ۡ َ ٱلص َٰ َر ۡ
َ ط ٱل ُم ۡست َ ِق
]6: [ الفاتحة٦ يم ِ ٱه ِدنَا
َ ۡٱل ُمسۡ تَق
ِيم َ ٱلص َٰ َر
ط ِ ۡ
ٱه ِدنَا
lurus jalan tunjukkan
kami
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|1 of 10
6:الفاتحة
Sifat-sifat Naluri
Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar bagi kejahatan.
Umpamanya, naluri "ingin memelihara diri", orang berusaha, berniaga, bertani,
artinya mencari nafkah secara halal. Sebaliknya karena naluri "ingin
memelihara diri" itu pula orang mencuri, menipu, merampok dan lain-lain.
Karena naluri "ingin tahu" orang belajar, sehingga memiliki pengetahuan yang
banyak dan pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena naluri "ingin tahu" itu
pula orang suka mencari-cari 'aib dan rahasia sesamanya, yang mengakibatkan
permusuhan dan persengketaan. Demikianlah seterusnya dengan naluri-naluri
yang lain.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan terhadap suatu naluri,
maka kelihatan ia telah padam, tetapi manakala ada yang membangkitkannya, ia
timbul kembali. Oleh karena itu, sekalipun naluri itu dasar bagi kebaikan,
sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban manusia bukanlah
menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat dimanfaatkan
dan disalurkan ke arah yang baik.
2. Hidayah Pancaindra
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|2 of 10
6:الفاتحة
Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana disebutkan di atas, maka ia
belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan hidup manusia di dunia dan
di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh Allah swt dengan pancaindra.
Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap pertumbuhan akal dan pikiran
manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli pendidikan berkata:
Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah yang baik, agar
naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat membetulkan
kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan yang
baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya
kepada natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat
sebagai tangga kepada yang ma'qulat, mempergunakan yang dapat dilihat,
diraba dan dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib,
mengambil dalil dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan
begitulah seterusnya.
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|3 of 10
6:الفاتحة
Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah yang
menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia
seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk
memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berutang budi
kepada suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima
kasih dan membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara
"menyembah Zat Yang Gaib itu".
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|4 of 10
6:الفاتحة
Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu masalah yang
sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di dalam sejarah
terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal pikiran
manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di
samping mengagungkan Zat Yang Gaib itu.
Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang dinamakan dengan
"kepercayaan menyembah kekuatan alam", seperti yang terdapat di Mesir,
Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman purbakala.
Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya cenderung
beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke manakah
kembalinya.
Bila manusia mau memikirkan: "Dari mana datangnya alam ini", akan sampai
pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai kepada keyakinan
tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan) tentang keesaan
Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal manusia. Karena itu
dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya adalah beragama
tauhid.
"Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak ada yang menciptakan-
Nya"
"Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi, Pencipta seluruh
makhluk"
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap sama sekali, dan
tetap ada. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang ada di alam ini.
Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap hanyalah sebagai
pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa.
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|6 of 10
6:الفاتحة
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah diberi akal oleh
Allah untuk jadi hidayah baginya, di samping naluri dan pancaindra. Tetapi
hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan
akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dengan akalnya dia
kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Tetapi tauhid yang telah dicapainya
dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.
4. Hidayah Agama
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan melalui akal dan
logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis. Dialog
antara Nabi Ibrahim dengan Namrudz, Nabi Musa dengan Fir'aun, dan seruan-
seruan Al-Qur'an kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar
mereka mempergunakan akal.
Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa, rasul-rasul juga
menyeru untuk percaya pada akhirat, dan para malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian dinamakan al-
iman bi al-gaib (percaya kepada yang gaib). Itulah yang menjadi pokok bagi
semua agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari
Tuhan adalah mempercayai keesaan Tuhan, para malaikat dan hari akhirat.
Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah dan senjata hidup
yang penghabisan, atau jalan kepada kebahagiaan yang terakhir, tetapi adakah
semua orang, pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua hamba
Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan?
Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama ialah menunjukkan
jalan yang harus ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang dimaksud dengan
hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu
dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan ini
tidaklah masuk dalam kekuasaan nabi, tetapi hak Allah semata-mata.
Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di atas telah diterangkan bahwa
rasul-rasul telah membawa aqa'id (kepercayaan-kepercayaan), hukum-hukum,
peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya, para rasul
telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup manusia di
dunia dan akhirat.
YUSWANIYAH|#Y2P_INH|#MDAA|10 of 10