya menyebutkan demikian,
yaitulah ukuran kebenatannya. Kedua, adakalanya ukuran kebenaran mendasarkan kepada
kepercayaan. Sesuatu dianggap benar karena kita mempercayainya bahwa itu benar. Misal,
kita percaya bahwa jin (tuyul) dapat disuruh mencari atau mencuri uang, maka
kepercayaan kitalah ukuran kebenarannya. Ketiga, kadang ukuran kebenaran mistis juga
menuntut bukti empiris, maka dalam hal ini bukti empiris itulah kebenarannya. Misal,
mulut seseorang yang tidak merasa sakit atau tidak luka ketika kedua pipinya ditembus
kawat, atau justru pipinya tidak tembus ditusuk jarum yang runcing. Meskipun yang
bersangkutan pun tidak dapat menjelaskan secara rasional hubungan sebab akibat yang ada
dalam peristiwa itu. Oleh karena itu pada segi-segi tertentu cukup merepotkan memahami
atau menjelaskan pengetahuan mistis bila teori itu tidak punya bukti empirik atau secara
rasional tidak terbukti dan bukti empirik tidak ada.
Sifat-sifat Kebenaran
Kebenaran berbeda dalam lingkup rasional antara subyek dan obyek. Oleh karena itu
menurut A.M.W. Pranarka (1978) perlu kita pahami sifat kebenaran dari aspek subyek dan
obyeknya. Kebenaran ditinjau dari aspek obyeknya, akan berarti kebenaran
epistemologikal yang tidak tuntas. Hal ini mengingatkan bahwa obyek itu sendiri adalah
suatu totalitas yang kompleks, banyak aspek dan seginya. Kebenaran dalam arti formal
adalah apabila pengetahuan benar tersebut telah memenuhi hakikat ataupun pengertian
dasar dari kebenaran epistemolokal, yakni secara defacto ada conformitas antara terminus
a quo dan terminus ad quem didalam pengetahuan. Jika konformitas itu ada, maka secara
formal pengetahuan tersebut telah memenuhi hakikat kebenaran, terlepas dari subyeknya
ataupun totalitas obyeknya. Istilah yang lazim disebut veritas formaliter spectata.
Kebenaran ini sifatnya mutlak, tidak berubah-ubah, tidak dapat ditambah-tambah
maupun dikurangi. Berlaku dimana dan kapan saja secara formal ia adalah benar.
Relativitas Kebenaran
Relativitas adalah suatu aliran atau paham yang mengajarkan bahwa kebenaran iti
tidak mmpunyai sifat mutlak. Tentu ini berbeda dengan aliran skeptisme yang
mengajarkan bahwa kebenaran itu tidak pernah ada. Oleh karena itu, orang-orang yang
menyatakan bahwa kebenaran bersifat tetap dan tidak dapat berubah serta mengaku-ngaku
telah memiliki kuncinya, pada hakikatnya mereka termasuk orang-orang yang telah
dibohongi oleh banyak kebenaran dan dibenturkan dengan multi realitas. Karena
kebenaran hanya merupakan pedoman prinsip, sistem aksioma, kerangka acuan untuk
melihat sesuatu dan dasar pemikiran untuk meneliti.
Kesimpulan
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Kebenaran merupakan tujuan yang hendak dicapai
oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Kebenaran memiliki anggapan dasar (asumsi)
bahwa kebenaran itu berlaku atau diakui, karena ia memang menggambarkan menyatakan
realitas yang sesungguhnya.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha
“memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak
bisa dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan
dan dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah
melalui tahap-tahap metode ilmiah.
Saran
Dengan memahami tentang kebenaran ilmiah dapat menjadi manusia yang selalu
berusaha menemukan kebenaran, melalui beberapa cara yang ditempuh untuk memperoleh
kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui
pengalaman atau empiris.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Maufur. 2012. Filsafat Ilmu. Bandung: CV Bintang WarliArtika.
Dr. Maufur. 2008. Filsafat Ilmu. Bandung: CV Bintang WarliArtika.
Susanto, A. 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Bumi aksara.
Katsoff, Louis O. 1987. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Medio Agustus.
Ihsan, Fuad. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka cipta.