SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI REGULER
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM
TENTANG PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN KEJAHATAN
DEPOK
JUNI 2014
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang karena
berkat dan rahmat-Nya,penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Konsep Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya
Perlindungan” dengan baik. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi
syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum bagi mahasiswa Program S1
Reguler pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari peran, bantuan, serta
dukungan berbagai pihak. Sehingga, pada kesempatan ini penulis dengan segala
hormat mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuannya, baik secara langsung maupun tidak langsung
kepada penulis, terutama kepada yang saya hormati:
1. Kepada Bapak Topo Santoso, S.H., M.H., Ph.D yang telah bersedia menjadi
pembimbing penulis dan meluangkan waktunya untuk berkonsultasi dan
membaca karya ini di tengah kesibukannya yang cukup padat sebagai Dekan
FHUI.
2. Kepada Ibu Dr. Eva Achjani Zulfa, S.H., M.H. yang telah membantu penulis
menemukan ide untuk penulisan proposal skripsi dan telah bersedia
meluangkan waktunya untuk penulis berkonsultasi.
3. Kepada Bapak/ Ibu dosen, khususnya dosen-dosen PK 2 FHUI yang telah
memberi bekal ilmu pengetahuan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi
dan menyelesaikan penulisan skripsi ini.
4. Ibu Christina Sri Widyastuti, Ibu Saida Sitanggang, Ibu Sri Sinta, Bapak Karto
Sugiarto, Ibu Mariana Widiastuti, dan Bapak Sudayana yang sudah bersedia
meluangkan waktu dan membantu penulis dalam melengkapi data skripsi.
5. Kepada Abang Imam Hadi Wibowo, SH dari HukumOnline yang sudah
membantu mencari ide dan bahan untuk penulisan skripsi.
6. Terima kasih yang tidak terhingga kepada Elzam Zaitun selaku Ibu Penulis
yang selalu mendoakan, memberi dukungan, dan mendengarkan keluh kesah
penulis selama pembuatan skripsi ini.
iv
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka
demi perbaikan selanjutnya, saran dan kritik yang konstruktif dari semua pihak
akan penulis terima dengan senang hati. Akhir kata, penulis berharap semoga
Allah SWTmemberikan balasan yang berlipat ganda kepada semua pihak yang
telah membantu atas segala kebaikannya. Semoga skripsi ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu pengetahuan kedepannya.
Penulis
Dalam sistem peradilan pidana anak dikenal suatu proses peralihan penyelesaian
perkara anak keluar sistem peradilan pidana yang disebut dengan diversi. Dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, diversi memperoleh kedudukan resmi dalam sistem
peradilan anak. Dalam undang-undang tersebut, pengaturan diversi bagi anak
yang belum berumur 12 tahun hanya diberikan dalam satu pasal, yaitu pasal 21.
Sementara pasal tersebut beserta penjelasannya tidak cukup untuk menjelaskan
bagaimana konsep diversi yang dimaksud oleh undang-undang bagi anak yang
belum berumur 12 tahun tersebut. Skripsi ini membahas bagaimana pandangan
Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, serta Pekerja Sosial terhadap pasal
tersebut, beserta kendala yang berpotensi terjadi dan antisipasi yang diterapkan.
Penelitian ini dilakukan mengingat praktek diversi telah diterapkan dalam sistem
peradilan anak sebelum Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak berlaku,
sehingga aparat penegak hukum beserta lembaga-lembaga yang terlibat tentunya
telah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai diversi.
vii
viii
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS.................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... viii
ABSTRACT ...................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xi
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Permasalahan ............................................................... 1
1.2 Pokok Permasalahan ............................................................................ 9
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................. 9
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 9
1.5 Kerangka Konseptual ........................................................................... 10
1.6 Metode Penelitian................................................................................. 12
1.7 Sistematika Penulisan ........................................................................... 14
2. PENGATURAN DIVERSI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
ANAK ................................................................................................. 16
2.1 Tinjauan Umum Diversi ....................................................................... 16
2.1.1 Pengertian Diversi .................................................................... 16
2.1.2 Sejarah Diversi ......................................................................... 19
2.1.3 Dasar Pemikiran Diversi ........................................................... 21
2.1.4 Tujuan Diversi .......................................................................... 26
2.2 Konsep Diversi Dalam Instrumen HAM Internasional .......................... 27
2.2.1. Bentuk-Bentuk Diversi.............................................................. 35
2.2.2. Pihak Pelaksana Program Diversi .............................................. 37
2.2.3. Contoh Diversi Di Beberapa Negara ......................................... 39
2.3 Konsep Diversi Anak Dalam Instrumen Hukum Nasional .................... 43
ix
xi
BAB I
PENDAHULUAN
1
Novelina MS Hutapea, “Alternative Penyelesaian Perkara Anak sebagai Pelaku Tindak
Pidana dengan Diversi dan Restoratif Justice”, http://www.usi.ac.id/downlot.php?file=novelina-
1.pdf, diunduh pada 15 Februari 2014, hal. 10.
Universitas Indonesia
2
Hal ini dikemukakan oleh Inter-Parliamentary Union & UNICEF dalam “Improving the
Protection of Children in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on
juvenile justice”, sebagaimana dkutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, “Anak yang
Berhadapan dengan Hukum dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional”,
http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Anak-yang-Berhadapan-dengan-Hukum-
dalam-Perspektif-Hukum-HAM-Internasional3.pdf diunduh pada 21 Februari 2014, hal.1.
3
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report on Delivery: Restorative
Justice sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Ibid., hal. 10.
4
Nur Hidayati, “Peradilan Pidana Anak dengan Pendekatan Keadilan Restoratif dan
Kepentingan Terbaik bagi Anak”, Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 13 No. 2,
Agustus 2013, hal. 147.
Universitas Indonesia
masalah pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal, tindakan ini
disebut diversi (diversion).
Seiring dengan perkembangan zaman, Nasir Jamil menyimpulkan bahwa
permasalahan terbesar dari anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) adalah
tidak lagi relevannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak (UU Pengadilan Anak), baik dari aspek yuridis, filosofis dan sosiologis.
Menurutnya, UU Pengadilan Anak tidak memberikan solusi tepat bagi
penanganan ABH karena diarahkan untuk diselesaikan ke pengadilan, yang
berakibat pada tekanan mental dan psikologis anak, sehingga justru mengganggu
tumbuh kembang biaknya. 5
Dalam kebijakan formulasi hukum pidana formal anak tidak ada ketentuan
yang secara tegas mengatur tentang diversi. Dalam UU Pengadilan Anak, tidak
menentukan diversi secara tegas dalam rumusan Pasal-Pasalnya, akan tetapi
konsep diversi dapat ditemukan dalam rumusan Pasal 5 UU Pengadilan Anak,
yaitu bagi anak yang belum berumur delapan tahun melakukan tindak pidana oleh
pihak kepolisian pada tahap penyidikan diserahkan kembali kepada orang tua/wali
atau orang tua asuhnya ataupun kepada Departemen Sosial. 6 Sedangkan bagi
pelaku anak yang telah berumur delapan tahun atau lebih tidak ada ketentuan
diversi baginya. Ketiadaan ruang bagi kemungkinan diversi dalam UU Pengadilan
Anak ini merupakan celah hukum yang menjadi salah satu alasan perlunya
5
Nasir Jamil, Anak Bukan untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan
Pidana Anak (UU SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hal. 3
6
Pasal 5 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
(1) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan
tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik.
(2) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik
menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya.
(3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak dapat dibina lagi oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik
menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari
Pembimbing Kemasyarakatan.
Universitas Indonesia
7
“Revisi UU Perlindungan Anak Kedepankan Diversi”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba394c5b732f/revisi-uu-perlindungan-anak-
kedepankan-diversi, diunduh pada 21 Februari 2014.
8
Hidayati, Op. Cit., hal. 150.
9
Hutapea, Op. Cit., hal. 11.
Universitas Indonesia
10
DS. Dewi, “Restorative Justice, Diversionary Schemes And Special Children‟s Courts
In
Indonesia”,http://www.kemlu.go.id/canberra/Lists/LembarInformasi/Attachments/61/Restorative%
20Justice,%20Diversionary%20Schemes%20and%20Special%20Children%E2%80%99s%20Cour
ts%20in%20Indonesia.pdf, diunduh 22 Februari 2014, hal. 9.
11
Irma dan Toeb, “Provinsi Kepri Terbaik Dalam Perlindungan Anak”,
http://infopublik.org/read/64511/provinsi-kepri-terbaik-dalam-perlindungan-anak.html, diunduh 22
Februari 2014.
Universitas Indonesia
12
Suratmi, “Polsek Bontang Selatan Gelar Sidang Diversi”,
http://www.antarakaltim.com/berita/13317/polsek-bontang-selatan-gelar-sidang-diversi, diunduh
22 Februari 2014.
13
Oye, “Jejaring Penanganan ABH Kabupaten Brebes Sepakati Diversi”,
http://kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1610:jejaring-penanganan-abh-
kabupaten-brebes-sepakati-diversi&catid=110:brebes&Itemid=133, diunduh 22 Februari 2014.
14
Sri Susilarti, Tatan Rahmawan, dan G.A.P. Suwardhani, Modul Pembimbing
Kemasyarakatan: Modul V Diversi, (t.k: direktorat jendral pemasyarakatan, 2012), hal. 203-204.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
penulis bahas dalam skripsi yang berjudul “Konsep Diversi Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya Perlindungan”.
Universitas Indonesia
dalam praktik dalam sistem peradilan yang melibatkan anak sebagai pihak yang
berkonflik dengan hukum pidana.
15
Pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak
16
Pasal 1 angka 1 dan 2 UU Pengadilan Anak
17
Pasal 1 angka 3 UU SPPAmenyebutkan bahwa Anak yang Berkonflik dengan
Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Meskipun demikian, pemabahasan pada skripsi ini akan lebih difokuskan terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum yang belum berumur 12 tahun.
Universitas Indonesia
18
Pasal 8 ayat (1) UU SPPA
19
Hutapea, Loc. Cit.
20
Yayasan Pemantau Hak Anak, Op. Cit., hal. 8.
21
Pasal 7 UU SPPA
Universitas Indonesia
22
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, ed. 1,
(Jakarta: PT. RrajaGrafindo Persada,2006), hal. 118.
23
Sri Mamudji,et. all., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 10.
24
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal. 93.
25
Ibid., hal. 95.
Universitas Indonesia
bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah tentang
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan
hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku teks
karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan
pandangan-pandangan klasik para sarjana yang memiliki kualifikasi tinggi. Di
samping buku teks, bahan hukum sekunder dapat berupa tulisan-tulisan tentang
hukum baik dalam bentuk buku ataupun jurnal-jurnal. 26
Penelitian ini juga menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan
metode pengumpulan data berupa wawancara kepada narasumber, selain metode
pengumpulan data melalui studi kepustakaan. Wawancara yang dimaksud
dilakukan terhadap narasumber untuk memperoleh informasi lebih lanjut
mengenai praktik diversi dalam peradilan anak pada umumnya dan praktik
diversi dalam Pasal 21 UU SPPA pada khususnya. Wawancara dilakukan terhadap
pihak-pihak yang disebut dalam Pasal 21 UU SPPA, yaitu penyidik anak, pekerja
sosial, pembimbing kemasyarakatan, dan salah seorang anggota penyusun
Rancangan Peraturan Pemerintah dari UU SPPA.
Penelitian ini difokuskan di daerah Jakarta Selatan, sehingga Penyidik
Anak, yaitu Mariana Widiastuti yang penulis wawancarai berasal dari Polres
Metro Jakarta Selatan dan Pembimbing Kemasyarakatan, yaitu Saida Sitanggang,
Karto Sugiarto, dan Sri Sinta dari Balai Pemasyarakatan Jakarta Selatan.
Sedangkan Pekerja Sosial, yaitu Sudayana berasal dari Panti Sosial Marsudi Putra
Handayani yang berlokasi di Jakarta Timur, dikarenakan panti sosial milik
Kementerian Sosial hanya ada satu di Jakarta. Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial yang penulis wawancarai, masing-masing
ditentukan sendiri oleh lembaga yang bersangkutan. Sedangkan Christina Sri
Widyastuti yang merupakan Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan Klien Dewasa
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, penulis memilih untuk mewawancarai karena
beliau merupakan Anggota penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah dari UU
26
Ibid., hal. 141-143.
Universitas Indonesia
SPPA dan telah berpengalaman mengenai diversi, selain itu penulis juga
mendapat rekomendasi dari Dosen penulis untuk mewawancarai beliau.
Wawancara dilakukan secara berencana dimana peneliti menyusun daftar
pertanyaan sebagai pedoman wawancara dan wawancara bersifat terbuka, dimana
narasumber mengetahui kalau dia diwawancarai dan apa tujuan dari wawancara
tersebut.27 Setelah semua data terkumpul, akan dilakukan proses analisis data
dengan menghubungkan data yang dihasilkan dari penelitian kepustakaan dengan
data hasil wawancara dan data hasil pengamatan terlibat, yang kemudian akan
dianalisis secara kualitatif.
27
Burhan Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke
Arah Ragam Varian Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hal. 100.
Universitas Indonesia
Bab IVmerupakan bab penutup dalam penelitian ini. Bab ini berisi
kesimpulan peneliti terhadap keseluruhan penelitian yang telah peneliti lakukan
dan merupakan jawaban atas permasalahan-permasalahan yang peneliti
cantumkan dalam bab pendahuluan, serta saran peneliti terkait dengan
permasalahan-permasalahan tersebut.
Universitas Indonesia
BAB II
28
Informal probation adalah metode untuk mengkoreksi kriminal untuk mencoba
menghindari intervensi pengadilan formal. Hal ini dapat dikategorikan sebagai hukuman bersyarat,
karena dapat dicabut jika syaratnya tidak terpenuhi.Informal probation dapat berlaku untuk anak
yang mengakui pelanggaran yang disangkakan padanya selama proses penyelidikan awal dan
dugaan pelanggaran dianggap kecil dibandingkan denganpelanggaran-pelanggaran yang ada
sebelumnya (http://definitions.uslegal.com/i/informal-probation/).
Frederick Ward, Jr., “Prevention and Diversion in the United States,” dalam The
29
Changing Faces Of Juvenile Justice, (New York: New York University Press, 1978), hal. 44.
30
Paul Nejelski, “Diversion: The Promise and the Danger”, Crime and Delinquency 22
(October 1976), p. 396.
31
Malcolm W. Klein, “Issues and Realities in Police Diversion Programs,” Crime and
Delinquency 22 (October 1976), p. 421.
Universitas Indonesia
32
Delbert S. Elliott, National Evaluation of Youth Service System, (Boulder, Colo:
Behavioral Research and Evaluation Corporation, 1974), P.38.
33
Marlina, Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan terhadap
Anak yang Berhadapan dengan Hukum, (Medan: Pusat kajian dan Perlindungan Anak (PKPA),
2007), hal. 83
34
Harjit S. Sandhu and C. Wayne Heasley, Improving Juvenile Justice: Power Advocacy,
Diversion, Decriminalization, Deinstitutionalization, and Due Process, (New York: Human
Sciences Press, 1981 ), p.93
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
35
Sandhu and Heasley, Ibid., p. 95.
36
Marlina ,”Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Equality ( 2008): 1.
Universitas Indonesia
37
The Juvenile Justice System, Malcolm W. Klein (Ed.), (London: Sage Publications,
1976), p.103.
38
Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat mereka berhadapan dengan hukum
sebagai berikut:
a. Status offender merupakan sebutan bagi pelaku anak yang melakukan „status offenses,‟ yaitu
pelanggaran yang hanya berlaku bagi anak dan bukan kejahatan bila dilakukan orang dewasa,
contohnya bolos sekolah, kabur dari rumah, melanggar jam malam, dst.
b. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa
dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum ( Allen and Simmonsen, 1989).
39
Ward, Jr., Op. Cit., Hal. 47.
Universitas Indonesia
anak selama tiga bulan, maka kasusnya tidak akan dilimpahkan ke pengadilan;
petugas kemudian mengalihkan anak tersebut ke sekolah alternatif dari pada ke
proses formal pengadilan; putusan bagi anak penyalahguna narkoba ditunda
sementara ia menghadiri empat sesi dari sekolah penyalahgunaan narkoba dari
probation departement.40
40
H. Ted Rubin, Juvenile Justice: Policy, Practice, and Law, (United States of America:
McGraw-Hill, Inc, 1985), p.176-177.
41
Klein (Ed.),Op.Cit., P. 106- 109.
Universitas Indonesia
oleh polisi, khususnya, adalah kekhawatiran bahwa pelaku anak yang relatif naif
akan menjadi terkontaminasi melalui kontak dengan pelaku lebih jahat dan
berpengalaman selama periode penahanan atau dalam kurungan. Diversi
mencegah paparan dari satu hal ke hal lainnya, hal ini terlihat sebagai langkah
pencegahan yang efektif. 42
Pembenaran lain atas diversi berasal dari kekhawatiran mengenai
efektivitas pengadilan anak-anak. Dikatakan bahwa pengadilan anak tidak
sempurna melindungi hak-hak anak selama proses hukum, tidak teraturnya
advokasi untuk anak, dan telah gagal untuk mencapai nilai tinggi dalam
menyediakan atau mengatur program rehabilitasi. Beberapa orang percaya bahwa
kekurangan pengadilan adalah karena perannya terlalu luas, dan bahwa perilaku
antisosial ditangani oleh pengadilan anak harus dibatasi untuk pelanggar serius
dan berulang-ulang. Pengadilan anak tidak bisa menjadi segalanya bagi semua
anak. Untuk merancang peran yang lebih sempit dan realistis untuk pengadilan
ini, dikatakan bahwa pelanggaran yang lebih rendah harus dialihkan dari sistem
formal. Diversi akan mengurangi beban kerja pengadilan, sumber daya sistem
peradilan yang terbatas, termasuk jasa probation, dan biaya percepatan forum
yang lebih merugikan, yang dipandang oleh beberapa pengamat sebagai
kepentingan yang substansial dari diversi. 43
Labelling theory yang dikembangkan oleh Mead, Tannenbaum, Blumer,
Lemert, Becker, dan yang lainnya, dan differential association theory yang
dikembangkan Mead, Thomas, Blumer, Sutherland, Ohlin, Glaser, Short, Cohen,
Matza, dan yang lainnya, adalah teori delinkuensi utama yang mendukung
penerapan program diversi. 44
Perspektif labeling menyatakan bahwa “individuals stigmatized as
delinquent become what they are said to be. Initial deviation (primary deviance)
occurs rather haphazardly, as does apprehention, arrest and labeling as
delinquent. Once caught and labeled, however, the child is stigmatized, forced out
42
Ibid.
43
Rubin, Op.Cit., p. 178.
44
Sandhu and Heasley, Op. Cit., p. 98.
Universitas Indonesia
45
Hal ini dikemukakan oleh Donald R. Cressey dan Robert A. Mcdermott dalam
Diversion From The Juvenile Justice System, sebagaimana dikutip dalam Rubin, Ibid., p. 178.
46
Sandhu and Heasley, Loc. Cit.
47
Hal ini dikemukakan oleh D. R. Cressey dan R. Mcdermott dalam Diversion from the
Juvenile Justice System sebagaimana dikutip dalam Sandhu and Heasley, Ibid., hal. 99.
48
Hal ini dikemukakan oleh Jerome S. Stumphauzer dalam Behavior Therapywith
Delinquents sebagaimana dikutip dalam Sandhu and Heasley, Ibid., hal. 100.
Universitas Indonesia
49
Sandhu and Heasley, Ibid., p. 100-101
Universitas Indonesia
50
Ibid., p. 101.
Universitas Indonesia
tidak terlepas dari akibat negatif yang mungkin dihasilkannya. Menurut Cressey
akibat negatif tersebut adalah: 51
1. Program diversi yang didirikan di bawah naungan sistem peradilan anak dapat
mengalihkan perhatian dari kritik yang merupakan alasan awal pembentukkan
program diversi itu sendiri.
2. Petugas sistem peradilan anak yang melakukan program diversi mungkin
hanya merubah istilah dan prosedur diversi tanpa serius mengubah apa yang
terjadi pada anak.
3. Program diversi dapat menjadi sarana birokrasi yng bertujuan mengalihkan
perhatian dari perubahan yang dibutuhkan dalam lingkungan anak dan dapat
berfungsi untuk hanya melanggengkan lembaga yang sudah tidak sesuai
dengan zaman.
Sementara McDermott menyatakan bahwa program diversi dapat:52
1. Meningkatkan jumlah anak yang berurusan dengan sistem peradilan pidana.
2. Meningkatkan anggaran dan staf dari sistem tersebut.
3. Mengakibatkan penanganan yang lebih intensif terhadap anak yang tidak
didiversi.
4. Meninggalkan proses diversi tradisional (penyaringan) dan lebih memilih
diversi ke dalam sistem.
5. Mengabaikan hak-hak anak dalam proses hukum.
6. Meningkatkan pengaruh pemerintah dalam program privat.
7. Menciptakan badan hukum baru.
51
Ibid., p.107
52
Ibid., p.107
53
Ibid.,p. 102.
Universitas Indonesia
54
Hutapea, Op. Cit., hal. 10.
55
Alice McGrath, A Voice For The Future Of Juvenile Justice In Asia-Pacific:
Introduction To The Asia Pacific Council For Juvenile Justice And Leading Juvenile Justice
Reforms In The Region, (Brussels: International Juvenile Justice Observatory (IJJO), 2013), p.23.
Universitas Indonesia
persidangan yang normal. Hal ini berimplikasi bahwa tuntutan kepada pelaku
berdasarkan kondisionalitas tertentu dapat ditarik mundur atau dihentikan.
Selanjutnya pelaku harus berpartisipasi pada program khusus atau memulihkan
korban. Diversi dapat juga disebut penyelesaian di luar pengadilan (out-of-court
settlement) di mana tuntutan terhadap terdakwa dihentikan atau dicabut, namun
sebagai gantinya tersangka harus mentaati persyaratan-persyaratan yang
disepakati oleh para pihak. 56
Hukum Internasional memiliki 2 (dua) sifat, yakni instrumen yang
mengikat secara hukum (legally binding instrument) dan instrumen yang tidak
mengikat secara hukum (instruments not legally binding) namun memiliki
kekuatan secara moral (have morally persuasive force), Sifat mengikat ini
bergantung pada jenis intrumen hukum internasional tersebut. Instrumen Hukum
Internasional yang berbentuk perjanjian internasional (treaty) seperti kovenan,
konvensi, protocol memiliki sifat mengikat secara hukum. Negara yang telah
meratifikasi suatu intrumen perjanjian internasional harus melaksanakan
kewajiban hukum berdasarkan prinsip itikad baik (pacta sunt servanda
principles). Apabila instrumen tersebut diformulasikan dalam bentuk
deklarasi, guidelines, prinsip-prinsip biasanya memiliki karakteristik tidak
mengikat secara hukum. Negara tidak memiliki kewajiban hukum untuk
melaksanakannya, namun instrumen tersebut dapat dijadikan sebagai rujukan
(sumber) hukum. 57 Apabila dikaitkan dengan kedua sifat hukum internasional
tersebut, maka hukum internasional yang memberikan standar perlakuan dalam
menangani anak terbagi menjadi standar yang harus dan yang dapat dirujuk oleh
negara-negara. Berikut akan diuraikan beberapa peraturan internasional yang
terkait dengan program diversi anak.
Konvensi Hak Anak (KHA) merupakan salah satu ketentuan hukum
internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan
Presiden No. 36 Tahun 1990. Konvensi tersebut menyatakan bahwa
penangkapan dan penahanan anak harus sesuai dengan hukum, dan harus
56
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report on Delivery: Restorative
Justice sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Op. Cit., hal. 10.
57
Yayasan Pemantau Hak Anak,Op. Cit., hal. 1.
Universitas Indonesia
digunakan hanya sebagai upaya terakhir, di mana anak-anak memiliki hak untuk
diberitahu segera tuduhan yang disangkakan terhadap mereka, dan mendapatkan
bantuan dari orang tua mereka dan bantuan hukum pada semua tahap pemrosesan.
Anak-anak tidak boleh mengalami penyiksaan atau tindakan kejam lainnya,
perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman, dan hak mereka
untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau mengaku bersalah harus
dijamin. 58
United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures
(Tokyo Rules) 59 menyatakan bahwa perkembangan tindakan non-custodial baru
harus didorong dan diawasi secara ketat (Rule 2.4). Aturan ini juga menyatakan
bahwa pertimbangan harus diberikan untuk menangani para pelaku di masyarakat,
menghindari sejauh mungkin penggunaan prosedur formal atau sidang pengadilan,
sesuai dengan perlindungan hukum dan supremasi hukum (Rule 2.5).
Pengembangan berbagai tindakan berbasis masyarakat juga dianjurkan. Bangkok
Rules menganjurkan hal yang sama untuk pelaku perempuan.
Dalam rangka memberikan keleluasaan yang lebih besar sesuai sifat dan
beratnya pelanggaran, kepribadian dan latar belakang pelaku, dan perlindungan
masyarakat dan juga untuk menghindari pemenjaraan yang tidak perlu, sistem
peradilan pidana harus menyediakan berbagai tindakan non-custodial, dari tahap
sebelum sidang sampai tahap pasca pemidanaan. Jumlah dan jenis tindakan non-
custodial yang tersedia harus ditentukan sedemikian rupa sehingga pemidanaan
yang konsisten tetap dimungkinkan (Rule 2.3).
Sehubungan dengan pelaku anak, KHA, Guidelines for the Prevention of
Juvenile Delinquency dan Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice mendukung penggunaan diversi untuk menyelesaikan
pelanggaran hukum oleh anak sebagai pilihan lain dari pada memproses mereka
melalui sistem peradilan anak formal. Secara khusus, KHA mewajibkan Negara
Pihak untuk mendukung pembentukan langkah-langkah yang dilakukan
58
Konvensi Hak Anak Pasal 39 dan Pasal 40 ayat (2)
59
Diadopsi oleh General Assembly resolution 45/110 pada 14 Desember 1990. Resolusi
General Assembly (Majelis Umum PBB) bersifat non-legally binding, tapi hanya bersifat anjuran
bagi negara-negara anggota PBB.
Universitas Indonesia
60
United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency, Guideline 6
61
Diadopsi oleh General Assembly resolution 40/33 pada 29 November 1985
62
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice , Rule 11.1 sampai
11.4.
Universitas Indonesia
memiliki persetujuan dari anak atau / orang tuanya atau walinya. Aturan tersebut
menekankan bahwa perhatian harus diberikan terhadap hal-hal tersebut untuk
meminimalkan potensi paksaan dan intimidasi pada semua tingkatan dalam proses
diversi. Anak tidak boleh ditekan untuk menyetujui program diversi, untuk
misalnya, dalam rangka menghindari keharusan muncul di pengadilan. Rule 11.4
merekomendasikan penyediaan alternatif yang layak pada proses peradilan anak
dalam bentuk diversi berbasis masyarakat. Program yang melibatkan penyelesaian
dengan cara restitusi korban dan program yang berusaha untuk menghindari
konflik dengan hukum kedepannya melalui pengawasan sementara
dan bimbingan, secara khusus direkomendasikan. 63
Dalam General Comment No. 10 (2007) on Children’s rights in Juvenile
Justice, Komite Hak Anak menyatakan pendapat bahwa negara penandatangan
harus melakukan langkah-langkah diversi yang merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari sistem peradilan anak dan memastikan bahwa hak-hak pelaku
anak ini dan perlindungan hukumnya dihormati dan dilindungi sepenuhnya.
Sebagai contoh, Kebijakan Penuntutan yang diadopsi oleh Kepulauan
Solomon menyatakan bahwa: " It is the role of the Royal Solomon Islands Police
Force to fairly and transparently dispose of matters involving minor offending by
young first time offenders by means other than prosecution (...) ".64 Kampanye
kesadaran publik juga digunakan untuk mempromosikan citra polisi yang "ramah
anak" kepada masyarakat.
Pada pertemuan Asia Pacific Council For Juvenile Justice (APCJJ), yang
diadakan pada Juni 2012 di Bangkok, Thailand, juga memfasilitasi perbincangan
mengenai jenis penyerahan dan intervensi yang mungkin dapat dibuat melalui
program diversi untuk memenuhi kebutuhan khusus dari anak dengan masalah
kesehatan kejiwaan atau pelaku anak dengan kebutuhan khusus. 65
63
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice , Rule 11
Commentary
64
Pasal 22.3 dari Prosecution Policy, Office of the Director of Public Prosecutions,
Solomon Islands, 14 May 2009
65
McGrath,Op. Cit., p.26.
Universitas Indonesia
66
Justice Imman Ali,Towards A Justice Delivery System for Children in Bangladesh, A
guide and Case Law on Chil -dren in conflict with the Law, UNICEF Bangladesh, 2010, p. 224.
67
Human Rights Brief No.5: Best practice principles for the diversion of juvenile
offenders, https://www.humanrights.gov.au/publications/human-rights-brief-no5-best-practice-
principles-diversion-juvenile-offenders-2001
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
68
Merupakan terjemahan bebas dari “Efforts shall be made to establish a regular
evaluative research mechanism built into the system of juvenile justice administration and to
collect and analyse relevant data and information for appropriate assessment and future
improvement and reform of the administration.”
69
Carolyn Hamilton, Guidance For Legislative Reform On Juvenile Justice, (New York:
Children‟s Legal Centre and United Nations Children‟s Fund (UNICEF), Child Protection Section,
2011), p. 59-60.
70
United Nations Office On Drugs And Crime, Handbook on Restorative justice
programmes, (New York: United Nations, 2006), p.7.
Universitas Indonesia
71
Economic and Social Council, Resolution 2002/12: Basic Principles on the Use of
Restorative JusticeProgrammes in Criminal Matters, para. 2.2
Universitas Indonesia
setempat. Sebagai contoh, program ini dapat mengajarkan anak keahlian umum
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari atau keahlian tertentu seperti
mekanik motor dasar, atau membangun keterampilan penting yang akan
membantu anak mendirikan usaha kecil.
Terhadap bentuk-bentuk diversi yang dikemukakan Carolyn Hamilton
tersebut, penulis tidak setuju dengan dimasukannya “restorative justice” sebagai
salah satu bentuk diversi. Meskipun bentuk diversi yang dimaksud Carolyn
Hamilton adalah dengan melibatkan korban, pelaku, atau pihak lainnya yang
terlibat untuk bersama menyelesaikan masalah, yang mana hal ini sama dengan
proses restorative justice, 72 tidak berarti bahwa restorative justice merupakan
suatu bentuk diversi. Restorative justice tidak harus dilakukan dengan diversi
karena restorative justice merupakan salah satu aliran pemidanaan. Oleh karena
itu penyebutan “restorative justice” sebagai bentuk diversi tidaklah tepat
(seharusnya ada istilah lain) karena dapat membuat salah persepsi dengan
menyamakannya sebagai restorative justice yang adalah aliran pemidanaan.
72
Penggunaan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan suatu perkara pidana
merupakan suatu proses yang memberikan tempat kepada setiap pihak yang terlibat dalam suatu
tindak pidana itu berbicara tentang apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkan atas tindak pidana yang terjadi. Hal ini dikemukakan oleh John Braitwaite & Heather
Strang dalam Introduction: Restorative Justice and Civil Society, in Restoratif Justice and Civil
Society, sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, “Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi
Tentang Kemungkinan Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana)”
(Disertasi yang tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2009), hal. 45.
73
Hamilton, Op. Cit., p. 56-58.
Universitas Indonesia
memberikan polisi kewenangan ini juga berarti membebankan tugas pada polisi
untuk mempertimbangkan pilihan non-yudisial pada setiap kasus. Pedoman harus
dikembangkan untuk mengatur pelaksanaan diskresi polisi.
b. Diversi Jaksa
Peraturan perundangan seharusnya tidak mewajibkan penuntutan bagi
anak-anak yang diduga, dituduh atau mengakui telah melakukan kejahatan. Setiap
ketentuan yang demikian harus dihapus dari hukum. Peraturan perundangan harus,
sebagai gantinya, memuat ketentuan yang memberikan jaksa kewenangan diskresi
untuk menangguhkan, atau tidak memulai, penuntutan terhadap anak, bahkan jika
ada bukti yang cukup untuk menguatkan keyakinan (dikenal sebagai prinsip
diskresi penuntutan). Faktor-faktor seperti usia anak, kondisi pelanggaran dan
apakah penuntutan adalah untuk kepentingan umum, dapat diperhitungkan. Di
beberapa negara, jaksa memiliki kewenangan untuk menerapkan tindakan pada
anak ketika menangguhkan atau menjatuhkan penuntutan. Langkah-langkah ini
umumnya termasuk pelayanan masyarakat, mediasi dan kewajiban untuk
mengikuti program rehabilitasi. Pedoman perlu dikembangkan untuk mengatur
pelaksanaan diskresi.
c. Diversi Di Pengadilan
Di beberapa negara, hakim diberi keleluasaan untuk menerapkan diversi
sebelum awal sidang utama, biasanya pada hari pertama sidang. Di Pilipina dalam
Juvenile Justice and Welfare Act yaitu pada Pasal 24 memberikan kemungkinan
bagi diversi dilakukan pada semua tahap dan tingkat peradilan termasuk tingkat
pengadilan. Peraturan tersebut memungkinkan masyarakat setempat untuk
mencoba menyelesaikan kasus itu sebelumnya, bagi pelanggaran terhadap orang
lain dan diancam hukuman penjara kurang dari enam tahun, melalui musyawarah,
mediasi atau perdamaian (Pasal 25).
Universitas Indonesia
74
Dikemukakan dalam Committee on the Rights of the Children, Singapore State Report,
2010, p. 442. Sebagaimana dikutip dalam McGrath, Op. Cit., p.26.
75
Hal ini dikemukakan oleh Blagg, H. et al. dalam The Final Report on the Juvenile
Liaison Bereue, sebagaimana dikemukakan dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia:
Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Nurul Falah Atif (ed.), (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2009), hal. 167.
76
Hal ini dikemukakan oleh Loraine Gelsthorpe dan Nicola Padfield dalam Exercising
Discretion Decision-Making in the Criminal Justice System and Beyond, sebagaimana
dikemukakan dalam Marlina, Ibid., hal. 167.
Universitas Indonesia
77
Hal ini dikemukakan oleh Jenny Bargen dalam Workshop: Training to Divert
Offenders, paper presented at the Juvenile Justice: From Lesson of the Past to a Road for the
Future Conference Convened by the Australian Institute of Criminology in Conjuction with the
NSW Departement Of Juvenile Justice, sebagaimana dikutip dalam Setya Wahyudi, Implementasi
Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Jogjakarta: Genta
Publishing, 2011), hal. 144.
78
Hal ini dikemukakan oleh Jenny Bargen dalam Workshop: Training to Divert
Offenders, paper presented at the Juvenile Justice: From Lesson of the Past to a Road for the
Future Conference Convened by the Australian Institute of Criminology in Conjuction with the
NSW Departement Of Juvenile Justice, sebagaimana dikutip dalam Wahyudi, Ibid., 145.
79
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan
Restorative Justice, Nurul Falah Atif (ed.), (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal. 163.
Universitas Indonesia
Di Selandia Baru ciri program peradilan anak modern ini tertanam dengan
kuat dalam undang-undang yang menyatakan bahwa "unless the public interest
requires otherwise, criminal proceedings should not be instituted against a child
or young person if there is alternative means of dealing with the matter… ". 80 Hal
ini didasarkan pada anggapan bahwa tindakan memasuki proses formal itu sendiri
dapat berdampak negatif pada anak-anak. 81Sistem Selandia Baru menekankan
diversi dari pengadilan dan penahanan dan memperlakukan anak secara
bertanggungjawab. Sistem ini bertujuan untuk memfasilitasi rehabilitasi dan
reintegrasi anak, memberikan dukungan bagi keluarga mereka dan melayani
kebutuhan korban. Sistem Selandia Baru merintis pendekatan restoratif bagi
pelanggaran oleh anak khususnya dalam hal penggunaan family group conference
untuk menentukan hasil dari pelanggaran anak yang lebih serius. 82
Ketika anak melakukan pelanggaran, polisi bisa merespon dengan:
a. Mengeluarkan peringatan untuk tidak kembali melanggar (issuing a warning
not to reoffend);
b. Mengatur diversi informal setelah berkonsultasi dengan para korban, keluarga
dan anak (arranging informal diversionary responses after consultation with
victims, families and young people);
c. Ketika anak dituduh, polisi membuat rujukan ke Child Youth and Family
Services untuk family group conference (where intending to charge, making
referrals to Child Youth and Family Services for a family group conference);
atau
d. Menangkap dan menetapkan tuduhan di Youth Court (arresting and laying
charges in the Youth Court).
Usia pertanggungjawaban pidana di Selandia Baru adalah 10 tahun.
Namun, "anak-anak" (di bawah usia 14) tidak bisa dituntut kecuali melakukan
pembunuhan dan pembunuhan berencana. Pelanggaran pembunuhan dan
80
Section 15 of the Children Young Person and their Families Act 1989
81
J. Becroft, “How to Turn A Child Offender into an Adult Criminal – 10 Easy Steps”,
Prato,Italy:International Law Conference Paper, 2009.
82
McGinness dan Tom McDermott, Review of Effective Practice in Juvenile Justice:
Report for the Minister for Juvenile Justice, (Australia: Noetic Solutions Pty Limited, 2010), hal.
6.
Universitas Indonesia
pembunuhan berencana yang dilakukan oleh orang muda berusia 10 tahun atau
lebih diserahkan oleh Youth Court ke High Court. Dalam kasus lain di mana
pelanggaran anak tersebut menyebabkan kekhawatiran, mereka dapat ditangani
baik dengan peringatan, pengalihan polisi atau family group conference. Atau
mereka dapat diserahkan ke Department of Child, Youth and Family Services
sebagai anak yang membutuhkan perawatan dan perlindungan. Sebagian besar
pelanggaran oleh anak (83%) kini ditangani sesuai dengan prosedur alternatif
peradilan anak di bawah kontrol Kepolisian83.
Sementara di Papua New Guinea (PNG) sudah memiliki Police Juvenile
Policy dan Diversion Protocol sendiri, yang didukung oleh Juvenile Policy
Monitoring Unit dalam Kepolisian PNG. Unit ini memantau diversi dan praktek
pemrosesan anak yang efektif yang dilakukan oleh polisi. Diversi juga tersedia di
tingkat pengadilan melalui Juvenile Court Diversion Programme. Sebelum anak-
anak diproses di pengadilan karena kejahatan ringan, pengadilan memiliki
keleluasaan untuk merujuk mereka ke mediasi dengan masyarakat daripada
memproses dengan sidang formal. 84
Berdasarkan pendapat Anderson, metode diversi yang dibentuk secara
internasional meliputi: 85
1) Pembebasan bersyarat (conditional discharge), di mana tuntutan tindak
pidana dicabut apabila tersangka mentaati persyaratan-persyaratan
tertentu seperti pembayaran jumlah tertentu, memberikan pelayanan sosial
kepada masyarakat, atau memberikan ganti kerugian kepada korban;
2) Penyederhanaan prosedur (simplified procedures), melalui perundingan
untuk mempercepat proses, tidak memperumit terdakwa dengan cara
yang lebih baik , atau prosedur yang lebih cepat, seperti penawaran tuntutan
atau penghukuman;
83
Dikemukakan oleh Maxwell dalam The Youth Court of New Zealand sebagaimana
dikutip dalam McGinness dan McDermott, Ibid., hal. 7.
84
“Juvenile justice reform in Papua New Guinea,”
http://www.unicef.org/eapro/Juvenile_justice_reform_in_Papua_New_Guinea.pdf
85
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report on Delivery: Restorative
Justice sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Ibid., hal. 10.
Universitas Indonesia
86
Dikemukakan oleh Barry Holman & Jason Ziedenberg dalam The Dangers of
Detention: The Impact of Incarcerating Youth in Detention and Other Secure Facilities, The
Justice Policy Institute, sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Op. Cit., hal.
11.
Universitas Indonesia
87
Wahyudi, Op. Cit., hal. 188.
Universitas Indonesia
88
Pasal 2
(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang
baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan
wajar.
(2) Anak berhak atas pelayanan unt uk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya,
sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan
berguna.
(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlidungan, baik semasa dalam kandungan maupun
sesudah dilahirkan.
(4) Anak berhak atas perlindungan ter hadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan per kembangannya dengan wajar.
Universitas Indonesia
89
Wahyudi, Op.Cit., hal. 222.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
90
Ferawati, “Kebijakan Formulasi Terhadap Konsep Diversi Dalam Pembaruan Sistem
Peradilan Pidana Anak Di Indonesia,” http://pasca.unand.ac.id/id/wp-
content/uploads/2011/09/KEBIJAKAN-FORMULASI-TERHADAP-KONSEP-DIVERSI.pdf
Universitas Indonesia
dalam bentuk lain yang di nilai terbaik menurut kepentingan anak. Diversi dapat
dikembalikan ke orang tua, si anak baik tanpa maupun disertai peringatan
informal/formal, mediasi, musyawarah keluarga pelaku dan keluarga korban, atau
bentuk-bentuk penyelesaian terbaik lainnya yang sesuai dengan budaya
masyarakat setempat.91
91
TR Kabareskrim No. 1124/XI/2006. Butir DDD. Dua sebagaimana dikutip dari
“Pembaruan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang Bermasalah Dengan
Hukum (Dikaji Dari Perspektif Peradilan Pidana),”
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-396-1796740271-bab%20i-v%20tesis.pdf
Universitas Indonesia
Sebagai suatu pendekatan yang dipakai dalam sistem peradilan pidana anak
menurut UU SPPA, tentunya pemahaman mengenai konsep restorative justice
sangatlah diperlukan dan tidak dapat diabaikan, makasebelum membahas lebih
jauh mengenai diversi dalam UU SPPA, penulis akan membahas restorative
justice terlebih dahulu.
Restorative Justice
Restorative Justice (Keadilan Restoratif) adalah suatu penyelesaian secara
adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait
dalam suatu tindak pidana secara bersama-sama mencari penyelesaian terhadap
tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula sebagaimana diatur dalam Surat Keputusan Bersama antara
Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian
Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan Ham Republik Indonesia,
Menteri Sosial Republik Indonesia dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak Republik Indonesia. 92
Prof. Dr. Bagir Manan, SH., Mcl. dalam tulisannya juga,menguraikan
tentang substansi restorative justice berisi prinsip-prinsip, antara lain: 93
”Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat
menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban,dan
masyarakat sebagai ”stakeholders” yang bekerja bersama dan langsung berusaha
menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solutions)”.
Adapun syarat-syarat/ kriteria Restorative Justicesebagai berikut:94
1. Pengakuan atau pernyataan bersalah dari pelaku.
2. Persetujuan dari pihak korban / keluarga dan adanya keinginan untuk
memaafkan pelaku.
3. Dukungan komunitas setempat untuk melaksanakan penyelesaian secara
musyawarah dan mufakat.
4. Kwalifikasi tindak pidana ringan
92
Pasal 1 angka (5) Surat Keputusan Bersama
93
Bagir Manan, “Restorative Justice (Suatu Perkenalan)”,dalamRefleksi Dinamika
Hukum- Rangkaian Pemikiran dalam dekade Terakhir, (Jakarta:Perum Percetakan Negara RI,
2008), hal. 4.
94
Dewi, Op. Cit., hal. 7.
Universitas Indonesia
95
Hal ini dikemukakan oleh Alicia Victor dalam Sub-Report on Delivery: Restorative
Justice sebagaimana dikutip dalam Yayasan Pemantau Hak Anak, Ibid., hal. 8.
96
Ibid.
Universitas Indonesia
2. Korban, pelaku, komunitas, dan pemerintah harus bersikap aktif terlibat dalam
proses peradilan pidana dari titik yang paling awal hingga titik yang paling
maksimal;
3. Pemerintah bertanggung jawab untuk memelihara tata tertib dan
komunitas (masyarakat) bertanggung jawab membangun perdamaian untuk
memajukan keadilan
Restorative justice bertujuan mendorong terciptanya “peradilan yang adil”
dan mendorong para pihak untuk ikut serta di dalamnya. Dengan restorative
justice, korban merasa bahwa penderitaannya diperhatikan dan kompensasi yang
disepakati seimbang dengan penderitaan dan kerugian yang dideritanya. Selain
itu, pelaku tidak perlu mengalami penderitaan untuk menyadari kesalahannya,
malah pelaku diberi kesempatan untuk mengerti dan memperbaiki kerusakan yang
timbul, kesadaran tersebut dapat diperolehnya. 97
Prinsip-prinsip Dasar tentang Penggunaan Program Restorative Justice
dalam Masalah Pidana merujuk pada petunjuk yang penting dan mendasar berikut
dalam menerapkan pendekatan restorative justice:98
1. Hak untuk berkonsultasi dengan penasihat hukum: Korban dan pelaku harus
memiliki hak untuk berkonsultasi dengan penasihat hukum mengenai proses
restorative dan, bila perlu, untuk menerjemahkan dan / atau menafsirkan.
2. Hak anak-anak untuk mendapat bantuan dari orang tua atau wali: Anak-anak
harus memiliki hak untuk mendapat bantuan dari orang tua atau wali.
3. Hak untuk diberi informasi yang lengkap: Sebelum menyetujui untuk
berpartisipasi dalam proses restorative, para pihak harus sepenuhnya
diberitahu tentang hak-hak mereka, sifat dasar proses tersebut dan akibat yang
dimungkinkan dari keputusan yang mereka ambil.
4. Hak untuk tidak berpartisipasi: Baik korban maupun pelaku tidak boleh
dipaksa, atau diarahkan dengan cara tidak adil, untuk berpartisipasi dalam
proses restorative atau menerima hasil restorative. Persetujuan mereka
97
Hal ini dikemukakan oleh Lode Walgrave dalam Restoration in Youth Justice,
sebagaimana dikutip dalam Eva Achjani Zulfa, “Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi Tentang
Kemungkinan Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana)”
(Disertasi yang tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Indonesia,2009, hal. 44)
98
McGrath, Op. Cit., p.30.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
99
McGrath, Op.Cit.hal. 31.
100
Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya,
(Malang:Bayumedia Publishing, 2008), hal 225
101
Bagir Manan, Op. Cit., hal.357
Universitas Indonesia
102
Peraturan-peraturan yang dimaksud antara lain:
1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1959,menyebutkanbahwa persidangan
anak harus dilakukan secara tertutup.
2. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 6 Tahun 1987, tanggal 16 November
1987tentang Tata Tertib Sidang Anak.
3. Surat Edaran Jaksa Agung RI SE-002/j.a/4/1989 tentang Penuntutan terhadap Anak
4. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum B-532/E/11/1995, 9 Nov 1995tentang
Petunjuk Teknis Penuntutan Terhadap Anak
5. MOU 20/PRS-2/KEP/2005 DitBinRehSos Depsos RI dan DitPas DepKumHAM RI tentang
pembinaan luar lembaga bagi anak yang berhadapan dengan hukum
6. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung RI MA/Kumdil/31/I/K/2005tentang kewajiban setiap
PN mengadakan ruang sidang khusus & ruang tunggu khusus untuk anak yang akan
disidangkan
7. Himbauan Ketua MARI untuk menghindari penahanan pada anak dan mengutamakan putusan
tindakan daripada penjara, 16 Juli 2007
8. Peraturan KAPOLRI 10/2007, 6 Juli 2007 tentang Unit PelayananPerempuan dan Anak
(PPA)dan3/2008tentang pembentukan RPK dan tata cara pemeriksaan saksi&/korban TP
9. TR/1124/XI/2006 dari Kabareskrim POLRI, 16 Nov 2006 dan TR/395/VI/2008 9 Juni
2008,tentang pelaksaan diversi dan restorative justice dalam penanganan kasus anak pelaku
dan pemenuhan kepentingan terbaik anak dalam kasus anak baik sebagai pelaku, korban atau
saksi
10. Kesepakatan Bersama antara Departemen Sosial RI Nomor : 12/PRS-2/KPTS/2009,
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.HH.04.HM.03.02 Th 2009,
Departemen Pendidikan Nasional RI Nomor 11/XII/KB/2009, Departemen Agama RI Nomor
: 06/XII/2009, dan Kepolisian Negara RI Nomor : B/43/ XII/2009 tentang Perlindungan dan
Rehabilitasi Sosial Anak Yang Berhadapan dengan Hukum , tanggal 15 Desember 2009
11. Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian
Negara RI, Menteri Hukum dan HAM RI, Menteri Sosial RI, Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak RI, NO.166/KMA/SKB/XII/2009, NO.148
A/A/JA/12/2009, NO. B/45/XII/2009, NO.M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, NO. 10/PRS-
2/KPTS/2009, NO. 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang
Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum.
103
Dewi, Op. Cit., hal. 11.
Universitas Indonesia
kwalifikasi tindak pidana ringan, serta pelaku belum pernah dihukum, maka
Hakim dapat melakukan pendekatan restorative justice dalam forum mediasi
penal di ruang Mediasi Pengadilan, dengan tujuan Pemulihan bagi Pelaku, Korban
dan Masyarakat. Apabila berhasil musyawarah dan lahir kesepakatan maka
kesepakatan tersebut dapat dijadikan pertimbangan Jaksa Penuntut Umum untuk
mengajukan Requisitoir/ tuntutan berupa tindakan (Pasal 24 Undang-Undang
Pengadilan Anak) dan Penasehat Hukum Anak dapat pula melampirkan hasil
kesepakatan dalam pledoinya, selanjutnya Hakim dapat memutus perkara Anak
berupa tindakan (kasuistis) untuk memenuhi ketentuan amanat Pasal 16 ayat (3)
Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai Harmonisasi Pasal 37 yang mengatur
Pidana Penjara Bagi Anak sebagai pilihan akhir (The Last Resort/Ultimum
Remidium).104
Menurut Emy Rosna Wati, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
hasil keputusan restorative justice yang diambil, antara lain: 105
1. Dapat dilaksanakan oleh para pihak sendiri tanpa memerlukan bantuan
instansi aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana.
2. Putusan tidak bersifat punitif tetapi lebih merupakan solusi dengan
memperhatikan kepentingan terbaik dari anak, korban dan masyarakat seperti
restitusi (ganti rugi) atau community service order berupa kewajiban kerja
social.
3. Putusan didasarkan pada adanya kesepakatan semua pihak yang terlibat
dan dapat dilaksanakan.
4. Pengawasan pelaksanaan putusan dilakukan oleh masyarakat dan atau
dengan bantuan LSM sebagai fasilitator.
Beberapa hambatan yang sering ditemukan dalam usaha mewujudkan
restorative justice adalah sebagai berikut:106
a. Seringnya terjadi re-offending atau pelanggaran kembali oleh pelaku
yang telah menjalani restorative justice.
104
Ibid.
105
E y Ros a Wati, Refor asi Perli du gan Hukum Terhadap Anak Yang Berkonflik
Dengan Hukum, jour al.umsida.ac.id/files/Tulisan%20Emi.pdf, hal. 9.
106
Ibid.
Universitas Indonesia
107
Pasal 6 UU SPPA
Universitas Indonesia
diversi informal sebagai solusi menghindari biaya tinggi dan proses yang lama
dalam pelaksanaan diversi formal. 108
Hal serupa juga diutarakan oleh PN Stabat, bahwa definisi diversi dalam
Pasal 1 angka 7 UU SPPA bertujuan agar proses penyelesaian anak berhadapan
dengan hukum sedini mungkin dialihkan dari sistem peradilan formal ke proses
non formal. Namun pada Bab III UU SPPA ini malah memasukan diversi ke ranah
acara peradilan pidana anak, hal inilah yang kontradiktif dan tidak lagi fisiologis
sesuai tujuannya.109 Penulis sependapat dengan kedua pendapat tersebut, akan
tetapi upaya diversi yang dilakukan pada setiap tahap peradilan pidana ini
memang diperbolehkan dan telah sesuai dengan anjuran yang diberikan Beijing
Rules (Rule 11.2) dimana diversi dapat digunakan pada setiap tahap pengambilan
keputusan seperti polisi, jaksa, atau lembaga lain seperti pengadilan, tribunal, atau
dewan. Lagi pula, ada kemungkinan proses peradilan pidana anak dilanjutkan
dalam hal proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan atau kesepakatan diversi
tidak dilaksanakan. 110
Pada setiap tingkat pemeriksaan anak menurut UU SPPA, upaya diversi
wajib dilakukan sesegera mungkin setelah kasus mulai diproses. Di tingkat
penyidikan, Penyidikan sudah harus memulai upaya diversi maksimal 7 hari
setelah proses penyidikan dimulai. Di tingkat penuntutan, Penuntut Umum wajib
mengupayakan diversi paling lama 7 hari setelah menerima berkas perkara dari
Penyidik. Begitu juga di tingkat pengadilan, Hakim wajib mengupayakan diversi
paling lama 7 hari setelah Hakim Pengadilan Negeri menunjuk Hakim yang
menangani perkara pidana anak. UU SPPA juga menetapkan waktu maksimal di
masing-masing tingkat pemeriksaan itu maksimal selama 30 hari.
108
Muhammad Aenur Rosyid, Nurini Aprilianda, Lucky Endrawati, “Alternatif Model
Penanganan Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing (Analisis
Yuridis Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak ),” http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/09/375_JURNAL-AENUR.pdf
109
“Analisis UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Anak Pada Tingkat
Penyidikan,” http://www.pn-
stabat.go.id/userfiles/file/Bahan%20Presentasi/ANALISIS%20UU%20NO%2011%20TAHUN%2
02012%20TENTANG%20SISTIM%20PERADILAN%20ANAK%20DALAM%20PERSFEKTIP
%20PENEGAK%20HUKUM.pdf
110
Pasal 13 UU SPPA
Universitas Indonesia
111
Sufridi PinimAnggara, Panduan Praktis untuk Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum, Adiani Viviana, (ed.) (Institute for Criminal Justice Reform), hal. 12.
112
Ibid.
113
Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a UU SPPA.
114
Hutapea, Op. Cit., hal. 11.
Universitas Indonesia
115
Wati, Loc. Cit.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB III
sumber: Sri Susilarti, Tatan Rahmawan, dan G.A.P. Suwardhani, Modul Pembimbing
Kemasyarakatan: Modul V Diversi, (t.k: direktorat jendral pemasyarakatan, 2012), hal. 221.
Universitas Indonesia
116
Wawancara dengan Saida Sitanggang, Kasubsie Bimkemasy Bapas Jakarta Selatan, 21
Mei 2014.
117
Wawancara dengan Sudayana, Pekerja Sosial PSMP Handayani, 20 Mei 2014.
118
Wawancara dengan Mariana Widiastuti,Kasubnit PPAPolres Metro Jakarta Selatan,20
Mei 2014. Jumlah anak yang diberikan Mariana Widiastuti bukanlah jumlah spesifik, tetapi hanya
rata-rata jumlah anak yang berhasil didiversi di tahu n 2013.
119
Dalam wawancara dengan PK di Bapas pada tanggal 2 Mei 2014, penulis
mewawancarai tiga orang PK, Penulis pertama mewawancarai Kasubsie Bimkemasy, yaituSaida
Sitanggang, namun karena beliau merasa pemahamannya kurang mengenai Pasal 21 UU SPPA,
maka beliau menyarankan penulis untuk mewawancarai rekan beliau, yaitu Sri Sinta, yang
merupakan Kasubsi Bimbingan Kerja Klien Anak, di tengah wawancara ternyata Sri Sinta harus
memenuhi panggilan kerja, maka beliau minta digantikan oleh Karto Sugiarto yang merupakan
Kasubsi Registrasi, yang juga telah mengikuti Bimtek (Bimbingan Teknis) mengenai UU SPPA.
Universitas Indonesia
melanggar hukum tidak harus dijatuhi hukuman atau masuk penjara. 120Proses
diversi dilakukan dengan melibatkan pelaku dan korban untuk menyelesaikan
perkara dengan cara damai, sehingga perkara tidak perlu dilanjutkan. 121 Konsep
diversi pada intinya mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak dan
supaya perkara anak jangan sampai dibawa ke meja hijau, karena ditakutkan
membawa pengaruh buruk bagi anak dan masa depannya. 122 Pelaksanaan diversi
menggunakan asas musyawarah untuk menyelesaikan suatu kasus atas permintaan
dari pelaku kepada korban dan melibatkan pelaku dan keluarga, korban dan
keluarga, dapat juga didampingi oleh pekerja sosial, tokoh masyarakat, tokoh
agama, ataupun pengacara. Diversi tidak untuk mencari salah dan benar tapi untuk
penyelesaian terbaik masalah, dengan tujuan agar masalah tersebut tidak dimeja
hijaukan atau menghindari persidangan. 123 Pendapat-pendapat mengenai diversi
tersebut sebelumnya memiliki kesesuaian atau kemiripan satu sama lain, maka
dapat disimpulkan bahwa diversi merupakan:
1. Proses penyelesaian perkara anak diluar sidang pengadilan
2. Untuk menghindari pemidanaan dan dampak buruk sistem peradilan terhadap
anak
3. Dilaksanakan secara musyawarah melibatkan pelaku, korban, beserta keluarga
masing-masing.
4. Dapat pula melibatkan pekerja sosial, tokoh masyarakat, tokoh agama,
ataupun pengacara.
Dalam Pasal 1 angka 7 UU SPPA, diversi diartikan sebagai pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan
anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan, menghindarkan anak
120
Wawancara dengan Christina Sri Widyastuti, Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan
Klien Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
dari UU SPPA, 21 April 2014.
121
Wawancara dengan Sri Sinta,Kasubsi Bimbingan Kerja Klien Anak Bapas Jakarta
Selatan, 2 Mei 2014.
122
Wawancara dengan MarianaWidiastuti, Kasubnit PPAPolres Metro Jakarta Selatan, 5
Mei 2014.
123
Wawancara dengan Sudiyana,Pekerja Sosial PSMP Handayani, 6 Mei 2014.
Universitas Indonesia
124
Pasal 6 UU SPPA
125
Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) UU SPPA
126
Pasal 1 angka 3 UU SPPA mendefinisikan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi
belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
Universitas Indonesia
127
Pasal 7 UU SPPA berbunyi:
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri
wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang
dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
128
Wawancara dengan Christina Sri Widyastuti, Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan
Klien Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
dari UU SPPA, 21 April 2014.
Universitas Indonesia
sampai 18 tahun, dan diluar dari pada itu bukan disebut diversi. Namun, apabila
kita melihat dari pengertian diversi yang merupakan pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana,
maka pengambilan keputusan bagi anak oleh Penyidik, PK, dan Peksos dalam
Pasal 21 ayat (1) tersebut adalah proses diversi perkara anak yang dilakukan
dengan pemberian tindakan berupa anak dikembalikan pada orang tua, atau anak
diserahkan ke LPKS. Diversi pada intinya merupakan pengalihan suatu kasus
dari upaya penyelesaian melalui proses peradilan formal, jadi meskipun dalam
Pasal 21 ayat (1) itu tidak secara tegas disebutkan dalam rumusan Pasalnya bahwa
pengambilan keputusan itu merupakan suatu proses diversi, sebenarnya ada proses
diversi disana.
Seperti yang telah penulis sebutkan sebelumnya, bahwa Penyidik, PK, dan
Peksos berpendapat bahwa proses pengambilan keputusan dalam Pasal 21 ayat (1)
merupakan suatu langkah diversi. Jika demikian, maka timbul pertanyaan
mengapa proses diversi itu hanya melibatkan penyidik, PK, dan Peksos? Hal ini
tidak seperti Pasal 8 UU SPPA yang menyatakan bahwa diversi melibatkan Anak
dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan
Keadilan Restoratif, dapat juga melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
dan/atau masyarakat.
Mengenai hal ini, Saida Sitanggang (PK) berpendapat bahwa mekanisme
diversi dalam Pasal 21 ayat (1) ini berbeda dengan mekanisme dalam Pasal 8,
karena diversi dalam Pasal 21 ayat (1) ini khusus untuk anak yang belum
mencapai 12 tahun, sedangkan Pasal 8 merupakan mekanisme diversi untuk anak
yang berumur 12 sampai dengan 18 tahun. Sri Sinta, sesama PK, yang penulis
temui terpisah, juga berpendapat sama dengan Saida Sitanggang. Berbeda halnya
dengan Mariana Widiastuti (Penyidik) yang berpendapat bahwa perbedaan ini
dikarenakan Pasal 8 berlaku untuk diversi pada tahap awal sebelum masuk
pengadilan (tahap penyidikan dan penuntutan), sementara diversi dalam Pasal 21
ayat (1) hanya untuk diversi dalam tahap pemeriksaan di pengadilan, yaitu
apabila proses diversi pada Pasal 8 tidak tercapai dan proses anak berlanjut terus
sampai pengadilan. Sementara Sudiyana (Peksos) berpendapat serupa dengan
Universitas Indonesia
Saida Sitanggang, yaitu bahwa ketentuan bagi diversi anak yang belum mencapai
12 tahun dalam Pasal 21 ayat (1) berbeda dengan ketentuan diversi bagi anak yang
berumur 12 sampai 18 tahun dalam Pasal 8. Pembedaan ini merupakan
pengecualian bagi anak yang belum 12 untuk tidak di sidang karena anak umur
sekian dianggap belum paham atas apa yang telah dilakukannya.
Dalam hal ini penulis sependapat dengan Saida Sitanggang dan Sudiyana,
bahwa Pasal 21 ayat (1) merupakan suatu mekanisme diversi yang berbeda
dengan mekanisme diversi dalam Pasal 8 karena Pasal 21 ayat (1) ini ditujukan
khusus untuk anak yang belum berumur 12 tahun. Sedangkan Pasal 8 merupakan
diversi bagi anak secara umum, yaitu bagi anak berumur 12 sampai dengan 18
tahun. Dalam Pasal 8 ini memang tidak disebutkan secara tegas dalam rumusan
Pasalnya maupun penjelasan mengenai batasan umur anak yang dimaksud, dengan
demikian kita kembali merujuk pada ketentuan umum, maka jelas bahwa anak
disini adalah anak yang dimaksud Pasal 1 angka 3, yaitu anak yang telah berumur
12 tetapi belum berumur 18.
Mengenai pendapat Mariana Widiastuti selaku penyidik, yang
membedakan Pasal 8 dengan Pasal 21 ayat (1) dari segi berlakunya, yaitu diversi
pada Pasal 8 berlaku pada tahap penyidikan dan penuntutan, sementara diversi
pada Pasal 21 ayat (1) berlaku pada tahap pemeriksaan di pengadilan, penulis
tidak sependapat. Lebih lanjut Mariana Widiastuti menjelaskan bahwa Penyidik
dalam Pasal 21 ayat (1) tersebut tidak terbatas pada penyidik dari Kepolisian saja,
tetapi jaksa juga termasuk penyidik. Karena proses diversi ini Beliau maknai
sebagai proses diversi yang terjadi di pengadilan, maka penyidik dalam Pasal ini
adalah Jaksa. Kemudian proses pengambilan keputusan dalam Pasal 21 ayat (1)
diartikan sebagai pengambilan keputusan di sidang pengadilan yang melibatkan
ketiga pihak tersebut (Penyidik, Pk, Peksos) dalam prosesnya. Apakah hasil
keputusan bagi anak berupa pengembalian pada orang tua atau anak diserahkan ke
LPKS merupakan wewenang majelis hakim dalam pengambilan keputusan,
sementara ketiga lembaga tersebut hanya diminta pendapatnya. Jadi hasil
keputusan dalam Pasal 21 ayat (1) adalah berupa putusan pengadilan.
Beliau juga menganggap proses diversi bagi anak yang belum mencapai 12
tahun sama dengan proses diversi bagi anak usia 12 sampai dengan 18 tahun.
Universitas Indonesia
Dimana diversi anak terdapat di setiap tingkatan, dan bila diversi tidak tercapai
atau kesepakatan diversi tidak dijalankan, maka perkara anak berlanjut ke tahap
peradilan selanjutnya, 129 sedangkan apabila diversi tercapai maka proses hukum
dihentikan (lihat skema). Apabila upaya diversi berhasil mencapai kesepakatan,
maka hasil kesepakatan itu tidaklah dimintakan penetapan ke pengadilan,
melainkan hanya berupa kesepakatan yang dituangkan oleh kedua belah pihak
dalam kertas bermaterai.
129
Pasal 13 UU SPPA menyatakan bahwa, proses peradilan pidana Anak dilanjutkan
dalam hal:
a. proses Diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
b. kesepakatan Diversi tidak dilaksanakan.
Universitas Indonesia
Penyidikan
penyidikan lanjut,
penetapan Ka PN pelimpahan
perkara ke PU
Penuntutan
pelimpahan ke
penetapan Ka PN
Pengadilan
Pemeriksaan di
Sidang
Pengadilan
lanjut ke tahap
penetapan Ka PN
persidangan
putusan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
dalam Pasal 26 ayat (1)130 jelas dikatakan bahwa penyidik ditetapkan oleh
Kapolri, berarti Penyidik disini merupakan penyidik Polri. Lagi pula sebelumnya
Mariana Widiastuti juga berpendapat bahwa Pasal 21 ayat (1) ini berlaku pada
tahap pemeriksaan di pengadilan, jika memang yang dimaksud dengan penyidik
adalah jaksa, mengapa jaksa tersebut masih dikatakan penyidik bukan penuntut
umum? Penyidik adalah orang yang melakukan penyidikan, 131 sedangkan tahap
pemeriksaan di pengadilan sudah bukan tahap penyidikan lagi, tetapi mengapa
jaksa disana masih bertindak sebagai penyidik? Ataukah Jaksa dalam sidang itu
bertindak sebagai Penyidik sekaligus Penuntut Umum? Hal-hal semacam inilah
yang penulis rasa tidak tepat.
Ketiga, tidaklah mungkin proses diversi bagi anak yang belum berumur 12
tahun sama seperti proses diversi bagi anak berumur 12 sampai dengan 18 tahun.
Proses diversi bagi anak umur 12 sampai 18 tahun berada di setiap tingkat
peradilan mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
pengadilan, sementara bagi anak yang belum berumur 12 tahun tidak diproses
melalui sistem peradilan pidana, seperti dikemukakan dalam penjelasan Pasal 21
ayat (1) paragraf kedua, yaitu:
“Proses pemeriksaan yang dilakukan oleh Penyidik terhadap Anak dilakukan
bukan dalam rangka proses peradilan pidana, melainkan digunakan sebagai
dasar mengambil keputusan oleh Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan,
dan Pekerja Sosial Profesional.”
Selain itu, dalam naskah akademik RUU Pengadilan Anak yang merupakan
naskah akademik dari UU SPPA ketika masih berbentuk rancangan menyatakan
bahwa:132
“Khusus mengenai penjatuhan pidana terhadap UU ini, ditentukan berdasarkan
perbedaan umur anak, yaitu:
130
Pasal 26 ayat (1) berbunyi,
(1) Penyidikan terhadap perkara Anak dilakukan oleh Penyidik yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat lain yang ditunjuk
oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
131
Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan
bahwa Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
132
BPHN, Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Rancangan
Undang-Undang Pengadilan Anak, Mugiyati,Theodrik Simorangkir, Ninuk Arifah, (ed.) (Jakarta:
Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, 2009), hal. 37-38.
Universitas Indonesia
133
Penjelasan Umum atas UU SPPA menyebutkan bahwa “Khusus mengenai sanksi
terhadap Anak ditentukan berdasarkan perbedaan umur Anak, yaitu bagi Anak yang masih
berumur kurang dari 12 (dua belas) tahun hanya dikenai tindakan, sedangkan bagi Anak
yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun dapat
dijatuhi tindakan dan pidana.”
Universitas Indonesia
(1) terdapat 2 pilihan keputusan yang dapat diberikan pada anak. Apabila anak
melakukan tindak pidana yang tergolong ringan atau bukan tindak pidana berat,
maka anak bisa kembali pada orang tua. Namun apabila anak melakukan tindak
pidana berat, maka anak akan diserahkan ke LPKS. Kemudian Sri Sinta
menambahkan bahwa dasar pengambilan keputusan dalam Pasal 21 ayat (1)
adalah temuan masing-masing pihak, Bapas didasarkan pada Litmas, polisi
didasarkan pada hasil penyidikan, dan pekerja sosial didasarkan pada laporannya.
Pendapat Saida Sitanggang yang mengatakan dalam mekanisme diversi
Pasal 21 ayat (1) dilakukan dengan cara musyawarah yang melibatkan pelaku,
korban, penyidik, PK, dan Peksos, kemudian apabila diversi berhasil dicapai
kesepakatan, barulah keputusan dibuat untuk anak. Mekanisme ini terjadi bila
diversi tercapai, bagaimana bila tidak tercapai? Tentunya proses hukum
dilanjutkan. Menurut penulis, dalam hal ini, pendapat Saida Sitanggang tidak
berbeda dari pendapat Karto Sugiarto yang disebut sebelumnya bahwa mekanisme
diversi bagi anak berumur belum 12 tahun sama dengan mekanisme bagi anak
umur 12 sampai 18 tahun, yaitu diversi berada di setiap tingkat peradilan mulai
dari penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Anak yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana adalah anak yang melakukan tindak pidana
pada saat berusia 12 sampai dengan 18 tahun134, sedangkan anak di bawah 12
tahun belum bisa. Memang sebelumnya Saida Sitanggang membedakan anak yang
belum 12 tahun berlaku Pasal 21 ayat (1), sedangkan anak 12 sampai 18 tahun
berlaku Pasal 8, tapi sepertinya beliau tidak membedakan proses diversi yang
terjadi di setiap tingkat peradilan hanya terjadi bagi anak 12 sampai 18 tahun saja,
dan tidak bagi anak yang belum 12 tahun.
Pendapat yang cukup berbeda mengenai mekanisme Pasal 21 ayat (1)
datang pula dari Sudiyana (Peksos), yaitu proses pengambilan keputusan dalam
Pasal 21 ayat (1) tidak berarti bahwa Penyidik, PK, dan Peksos berkumpul dan
bermusyawarah kemudian mengambil keputusan. Hal ini tidaklah cukup, proses
tersebut diawali dengan proses assesment yang dilakukan Peksos, litmas
(penelitian kemasyarakatan) yang dilakukan PK, kemudian keduanya
digabungkan untuk disampaikan ke penyidik untuk kemudian diambil keputusan
134
BPHN, Op. Cit., hal. 131.
Universitas Indonesia
bagi anak. Dasar untuk memutuskan apakah anak kembali ke orang tua atau
diserahkan ke LPKS salah satunya adalah Assesment keluarga oleh Peksos,
apakah keluarga yang baik atau tidak bagi anak. Kalau keluarganya adalah
keluarga yang baik, maka anak dikembalikan ke orang tua, tetapi bila menurut
pertimbangan peksos merupakan keluarga yang buruk, maka anak diserahkan ke
LPKS.
Pendapat selanjutnya datang dari Christina Sri Widyastuti bahwa
Kebijakan untuk anak yang belum mencapai 12 tahun itu dimusyawarahkan antara
kepolisian tempat anak dilaporkan, Peksos dari LPKS tempat anak tinggal
sementara untuk perlindungannya, kemudian PK dari Bapas. Ketiga lembaga itu
bermusyawarah untuk mencapai keputusan yang terbaik untuk anak. Keputusan
itu didasarkan pada penelitian PK (litmas), temuan polisi, dan temuan Peksos.
Apabila anak itu ada orang tuanya, keputusan diarahkan untuk anak diserahkan
kembali pada orang tuanya. Tapi kalau orang tua tidak ada, misalnya seperti anak
negara yang tidak jelas keberadaan orang tuanya, maka anak akan diserahkan ke
LPKS.
Perbedaan pendapat antara penyidik, PK, Peksos, dan Penyusun RPP
dalam hal mekanisme pengambilan keputusan bagi anak dalam Pasal 21
menunjukkan bahwa belum ada kesatuan pendapat mengenai proses pengambilan
keputusan yang bagaimana yang dimaksud dengan Pasal tersebut. Hal ini wajar
saja terjadi, mengingat RPP belum selesai disusun dan UU SPPA belum berlaku
sepenuhnya sehingga belum dapat dilihat pelaksanaan konkritnya seperti apa.
Apabila kita melihat pendapat Christina Sri Widyastuti sebagai anggota Tim
Penyusun RPP, maka agaknya proses pengambilan keputusan yang dimaksud UU
SPPA dan nantinya mungkin akan diperjelas dalam RPP, dilakukan dengan cara
musyawarah antara Penyidik, PK, dan Peksos.
Pendapat Christina Sri Widyastuti sebelumnya agak mirip dengan
pendapat Saida Sitanggang dalam hal para pihak yang terlibat dalam mekanisme
diversi Pasal 21 tersebut. Saida menyatakan bahwa dalam proses itu, korban dan
pelaku juga diikutsertakan. Sementara Christina berpendapat hanya anak pelaku
beserta penyidik, PK, dan Peksos yang ikut serta. Pelaku diikutsertakan untuk
dimintakan keterangannya. Penulis setuju dengan pendapat Christina tersebut, lagi
Universitas Indonesia
pula hal ini didukung dengan penjelasan Pasal 21 ayat (1) paragraf kedua yang
telah disebutkan sebelumnya, yaitu terdapat proses pemeriksaan yang dilakukan
oleh Penyidik terhadap Anak, berarti disini terdapat keterlibatan anak sebagai
pelaku. Hal ini merupakan penjelasan lebih lanjut terhadap pertanyaan
sebelumnya mengenai perbedaan pihak yang terlibat dalam Pasal 21 dengan pihak
dalam Pasal 8, maka jelas bahwa dalam Pasal 21 tidak melibatkan korban,
sedangkan anak pelaku tetap dilibatkan.
Mengenai hal-hal yang mendasari pengambilan keputusan, Sri Sinta,
Sudayana, dan Christina Sri Widyastuti memiliki pendapat-pendapat yang sama.
Yaitu bahwa pengambilan keputusan bagi anak didasarkan atas temuan para
pihak, litmas dari PK, dan hasil Asessment dari Peksos. Hasil penyidikan sebagai
dasar pengambilan keputusan dan litmas sebagai persyaratan sebelum
pengambilan keputusan, disebutkan dalam penjelasan Pasal 21 ayat (1) UU SPPA,
tetapi hasil asessment dari Peksos tidaklah disebutkan. Jadi, penulis berpendapat
yang wajib ada dan dijadikan dasar pengambilan keputusan adalah hasil
penyidikan dan litmas, sedangkan untuk hasil asessment dapat dijadikan bahan
pertimbangan saja.
Setelah membahas perbedaan pendapat yang terjadi dalam memaknai
Pasal 21 ayat (1) UU SPPA, selanjutnya kita akan membahas Pasal 21 ayat (2)
yang berbunyi:
“Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan ke pengadilan
untuk ditetapkan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.”
Sri Sinta mengatakan bahwa yang dimaksudkan dalam Pasal 21 ayat (2) adalah
bahwa hasil keputusan yang didapat melalui Pasal 21 ayat (1) kemudian
diserahkan ke pengadilan untuk ditetapkan oleh pengadilan dalam jangka waktu 3
hari. Pendapat tersebut diamini oleh Crhistina Sri Widyastuti yang berpendapat
bahwa jangka waktu 3 hari dimaksud Pasal 21 ayat (2) adalah jangka waktu untuk
menunggu penetapan pengadilan, karena untuk menitipkan anak tanpa penetapan
pengadilan itu tidak diijinkan, walaupun di LPKS. Sedangkan untuk jangka waktu
bagi proses pemeriksaan anak yang belum 12 (Pasal 21 ayat (1)) semakin cepat
semakin baik, tapi tidak ditentukan waktunya.
Kedua pendapat tersebut berbeda dengan Mariana Widiastuti, yang
sebelumnya berpendapat bahwa proses diversi pada Pasal 21 ayat (1) berlaku di
Universitas Indonesia
tingkat pengadilan, maka Pasal 21 ayat (2) merupakan penegasan bahwadiversi itu
terjadi di tingkat pengadilan, maka diversi ditetapkan oleh pengadilan. Sedangkan
Saida Sitanggang dan Sudiyana mengaku kurang paham dengan maksud Pasal 21
ayat (2). Saida Sitanggang Cenderung mengartikan Pasal tersebut sebagai
pelimpahan perkara anak ke pengadilan atau berarti bahwa kasus anak diproses
lebih lanjut. Sementara Sudiyana berpendapat bahwa hasil diversi tidak dikuatkan
dengan penetapan pengadilan, justru menghindari proses peradilan karena
dikhawatirkan ada traumatik bagi anak, sama halnya dengan Saida, beliau juga
cenderung mengartikan Pasal tersebut sebagai langkah apabila diversi tidak
berhasil dan kemudian kasus dilanjutkan ke proses persidangan di pengadilan.
Apabila dilihat dari redaksi Pasal 21 ayat (2), yang dalam penjelasan
Pasalnya dikatakan “cukup jelas”, berarti bahwa hasil keputusan yang diambil
oleh Penyidik, PK, dan Peksos bagi anak kemudian diserahkan ke pengadilan
untuk mendapat penetapan pengadilan, bukan berarti proses hukum anak dibawa
ke pengadilan, karena penetapan bukan berarti putusan pengadilan, keduanya
berbeda. Penetapan adalah perbuatan hukum sepihak yang bersifat administrasi
negara dilakukan oleh pejabat atau instansi penguasa (negara) yang berwenang
dan berwajib. Sedangkan putusan adalah hasil dari pemeriksaan suatu perkara,
yang terdiri dari putusan bebas, yaitu putusan akhir yg menyatakan pelaku bebas
dari perkara dan putusan sela, yaitu putusan sementara/pertengahan dalam suatu
perkara.135
Setelah selesai pelaksanaan diversi Bapas masih melakukan pengawasan
dan pembimbingan. 136 Pengawasan dalam hal pemenuhan kesepakatan yang
dibuat dalam diversi. Sedangkan pembimbingan dilakukan Bapas bersama orang
tua, apabila anak (berdasarkan hasil keputusan) kembali ke orang tua. Walaupun
orang tua masih ada, akan tetapi tidak sanggup mengurus anak, barulah anak
diserahkan ke LPKS. Begitu pula apabila orang tua si anak sudah tidak ada, maka
anak ditempatkan di LPKS. Dalam hal anak diserahkan ke LPKS, Bapas bekerja
135
Kamus istilah hukum http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/component/kunena/30-
kumpulan-istilah-hukum/592-kamus-istilah-hukum.html diunduh pada 19 Mei 2014.
136
Pendapat tersebut sesuai dengan Pasal 65 huruf d UU SPPA, bahwa Pembimbing
Kemasyarakatan bertugas melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan terhadap
Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau dikenai tindakan.
Universitas Indonesia
bersama dengan pekerja sosial. Peksos memberikan laporan pada Bapas mengenai
hal-hal apa yang dilakukan anak di lembaga sosial tersebut, sementara Bapas
membimbing dan mengawasi dalam program-program ini. Evaluasi oleh bapas itu
dilakukan untuk mengetahui berhasil atau tidaknya diversi, kalau 6 bulan
dirasakan dari tingkat yang memutuskan itu cukup, maka masa pembimbingan
selesai. Evaluasi itu diserahkan ke hakim wasmat. Cukup atau tidaknya
pembimbingan dilihat dari apakah anak melakukan pelanggaran lagi atau tidak. 137
Evaluasi oleh Bapas sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (3)138 dilakukan
dengan caraBapas melihat perkembangan si anak, kesehatannya, tingkat
kemahiran si anak dalam keahlian yang diperolehnya (misal keahlian montir).
Selain itu Bapas juga melakukan konfirmasi terhadap petugas LPKS mengenai
perkembangan anak. Program pendidikan bagi anak yang berada di LPKS
ditentukan sendiri oleh pihak LPKS, sementara Bapas hanya melakukan evaluasi
terhadap perkembangan anak selama berada di LPKS.139 Kemudian Karto
Sugiarto menambahkan bahwa evaluasi yang dilakukan oleh Bapas terhadap anak
yang berada di LPKS dilakukan dengan melihat keadaan si anak apakah menuruti
peraturan-peraturan yang ada di LPKS itu ataukah malah berbuat onar. Di LPKS
anak direhabilitasi dan mendapat pembinaan sesuai perbuatannya (tindak pidana
yang dilakukannya), LPKS juga bekerja sama dengan keluarga untuk memberikan
arahan pengasuhan yang baik bagi anak, memenuhi hak anak untuk memperoleh
pendidikan. 140
137
Wawancara dengan Christina Sri Widyastuti, Kasubdit Bimbingan dan Pengawasan
Klien Dewasa Ditjen Pemasyarakatan, anggota tim penyusun Rancangan Peraturan Pemerintah
dari UU SPPA, 21 April 2014.
138
Pasal 21 ayat (3) menyatakan bahwa Bapas wajib melakukan evaluasi terhadap
pelaksanaan program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan kepada Anak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b.
139
Wawancara dengan Saida Sitanggang, Kasubsie Bimkemasy Bapas Jakarta Selatan, 2
Mei 2014.
140
Wawancara dengan Sudiyana,Pekerja Sosial PSMP Handayani, 6 Mei 2014.
Universitas Indonesia
Salah satu LPKS yang menangani Anak Berhadapan dengan Hukum yang
dikelola oleh Kementerian Sosial RI adalah Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP).
Tugas dan peranan PSMP, antara lain: 141
1. Menyelenggarakan tugas-tugas kesekretariatan KPRSABH (Komite
Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial ABH) yang supportif dan kondusif
bagi program-programnya.
2. Menyediakan atau memfasilitasi akses terhadap rumah aman bagi ABH
(korban, pelaku maupun saksi) yang membutuhkan pengasuhan sementara
yang aman, selama menunggu penyelesaian masalah hukum yang sedang
mereka hadapi.
3. Menyelenggarakan berbagai pelayanan emergensi bagi ABH dan keluarga
yang membutuhkan, selama proses penyelesaian masalah, dalam rangka
menjamin pemenuhan kebutuhan dasar yang berkaitan dengan hak hidup
dan mempertahankan kehidupan anak.
4. Menyelenggarakan program-program rehabilitasi sosial untuk ABH, dengan
mengedepankan berbagai teknik pengubahan perilaku, trauma konseling, serta
proggram-program intervensi psikososial lainnya yang dibutuhkan, dalam
rangka mempersiapkan reintegrasi anak dengan keluarga dan masyarakatnya.
5. Membantu memberikan informasi yang dibutuhkan (jika diperlukan) demi
tercapainya keadilan restorative bagi ABH dalam proses hukum.
6. Meningkatkan akses layanan bagi perlindungan dan pemenuhan hak anak serta
rehabilitasi ABH.
7. Melakukan pendampingan terhadap ABH agar bisa tetap diterima keluarga
dan lingkungan masyarakat.
PSMP memiliki Program Kesejahteraan Sosial Anak yang Berhadapan
dengan Hukum (PKSABH). Program Kesejahteraan Sosial Anak adalah upaya
yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna
memenuhi kebutuhan dasar anak, yang meliputi bantuan pemenuhan kebutuhan
dasar, aksesibilitas pelayanan sosial dasar, penguatan orang tua/keluarga dan
141
Pedoman PKSA, http://pksa.kemsos.go.id/index.php/panduanumum diunduh pada 6
April 2014, hal. 77-79
Universitas Indonesia
142
Ibid.,hal. 11.
143
Ibid.,hal. 17-18.
144
Pasal 21 ayat (4) menyatakan bahwa, dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) Anak dinilai masih memerlukan pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan
lanjutan, masa pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan dapat diperpanjang paling lama 6
(enam) bulan.
Universitas Indonesia
dilakukan oleh LPKS, yang dilakukan dengan rekomendasi dari pekerja sosial
pada orang tua untuk meminta persetujuan orang tua. Meskipun demikian, setelah
lewat masa pembinaan di LPKS anak diutamakan untuk dikembalikan ke orang
tua. Selama masa pembimbingan anak, orang tua juga diberi pembimbingan dari
LPKS mengenai cara pembimbingan dan pengasuhan anak. Sehingga setelah
lewat masa pembinaan anak di LPKS, anak bisa kembali ke orang tua. Bila anak
masa pembimbingannya diperpanjang di LPKS itu bisa didasari beberapa faktor,
misalnya sekolah, karena sedang sekolah di LPKS, bila begitu yang diperpanjang
hanya pendidikan atau sekolahnya saja, sementara untuk pembinaan telah
dikembalikan ke orang tua. Faktor lainnya yaitu apabila secara ekonomi dan sosial
tidak memungkinkan bagi si anak untuk kembali ke orang tua, maka anak akan
diperpanjang masa pembimbingannya di LPKS (upaya terakhir, diutamakan
kembali ke orang tua).
Terhadap perpanjangan masa pembimbingan tersebut, penulis setuju
dengan pendapat Penyusun RPP bahwa keputusan untuk perpanjangan
pembimbingan anak diperoleh dari musyawarah kembali antara Penyidik, PK, dan
Peksos, karena keputusan bagi anak untuk dibimbing di instansi pemerintah atau
LPKS berasal dari Penyidik, PK, dan Peksos, maka sudah sewajarnya kalau
keputusan untuk memperpanjang masa pembimbingan juga berasal dari ketiga
lembaga tersebut. Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam
pelaksanaan diversi sejauh ini, perpanjangan masa pembimbingan dilakukan
sendiri oleh LPKS sebagaimana dikemukakan Sudiyana dan Karto Sugiarto
tersebut. Penulis juga ingin menambahkan bahwa terlepas dari pendapat-pendapat
tersebut, agaknya indikator perpanjangan masa pembimbingan anak di LPKS
dapat dilihat juga dari tingkat keberhasilan PKSABH yang diukur dengan
indikator perubahan sikap anak penerima pelayanan PKSABH yang telah
dijelaskan sebelumnya.
Universitas Indonesia
145
Hal ini dikemukakan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagaimana dikutip
dalam BPHN, Op. Cit., hal. 15.
Universitas Indonesia
ketentuan yang mengatur Anak Negara, misalnya Pasal 31 ayat (1), yang
menyatakan bahwa Anak Nakal yang diputus oleh Hakim untuk
diserahkan kepada negara, ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak
sebagai Anak Negara. Kemudian dalam ayat (2), kepala LP Anak dapat
mengajukan izin kepada Menteri Kehakiman agar Anak Negara
ditempatkan di lembaga pendidikan anak. Sedangkan dalam UU SPPA
tidak ada lagi ketentuan semacam ini yang mengatur Anak Negara. Hanya
ada ketentuan Pasal 103, ketentuan peralihan, yang menyatakan bahwa
Anak Negara yang saat UU SPPA ini berlaku masih berada di LP Anak
diserahkan kepada orang tua/Wali, LPKS/keagamaan; atau kementerian
atau dinas di bidang sosial.
b. Diversi bagi anak yang belum 12 tahun yang melakukan tipiring tidak sulit
dilakukan, tapi kalau anak melakukan tindak pidana berat atau di atas 7
tahun, misal pembunuhan, penganiayaan berat, pelecehan seksual,
terhadap anak tersebut polisi tidak boleh menahan, Bapas juga, sementara
kalau anak kembali ke orang tua, maka orang tua terancam, sedangkan bila
ke LPKS tidak ada pengamanannya. Orang tua terancam karena ada
kemungkinan bagi masyarakat, terutama korban dan keluarga korban
untuk membalas perbuatan anak. Terhadap masalah ini dilakukan
antisipasi dengan bersosialisasi pada masyarakat bahwa penjara bukan
jalan terbaik bagi anak. Sosialisasi ini bisa berbentuk seminar, pamflet,
brosur, kerja sama dengan pemda atau muspida dengan mengundang tokoh
masyarakat, atau lewat acara televisi. Tanggapan dari masyarakat dan
keberatannya juga diperhatikan agar semua bisa sinkron.
c. Masih terdapat banyak kekurangan pada sarana prasarana. Bapas hanya
ada di 72 provinsi, sementara tuntutan dari UU SPPA Bapas ada di
kabupaten/ kota, berarti Bapas harus mencakup 365 kabupaten/kota. Selain
itu dana juga menjadi salah satu kendala. Terutama bagi daerah yang luas,
misalnya Irian, yang kalau menjangkau rumah klien bisa mencapai waktu
seminggu. Untuk menghadapi kekurangan jumlah Bapas, maka Bapas
mengadakan Bimtek (Bimbingan Teknis) online untuk membuat non PK
menjadi PPK (pembantu pembimbing kemasyarakatan). Non PK adalah
Universitas Indonesia
Petugas pemasyarakatan yang ada di lapas atau rutan. Hal ini diharapkan
jika ada anak yang memerlukan PK di daerah PPK tersebut, Bapas terdekat
tinggal menginformasikan pada PPK untuk meninjau atau mengikuti
persidangan atau membuat litmas kepada si anak. Yang kedua, melalui
pelatihan untuk menjadi PK, yang sudah dilakukan 2 tahun ini untuk orang
diluar petugas pemasyarakatan yang ingin menjadi PK.
d. Panti pemerintah (LPKS) hanya berjumlah 8 di seluruh Indonesia. Padahal
proses diversi banyak mengikutsertakan LPKS. Christina menyarankan
untuk dibuat saja LPKS sementara di LP anak sebelum pemerintah
mendirikan LPKS. Asal dipisah, sehingga nanti anak tidak terputus
pendidikannya
2. Kendala yang datang dari Karto Sugiarto sebagai Pembimbing Kemsyarakatan
dan Kasubsi Registrasi Bapas Jakarta Selatan, yaitu:
a. Pihak korban sering tidak mau menyelesaikan perkara melalui diversi. Hal
ini diantisipasi dengan musyawarah kembali bersama korban, Bapas, dan
tokoh masyarakat untuk menambah pemahaman pihak korban bahwa
diversi memang diperlukan. Apabila upaya ini masih tetap tidak disetujui
oleh korban, maka proses hukum akan berlanjut.
b. Orang tua pelaku sering menolak kedatangan PK untuk Litmas hal ini
biasanya dikarenakan orang tua masih bingung dan pusing memikirkan
masalah yang dilakukan anaknya. Hal ini diantisipasi dengan PK meminta
bantuan ketua RT atau tokoh masyarakat untuk berbicara dengan orang tua
pelaku. Apabila bantuan tidak diperoleh, maka PK akan menunggu selama
beberapa hari agar pihak orang tua lebih tenang terlebih dahulu.
c. Jangka waktu pembuatan Litmas yang hanya 3 hari dirasakan terlalu
singkat. Hal ini diantisipasi dengan bekerja lebih giat.
d. Kurangnya prasarana seperti kendaraan dinas dan juga komputer atau
laptop yang jumlahnya masih sedikit. Sementara untuk membuat litmas
maka PK harus mengunjungi banyak tempat dan litmas yang harus
dikerjakan dalam 3 hari sementara jumlah komputer terbatas. Hal ini
diantisipasi dengan menggunakan kendaraan pribadi dan juga laptop
pribadi.
Universitas Indonesia
3. Kendala yang datang dari Mariana Widiastuti sebagai Penyidik Anak dan
Kasubnit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) Polres Metro Jakarta
Selatan, yaitu:
a. Korban emosi karena kerugian yang diperolehnya berupa kerugian moril
yang sulit dinilai dengan uang, sulit diganti, sedangkan kalau salah satu
pihak menolak, maka diversi tidak bisa dilaksanakan, tidak bisa
dipaksakan untuk terjadi diversi. Upaya untuk mengantisipasinya dengan
meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya diversi yaitu
dengan melakukan penyuluhan tentang ABH dan KDRT di kelurahan.
b. Waktu dan personil yang tersedia untuk melakukan penyuluhan tersebut
jumlahnya terbatas dikarenakan banyaknya pekerjaan masing-masing
personil.
4. Kendala yang datang dari Sudiyana sebagai Pekerja Sosial PSMP Handayani,
yaitu:
a. Kurangnya koordinasi, terutama koordinasi antar lembaga mengenai
implementasi UU SPPA dan mengenai pembagian wewenang dari atas ke
bawah. Juga kurang koordinasi mengenai lama masa penitipan anak di
LPKS yang dititipkan oleh polisi atau jaksa, sehingga masa penitipan anak
sering molor dari jangka waktu yang disepakati. Misalnya mereka
menjanjikan untuk menitipkan anak selama 7 hari namun nyatanya 7 hari
sudah lewat anak tersebut belum juga diambil. Sedangkan pihak panti
sering tidak diberi alasan mengenai keterlambatan itu. Antisipasinya
dengan melakukan pendekatan terhadap instansi lain agar lebih kenal satu
sama lain.
b. Panti sosial dari kemsos seluruh indonesia hanya ada 8, jauh sekali bila
dibanding jumlah penjara seluruh indonesia. Walau sekarang jumlah panti
kurang, namun nanti setelah UU SPPA berlaku, baik panti pemerintah
maupun panti swasta harus bersedia menangani ABH, tidak hanya PSMP.
c. Selain jumlah panti, jumlah personil juga masih kurang, sementara amanat
dari UU setiap kabupaten/kota harus ada. Kalau sekarang mengatasi
kekurangan itu dengan memanfaatkan personil yang ada.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB IV
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penulisan skripsi ini, penulis menyimpulkan sebagai
berikut:
1. Pengaturan diversi dalam sistem peradilan pidana anak terdapat dalam
instrumen nasional maupun internasional. Pengaturan diversi dalam instrumen
internasional antara lain terdapat dalam Konvensi Hak Anak (KHA), United
Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures (Tokyo Rules),
UN Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (Riyadh
Guidelines), dan Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice (Beijing Rules). Selain konvensi, pedoman maupun standar minimum
tersebut memang tidak mengikat secara hukum, tetapi tetap dapat dijadikan
acuan bagi negara-negara anggota PBB dalam melaksanakan program diversi.
Sedangkan di dalam kebijakan formulasi hukum pidana formal anak di
Indonesia, sebelum berlakunya UU SPPA, tidak ada ketentuan yang secara
tegas mengatur tentang diversi, baik di dalam KUHP, UU Pengadilan Anak,
UU Kesejahteraan Anak, UU HAM, UU Perlindungan Anak, maupun Surat
Keputusan Bersama. Meskipun tidak secara tegas disebutkan dalam Pasal
tersebut bahwa terjadi upaya diversi, akan tetapi pada dasarnya ketentuan
mengenai diversi dapat ditemukan dalam Pasal 5 Undang-Undang Pengadilan
Anak, yaitu bagi anak yang belum berumur 8 tahun yang melakukan/ diduga
melakukan tindak pidana, penyidik dapat menyerahkan anak tersebut pada
orang tua/ wali, atau kepada Departemen Sosial.
2. Belum tercapai kesatuan pendapat antara Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan (PK), Pekerja Sosial (Peksos), maupun anggota tim penyusun
RPP dari UU SPPA (selanjutnya disebut Penyusun RPP) mengenai
pemahaman terhadap Pasal 21 UU SPPA, sehingga seringkali terdapat
perbedaan-perbedaan pendapat. Penyidik, PK, dan Peksos menganggap
tindakan pengambilan keputusan bagi anak yang belum berusia 12 tahun
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
menangani ABH, tidak hanya PSMP. Sedangkan untuk saat ini mengatasi
kekurangan itu hanya dengan memanfaatkan panti yang ada.
d. Untuk mengantisipasi kekurangan prasana di Bapas, PK menggunakan
kendaraan pribadi dan juga laptop pribadi.
e. Untuk mengantisipasi kurangnya koordinasi dengan lembaga lain, LPKS
melakukan pendekatan terhadap instansi lain agar lebih kenal satu sama
lain.
f. Untuk mengantisipasi kurangnya pemahaman hukum, Peksos belajar lebih
dalam mengenai undang-undang atau hukum.
g. Mengenai pihak yang berwenang mengawasi lebih lanjut dalam hal masa
pembimbingan anak diperpanjang, antisipasinya berupa pembahasan lebih
lanjut mengenai hal itu dalam penyusunan RPP.
4.2 SARAN
Berdasarkan hasil penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan saran-saran
sebagai berikut :
1. Rancangan Peraturan Pemerintah yang mengatur lebih lanjut mengenai UU
SPPA sebaiknya mengatur lebih jelas mengenai diversi Pasal 21, terutama
dalam hal pihak-pihak yang terlibat, mekanisme pengambilan keputusan,
perbedaan diversi bagi anak yang belum 12 dengan anak yang berusia 12
sampai 18 tahun, penegasan mengenai Pasal 21 ayat (2) bahwa penetapan
pengadilan tidak berarti kasus anak diproses melalui sidang pengadilan, pihak
yang berwenang untuk memutuskan perpanjangan masa pembimbingan anak,
dan mekanisme evaluasi oleh Bapas. Sehingga tidak terjadi perbedaan
pemahaman.
2. Selain penegasan hal-hal tersebut sebelumnya dalam RPP, sebaiknya juga
diadakan pelatihan bersama terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
pelaksanaan Pasal 21 UU SPPA pada khususnya, serta pihak-pihak pelaksana
diversi anak pada umumnya. Hal ini dilakukan agar tercapai kesamaan
persepsi diantara masing-masing pihak mengenai makna, cara pelaksanaan,
serta peran setiap pihak dalam Pasal 21 UU SPPA.
3. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap warga masyarakat, terutama korban dan
atau keluarga, mengenai pentingnya pelaksanaan diversi untuk menyelesaikan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Justice Imman. Towards A Justice Delivery System for Children in
Bangladesh, A guide and Case Law on Chil -dren in conflict with the Law.
Bangladesh: UNICEF Bangladesh, 2010.
Anggara, Sufridi Pinim. Panduan Praktis untuk Anak Yang Berhadapan Dengan
Hukum. Adiani Viviana, (ed.). Jakarta: Institute for Criminal Justice
Reform, tanpa tahun.
Asikin, Amiruddin dan Zainal, H. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. RrajaGrafindo Persada, 2006.
BPHN. Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan Tentang Rancangan
Undang-Undang Pengadilan Anak. Mugiyati, Theodrik Simorangkir,
Ninuk Arifah, (ed.). Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional
Departemen Hukum dan HAM RI, 2009.
Bungin, Burhan (Ed.). Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis
ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012.
Elliott, Delbert S. National Evaluation of Youth Service System. Boulder, Colo:
Behavioral Research and Evaluation Corporation, 1974.
Hadisuprapto, Paulus. Delinkuensi Anak, Pemahaman dan Penanggulangannya.
Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
Hamilton, Carolyn. Guidance For Legislative Reform On Juvenile Justice. New
York: Children‟s Legal Centre and United Nations Children‟s Fund
(UNICEF), Child Protection Section, 2011.
Jamil, Nasir. Anak Bukan untuk Dihukum: Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Klein, Malcolm W., (Ed.). The Juvenile Justice System. London: Sage
Publications, 1976.
Mamudji, Sri, et. all. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Depok: Badan
Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
PUBLIKASI ELEKTRONIK
Anonim. “Juvenile justice reform in Papua New Guinea.”
http://www.unicef.org/eapro/Juvenile_justice_reform_in_Papua_New_Gui
nea.pdf. Diunduh 10 Maret 2014.
Anonim. “Pedoman PKSA.” http://pksa.kemsos.go.id/index.php/panduanumum.
Diunduh pada 6 April 2014.
Anonim. “Pembaruan Hukum Pidana Dalam Proses Penanganan Anak Yang
Bermasalah Dengan Hukum (Dikaji Dari Perspektif Peradilan Pidana).”
http://www.pps.unud.ac.id/thesis/pdf_thesis/unud-396-1796740271-
bab%20i-v%20tesis.pdf. Diunduh 20 Februari 2014.
Anonim. “Revisi UU Perlindungan Anak Kedepankan Diversi.”
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba394c5b732f/revisi-uu-
perlindungan-anak-kedepankan-diversi. Diunduh pada 21 Februari 2014.
Dewi, DS. “Restorative Justice, Diversionary Schemes And Special Children‟s
Courts In Indonesia.”
http://www.kemlu.go.id/canberra/Lists/LembarInformasi/Attachments/61/
Restorative%20Justice,%20Diversionary%20Schemes%20and%20Special
%20Children%E2%80%99s%20Courts%20in%20Indonesia.pdf. Diunduh
22 Februari 2014.
Ferawati. “Kebijakan Formulasi Terhadap Konsep Diversi Dalam Pembaruan
Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia.”
http://pasca.unand.ac.id/id/wp-content/uploads/2011/09/KEBIJAKAN-
FORMULASI-TERHADAP-KONSEP-DIVERSI.pdf. Diunduh 14 Maret
2014.
“Human Rights Brief No.5: Best practice principles for the diversion of juvenile
offenders.” https://www.humanrights.gov.au/publications/human-rights-
brief-no5-best-practice-principles-diversion-juvenile-offenders-2001.
Diunduh 10 Maret 2014.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Yayasan Pemantau Hak Anak. “Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam
Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional.”
http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Anak-yang-
Berhadapan-dengan-Hukum-dalam-Perspektif-Hukum-HAM-
Internasional3.pdf. Diunduh pada 21 Februari 2014.
Universitas Indonesia
PEDOMAN WAWANCARA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia