Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Sifilis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum, yang
merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik. Selama perjalanan penyakit ini dapat
menyerang seluruh organ tubuh. Faktor risiko yang berkaitan dengan sifilis antara lain
adalah penyalahgunaan zat, usia muda, status sosial ekonomi lemah, dan banyak
pasangan seksual.
Di Indonesia, pada beberapa puluh tahun yang lalu, nama penyakit ini yang
dikenal dengan sebutan “Raja Singa”, yang menjadi korban umumnya adalah kaum
dewasa, antara usia 19-35 tahun. Insiden sifilis telah menurun dalam beberapa tahun
terakhir, dilaporkan 53.000 kasus pada tahun 1996, sedangkan 113.000 kasus pada
tahun 1992. Angka sifilis di Amerika Serikat pada tahun 1999 merupakan rekor angka
terendah yaitu 2,3 kasus per 100.000 orang dan Centers for Disease Control and
Prevention (COC) telah menciptakan National plan for Syphilis Elimination. Namun,
jumlah kasus sifilis primer dan sekunder meningkat pada tahun 2000-2007. Pada tahun
2007, 11.466 kasus dilaporkan kepada US Centers for Disease Control and Prevention.
Sebagian besar dari peningkatan ini terjadi pada pria, terutama pada pria yang
berhubungan seks dengan pria lain. Keseluruhan kasus yang dilaporkan pada wanita
menurun. Kecenderungan untuk kasus sifilis kongenital terjadi penurunan selama
sepuluh tahun terakhir.
Komplikasi utama pada orang dewasa meliputi neurosifilis, sifilis
kardiovaskular, dan gumma. Kematian akibat dari sifilis terus terjadi. Angka-angka ini
terus meningkat sejak munculnya epidemi AIDS, karena penyakit ulkus kelamin
(termasuk sifilis) adalah kofaktor untuk penularan HIV. Selain itu, pasien yang tidak
diobati beresiko mengalami perkembangan yang cepat untuk neurosifilis dan untuk
komplikasi. Sifilis juga dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir mati, atau kematian
segera setelah melahirkan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1
A. Definisi
Sifilis adalah suatu penyakit menular seksual (PMS) atau sexual
transmitted disease. Sifilis disebabkan oleh Treponema pallidum yang dapat
bersifat akut dan kronis diawali dengan adanya lesi primer kemudian terjadi
erupsi sekunder pada kulit dan selaput lendir dan akhirnya sampai pada periode
laten dengan lesi pada kulit, lesi pada tulang, saluran pencernaan, sistem syaraf
pusat dan sistem kardiovaskuler. Setiap orang rentan terhadap penyakit sifilis,
tetapi ± 30 % orang yang terpapar akan terkena infeksi. Setelah infeksi biasanya
terbentuk antibodi terhadap T. pallidium dan kadang kala terbentuk antibodi
heterologus terhadap treponema lain. Antibodi ini tidak terbentuk apabila
pengobatan dilakukan pada stadium satu dan dua. Adanya infeksi HIV
menurunkan kemampuan penderita melawan T. pallidum.1,2,3

B. Etiologi
Sifilis disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum yang merupakan
spesies Treponema dari famili Spirochaetaceae, ordo Spirochaetales.
Treponema pallidum berbentuk spiral, negatif-gram dengan panjang rata-rata 11
μm (antara 6-20 μm) dengan diameter antara 0,09 – 0,18 μm. Treponema
pallidum mempunyai titik ujung terakhir dengan 3 aksial fibril yang keluar dari
bagian ujung lapisan bawah. Treponema dapat bergerak berotasi cepat, fleksi sel
dan maju seperti gerakan pembuka tutup botol.
Kuman ini bergerak secara aktif dan karena spiralnya sangat lembut
maka hanya dapat dilihat dengan mikroskop lapang gelap atau dengan teknik
imunofluorosensi. Sukar diwarnai dengan zat warna aniline tetapi dapat
mereduksi perak nitrat menjadi logam perak yang tinggal melekat pada
permukaan sel kuman.
Kuman ini berkembang biak dengan cara pembelahan melintang. Dalam
keadaan anaerob pada suhu 25oC, T. pallidum bergerak secara aktif dan tetap
hidup selama 4-7 hari dalam pembenihan cair yang mengandung albumin,
natrium karbonat, piruvat, sistein, ultrafiltrat serum sapi. Waktu pembelahan
kuman ini kira-kira 30 jam.
Ada tiga macam antigen T. pallidum yaitu protein tidak tahan panas,
polisakarida, dan antigen lipoid. Antigen treponema yang paling khas antara lain
dapat diperiksa dengan tes imobilisasi T. pallidum (TPI). Tes ini memerlukan

2
komplemen dalam reaksinya pengeraman selama 18 jam dan suhu 35 oC. selain
dengan menggunakan tes ini, ada banyak tes-tes lain yang dapat dilakukan untuk
memeriksa keberadaan bakteri ini berdasarkan antigennya.
Adapun klasifikasi bakteri penyebab penyakit sifilis adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Eubacteria
Filum : Spirochaetes
Kelas : Spirochaetes
Ordo : Spirochaetes
Familia : Treponemataceae
Genus : Treponema
Spesies : Treponema pallidum

C. Klasifikasi
Sifilis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dan sifilis akuisita
(didapat). Sifilis kongenital dapat dibagi menjadi dini (sebelum dua tahun),
lanjut (sesudah dua tahun), dan stigmata. Sifilis akuisita dapat dibagi menurut
dua cara, secara klinis dan epidemiologik. Menurut cara pertama sifilis dibagi
menjadi tiga stadium yaitu, stadium I (S I), stadium II (S II),, dan stadium III (S
III). Secara epidemiologi menurut WHO dibagi menjadi:
1. Stadium dini menular (dalam satu tahun sejak infeksi), terdiri atas S I, S II,
Stadium rekuren, dan stadium laten dini.
2. Stadium lanjut tak menular (setelah satu tahun sejak infeksi), terdiri atas
stadium laten lanjut dan S III.
Bentuk lain ialah sifilis kardiovaskular dan neurosifilis. Ada yang
memasukannya ke dalam S III atau S IV.

D. Patogenesis
Stadium dini
T. pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir,
biasanya melalui sanggama. Kuman tersebut berkembangbiak, jaringan bereaksi
dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel- sel plasma,
terutama di perivaskular, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi yang di
kelilingi oleh T. pallidum dan sel-sel radang. Treponema tersebut terletak di
antara endotelium kapiler dan jaringan perivaskular di sekitarnya. Enarteritis
pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofik endotelium yang
menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Kehilangan pendarahan
akan menyebabkan erosi, pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S1.2

3
Sebelum S1 terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening
regional secara limfogen dan berkembangbiak. Pada saat itu terjadi pula pen-
jalaran hematogen dan menyebar ke semua jaringan di badan, tetapi
manifestasinya akan tampak kemudian. Multiplikasi ini diikuti oleh reaksi
jaringan sebagai SII, yang terjadi enam sampai delapan minggu sesudah S1. S1
akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut jumlahnya
berkurang, kemudian terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh
berupa sikatriks. SII juga mengalami regresi perlahan-lahan dan lalu
menghilang.2
Selanjutnya, stadium laten yang tidak disertai gejala, meskipun infeksi
yang aktif masih terdapat. Sebagai contoh pada stadium ini seorang ibu dapat
melahirkan bayi dengan sifilis kongenital.2
Stadium lanjut
Stadium laten dapat berlangsung bertahun-tahun, rupanya treponema
dalam keadaan dorman. Meskipun demikian antibodi tetap ada dalam serum
penderita. Keseimbangan antara treponema dan jaringan dapat sekonyong-
konyong berubah, sebabnya belum jelas, mungkin trauma merupakan salah satu
faktor presipitasi. Pada saat itu muncullah S III berbentuk guma. Meskipun pada
guma tersebut tidak dapat ditemukan T. pallidum, reaksinya hebat karena
bersifat destruktif dan berlangsung bertahun-tahun. Setelah mengalami masa
laten yang bervariasi guma tersebut timbul di tempat-tempat lain.2
E. Gambaran Klinis
1. Stadium Dini
Sifilis Primer (SI)
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tunggal (chancre), tetapi bisa
juga terdapat tukak lebih dari satu.3,5 Tukak dapat terjadi dimana saja di daerah
genitalia eksterna, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul
yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat
tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya bervariasi dari beberapa mm
sampai dengan 1-2 cm. Bagian yang mengelilingi lesi meninggi dan keras. Bila
tidak disertai infeksi bakteri lain, maka akan berbentuk khas dan hampir tidak
ada rasa nyeri. Kelainan tersebut dinamakan afek primer. Pada pria tempat yang
sering terkena adalah sulkus koronarius, sedangkan wanita pada labia minor dan
mayor. Selain itu juga dapat di ekstragenital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus. 2

4
Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial
unilateral/bilateral.3
Seminggu setelah afek primer, biasanya terdapat pembesaran kelenjar
getah bening regional di inguinalis medialis. Keseluruhannya disebut kompleks
primer. Kelenjar tersebut solitar, indolen, tidak lunak, besamya biasanya
lentikular, tidak supuratif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit di atasnya tidak
menunjukkan tanda-tanda radang akut.2

Gambar 2. Lesi sifilis primer


Afek primer tersebut sembuh sendiri antara tiga sampai sepuluh minggu.
Istilah syphilis d'emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk
ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.2

Sifilis Sekunder (SII)


Biasanya SII timbul setelah enam sampai delapan minggu sejak S I dan
sejumlah sepertiga kasus masih disertai SI. Lama SII dapat sampai sembilan
bulan. Berbeda dengan SI yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada SII dapat
disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama SII. Gejalanya
umumnya tidak berat, berupa anoreksia, turunnya berat badan, malese, nyeri
kepala, demam yang tidak tinggi, dan artralgia.2
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit,
selaput lendir, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya
kelainan kulit dan selaput lendir dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata
pemeriksaan serologis reaktif. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa makula,
papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustul. Jarang dijumpai keluhan gatal.
Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis kongenital.3
Kelainan kulit ini dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga
disebut the .great imitator. Selain memberi kelainan pada kulit, SII dapat juga
memberi kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang, dan

5
saraf.2 Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan (malaise), kehilangan
nafsu makan, mual, lelah, demam dan anemia.4

Gambar 3. Sifilis sekunder di daerah sekitar mulut dan genital


Pada SII yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya
bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada SII yang lanjut dapat
terjadi kerontokan setempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut
yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan
disebut alopesia areolaris.2,5
Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi
bila tidak diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis
stadium lanjut.6

Sifilis Laten Dini


Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi
pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui
tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan
berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi
sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan
kardiovaskuler.3 Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis
negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.2,3
Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau
bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang
infeksius kembali muncul .4
2. Stadium Lanjut
Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai
berikut:3
1. Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali
kemungkinan pada wanita hamil.

6
2. Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukan T. pallidum,
pada sifilis lanjut tidak ditemukan.
3. Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan
yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.
4. Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut
destruktif
5. Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah
diberi pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer
rendah, sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer
rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi
pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan
paresis.

Sifilis Laten Lanjut


Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes
serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat
seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan
neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada
aorititis.2

Sifilis Tersier (SIII)


Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah
S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya
melunak, dan destruktif.2
Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit di
atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat
digerakkan. setelah beberapa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah,
tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta
melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan
seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus disertai jaringan
nekrotik.2
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat,
dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus

7
berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang polisiklik. Jikatelah menjadi
ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan
menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan
hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel,
umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma
multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam.2
Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula-mula di
kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa
minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus
tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah
dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik.
Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar
hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol
atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah
kecoklatan.2

Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh secara serpiginosa.


Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut
psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang
jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus
subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.2

 S III pada mukosa


Guma juga ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang
setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti

8
biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat
merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi
perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur
tidak teratur serta leukoplakia.2
 S III pada tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus.
Gejala nyeri, biasanya pada malam had. Terdapat dua bentuk, yakni
periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis
dengan sinar-X.2
 S III pada alat dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang. Guma
bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami
retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum.2
Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat
menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di
dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan
bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat,
meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang
berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan
unilateral. Kadangkadang memecah ke bagian anterior skrotum.2

Sifilis Kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30
tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak
tiga kali daripada wanita.2 Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang
berlanjut ke arch katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi
aorta atau aneurisms, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini
telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa
kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik
sebelumnya. Aneurisms aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler.
Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah
umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama hares

9
diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan
serologis umumnya menunjukkan reaktif.3

Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat
jarang terjadi dalam bentuk murni.2,3 Pada semua jenis neurosifilis terjadi
perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai
degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala
pada saat pemeriksaan.3
Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:2,3,4

Neurosifilis asimtomatik.
Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan
tersebut belum cukup memberi gejala klinis.2

Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis)
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan
medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular
berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblast, misalnya meningitis,
meningomielitis, endarteritis sifilitika.2 Pembentukan jaringan fibrotik
menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga perdarahannya berkurang akibat
mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat terjadi trombosis akibat nekrosis
jaringan karena terbentuknya gums kecil multipel.2
Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I. Gejalanya
bermacam-macam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat
ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus
sembab, gangguan mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan
kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan
hipotalamus, gangguan piramidal, gangguan miksi dan defekasi, stupor,
atau koma. Bentuk yang sering dijumpai ialah endarteritis sifilitika
dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri otak.2

Sifilis parenkim (tabes dorsalis dan demensia paralitika)2,3
Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi
pertama. Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis.
Kerusakan terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah

10
torako-lumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya
nervus optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di
antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia, gangguan
virus, gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah
retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur-angsur
terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis.2

Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak
infeksi primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh
tahun. Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa
demensia paralitika. Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama
mengenai otak, ganglia basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat
laun terjadi atrofi pada korteks dan substansi albs sehingga korteks menipis
dan terjadi hidrosefalus.2
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-
angsur dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian
kehilangan dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan
dapat terjadi depresif atau maniakal. Gejala lain di antaranya ialah disartria,
kejang-kejang umum atau fokal, muka topeng, dan tremor terutama otot-
otot muka. Lambat laun terjadi kelemahan, ataksia, gejala-gejala pira-
midal, inkontinensia urin, dan akhirnya meninggal.2

Guma
Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat perluasan pada
tulang tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan menekan parenkim
otak. Guma dapat solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak.
Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi konvulsi dan
gangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat peninggian tekanan
intrakranial, paralisis nervus kranial, atau hemiplegia.2

Sifilis Kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama
sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. Treponema masuk

11
secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat
mass kehamilan 10 minggu.2
Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I
setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai
90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila
sifilis lanjut 30 %.2
Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang
kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi
abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan,
berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam
beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis
kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan
ini disebut hukum Kossowitz.2
Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi
lengkap. Hal yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi
bayi dalam kandungan dapat terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan.
Setiap infeksi sebelum 20 minggu kehamilan tidak akan merangsang
mekanisme imunitas, sebab sistem imun bayi yang dikandung belum
berkembang dan tidak tampak kelainan histologi reaksi bayi terhadap infeksi.3
Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks),
sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata.2,3 Batas antara dini dan lanjut
ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S II, sedangkan
yang lanjut berbentuk gums dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut
atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.2
 Sifilis Kongenital Dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula
bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang
pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T. pallidum.
Bayi tampak sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika.2
Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa
minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau
papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun
teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami

12
erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang
terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus; bentuknya memancar
(radiating).2
Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan
sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan
belakang kepala. Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya;
disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku yang bare akan kabur dan
bentuknya berubah.2
Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques
muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada
daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya
rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang
mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan
sumbatan. Pernapasan dengan hidung sukar. Jika plaques muqueuses
terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat
membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11.
Hepar dan lien membesar akibat invavasi T. pallidum sehingga
terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi
hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk
albumin, hialin, dan granular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan.
Pada paru kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia
putih".2
Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu.
Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur enam
bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-
X. Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan;
seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo paralisis parrot. Kadang-
kadang terjadi komplikasi berupa terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan
artritis supurativa. Pada pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran yang
khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah dua belas bulan, tetapi
periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya terdapat
anemia berat sehingga rentan terhadap infeksi.2

13
Gambar 4. Sifilis kongenital pada telapak kaki bayi
Neurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum
pada otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti.
Bentuk neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi mudah
menyebabkan konvulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi
sekunder akibat korioditis atau akibat meningitis karena guma. Destruksi
serabut traktus piramidalis akan menyebabkan hemiplegia/ diplegia.
Demikian pula dapat terjadi meningitis sifilitika akuta.2
 Sifilis Kongenital Lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun. Guma
dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas
ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi
akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga
hidung mengalami kolaps dengan deformitas. Guma pada palatum mole
dan durum jugs sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada
palatum.2
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah
tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperios-
titis setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot
nodus, umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal. Keratitis
interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara
umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan
sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya ner-
vus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral.2
Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri

14
disertai efusi dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasa-
nya antara umur sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi
akan menghilang tanpa meninggalkan kerusakan.2
Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes dorsalis.
Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus
kranial, hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata
juvenilia biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun.
Taber juvenilia umumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga
dewasa muda. Aortitis sangat jarang terjadi.2
 Stigmata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh, meninggalkan
parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan
stigmata sifilis kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita yang
menunjukkan gambaran tersebut.3 Stigmata lesi dini:
a. Gambaran muka yang menunjukkan saddlenose
b. Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi
Mullberry
c. Ragades
d. Atrofi dan kelainan akibat peradangan
e. Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi
pada retina.
Stigmata dan lesi lanjut:
a. Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
b. Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis
c. Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia
d. Ketulian syaraf

F. Pemeriksaan Penunjang
Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa:3,4
1. Pemeriksaan lapangan gelap (dark field)
Ream sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum
diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga
serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap

15
menggunakan minyak imersi. T. pall berbentuk ramping, gerakan lambat,
dan angulasi. Hares hati-hati membedakannya dengan Treponema lain yang
ada di daerah genitalia. Karena di dalam mulut banyak dijumpai Treponema
komensal, maka bahan pemeriksaan dari rongga mulut tidak dapat
digunakan.3
2. Mikroskop fluoresensi
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan
aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian
diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. Penelitian lain melaporkan bahwa
pemeriksaan ini dapat memberi hasil nonspesifik dan kurang dapat dipercaya
dibandingkan pemeriksaan lapangan gelap.3
3. Penentuan antibodi di dalam serum.
Pada waktu terjadi infeksi Treponema, baik yang menyebabkan sifilis,
frambusia, atau pinta, akan dihasilkan berbagai variasi antibodi. Beberapa tes
yang dikenal sehari-hari yang mendeteksi antibodi nonspesifik, akan tetapi
dapat menunjukkan reaksi dengan IgM dan juga IgG.3 Tes yang menentukan
antibodi nonspesifik:
 Tes Wasserman
 Tes Kahn
 Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory)
a. Kualitatif
Hasil non reaktif: tidak ada infeksi, masih dalam masa inkubasi atau
telah mendapat pengobatan yang efektif. Jika terjadi flokulasi:
 Gumpalan besar dan medium  reaktif
 Gumpalan kecil  reaktif lemah
b. Kuantitatif
Laporan hasil pengamatan dengan pengenceran tertinggi yang masih
memberikan hasil reaktif  dalam bentuk titer ½, ¼, 1/8, 1/16, 1/32
dan seterusnya. Hasil reaktif : sedang terinfeksi atau pernah terinfeksi
sifilis atau positif semu.
 Tes RPR (Rapid Plasma Reagin)
 Tes Automated reagin
Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter Protein
Complement Fixation). Yang menentukan antibodi spesifik yaitu:
 Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization)
 Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed).
 Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay)
 Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)

16
Hasil reaktif: sedang terinfeksi, pernah infeksi reaksi positif semu. Hasil
non reaktif: tidak pernah terinfeksi atau pada masa inkubasi (belum
terbentuk antibodi).
4. Sinar Rontgen, dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang
dapat terjadi pada SII, SIII, dan sifilis kongenital. Juga pada sifilis
kardiovaskular, misalnya untuk melihat aneurisms aorta.
5. Pada neurosifilis, tes koloidal emas sudah tidak dipakai lagi karena tidak
khas. Pemeriksaan jumlah set dan protein total pada likuor serebrospinalis
hanya menunjukkan adanya tanda inflamasi pada susunan saraf pusat dan
tidak selalu berarti terdapat neurosifilis. Harga normal ialah 0-3 sel/mm3,
jika limfosit melebihi 5/mm3 berarti ada peradangan. Harga normal protein
total ialah /20-40 mg/100 mm 3, jika melebihi 40 mg/mm 3 berarti terdapat
peradangan.2

G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding SI
Dasar diagnosis SI, pada anamnesis dapat diketahui mass inkubasi;
gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada
rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus yang bersih,
solitar, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T. pallidum positif.
Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat
membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi.
Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah.2
Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit:
 Herpes simpleks
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gataV nyeri, lesi berupa vesikel di alas
kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok
erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.2
 Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus
tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat
limfadenitis regional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi
yang serentak, dan terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.2
 Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia eksterna,
terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat

17
predileksi, misalnya lipat jari Langan, perianal. Orang-orang yang serumah
juga akan menderita penyakit yang sama.2
 Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertai
eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak
disirkumsisi.2
 Limfogranuloma venereum (L.G.V.)
Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul,
ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional,
disertai tanda-tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat
periadenitis. L.G.V. disertai gejala konstitusi: demam, malese, dan artralgia.2
 Karsinoma sel skuamosa
Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainan
kulit berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk
diagnosis, perlu biopsi.2
 Penyakit Behcet
Ulkus superficial, multipel, biasanya pada skrotum/labia. Terdapat pula
ulserasi pada mulct dan lesi pada mata.2
 Ulkus mole
Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari sate, disertai tanda-tanda radang
akut, terdapat pus, dindingnya bergaung. Haemophilus Ducreyi positif. Jika
terjadi limfadenitis regional juga disertai tanda-tanda radang akut, terjadi
supurasi serentak.2
Diagnosis banding S II
Dasar diagnosis S II yaitu, SII timbul enam sampai delapan minggu
sesudah S I. Seperti telah dijelaskan, S II ini dapat menyerupai berbagai penyakit
kulit. Untuk membedakannya dengan penyakit lain ads beberapa pegangan. Pada
anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita luka di alai genital
(S I) yang tidak nyeri.2
Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dini
kelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/kaki juga dikenai. Pada S
II lambat terdapat kelainan setempat, berkelompok, dapat tersusun menurut
susunan tertentu, misalnya: arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya terdapat
limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II dini, lebih kuat lagi
pada S II lanjut.2

18
Seperti telah diterangkan, sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit
karena itu diagnosis bandingnya sangat banyak, tetapi hanya sebagian yang akan
diuraikan.2
 Erupsi obat alergik
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat
disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk
eritema sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada
sifilis biasanya tidak gatal.2
 Morbili
Kelainan kulit berupa eritema seperti pada S II. Perbedannya: pada morbili
disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak
membesar.2
 Pitiriasis roses
Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuama
halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit.
Penyakit ini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II.2
 Psoriasis
Persamaannya dengan S II : terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis
tidak didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat
tanda tetesan lilin dan Auspitz.2
 Dermatitis seboroika
Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama.
Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat
seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai
limfadenitis generalisata.2
 Kondiloma akuminatum
Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul.
Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcing-
runcing, sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta
eksudatif.2
 Alopesia areata
Kebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II.
Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya
beberapa, sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak
serta seperti digigit ngengat.2
Diagnosis banding S III
Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat
pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes serologik

19
pada S III dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting ialah
anamnesis, apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan pemeriksaan
histopatologik.2
Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan
aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak
sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan
ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia.
Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak seperti guma S III.
Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen. Kelainan kulitnya
berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya tampak butir-butir
kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh
Actinomyces.2
Tuberkulosis kutis gumosa mirip gums S III. Cara membedakannya
dengan pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut.
Guma S III bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip
keganasan. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik.2

H. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan fisik. Pada fase
primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa juga digunakan
pemeriksaan antibodi pada contoh darah. Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi
lumbal guna mendapatkan contoh cairan serebrospinal. Pada fase tersier,
diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan antibodi.4

I. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati,
dan selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai
sedini mungkin, makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi
bermaksud mencegah proses lebih lanjut.2
Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.2,3,5
 Penisilin
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat
menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat
menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.2

20
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang
dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam
serum selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut,
dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika
kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat
sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak.2
Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:2
1. Penisilin G prokain dalam akua dengan lama kerja dua puluh empat jam,
jadi bersifat kerja singkat.
2. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat
(PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
3. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam
serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak
dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan
suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-
masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan
yang ketiga biasanya setiap minggu.2
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, maka kadar obat dalam
serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik
setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini
mempunyai kekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karens sukar
masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G
prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada
tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada
bayi. Demikian pule PAM memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat
mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang
digunakan.2
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G
benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu.
Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua
18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14
hari.2

21
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam
akua 100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg
B.B., i.m., setiap hari selama 10 hari.2
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish-
Herxheimer.6 Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin di-
sebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T.
paffidum yang coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis
dini dapat terjadi setelah enam sampai due betas jam pada suntikan penisilin
yang pertama.2
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya
ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi,
nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka.8 Gejala
lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat
agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua betas
jam tanpa merugikan penderita pada S I.2
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema
glotis pada penderita dengan gums di laring, penyempitan arteria koronaria pada
muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga
dapat terjadi ruptur aneurisms atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang
disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat
penyembuhan yang cepat.2
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid,
contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat
digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada
gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin
serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.2
 Antibiotik lain
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai
pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin. Bagi yang alergi
terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau aeritromisin 4 x
500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi
S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil,
efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada
tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.2

22
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin
yang diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan
perbaikan.9 Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin
4 x 500 mg sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis
tunggal i.m. atau i.v. selama 15 hari.2
Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara
yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin. 10 Dosisnya 500 mg
sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan
Verdun dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4%.2

J. Pencegahan6,8
 Hindari berhubungan sex dengan lebih dari satu pasangan
 Menjalani screening test bagi anda dan pasangan anda
 Hindari alkohol dan obat-obatan terlarang
 Gunakan kondom ketika berhubungan sexual
Sifilis tidak bisa dicegah dengan membersihkan daerah genital setelah
berhubungan sexual.8

BAB III

KESIMPULAN

Sifilis adalah penyakit infeksi yang serius oleh bakteri Treponema pallidum
dengan perjalanan penyakit yang kronis, adanya remisi dan dapat menyerang organ
dalam tubuh terutama system kardiovaskular, otak dan susunan saraf. Antibiotik dapat
digunakan sebagai pengobatan jika dapat terdeteksi dini. Syphilis biasanya diobati
dengan antibiotik penicilin, tetapi jika penderita alergi terhadap penicilin dapat diobati

23
dengan tetracycline, doxycycline, erythromycin atau ceftriaxone. Tetapi obat-obatan
tersebut tidak seefektif penicilin, sehingga perlu tes ulang alergi sebelum diberi
antibiotik. Namun pengobatan tidak dapat mengembalikan kerusakan yang terjadi akibat
penyakit ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Peeling, R.W et al. Syphilis available at http//www.nature.com/reviews/micro.


Accessed on May 14, 2010.
2. Natahusada, EC, Djuanda A. Sifilis dalam: Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 2010. h:393-413.
3. Hutapea, NO. Sifilis dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F. Infeksi Menular
Seksual, Balai Penerbit FKUI, Jakarta,2009. h:84-102.
4. Sifilis available at http//www.medicastore.com. Acccesed on May 14, 2010.
5. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit. Penerbit Hipokrates. Jakarta. 2000. h:170.

24
6. CDC National Prevention Information Network. Syphilis available at
http//www.cdc.com. accessed on May 14, 2010.
7. Aprianti S, Pakashi RDN, Hardjoeno. Tes Sifilis dan Gonorrhoe dalam: Hardjoeno
dkk. Interpretasi Hasil Tes Laboratorium Diagnostik. Penerbit LETHAS,
Makasar.2003. h:353-61.
8. Dugdale DC, Vyas JM, Zieve D. Syphilis available at http//www.medlineplus.com.
Accessed on may 14, 2010.
9. Wong T et al. Serological Treatment Response to Doxycycline/Tetracycline versus
Benzathine Penicillin. Am J Med 2008 Oct; 121:903.
10. Riedner G, Rusizoka M, Todd J, Maboko L, Hoelscher M, Mmbando D et al.
Single-Dose Azithromycin versus Penicillin G Benzathine for the Treatment of
Early Syphilis. NEJM 2005 Volume 353:1236-1244.

25

Anda mungkin juga menyukai