Anda di halaman 1dari 111

UNIVERSITAS INDONESIA

KONSEP DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK


SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

RAHMAH PERINDHA NOVERA


1006688123

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI REGULER
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM
TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN

DEPOK
JUNI 2014

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang karena
berkat dan rahmat-Nya,penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya
Perlindungan” dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi
syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum bagi mahasiswa Program S1
Reguler pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari peran, bantuan, serta
dukungan berbagai pihak. Sehingga, pada kesempatan ini penulis dengan segala
hormat mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuannya, baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada penulis, terutama kepada yang saya hormati:

1. Kepada Bapak Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D yang telah bersedia menjadi
pembimbing penulis dan meluangkan waktunya untuk berkonsultasi dan
membaca karya ini di tengah kesibukannya yang cukup padat sebagai Dekan
FHUI.
2. Kepada Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. yang telah membantu penulis
menemukan ide untuk penulisan proposal skripsi dan telah bersedia
meluangkan waktunya untuk penulis berkonsultasi.
3. Kepada Bapak/ Ibu dosen, khususnya dosen-dosen PK 2 FHUI yang telah
memberi bekal ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Ibu Christina Sri Widyastuti, Ibu Saida Sitanggang, Ibu Sri Sinta, Bapak Karto
Sugiarto, Ibu Mariana Widiastuti, dan Bapak Sudayana yang sudah bersedia
meluangkan waktu dan membantu penulis dalam melengkapi data skripsi.
5. Kepada Abang Imam Hadi Wibowo, SH dari HukumOnline yang sudah
membantu mencari ide dan bahan untuk penulisan skripsi.
6. Terima kasih yang tidak terhingga kepada Elzam Zaitun selaku Ibu Penulis
yang selalu mendoakan, memberi dukungan, dan mendengarkan keluh kesah
penulis selama pembuatan skripsi ini.

iv

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


7. Kepada kakak-kakak penulis, yaitu Rahmat Nurseha Tubagus, SST dan Wilda
Kamila, saudara penulis Nova Rizwan,Fahira Rofifah, dan Alfairus, juga Om
Indra dan Bi Toh yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk
segera menyelesaikan skripsi. Juga kepada keluarga besar penulis yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
8. Sahabat-sahabat penulis selama kuliah di FHUI: Alfanisa, Salma Izzati, Linda
Hanafiah. Terimakasih karena selalu menjadi teman-teman terbaik dari awal
sampai sekarang dan semoga sampai masa mendatang.
9. Teman-teman PK 2: Annisa Nur Fitriyanti (Icha), Faza Luna Lestari, Togi
Christine, Lestari Hotmaida Sianturi, Hendra Sitakar, Ahmad Dalmi Iskandar
Nasution, Bela Annisa, Kiki Wulandari, Nugroho, dst.
10. Teman-teman ke Jogja: Angga Karona dan Sharfina. Teman-teman kuliah:
Vero, Tiara, Areta, Lani, Citra, Arin, Rana, Gusva, Mira, Novi, Lia, Shinta,
Imam, Mbak Santi, Daun, Afrizal. Teman-teman ICC Serambi: Rifki, Hasan,
Husin, Fairdian, Reky, Indi dan seluruh teman-teman angkatan 2010 lainnya
yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
11. Teman-teman silat Perisai Diri: Amin, Andik, Danang, Dimas, Bambang,
pelatih PD Mas Ardi, Mas Slamet, Mas Ikhsan, dan Mas Bagio.
12. Kemudian akhirnya, kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu
persatu yang telah membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak
akan penulis terima dengan senang hati. Akhir kata, penulis berharap semoga
Allah SWTmemberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang
telah membantu atas segala kebaikannya. Semoga skripsi ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedepannya.

Depok, Juni 2014

Penulis

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014
ABSTRAK

Nama : Rahmah Perindha Novera


Program Studi : Reguler
Judul : Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak Sebagai Upaya Perlindungan

Dalam sistem peradilan pidana anak dikenal suatu proses peralihan penyelesaian
perkara anak keluar sistem peradilan pidana yang disebut dengan diversi. Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, diversi memperoleh kedudukan resmi dalam sistem
peradilan anak. Dalam undang-undang tersebut, pengaturan diversi bagi anak
yang belum berumur 12 tahun hanya diberikan dalam satu pasal, yaitu pasal 21.
Sementara pasal tersebut beserta penjelasannya tidak cukup untuk menjelaskan
bagaimana konsep diversi yang dimaksud oleh undang-undang bagi anak yang
belum berumur 12 tahun tersebut. Skripsi ini membahas bagaimana pandangan
Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, serta Pekerja Sosial terhadap pasal
tersebut, beserta kendala yang berpotensi terjadi dan antisipasi yang diterapkan.
Penelitian ini dilakukan mengingat praktek diversi telah diterapkan dalam sistem
peradilan anak sebelum Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku,
sehingga aparat penegak hukum beserta lembaga-lembaga yang terlibat tentunya
telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai diversi.

Kata Kunci : Diversi, Anak, Sistem Peradilan Pidana Anak

vii

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


ABSTRACT

Name : Rahmah Perindha Novera


Study Program : Regular
Judul : Diversion Concept In The Criminal Justice System
As Children Safeguards

In the juvenile justice system recognized a settlement transitioning children out of


the criminal justice system called diversion. With the enactment of Law No. 11 of
2012 on the Children Criminal Justice System, diversion obtain an official
position within the juvenile justice system. In the law, regulation of diversion for
children under12 years old only given in one article, namely article 21. Whilst the
article and the explanation is not enough to explain how the concept of diversion
is meant by the law for children who have not aged 12 years. This thesis discusses
how the Investigator, Probation Officer, and Social Workers viewof the article, as
well as obstacles that could potentially occur and anticipation are applied. This
research was carried out considering the practice of diversion has been applied in
the juvenile justice system before the Children Criminal Justice SystemLaw
applies, so that law enforcement officers and the agencies involved must have had
considerable knowledge of diversion.

Keywords :Diversion, Children, Children Criminal Justice System

viii

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
ABSTRACT ...................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan ............................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan ............................................................................ 9
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 9
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 9
1.5 Kerangka Konseptual ........................................................................... 10
1.6 Metode Penelitian................................................................................. 12
1.7 Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
2. PENGATURAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
ANAK ................................................................................................. 16
2.1 Tinjauan Umum Diversi ....................................................................... 16
2.1.1 Pengertian Diversi .................................................................... 16
2.1.2 Sejarah Diversi ......................................................................... 19
2.1.3 Dasar Pemikiran Diversi ........................................................... 21
2.1.4 Tujuan Diversi .......................................................................... 26
2.2 Konsep Diversi Dalam Instrumen HAM Internasional .......................... 27
2.2.1. Bentuk-Bentuk Diversi.............................................................. 35
2.2.2. Pihak Pelaksana Program Diversi .............................................. 37
2.2.3. Contoh Diversi Di Beberapa Negara ......................................... 39
2.3 Konsep Diversi Anak Dalam Instrumen Hukum Nasional .................... 43

ix

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


2.3.1 Pengaturan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Sebelum
Berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 ................. 43
2.3.2 Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Menurut Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2012 (UU SPPA) .............................. 49
3. ANALISA TERHADAP PASAL 21 UNDANG-UNDANG SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK ......................................................... 62
3.1 Pandangan Terhadap Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak .................................................................................................... 62
3.2 Kendala Atas Penerapan Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan
Pidana Anak Beserta Antisipasinya ...................................................... 82
4. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 87
4.1 Kesimpulan.. ........................................................................................ 87
4.2 Saran.. .................................................................................................. 91
DAFTAR PUSTAKA.. ................................................................................... 93
LAMPIRAN

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


DAFTAR SINGKATAN

ABH Anak Berhadapan dengan Hukum


Bapas Balai Pemasyarakatan
KHA Konvensi Hak Anak
Litmas Penelitian Kemasyarakatan
LPKS Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial
Peksos Pekerja Sosial
PK Pembimbing Kemasyarakatan
PKSABH Program Kesejahteraan Sosial Anak yang
Berhadapan dengan Hukum
PSMP Panti Sosial Marsudi Putra
RPP Rancangan Peraturan Pemerintah
UU SPPA Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

xi

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Permasalahan


Kemajuan suatu bangsa seringkali diukur dari keberhasilan atau prestasi
anak-anaknya. Seiring dengan perubahan zaman, perkembangan teknologi, dan
pertukaran informasi yang kian cepat, maka tumbuh kembang anak pun ikut
terpengaruh karenanya. Perubahan tersebut kadang membawa pengaruh positif
atau negatif. Tentunya tidak ada masalah apabila pengaruh positif lebih cenderung
diperoleh dari perubahan itu, yang menjadi masalah adalah ketika terjadi
sebaliknya, perubahan itu menimbulkan kenakalan pada anak. Dalam hal
kenakalan anak merupakan suatu tindak pidana, maka perkaranya akan diproses
melalui sistem peradilan pidana. Akan tetapi proses peradilan itu seringkali
membawa pengaruh buruk bagi anak, menimbulkan stigmatisasi oleh masyarakat
terhadap anak, dan rawan terjadi pelanggaran hak anak. Oleh karena itu,
diperlukan upaya penyelesaian perkara anak di luar sistem peradilan pidana.
Dalam perkembangan selanjutnya munculah suatu pemikiran dengan cara
mengalihkan penyelesaian tersebut atau yang biasa disebut diversi.
Diversi dalam sistem peradilan pidana merupakan upaya yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum untuk mengalihkan kasus pidana dari mekanisme
formal ke mekanisme yang informal. Diversi dilakukan untuk menemukan
suatu bentuk penyelesaian yang memberikan perlindungan terhadap semua
pihak dengan mengedepankan prinsip kebersamaan. Konsep ini lahir
didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana dalam tindak
pidana tertentu melalui sistem peradilan pidana konvensional lebih banyak
menimbulkan bahaya dari pada kebaikan. 1
Pada dasarnya tindakan diversi dapat dilakukan pada tahapan
manapun dalam proses peradilan pidana. Penerapan diversi bergantung pada

1
Novelina MS Hutapea, “Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice”, http://www.usi.ac.id/downlot.php?file=novelina-
1.pdf, diunduh pada 15 Februari 2014, hal. 10.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


2

keputusan polisi, jaksa, pengadilan, atau badan-badan sejenis. 2 Namun demikian,


dalam banyak sistem keputusan diversi dibuat pada awal proses peradilan pidana.
Diversi dapat juga disebut penyelesaian di luar pengadilan (out-of-court
settlement) di mana tuntutan terhadap terdakwa dihentikan atau dicabut, namun
sebagai gantinya tersangka harus mentaati persyaratan-persyaratan yang
disepakati oleh para pihak. 3
Pendekatan diversi dapat diterapkan bagi penyelesaian kasus-kasus anak
yang berkonflik dengan hukum. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi
adalah: untuk menghindari anak dari penahanan, untuk menghindari cap/label
anak sebagai penjahat, untuk mencegah pengulangan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak, agar anak bertanggung jawab atas perbuatannya, untuk
melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa
harus melalui proses formal, menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan,
menjauhkan anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
Sebagaimana dikemukakan Barda Nawawi Arief, tindakan diversi dapat dilakukan
oleh pihak kepolisian, kejaksaan, pihak pengadilan maupun pembina lembaga
pemasyarakatan. Penerapan diversi di semua tingkatan ini diharapkan mengurangi
efek negatif (negative effect) keterlibatan anak dalam proses peradilan tersebut.4
Untuk menghindari efek atau dampak negatif proses peradilan pidana
terhadap anak ini United Nations Standar Minimum Rules for the Administration
of Juvenile Justice (The Beijing Rules) telah memberikan pedoman sebagai upaya
menghindari efek negatif tersebut dengan memberikan kewenangan kepada aparat
penegak hukum mengambil tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani

2
Hal ini dikemukakan oleh Inter-Parliamentary Union & UNICEF dalam “Improving the
Protection of Children in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on
juvenile justice”, sebagaimana dkutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, “Anak yang
Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”,
http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Anak-yang-Berhadapan-dengan-Hukum-
dalam-Perspektif-Hukum-HAM-Internasional3.pdf diunduh pada 21 Februari 2014, hal.1.
3
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report on Delivery: Restorative
Justice sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Ibid., hal. 10.
4
Nur Hidayati, “Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan Keadilan Restoratif dan
Kepentingan Terbaik bagi Anak”, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 2,
Agustus 2013, hal. 147.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


3

masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal, tindakan ini
disebut diversi (diversion).
Seiring dengan perkembangan zaman, Nasir Jamil menyimpulkan bahwa
permasalahan terbesar dari anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) adalah
tidak lagi relevannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (UU Pengadilan Anak), baik dari aspek yuridis, filosofis dan sosiologis.
Menurutnya, UU Pengadilan Anak tidak memberikan solusi tepat bagi
penanganan ABH karena diarahkan untuk diselesaikan ke pengadilan, yang
berakibat pada tekanan mental dan psikologis anak, sehingga justru mengganggu
tumbuh kembang biaknya. 5
Dalam kebijakan formulasi hukum pidana formal anak tidak ada ketentuan
yang secara tegas mengatur tentang diversi. Dalam UU Pengadilan Anak, tidak
menentukan diversi secara tegas dalam rumusan Pasal-Pasalnya, akan tetapi
konsep diversi dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 5 UU Pengadilan Anak,
yaitu bagi anak yang belum berumur delapan tahun melakukan tindak pidana oleh
pihak kepolisian pada tahap penyidikan diserahkan kembali kepada orang tua/wali
atau orang tua asuhnya ataupun kepada Departemen Sosial. 6 Sedangkan bagi
pelaku anak yang telah berumur delapan tahun atau lebih tidak ada ketentuan
diversi baginya. Ketiadaan ruang bagi kemungkinan diversi dalam UU Pengadilan
Anak ini merupakan celah hukum yang menjadi salah satu alasan perlunya

5
Nasir Jamil, Anak Bukan untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 3
6
Pasal 5 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik
menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik
menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari
Pembimbing Kemasyarakatan.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


4

penggantian undang-undang ini dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012


tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).7
Program diversi dapat menjadi bentuk restorative justice jika: mendorong
anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, memberikan kesempatan bagi
anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si
korban, memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses,
memberikan kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan
dengan keluarga, memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan
dalam masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana. 8
Sebelum berlakunya UU SPPA tidak terdapat diversi yang secara tegas
dituangkan dalam peraturan yang ada adalah apa yang disebut dengan restorative
justice dalam Surat Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia
dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia (SKB). Restorative justice sendiri dimaknai sebagai suatu proses
penyelesaian dimana semua pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum
tertentu berkumpul bersama untuk memutuskan secara kolektif cara mengatasi
konsekwensi pelanggaran dan implikasinya dimasa mendatang. Dalam konteks
ini upaya penyelesaian lebih difokuskan pada pemulihan atas kerugian yang
ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut, bukan pembalasan bagi pelaku. 9
Dalam SKB tersebut, pendekatan restorative justice dilakukan pada tahap
persidangan di pengadilan melalui mekanisme mediasi penal. Apabila upaya
tersebut berhasil, maka sidang akan dilanjutkan dengan penuntutan dan pembelaan
memuat hasil kesepakatan dari mediasi tersebut. Apabila upaya itu tidak berhasil,
maka sidang juga akan dilanjutkan tetapi dalam penuntutan atau pembelaan tidak
dimasukkan hasil dari mediasi. Walaupun belum secara komprehensif dan

7
“Revisi UU Perlindungan Anak Kedepankan Diversi”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba394c5b732f/revisi-uu-perlindungan-anak-
kedepankan-diversi, diunduh pada 21 Februari 2014.
8
Hidayati, Op. Cit., hal. 150.
9
Hutapea, Op. Cit., hal. 11.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


5

eksplisit di tuangkan tentang pelaksanaanya, namun secara tersirat dapat dipahami


bahwa pendekatan restorative justice dapat dilakukan para Aparat Penegak
Hukum akan tetapi walaupun berhasil lahir kesepakatan dalam forum
musyawarah/ mediasi, perkara tersebut tidak dapat dihentikan (diskresi) atau
dialihkan (diversi) karena belum ada Undang-Undang yang mengaturnya. 10
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) merupakan pergantian terhadap
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang
memberikan perubahan terhadap sistem peradilan anak, terutama dengan
memperkenalkan konsep diversi sebagai salah satu cara penyelesaian perkara
anak.
Dalam UU SPPA diversi terjadi mulai dari tahap penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di pengadilan. Ketika diversi berhasil di tahap penyidikan, maka
akan dikeluarkan penetapan ketua pengadilan, apabila tidak berhasil, maka
dilanjutkan ke tahap penuntutan. Begitu pula di tahap penuntutan dan pemeriksaan
pengadilan, apabila berhasil timbul kesepakatan maka akan keluar penetapan
ketua pengadilan, jika tidak berhasil akan lanjut ke tahap selanjutnya.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak diundangkan pada tanggal
20 Juli 2012 dan baru akan berlaku setelah dua tahun sejak tanggal diundangkan,
meskipun demikian hal ini tidak menjadi hambatan bagi aparat penegak hukum
dalam mempraktikkan diversi dalam kasus anak. Di Provinsi Kepulauan Riau,
proses diversi telah dilakukan sejak sebelum UU SPPA diundangkan, yaitu tahun
2011. Sejak Januari hingga Desember 2013, di Kepulauan Riau didapati sebanyak
142 perkara anak, 20 perkara di antaranya dapat diselesaikan di luar jalur sidang,
hal ini mengalami peningkatan sebesar lima persen dibanding tahun sebelumnya. 11

10
DS. Dewi, “Restorative Justice, Diversionary Schemes And Special Children‟s Courts
In
Indonesia”,http://www.kemlu.go.id/canberra/Lists/LembarInformasi/Attachments/61/Restorative%
20Justice,%20Diversionary%20Schemes%20and%20Special%20Children%E2%80%99s%20Cour
ts%20in%20Indonesia.pdf, diunduh 22 Februari 2014, hal. 9.
11
Irma dan Toeb, “Provinsi Kepri Terbaik Dalam Perlindungan Anak”,
http://infopublik.org/read/64511/provinsi-kepri-terbaik-dalam-perlindungan-anak.html, diunduh 22
Februari 2014.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


6

Selain di Kepulauan Riau, diversi juga telah dilakukan untuk pertama


kalinya oleh Polisi Sektor Bontang Selatan Kota Bontang, Kalimantan Timur pada
13 April 2014. Diversi dilakukan terhadap kasus pencurian motor yang dilakukan
AM yang masih berusia 13 tahun. Diversi yang berhasil mencapai kesepakatan ini
melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku, keluarga korban, pekerja sosial
profesional Lembaga Konsultasi Kesejahteraan Keluarga, kepala sekolah, Kabid
Sosial dan Kasi Rehabilitasi Sosial Dissosnaker, Pusat Pelayanan Tim
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), Ketua RT 21 Satimpo, dan
Babinkantibmas Satimpo.12
Selain itu, proses diversi juga sudah dilaksanakan di Kabupaten Brebes
dengan melibatkan lembaga pendampingan dari Pusat Pelayanan Terpadu Korban
Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak “TIARA” Kabupaten Brebes.
Meskipun upaya ini sulit dilakukan karena sebagian besar dari pihak korban
merasa tidak terima dan tidak bersedia untuk menyelesaikan persoalan diluar jalur
hukum atau dengan musyawarah.13 Terlepas dari kendala yang dihadapi dalam
penerapan diversi di wilayah-wilayah tersebut, kita dapat melihat bahwa aparat
penegak hukum sudah cukup tidak asing atau bisa dikatakan sudah memiliki
pengetahuan tentang penerapan diversi, meskipun diversi baru pertama kali secara
tegas dikemukakan dalam UU SPPA dan undang-undang ini sendiri belum
berlaku.
Meskipun dalam artikel berita mengenai penerapan diversi di daerah-
daerah tersebut tidak menerangkan lebih lanjut mengenai dasar penerapan diversi,
namun menurut Modul Pembimbing Kemasyarakatan yang dikeluarkan Ditjenpas
ada beberapa peraturan (sebelum UU SPPA berlaku) yang dapat dijadikan dasar
pelaksanaan diversi, antara lain: 14

12
Suratmi, “Polsek Bontang Selatan Gelar Sidang Diversi”,
http://www.antarakaltim.com/berita/13317/polsek-bontang-selatan-gelar-sidang-diversi, diunduh
22 Februari 2014.
13
Oye, “Jejaring Penanganan ABH Kabupaten Brebes Sepakati Diversi”,
http://kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1610:jejaring-penanganan-abh-
kabupaten-brebes-sepakati-diversi&catid=110:brebes&Itemid=133, diunduh 22 Februari 2014.
14
Sri Susilarti, Tatan Rahmawan, dan G.A.P. Suwardhani, Modul Pembimbing
Kemasyarakatan: Modul V Diversi, (t.k: direktorat jendral pemasyarakatan, 2012), hal. 203-204.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


7

1. Undang-Undang RI Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, pada pasal


42 ayat (2) disebutkan bahwa dalam melakukan penyidikan perkara anak,
penyidik wajib meminta pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.
2. Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada
pasal 66 ayat (4) disebutkan penangkapan, penahanan atau pidana penjara bagi
anak hanya boleh dilakukan sesuai hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir.
3. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pada
pasal 16 ayat (3) disebutkan bahwa penangkapan, penahanan atau hukuman
pidana penjara bagi anak yang dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang
berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
4. Kesepakatan bersama antara Departemen Sosial RI, Departemen Hukum dan
HAM RI, Departemen Pendidikan Nasional RI, Departemen Kesehatan RI,
Departemen Agama RI dan Kepolisian Negara RI, masing-masing dengan
nomor:
- Nomor: 12/PRS-2/KPTS/2009;
- Nomor: M.HH.04.HM.03.02 tahun 2009;
- Nomor: 11/XII/KB/2009;
- Nomor: 1220/Menkes/SKB/XII/2009;
- Nomor: 06/XII/2009 dan
- Nomor: B/43/XII/2009 tanggal 15 desember 2009 tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum.
5. Keputusan Bersama antara Ketua Mahkamah Agung RI, jaksa Agung RI,
Kepala Kepolisian Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial
RI dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, masing-
masing dengan nomor:
- Nomor : 166A/KMA/SKB/XII/2009;
- Nomor : 146A/A/J/12/2009;
- Nomor : B/45/XII/2009;
- Nomor : M.HH-08.HM.03.02 Tahun 2009;
- Nomor : 10/PRS-2/KPTS/2009, dan

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


8

- Nomor : 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang


penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
6. TR Kabareskrim Mabes Polri No. Pol : TR/395/DIT-I/VI/2008 tanggal 9 Juni
2008, salah satu isi TR tersebut disebutkan bahwa tindak pidana yang
dialihkan secara diversi dengan diskusi komprehensif atau Restorative
Justice, dilakukan berdasarkan hasil Litmas dari bapas, merupakan tindak
pidana biasa.
Dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA disebutkan bahwa Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Lalu bagaimana jika anak yang
melakukan tindak pidana belum berumur 12 tahun? Dalam Pasal 21 UU SPPA,
bagi anak yang belum berumur 12 tahun yang melakukan tindak pidana, maka
baginya akan diambil keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional untuk diserahkan kembali kepada orang tua, atau
mengikutsertakan anak tersebut dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan. Keputusan tersebut selanjutnya diserahkan kepada pengadilan
untuk ditetapkan dalam jangka waktu tiga hari.
Meskipun dalam Pasal 21 UU SPPA beserta penjelasannya tidak
menyebutkan ada proses diversi dalam ketentuan pasal ini, akan tetapi apabila
dikaitkan dengan makna diversi sebagai upaya mengalihkan kasus pidana dari
mekanisme formal ke mekanisme yang informal, maka jelas terlihat bahwa
dalam ketentuan ini terdapat diversi. Masalah yang kemudian timbul adalah
mengenai pandangan Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional terhadap penerapan Pasal ini apakah sudah memiliki persepsi
yang sama. Kemudian bagaimana peran yang dilakukan masing-masing pihak
untuk mencapai keputusan terbaik bagi anak tersebut. Selanjutnya jangka waktu
dalam pengambilan keputusan oleh para penegak hukum tersebut yang terlalu
singkat, yaitu tiga hari, apakah memungkinkan untuk mencapai keputusan diversi.
Berdasarkan uraian secara singkat di atas, penulis tertarik untuk
mengetahui lebih lanjut tentang konsep diversi dalam peradilan anak yang akan

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


9

penulis bahas dalam skripsi yang berjudul “Konsep Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya Perlindungan”.

1.2. Pokok Permasalahan

1. Bagaimana pengaturan diversi dalam sistem peradilan pidana anak?


2. Bagaimana pandangan penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan
pekerja sosial terhadap Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak?
3. Kendala apa yang mungkin dihadapi dalam penerapan ketentuan Pasal 21
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak?
4. Bagaimana antisipasi yang akan dilakukan dalam menghadapi
kemungkinan kendala tersebut?
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin penulis capai dari penelitian ini adalah:
1. Membahas pengaturan diversi dalam sistem peradilan pidana anak
2. Mengetahui pandangan penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja
sosial terhadap Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
3. Mengetahui kendala apa yang mungkin dihadapi oleh ketiga lembaga tersebut
dalam penerapan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana
Anak
4. Mengetahui antisipasi yang akan dilakukan ketiga lembaga tersebut dalam
menghadapi kemungkinan kendala tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum, khususnya mengenai aspek peradilan pidana bagi anak yang berkonflik
dengan hukum di Indonesia. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan
mempunyai kegunaan secara teoritis dan praktis. Kegunaan teoretis yaitu untuk
memberikan manfaat bagi pengembangan pengetahuan di bidang pengembangan
ilmu hukum, khususnya pada hukum pidana dan hukum acara pidana. Selain itu,
kegunaan praktis dari hasil penelitian ini yaitu memberikan masukan bagi kendala

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


10

dalam praktik dalam sistem peradilan yang melibatkan anak sebagai pihak yang
berkonflik dengan hukum pidana.

1.5. Kerangka Konseptual

Pada penelitian ini terdapat istilah-istilah umum terkait diversi dalam


sistem peradilan pidana anak, namun peneliti memberikan definisi operasional
dari istilah-istilah tersebut untuk mempersempit ruang lingkup dalam penelitian
ini.Adapun definisi tersebut yakni:
a. Anak dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
mendefinisikan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 15 Sedangkan dalam
Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak memberikan
definisi Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai
umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin. Yang dimaksud Anak Nakal adalah : a. anak yang
melakukan tindak pidana; atau b. anak yang melakukan perbuatan yang
dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan
maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam
masyarakat yang bersangkutan.16 Sedangkan dalam Undang-Undang No. 11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) menyebut anak
dengan istilah Anak yang Berhadapan dengan Hukum dan membaginya
menjadi anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Dalam penelitian
ini akan difokuskan pada pembahasan anak yang berkonflik dengan
hukum, 17 terutama anak yang belum berumur 12 tahun yang melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana.

15
Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak
16
Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Pengadilan Anak
17
Pasal 1 angka 3 UU SPPAmenyebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan
Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Meskipun demikian, pemabahasan pada skripsi ini akan lebih difokuskan terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum yang belum berumur 12 tahun.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


11

b. Restorative justice (keadilan restoratif) adalah pendekatan yang digunakan


dalam pelaksanaan diversi, yaitu penyelesaian perkara pidana anak dengan
cara musyawarah yang melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban
dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional. 18Restorative Justice sendiri dimaknai sebagai suatu proses
penyelesaian dimana semua pihak yang terlibat dalam pelanggaran hukum
tertentu berkumpul bersama untuk memutuskan secara kolektif cara
mengatasi konsekwensi pelanggaran dan implikasinya dimasa mendatang.
Dalam konteks ini upaya penyelesaian lebih difokuskan pada pemulihan
atas kerugian yang ditimbulkan akibat pelanggaran tersebut, bukan
pembalasan bagi pelaku.19 Dengan demikian proses restoratif merupakan
setiap proses yang mana korban dan pelaku atau individu lainnya atau
anggota komunitas yang terpengaruh oleh suatu tindak pidana,
mengambil bagian bersama secara aktif dalam penyelesaian berbagai
masalah yang muncul akibat tindakan pidana tersebut dengan bantuan
fasilitator.20
c. Diversi disebutkan di dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA bahwa Diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana. Proses diversi ini hanya dapat dilakukan
untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 tahun
dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana. 21 Dalam penjelasannya
disebutkan bahwa diversi tidak ditujukan bagi tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara diatas 7 tahun seperti pembunuhan, pemerkosaan,
narkotika, terorisme dan tindak pidana lainnya.

18
Pasal 8 ayat (1) UU SPPA
19
Hutapea, Loc. Cit.
20
Yayasan Pemantau Hak Anak, Op. Cit., hal. 8.
21
Pasal 7 UU SPPA

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


12

1.6. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian


hukum normatif yakni penelitian terhadap sistematika hukum. Penelitian hukum
normatif (legal research) disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian
hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in the books) atau hukum yang dikonsepkan
sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas.22 Penelitian sistematik hukum adalah penelitian yang dilakukan
terhadap pengertian dasar sistematika hukum yang meliputi subjek hukum, hak
dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, serta objek hukum. 23
Pendekatan yang digunakan untuk mendapatkan informasi untuk
menjawab isu yang dibahas dalam penelitian ini dengan menggunakan pendekatan
undang-undang (statute approach). Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Pendekatan ini memberi kesempatan untuk mempelajari adakah
konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang
lainnya. 24
Selain pendekatan undang-undang, penelitian ini juga menggunakan
pendekatan konseptual yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-
doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan
ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum dan
asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. 25
Sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder. Untuk menunjang penelitian ini, peneliti
menggunakan kedua bahan hukum tersebut. Bahan hukum primer merupakan

22
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. 1,
(Jakarta: PT. RrajaGrafindo Persada,2006), hal. 118.
23
Sri Mamudji,et. all., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 10.
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 93.
25
Ibid., hal. 95.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


13

bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah tentang
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan
hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks
karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan
pandangan-pandangan klasik para sarjana yang memiliki kualifikasi tinggi. Di
samping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa tulisan-tulisan tentang
hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal. 26
Penelitian ini juga menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan
metode pengumpulan data berupa wawancara kepada narasumber, selain metode
pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Wawancara yang dimaksud
dilakukan terhadap narasumber untuk memperoleh informasi lebih lanjut
mengenai praktik diversi dalam peradilan anak pada umumnya dan praktik
diversi dalam Pasal 21 UU SPPA pada khususnya. Wawancara dilakukan terhadap
pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 21 UU SPPA, yaitu penyidik anak, pekerja
sosial, pembimbing kemasyarakatan, dan salah seorang anggota penyusun
Rancangan Peraturan Pemerintah dari UU SPPA.
Penelitian ini difokuskan di daerah Jakarta Selatan, sehingga Penyidik
Anak, yaitu Mariana Widiastuti yang penulis wawancarai berasal dari Polres
Metro Jakarta Selatan dan Pembimbing Kemasyarakatan, yaitu Saida Sitanggang,
Karto Sugiarto, dan Sri Sinta dari Balai Pemasyarakatan Jakarta Selatan.
Sedangkan Pekerja Sosial, yaitu Sudayana berasal dari Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani yang berlokasi di Jakarta Timur, dikarenakan panti sosial milik
Kementerian Sosial hanya ada satu di Jakarta. Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial yang penulis wawancarai, masing-masing
ditentukan sendiri oleh lembaga yang bersangkutan. Sedangkan Christina Sri
Widyastuti yang merupakan Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan Klien Dewasa
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penulis memilih untuk mewawancarai karena
beliau merupakan Anggota penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah dari UU

26
Ibid., hal. 141-143.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


14

SPPA dan telah berpengalaman mengenai diversi, selain itu penulis juga
mendapat rekomendasi dari Dosen penulis untuk mewawancarai beliau.
Wawancara dilakukan secara berencana dimana peneliti menyusun daftar
pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan wawancara bersifat terbuka, dimana
narasumber mengetahui kalau dia diwawancarai dan apa tujuan dari wawancara
tersebut.27 Setelah semua data terkumpul, akan dilakukan proses analisis data
dengan menghubungkan data yang dihasilkan dari penelitian kepustakaan dengan
data hasil wawancara dan data hasil pengamatan terlibat, yang kemudian akan
dianalisis secara kualitatif.

1.7. Sistematika Penulisan


Penelitian ini disusun sebagai skripsi dengan sistematika penulisan sebagai
berikut.
Bab I sebagai pendahuluan akan menguraikan latar belakang masalah,
pokok permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka konseptual,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab IIakan mengidentifikasi dan menjelaskan tentang teori hukum dan
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur mengenai dan/atau terkait dengan
konsep diversi dalam peradilan anak di Indonesia. Di dalam bab ini juga akan
ditinjau mengenai konsep dan mekanisme diversi yang menjadi standar
internasional.
Bab III akan mengulas mengenai konsep diversi dalam sistem peradilan
anak khususnya penerapan Pasal 21 UU SPPA dari sudut pandang lembaga-
lembaga yang terlibat di dalamnya, beserta kendala dan perbaikan yang
diperlukan untuk mempraktekan diversi anak yang lebih baik kedepannya.
menurut pedoman-pedoman internasional bagi peradilan anak. Di dalam bab ini
juga akan memasukkan analisis data dengan membandingkan hasil wawancara
lembaga yang satu dengan yang lainnya dan menghubungkan data hasil
wawancara dengan data yang dihasilkan dari penelitian kepustakaan.

27
Burhan Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke
Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 100.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


15

Bab IVmerupakan bab penutup dalam penelitian ini. Bab ini berisi
kesimpulan peneliti terhadap keseluruhan penelitian yang telah peneliti lakukan
dan merupakan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang peneliti
cantumkan dalam bab pendahuluan, serta saran peneliti terkait dengan
permasalahan-permasalahan tersebut.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


16

BAB II

PENGATURAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

2.1.Tinjauan Umum Diversi


2.1.1. Pengertian Diversi
Istilah "diversi" memiliki banyak makna, dan dalam sistem peradilan anak
diversi sering digunakan untuk menggambarkan pemberian sanksi yang lebih
longgar kepada pelaku, misalnya, pengalihan dari institusi anak ke rumah asuh
atau open group home, diversi ke Informal probation28, dan sebagainya. Disini
diversi dimaknai sebagai pengalihan bentuk pemberian sanksi, bukan sebagai
pengalihan penyelesaian perkara anak. Diversi dapat disebut sebagai strategi
untuk mengurangi jumlah kasus yang tidak perlu di pengadilan anak, agar
pengadilan dapat lebih berkonsentrasi pada kasus yang melibatkan tindak pidana
serius.29
Diversi merupakan alternatif bagi proses formal pada sistem peradilan
anak. Diversi dapat bermakna “the channeling of cases to noncourt institutions, in
instances where these cases would ordinarily have received an adjudicatory (or
fact finding) hearing by a court”30 Atau diversi bisa bermakna sebagai “any
process employed by components of the criminal justice system (police,
prosecution, courts, correction) to turn suspect and/or offender away from the
formal system or to a ‘lower’ level of the system.”31 Sering juga dimaknai
“diversion represents a referral to a community based program or agency which
is independent of the justice system. By this definition, an informal probation

28
Informal probation adalah metode untuk mengkoreksi kriminal untuk mencoba
menghindari intervensi pengadilan formal. Hal ini dapat dikategorikan sebagai hukuman bersyarat,
karena dapat dicabut jika syaratnya tidak terpenuhi.Informal probation dapat berlaku untuk anak
yang mengakui pelanggaran yang disangkakan padanya selama proses penyelidikan awal dan
dugaan pelanggaran dianggap kecil dibandingkan denganpelanggaran-pelanggaran yang ada
sebelumnya (http://definitions.uslegal.com/i/informal-probation/).

Frederick Ward, Jr., “Prevention and Diversion in the United States,” dalam The
29

Changing Faces Of Juvenile Justice, (New York: New York University Press, 1978), hal. 44.
30
Paul Nejelski, “Diversion: The Promise and the Danger”, Crime and Delinquency 22
(October 1976), p. 396.
31
Malcolm W. Klein, “Issues and Realities in Police Diversion Programs,” Crime and
Delinquency 22 (October 1976), p. 421.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


17

program operated by a county probation departement does not constitute a


diversion program.”32 Diversi memiliki berbagai makna; penghentian
penyelesaian perkara secara formal merupakan penyebutannya secara umum.
Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological
Approach menyatakan “Diversion is an attempt to divert, or channel out
youthful offender from the juvenile justice system” (Diversi adalah sebuah
tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak
pidana anak keluar dari system peradilan pidana). 33
Diversi bermakna berbagai hal bagi berbagai orang. Dalam penelitian
sebelumnya istilah diversi digunakan untuk menggambarkan setiap tindakan
diskresi yang diambil badan publik atau privat yang berurusan dengan anak.
Berikut ini merupakan beberapa definisi yang dikenal luas dari diversi: 34
1. Diversion occurs after a youth’ official contact with an agent of the law and
prior to formal adjudication. ( R. Mcdermott dan Andrew Rutherford dalam
Juvenile Diversion)
2. Diversion is the process designed to reduce the further penetration of youth
into the juvenile justice system. Diversion can occur at any point following
apprehension by police for the alleged commission of a delinquent act and
prior to adjudication. ( US Department of Justice, Office of Juvenile Justice
and Delinquency Prevention dalam Program Announcement: Diversion of
Youth from the Juvenile Justice System)
5. Diversion is a referral of a juvenile to a community based program or agency
outside the juvenile justice system. ( US Department of Justice, Office of
Juvenile Justice and Delinquency Prevention dalam Program Announcement:
Diversion of Youth from the Juvenile Justice System)

32
Delbert S. Elliott, National Evaluation of Youth Service System, (Boulder, Colo:
Behavioral Research and Evaluation Corporation, 1974), P.38.
33
Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap
Anak yang Berhadapan dengan Hukum, (Medan: Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA),
2007), hal. 83
34
Harjit S. Sandhu and C. Wayne Heasley, Improving Juvenile Justice: Power Advocacy,
Diversion, Decriminalization, Deinstitutionalization, and Due Process, (New York: Human
Sciences Press, 1981 ), p.93

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


18

6. Diversion represents those activities by public officials such as police and


intake and probation officers that result in direct referral of the juvenile to
agencies and persons who are capable of handling the problem outside the
jurisdiction of the juvenile justice system. ( R. Sarri dalam Diversion- Within
and Without The Juvenile Justice System)
7. Diversion is an exercise of discretionary authority to substitute an informal
disposition prior to a formal hearing on an alleged violation. ( R. Kobert dan
Betty Bosarge dalam Juvenile Justice Administration)
8. Diversion should be reserved to be denote the channeling of youth away from
the juvenile justice system at an early point. It should not be used to mean a
different routing within the components of the juvenile justice system.(Downs,
George, Hall, John, dan Robert D. Vinter dalam Juvenile Correctionsin the
States: Residential Programs and Deinstitutionalization)
Perbedaan utama dari definisi-definisi diversi tersebut tampaknya ada pada
tingkat otoritas hukum atau kontrol sistem peradilan anak yang diberlakukan
kepada anak selama proses diversi. McDermott membagi pelaksanaan diversi ke
dalam dua jenis, yaitu “true diversion” dan “minimization of penetration”:
1. True diversion is a discretionary act directed at forestalling adjudication
which results in a termination of official intervention and/or referral of a
youth to a program outside the system (True diversion adalah tindakan
diskresioner yang diarahkan pada pencegahan ajudikasi yang menghasilkan
penghentian intervensi resmi dan / atau penyerahan anak pada program di luar
sistem.).
2. Minimization of penetration is a process which results in further system
intervention and/or referral to a justice system program (Minimization of
penetration adalah proses yang menghasilkan intervensi sistem lebih lanjut
dan / atau penyerahan ke program sistem peradilan).
McDermott mengatakan bahwa praktisi lebih cenderung mengartikan
diversi sebagai tindakan minimization of penetration dibanding sebagai tindakan
untuk mengakhiri proses lebih lanjut dari sistem peradilan anak. Para praktisi itu
tampaknya menganggap bahwa intensitas dan tingkat dari proses tersebut yang
membentuk kerugian daripada proses itu sendiri (yang membawa kerugian).

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


19

Dalam prakteknya, diversi berarti menjadi suatu pengesampingan dari proses


formal (yaitu, putusan pengadilan). 35
Berdasarkan beragam definisi mengenai diversi yang telah disebut
sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa diversi anak merupakan proses
peralihan penyelesaian perkara anak keluar sistem peradilan guna menjauhkan dan
menghindarkan anak masuk ke sistem formal yang dapat dilakukan sejak pertama
kali anak berkontak dengan hukum. Upaya penjauhan anak dari sistem peradilan
formal ini dimaksudkan untuk menghindarkan anak dari dampak buruk dan
pelabelan yang mungkin diperoleh si anak apabila perkaranya diproses melalui
sistem peradilan formal.

2.1.2. Sejarah Diversi


Menurut sejarah perkembangan hukum pidana kata “diversion” pertama
kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan peradilan anak
yang disampaikan Presiden Komisi Pidana Anak (President’s Crime
Commissions) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1990. Sebelum
dikemukakannya istilah diversi praktek pelaksanaan yang berbentuk seperti
Diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan berdirinya peradilan anak
(Children’s Courts) sebelum abad ke- 19 yaitu diversi dari sistem peradilan
pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (policy
cautioning). Prakteknya telah berjalan dinegara bagian Victoria Australia pada
tahun 1959 , diikuti oleh negara bagian Queensland pada tahun 1963. 36
Di Amerika setelah diversi distimulasikan dalam President’s Commission
(1967), lalu diversi dikembangkan dalam “national strategy” untuk pencegahan
kenakalan anak yang diperkenalkan secara luas pada awal tahun 1970an, dan
diberikan sejumlah besar dana oleh Law Enforcement Assistance

35
Sandhu and Heasley, Ibid., p. 95.
36
Marlina ,”Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Equality ( 2008): 1.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


20

Administrationdaerah dan negara bagian pada pertengahan 1970an, diversi


mendapat dukungan nasional dan mencakup daerah luas. 37
Ketika protes besar terjadi untuk penghapusan dan pengalihan status
offender38 keluar dari sistem, diversi dipandang juga sebagai alternatif bagi
banyak anak nakal yang tidak berbahaya. Hal ini tidak berarti bahwa diversi bagi
banyak anak tersebut belum dilakukan oleh sistem peradilan anak sejak awal
berlakunya diversi, nyatanya sebagian besar anak-anak yang menjadi perhatian
polisi dan otoritas pengadilan anak, setidaknya di instansi pertama, bisa dikatakan
dialihkan, jika yang dimaksudkan adalah anak dirujuk ke lembaga masyarakat
atau diberhentikan dengan peringatan. Masalahnya adalah terlalu sedikit tindak
lanjut dari lembaga yang dimaksud dan sedikit pula tindak lanjut oleh si anak atau
orang tua mereka.
Tidak adanya prosedur rujukan yang memadai dan kurangnya sumber daya
masyarakat untuk membantu anak-anak bermasalah dipandang sebagai faktor
yang mempengaruhi peningkatan jumlah remaja yang diterima ke dalam sistem
peradilan. Namun, banyak (jika tidak kebanyakan) hakim menolak kehilangan
yurisdiksi atas status offenses, mengklaim bahwa layanan masyarakat yang baik
tidak tersedia atau menolak untuk menerima anak bermasalah. 39
Diversi secara historis telah digunakan dalam apa yang sekarang kita sebut
sebagai sistem peradilan anak. Diversi terjadi pada berbagai tahap dalam sistem
tersebut, oleh berbagai badan dari sistem, dan mungkin/ mungkin tidak melekat
pada jalur hukum.
Ilustrasi berikut ini menggambarkan diversi sebagaimana digunakan saat
ini: polisi menyarankan jika anak berkonsultasi setiap minggu dengan lembaga

37
The Juvenile Justice System, Malcolm W. Klein (Ed.), (London: Sage Publications,
1976), p.103.
38
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat mereka berhadapan dengan hukum
sebagai berikut:
a. Status offender merupakan sebutan bagi pelaku anak yang melakukan „status offenses,‟ yaitu
pelanggaran yang hanya berlaku bagi anak dan bukan kejahatan bila dilakukan orang dewasa,
contohnya bolos sekolah, kabur dari rumah, melanggar jam malam, dst.
b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa
dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum ( Allen and Simmonsen, 1989).
39
Ward, Jr., Op. Cit., Hal. 47.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


21

anak selama tiga bulan, maka kasusnya tidak akan dilimpahkan ke pengadilan;
petugas kemudian mengalihkan anak tersebut ke sekolah alternatif dari pada ke
proses formal pengadilan; putusan bagi anak penyalahguna narkoba ditunda
sementara ia menghadiri empat sesi dari sekolah penyalahgunaan narkoba dari
probation departement.40

2.1.3. Dasar Pemikiran Diversi


Penelitian tentang kegiatan diversi pernah dilakukan di California,
penelitian itu telah mencatat empat alasan-alasan utama yang mendasari maraknya
penggunaan diversi. 41 Yang pertama adalah bahwa peningkatan diversi
mengesampingkan "prasangka yang melekat dalam sistem" dalam melepaskan dan
menahan tersangka dengan cara menekankan dan mengesahkan kriteria yang jelas,
yang lebih adil dan universal.
Alasan kedua adalah bahwa peningkatan diversi akan mengurangi jumlah
kasus yang dimasukkan ke dalam sistem peradilan anak. Karena sebagian besar
kasus ini tidak terdiri dari pelanggaran serius seperti orang dewasa, memang ada
kesempatan yang dapat diperhitungkan untuk menemukan cara-cara alternatif
untuk menangani anak di luar sistem. Alternatif ini berkisar dari program intensif
pelayanan masyarakat, pembebasan langsung, sampai apa yang Edwin Schur
sebut sebagai "radical non-intervension."
Alasan ketiga adalah bahwa, ceteris paribus, proses diversi lebih murah
daripada proses dalam sistem. Alasan keempat adalah menghindari stigmatisasi
sebagai penjahat, "buruk", atau kriminal. Dalam pengertian ini, pelaksanaan
diversi timbul dari labeling theory. Meskipun jiwa dari labeling theory tidak
diketahui sebagian besar petugas sistem, dampak yang mendasar dari perubahan
pandangan terhadap diri anak sendiri dan reaksi masyarakat yang berbeda-beda
sering ditemui.
Selain empat alasan ini, ada alasan lain yang sering ditemui baik di
lapangan dan dalam literatur ilmu sosial yang bersangkutan. Sering disuarakan

40
H. Ted Rubin, Juvenile Justice: Policy, Practice, and Law, (United States of America:
McGraw-Hill, Inc, 1985), p.176-177.
41
Klein (Ed.),Op.Cit., P. 106- 109.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


22

oleh polisi, khususnya, adalah kekhawatiran bahwa pelaku anak yang relatif naif
akan menjadi terkontaminasi melalui kontak dengan pelaku lebih jahat dan
berpengalaman selama periode penahanan atau dalam kurungan. Diversi
mencegah paparan dari satu hal ke hal lainnya, hal ini terlihat sebagai langkah
pencegahan yang efektif. 42
Pembenaran lain atas diversi berasal dari kekhawatiran mengenai
efektivitas pengadilan anak-anak. Dikatakan bahwa pengadilan anak tidak
sempurna melindungi hak-hak anak selama proses hukum, tidak teraturnya
advokasi untuk anak, dan telah gagal untuk mencapai nilai tinggi dalam
menyediakan atau mengatur program rehabilitasi. Beberapa orang percaya bahwa
kekurangan pengadilan adalah karena perannya terlalu luas, dan bahwa perilaku
antisosial ditangani oleh pengadilan anak harus dibatasi untuk pelanggar serius
dan berulang-ulang. Pengadilan anak tidak bisa menjadi segalanya bagi semua
anak. Untuk merancang peran yang lebih sempit dan realistis untuk pengadilan
ini, dikatakan bahwa pelanggaran yang lebih rendah harus dialihkan dari sistem
formal. Diversi akan mengurangi beban kerja pengadilan, sumber daya sistem
peradilan yang terbatas, termasuk jasa probation, dan biaya percepatan forum
yang lebih merugikan, yang dipandang oleh beberapa pengamat sebagai
kepentingan yang substansial dari diversi. 43
Labelling theory yang dikembangkan oleh Mead, Tannenbaum, Blumer,
Lemert, Becker, dan yang lainnya, dan differential association theory yang
dikembangkan Mead, Thomas, Blumer, Sutherland, Ohlin, Glaser, Short, Cohen,
Matza, dan yang lainnya, adalah teori delinkuensi utama yang mendukung
penerapan program diversi. 44
Perspektif labeling menyatakan bahwa “individuals stigmatized as
delinquent become what they are said to be. Initial deviation (primary deviance)
occurs rather haphazardly, as does apprehention, arrest and labeling as
delinquent. Once caught and labeled, however, the child is stigmatized, forced out

42
Ibid.
43
Rubin, Op.Cit., p. 178.

44
Sandhu and Heasley, Op. Cit., p. 98.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


23

of interaction with the value system of nondelinquents and shunted into


association with juveniles similarly labeled. Delinquency after labeling
(secondary deviance) is a direct result of a labelling process.”45 Diversi, ia
berpendapat, akan mencegah cap yang bersifat merusak.
Anggapan utama dari labelling theory adalah bahwa individu-individu
yang distigmatisasi sebagai delinkuen menjadi seperti apa yang dianggapkan
kepada mereka. Dengan kata lain, sekali anak distigmatisasi sebagai seorang yang
berbuat salah, akan menjadi sangat sulit baginya untuk lepas dari identitas itu.
Riwayat kasus akan menjadi saksi atas keburukan anak tersebut. Shur menyatakan
bahwa pengalaman terstigma tersebut akan memberi pembatasan baru pada
kesempatan-kesempatan terbatas yang dimiliki anak dan meningkatan
kemungkinan bagi penyimpangan di masa mendatang. 46
Differential association theory mengemukakan bahwa anak terlibat
perilaku delinkuen karena mereka mengalami interaksi, asosiasi, dan tindakan
yang mendukung perilaku delinkuensi yang sifatnya luar biasa. Maka dari itu,
potensial delinkuen seharusnya tidak berinteraksi dengan delinkuen yang lebih
berpengalaman. 47 Dukungan untuk teori ini dapat diperoleh dari studi yang
mendokumentasikan bahwa, dalam suatu pengaturan kelembagaan, delinquent
peer group memberikan pengaruh besar bagi dukungan positif untuk perilaku
menyimpang dan hukuman untuk perilaku yang sesuai dengan masyarakat.
Temuan ini menunjukkan bahwa delinkuen remaja memberikan kesempatan yang
sangat besar untuk menjaga perilaku menyimpang tetap ada, dan menjadi
kesempatan untuk pemula untuk memperoleh perilaku menyimpang baru. 48
Berdasarkan dasar pemikiran diterapkannya konsep diversi tersebut, maka
sangatlah tepat bila diversi menjadi suatu upaya perlindungan bagi anak dalam

45
Hal ini dikemukakan oleh Donald R. Cressey dan Robert A. Mcdermott dalam
Diversion From The Juvenile Justice System, sebagaimana dikutip dalam Rubin, Ibid., p. 178.
46
Sandhu and Heasley, Loc. Cit.
47
Hal ini dikemukakan oleh D. R. Cressey dan R. Mcdermott dalam Diversion from the
Juvenile Justice System sebagaimana dikutip dalam Sandhu and Heasley, Ibid., hal. 99.
48
Hal ini dikemukakan oleh Jerome S. Stumphauzer dalam Behavior Therapywith
Delinquents sebagaimana dikutip dalam Sandhu and Heasley, Ibid., hal. 100.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


24

sistem peradilan pidana. Upaya perlindungan yang dimaksud adalah suatu


tindakan dalam sistem peradilan pidana yang memberikan tempat berlindung bagi
anak dari pengaruh buruk yang kemungkinan diperoleh anak selama menjalani
proses peradilan, terutama stigmatisasi sebagai delinkuen dan interaksi dengan
delinkuen yang lebih berpengalaman, sebagaimana dikemukakan dalam labelling
theory dan differential association theory sebelumnya. Diversi dapat memberikan
upaya perlindungan karena diversi mengalihkan penyelesaian perkara anak keluar
sistem peradilan dan dengan pengalihan penyelesaian tersebut, maka diversi
menjauhkan dan menghindarkan anak masuk ke sistem peradilan formal yang
dikhawatirkan memberi dampak buruk.
Banyak alasan-alasan yang mendukung pelaksanaan praktek / program
diversi. Di National Asessment of Juvenile Correction di Universitas Michigan
menjelaskan berikut adalah alasan-alasan berlakunya praktek/program diversi: 49
1. Hasil penelitian terus menunjukkan bahwa proses hukum dan sanksi tidak
memiliki efek pencegah terhadap perilaku kriminal. Semakin awal anak
diproses dan semakin keras sanksi, semakin besar kemungkinan anak akan
dilaporkan atau diproses lebih sering dan melanggar hukum yang lebih serius.
Jadi, jika kita ingin mencegah perilaku delinkuen, hasil tersebut menyarankan
cara yang lebih hemat dengan mengintervensi peradilan.
2. Pada umumnya, anak-anak yang diproses oleh pengadilan anak cenderung
lebih sedikit mendapatkan keuntungan dari layanan lembaga-lembaga
pelayanan anak lainnya. Pengadilan itu sendiri kemungkinan besar tidak
memanggil lembaga ini atau menantang respon mereka terhadap anak yang
telah mendapat putusan. Juga tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
lembaga itu bersedia melayani anak tersebut, melainkan tampaknya mereka
lebih memilih pengadilan untuk memikul tanggung jawab atas anak-anak
tersebut. Anak di bawah yurisdiksi pengadilan kemungkinan akan didorong
masuk ke dalam kolam yang sangat sempit dan terbatas dari layanan
pengadilan dan dikecualikan dari berbagai pelayanan masyarakat tepat pada
saat mereka memerlukan akses ke sebanyak mungkin pelayanan.

49
Sandhu and Heasley, Ibid., p. 100-101

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


25

3. Kekuasaan pengadilan anak bersifat luar biasa dan seharusnya menangani


kasus yang luar biasa, bukan kasus kecil.
4. Sejumlah besar kasus mengganggu fungsi opsional pengadilan, akibatnya
pemrosesan kasus menjadi lambat dan sangat birokratis.
5. Pengadilan anak memiliki pegawai dan dana yang terbatas. Jika pengadilan
anak menangani tugas yang melebihi kapasitas, ketidakefektifan akan
meningkat, dan pengadilan tidak akan mungkin berkonsentrasi pada kasus
delinkuensi yang serius.
6. Pengadilan anak didirikan sebagai pengadilan hukum, dan keterbatasannya
dalam menanggulangi penyakit sosial harus diterima. Pengadilan tidak dapat
memerintah kesusilaan, membuat anak atau orang tua menjadi baik, atau
meningkatkan rasa hormat terhadap pemerintah.
7. Pengadilan anak tidak memiliki ahli atau sumber daya lainnya untuk
menolong anak yang melakukan status offences, rata-rata 40% anak yang
diserahkan ke pengadilan anak karena melakukan status offences. Tentunya
anak-anak ini harus dialihkan dari sistem peradilan anak.
Terdapat tiga alasan tambahan yang sering digunakan untuk mendukung
diversi, yaitu: 50
1. Diversi merupakan metode yang lebih murah untuk menangani masalah
kenakalan anak
2. Diversi jauh lebih manusiawi dibandingkan proses formal yang mana
perampasan kemerdekaan yang dialami anak yang diproses tidak dihadapi
oleh anak yang menjalani diversi.
3. Diversi harus ditekan karena delinkuensi tersebar luas di antara semua segmen
masyarakat. Delinkuen pada dasarnya tidak berbeda dari non-delinkuen.
Selanjutnya, anak yang melewati sistem peradilan anak tampaknya menjadi
lebih nakal.
Meskipun terdapat banyak alasan pendukung yang menjadi dasar
pemikiran untuk diterapkannya diversi, namun pada kenyataannya praktik diversi

50
Ibid., p. 101.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


26

tidak terlepas dari akibat negatif yang mungkin dihasilkannya. Menurut Cressey
akibat negatif tersebut adalah: 51
1. Program diversi yang didirikan di bawah naungan sistem peradilan anak dapat
mengalihkan perhatian dari kritik yang merupakan alasan awal pembentukkan
program diversi itu sendiri.
2. Petugas sistem peradilan anak yang melakukan program diversi mungkin
hanya merubah istilah dan prosedur diversi tanpa serius mengubah apa yang
terjadi pada anak.
3. Program diversi dapat menjadi sarana birokrasi yng bertujuan mengalihkan
perhatian dari perubahan yang dibutuhkan dalam lingkungan anak dan dapat
berfungsi untuk hanya melanggengkan lembaga yang sudah tidak sesuai
dengan zaman.
Sementara McDermott menyatakan bahwa program diversi dapat:52
1. Meningkatkan jumlah anak yang berurusan dengan sistem peradilan pidana.
2. Meningkatkan anggaran dan staf dari sistem tersebut.
3. Mengakibatkan penanganan yang lebih intensif terhadap anak yang tidak
didiversi.
4. Meninggalkan proses diversi tradisional (penyaringan) dan lebih memilih
diversi ke dalam sistem.
5. Mengabaikan hak-hak anak dalam proses hukum.
6. Meningkatkan pengaruh pemerintah dalam program privat.
7. Menciptakan badan hukum baru.

2.1.4 Tujuan Diversi


McDermott menyatakan bahwa tujuan program diversi adalah sebagai
berikut:53
a. Mengurangi stigma
b. Mengurangi jumlah kasus yang masuk ke pengadilan

51
Ibid., p.107
52
Ibid., p.107
53
Ibid.,p. 102.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


27

c. Mengurangi jumlah kasus yang harus ditangani pegawai pengadilan


d. Memberikan pelayanan yang lebih cepat dan efektif
e. Agar pengadilan anak lebih bebas menangani kasus-kasus sulit
f. Meningkatkan efisiensi dalam penyampaian peradilan anak
g. Mengurangi tingkat kejahatan anak
h. Membantu orang tua dan anak menyelesaikan masalah
i. Mengembangkan peran advokasi terhadap anak
Tujuan dari diversi juga diungkapkan oleh Novelina Ms Hutapea, yaitu: 54
1. Untuk menghidari penahanan
2. Untuk menghindari cap/label sebagai penjahat
3. Untuk meningkatkan ketrampilan hidup bagi pelaku
4. Agar pelaku bertanggung jawab atas perbuatannya
5. Untuk mencegah pengulangan tindak pidana
6. Untuk memajukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan
pelaku tanpa harus melalui proses formal
7. Program diversi juga akan menghindari anak mengikuti proses sistem
peradilan pidana
8. Lebih lanjut program ini akan menjauhkan anak-anak dari pengaruh-
pengaruh dan implikasi negative dari proses peradilan tersebut

2.2 Konsep Diversi Dalam Instrumen HAM Internasional


Diversi adalah tindakan menjauhkan pelaku dari sistem peradilan,
seringkali ke bentuk-bentuk intervensi lainnya yang lebih tepat, untuk membantu
pelaku kembali ke kehidupan yang produktif dan normal dalam keluarga dan
masyarakat. Hal ini dapat mencakup pengalihan anak dari sistem peradilan formal
pada tahap pra-sidang (oleh polisi), atau anak dapat diarahkan pada program
diversi oleh pengadilan. 55
Menurut Van Rooyen, diversi dapat juga didefinisikan sebagai prima
facie pengalihan suatu kasus dari upaya penyelesaian melalui proses

54
Hutapea, Op. Cit., hal. 10.
55
Alice McGrath, A Voice For The Future Of Juvenile Justice In Asia-Pacific:
Introduction To The Asia Pacific Council For Juvenile Justice And Leading Juvenile Justice
Reforms In The Region, (Brussels: International Juvenile Justice Observatory (IJJO), 2013), p.23.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


28

persidangan yang normal. Hal ini berimplikasi bahwa tuntutan kepada pelaku
berdasarkan kondisionalitas tertentu dapat ditarik mundur atau dihentikan.
Selanjutnya pelaku harus berpartisipasi pada program khusus atau memulihkan
korban. Diversi dapat juga disebut penyelesaian di luar pengadilan (out-of-court
settlement) di mana tuntutan terhadap terdakwa dihentikan atau dicabut, namun
sebagai gantinya tersangka harus mentaati persyaratan-persyaratan yang
disepakati oleh para pihak. 56
Hukum Internasional memiliki 2 (dua) sifat, yakni instrumen yang
mengikat secara hukum (legally binding instrument) dan instrumen yang tidak
mengikat secara hukum (instruments not legally binding) namun memiliki
kekuatan secara moral (have morally persuasive force), Sifat mengikat ini
bergantung pada jenis intrumen hukum internasional tersebut. Instrumen Hukum
Internasional yang berbentuk perjanjian internasional (treaty) seperti kovenan,
konvensi, protocol memiliki sifat mengikat secara hukum. Negara yang telah
meratifikasi suatu intrumen perjanjian internasional harus melaksanakan
kewajiban hukum berdasarkan prinsip itikad baik (pacta sunt servanda
principles). Apabila instrumen tersebut diformulasikan dalam bentuk
deklarasi, guidelines, prinsip-prinsip biasanya memiliki karakteristik tidak
mengikat secara hukum. Negara tidak memiliki kewajiban hukum untuk
melaksanakannya, namun instrumen tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan
(sumber) hukum. 57 Apabila dikaitkan dengan kedua sifat hukum internasional
tersebut, maka hukum internasional yang memberikan standar perlakuan dalam
menangani anak terbagi menjadi standar yang harus dan yang dapat dirujuk oleh
negara-negara. Berikut akan diuraikan beberapa peraturan internasional yang
terkait dengan program diversi anak.
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan salah satu ketentuan hukum
internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990. Konvensi tersebut menyatakan bahwa
penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum, dan harus

56
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report on Delivery: Restorative
Justice sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Op. Cit., hal. 10.
57
Yayasan Pemantau Hak Anak,Op. Cit., hal. 1.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


29

digunakan hanya sebagai upaya terakhir, di mana anak-anak memiliki hak untuk
diberitahu segera tuduhan yang disangkakan terhadap mereka, dan mendapatkan
bantuan dari orang tua mereka dan bantuan hukum pada semua tahap pemrosesan.
Anak-anak tidak boleh mengalami penyiksaan atau tindakan kejam lainnya,
perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman, dan hak mereka
untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengaku bersalah harus
dijamin. 58
United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures
(Tokyo Rules) 59 menyatakan bahwa perkembangan tindakan non-custodial baru
harus didorong dan diawasi secara ketat (Rule 2.4). Aturan ini juga menyatakan
bahwa pertimbangan harus diberikan untuk menangani para pelaku di masyarakat,
menghindari sejauh mungkin penggunaan prosedur formal atau sidang pengadilan,
sesuai dengan perlindungan hukum dan supremasi hukum (Rule 2.5).
Pengembangan berbagai tindakan berbasis masyarakat juga dianjurkan. Bangkok
Rules menganjurkan hal yang sama untuk pelaku perempuan.
Dalam rangka memberikan keleluasaan yang lebih besar sesuai sifat dan
beratnya pelanggaran, kepribadian dan latar belakang pelaku, dan perlindungan
masyarakat dan juga untuk menghindari pemenjaraan yang tidak perlu, sistem
peradilan pidana harus menyediakan berbagai tindakan non-custodial, dari tahap
sebelum sidang sampai tahap pasca pemidanaan. Jumlah dan jenis tindakan non-
custodial yang tersedia harus ditentukan sedemikian rupa sehingga pemidanaan
yang konsisten tetap dimungkinkan (Rule 2.3).
Sehubungan dengan pelaku anak, KHA, Guidelines for the Prevention of
Juvenile Delinquency dan Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice mendukung penggunaan diversi untuk menyelesaikan
pelanggaran hukum oleh anak sebagai pilihan lain dari pada memproses mereka
melalui sistem peradilan anak formal. Secara khusus, KHA mewajibkan Negara
Pihak untuk mendukung pembentukan langkah-langkah yang dilakukan

58
Konvensi Hak Anak Pasal 39 dan Pasal 40 ayat (2)
59
Diadopsi oleh General Assembly resolution 45/110 pada 14 Desember 1990. Resolusi
General Assembly (Majelis Umum PBB) bersifat non-legally binding, tapi hanya bersifat anjuran
bagi negara-negara anggota PBB.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


30

'dimanapun layak dan dikehendaki' untuk menangani Anak yang Berkonflik


dengan Hukum tanpa menggunakan proses yuridis formal, asalkan hak asasi
manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya (Pasal 40 (3) (b)).
United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency
(Riyadh Guidelines) menekankan pentingnya layanan dan program berbasis
masyarakat untuk mencegah dan menanggapi kejahatan anak. Mereka bersikeras
bahwa 'lembaga resmi untuk kontrol sosial seharusnya hanya digunakan sebagai
usaha terakhir'.60
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(Beijing Rules)61 juga secara langsung mendukung penggunaan diversi. Mereka
menghendaki bahwa pertimbangan harus diberikan, di mana pun sesuai, untuk
menangani pelaku anak tanpa harus disidangkan secara resmi di pengadilan oleh
instansi yang berwenang. Diversi dapat digunakan pada setiap titik dalam proses
pengambilan keputusan. Polisi, jaksa atau lembaga lain yang berhubungan dengan
kasus anak harus diberikan wewenang untuk menghentikan kasus tersebut, sesuai
diskresi mereka, tanpa bantuan pengadilan. Setiap diversi yang melibatkan
penyerahan kepada komunitas yang sesuai atau lembaga lain mengharuskan
persetujuan dari anak atau orang tua atau walinya, dan harus ditinjau oleh pejabat
yang berwenang, pada pelaksanaanya. Dalam rangka memfasilitasi pengaturan
diskresi pada kasus anak, program-program kemasyarakatan harus disediakan,
seperti pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi, dan ganti rugi korban. 62
Penggunaan diversi tidak perlu dibatasi pada kasus-kasus kecil, ini
merupakan strategi penting untuk direspon dalam diversi, dan menyikapi
kebutuhan pelaku anak. Diversi tepat diterapkan pada kasus-kasus perseorangan,
meskipun dalam kasus itu terjadi pelanggaran yang lebih serius. Persetujuan dari
anak atau orang tua atau wali anak merupakan prasyarat untuk melaksanakan
tindakan diversi. Beijing Rules mensyaratkan bahwa setiap diversi yang
melibatkan penyerahan kepada komunitas yang sesuai atau lembaga lain harus

60
United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency, Guideline 6
61
Diadopsi oleh General Assembly resolution 40/33 pada 29 November 1985
62
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice , Rule 11.1 sampai
11.4.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


31

memiliki persetujuan dari anak atau / orang tuanya atau walinya. Aturan tersebut
menekankan bahwa perhatian harus diberikan terhadap hal-hal tersebut untuk
meminimalkan potensi paksaan dan intimidasi pada semua tingkatan dalam proses
diversi. Anak tidak boleh ditekan untuk menyetujui program diversi, untuk
misalnya, dalam rangka menghindari keharusan muncul di pengadilan. Rule 11.4
merekomendasikan penyediaan alternatif yang layak pada proses peradilan anak
dalam bentuk diversi berbasis masyarakat. Program yang melibatkan penyelesaian
dengan cara restitusi korban dan program yang berusaha untuk menghindari
konflik dengan hukum kedepannya melalui pengawasan sementara
dan bimbingan, secara khusus direkomendasikan. 63
Dalam General Comment No. 10 (2007) on Children’s rights in Juvenile
Justice, Komite Hak Anak menyatakan pendapat bahwa negara penandatangan
harus melakukan langkah-langkah diversi yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari sistem peradilan anak dan memastikan bahwa hak-hak pelaku
anak ini dan perlindungan hukumnya dihormati dan dilindungi sepenuhnya.
Sebagai contoh, Kebijakan Penuntutan yang diadopsi oleh Kepulauan
Solomon menyatakan bahwa: " It is the role of the Royal Solomon Islands Police
Force to fairly and transparently dispose of matters involving minor offending by
young first time offenders by means other than prosecution (...) ".64 Kampanye
kesadaran publik juga digunakan untuk mempromosikan citra polisi yang "ramah
anak" kepada masyarakat.
Pada pertemuan Asia Pacific Council For Juvenile Justice (APCJJ), yang
diadakan pada Juni 2012 di Bangkok, Thailand, juga memfasilitasi perbincangan
mengenai jenis penyerahan dan intervensi yang mungkin dapat dibuat melalui
program diversi untuk memenuhi kebutuhan khusus dari anak dengan masalah
kesehatan kejiwaan atau pelaku anak dengan kebutuhan khusus. 65

63
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice , Rule 11
Commentary
64
Pasal 22.3 dari Prosecution Policy, Office of the Director of Public Prosecutions,
Solomon Islands, 14 May 2009
65
McGrath,Op. Cit., p.26.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


32

Beberapa negara di wilayah Asia Pasifik ini telah menginvestasikan


sumber daya yang memadai dalam mengembangkan program-program alternatif
yang mana anak-anak dapat diserahkan pada program tersebut sebagai bagian dari
proses diversi. Negara-negara lain, seperti Bangladesh, telah mengembangkan dan
menerapkan percontohan dengan bantuan dan kerjasama dari LSM dan organisasi
PBB. Beberapa telah aktif terlibat dalam advokasi dan dalam mengembangkan
peraturan perundang-undangan untuk secara resmi memulai atau mengizinkan
mekanisme ini. 66
Berdasarkan instrumen-instrumen internasional, yang telah disebutkan,
didapat prinsip-prinsip untuk pengembangan opsi diversi: 67
a. Ketersediaan alternatif selain penghukuman
Diversi mengharuskan tersedianya alternatif lain berbasis komunitas
selain penghukuman. Opsi tersebut melibatkan penyelesaian dengan restitusi
korban dan opsi tersebut dianjurkan mengandung langkah untuk menghindari
konflik dengan hukum melalui pengawasan dan bimbingan sementara
(Commentary on Beijing Rule 11.4). Meskipun demikian, bentuk khusus dari
diversi harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal. Partisipasi publik dalam
pengembangan semua opsi yang bersifat non-custodial harus didukung (Tokyo
Rules 17.1).
b. Ketersediaan pilihan diversi
Diversi dapat digunakan pada setiap titik pengambilan keputusan oleh
polisi, jaksa atau lembaga lainnya seperti pengadilan atau tribunal (Beijing
Rules 6.1). Hal ini jelas bahwa semakin awal proses diversi terjadi, semakin
efektif untuk dapat menghindari stigmatisasi terhadap pelaku anak. Namun,
pengalihan juga dapat terjadi dalam tahap selanjutnya yaitu pada saat anak
tersebut dihadapkan ke pengadilan.
Kenyataan bahwa anak yang sebelumnya telah berpartisipasi dalam
diversi sebelum masuk tahap persidangan tidak boleh menghalangi diversi

66
Justice Imman Ali,Towards A Justice Delivery System for Children in Bangladesh, A
guide and Case Law on Chil -dren in conflict with the Law, UNICEF Bangladesh, 2010, p. 224.
67
Human Rights Brief No.5: Best practice principles for the diversion of juvenile
offenders, https://www.humanrights.gov.au/publications/human-rights-brief-no5-best-practice-
principles-diversion-juvenile-offenders-2001

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


33

selanjutnya atau menghalangi rujukan untuk melakukan diversi dalam proses


hukum berikutnya. Jika pelaku anak melanggar kondisi-kondisi dalam diversi,
hal ini tidak secara otomatis mengarah pada pembebanan hukuman (Tokyo
Rules 14.3).
c. Pelanggaran yang tepat dikenakan diversi
Tindakan diversi tidak boleh dibatasi hanya pada pelanggaran-
pelanggaran ringan (Commentary on Beijing Rules 11.2). Diversion harus
menjadi pilihan yang 'setiap kali tepat (whenever appropriate)'. Mungkin saja
terdapat keadaan-keadaan yang meringankan yang membuat diversi tepat
dilakukan bahkan untuk pelanggaran yang lebih serius (Commentary on
Beijing Rules 11.4).
d. Kriteria untuk diversi
Lembaga dengan kewenangan diskresi untuk mengalihkan anak-anak
dari proses formal harus menjalankan kewenangan tersebut berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan. Akses pada program diversi tidak boleh
sewenang-wenang. Tokyo Rules 3.1 mensyaratkan bahwa 'pengenalan,
definisi dan penerapan langkah-langkah non-custodial harus ditentukan oleh
hukum '.
e. Pelatihan penegak hukum
Semua aparat penegak hukum yang terlibat dalam pelaksanaan diversi
anak harus diinstruksikan dan dilatih secara khusus untuk menanggapi
kebutuhan anak (Riyadh Guidelines 58; Beijing Rules 12.1). Penegak hukum
harus mencerminkan keragaman anak yang berurusan dengan sistem peradilan
anak (Beijing Rules 22.2). Beijing Rules 6.3 mensyaratkan bahwa mereka
yang menerapkan diskresi pada semua tingkat peradilan anak harus memenuhi
syarat atau dilatih khusus untuk melaksanakan diskresi tersebut dengan
„bijaksana dan sesuai dengan fungsi dan tugas mereka‟.
f. Persetujuan
Diversi memerlukan informed consent dari pelaku anak (atau orang tua
atau wali) untuk pilihan diversi tertentu (Beijing Rules 11.3). Anak harus
diberikan informasi yang cukup tentang pilihan diversi yang tersedia dan
setiap konsekuensi dari penolakan memberi persetujuan. Anak tidak boleh

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


34

merasa ditekan untuk menyetujui program diversi (misalnya, untuk


menghindari tampil di depan pengadilan). Perhatian harus diberikan terhadap
hal-hal tersebut untuk meminimalkan potensi paksaan dan intimidasi pada
semua tingkatan dalam proses diversi (Commentary on Beijing Rule 11.3).
g. Perlindungan prosedural
Pilihan diversi harus menghormati perlindungan prosedural bagi anak
sebagaimana ditetapkan dalam KHA dan ICCPR (International Covenant on
Civil and Political Rights). Hal ini termasuk asas praduga tak bersalah, hak
untuk diinformasikan langsung dan segera atas apa yang dituduhkan, hak
untuk diam, menghormati privasi anak-anak dan keluarga mereka setiap saat,
perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak untuk mengakses bantuan
hukum, kehadiran orang tua atau wali dan akses kepada penerjemah (Beijing
Rules 7).
h. Peninjauan dan pertanggungjawaban
Setiap diskresi yang dilakukan dalam proses diversi harus tunduk pada
standar pertanggungjawaban. Beijing Rules menekankan ketentuan mengenai
panduan yang spesifik tentang pelaksanaan diskresi dan ketentuan mengenai
sistem peninjauan dan pertimbangan yang memungkinkan pengawasan
keputusan dan pertanggungjawaban dalam peradilan anak (Beijing Rules 6.2).
Peraturan tersebut tidak menentukan secara khusus mekanisme peninjauan dan
pertanggungjawaban karena tidak mungkin untuk mencakup semua perbedaan
antar sistem-sistem peradilan. Namun, upaya harus tetap dilakukan untuk
memastikan pertanggungjawaban yang cukup bagi pelaksanaan diskresi pada
semua tahap dan tingkat.
i. Keluhan
Tokyo Rules 3.5 dan 3.6 mengharuskan para peserta dalam program
non-custodial berhak untuk mengajukan keluhan ke lembaga yudisial atau
otoritas independen lainnya yang berwenang mengenai hal-hal yang
mempengaruhi hak-hak mereka dalam pelaksanaan tindakan non-custodial
dan keluhan apapun yang berkaitan dengan hal yang tidak sesuai dengan hak
asasi manusia.
j. Pengawasan

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


35

Sistem peradilan anak yang manusiawi adil, dan efektif memerlukan


mekanisme pengawasan dan evaluasi untuk mengekang setiap
penyalahgunaan kewenangan diskresi dan untuk melindungi hak-hak pelaku
anak. Beijing Rules 30.3 juga mensyaratkan bahwa 'upaya-upaya harus
dilakukan untuk membangun mekanisme penelitian evaluatif yang tetap ke
dalam sistem peradilan anak dan untuk mengumpulkan dan menganalisis data
yang relevan dan informasi untuk penilaian yang tepat dan perbaikan di masa
mendatang dan reformasi administrasi'68. Tokyo Rules 2.4 sama halnya
mensyaratkan langkah-langkah non-custodial untuk diawasi dan ' dievaluasi
secara sistematis '.

2.2.1 Bentuk-Bentuk Diversi


Menurut Carolyn Hamilton, program diversi dapat berbeda-beda bentuk.
Beberapa bentuk diversi didasarkan pada prinsip restorative justice, beberapa
dengan family-focused, welfare approach dan yang lain menggunakan program
dengan aktivitas untuk mengatasi perilaku menyimpang. 69
a. Restorative justice
Restorative justice adalah suatu proses di mana korban dan pelaku, dan,
jika perlu, individu lainnya atau anggota masyarakat yang terkena dampak dari
kejahatan, aktif berpartisipasi bersama dalam menyelesaikan masalah yang timbul
dari kejahatan, umumnya dengan bantuan fasilitator.70
Berbagai program yang berbeda dapat digunakan dalam pendekatan ini.
Yang paling sering adalah mediasi korban-pelaku, musyawarah keluarga dan
masyarakat, peace-making circles dan perbaikan atau pemulihan atas kerusakan

68
Merupakan terjemahan bebas dari “Efforts shall be made to establish a regular
evaluative research mechanism built into the system of juvenile justice administration and to
collect and analyse relevant data and information for appropriate assessment and future
improvement and reform of the administration.”
69
Carolyn Hamilton, Guidance For Legislative Reform On Juvenile Justice, (New York:
Children‟s Legal Centre and United Nations Children‟s Fund (UNICEF), Child Protection Section,
2011), p. 59-60.
70
United Nations Office On Drugs And Crime, Handbook on Restorative justice
programmes, (New York: United Nations, 2006), p.7.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


36

yang terjadi. Program restorative justice umumnya mengharuskan anak-anak yang


didiversi untuk:71
1) mengaku bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya dan
memahami dampak dari pelanggaran tersebut terhadap korban;
2) mengekspresikan emosi (bahkan penyesalan) tentang pelanggaran;
3) menerima dukungan untuk memperbaiki kerugian yang disebabkannya kepada
korban atau diri sendiri dan keluarga;
4) menebus kesalahan atau ganti rugi/ perbaikan;
5) meminta maaf kepada korban;
6) mengembalikan hubungan mereka dengan korban, pada saat yang tepat, dan /
atau
7) mencapai penyelesaian.
b. Family-based/welfare diversion
Perilaku menyimpang oleh anak-anak kadang dipandang sebagai gejala
dari kegagalan keluarga dan disebabkan oleh jeleknya pengasuhan anak, keadaan
keluarga yang sulit atau gangguan dalam hubungan keluarga. Program diversi
yang berfokus pada keluarga pada umumnya bekerja dengan anak dan
keluarganya untuk memahami mengapa seorang anak melakukan pelanggaran dan
bagaimana memenuhi kebutuhan anak untuk mencegah pelanggaran lebih jauh.
Tidak ada konsep hukuman dalam pendekatan ini juga tidak ada fitur perbaikan.
Sebaliknya, pendekatan ini menggunakan pekerjaan sosial yang intensif, family
group conferencing dan kerja perorangan dengan anak untuk menyatukan kembali
anak ke dalam keluarganya, sekolah dan masyarakat dan membangun harga diri
anak. Hal ini biasanya meliputi remedial education dan, jika perlu, akses ke
pelayanan kesehatan mental.
c. Activity Programmes
Program lain yang fokus pada pemberian anak-anak aktivitas yang
memberi mereka alternatif untuk berada di jalan, dan memungkinkan mereka
untuk belajar keterampilan baru dan terlibat dengan minat baru. Program ini dapat
menjangkau luas dan tergantung pada kebutuhan khusus anak dan budaya

71
Economic and Social Council, Resolution 2002/12: Basic Principles on the Use of
Restorative JusticeProgrammes in Criminal Matters, para. 2.2

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


37

setempat. Sebagai contoh, program ini dapat mengajarkan anak keahlian umum
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau keahlian tertentu seperti
mekanik motor dasar, atau membangun keterampilan penting yang akan
membantu anak mendirikan usaha kecil.
Terhadap bentuk-bentuk diversi yang dikemukakan Carolyn Hamilton
tersebut, penulis tidak setuju dengan dimasukannya “restorative justice” sebagai
salah satu bentuk diversi. Meskipun bentuk diversi yang dimaksud Carolyn
Hamilton adalah dengan melibatkan korban, pelaku, atau pihak lainnya yang
terlibat untuk bersama menyelesaikan masalah, yang mana hal ini sama dengan
proses restorative justice, 72 tidak berarti bahwa restorative justice merupakan
suatu bentuk diversi. Restorative justice tidak harus dilakukan dengan diversi
karena restorative justice merupakan salah satu aliran pemidanaan. Oleh karena
itu penyebutan “restorative justice” sebagai bentuk diversi tidaklah tepat
(seharusnya ada istilah lain) karena dapat membuat salah persepsi dengan
menyamakannya sebagai restorative justice yang adalah aliran pemidanaan.

2.2.2 Pihak Pelaksana Program Diversi73


a. Diversi Polisi
Di banyak negara, polisi diberi kewenangan untuk mendiversi anak dari
pada menyerahkan kasusnya ke kejaksaan. Kewenangan untuk melakukan diversi
pada tahap ini sangat dibutuhkan karena hal ini akan membatasi hubungan si anak
dengan sistem peradilan dan seringkali cukup untuk mengakhiri perilaku
menyimpang anak. Negara-negara harus didukung untuk memberikan polisi
kewenangan hukum untuk menghentikan kasus melalui peringatan atau dengan
mendiversi anak ke program yang lebih tepat. Ketika peraturan perundangan

72
Penggunaan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan suatu perkara pidana
merupakan suatu proses yang memberikan tempat kepada setiap pihak yang terlibat dalam suatu
tindak pidana itu berbicara tentang apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan atas tindak pidana yang terjadi. Hal ini dikemukakan oleh John Braitwaite & Heather
Strang dalam Introduction: Restorative Justice and Civil Society, in Restoratif Justice and Civil
Society, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, “Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi
Tentang Kemungkinan Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana)”
(Disertasi yang tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2009), hal. 45.
73
Hamilton, Op. Cit., p. 56-58.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


38

memberikan polisi kewenangan ini juga berarti membebankan tugas pada polisi
untuk mempertimbangkan pilihan non-yudisial pada setiap kasus. Pedoman harus
dikembangkan untuk mengatur pelaksanaan diskresi polisi.

b. Diversi Jaksa
Peraturan perundangan seharusnya tidak mewajibkan penuntutan bagi
anak-anak yang diduga, dituduh atau mengakui telah melakukan kejahatan. Setiap
ketentuan yang demikian harus dihapus dari hukum. Peraturan perundangan harus,
sebagai gantinya, memuat ketentuan yang memberikan jaksa kewenangan diskresi
untuk menangguhkan, atau tidak memulai, penuntutan terhadap anak, bahkan jika
ada bukti yang cukup untuk menguatkan keyakinan (dikenal sebagai prinsip
diskresi penuntutan). Faktor-faktor seperti usia anak, kondisi pelanggaran dan
apakah penuntutan adalah untuk kepentingan umum, dapat diperhitungkan. Di
beberapa negara, jaksa memiliki kewenangan untuk menerapkan tindakan pada
anak ketika menangguhkan atau menjatuhkan penuntutan. Langkah-langkah ini
umumnya termasuk pelayanan masyarakat, mediasi dan kewajiban untuk
mengikuti program rehabilitasi. Pedoman perlu dikembangkan untuk mengatur
pelaksanaan diskresi.

c. Diversi Di Pengadilan
Di beberapa negara, hakim diberi keleluasaan untuk menerapkan diversi
sebelum awal sidang utama, biasanya pada hari pertama sidang. Di Pilipina dalam
Juvenile Justice and Welfare Act yaitu pada Pasal 24 memberikan kemungkinan
bagi diversi dilakukan pada semua tahap dan tingkat peradilan termasuk tingkat
pengadilan. Peraturan tersebut memungkinkan masyarakat setempat untuk
mencoba menyelesaikan kasus itu sebelumnya, bagi pelanggaran terhadap orang
lain dan diancam hukuman penjara kurang dari enam tahun, melalui musyawarah,
mediasi atau perdamaian (Pasal 25).

2.2.3 Contoh Diversi Di Beberapa Negara


Di Singapura terdapat Guidance Programme (GP) yang berupa konseling
enam bulan dan Program rehabilitasi yang membantu pelaku anak yang baru
pertama kali, dengan rujukan dari polisi, untuk mengenali tingkat keparahan

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


39

tindakan mereka dan konsekuensi dari pelanggaran berulang. GP juga bertujuan


untuk mendidik anak-anak dan keluarga mereka tentang bagaimana mencegah
kejadian tersebut melalui konseling, kerja kelompok, dan kegiatan konstruktif dan
juga memastikan program disesuaikan agar sesuai dengan terapi dan tumbuh
kembang masing-masing anak. Kegiatan ini juga mencakup "Moot Court" -
simulasi pengadilan - untuk membantu anak dalam GP untuk memahami sistem
peradilan anak yang memberikan kesempatan untuk berempati pada korban dan
orang tua dengan cara melihat akibat dari pelanggaran mereka melalui simulasi
tersebut. Selanjutnya, langkah-langkah juga telah diambil untuk mengakomodasi
pelaku yang memiliki cacat intelektual dan masalah kesehatan mental. 74
Di negara bagian Amerika Serikat, tepatnya di Northamphinshire,
pelaksanaan diversi untuk pertama kalinya dimulai pada tahun 1981 dan disebut
dengan Juvenile Liaison Bureaux (JLB). Proses ini melibatkan polisi, pekerja
dinas sosial, pekerja pemasyarakatan, guru, dan pemuda sosial. Pada tahun 1984
lembaga JLB lain berdiri, kemudian pada 1986 berdiri dua lembaga ini untuk
menangani diversi bagi kalangan dewasa. 75
Pada tahun 1992 terjadi kekhawatiran masayarakat akan terjadinya
kesalahan oleh polisi dalam menangani pelaku pengulangan tindak pidana,
sehingga kemudian pelaku anak secara otomatis dirujuk ke JLB. Rekomendasi
dari JLB menjadi pertimbangan bagi polisi apakah akan memberikan peringatan
atau melanjutkan proses penanganan anak ke tahap selanjutnya. 76 Terdapat dua
kelompok pemegang kebijakan di Northamphinshire, yaitu petugas tahanan, yang
membuat kebijakan pertama, dan pelaksana proses, yang menerima kasus dari
petugas tahanan untuk diteliti. Pelaksanaan proses didasarkan atas dukungan

74
Dikemukakan dalam Committee on the Rights of the Children, Singapore State Report,
2010, p. 442. Sebagaimana dikutip dalam McGrath, Op. Cit., p.26.
75
Hal ini dikemukakan oleh Blagg, H. et al. dalam The Final Report on the Juvenile
Liaison Bereue, sebagaimana dikemukakan dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia:
Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Nurul Falah Atif (ed.), (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2009), hal. 167.
76
Hal ini dikemukakan oleh Loraine Gelsthorpe dan Nicola Padfield dalam Exercising
Discretion Decision-Making in the Criminal Justice System and Beyond, sebagaimana
dikemukakan dalam Marlina, Ibid., hal. 167.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


40

administrasi masing-masing bagian di lembaga kepolisian yang masing-masing


bertanggungjawab.
Di Australia terdapat Undang-Undang Tindak Pidana Anak (The Young
Offenders Act, 1997), undang-undang tersebut memberikan kewenangan terhadap
penegak hukum (polisi) untuk melakukan diversi terhadap pelaku anak. Hal
tersebut dapat dilihat dari tujuan undang-undang tersebut.77 Kewenangan polisi
untuk melakukan diversi terhadap anak dilakukan atas pertimbangan:
a. Menghindarkan dampak merugikan labeling yang dapat diperoleh dari sistem
peradilan anak.
b. Adanya keraguan mengenai kemanjuran atas upaya-upaya yang tersedia bagi
penanganan pelaku anak. 78
Pada tahun 1970, bentuk diversi yang dilakukan di Australia bukan lagi
berupa penyerahan perkara anak pada program alternatif, melainkan diversi untuk
mengeluarkan anak dari sistem peradilan. Bentuk diversi tersebut dilakukan
dengan cara anak yang telah ditangani polisi hanya diberikan peringatan lisan dan
tertulis setelah itu anak akan dilepas dan proses pun berakhir. Apabila anak
tersebut telah melakukan pengulangan tindak pidana, maka akan dilakukan proses
selanjutnya. Diversi bentuk ini dilakukan di Victoria pada1959, Queensland pada
1963, dan New South Wales 1985. Bentuk kedua dari diversi, yang dilakukan oleh
Australia bagian selatan pada 1964 dan bagian barat pada 1972, dilakukan dengan
membuat pertemuan yang melibatkan pelaku anak dengan orang tuanya, polisi,
dan pekerja sosial negara. Pertemuan dilakukan dalam suasana yang relatif
informal untuk memberikan peringatan dan konseling.79

77
Hal ini dikemukakan oleh Jenny Bargen dalam Workshop: Training to Divert
Offenders, paper presented at the Juvenile Justice: From Lesson of the Past to a Road for the
Future Conference Convened by the Australian Institute of Criminology in Conjuction with the
NSW Departement Of Juvenile Justice, sebagaimana dikutip dalam Setya Wahyudi, Implementasi
Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Jogjakarta: Genta
Publishing, 2011), hal. 144.
78
Hal ini dikemukakan oleh Jenny Bargen dalam Workshop: Training to Divert
Offenders, paper presented at the Juvenile Justice: From Lesson of the Past to a Road for the
Future Conference Convened by the Australian Institute of Criminology in Conjuction with the
NSW Departement Of Juvenile Justice, sebagaimana dikutip dalam Wahyudi, Ibid., 145.
79
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, Nurul Falah Atif (ed.), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal. 163.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


41

Di Selandia Baru ciri program peradilan anak modern ini tertanam dengan
kuat dalam undang-undang yang menyatakan bahwa "unless the public interest
requires otherwise, criminal proceedings should not be instituted against a child
or young person if there is alternative means of dealing with the matter… ". 80 Hal
ini didasarkan pada anggapan bahwa tindakan memasuki proses formal itu sendiri
dapat berdampak negatif pada anak-anak. 81Sistem Selandia Baru menekankan
diversi dari pengadilan dan penahanan dan memperlakukan anak secara
bertanggungjawab. Sistem ini bertujuan untuk memfasilitasi rehabilitasi dan
reintegrasi anak, memberikan dukungan bagi keluarga mereka dan melayani
kebutuhan korban. Sistem Selandia Baru merintis pendekatan restoratif bagi
pelanggaran oleh anak khususnya dalam hal penggunaan family group conference
untuk menentukan hasil dari pelanggaran anak yang lebih serius. 82
Ketika anak melakukan pelanggaran, polisi bisa merespon dengan:
a. Mengeluarkan peringatan untuk tidak kembali melanggar (issuing a warning
not to reoffend);
b. Mengatur diversi informal setelah berkonsultasi dengan para korban, keluarga
dan anak (arranging informal diversionary responses after consultation with
victims, families and young people);
c. Ketika anak dituduh, polisi membuat rujukan ke Child Youth and Family
Services untuk family group conference (where intending to charge, making
referrals to Child Youth and Family Services for a family group conference);
atau
d. Menangkap dan menetapkan tuduhan di Youth Court (arresting and laying
charges in the Youth Court).
Usia pertanggungjawaban pidana di Selandia Baru adalah 10 tahun.
Namun, "anak-anak" (di bawah usia 14) tidak bisa dituntut kecuali melakukan
pembunuhan dan pembunuhan berencana. Pelanggaran pembunuhan dan

80
Section 15 of the Children Young Person and their Families Act 1989
81
J. Becroft, “How to Turn A Child Offender into an Adult Criminal – 10 Easy Steps”,
Prato,Italy:International Law Conference Paper, 2009.
82
McGinness dan Tom McDermott, Review of Effective Practice in Juvenile Justice:
Report for the Minister for Juvenile Justice, (Australia: Noetic Solutions Pty Limited, 2010), hal.
6.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


42

pembunuhan berencana yang dilakukan oleh orang muda berusia 10 tahun atau
lebih diserahkan oleh Youth Court ke High Court. Dalam kasus lain di mana
pelanggaran anak tersebut menyebabkan kekhawatiran, mereka dapat ditangani
baik dengan peringatan, pengalihan polisi atau family group conference. Atau
mereka dapat diserahkan ke Department of Child, Youth and Family Services
sebagai anak yang membutuhkan perawatan dan perlindungan. Sebagian besar
pelanggaran oleh anak (83%) kini ditangani sesuai dengan prosedur alternatif
peradilan anak di bawah kontrol Kepolisian83.
Sementara di Papua New Guinea (PNG) sudah memiliki Police Juvenile
Policy dan Diversion Protocol sendiri, yang didukung oleh Juvenile Policy
Monitoring Unit dalam Kepolisian PNG. Unit ini memantau diversi dan praktek
pemrosesan anak yang efektif yang dilakukan oleh polisi. Diversi juga tersedia di
tingkat pengadilan melalui Juvenile Court Diversion Programme. Sebelum anak-
anak diproses di pengadilan karena kejahatan ringan, pengadilan memiliki
keleluasaan untuk merujuk mereka ke mediasi dengan masyarakat daripada
memproses dengan sidang formal. 84
Berdasarkan pendapat Anderson, metode diversi yang dibentuk secara
internasional meliputi: 85
1) Pembebasan bersyarat (conditional discharge), di mana tuntutan tindak
pidana dicabut apabila tersangka mentaati persyaratan-persyaratan
tertentu seperti pembayaran jumlah tertentu, memberikan pelayanan sosial
kepada masyarakat, atau memberikan ganti kerugian kepada korban;
2) Penyederhanaan prosedur (simplified procedures), melalui perundingan
untuk mempercepat proses, tidak memperumit terdakwa dengan cara
yang lebih baik , atau prosedur yang lebih cepat, seperti penawaran tuntutan
atau penghukuman;

83
Dikemukakan oleh Maxwell dalam The Youth Court of New Zealand sebagaimana
dikutip dalam McGinness dan McDermott, Ibid., hal. 7.
84
“Juvenile justice reform in Papua New Guinea,”
http://www.unicef.org/eapro/Juvenile_justice_reform_in_Papua_New_Guinea.pdf
85
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report on Delivery: Restorative
Justice sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Ibid., hal. 10.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


43

3) Dekriminalisasi (decriminalization) tindak pidana tertentu yang seringkali


terjadi, kemudian dipindahkan dari jangkauan arena (yurisdiksi) peradilan
pidana.
Dalam konteks alokasi anggaran, penahanan dan pemasyarakatan
membutuhkan biaya yang mahal sehingga lebih baik diarahkan alternatif selain
penahanan. Dengan kata lain, penahanan anak bukan upaya untuk
mengefektifkan biaya pemajuan keselamatan dan keamanan masyarakat.
Ketersediaan dana untuk intervensi di luar penahanan lebih efektif
86
mengurangi residivisme dan pemajuan keamanan publik.

2.3 Konsep Diversi Anak Dalam Instrumen Hukum Nasional

2.3.1 Pengaturan Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Sebelum Berlakunya


Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Seperti yang telah penulis kemukakan dalam Bab I sebelumnya bahwa
sebelum berlakunya UU SPPA tidak terdapat aturan dalam undang-undang yang
secara tegas mengatur tentang diversi pada sistem peradilan anak, meskipun
terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan
hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana, diantaranya:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)


Dalam KUHP sebelumnya terdapat ketentuan Pasal 45, 46, 47 KUHP
yang kemudian dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor
3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Dalam Pasal-Pasal KUHP tersebut
diberikan perlindungan bagi anak yang melakukan tindak pidana dimana
penuntutan pidana atas perbuatan yang dilakukan sebelum umur enam belas
tahun, maka hakim dapat menentukan: memerintahkan supaya yang bersalah
dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana
apa pun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah tanpa pidana apa pun. Namun hal ini terbatas jika perbuatan yang

86
Dikemukakan oleh Barry Holman & Jason Ziedenberg dalam The Dangers of
Detention: The Impact of Incarcerating Youth in Detention and Other Secure Facilities, The
Justice Policy Institute, sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Op. Cit., hal.
11.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


44

dilakukan si anak merupakan pelanggaran Pasal-Pasal yang disebutkan dalam


Pasal 45 tersebut.
Kemudian jika hakim memutuskan agar anak tersebut diserahkan
kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara
supaya menerima pendidikan dari pemerintah paling lama sampai anak itu
mencapai umur delapan belas tahun. Atau jika hakim menjatuhkan pidana,
maka maksimum pidana pokok terhadap tindak pidananya dikurangi sepertiga
dan jika perbuatan yang dilakukan anak itu merupakan kejahatan yang
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka ia
dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2) Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Ketentuan mengenai diversi dapat ditemukan dalam Pasal 5 Undang-
Undang Pengadilan Anak. Meskipun tidak secara tegas disebutkan dalam
Pasal tersebut bahwa terjadi upaya diversi, namun apabila kita memperhatikan
rumusan Pasalnya; yang mana anak yang belum mencapai umur delapan tahun
melakukan tindak pidana, maka Penyidik menyerahkan kembali anak tersebut
kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya atau kepada Departemen
Sosial; maka terlihat bahwa ada upaya pengalihan anak dari dalam sistem
peradilan pidana ke luar sistem formal tersebut (diversi). Kemudian dalam
penjelasan Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa penyidikan terhadap anak yang
belum mencapai umur delapan tahun tersebut dilakukan untuk mengetahui
apakah anak melakukan tindak pidana seorang diri atau ada unsur
pengikutsertaan (deelneming) dengan anak yang berumur di atas 8 (delapan)
tahun atau dengan orang dewasa.
Menurut Setya Wahyudi, beberapa bentuk sanksi dalam Pasal 22
sampai dengan Pasal 32 Undang-Undang Pengadilan Anak yang dapat
dijatuhkan kepada anak sebagai pelaku tindak pidana sejalan dengan konsep
diversi, seperti: 87
1. Denda;
2. Mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh;

87
Wahyudi, Op. Cit., hal. 188.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


45

3. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan


latihan kerja;
4. Penjatuhan sanksi tindakan dapat disertai dengan teguran dan syarat
tambahan yang ditetapkan oleh hakim, seperti pembayaran ganti rugiyang
dijatuhkan sebagai pidana tambahan.
Dalam hal ini penulis tidak sependapat dengan beliau karena pada
dasarnya diversi merupakan pengalihan penyelesaian perkara anak dari dalam
sistem peradilan. Sementara sanksi diberikan ketika anak telah melalui proses
peradilan dan memperoleh keputusan yang berkekuatan hukum tetap, maka
jelas hal ini tidak sejalan (bertolak belakang) dengan konsep diversi.
3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Ketentuan yang terkait dengan perlindungan hukum terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana dapat dilihat dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 7,
Pasal 8, dan Pasal 11.
Dalam Pasal 2 menyebutkan hak-hak anak yang harusnya tetap
terpenuhi meskipun anak tersebut melakukan tindak pidana atau sedang
menjalani proses peradilan. 88 Anak yang mengalami masalah kelakuan adalah
anak yang menunjukan tingkah laku menyimpang dari norma-norma
masyarakat. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan
asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan tetap
diberikan kepada anak meskipun ia telah dinyatakan bersalah berdasarkan
keputusan hakim. Bantuan dan pelayanan, yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan anak menjadi hak setiap anak, sedangkan bagi anak cacat berhak
memperoleh pelayanan khusus. Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh

88
Pasal 2
(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang
baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan
wajar.
(2) Anak berhak atas pelayanan unt uk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya,
sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan
berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan ter hadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan per kembangannya dengan wajar.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


46

orang tua, pemerintah, dan masyarakat, terdiri atas usaha pembinaan,


pengembangan, pencegahan, dan rehabilitasi. 89
4) Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Perlindungan hukum bagi anak sebagai pelaku tindak pidana juga
diberikan dalam Undang-Undang HAM, yaitu dalam Pasal 66. Dalam Pasal 66
ayat (1) dan (2) Undang-Undang HAM ditegaskan bahwa anak tidak boleh
dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang
tidak manusiawi dan hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat
dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak.
Selanjutnya dalam Pasal 66 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-
Undang HAM disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk tidak dirampas
kebebasannya secara melawan hukum, penangkapan, penahanan atau penjara
anak hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir. Selain itu anak yang
dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara
manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi
sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi
kepentingannya. Kemudian menurut Pasal 66 ayat (6) dan ayat (7) Undang-
Undang HAM, anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh
bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku dan anak yang dirampas kebebasannya berhak membela
diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan
tidak memihak serta tertutup untuk umum.
5) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Dalam Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 59 Undang-Undang
Perlindungan Anak, ditegaskan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana,
yaitu anak yang berhadapan dengan hukum ditentukan sebagai anak yang
memerlukan perlindungan khusus. Dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 18
berisi hak-hak anak sama seperti yang disebutkan dalam Pasal 66 Undang-
Undang HAM. Sementara dalam Pasal 59 berisi kewajiban bagi pemerintah
dan lembaga negara lain untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak,
termasuk bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Pemberian perlindungan

89
Wahyudi, Op.Cit., hal. 222.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


47

khusus tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 Undang-Undang


Perlindungan Anak yang dilaksanakan dalam bentuk:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak
anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak
yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau
keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.
6) Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jaksa
Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia,
Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik
Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak Republik Indonesia tentang Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan
Hukum.
Surat Keputusan Bersama ini bertujuan untuk menyamakan persepsi
diantara jejaring kerja dalam penanganan anak yang berhadapan dengan
hukum, meningkatkan koordinasi dan kerjasama dalam upaya menjamin
perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum, dan
meningkatkan efektivitas penanganan anak yang berhadapan dengan hukum
secara sistematis, komprehensif, berkesinambungan, dan terpadu. Dalam Surat
Keputusan Bersama ini, perlindungan bagi anak sebagai pelaku tindak pidana
juga diberikan, yaitu dalam Pasal 13 yang berbunyi:
Pasal 13
Perlakuan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana sebagai berikut:
a. penyidik melakukan upaya penanganan perkara anak yang berhadapan hukum
dengan pendekatan keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik bagi anak
wajib melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua dan/atau keluarga korban
dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat;
b. balai pemasyarakatan wajib membuat laporan penelitian pemasyarakatan;

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


48

c. dalam hal anak ditahan maka penempatannya dipisahkan dengan tahanan


orang dewasa atau dititipkan di Rumah Tahanan khusus anak;
d. proses penyidikan dan penyerahan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut
Umum dilaksanakan segera dengan mengikutsertakan Pembimbing
Kemasyarakatan Bapas;
e. dalam hal Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dan
hasil penelitian kemasyarakatan dapat dilakukan penuntutan dengan acara
pendekatan keadilan restoratif maka Jaksa Penuntut Umum segera
melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan Negeri;
f. setelah menerima pelimpahan dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim segera
melaksanakan sidang anak dengan acara pendekatan keadilan restoratif;
g. apabila putusan hakim berupa tindakan, maka Balai Pemasyarakatan wajib
melakukan pembimbingan dan pengawasan;
h. pembimbingan, pembinaan, dan perawatan di Bapas, Rutan, dan Lapas
dilaksanakan secara terpadu dengan melibatkan instansi terkait; dan
i. dalam hal putusan hakim menyerahkan anak yang berhadapan dengan hukum
kepada Dinas Sosial, maka Dinas Sosial wajib menerima dan menyiapkan
sarana dan prasarana dalam rangka pemulihan dan rehabilitasi sosial anak.
Walaupun peraturan-peraturan tersebut memberikan perlindungan bagi
anak sebagai pelaku tindak pidana, namun pada kenyataannya tidak ada peraturan
yang dengan tegas menyebutkan diversi sebagai bentuk perlindungan anak pelaku
tindak pidana dalam proses peradilan pidana. Di dalam kebijakan formulasi
hukum pidana formal anak tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur
tentang diversi, namun terdapat beberapa ketentuan yang bisa dijadikan
peluang bagi penyidik, penuntut umum, dan hakim anak untuk dapat
melakukan diversi terhadap kasus anak, antara lain : Pasal 5 dan 7 KUHAP,
Undang-undang No. 48 Tahun 2009, Asas Opportunitas. 90
Selain itu, bagi pihak kepolisian terdapat TR Kabareskrim No.
1124/XI/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Bagi Kepolisian dan
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No.8 Tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip Dan Standar HAM Penyelenggaraan Tugas POLRI,
dimana TR ini bersifat arahan untuk menjadi pedoman dalam pelaksanaan
diversi Dalam TR ini disebutkan bahwa prinsip diversi yang terdapat dalam
konvensi hak-hak anak anak, yaitu suatu pengalihan bentuk penyelesaian dari
penyelesaian yang bersifat proses pidana formal ke alternatif penyelesaian

90
Ferawati, “Kebijakan Formulasi Terhadap Konsep Diversi Dalam Pembaruan Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,” http://pasca.unand.ac.id/id/wp-
content/uploads/2011/09/KEBIJAKAN-FORMULASI-TERHADAP-KONSEP-DIVERSI.pdf

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


49

dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Diversi dapat
dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa maupun disertai peringatan
informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga pelaku dan keluarga korban, atau
bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya
masyarakat setempat.91

2.3.2 Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Anak Menurut Undang-


Undang Nomor 11 Tahun 2012 (UU SPPA)
Dalam Pasal 1 angka (3) UU SPPA disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Anak yang Berkonflik dengan Hukum adalah anak yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun
yang diduga melakukan tindak pidana. Dalam undang-undang ini diperkenalkan
upaya diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum. Menurut
Pasal 1 angka (7) UU SPPA, yang dimaksud dengan diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana.
Selanjutnya dalam Pasal 5 UU SPPA merupakan bentuk penegasan
atas penggunaan model pendekatan restorative justice (keadilan restoratif).
Dalam Pasal ini disebutkan :
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan
Restoratif.
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang ini;
b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum; dan
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama
proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau
tindakan.
(3) Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

91
TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006. Butir DDD. Dua sebagaimana dikutip dari
“Pembaruan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan
Hukum (Dikaji Dari Perspektif Peradilan Pidana),”
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-396-1796740271-bab%20i-v%20tesis.pdf

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


50

Sebagai suatu pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan pidana anak
menurut UU SPPA, tentunya pemahaman mengenai konsep restorative justice
sangatlah diperlukan dan tidak dapat diabaikan, makasebelum membahas lebih
jauh mengenai diversi dalam UU SPPA, penulis akan membahas restorative
justice terlebih dahulu.
Restorative Justice
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu penyelesaian secara
adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait
dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap
tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara
Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia,
Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia. 92
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., Mcl. dalam tulisannya juga,menguraikan
tentang substansi restorative justice berisi prinsip-prinsip, antara lain: 93
”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat
menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban,dan
masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha
menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.
Adapun syarat-syarat/ kriteria Restorative Justicesebagai berikut:94
1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku.
2. Persetujuan dari pihak korban / keluarga dan adanya keinginan untuk
memaafkan pelaku.
3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara
musyawarah dan mufakat.
4. Kwalifikasi tindak pidana ringan

92
Pasal 1 angka (5) Surat Keputusan Bersama
93
Bagir Manan, “Restorative Justice (Suatu Perkenalan)”,dalamRefleksi Dinamika
Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, (Jakarta:Perum Percetakan Negara RI,
2008), hal. 4.
94
Dewi, Op. Cit., hal. 7.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


51

5. Pelaku belum pernah dihukum


Johnston dan Van Nes membagi beberapa ragam definisi keadilan
restoratif dalam 2 (dua) kelompok, kemudian mengkombinasikan 2 (dua)
kelompok tersebut dalam upaya menjelaskan keadilan restoratif. Ketiga
definisi tersebut meliputi: 95
1. Definisi berbasis proses (process-based definitions), menekankan
kepentingan antara pihak yang menerima pengaruh tindak pidana dan
akibat dari tindak pidana tersebut. Pada titik ini, keadilan restoratif
dapat dikatakan sebagai suatu proses yang meletakkan semua
pihak secara bersama dalam rangkaian fakta-fakta tindak pidana
dengan tujuan untuk memecahkan dan menyepakati penyelesaian akibat
tindak pidana dan implikasi tindak pidana pada masa yang akan datang;
2. Definisi berbasis keadilan (justice-based definitions), menekankan pada
capaian (outcome) dan/atau nilai keadilan restoratif. Keadilan restoratif
berbasis keadilan merupakan setiap tindakan yang terutama ditujukan
untuk mencapai keadilan melalui perbaikan kerugian akibat tindak pidana
tersebut;
3. Definisi ketiga merupakan kombinasi dari definisi berbasis proses dan definisi
berbasis keadilan. Keadilan restoratif merupakan suatu proses untuk
menetapkan luka dan kebutuhan dari korban dan pelaku sebagai tujuan
bersama untuk diselesaikan sehingga kedua belah pihak, seperti halnya
komunitas di mana mereka merupakan bagian darinya, dapat tersembuhkan.
Meskipun terdapat beberapa definsi mengenai keadilan restoratif, Luna
menunjukkan terdapat 3 (tiga) prinsip yang dapat disatukan dalam
96
pendekatan keadilan restoratif, Ketiga prinsip tersebut meliputi:
1. Tindak pidana tidak hanya menyebabkan kerugian/luka kepada negara,
tetapi juga korban, pelaku, dan komunitas. Oleh karena itu, pelaku
terutama telah merusak hubungan antar manusia dan kedua telah melakukan
pelanggaran hukum;

95
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report on Delivery: Restorative
Justice sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Ibid., hal. 8.
96
Ibid.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


52

2. Korban, pelaku, komunitas, dan pemerintah harus bersikap aktif terlibat dalam
proses peradilan pidana dari titik yang paling awal hingga titik yang paling
maksimal;
3. Pemerintah bertanggung jawab untuk memelihara tata tertib dan
komunitas (masyarakat) bertanggung jawab membangun perdamaian untuk
memajukan keadilan
Restorative justice bertujuan mendorong terciptanya “peradilan yang adil”
dan mendorong para pihak untuk ikut serta di dalamnya. Dengan restorative
justice, korban merasa bahwa penderitaannya diperhatikan dan kompensasi yang
disepakati seimbang dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Selain
itu, pelaku tidak perlu mengalami penderitaan untuk menyadari kesalahannya,
malah pelaku diberi kesempatan untuk mengerti dan memperbaiki kerusakan yang
timbul, kesadaran tersebut dapat diperolehnya. 97
Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Program Restorative Justice
dalam Masalah Pidana merujuk pada petunjuk yang penting dan mendasar berikut
dalam menerapkan pendekatan restorative justice:98
1. Hak untuk berkonsultasi dengan penasihat hukum: Korban dan pelaku harus
memiliki hak untuk berkonsultasi dengan penasihat hukum mengenai proses
restorative dan, bila perlu, untuk menerjemahkan dan / atau menafsirkan.
2. Hak anak-anak untuk mendapat bantuan dari orang tua atau wali: Anak-anak
harus memiliki hak untuk mendapat bantuan dari orang tua atau wali.
3. Hak untuk diberi informasi yang lengkap: Sebelum menyetujui untuk
berpartisipasi dalam proses restorative, para pihak harus sepenuhnya
diberitahu tentang hak-hak mereka, sifat dasar proses tersebut dan akibat yang
dimungkinkan dari keputusan yang mereka ambil.
4. Hak untuk tidak berpartisipasi: Baik korban maupun pelaku tidak boleh
dipaksa, atau diarahkan dengan cara tidak adil, untuk berpartisipasi dalam
proses restorative atau menerima hasil restorative. Persetujuan mereka

97
Hal ini dikemukakan oleh Lode Walgrave dalam Restoration in Youth Justice,
sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, “Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang
Kemungkinan Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana)”
(Disertasi yang tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2009, hal. 44)
98
McGrath, Op. Cit., p.30.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


53

diperlukan. Anak-anak mungkin membutuhkan saran dan bantuan khusus


sebelum dapat membentuk persetujuan yang sah dan berdasarkan pengetahuan
yang cukup terhadap situasi yang dihadapi.
5. Partisipasi bukanlah bukti bahwa bersalah: Partisipasi pelaku dalam proses
restorativejustice tidak boleh digunakan sebagai bukti pengakuan atas
kesalahan dalam proses hukum selanjutnya.
6. Perjanjian harus bersifat sukarela dan masuk akal: Perjanjian yang timbul dari
restoratif Proses harus dicapai secara sukarela dan harus berisi kewajiban
wajar dan proporsional.
7. Kerahasiaan proses: 'Diskusi dalam proses restorative yang tidak dilakukan di
depan umum harus dijaga kerahasiannya, dan selanjutnya tidak boleh
diungkapkan, kecuali dengan kesepakatan para pihak atau sebagaimana
diwajibkan oleh hukum nasional '.
8. Pengawasan Yudisial: "Hasil kesepakatan yang timbul dari program
restorativejustice harus, bila sesuai, diawasi secara hukum atau dikuatkan
dalam bentuk keputusan pengadilan '.
9. Kegagalan untuk mencapai kesepakatan: Kegagalan untuk mencapai
kesepakatan tidak boleh digunakan untuk melawan pelaku dalam proses
peradilan pidana berikutnya.
10. Tidak ada peningkatan hukuman bagi kegagalan untuk menerapkan
kesepakatan: Kegagalan untuk menerapkan kesepakatan yang dibuat dalam
proses restorativejustice (selain keputusan pengadilan) tidak boleh digunakan
sebagai pembenaran untuk menjatuhkan hukuman yang lebih berat dalam
proses peradilan pidana berikutnya. Memulihkan ketertiban masyarakat,
perdamaian dan perbaikan hubungan yang rusak;
United Nations Basic Principles on the Use of Restorative Justice
Programmes in Criminal Matters menyediakan standar internasional untuk
penggunaan Restorative Justice. Restorative Justicedapat diimplementasikan
dalam berbagai cara selama proses peradilan anak, termasuk metodologi yang
terkait dengan diversi, tapi pada dasarnya restorative justice meningkatkan
keterlibatan pelaku, masyarakat dan menyadari dampak dari kejahatan pada
korban dan kebutuhan untuk memulihkan keadaaan tersebut. Dalam konteks

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


54

peradilan anak, pendekatan restorative justice membantu polisi, pengadilan dan


lembaga lainnya juga bertindak sebagai agen penyembuhan untuk para pelaku,
para korban dan keluarga mereka, dan masyarakat.99
Menurut Fruin J.A. dalam Paulus Hadisuprapto, ”peradilan anak
restoratif berangkat dari asumsi bahwa tanggapan atau reaksi terhadap pelaku
delinkuensi anak tidak akan efektif tanpa adanya kerjasama dan keterlibatan
dari korban, pelaku dan masyarakat”. Prinsip yang menjadi dasar adalah bahwa
keadilan paling baik terlayani, apabila setiap pihak menerima perhatian secara
adil dan seimbang, aktif dilibatkan dalam proses peradilan dan memperoleh
keuntungan secara memadai dari interaksi mereka dengan sistem peradilan
anak. 100
Menangani masalah anak yang berhadapan dengan hukum hendaknya
dilakukan dengan pendekatan secara kekeluargaan dan sedapat mungkin
menghindarkan anak dari lembaga peradilan. Pengadilan bagi anak yang
berhadapan dengan hukum menjadi upaya terakhir setelah berbagai upaya
yang dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan telah ditempuh. Secara
umum, prinsip-prinsip keadilan restoratif adalah :101
a. Membuat pelanggar bertangung jawab untuk memperbaiki kerugian yang
ditimbulkan oleh kesalahannya;
b. Memberikan kesempatan kepada pelanggar untuk membuktikan kapasitas
dan kualitasnya disamping mengatasi rasa bersalahnya secara konstruktif;
c. Melibatkan para korban, orangtua, keluarga besar, sekolah, dan teman sebaya;
d. Menciptakan fórum untuk bekerjasama dalam menyelesaikan
masalah;menetapkan hubungan langsung dan nyata antara kesalahan dengan
reaksi sosial yang formal.

99
McGrath, Op.Cit.hal. 31.
100
Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya,
(Malang:Bayumedia Publishing, 2008), hal 225
101
Bagir Manan, Op. Cit., hal.357

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


55

Sebagian peraturan-peraturan atau instrumen hukum di Indonesia yang


berkaitan dengan penanganan anak berhadapan dengan hukum102 sebenarnya
sudah berupaya menerapkan restorative justice, walaupun belum secara
komprehensif dan eksplisit di tuangkan tentang pelaksanaanya, namun secara
tersirat dapat dipahami bahwa pendekatan restorative justice dapat dilakukan para
Aparat Penegak Hukum akan tetapi walaupun berhasil lahir kesepakatan dalam
forum musyawarah/ mediasi, perkara tersebut tidak dapat dihentikan (diskresi)
atau dialihkan (diversi) karena belum ada Undang-Undang yang mengaturnya. 103
Selanjutnya menurut pendapat DS. Dewi, dalam penanganan ABH di
Pengadilan apabila syarat-syarat/ kriteria restorative justice telah terpenuhi antara
lain pelaku telah mengakui perbuatannya, saksi korban dan keluarga berkeinginan
untuk memaafkan, komunitas masyarakat mendukung musyawarah dan

102
Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain:
1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959,menyebutkanbahwa persidangan
anak harus dilakukan secara tertutup.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November
1987tentang Tata Tertib Sidang Anak.
3. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak
4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995tentang
Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
5. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM RI tentang
pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum
6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005tentang kewajiban setiap
PN mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus untuk anak yang akan
disidangkan
7. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan
tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
8. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit PelayananPerempuan dan Anak
(PPA)dan3/2008tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi&/korban TP
9. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni
2008,tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku
dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau
saksi
10. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.HH.04.HM.03.02 Th 2009,
Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor
: 06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal 15 Desember 2009
11. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian
Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148
A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, NO. 10/PRS-
2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
103
Dewi, Op. Cit., hal. 11.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


56

kwalifikasi tindak pidana ringan, serta pelaku belum pernah dihukum, maka
Hakim dapat melakukan pendekatan restorative justice dalam forum mediasi
penal di ruang Mediasi Pengadilan, dengan tujuan Pemulihan bagi Pelaku, Korban
dan Masyarakat. Apabila berhasil musyawarah dan lahir kesepakatan maka
kesepakatan tersebut dapat dijadikan pertimbangan Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan Requisitoir/ tuntutan berupa tindakan (Pasal 24 Undang-Undang
Pengadilan Anak) dan Penasehat Hukum Anak dapat pula melampirkan hasil
kesepakatan dalam pledoinya, selanjutnya Hakim dapat memutus perkara Anak
berupa tindakan (kasuistis) untuk memenuhi ketentuan amanat Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai Harmonisasi Pasal 37 yang mengatur
Pidana Penjara Bagi Anak sebagai pilihan akhir (The Last Resort/Ultimum
Remidium).104
Menurut Emy Rosna Wati, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
hasil keputusan restorative justice yang diambil, antara lain: 105
1. Dapat dilaksanakan oleh para pihak sendiri tanpa memerlukan bantuan
instansi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.
2. Putusan tidak bersifat punitif tetapi lebih merupakan solusi dengan
memperhatikan kepentingan terbaik dari anak, korban dan masyarakat seperti
restitusi (ganti rugi) atau community service order berupa kewajiban kerja
social.
3. Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang terlibat
dan dapat dilaksanakan.
4. Pengawasan pelaksanaan putusan dilakukan oleh masyarakat dan atau
dengan bantuan LSM sebagai fasilitator.
Beberapa hambatan yang sering ditemukan dalam usaha mewujudkan
restorative justice adalah sebagai berikut:106
a. Seringnya terjadi re-offending atau pelanggaran kembali oleh pelaku
yang telah menjalani restorative justice.

104
Ibid.
105
E y Ros a Wati, Refor asi Perli du gan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik
Dengan Hukum, jour al.umsida.ac.id/files/Tulisan%20Emi.pdf, hal. 9.
106
Ibid.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


57

b. Keberhasilan dari proses restorative justicesangat tergantung dari pihak


keluarga yang menjadi tempat anak dikembalikan
c. Kemampuan mediator sangat mempengaruhi keberhasilan proses restorative
justice dan petugas yang terlalu campur tangan dalam keputusan.

Setelah memahami makna restorative justice, maka kita akan kembali


membahas diversi dalam UU SPPA. Diversi bertujuan mencapai perdamaian
antara korban dan Anak; menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat
untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak. 107
Dalam UU SPPA, tindak pidana yang wajib diupayakan diversi diatur dalam Pasal
7 di mana dijelaskan sebagai berikut :
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak
pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak merepresentasikan pendekatan restorative justice
dengan mekanisme diversi. Namun diversi yang dilaksanakan dalam undang-
undang sistem peradilan pidana anak ini dilaksanakan dalam setiap tahapan
proses peradilan. Aenur Rosyid berpendapat bahwa hal ini jelas tidak akan mampu
menghindarkan proses stigmatisasi negatif terhadap anak karena proses
stigmatisasi anak yang berkonflik hukum dimulai sejak anak berurusan dengan
polisi. Artinya proses diversi yang dilakukan dalam proses penuntutan
maupun persidangan tidak mampu menghindarkan stigma negatif terhadap anak
karena anak sudah melalui proses peradilan dan bahkan proses ini memakan
waktu yang lama dan biaya yang tinggi. Oleh karena itu perlu adanya
pengkajian kembali tentang penempatan proses diversi dalam setiap tahapan
sistem peradilan pidana anak dan signifikansi penggunaan peringatan serta

107
Pasal 6 UU SPPA

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


58

diversi informal sebagai solusi menghindari biaya tinggi dan proses yang lama
dalam pelaksanaan diversi formal. 108
Hal serupa juga diutarakan oleh PN Stabat, bahwa definisi diversi dalam
Pasal 1 angka 7 UU SPPA bertujuan agar proses penyelesaian anak berhadapan
dengan hukum sedini mungkin dialihkan dari sistem peradilan formal ke proses
non formal. Namun pada Bab III UU SPPA ini malah memasukan diversi ke ranah
acara peradilan pidana anak, hal inilah yang kontradiktif dan tidak lagi fisiologis
sesuai tujuannya.109 Penulis sependapat dengan kedua pendapat tersebut, akan
tetapi upaya diversi yang dilakukan pada setiap tahap peradilan pidana ini
memang diperbolehkan dan telah sesuai dengan anjuran yang diberikan Beijing
Rules (Rule 11.2) dimana diversi dapat digunakan pada setiap tahap pengambilan
keputusan seperti polisi, jaksa, atau lembaga lain seperti pengadilan, tribunal, atau
dewan. Lagi pula, ada kemungkinan proses peradilan pidana anak dilanjutkan
dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi
tidak dilaksanakan. 110
Pada setiap tingkat pemeriksaan anak menurut UU SPPA, upaya diversi
wajib dilakukan sesegera mungkin setelah kasus mulai diproses. Di tingkat
penyidikan, Penyidikan sudah harus memulai upaya diversi maksimal 7 hari
setelah proses penyidikan dimulai. Di tingkat penuntutan, Penuntut Umum wajib
mengupayakan diversi paling lama 7 hari setelah menerima berkas perkara dari
Penyidik. Begitu juga di tingkat pengadilan, Hakim wajib mengupayakan diversi
paling lama 7 hari setelah Hakim Pengadilan Negeri menunjuk Hakim yang
menangani perkara pidana anak. UU SPPA juga menetapkan waktu maksimal di
masing-masing tingkat pemeriksaan itu maksimal selama 30 hari.

108
Muhammad Aenur Rosyid, Nurini Aprilianda, Lucky Endrawati, “Alternatif Model
Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing (Analisis
Yuridis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak ),” http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/375_JURNAL-AENUR.pdf
109
“Analisis UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Pada Tingkat
Penyidikan,” http://www.pn-
stabat.go.id/userfiles/file/Bahan%20Presentasi/ANALISIS%20UU%20NO%2011%20TAHUN%2
02012%20TENTANG%20SISTIM%20PERADILAN%20ANAK%20DALAM%20PERSFEKTIP
%20PENEGAK%20HUKUM.pdf
110
Pasal 13 UU SPPA

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


59

Sebelum melakukan diversi, Petugas akan memulainya dengan menggali


informasi kemungkinan untuk melaksanakan proses diversi tersebut seperti
melakukan penyidikan dan mempertimbangkan penelitian kemasyarakatan dari
Balai Bapas. Upaya diversi akan dilakukan jika tindak pidana yang dilakukan
anak menimbulkan korban atau kerugian bagi pihak lain. 111
Proses diversi juga baru akan dilakukan jika anak mengakui kesalahannya,
termasuk kesediaan anak atau keluarga untuk meminta maaf. Selain itu,
kemungkinan diversi juga akan mempertimbangkan persetujuan dari pihak korban
dan masyarakat setempat agar penyelesaian perkara pidana anak ditempuh melalui
jalur diversi ini. 112 Semakin rendah ancaman pidana terhadap si anak, maka
semakin tinggi prioritas untuk dilakukan diversi. Diversi tidak dimaksudkan
untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya
pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam
pidana di atas 7 (tujuh) tahun. 113
Diversi ditempuh dengan mekanisme musyawarah dan melibatkan seluruh
pihak terkait, yaitu anak dan orang tuanya, korban dan/atau orang tua/Walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif. Jika dirasa perlu, musyawarah diversi juga dapat melibatkan
tenaga kesejahteraan sosial, dan masyarakat. Menurut Novelina Ms Hutapea,
program-program diversi dapat menjadi bentuk restorative justice, bila:114
1. Mendorong pelaku untuk bertanggung jawab atas perbuatannya
2. Memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengganti kesalahan dilaku-
kannya dengan berbuat kebaikan bagi si korban
3. Memberikan kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses
4. Memberikan kesempatan bagi pelaku untuk dapat mempertahankan
hubungan keluarga
5. Memenuhi kebutuhan mereka yang dirugikan oleh tindak pidana

111
Sufridi PinimAnggara, Panduan Praktis untuk Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum, Adiani Viviana, (ed.) (Institute for Criminal Justice Reform), hal. 12.
112
Ibid.
113
Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a UU SPPA.
114
Hutapea, Op. Cit., hal. 11.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


60

6. Memberikan kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam


masyarakat yang dirugikan oleh tindak pidana
Jika proses diversi berhasil mencapai kesepakatan, maka proses hukum
anak akan dihentikan, dan maksimal tiga hari, kesepakatan diversi akan
disampaikan oleh pejabat yang bertanggungjawab ke Pengadilan Negeri untuk
ditetapkan. Namun jika proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan, maka
proses hukum anak bisa dilanjutkan kembali.
Bentuk kesepakatan diversi antara lain berbentuk perdamaian dengan atau
tanpa ganti rugi, penyerahan kembali kepada orang tua/wali, keikutsertaan anak
dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS) paling lama tiga bulan, atau
pelayanan masyarakat paling lama tiga bulan. Jika proses diversi berhasil
dilakukan dan penetapan Pengadilan Negeri sudah disampaikan kepada orang
tua/wali anak, sangat disarankan agar anak mematuhi dan menjalankan hasil
kesepakatan diversi tersebut. Jika kesepakatan diversi ini tidak dilakukan, maka
diversi dianggap gagal dan proses hukum anak bisa dilanjutkan kembali melalui
jalur formal.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa proses diversi dalam
Pasal 8 UU SPPA dilakukan dengan musyawarah dengan melibatkan anak
dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya, pembimbing
kemasyarakatan, dan pekerja sosial professional berdasarkan pendekatan
keadilan restoratif. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) dijelaskan bahwa orang tua
dan wali korban dilibatkan dalam proses diversi dalam hal korban adalah anak.
Pasal 8 tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :115
1. Korban dan keluarga korban
Keterlibatan korban dan keluarga korban dalam pelaksanaan restorative
justice tersebut penting sekali. Hal ini dikarenakan selama ini dalam
sistem peradilan pidana, korban kurang dilibatkan padahal koban adalah
pihak yang telibat langsung dalam konflik (pihak yang menderita
kerugian). Dalam musyawarah tersebut suara atau kepentingan korban
penting untuk didengar dan merupakan bagian dari putusan yang akan

115
Wati, Loc. Cit.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


61

diambil. Selanjutnya kenapa keluarga korban dilibatkan karena umumnya


konflik pidana sering menjadi persoalan keluarga apalagi bila korban masih
dibawah umur.
2. Pelaku dan keluarganya
Pelaku dan keluarganya adalah pihak yang mutlak dilibatkan karena
keluarga pelaku karena usia pelaku yang belum dewasa (anak). Keterlibatan
keluarga pelaku dianggap sangat penting karena keluarga menjadi bagian
dari kesepakatan dalam penyelesaian seperti halnya dalam pembayaran
ganti rugi, atau pelaksanaan kompensasi lainnya.
3. Wakil masyarakat
Wakil masyarakat ini sangat penting mewakili kepentingan dari
lingkungan dimana peristiwa tersebut terjadi. Tujuannya agar kepentingan –
kepentingan yang bersifat publik diharapkan tetap dapat terwakilkan dalam
pengambilan keputusan.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


62

BAB III

ANALISA TERHADAP PASAL 21 UNDANG-UNDANG SISTEM


PERADILAN PIDANA ANAK

3.1 Pandangan Terhadap Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana


Anak
Pada saat penelitian ini dilakukan UU SPPA memang belum berlaku (baru
akan berlaku pada Agustus 2014), namun bukan berarti upaya diversi, yang
menjadi inti dari penelitian ini, belum dilakukan. Sebelum berlakunya UU SPPA,
pelaksanaan diversi dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan (Bapas) dengan langkah
sebagai berikut:

sumber: Sri Susilarti, Tatan Rahmawan, dan G.A.P. Suwardhani, Modul Pembimbing
Kemasyarakatan: Modul V Diversi, (t.k: direktorat jendral pemasyarakatan, 2012), hal. 221.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


63

Meskipun Ditjen Pemasyarakatan telah mengeluarkan modul mengenai diversi


tersebut, akan tetapi Bapas Jakarta Selatan belum mempraktekannya. 116
Sedangkan PSMP Handayani sudah melakukan diversi terhadap 3 orang anak di
tahun 2013117 dan Polres Metro Jakarta Selatan pada tahun yang sama juga sudah
melakukan diversi terhadap sekitar 150 orang anak. 118 Dengan demikian,
meskipun UU SPPA belum sepenuhnya berlaku, kiranya aparat penegak hukum
telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai konsep diversi sehingga dapat
mempraktikannya.
Berdasarkan asumsi tersebut, penulis kemudian melakukan penelitian
dengan mewawancarai beberapa pihak terkait diversi Pasal 21 UU SPPA, antara
lain Pembimbing Kemasyarakatan (PK) dari Balai Pemasyarakatan Jakarta
Selatan119, Penyidik Anak dari Polres Metro Jakarta Selatan ,yaitu Mariana
Widiastuti, Kasubnit PPA, dan Pekerja Sosial (Peksos) dari Panti Sosial Marsudi
Putra Handayani, yaitu Sudiyana, sebagai pihak-pihak yang nantinya akan
melaksanakan ketentuan Pasal 21. Selain itu, penulis juga mewawancarai salah
seorang anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari UU
SPPA, yaitu Christina Sri Widyastuti, Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan Klien
Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, sebagai pihak diluar pelaksana yang dianggap
memiliki pengetahuan lebih terhadap Pasal 21 UU SPPA.
Diversi merupakan proses hukum dimana seorang anak bermasalah dengan
hukum tidak diproses melalui pengadilan anak, hal ini bertujuan agar anak yang

116
Wawancara dengan Saida Sitanggang, Kasubsie Bimkemasy Bapas Jakarta Selatan, 21
Mei 2014.
117
Wawancara dengan Sudayana, Pekerja Sosial PSMP Handayani, 20 Mei 2014.
118
Wawancara dengan Mariana Widiastuti,Kasubnit PPAPolres Metro Jakarta Selatan,20
Mei 2014. Jumlah anak yang diberikan Mariana Widiastuti bukanlah jumlah spesifik, tetapi hanya
rata-rata jumlah anak yang berhasil didiversi di tahu n 2013.
119
Dalam wawancara dengan PK di Bapas pada tanggal 2 Mei 2014, penulis
mewawancarai tiga orang PK, Penulis pertama mewawancarai Kasubsie Bimkemasy, yaituSaida
Sitanggang, namun karena beliau merasa pemahamannya kurang mengenai Pasal 21 UU SPPA,
maka beliau menyarankan penulis untuk mewawancarai rekan beliau, yaitu Sri Sinta, yang
merupakan Kasubsi Bimbingan Kerja Klien Anak, di tengah wawancara ternyata Sri Sinta harus
memenuhi panggilan kerja, maka beliau minta digantikan oleh Karto Sugiarto yang merupakan
Kasubsi Registrasi, yang juga telah mengikuti Bimtek (Bimbingan Teknis) mengenai UU SPPA.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


64

melanggar hukum tidak harus dijatuhi hukuman atau masuk penjara. 120Proses
diversi dilakukan dengan melibatkan pelaku dan korban untuk menyelesaikan
perkara dengan cara damai, sehingga perkara tidak perlu dilanjutkan. 121 Konsep
diversi pada intinya mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak dan
supaya perkara anak jangan sampai dibawa ke meja hijau, karena ditakutkan
membawa pengaruh buruk bagi anak dan masa depannya. 122 Pelaksanaan diversi
menggunakan asas musyawarah untuk menyelesaikan suatu kasus atas permintaan
dari pelaku kepada korban dan melibatkan pelaku dan keluarga, korban dan
keluarga, dapat juga didampingi oleh pekerja sosial, tokoh masyarakat, tokoh
agama, ataupun pengacara. Diversi tidak untuk mencari salah dan benar tapi untuk
penyelesaian terbaik masalah, dengan tujuan agar masalah tersebut tidak dimeja
hijaukan atau menghindari persidangan. 123 Pendapat-pendapat mengenai diversi
tersebut sebelumnya memiliki kesesuaian atau kemiripan satu sama lain, maka
dapat disimpulkan bahwa diversi merupakan:
1. Proses penyelesaian perkara anak diluar sidang pengadilan
2. Untuk menghindari pemidanaan dan dampak buruk sistem peradilan terhadap
anak
3. Dilaksanakan secara musyawarah melibatkan pelaku, korban, beserta keluarga
masing-masing.
4. Dapat pula melibatkan pekerja sosial, tokoh masyarakat, tokoh agama,
ataupun pengacara.
Dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA, diversi diartikan sebagai pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan
anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak

120
Wawancara dengan Christina Sri Widyastuti, Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan
Klien Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
dari UU SPPA, 21 April 2014.
121
Wawancara dengan Sri Sinta,Kasubsi Bimbingan Kerja Klien Anak Bapas Jakarta
Selatan, 2 Mei 2014.
122
Wawancara dengan MarianaWidiastuti, Kasubnit PPAPolres Metro Jakarta Selatan, 5
Mei 2014.
123
Wawancara dengan Sudiyana,Pekerja Sosial PSMP Handayani, 6 Mei 2014.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


65

dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi, dan


menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.124 Proses Diversi dilakukan
melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban
dan/atau orang tua/Walinya (dalam hal korban adalah anak), Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif, dapat juga melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
dan/atau masyarakat (tokoh agama, guru, tokoh masyarakat).125 Apabila pendapat-
pendapat mengenai pengertian diversi tersebut dibandingkan dengan pengertian
diversi dalam UU SPPA, maka pendapat tersebut pada dasarnya telah sesuai,
hanya saja terdapat kekurangan mengenai pihak-pihak yang terlibat dalam proses
diversi dimana Pembimbing Kemasyarakatan (PK) tidak disebutkan.
Dalam UU SPPA, anak disebut sebagai Anak yang Berhadapan dengan
Hukum yang kemudian dibagi menjadi anak yang berkonflik dengan hukum,
anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak
pidana. Dalam pembahasan ini hanya akan difokuskan pada Anak yang
Berkonflik dengan Hukum126, terutama anak yang belum berumur 12 tahun dalam
Pasal 21 UU SPPA.
Pasal 21 ayat (1) UU SPPA berbunyi:
(1) Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja
Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:
a. menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
b. mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan
pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani
bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling
lama 6 (enam) bulan.
Mariana Widiastuti (Penyidik), Saida Sitanggang (PK), dan Sudiyana (Peksos)
menganggap tindakan penyidik, Pembimbing Kmasyarakatan, dan Pekerja Sosial
mengambil keputusan bagi anak dalam Pasal tersebut merupakan proses diversi,

124
Pasal 6 UU SPPA
125
Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU SPPA
126
Pasal 1 angka 3 UU SPPA mendefinisikan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


66

berbeda halnya dengan Christina Sri Widyastuti. (Penyusun RPP) yang


menganggap bahwa tindakan tersebut bukanlah proses diversi.
Christina Sri Widyastuti. beranggapan bahwa diversi merupakan
penyelesaian perkara di luar sidang, tindakan dalam Pasal 21 ayat (1) itu juga
termasuk penyelesaian di luar sidang, namun Beliau tidak menyebutnya sebagai
diversi karena anak yang dimaksud pasal tersebut belum mencapai usia 12 tahun,
sedangkan diversi diberlakukan untuk anak yang sudah mencapai usia 12 sampai
dengan 18 tahun. Berarti anak dalam Pasal 21 ayat (1) itu dikategorikan anak yang
masih di bawah umur, sehingga tindakan itu namanya bukan diversi. Untuk anak
yg belum mencapai 12 tahun tidak boleh dimasukan ke proses diversi, yang dapat
didiversikan adalah anak usia 12 sampai dengan 18 tahun dengan tingkat tuntutan
hukuman di bawah 7 tahun, bukan residivis. 127 Lebih lanjut Beliau menjelaskan
bahwa perbuatan dalam Pasal 21 ayat (1) tersebut penyebutannya memang sampai
saat ini belum ada, tetapi bukan diversi, bukan juga tindakan, hanya musyawarah
saja antara Kepolisian, Pekerja Sosial Profesional, Bapas, dan orang tua.
Perbuatan dalam Pasal tersebut lebih cenderung kepada pendampingan anak
sekaligus untuk mencari apakah dalam melakukan perbuatannya, terdapat orang
dewasa yang berperan. 128
Pendapat Christina Sri Widyastuti tersebut ada benarnya, apabila kita
merujuk pada Bab II tentang Diversi pada UU SPPA, maka dapat kita ketahui
bahwa Anak yang dimaksud dalam bab tersebut adalah Anak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, yaitu anak yang berumur 12 sampai dengan 18
tahun. Sedangkan dalam Pasal 21 ayat (1) jelas dikatakan bahwa anak yang
dimaksud Pasal ini adalah anak yang belum berumur 12 tahun. Sehingga ada
benarnya bila beliau menganggap bahwa diversi hanya berlaku bagi anak umur 12

127
Pasal 7 UU SPPA berbunyi:
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri
wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
128
Wawancara dengan Christina Sri Widyastuti, Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan
Klien Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
dari UU SPPA, 21 April 2014.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


67

sampai 18 tahun, dan diluar dari pada itu bukan disebut diversi. Namun, apabila
kita melihat dari pengertian diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana,
maka pengambilan keputusan bagi anak oleh Penyidik, PK, dan Peksos dalam
Pasal 21 ayat (1) tersebut adalah proses diversi perkara anak yang dilakukan
dengan pemberian tindakan berupa anak dikembalikan pada orang tua, atau anak
diserahkan ke LPKS. Diversi pada intinya merupakan pengalihan suatu kasus
dari upaya penyelesaian melalui proses peradilan formal, jadi meskipun dalam
Pasal 21 ayat (1) itu tidak secara tegas disebutkan dalam rumusan Pasalnya bahwa
pengambilan keputusan itu merupakan suatu proses diversi, sebenarnya ada proses
diversi disana.
Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya, bahwa Penyidik, PK, dan
Peksos berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan dalam Pasal 21 ayat (1)
merupakan suatu langkah diversi. Jika demikian, maka timbul pertanyaan
mengapa proses diversi itu hanya melibatkan penyidik, PK, dan Peksos? Hal ini
tidak seperti Pasal 8 UU SPPA yang menyatakan bahwa diversi melibatkan Anak
dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif, dapat juga melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
dan/atau masyarakat.
Mengenai hal ini, Saida Sitanggang (PK) berpendapat bahwa mekanisme
diversi dalam Pasal 21 ayat (1) ini berbeda dengan mekanisme dalam Pasal 8,
karena diversi dalam Pasal 21 ayat (1) ini khusus untuk anak yang belum
mencapai 12 tahun, sedangkan Pasal 8 merupakan mekanisme diversi untuk anak
yang berumur 12 sampai dengan 18 tahun. Sri Sinta, sesama PK, yang penulis
temui terpisah, juga berpendapat sama dengan Saida Sitanggang. Berbeda halnya
dengan Mariana Widiastuti (Penyidik) yang berpendapat bahwa perbedaan ini
dikarenakan Pasal 8 berlaku untuk diversi pada tahap awal sebelum masuk
pengadilan (tahap penyidikan dan penuntutan), sementara diversi dalam Pasal 21
ayat (1) hanya untuk diversi dalam tahap pemeriksaan di pengadilan, yaitu
apabila proses diversi pada Pasal 8 tidak tercapai dan proses anak berlanjut terus
sampai pengadilan. Sementara Sudiyana (Peksos) berpendapat serupa dengan

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


68

Saida Sitanggang, yaitu bahwa ketentuan bagi diversi anak yang belum mencapai
12 tahun dalam Pasal 21 ayat (1) berbeda dengan ketentuan diversi bagi anak yang
berumur 12 sampai 18 tahun dalam Pasal 8. Pembedaan ini merupakan
pengecualian bagi anak yang belum 12 untuk tidak di sidang karena anak umur
sekian dianggap belum paham atas apa yang telah dilakukannya.
Dalam hal ini penulis sependapat dengan Saida Sitanggang dan Sudiyana,
bahwa Pasal 21 ayat (1) merupakan suatu mekanisme diversi yang berbeda
dengan mekanisme diversi dalam Pasal 8 karena Pasal 21 ayat (1) ini ditujukan
khusus untuk anak yang belum berumur 12 tahun. Sedangkan Pasal 8 merupakan
diversi bagi anak secara umum, yaitu bagi anak berumur 12 sampai dengan 18
tahun. Dalam Pasal 8 ini memang tidak disebutkan secara tegas dalam rumusan
Pasalnya maupun penjelasan mengenai batasan umur anak yang dimaksud, dengan
demikian kita kembali merujuk pada ketentuan umum, maka jelas bahwa anak
disini adalah anak yang dimaksud Pasal 1 angka 3, yaitu anak yang telah berumur
12 tetapi belum berumur 18.
Mengenai pendapat Mariana Widiastuti selaku penyidik, yang
membedakan Pasal 8 dengan Pasal 21 ayat (1) dari segi berlakunya, yaitu diversi
pada Pasal 8 berlaku pada tahap penyidikan dan penuntutan, sementara diversi
pada Pasal 21 ayat (1) berlaku pada tahap pemeriksaan di pengadilan, penulis
tidak sependapat. Lebih lanjut Mariana Widiastuti menjelaskan bahwa Penyidik
dalam Pasal 21 ayat (1) tersebut tidak terbatas pada penyidik dari Kepolisian saja,
tetapi jaksa juga termasuk penyidik. Karena proses diversi ini Beliau maknai
sebagai proses diversi yang terjadi di pengadilan, maka penyidik dalam Pasal ini
adalah Jaksa. Kemudian proses pengambilan keputusan dalam Pasal 21 ayat (1)
diartikan sebagai pengambilan keputusan di sidang pengadilan yang melibatkan
ketiga pihak tersebut (Penyidik, Pk, Peksos) dalam prosesnya. Apakah hasil
keputusan bagi anak berupa pengembalian pada orang tua atau anak diserahkan ke
LPKS merupakan wewenang majelis hakim dalam pengambilan keputusan,
sementara ketiga lembaga tersebut hanya diminta pendapatnya. Jadi hasil
keputusan dalam Pasal 21 ayat (1) adalah berupa putusan pengadilan.
Beliau juga menganggap proses diversi bagi anak yang belum mencapai 12
tahun sama dengan proses diversi bagi anak usia 12 sampai dengan 18 tahun.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


69

Dimana diversi anak terdapat di setiap tingkatan, dan bila diversi tidak tercapai
atau kesepakatan diversi tidak dijalankan, maka perkara anak berlanjut ke tahap
peradilan selanjutnya, 129 sedangkan apabila diversi tercapai maka proses hukum
dihentikan (lihat skema). Apabila upaya diversi berhasil mencapai kesepakatan,
maka hasil kesepakatan itu tidaklah dimintakan penetapan ke pengadilan,
melainkan hanya berupa kesepakatan yang dituangkan oleh kedua belah pihak
dalam kertas bermaterai.

129
Pasal 13 UU SPPA menyatakan bahwa, proses peradilan pidana Anak dilanjutkan
dalam hal:
a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


70

Skema Proses Diversi Anak Berdasarkan UU SPPA

Penyidikan

diversi berhasil diversi gagal

penyidikan lanjut,
penetapan Ka PN pelimpahan
perkara ke PU

Penuntutan

diversi berhasil diversi gagal

pelimpahan ke
penetapan Ka PN
Pengadilan

Pemeriksaan di
Sidang
Pengadilan

diversi berhasil diversi gagal

lanjut ke tahap
penetapan Ka PN
persidangan

putusan

Diolah dari: Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


71

Tak hanya Mariana Widiastuti yang berpendapat seperti tersebut


sebelumnya, Karto Sugiarto (PK) juga berpendapat sama, bahwa dalam Pasal 21
ayat (1) UU SPPA, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial
hanya menyarankan pada Majelis Hakim mengenai hasil diversi yang terbaik bagi
anak, sementara keputusan akhir mengenai apa yang akan diberikan pada anak
tetap tergantung pada putusan pengadilan. Beliau juga menekankan bahwa
terhadap anak yang belum mencapai umur 12 tahun, proses diversi yang
diberlakukan terhadapnya sama dengan proses diversi bagi anak yang berumur 12
sampai dengan 18 tahun, yaitu dalam hal proses diversi anak tidak tercapai atau
hasil kesepakatan tidak dilaksanakan di tahap penyidikan, maka proses hukum
akan berlanjut ke penuntutan, kemudian apabila diversi tidak tercapai atau tidak
dijalankan lagi di penuntutan maka perkara berlanjut ke pengadilan, bila di
pengadilan diversi masih tetap tidak tercapai atau tidak dijalankan maka proses
hukum anak dilanjutkan sampai pada tahap penjatuhan putusan.
Penulis tidaklah sependapat dengan Mariana Widiastuti dan Karto Sugiarto
dikarenakan: Pertama, dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) paragraf 1 UU SPPA
disebutkan bahwa:
“Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak untuk dapat diajukan ke
sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan
pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun
dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.”
Berdasarkan penjelasan Pasal tersebut, dapat kita ketahui bahwa Pasal 21 ayat (1)
berlaku bagi anak yang belum mencapai umur 12 tahun, sedangkan umur 12 tahun
merupakan batas umur yang dapat diajukan ke sidang anak. Dengan kata lain
sebelum umur 12, anak tidak dapat diajukan ke sidang anak. Maka dari itu Pasal
21 ayat (1) tidaklah mungkin berlaku sebagai diversi pada tahap pemeriksaan di
pengadilan, karena Pasal 21 ayat (1) mengatur anak yang belum berumur 12 tahun
yang belum dapat diajukan ke sidang anak.
Kedua, penyidik dalam Pasal 21 ayat (1) ini bukanlah Jaksa seperti
dikemukakan Mariana Widiastuti, melainkan penyidik dari kepolisian. Memang
dalam Pasal 1 angka 8, penyidik hanya didefinisikan sebagai penyidik anak,
namun bila kita melihat ketentuan Bab III Bagian Kedua tentang Penyidikan,

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


72

dalam Pasal 26 ayat (1)130 jelas dikatakan bahwa penyidik ditetapkan oleh
Kapolri, berarti Penyidik disini merupakan penyidik Polri. Lagi pula sebelumnya
Mariana Widiastuti juga berpendapat bahwa Pasal 21 ayat (1) ini berlaku pada
tahap pemeriksaan di pengadilan, jika memang yang dimaksud dengan penyidik
adalah jaksa, mengapa jaksa tersebut masih dikatakan penyidik bukan penuntut
umum? Penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan, 131 sedangkan tahap
pemeriksaan di pengadilan sudah bukan tahap penyidikan lagi, tetapi mengapa
jaksa disana masih bertindak sebagai penyidik? Ataukah Jaksa dalam sidang itu
bertindak sebagai Penyidik sekaligus Penuntut Umum? Hal-hal semacam inilah
yang penulis rasa tidak tepat.
Ketiga, tidaklah mungkin proses diversi bagi anak yang belum berumur 12
tahun sama seperti proses diversi bagi anak berumur 12 sampai dengan 18 tahun.
Proses diversi bagi anak umur 12 sampai 18 tahun berada di setiap tingkat
peradilan mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan, sementara bagi anak yang belum berumur 12 tahun tidak diproses
melalui sistem peradilan pidana, seperti dikemukakan dalam penjelasan Pasal 21
ayat (1) paragraf kedua, yaitu:
“Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap Anak dilakukan
bukan dalam rangka proses peradilan pidana, melainkan digunakan sebagai
dasar mengambil keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional.”
Selain itu, dalam naskah akademik RUU Pengadilan Anak yang merupakan
naskah akademik dari UU SPPA ketika masih berbentuk rancangan menyatakan
bahwa:132
“Khusus mengenai penjatuhan pidana terhadap UU ini, ditentukan berdasarkan
perbedaan umur anak, yaitu:

130
Pasal 26 ayat (1) berbunyi,
(1) Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
131
Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan
bahwa Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
132
BPHN, Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Rancangan
Undang-Undang Pengadilan Anak, Mugiyati,Theodrik Simorangkir, Ninuk Arifah, (ed.) (Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009), hal. 37-38.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


73

a. Bagi anak di bawah 8 tahun, undang-undang tidak memberikan beban


pertanggungjawaban pidana kepada mereka;
b. Bagi anak yang masih berumur 8-12 tahun hanya dikenakan tindakan seperti
dikembalikan kepada orang tua, ditempatkan pada organisasi sosial, atau
diserahkan pada negara;
c. Sedang bagi anak yang telah mencapai usia 12-18 tahun dapat dijatuhkan
pidana.”
Hal tersebut dalam huruf b dan huruf c, juga disebutkan dalam Penjelasan Umum
atas UU SPPA.133 Dengan demikian jelas bahwa dalam UU SPPA terdapat
perbedaan perlakuan bagi anak yang belum 12 tahun dengan anak yang berumur
12 sampai 18 tahun, bahwa terhadap anak yang belum 12 tahun hanya dapat
dikenai tindakan. Meskipun demikian tindakan dalam Pasal 21 tidak termasuk
opsi anak “diserahkan pada negara” sebagaimana naskah akademik tersebut,
karena UU SPPA tidak memberi pengaturan tentang Anak Negara. Perbedaan
lainnya adalah bahwa diversi bagi anak yang belum 12 tahun ini tidak mungkin
tidak menghasilkan kesepakatan seperti diversi pada anak umur 12 sampai 18
tahun, karena pada diversi Pasal 21 ayat (1) tidak melalui musyawarah yang
melibatkan korban, hanya penyidik, PK, dan Peksos yang mengambil keputusan
bagi anak apakah dikembalikan pada orang tua, atau dibina di LPKS.
Apabila pada penjelasan sebelumnya Karto Sugiarto mengemukakan
bahwa penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial hanya
memberikan saran untuk keputusan diversi bagi anak, sementara keputusan akhir
diversi ada pada putusan pengadilan, tidak berarti bahwa rekan kerjanya sesama
PK berpendapat sama. Saida Sitanggang berpendapat bahwa dalam diversi Pasal
21 ayat (1) tetap melibatkan korban walaupun dalam rumusan Pasal tidak
dituliskan. Jadi pihak yang terlibat dalam diversi bukan hanya Penyidik, PK, dan
Peksos, tetapi juga pelaku dan korban. Kemudian mekanisme diversi dalam Pasal
21 ayat (1) dilakukan dengan cara musyawarah antara pihak-pihak yang terlibat,
kemudian apabila kesepakatan diversi antara para pihak tercapai,
barulahkeputusan dibuat oleh Penyidik, PK, dan Peksos. Dalam Pasal 21 ayat

133
Penjelasan Umum atas UU SPPA menyebutkan bahwa “Khusus mengenai sanksi
terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih
berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak
yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat
dijatuhi tindakan dan pidana.”

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


74

(1) terdapat 2 pilihan keputusan yang dapat diberikan pada anak. Apabila anak
melakukan tindak pidana yang tergolong ringan atau bukan tindak pidana berat,
maka anak bisa kembali pada orang tua. Namun apabila anak melakukan tindak
pidana berat, maka anak akan diserahkan ke LPKS. Kemudian Sri Sinta
menambahkan bahwa dasar pengambilan keputusan dalam Pasal 21 ayat (1)
adalah temuan masing-masing pihak, Bapas didasarkan pada Litmas, polisi
didasarkan pada hasil penyidikan, dan pekerja sosial didasarkan pada laporannya.
Pendapat Saida Sitanggang yang mengatakan dalam mekanisme diversi
Pasal 21 ayat (1) dilakukan dengan cara musyawarah yang melibatkan pelaku,
korban, penyidik, PK, dan Peksos, kemudian apabila diversi berhasil dicapai
kesepakatan, barulah keputusan dibuat untuk anak. Mekanisme ini terjadi bila
diversi tercapai, bagaimana bila tidak tercapai? Tentunya proses hukum
dilanjutkan. Menurut penulis, dalam hal ini, pendapat Saida Sitanggang tidak
berbeda dari pendapat Karto Sugiarto yang disebut sebelumnya bahwa mekanisme
diversi bagi anak berumur belum 12 tahun sama dengan mekanisme bagi anak
umur 12 sampai 18 tahun, yaitu diversi berada di setiap tingkat peradilan mulai
dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Anak yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana adalah anak yang melakukan tindak pidana
pada saat berusia 12 sampai dengan 18 tahun134, sedangkan anak di bawah 12
tahun belum bisa. Memang sebelumnya Saida Sitanggang membedakan anak yang
belum 12 tahun berlaku Pasal 21 ayat (1), sedangkan anak 12 sampai 18 tahun
berlaku Pasal 8, tapi sepertinya beliau tidak membedakan proses diversi yang
terjadi di setiap tingkat peradilan hanya terjadi bagi anak 12 sampai 18 tahun saja,
dan tidak bagi anak yang belum 12 tahun.
Pendapat yang cukup berbeda mengenai mekanisme Pasal 21 ayat (1)
datang pula dari Sudiyana (Peksos), yaitu proses pengambilan keputusan dalam
Pasal 21 ayat (1) tidak berarti bahwa Penyidik, PK, dan Peksos berkumpul dan
bermusyawarah kemudian mengambil keputusan. Hal ini tidaklah cukup, proses
tersebut diawali dengan proses assesment yang dilakukan Peksos, litmas
(penelitian kemasyarakatan) yang dilakukan PK, kemudian keduanya
digabungkan untuk disampaikan ke penyidik untuk kemudian diambil keputusan

134
BPHN, Op. Cit., hal. 131.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


75

bagi anak. Dasar untuk memutuskan apakah anak kembali ke orang tua atau
diserahkan ke LPKS salah satunya adalah Assesment keluarga oleh Peksos,
apakah keluarga yang baik atau tidak bagi anak. Kalau keluarganya adalah
keluarga yang baik, maka anak dikembalikan ke orang tua, tetapi bila menurut
pertimbangan peksos merupakan keluarga yang buruk, maka anak diserahkan ke
LPKS.
Pendapat selanjutnya datang dari Christina Sri Widyastuti bahwa
Kebijakan untuk anak yang belum mencapai 12 tahun itu dimusyawarahkan antara
kepolisian tempat anak dilaporkan, Peksos dari LPKS tempat anak tinggal
sementara untuk perlindungannya, kemudian PK dari Bapas. Ketiga lembaga itu
bermusyawarah untuk mencapai keputusan yang terbaik untuk anak. Keputusan
itu didasarkan pada penelitian PK (litmas), temuan polisi, dan temuan Peksos.
Apabila anak itu ada orang tuanya, keputusan diarahkan untuk anak diserahkan
kembali pada orang tuanya. Tapi kalau orang tua tidak ada, misalnya seperti anak
negara yang tidak jelas keberadaan orang tuanya, maka anak akan diserahkan ke
LPKS.
Perbedaan pendapat antara penyidik, PK, Peksos, dan Penyusun RPP
dalam hal mekanisme pengambilan keputusan bagi anak dalam Pasal 21
menunjukkan bahwa belum ada kesatuan pendapat mengenai proses pengambilan
keputusan yang bagaimana yang dimaksud dengan Pasal tersebut. Hal ini wajar
saja terjadi, mengingat RPP belum selesai disusun dan UU SPPA belum berlaku
sepenuhnya sehingga belum dapat dilihat pelaksanaan konkritnya seperti apa.
Apabila kita melihat pendapat Christina Sri Widyastuti sebagai anggota Tim
Penyusun RPP, maka agaknya proses pengambilan keputusan yang dimaksud UU
SPPA dan nantinya mungkin akan diperjelas dalam RPP, dilakukan dengan cara
musyawarah antara Penyidik, PK, dan Peksos.
Pendapat Christina Sri Widyastuti sebelumnya agak mirip dengan
pendapat Saida Sitanggang dalam hal para pihak yang terlibat dalam mekanisme
diversi Pasal 21 tersebut. Saida menyatakan bahwa dalam proses itu, korban dan
pelaku juga diikutsertakan. Sementara Christina berpendapat hanya anak pelaku
beserta penyidik, PK, dan Peksos yang ikut serta. Pelaku diikutsertakan untuk
dimintakan keterangannya. Penulis setuju dengan pendapat Christina tersebut, lagi

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


76

pula hal ini didukung dengan penjelasan Pasal 21 ayat (1) paragraf kedua yang
telah disebutkan sebelumnya, yaitu terdapat proses pemeriksaan yang dilakukan
oleh Penyidik terhadap Anak, berarti disini terdapat keterlibatan anak sebagai
pelaku. Hal ini merupakan penjelasan lebih lanjut terhadap pertanyaan
sebelumnya mengenai perbedaan pihak yang terlibat dalam Pasal 21 dengan pihak
dalam Pasal 8, maka jelas bahwa dalam Pasal 21 tidak melibatkan korban,
sedangkan anak pelaku tetap dilibatkan.
Mengenai hal-hal yang mendasari pengambilan keputusan, Sri Sinta,
Sudayana, dan Christina Sri Widyastuti memiliki pendapat-pendapat yang sama.
Yaitu bahwa pengambilan keputusan bagi anak didasarkan atas temuan para
pihak, litmas dari PK, dan hasil Asessment dari Peksos. Hasil penyidikan sebagai
dasar pengambilan keputusan dan litmas sebagai persyaratan sebelum
pengambilan keputusan, disebutkan dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU SPPA,
tetapi hasil asessment dari Peksos tidaklah disebutkan. Jadi, penulis berpendapat
yang wajib ada dan dijadikan dasar pengambilan keputusan adalah hasil
penyidikan dan litmas, sedangkan untuk hasil asessment dapat dijadikan bahan
pertimbangan saja.
Setelah membahas perbedaan pendapat yang terjadi dalam memaknai
Pasal 21 ayat (1) UU SPPA, selanjutnya kita akan membahas Pasal 21 ayat (2)
yang berbunyi:
“Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan
untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.”
Sri Sinta mengatakan bahwa yang dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat (2) adalah
bahwa hasil keputusan yang didapat melalui Pasal 21 ayat (1) kemudian
diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan oleh pengadilan dalam jangka waktu 3
hari. Pendapat tersebut diamini oleh Crhistina Sri Widyastuti yang berpendapat
bahwa jangka waktu 3 hari dimaksud Pasal 21 ayat (2) adalah jangka waktu untuk
menunggu penetapan pengadilan, karena untuk menitipkan anak tanpa penetapan
pengadilan itu tidak diijinkan, walaupun di LPKS. Sedangkan untuk jangka waktu
bagi proses pemeriksaan anak yang belum 12 (Pasal 21 ayat (1)) semakin cepat
semakin baik, tapi tidak ditentukan waktunya.
Kedua pendapat tersebut berbeda dengan Mariana Widiastuti, yang
sebelumnya berpendapat bahwa proses diversi pada Pasal 21 ayat (1) berlaku di

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


77

tingkat pengadilan, maka Pasal 21 ayat (2) merupakan penegasan bahwadiversi itu
terjadi di tingkat pengadilan, maka diversi ditetapkan oleh pengadilan. Sedangkan
Saida Sitanggang dan Sudiyana mengaku kurang paham dengan maksud Pasal 21
ayat (2). Saida Sitanggang Cenderung mengartikan Pasal tersebut sebagai
pelimpahan perkara anak ke pengadilan atau berarti bahwa kasus anak diproses
lebih lanjut. Sementara Sudiyana berpendapat bahwa hasil diversi tidak dikuatkan
dengan penetapan pengadilan, justru menghindari proses peradilan karena
dikhawatirkan ada traumatik bagi anak, sama halnya dengan Saida, beliau juga
cenderung mengartikan Pasal tersebut sebagai langkah apabila diversi tidak
berhasil dan kemudian kasus dilanjutkan ke proses persidangan di pengadilan.
Apabila dilihat dari redaksi Pasal 21 ayat (2), yang dalam penjelasan
Pasalnya dikatakan “cukup jelas”, berarti bahwa hasil keputusan yang diambil
oleh Penyidik, PK, dan Peksos bagi anak kemudian diserahkan ke pengadilan
untuk mendapat penetapan pengadilan, bukan berarti proses hukum anak dibawa
ke pengadilan, karena penetapan bukan berarti putusan pengadilan, keduanya
berbeda. Penetapan adalah perbuatan hukum sepihak yang bersifat administrasi
negara dilakukan oleh pejabat atau instansi penguasa (negara) yang berwenang
dan berwajib. Sedangkan putusan adalah hasil dari pemeriksaan suatu perkara,
yang terdiri dari putusan bebas, yaitu putusan akhir yg menyatakan pelaku bebas
dari perkara dan putusan sela, yaitu putusan sementara/pertengahan dalam suatu
perkara.135
Setelah selesai pelaksanaan diversi Bapas masih melakukan pengawasan
dan pembimbingan. 136 Pengawasan dalam hal pemenuhan kesepakatan yang
dibuat dalam diversi. Sedangkan pembimbingan dilakukan Bapas bersama orang
tua, apabila anak (berdasarkan hasil keputusan) kembali ke orang tua. Walaupun
orang tua masih ada, akan tetapi tidak sanggup mengurus anak, barulah anak
diserahkan ke LPKS. Begitu pula apabila orang tua si anak sudah tidak ada, maka
anak ditempatkan di LPKS. Dalam hal anak diserahkan ke LPKS, Bapas bekerja

135
Kamus istilah hukum http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/kunena/30-
kumpulan-istilah-hukum/592-kamus-istilah-hukum.html diunduh pada 19 Mei 2014.
136
Pendapat tersebut sesuai dengan Pasal 65 huruf d UU SPPA, bahwa Pembimbing
Kemasyarakatan bertugas melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


78

bersama dengan pekerja sosial. Peksos memberikan laporan pada Bapas mengenai
hal-hal apa yang dilakukan anak di lembaga sosial tersebut, sementara Bapas
membimbing dan mengawasi dalam program-program ini. Evaluasi oleh bapas itu
dilakukan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya diversi, kalau 6 bulan
dirasakan dari tingkat yang memutuskan itu cukup, maka masa pembimbingan
selesai. Evaluasi itu diserahkan ke hakim wasmat. Cukup atau tidaknya
pembimbingan dilihat dari apakah anak melakukan pelanggaran lagi atau tidak. 137
Evaluasi oleh Bapas sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (3)138 dilakukan
dengan caraBapas melihat perkembangan si anak, kesehatannya, tingkat
kemahiran si anak dalam keahlian yang diperolehnya (misal keahlian montir).
Selain itu Bapas juga melakukan konfirmasi terhadap petugas LPKS mengenai
perkembangan anak. Program pendidikan bagi anak yang berada di LPKS
ditentukan sendiri oleh pihak LPKS, sementara Bapas hanya melakukan evaluasi
terhadap perkembangan anak selama berada di LPKS.139 Kemudian Karto
Sugiarto menambahkan bahwa evaluasi yang dilakukan oleh Bapas terhadap anak
yang berada di LPKS dilakukan dengan melihat keadaan si anak apakah menuruti
peraturan-peraturan yang ada di LPKS itu ataukah malah berbuat onar. Di LPKS
anak direhabilitasi dan mendapat pembinaan sesuai perbuatannya (tindak pidana
yang dilakukannya), LPKS juga bekerja sama dengan keluarga untuk memberikan
arahan pengasuhan yang baik bagi anak, memenuhi hak anak untuk memperoleh
pendidikan. 140

137
Wawancara dengan Christina Sri Widyastuti, Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan
Klien Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
dari UU SPPA, 21 April 2014.
138
Pasal 21 ayat (3) menyatakan bahwa Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b.
139
Wawancara dengan Saida Sitanggang, Kasubsie Bimkemasy Bapas Jakarta Selatan, 2
Mei 2014.
140
Wawancara dengan Sudiyana,Pekerja Sosial PSMP Handayani, 6 Mei 2014.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


79

Salah satu LPKS yang menangani Anak Berhadapan dengan Hukum yang
dikelola oleh Kementerian Sosial RI adalah Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP).
Tugas dan peranan PSMP, antara lain: 141
1. Menyelenggarakan tugas-tugas kesekretariatan KPRSABH (Komite
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH) yang supportif dan kondusif
bagi program-programnya.
2. Menyediakan atau memfasilitasi akses terhadap rumah aman bagi ABH
(korban, pelaku maupun saksi) yang membutuhkan pengasuhan sementara
yang aman, selama menunggu penyelesaian masalah hukum yang sedang
mereka hadapi.
3. Menyelenggarakan berbagai pelayanan emergensi bagi ABH dan keluarga
yang membutuhkan, selama proses penyelesaian masalah, dalam rangka
menjamin pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan hak hidup
dan mempertahankan kehidupan anak.
4. Menyelenggarakan program-program rehabilitasi sosial untuk ABH, dengan
mengedepankan berbagai teknik pengubahan perilaku, trauma konseling, serta
proggram-program intervensi psikososial lainnya yang dibutuhkan, dalam
rangka mempersiapkan reintegrasi anak dengan keluarga dan masyarakatnya.
5. Membantu memberikan informasi yang dibutuhkan (jika diperlukan) demi
tercapainya keadilan restorative bagi ABH dalam proses hukum.
6. Meningkatkan akses layanan bagi perlindungan dan pemenuhan hak anak serta
rehabilitasi ABH.
7. Melakukan pendampingan terhadap ABH agar bisa tetap diterima keluarga
dan lingkungan masyarakat.
PSMP memiliki Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan
dengan Hukum (PKSABH). Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya
yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna
memenuhi kebutuhan dasar anak, yang meliputi bantuan pemenuhan kebutuhan
dasar, aksesibilitas pelayanan sosial dasar, penguatan orang tua/keluarga dan

141
Pedoman PKSA, http://pksa.kemsos.go.id/index.php/panduanumum diunduh pada 6
April 2014, hal. 77-79

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


80

penguatan lembaga kesejahteraan sosial anak. 142 Indikator perubahan sikap


perilaku dari penerima layanan PKSABH antara lain: 143
1. anak tidak lagi melakukan perbuatan yang dapat melanggar hukum,
2. anak kembali sekolah, kembali ke keluarga (bagi anak yang terpisah), dan/atau
mengikuti kegiatan peningkatan potensi diri/ keterampilan.
3. Anak dengan kenakalan menunjukkan sikap dan perilaku kearah positif
dana tidak berperilaku nakal lagi.
4. orang tua/ keluarga memberikan pengasuhan dan perlindungan terhadap
anak sehingga hak-hak dasarnya semakin terpenuhi, terutama anak yang
memperoleh putusan diversi kembali kepada orang tua.
Dalam hal perpanjangan masa pembinaan sebagaimana dimaksud Pasal 21
ayat (4)144, lagi-lagi timbul perbedaan pendapat mengenai pihak mana yang
berwenang memutuskan perpanjangan tersebut. Christina Sri Widyastuti
menganggap keputusan untuk perpanjangan pembimbingan anak diperoleh dari
musyawarah antara Penyidik, PK, dan Peksos lagi. Mariana Widiastuti
berpendapat bahwa mengenai perpanjangan masa pembimbingan bagi anak
merupakan wewenang pengadilan atas permintaan Bapas, mengingat pendapat
sebelumnya bahwa Pasal 21 khusus mengatur diversi di tahap pengadilan, maka
tentunya yang berwenang memperpanjang masa pembinaan dalam Pasal ini
adalah pengadilan melalui penetapannya. Sementara dari Pembimbing
Kemasyarakatan, Karto Sugiarto, berpendapat bahwa perpanjangan masa
bimbingan di LPKS dilakukan sendiri oleh LPKS tanpa perlu ada surat penetapan
dari pengadilan terlebih dahulu. Bila LPKS melihat bahwa anak belum dapat
dikeluarkan dan perlu bimbingan lebih lanjut, maka pihak LPKS akan memberi
tahu orang tua bahwa masa bimbingan anak diperpanjang.
Pihak dari LPKS sendiri, yaitu Sudiyana sebagai Peksos, sama halnya
dengan Karto Sugiarto, menganggap bahwa perpanjangan masa pembimbingan itu

142
Ibid.,hal. 11.
143
Ibid.,hal. 17-18.
144
Pasal 21 ayat (4) menyatakan bahwa, dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6
(enam) bulan.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


81

dilakukan oleh LPKS, yang dilakukan dengan rekomendasi dari pekerja sosial
pada orang tua untuk meminta persetujuan orang tua. Meskipun demikian, setelah
lewat masa pembinaan di LPKS anak diutamakan untuk dikembalikan ke orang
tua. Selama masa pembimbingan anak, orang tua juga diberi pembimbingan dari
LPKS mengenai cara pembimbingan dan pengasuhan anak. Sehingga setelah
lewat masa pembinaan anak di LPKS, anak bisa kembali ke orang tua. Bila anak
masa pembimbingannya diperpanjang di LPKS itu bisa didasari beberapa faktor,
misalnya sekolah, karena sedang sekolah di LPKS, bila begitu yang diperpanjang
hanya pendidikan atau sekolahnya saja, sementara untuk pembinaan telah
dikembalikan ke orang tua. Faktor lainnya yaitu apabila secara ekonomi dan sosial
tidak memungkinkan bagi si anak untuk kembali ke orang tua, maka anak akan
diperpanjang masa pembimbingannya di LPKS (upaya terakhir, diutamakan
kembali ke orang tua).
Terhadap perpanjangan masa pembimbingan tersebut, penulis setuju
dengan pendapat Penyusun RPP bahwa keputusan untuk perpanjangan
pembimbingan anak diperoleh dari musyawarah kembali antara Penyidik, PK, dan
Peksos, karena keputusan bagi anak untuk dibimbing di instansi pemerintah atau
LPKS berasal dari Penyidik, PK, dan Peksos, maka sudah sewajarnya kalau
keputusan untuk memperpanjang masa pembimbingan juga berasal dari ketiga
lembaga tersebut. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
pelaksanaan diversi sejauh ini, perpanjangan masa pembimbingan dilakukan
sendiri oleh LPKS sebagaimana dikemukakan Sudiyana dan Karto Sugiarto
tersebut. Penulis juga ingin menambahkan bahwa terlepas dari pendapat-pendapat
tersebut, agaknya indikator perpanjangan masa pembimbingan anak di LPKS
dapat dilihat juga dari tingkat keberhasilan PKSABH yang diukur dengan
indikator perubahan sikap anak penerima pelayanan PKSABH yang telah
dijelaskan sebelumnya.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


82

3.2 Kendala Atas Penerapan Pasal 21 Undang-Undang Sistem Peradilan


Pidana Anak Beserta Antisipasinya
1. Kendala yang datang dari Christina Sri Widyastuti sebagai anggota tim
penyusun RPP UU SPPA dan Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan Klien
Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, yaitu:
a. Untuk perpanjangan masa pembimbingan bagi anak yang masih memiliki
orang tua, maka perpanjangan pembimbingan itu diserahkan pada orang
tua, tapi bagi anak yang tidak ada orang tua masih dipermasalahkan
mengenai perpanjangan masa pembimbingannya (dalam penyusunan RPP
juga masih dipermasalahkan). Hal ini dikarenakan belum ada sinkronisasi
antara polisi, Bapas, dan Peksos tentang siapa yang akan mengawasi lebih
lanjut, apakah tugas polisi terus, atau Bapas harus mendampingi terus,
sementara klien Bapas bukan anak saja, lebih banyak org dewasa,
sedangkan anak tdk sampai sepertiganya. Jumlah klien Bapas 64000,
sedangkan anak hanya 3000. Pengaturan dalam UU SPPA berbeda dengan
UU Pengadilan Anak, dimana anak yang tidak jelas keberadaan orang
tuanya menjadi anak negara, sedangkan dalam UU SPPA sudah tidak ada
pembagian anak menjadi anak negara. Menurut Chritina Sri Widyastuti,
anak negara sudah tidak ada di UU SPPA karena dalam pembahasan
undang-undang ini, orang tidak paham bahwa rata-rata yang melakukan
pelanggaran hukum adalah anak yang bermasalah dengan orang tua, yaitu
anak yang tidak diakui orang tua, anak yang diambil dari orang tuanya,
atau orang tua si anak sudah meninggal, sehingga anak berdiri sendiri tidak
ada arahannya.
Anak negara adalah anak yang diputuskan oleh pengadilan untuk diasuh
oleh negara145. Dalam Pasal 1 angka 8 huruf b Undang-Undang no. 12
tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Anak Negara didefinisikan sebagai
anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara
untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai
berumur 18 (delapan belas) tahun. Dalam UU Pengadilan Anak terdapat

145
Hal ini dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana dikutip
dalam BPHN, Op. Cit., hal. 15.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


83

ketentuan yang mengatur Anak Negara, misalnya Pasal 31 ayat (1), yang
menyatakan bahwa Anak Nakal yang diputus oleh Hakim untuk
diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
sebagai Anak Negara. Kemudian dalam ayat (2), kepala LP Anak dapat
mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara
ditempatkan di lembaga pendidikan anak. Sedangkan dalam UU SPPA
tidak ada lagi ketentuan semacam ini yang mengatur Anak Negara. Hanya
ada ketentuan Pasal 103, ketentuan peralihan, yang menyatakan bahwa
Anak Negara yang saat UU SPPA ini berlaku masih berada di LP Anak
diserahkan kepada orang tua/Wali, LPKS/keagamaan; atau kementerian
atau dinas di bidang sosial.
b. Diversi bagi anak yang belum 12 tahun yang melakukan tipiring tidak sulit
dilakukan, tapi kalau anak melakukan tindak pidana berat atau di atas 7
tahun, misal pembunuhan, penganiayaan berat, pelecehan seksual,
terhadap anak tersebut polisi tidak boleh menahan, Bapas juga, sementara
kalau anak kembali ke orang tua, maka orang tua terancam, sedangkan bila
ke LPKS tidak ada pengamanannya. Orang tua terancam karena ada
kemungkinan bagi masyarakat, terutama korban dan keluarga korban
untuk membalas perbuatan anak. Terhadap masalah ini dilakukan
antisipasi dengan bersosialisasi pada masyarakat bahwa penjara bukan
jalan terbaik bagi anak. Sosialisasi ini bisa berbentuk seminar, pamflet,
brosur, kerja sama dengan pemda atau muspida dengan mengundang tokoh
masyarakat, atau lewat acara televisi. Tanggapan dari masyarakat dan
keberatannya juga diperhatikan agar semua bisa sinkron.
c. Masih terdapat banyak kekurangan pada sarana prasarana. Bapas hanya
ada di 72 provinsi, sementara tuntutan dari UU SPPA Bapas ada di
kabupaten/ kota, berarti Bapas harus mencakup 365 kabupaten/kota. Selain
itu dana juga menjadi salah satu kendala. Terutama bagi daerah yang luas,
misalnya Irian, yang kalau menjangkau rumah klien bisa mencapai waktu
seminggu. Untuk menghadapi kekurangan jumlah Bapas, maka Bapas
mengadakan Bimtek (Bimbingan Teknis) online untuk membuat non PK
menjadi PPK (pembantu pembimbing kemasyarakatan). Non PK adalah

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


84

Petugas pemasyarakatan yang ada di lapas atau rutan. Hal ini diharapkan
jika ada anak yang memerlukan PK di daerah PPK tersebut, Bapas terdekat
tinggal menginformasikan pada PPK untuk meninjau atau mengikuti
persidangan atau membuat litmas kepada si anak. Yang kedua, melalui
pelatihan untuk menjadi PK, yang sudah dilakukan 2 tahun ini untuk orang
diluar petugas pemasyarakatan yang ingin menjadi PK.
d. Panti pemerintah (LPKS) hanya berjumlah 8 di seluruh Indonesia. Padahal
proses diversi banyak mengikutsertakan LPKS. Christina menyarankan
untuk dibuat saja LPKS sementara di LP anak sebelum pemerintah
mendirikan LPKS. Asal dipisah, sehingga nanti anak tidak terputus
pendidikannya
2. Kendala yang datang dari Karto Sugiarto sebagai Pembimbing Kemsyarakatan
dan Kasubsi Registrasi Bapas Jakarta Selatan, yaitu:
a. Pihak korban sering tidak mau menyelesaikan perkara melalui diversi. Hal
ini diantisipasi dengan musyawarah kembali bersama korban, Bapas, dan
tokoh masyarakat untuk menambah pemahaman pihak korban bahwa
diversi memang diperlukan. Apabila upaya ini masih tetap tidak disetujui
oleh korban, maka proses hukum akan berlanjut.
b. Orang tua pelaku sering menolak kedatangan PK untuk Litmas hal ini
biasanya dikarenakan orang tua masih bingung dan pusing memikirkan
masalah yang dilakukan anaknya. Hal ini diantisipasi dengan PK meminta
bantuan ketua RT atau tokoh masyarakat untuk berbicara dengan orang tua
pelaku. Apabila bantuan tidak diperoleh, maka PK akan menunggu selama
beberapa hari agar pihak orang tua lebih tenang terlebih dahulu.
c. Jangka waktu pembuatan Litmas yang hanya 3 hari dirasakan terlalu
singkat. Hal ini diantisipasi dengan bekerja lebih giat.
d. Kurangnya prasarana seperti kendaraan dinas dan juga komputer atau
laptop yang jumlahnya masih sedikit. Sementara untuk membuat litmas
maka PK harus mengunjungi banyak tempat dan litmas yang harus
dikerjakan dalam 3 hari sementara jumlah komputer terbatas. Hal ini
diantisipasi dengan menggunakan kendaraan pribadi dan juga laptop
pribadi.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


85

3. Kendala yang datang dari Mariana Widiastuti sebagai Penyidik Anak dan
Kasubnit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Metro Jakarta
Selatan, yaitu:
a. Korban emosi karena kerugian yang diperolehnya berupa kerugian moril
yang sulit dinilai dengan uang, sulit diganti, sedangkan kalau salah satu
pihak menolak, maka diversi tidak bisa dilaksanakan, tidak bisa
dipaksakan untuk terjadi diversi. Upaya untuk mengantisipasinya dengan
meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya diversi yaitu
dengan melakukan penyuluhan tentang ABH dan KDRT di kelurahan.
b. Waktu dan personil yang tersedia untuk melakukan penyuluhan tersebut
jumlahnya terbatas dikarenakan banyaknya pekerjaan masing-masing
personil.
4. Kendala yang datang dari Sudiyana sebagai Pekerja Sosial PSMP Handayani,
yaitu:
a. Kurangnya koordinasi, terutama koordinasi antar lembaga mengenai
implementasi UU SPPA dan mengenai pembagian wewenang dari atas ke
bawah. Juga kurang koordinasi mengenai lama masa penitipan anak di
LPKS yang dititipkan oleh polisi atau jaksa, sehingga masa penitipan anak
sering molor dari jangka waktu yang disepakati. Misalnya mereka
menjanjikan untuk menitipkan anak selama 7 hari namun nyatanya 7 hari
sudah lewat anak tersebut belum juga diambil. Sedangkan pihak panti
sering tidak diberi alasan mengenai keterlambatan itu. Antisipasinya
dengan melakukan pendekatan terhadap instansi lain agar lebih kenal satu
sama lain.
b. Panti sosial dari kemsos seluruh indonesia hanya ada 8, jauh sekali bila
dibanding jumlah penjara seluruh indonesia. Walau sekarang jumlah panti
kurang, namun nanti setelah UU SPPA berlaku, baik panti pemerintah
maupun panti swasta harus bersedia menangani ABH, tidak hanya PSMP.
c. Selain jumlah panti, jumlah personil juga masih kurang, sementara amanat
dari UU setiap kabupaten/kota harus ada. Kalau sekarang mengatasi
kekurangan itu dengan memanfaatkan personil yang ada.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


86

d. Korban dan keluarganya ada yang tidak mau menerima penyelesaian


perkara melalui diversi, masih pemikiran retributif dan belum memiliki
pemikiran untuk mencapai hasil terbaik bagi anak. Antisipasinya dengan
melakukan pendampingan terhadap korban juga, bukan hanya pelaku, agar
korban mengerti pentingnya diversi.
e. Sumber daya manusia (pegawai) kurang paham undang-undang atau
hukum, hal ini diantisipasi dengan belajar lebih dalam mengenai undang-
undang atau hukum.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


87

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penulisan skripsi ini, penulis menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Pengaturan diversi dalam sistem peradilan pidana anak terdapat dalam
instrumen nasional maupun internasional. Pengaturan diversi dalam instrumen
internasional antara lain terdapat dalam Konvensi Hak Anak (KHA), United
Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures (Tokyo Rules),
UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (Riyadh
Guidelines), dan Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice (Beijing Rules). Selain konvensi, pedoman maupun standar minimum
tersebut memang tidak mengikat secara hukum, tetapi tetap dapat dijadikan
acuan bagi negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan program diversi.
Sedangkan di dalam kebijakan formulasi hukum pidana formal anak di
Indonesia, sebelum berlakunya UU SPPA, tidak ada ketentuan yang secara
tegas mengatur tentang diversi, baik di dalam KUHP, UU Pengadilan Anak,
UU Kesejahteraan Anak, UU HAM, UU Perlindungan Anak, maupun Surat
Keputusan Bersama. Meskipun tidak secara tegas disebutkan dalam Pasal
tersebut bahwa terjadi upaya diversi, akan tetapi pada dasarnya ketentuan
mengenai diversi dapat ditemukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan
Anak, yaitu bagi anak yang belum berumur 8 tahun yang melakukan/ diduga
melakukan tindak pidana, penyidik dapat menyerahkan anak tersebut pada
orang tua/ wali, atau kepada Departemen Sosial.
2. Belum tercapai kesatuan pendapat antara Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan (PK), Pekerja Sosial (Peksos), maupun anggota tim penyusun
RPP dari UU SPPA (selanjutnya disebut Penyusun RPP) mengenai
pemahaman terhadap Pasal 21 UU SPPA, sehingga seringkali terdapat
perbedaan-perbedaan pendapat. Penyidik, PK, dan Peksos menganggap
tindakan pengambilan keputusan bagi anak yang belum berusia 12 tahun

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


88

dalam Pasal 21 UU SPPA merupakan suatu tindakan diversi, sedangkan


Penyusun RPP berpendapat bahwa tindakan itu bukanlah diversi karena
diversi berlaku bagi anak usia 12 sampai 18. Penulis sendiri berpendapat
bahwa tindakan tersebut adalah diversi karena merupakan pengalihan
penyelesaian perkara di luar sistem peradilan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam Pasal 21 berbeda dengan pihak-pihak dalam
Pasal 8, Penyidik berpendapat perbedaan ini karena Pasal 8 berlaku untuk
diversi pada tahap penyidikan dan penuntutan, sedangkan Pasal 21 berlaku
untuk diversi pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Sementara PK dan
Peksos berpendapat perbedaan tersebut dikarenakan Pasal 8 berlaku untuk
anak usia 12 sampai 18 tahun, sedangkan Pasal 21 berlaku untuk anak yang
belum berusia 12 tahun. Penulis setuju dengan pendapat PK dan Peksos karena
Pasal 21 khusus mengatur diversi bagi anak yang belum 12 tahun, sedangkan
Pasal 8 mengatur diversi untuk anak 12 sampai 18 tahun.
Mengenai proses pengambilan keputusan dalam Pasal 21 masing-masing
narasumber memiliki pandangan berbeda. Penyidik dan PK (Karto Sugiarto)
berpendapat bahwa penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial
dalam Pasal 21 hanya menyarankan pada Majelis Hakim mengenai hasil
diversi yang terbaik bagi anak, sementara keputusan akhir mengenai apa yang
akan diberikan pada anak tetap tergantung pada putusan pengadilan.
Kemudian PK lainnya (Saida Sitanggang) berpendapat bahwa pengambilan
keputusan dilakukan dengan musyawarah antara pihak-pihak yang terlibat,
kemudian apabila kesepakatan diversi antara para pihak tercapai, barulah
keputusan dibuat oleh Penyidik, PK, dan Peksos. Selanjutnya Peksos
berpendapat pengambilan keputusan diawali dengan proses assesment yang
dilakukan Peksos, litmas (penelitian kemasyarakatan) yang dilakukan PK,
kemudian keduanya digabungkan untuk disampaikan ke penyidik untuk
kemudian diambil keputusan bagi anak. Sedangkan Penyusun RPP
berpendapat bahwa pengambilan keputusan dilakukan dengan cara Penyidik,
PK, dan Peksos bermusyawarah untuk mencapai keputusan yang terbaik untuk
anak. Penulis sendiri setuju dengan pendapat Penyusun RPP.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


89

Selanjutnya mengenai pemahaman terhadap Pasal 21 ayat (2) UU SPPA,


Penyusun RPP dan PK memiliki pemahaman sama, yaitu bahwa hasil
keputusan yang didapat melalui Pasal 21 ayat (1) kemudian diserahkan ke
pengadilan untuk ditetapkan oleh pengadilan dalam jangka waktu 3 hari.
Penyidik berpendapat bahwa Pasal 21 ayat (2) merupakan penegasan
bahwadiversi itu terjadi di tingkat pengadilan, maka diversi ditetapkan oleh
pengadilan. Penulis berpendapat bahwa keputusan yang diambil oleh
Penyidik, PK, dan Peksos bagi anak kemudian diserahkan ke pengadilan untuk
mendapat penetapan pengadilan, bukan berarti proses hukum anak dibawa ke
pengadilan, karena penetapan bukan berarti putusan pengadilan.
Berdasarkan pendapat Penyusun RPP dan PK, pelaksanaan evaluasi oleh
Bapas dilakukan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya diversi, cukup atau
tidaknya pembimbingan yang dilihat dari apakah anak melakukan pelanggaran
lagi atau tidak. Evaluasi dilakukan dengan cara Bapas melihat perkembangan
si anak, keadaan si anak apakah menuruti peraturan-peraturan yang ada di
LPKS itu ataukah malah berbuat onar, kesehatannya, dan tingkat kemahiran si
anak dalam keahlian yang diperolehnya.
Mengenai perpanjangan masa pembimbingan anak, Penyusun RPP
berpendapat bahwa keputusan untuk memperpanjang pembimbingan anak
diperoleh dari musyawarah kembali antara Penyidik, PK, dan Peksos.
Penyidik berpendapat bahwa perpanjangan itu merupakan wewenang
pengadilan atas permintaan Bapas. Sedangkan PK dan Peksos berpendapat
bahwa perpanjangan tersebut dilakukan sendiri oleh LPKS dengan
rekomendasi dari pekerja sosial pada orang tua untuk meminta persetujuan
orang tua. Penulis setuju dengan pendapat Penyusun RPP, namun memang
dalam pelaksanaan diversi sejauh ini, perpanjangan masa pembimbingan
dilakukan sendiri oleh LPKS.
3. Kendala-kendala yang berpotensi terjadi terkait penerapan Pasal 21, yaitu:
a. Ada kemungkinan bagi masyarakat, terutama korban dan keluarga korban
untuk membalas perbuatan anak.
b. Pihak korban dan keluarga sering tidak terima bila perkara diselesaikan
melalui diversi.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


90

c. Masih terdapat banyak kekurangan pada sarana. Bapas hanya ada di 72


provinsi, padahal seharusnya mencakup 365 kabupaten/kota. Sedangkan
panti pemerintah (LPKS) hanya berjumlah 8 di seluruh Indonesia.
d. Kurangnya prasarana seperti kendaraan dinas dan juga komputer atau
laptop yang jumlahnya masih sedikit pada Bapas.
e. Kurangnya koordinasi, terutama koordinasi antar lembaga mengenai
implementasi UU SPPA dan mengenai pembagian wewenang dari atas ke
bawah.
f. Sumber daya manusia (pegawai) kurang paham undang-undang atau
hukum.
g. Belum jelas siapa yang akan mengawasi lebih lanjut dalam hal masa
pembimbingan anak diperpanjang.
4. Antisipasi terhadap kendala yang berpotensi terjadi, yaitu:
a. Melakukan sosialisasi dengan masyarakat bahwa penjara bukan jalan
terbaik bagi anak. Sosialisasi ini bisa berbentuk seminar, pamflet, brosur,
kerja sama dengan pemda atau muspida dengan mengundang tokoh
masyarakat, atau lewat acara televisi. Hal ini dilakukan oleh Ditjen
Pemasyarakatan.
b. Selain itu, Bapas juga melakukan musyawarah bersama korban dan tokoh
masyarakat untuk menambah pemahaman pihak korban bahwa diversi
memang diperlukan. Upaya meningkatkan pemahaman masyarakat akan
pentingnya diversi juga dilakukan pihak Kepolisian, yaitu dengan cara
melakukan penyuluhan tentang ABH dan KDRT di kelurahan. Sedangkan
Peksos mengantisipasinya dengan melakukan pendampingan terhadap
korban juga, bukan hanya pelaku, agar korban mengerti pentingnya
diversi.
c. Untuk mengantisipasi kurangnya jumlah Bapas mengadakan Bimtek
(Bimbingan Teknis) online untuk membuat non PK menjadi PPK
(pembantu pembimbing kemasyarakatan). Sedangkan pihak LPKS
menganggap kekurangan jumlah panti nantinya bisa diatasi setelah UU
SPPA berlaku, baik panti pemerintah maupun panti swasta harus bersedia

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


91

menangani ABH, tidak hanya PSMP. Sedangkan untuk saat ini mengatasi
kekurangan itu hanya dengan memanfaatkan panti yang ada.
d. Untuk mengantisipasi kekurangan prasana di Bapas, PK menggunakan
kendaraan pribadi dan juga laptop pribadi.
e. Untuk mengantisipasi kurangnya koordinasi dengan lembaga lain, LPKS
melakukan pendekatan terhadap instansi lain agar lebih kenal satu sama
lain.
f. Untuk mengantisipasi kurangnya pemahaman hukum, Peksos belajar lebih
dalam mengenai undang-undang atau hukum.
g. Mengenai pihak yang berwenang mengawasi lebih lanjut dalam hal masa
pembimbingan anak diperpanjang, antisipasinya berupa pembahasan lebih
lanjut mengenai hal itu dalam penyusunan RPP.

4.2 SARAN
Berdasarkan hasil penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan saran-saran
sebagai berikut :
1. Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai UU
SPPA sebaiknya mengatur lebih jelas mengenai diversi Pasal 21, terutama
dalam hal pihak-pihak yang terlibat, mekanisme pengambilan keputusan,
perbedaan diversi bagi anak yang belum 12 dengan anak yang berusia 12
sampai 18 tahun, penegasan mengenai Pasal 21 ayat (2) bahwa penetapan
pengadilan tidak berarti kasus anak diproses melalui sidang pengadilan, pihak
yang berwenang untuk memutuskan perpanjangan masa pembimbingan anak,
dan mekanisme evaluasi oleh Bapas. Sehingga tidak terjadi perbedaan
pemahaman.
2. Selain penegasan hal-hal tersebut sebelumnya dalam RPP, sebaiknya juga
diadakan pelatihan bersama terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan Pasal 21 UU SPPA pada khususnya, serta pihak-pihak pelaksana
diversi anak pada umumnya. Hal ini dilakukan agar tercapai kesamaan
persepsi diantara masing-masing pihak mengenai makna, cara pelaksanaan,
serta peran setiap pihak dalam Pasal 21 UU SPPA.
3. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap warga masyarakat, terutama korban dan
atau keluarga, mengenai pentingnya pelaksanaan diversi untuk menyelesaikan

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


92

kasus anak, sekaligus untuk menghilangkan (setidaknya mengurangi)


kecenderungan untuk membalas perbuatan pelaku anak. Hal ini penting untuk
dilakukan, mengingat masyarakat terutama pihak korban yang sering tidak
terima bila perkara diselesaikan dengan jalan diversi.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


93

DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Justice Imman. Towards A Justice Delivery System for Children in
Bangladesh, A guide and Case Law on Chil -dren in conflict with the Law.
Bangladesh: UNICEF Bangladesh, 2010.
Anggara, Sufridi Pinim. Panduan Praktis untuk Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum. Adiani Viviana, (ed.). Jakarta: Institute for Criminal Justice
Reform, tanpa tahun.
Asikin, Amiruddin dan Zainal, H. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. RrajaGrafindo Persada, 2006.
BPHN. Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Rancangan
Undang-Undang Pengadilan Anak. Mugiyati, Theodrik Simorangkir,
Ninuk Arifah, (ed.). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM RI, 2009.
Bungin, Burhan (Ed.). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis
ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012.
Elliott, Delbert S. National Evaluation of Youth Service System. Boulder, Colo:
Behavioral Research and Evaluation Corporation, 1974.
Hadisuprapto, Paulus. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya.
Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Hamilton, Carolyn. Guidance For Legislative Reform On Juvenile Justice. New
York: Children‟s Legal Centre and United Nations Children‟s Fund
(UNICEF), Child Protection Section, 2011.
Jamil, Nasir. Anak Bukan untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Klein, Malcolm W., (Ed.). The Juvenile Justice System. London: Sage
Publications, 1976.
Mamudji, Sri, et. all. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


94

Manan, Bagir. “Restorative Justice (Suatu Perkenalan)”, dalam Refleksi Dinamika


Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir. Jakarta: Perum
Percetakan Negara RI, 2008.
Marlina. Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan
terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Medan: Pusat kajian dan
Perlindungan Anak (PKPA), 2007.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010.
McGinness dan McDermott, Tom. Review of Effective Practice in Juvenile
Justice: Report for the Minister for Juvenile Justice. Australia: Noetic
Solutions Pty Limited, 2010.
McGrath, Alice. A Voice For The Future Of Juvenile Justice In Asia-Pacific:
Introduction To The Asia Pacific Council For Juvenile Justice And
Leading Juvenile Justice Reforms In The Region. Brussels: International
Juvenile Justice Observatory (IJJO), 2013.
Rubin, H. Ted. Juvenile Justice: Policy, Practice, and Law. United States of
America: McGraw-Hill, Inc., 1985.
Sandhu, Harjit S. and Heasley, C. Wayne. Improving Juvenile Justice: Power
Advocacy, Diversion, Decriminalization, Deinstitutionalization, and Due
Process. New York: Human Sciences Press, 1981.
Susilarti, Sri; Rahmawan, Tatan; dan Suwardhani, G.A.P. Modul Pembimbing
Kemasyarakatan: Modul V Diversi. T.k: Direktorat Jendral
Pemasyarakatan, 2012.
United Nations Office On Drugs And Crime. Handbook on Restorative justice
programmes. New York: United Nations, 2006.
Wahyudi, Setya. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia. Jogjakarta: Genta Publishing, 2011.
Ward, Jr., Frederick. “Prevention and Diversion in the United States,” dalam The
Changing Faces Of Juvenile Justice. New York: New York University
Press, 1978.
ARTIKEL
Becroft, J. “How to Turn A Child Offender into an Adult Criminal – 10 Easy
Steps”. International Law Conference Paper, Prato, Italy, 2009.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


95

Hidayati, Nur, “Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan Keadilan Restoratif


dan Kepentingan Terbaik bagi Anak.” Ragam Jurnal Pengembangan
Humaniora Vol. 13 No. 2, Agustus 2013.
Klein, Malcolm W. “Issues and Realities in Police Diversion Programs,” Crime
and Delinquency 22 (October 1976).
Marlina. ”Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak.” Jurnal Equality, 2008.
Nejelski, Paul. “Diversion: The Promise and the Danger.” Crime and Delinquency
22 (October 1976).
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Indonesia. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia,
Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan Dengan Hukum.
Indonesia. Undang-Undang tentang Kesejahteraan Anak. UU No. 4 tahun 1979.
LN No. 32 Tahun 1979. TLN No. 3143.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pengadilan Anak. UU No. 3 tahun 1997. LN


No. 3 Tahun 1997. TLN No. 3668.
Indonesia. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 tahun 1999.
LN No. 165 Tahun 1999. TLN No. 3886.
Indonesia. Undang-Undang tentang Perlindungan Anak. UU No. 23 tahun 2002.
LN No. 109 Tahun 2002. TLN No. 4235.
Indonesia. Undang-Undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. UU No. 11
Tahun 2012. LN No. 153 Tahun 2012. TLN No. 5332.
New Zealand. Children Young Person and their Families Act 1989.
United Nations. Economic and Social Council, Resolution 2002/12: Basic
Principles on the Use of Restorative JusticeProgrammes in Criminal
Matters
SKRIPSI/ TESIS/ DISERTASI

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


96

Zulfa, Eva Achjani. “Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang


Kemungkinan Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan
Hukum Pidana).” Disertasi yang tidak diterbitkan. Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. Depok. 2009.

PUBLIKASI ELEKTRONIK
Anonim. “Juvenile justice reform in Papua New Guinea.”
http://www.unicef.org/eapro/Juvenile_justice_reform_in_Papua_New_Gui
nea.pdf. Diunduh 10 Maret 2014.
Anonim. “Pedoman PKSA.” http://pksa.kemsos.go.id/index.php/panduanumum.
Diunduh pada 6 April 2014.
Anonim. “Pembaruan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang
Bermasalah Dengan Hukum (Dikaji Dari Perspektif Peradilan Pidana).”
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-396-1796740271-
bab%20i-v%20tesis.pdf. Diunduh 20 Februari 2014.
Anonim. “Revisi UU Perlindungan Anak Kedepankan Diversi.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba394c5b732f/revisi-uu-
perlindungan-anak-kedepankan-diversi. Diunduh pada 21 Februari 2014.
Dewi, DS. “Restorative Justice, Diversionary Schemes And Special Children‟s
Courts In Indonesia.”
http://www.kemlu.go.id/canberra/Lists/LembarInformasi/Attachments/61/
Restorative%20Justice,%20Diversionary%20Schemes%20and%20Special
%20Children%E2%80%99s%20Courts%20in%20Indonesia.pdf. Diunduh
22 Februari 2014.
Ferawati. “Kebijakan Formulasi Terhadap Konsep Diversi Dalam Pembaruan
Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.”
http://pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/KEBIJAKAN-
FORMULASI-TERHADAP-KONSEP-DIVERSI.pdf. Diunduh 14 Maret
2014.
“Human Rights Brief No.5: Best practice principles for the diversion of juvenile
offenders.” https://www.humanrights.gov.au/publications/human-rights-
brief-no5-best-practice-principles-diversion-juvenile-offenders-2001.
Diunduh 10 Maret 2014.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


97

Hutapea, Novelina MS. “Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku


Tindak Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice.”
http://www.usi.ac.id/downlot.php?file=novelina-1.pdf. Diunduh 15
Februari 2014.
Irma dan Toeb. “Provinsi Kepri Terbaik Dalam Perlindungan Anak.”
http://infopublik.org/read/64511/provinsi-kepri-terbaik-dalam-
perlindungan-anak.html. Diunduh 22 Februari 2014.
“Kamus istilah hukum.”
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/kunena/30-kumpulan-
istilah-hukum/592-kamus-istilah-hukum.html. Diakses pada 19 Mei 2014.
Oye. “Jejaring Penanganan ABH Kabupaten Brebes Sepakati Diversi.”
http://kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1610:jej
aring-penanganan-abh-kabupaten-brebes-sepakati-
diversi&catid=110:brebes&Itemid=133. Diunduh 22 Februari 2014.
PN. Stabat, “Analisis UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak
Pada Tingkat Penyidikan.” http://www.pn-
stabat.go.id/userfiles/file/Bahan%20Presentasi/ANALISIS%20UU%20NO
%2011%20TAHUN%202012%20TENTANG%20SISTIM%20PERADIL
AN%20ANAK%20DALAM%20PERSFEKTIP%20PENEGAK%20HUK
UM.pdf. Diunduh 6 April 2014.
Rosyid, Muhammad Aenur; Aprilianda, Nurini dan Endrawati, Lucky. “Alternatif
Model Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Melalui
Family Group Conferencing (Analisis Yuridis Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
).” http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/375_JURNAL-
AENUR.pdf. Diunduh 20 Februari 2014.
Suratmi. “Polsek Bontang Selatan Gelar Sidang Diversi.”
http://www.antarakaltim.com/berita/13317/polsek-bontang-selatan-gelar-
sidang-diversi. Diunduh 22 Februari 2014.
Wati, Emy Rosna . “Reformasi Perlindungan Hukum Terhadap Anak Yang
Berkonflik Dengan Hukum .”
journal.umsida.ac.id/files/Tulisan%20Emi.pdf. Diunduh 19 Maret 2014.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


98

Yayasan Pemantau Hak Anak. “Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam
Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional.”
http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Anak-yang-
Berhadapan-dengan-Hukum-dalam-Perspektif-Hukum-HAM-
Internasional3.pdf. Diunduh pada 21 Februari 2014.

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


Lampiran

PEDOMAN WAWANCARA

1. Bagaimana pandangan Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan


Pekerja Sosial Profesional terhadap pasal 21 Undang-Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak?
2. Bagaimana mekanisme diversi dalam pasal 21? Tugas apa yang dilakukan
oleh masing-masing lembaga?
3. Apa yang dijadikan dasar bagi pemberian keputusan terhadap anak (dalam
pasal 21 ayat 1)?
4. Mengapa mekanisme diversi dalam pasal 21 berbeda dengan mekanisme
diversi yang diterangkan dalam pasal 8? (pasal 8 menyebutkan bahwa
diversi melalui musyawarah dengan melibatkan Anak dan orang
tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan
pendekatan Keadilan Restoratif dan dapat juga melibatkan Tenaga
Kesejahteraan Sosial, dan/atau masyarakat)
5. Bagaimana Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial
Profesional memaknai pasal 21 ayat (2)? Mungkinkah keputusan diversi
diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3
(tiga) hari? (kalau tidak, berapa waktu yang diperlukan?)
6. Apa tujuan dilakukannya evaluasi oleh Bapas terhadap pelaksanaan
program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b? Bagaimana mekanisme
evaluasi tersebut? Dan bagaimana cara menentukan apakah suatu program
yang diterapkan terhadap anak bermanfaat bagi anak tersebut atau tidak,
atau perlu diperpanjang?
7. Lembaga hukum apa yang berwenang memperpanjang masa pembinaan
anak dalam pasal 21 ayat (4)? Apakah keputusan itu harus dibuat oleh
ketiga penegak hukum tersebut yang dikuatkan dengan penetapan
pengadilan atau bagaimana?
8. Kendala yang mungkin dihadapi dalam penerapan ketentuan pasal 21
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak:

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014


Lampiran

a. Apakah terdapat kendala yang berasal dari internal lembaga, seperti


pendanaan; sumber daya manusia; pemahaman anggota; jangka waktu
pelaksanaan; atau sarana dan prasarana? Jelaskan.
b. Apakah terdapat kendala yang berasal dari eksternal lembaga, seperti
peraturan hukum; kerja sama antar lembaga; kebersediaan korban atau
pelaku untuk melakukan diversi; atau dukungan masyarakat? Jelaskan.
9. Bagaimana antisipasi yang akan dilakukan Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial dalam menghadapi kemungkinan
kendala tersebut?

Universitas Indonesia

Konsep diversi..., Rahmah Perindha Novera, FH UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai