Anda di halaman 1dari 10

6:‫الفاتحة‬

ۡ َ ‫ٱلص َٰ َر‬ ۡ
َ ‫ط ٱل ُم ۡست َ ِق‬
]6:‫ [ الفاتحة‬٦ ‫يم‬ ِ ‫ٱه ِدنَا‬
َ ‫ۡٱل ُمسۡ تَق‬
‫ِيم‬ َ ‫ٱلص َٰ َر‬
‫ط‬ ِ ۡ
‫ٱه ِدنَا‬
lurus jalan tunjukkan
kami

6. Tunjukilah kami jalan yang lurus, [Al Fatihah:6]

Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti "hidayah" ialah menunjukkan


suatu jalan atau cara menyampaikan orang kepada orang yang ditujunya, dengan
baik.

Macam-macam Hidayah (Petunjuk)

Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, seperti yang juga


dibahas dalam Tafsir Al-Fatihah oleh Muhammad Abduh.

1. Hidayah Naluri (Garizah)

Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah dengan


bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula dari
pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat ini
namanya "naluri", dalam bahasa Arab disebut garizah. Umpamanya, naluri
"ingin memelihara diri" (mempertahankan hidup). Seorang bayi bila merasa
lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya, dihisapnya
sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dikerjakannya tanpa seorang pun yang
mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya semata-
mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk mempertahankan
hidupnya.

Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba membuat jaringnya,


semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang itu. Semua
itu dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk mempertahankan hidupnya dan
memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-mata. Banyak lagi
naluri yang lain, umpamanya rasa "ingin tahu", "ingin mempunyai", "ingin
berlomba-lomba", "ingin bermain", "ingin meniru", "takut", dan lain-lain.

YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|1 of 10
6:‫الفاتحة‬

Sifat-sifat Naluri

Naluri (garizah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada manusia dan binatang.


Perbedaannya ialah naluri manusia bisa menerima pendidikan dan perbaikan,
tetapi naluri binatang tidak. Sebab itulah manusia bisa maju, sedangkan
binatang tidak, ia tetap seperti sediakala.

Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar bagi kejahatan.
Umpamanya, naluri "ingin memelihara diri", orang berusaha, berniaga, bertani,
artinya mencari nafkah secara halal. Sebaliknya karena naluri "ingin
memelihara diri" itu pula orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain.
Karena naluri "ingin tahu" orang belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang
banyak dan pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena naluri "ingin tahu" itu
pula orang suka mencari-cari 'aib dan rahasia sesamanya, yang mengakibatkan
permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan naluri-naluri
yang lain.

Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada faedahnya


membunuhnya. Ada pemikir dan pendidik yang hendak memadamkan naluri,
karena melihat segi yang tidak baik (jahat) itu. Sebab itu mereka membuat
bermacam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar naluri itu
jangan tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan
mereka itu besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-
anak. Bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh naluri itu, namun ia
tidak akan mati.

Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu naluri,
maka kelihatan ia telah padam, tetapi manakala ada yang membangkitkannya, ia
timbul kembali. Oleh karena itu, sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan,
sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban manusia bukanlah
menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat dimanfaatkan
dan disalurkan ke arah yang baik.

Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam naluri untuk


jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakainya secara bijaksana.

2. Hidayah Pancaindra

YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|2 of 10
6:‫الفاتحة‬

Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana disebutkan di atas, maka ia
belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh Allah swt dengan pancaindra.
Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran
manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata:

(Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan).

Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah manusia dapat


berhubungan dengan alam sekitar, dengan arti bahwa sampainya sesuatu dari
alam sekitar ini ke dalam otak manusia adalah melalui pintu-pintu pancaindra.
Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk jadi pokok-
pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini yang
tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat didengar
oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh
pancaindra), ada lagi alam ma'qulat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).

Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam mahsusat, tangkapannya


tentang yang mahhsusat itu pun tidak selamanya betul, kadang-kadang salah.
Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa "ilusi optik" (tipuan pandangan), dalam
bahasa Arab disebut khida' an-nadhar. Sebab itu manusia masih membutuhkan
hidayah yang lain. Maka Allah menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu
"hidayah akal".

3. Hidayah Akal (pikiran)

a. Akal dan kadar kesanggupannya

Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar
naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan
kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan yang
baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya
kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat
sebagai tangga kepada yang ma'qulat, mempergunakan yang dapat dilihat,
diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib,
mengambil dalil dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan
begitulah seterusnya.

YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|3 of 10
6:‫الفاتحة‬

Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya kepada


kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam naluri
dan pancaindra itu. Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik
menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak
manusia yang mempergunakan akalnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa
nafsu dan sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam
pandangannya, dan yang baik itu menjadi buruk.

Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan pancaindra, dan


ditambah pula dengan akal belum cukup untuk menjadi hidayah yang akan
menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di dunia
dan akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah lain, di samping
pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul
'alaihimus-salatu was-salam.

b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia

Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang


diciptakan oleh manusia (al-adyan al-wadh'iyyah) terlihat bahwa pada jiwa
manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena manusia
mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan membalas
budi kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka, ketika ia
memperhatikan dirinya dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang
dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang ditanamnya, binatang ternak yang
digembalakannya, matahari yang memancarkan sinarnya, hujan yang turun dari
langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan merasa berutang budi
kepada "suatu Zat" yang gaib yang telah berbuat baik dan melimpahkan nikmat
yang besar itu kepadanya.

Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang
menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia
seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk
memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berutang budi
kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima
kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara
"menyembah Zat Yang Gaib itu".

YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|4 of 10
6:‫الفاتحة‬

Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang
sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah
terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikiran
manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di
samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu.

Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di otaknya


bagaimana menyembah "Zat Yang Gaib", maka dipilihlah di antara alam ini
sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau sesuatu yang
ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu. Ketika dia mengagumi
matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan lain-lain,
maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan atau
Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah) benda-
benda itu.

Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan
"kepercayaan menyembah kekuatan alam", seperti yang terdapat di Mesir,
Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala.
Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya cenderung
beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah
kembalinya.

Bila manusia mau memikirkan: "Dari mana datangnya alam ini", akan sampai
pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan
tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan
Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia. Karena itu
dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama
tauhid.

Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada mulanya adalah


beragama tauhid, kemudian mereka menyembah matahari, planet-planet dan
bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah raja
Namrudz meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namrudz itu.
Bangsa Asiria pun pada mulanya beragama tauhid, kemudian mereka lupa
kepada akidah tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-
binatang, dan inilah yang dipusakai oleh orang-orang Babilonia.

Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian yang mereka


nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelas bahwa tidak semua orang
Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan watsani (penyembah berhala),
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|5 of 10
6:‫الفاتحة‬

melainkan di antara mereka ada juga muwahhidin, penganut akidah tauhid. Di


dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut:

"Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu bagi-Nya"

"Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada yang menciptakan-
Nya"

"Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi, Pencipta seluruh
makhluk"

Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan
tetap ada. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di alam ini.
Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai
pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa.

c. Pendapat Orang-orang Arab sebelum Islam tentang Khalik (Pencipta)

Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau ditanyakan kepada


mereka, "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi ini?" Mereka menjawab,
"Allah." Kalau ditanyakan, "Adakah al-Lata dan al-Uzza itu menjadikan sesuatu
yang ada pada alam ini?" Mereka menjawab, "Tidak!" Mereka sembah dewa-
dewa itu hanya untuk mengharapkan perantaraan dan syafaat dari mereka
terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah berfirman tentang perkataan musyrikin
Arab itu:

"Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar mereka


mendekatkan kami kepada Allah, dengan sedekat-dekatnya." (az-Zumar/39: 3)

d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal

YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|6 of 10
6:‫الفاتحة‬

Manakala manusia memikirkan "kemanakah kembalinya alam ini?" akan


sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang fana ini akan
ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi dapatkah manusia
dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang perlu
dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari
kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya, "Tentu saja tidak, sejarah pun telah
membuktikan hal ini."

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi akal oleh
Allah untuk jadi hidayah baginya, di samping naluri dan pancaindra. Tetapi
hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan
akhirat.

Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dengan akalnya dia
kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Tetapi tauhid yang telah dicapainya
dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.

Dengan mempergunakan akalnya, manusia juga dapat sampai kepada


kesimpulan tentang adanya akhirat, tetapi hidayah akal itu belum mencukupi
untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Maka untuk menyampai-kan
manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri sedikit pun
oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain Allah,
untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam
perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan untuk jadi
pedoman dalam hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di
samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka Allah mendatangkan
hidayah yang keempat yaitu "agama" yang dibawa oleh para rasul 'alaihimus-
salatu was-salam.

4. Hidayah Agama

a. Pokok-pokok agama ketuhanan

Allah mengutus rasul-rasul untuk membawa agama yang akan menunjukkan


kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan mereka di
dunia dan akhirat. Mula-mula yang ditanamkan oleh rasul-rasul itu adalah
kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, guna membersihkan itikad manusia dari syirik
(mempersekutukan Allah).
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|7 of 10
6:‫الفاتحة‬

Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan melalui akal dan
logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog
antara Nabi Ibrahim dengan Namrudz, Nabi Musa dengan Fir'aun, dan seruan-
seruan Al-Qur'an kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar
mereka mempergunakan akal.

Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga
menyeru untuk percaya pada akhirat, dan para malaikat.

Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian dinamakan al-
iman bi al-gaib (percaya kepada yang gaib). Itulah yang menjadi pokok bagi
semua agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari
Tuhan adalah mempercayai keesaan Tuhan, para malaikat dan hari akhirat.

Di samping Akidah (kepercayaan) yang disebutkan itu, para rasul juga


membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-pelajaran.
Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini tidak seluruhnya sama, artinya apa
yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang diturunkan
kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa dengan
yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan hukum-hukum
dan peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa.
Maka syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya
masing-masing. Jadi yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu' (cabang-
cabang), sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama.
Karena Muhammad saw adalah Nabi penutup maka syariat yang dibawanya,
diberi oleh Allah sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan
keadaan.

b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan

Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup
yang penghabisan, atau jalan kepada kebahagiaan yang terakhir, tetapi adakah
semua orang, pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba
Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan?

Banyak manusia salah menerapkan agama, tidak beribadah (menyembah Allah)


sesuai dengan yang diridai oleh yang disembah, tidak melaksanakan syariat
sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syariat itu. Karena itu Allah
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|8 of 10
6:‫الفاتحة‬

mengajarkan kepada manusia cara memohon kepada-Nya agar diberi-Nya


ma'unah, dibimbing dan dijaga selama-lamanya, serta diberi-Nya taufik agar
dapat memanfaatkan semua macam hidayah yang telah dianugerahkan itu
menurut semestinya. Naluri-naluri agar dapat disalurkan ke arah yang baik,
pancaindra agar betul, akal agar sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan
agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh yang
menurunkan agama itu, tanpa ada cacat, janggal dan salah.

Tegasnya, manusia yang telah diberi Allah bermacam-macam hidayah yang


disebutkan di atas (naluri, pancaindra, akal dan agama) belumlah cukup, tetapi
dia masih membutuhkan ma'unah dan bimbingan dari Allah (yaitu taufik-Nya).
) Maka ma'unah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan, dan kepada Allah
sajalah kita hadapkan permohonan itu. Dengan perkataan lain, Allah telah
memberi manusia hidayah-hidayah tersebut, seakan-akan Dia telah
membentangkan jalan raya yang akan menyampaikan manusia kepada
kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Kemudian yang dimohonkan kepada-
Nya lagi, ialah "agar membimbing kita dalam melalui jalan yang telah
terbentang itu."

Dengan ringkas hidayah dalam ayat ihdinas-siratal-mustaqim ini berarti "taufik"


(bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan di sini kepada Allah. Taufik ini
dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga,
pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh tenaga adalah kewajiban
kita, tetapi keberhasilan suatu usaha adalah termasuk kekuasaan Allah. Dengan
ini terlihat pertalian ayat ini dengan ayat yang sebelumnya. Pada ayat yang
sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah dan memohon
pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan apa yang
akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya. Maka tidak ada
pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang
ditujukan kepada Nabi:

“Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada jalan yang


lurus”. (asy-Syura/42: 52).

Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang


yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang Dia
kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk. (al-Qasas/28: 56).
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|9 of 10
6:‫الفاتحة‬

Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama ialah menunjukkan
jalan yang harus ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang dimaksud dengan
hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu
dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan ini
tidaklah masuk dalam kekuasaan nabi, tetapi hak Allah semata-mata.

Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju).

Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di atas telah diterangkan bahwa
rasul-rasul telah membawa aqa'id (kepercayaan-kepercayaan), hukum-hukum,
peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya, para rasul
telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan akhirat.

Maka aqa'id, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan pelajaran-


pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah yang
menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
sebagaimana disebutkan. Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita
memohon kepada Allah, "Bimbing dan berilah kami taufik, ya Allah dalam
melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami.
Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan kepercayaan kami.
Bimbing dan berilah kami taufik dalam melaksanakan hukum, peraturan-
peraturan, serta pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai
akhlak yang mulia, agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat."

YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|10 of 10

Anda mungkin juga menyukai