Anda di halaman 1dari 30

Journal Reading

Choices in fluid type and volume during resuscitation: impact on patient


outcomes

Oleh :
Henry Aldezzia Pratama G99162135

Pembimbing :
dr. Fitri Nur Hapsari, Sp. An.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI DAN TERAPI


INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
2017
Choices in fluid type and volume during resuscitation: impact on patient outcomes
Pemilihan Tipe Cairan dan Volume selama Resusitasi: Pengaruhnya terhadap
Pasien

Alena Lira dan Michael R. Pinsky

ABSTRAK
Peneliti telah merangkum literatur-literatur terbaru mengenai prinsip patofisiologi
yang mendasari manfaat dan efek buruk dari pemberian cairan selama resusitasi, serta
rekomendasi dan bukti klinis terkini mengenai cairan kristaloid dan koloid tertentu.
Kajian sistematis (systematic review) ini memungkinkan kita untuk menyimpulkan
bahwa tidak ada manfaat jelas terkait dengan penggunaan koloid dibandingkan dengan
kristaloid dan tidak ada bukti untuk menunjang manfaat albumin sebagai cairan
resusitasi. Penggunaan hidroxyethyl starch (HES) telah dikaitkan dengan peningkatan
kejadian acute kindney injury (AKI) dan penggunaan terapi penggantian ginjal. Koloid
sintetis lainnya (dekstran dan gelatin) meski tidak banyak dipelajari tidak tampak lebih
unggul dari kristaloid. Penggunaan normal saline (NS) dikaitkan dengan kejadian
asidosis metabolik hiperkloremik dan peningkatan risiko AKI. Resiko ini menurun saat
larutan garam seimbang digunakan. Cairan kristaloid seimbang tidak menunjukkan
efek berbahaya, dan terdapat bukti memiliki keuntungan lebih daripada NS. Resusitasi
cairan seharusnya diterapkan dengan cara yang diarahkan pada tujuan dan ditargetkan
untuk kebutuhan fisiologis pasien individual. Bukti pendukung penggunaan cairan
pada pasien yang responsif volume dengan parameter perfusi organ belum terpenuhi.

Kata kunci: koloid, kristaloid, osmolalitas, glicocalix, penggantian volume


intravaskuler, systematic review
LATAR BELAKANG
Pemberian cairan merupakan terapi intervensi yang paling sering dilakukan
terhadap pasien kritis. Saat ini, tersedia kumpulan bukti untuk memandu praktek
pemberian cairan dan resusitasi. Beberapa rekomendasi dibuat dengan rigid, sementara
yang lainnya terus menerus menjadi objek pembahasan [1-3]. Pertanyaan menarik
muncul dari tinjauan literatur, seperti yang dijelaskan selanjutnya: apakah praktek
mengikuti bukti? Secara khusus, pada tahun 2010, Finfer dkk. [4] menerbitkan hasil
sebuah studi cross-sectional yang dilakukan di 391 unit perawatan intensif di 25 negara
di seluruh dunia untuk dievaluasi praktek resusitasi cairan. Studi tersebut mengungkap
hasil yang cukup menyedihkan, di mana meskipun tersedia bukti, praktek pemberian
cairan resusitasi sangat bervariasi, dengan rata-rata lebih menggunakan cairan koloid.
Hal penting yang ditemukan, pemilihan cairan resusitasi berbeda berdasarkan negara
dan jauh dari pertimbangan karakteristik individu pasien dan bukti yang ada. Praktek
tersebut kemungkinan besar terbentuk karena pertimbangan ekonomi dan ketersediaan
produk [5]. Sejak penelitian Finfer dkk. dilakukan, beberapa uji klinis prospektif telah
dipublikasikan [Tabel 1] [6-10], dan beberapa meta-analysis [Tabel 2] [11-17]
dilakukan untuk mensintesis bukti guna mengembangkan panduan konsensus yang
jelas dengan mempertimbangkan prinsip patofisiologi yang terkait dengan resusitasi
sekaligus karakteristik individu. Kajian ini akan membahas mengenai hal tersebut.
Peneliti meninjau literatur yang ada dengan menggunakan Pubmed dan Google Scholar
dengan kata kunci utama uji klinis (clinical trials), cairan (fluids), resusitasi
(resuscitation), kristaloid (crystalloids), dan koloid (colloids) dan kemudian diperluas
pada sitasi yang terkait. Peneliti membatasi pencarian dengan studi yang menggunakan
bahasa Inggris sejak terakhir Review Cochrane pada subjek ini [1].
Pemberian cairan merupakan komponen vital dalam terapi resusitasi pada
pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Meskipun jamak dilakukan, namun
intervensi ini masih menjadi kontroversi yang berlangsung selama bertahun tahun.
Pembahasan mengenai jenis cairan apa, seberapa banyak, dan waktu pemberian, yang
awalnya berpusat mengenai pilihan antara cairan kristaloid dan koloid, yaitu cairan
mana yang lebih baik dalam kemampuan mengawali membantu volume intravaskuler
dan meningkatkan perfusi jaringan, tanpa menimbulkan edema interstitial [18-20].
Karena pemberian cairan resusitasi akan memperluas ruang intravaskuler, pembahasan
saat ini lebih berfokus terhadap keamanan dan efikasi setiap cairan tertentu dalam
resusitasi dan memperbaiki outcome pasien dalam jangka panjang. Sebagaimana cairan
kristaloid dan koloid baru yang ada di pasaran, semakin jelas bahwa perbedaan
komposisi elektrolit dan ukuran partikel koloid serta komposisinya memiliki efek
masing-masing dari pengukuran [21]. Koloid yang tersedia saat ini termasuk albumin,
hydroxyethyl starch (HES), gelatin, dan dekstran. Kristaloid yang tersedia adalah
normal saline (NS) 0,9%, Ringer laktat (RL) dan yang mendekati identik cairan
Hartmann, serta beberapa cairan dengan garam seimbang (contoh Plasma-Lyte dan
Normo-Sol). Tidak mengherankan, dengan lebih banyak data uji klinis, pembahasan
mengenai pemberian cairan telah meluas menjadi termasuk kontroversi mengenai
cairan dalam tiap grup, seperti antara HES dengan albumin dan NS dengan kristaloid
yang lebih seimbang [22-24].

Hal terpenting dalam diskusi selanjutnya adalah pemberian cairan harus


ditempatkan secara perspektif. Praktek pemberian cairan pada pasien kritis termasuk
beberapa indikasi dari penggantian kehilangan volume intravaskular yang insensibel
pada pasien yang tidak dapat minum, penggantian volume yang berhubungan dengan
hipovolemia atau perdarahan, dan untuk penambahan volume pada pasien dengan
deplesi intravaskuler relatif, seperti sepsis [25].
Secara historis, pemberian cairan secara langsung ke sirkulasi berkembang
dari memperbaiki keadaan dehidrasi berat karena kehilangan cairan akibat diare dan
muntah pada pasien kolera [26]. Kemunculan koloid terjadi kemudian, pada saat
Perang Dunia II, dengan infus albumin untuk memelihara volume intravaskuler pada
pasien trauma dan luka bakar berat [27]. Cara cairan menggunakan efek terapi adalah
dengan ekspansi salah satu dari 3 kompartemen volume tubuh: intravaskuler,
interstitial, dan intraseluler. Tujuan utama dari resusitasi cairan adalah untuk menjaga
volume dari keadaan hipovolemik fungsional yang menyebabkan instabilitas
hemodinamik yang bermanifestasi pada hipoperfusi end-organ dan deplesi volume
ekstravaskuler yang bermanifestasi dehidrasi dan hiperosmolaritas.

Pada awalnya, pemilihan cairan kristaloid tertentu ditentukan oleh


ketersediaan dan biayanya. Sebagai contoh, NS pada awalnya memiliki harga kurang
dari setengah harga kristaloid lain, dan tersedia dalam berbagai tingkat pengenceran
(0,9; 0,45; dan 0,225 N NaCl), juga tersedia sendiri maupun dengan Dextrosa 5%. Hal
penting, cairan NS kompatibel dengan ko-infus produk darah. RL dan cairan garam
seimbang lainnya yang mengandung Ca2+ selain lebih mahal juga memiliki resiko
membuat jendalan pada infus ketika transfusi diberikan. Atas alasan ini, cairan
kristaloid standar untuk resusitasi adalah NS kecuali ketika dibutuhkan hemostasis,
seperti pada trauma atau resusitasi intraoperatif, di mana RL biasanya digunakan [28].
Hal awal tersebut sekarang terminimalisasi semenjak semua cairan kristaloid memiliki
harga yang sama dan multi-lumen kateter infus menyederhanakan masalah
kompabilitas infus. Demikian juga pemilihan koloid masih didasarkan pada harga dan
masa penyimpanan. Biaya albumin senantiasa bervariasi lintas negara dan benua dan
memiliki masa penyimpanan yang terbatas, sedangkan pati dan gelatin lebih murah dan
memiliki masa simpan yang lebih panjang. Dengan demikian, pertimbangan ekonomi
memiliki peran penting dalam menentukan koloid yang digunakan, namun tidak
dengan kristaloid.
Tanpa pertimbangan ekonomi, keputusan cairan resusitasi mana yang optimal
ditentukan oleh indikasi penggunaan cairan dan bagaimana fisiologi akhir yang
ditargetkan. Pertimbangan yang lebih jauh adalah mengenai patofisiologi yang
mendasari dan bagaimana komposisi cairan yang berbeda akan berefek kepada milieu
interior. Bila diumpamakan semua perawatan lain dilakukan dengan sama dan benar,
satu yang kemudian bisa dianalisis mengenai efektifitas dan keamanan dari tipe cairan
spesifik terhadap perbedaan outcome. Anggapan ini sulit diterima, bagaimanapun juga,
bila studi membandingkan satu cairan dengan yang lain adalah chart revier
retrospektif , atau uji prospektif unblinded atau hanya blinded secara parsial. Hal
penting, banyak uji klinis telah memberikan wawasan mengenai potensi efek merusak
dari beberapa tipe cairan [29-33], yang membuat pemilihan cairan lebih bersifat terapi
kepada pasien.

Patofisiologi dasar dan Kinetik Volume


Alasan pokok dilakukannya resusitasi cairan intravaskuler adalah untuk
menjaga sirkulasi efektif volume intravaskuler atau untuk menjaga kondisi normal
yang diawali deplesi karena perdarahan atau sebab lain seperti kebocoran kapiler,
muntah, diuresis, atau diare. Prinsip ini perlu dicatat ketika mendefinisikan stadium
klinis normovolemia, hipovolemia relatif ataupun absolut, dan volume overload yang
bermanifestasi edema/ anasarka.
Baik air maupun zat terlarut pada plasma secara bebas berasosiasi dan
berpindah dari intravaskuler menuju ruang interstitial minimal sekali sehari
memberikan tekanan hidrostatis yang lebih besar pada ruang vaskuler dibandingkan
pada ruang interstitial dan level permeabilitas dari endotel vaskuler. Perpindahan cairan
ini meningkat pada beberapa kondisi patofisiologis berhubungan dengan inflamasi
sistemik (trauma, sepsis) yang meningkatkan permeabilitas kapiler [34-35].
Kembalinya cairan menuju ruang vaskuler hanya minimal oleh karena resorpsi kembali
dan utamanya terjadi oleh aliran balik melalui sistem limfatik [36]. Keseimbangan
tekanan didefinisikan sebagai angka transmisi cairan melewati barier endotel kapiler

dinyatakan dengan persamaan Starling: di mana Jv adalah


perpindahan cairan antar kompartemen, [Pc − Pi] − σ [πi − πc] adalah daya penggerak,
Pc adalah tekanan hidrostatik kapiler, Pi adalah tekanan hidrostatik interstitial, πc
adalah tekanan onkotik kapiler, πi adalah tekanan onkotik interstitial, Kf adalah
koefisien filtrasi untuk perubahan cairan bergantung tekanan, dan σ adalah koefisien
refleksi untuk persamaan gradien osmosis vaskuler ke interstitial. Hal penting, seperti
akan dibahas selanjutnya, pada banyak penyakit akut, baik Kf dan σ akan berkurang
secara cepat sebagaimana glikokalik endotelium vaskuler terdenaturasi [37-38],
membuat argumentasi di mana kristaloid dan koloid akan tetap berada pada
intravaskuler.

Tekanan hidrostatik intravaskuler utamanya ditentukan oleh resistensi arteriol


dan tekanan vena, sedangkan tekanan hidrostatis interstitial utamanya ditentukan oleh
tekanan jaringan. Tekanan gravitasi akan meningkatkan tekanan vena dan jaringan,
sehingga mendukung translokasi hidrostatik cairan ke interstitium pada beberapa
bagian tubuh tertentu. Tekanan onkotik ditentukan oleh konsentrasi zat terlarut dalam
cairan. Dikarenakan konsentrasi zat terlarut pada ruangan plasma biasanya lebih tinggi
memperlihatkan retensi albumin dan protein plasma lain seperti globulin, gradien
tekanan osmotik mendorong terjadinya reabsorpsi cairan interstitial dari ruang
interstitial ke vaskuler [36]. Keuntungan dari keseimbangan ini adalah resistensi relatif
cairan dan zat terlarut terus menerus terjadi melalui membran semipermeabel endotel
vaskuler [39]. Dalam kondisi normal, membran endotel yang membatasi kapiler
bersifat impermeabel relatif dengan tight junction interseluler mengikat sel endotel lain
bersamaan dan glikokaliks intravaskuler membentuk barier protein untuk aliran zat
terlarut [40]. Variabel variabel ini secara normal membatasi aliran cairan pada kedua
arah [41]. Namun, mekanisme transport ATP-dependen menyokong transport zat
terlarut secara signifikan melalui barier ini, seperti pada kondisi yang tetap, ada
kehilangan cairan ke dalam ruangan interstitial dari ruangan intravaskuler yang
seimbang dalam sirkulasi volume darah dalam sehari [34].
Hal penting dalam proses ini adalah sifat di mana tidak semua dasar vaskuler
memiliki tekanan hidrostatik ataupun permeabilitas kapiler yang sama [42]. Sirkulasi
sphlanicus memiliki derajat permeabilitas yang lebih besar daripada otot, otak, dan
ginjal, mengalirkan ke struktur sinusoid hepar. Kemudian, perubahan pada distribusi
aliran darah dari sphlanic ke otot atau sebaliknya akan mengubah bentukan edema dan
kebutuhan cairan untuk menjaga homeostasis normal. Karena anestesi mengubah
distribusi aliran darah, hal ini juga mengubah kondisi normal keseimbangan resorpsi
cairan dan aliran limfatik [33-34].
Kondisi penyakit yang berhubungan dengan inflamasi seperti trauma, luka
bakar, sepsis, dan pankreatitis akut memiliki karakter yaitu reduksi yang nyata dari
glikokaliks endotel vaskuler [45-47]. Glikokaliks merupakan struktur utama yang
membatasi aliran bebas cairan melalui ruang vaskuler [35]. Lebih lanjut, bila cedera
jaringan juga terjadi, sering pada kasus cedera paru akut, kerusakan tight junction
endotel vaskuler juga akan terjadi pada lokasi yang secara tipe resisten terhadap
perpindahan cairan, terjadi pembukaan yang nyata pada interstitium terhadap
perpindahan cairan yang mengakibatkan ketidakseimbangan antara ruang intravaskuler
dan ekstravaskuler serta edema interstitial lokal [48]. Karena area vaskuler berbeda
yang membiarkan protein untuk lewat melalui membran kapiler dalam angka yang
berbeda, sebagai contoh pada barrier longgar pada hepar dan barrier ketat pada otak,
edema interstitial tidak selalu seragam muncul pada tubuh. Kebanyakan protein plasma
pada pasien yang mengalami inflamasi sistemik akut akan berupa sitokin dan hormon
terikat protein. Kemudian efek metabolik yang berbeda mengubah permeabilitas dan
kebocoran plasma akan memainkan peran pada ekspresi regional dari respons inflamasi
umum. Karena kebanyakan aliran balik cairan dari ruang ekstravaskuler menuju
vaskulatur terjadi melalui aliran limfatik [49], apabila kebocoran transkapiler
meningkat, sistem limfatik dapat menjadi banjir, lebih lanjut akan berkontribusi
terhadap terjadinya edema defisit volume intravaskuler relatif meskipun tidak ada
cairan yang hilang keluar tubuh. Aliran cairan yang tidak seimbang ini teraksentuasi
lebih lanjut dengan lambatnya aliran limfatik akibat imobilitas pada pasien. Akumulasi
cairan intravaskuler pada ruang interstitial selanjutnya bergantung pada beberapa
faktor seperti pada persamaan Starling di atas, permeabilitas membran vaskuler, dan
kapasitas sistem limfatik [50].
Berdasarkan hukum Starling, menjadi hal yang logis untuk menggunakan
koloid dengan tekanan onkotiknya yang lebih tinggi sebagai pilihan resusitasi cairan,
karena pada teori akan menghasilkan kebocoran kapiler dan edema yang lebih sedikit.
Sayangnya, teori tersebut tidak menjelaskan kebutuhan cairan resusitasi pada syok
septik di mana baik albumin dan kristaloid memiliki persamaan ketika keduanya
diberikan dalam model blinded (1,51). Bahkan bila bertujuan untuk menjaga tekanan
onkotik intravaskuler normal, telah dilakukan observasi berulang bahwa pendekatan
paling seimbang tidak terjadi pada infus dengan ratio koloid-kristaloid 1:3 seperti yang
dipostulatkan [1,52], tetapi 1:1,3 [53]. Simplifikasi ini kemudian menjadi kompleks
dengan penggunaan koloid sintetis lain di mana ketika dibandingkan dengan albumin
memiliki perbedaan angka degradasi dan waktu paruh [34]. Lebih lanjut, karena
peningkatan permeabilitas kapiler pada pasien kritis akibat pengumpulan cairan dan
makromolekul pada ruang ekstraseluler, koloid secara teori akan memperburuk kondisi
edema dengan meningkatkan tekanan onkotik interstitial, berakibat pada halangan
lebih lanjut pada perfusi jaringan dan aliran limfatik. Proses keseimbangan balik ini
nampak pada hipovolemia tidak terganggu dan inflamasi tetap.
Woodcock, et al. [36] mengevaluasi fisiologi dasar dan prinsip molekul di
balik penggantian cairan transvaskuler dan menemukan pertanyaan dari prinsip awal
hukum Starling. Mereka menyodorkan revisi model Starling, di mana tidak hanya
mengenai komposisi dari cairan intravaskuler dan interstitial, tetapi juga mengenai
karakteristik fisik dari barrier transvaskuler, yang terdiri dari lapisan glikokaliks dan
membrana basalis endotel, dengan tight junction di antara sel dan matriks ekstraseluler
[40]. Menurut revisi ini, ketika barrier vaskuler intak, perpindahan cairan transkapiler
terjadi searah, juga tidak terjadi penyerapan cairan dari interstitium kembali menuju
ruang intravaskuler, dan aliran interstitium diselesaikan utamanya oleh klirens limfatik.
Perpindahan transkapiler kemudian bergantung pada tekanan kapiler. Pada tekanan
kapiler yang supranormal, pemberian cairan koloid menjaga tekanan onkotik dan
menaikkan tekanan kapiler, kemudian meningkatkan perpindahan cairan menuju ruang
interstitial. Dalam kondisi yang sama, pemberian kristaloid akan meningkatkan
tekanan kapiler, tetapi dengan dilusi menurunkan tekanan onkotik, yang
mengakibatkan lebih banyak perpindahan cairan transkapiler daripada koloid. Pada
tekanan kapiler subnormal, perpindahan transkapiler hampir nol, sehingga pemberian
koloid dan kristaloid akan mengakibatkan peningkatan tekanan kapiler, tetapi tidak
mengubah perpindahan transkapiler.
Jaringan yang dapat mengakumulasi cairan interstitial dalam jumlah banyak
pada stress fisiologis pada kondisi tak ada gangguan memiliki kapiler yang
nonfenestrated, di mana termasuk hepar dan mukosa usus. Barrier endotel vaskuler
kapiler ini dapat mengalami perubahan fenotip dari nonfenestrated menjadi fenestrated
mengakibatkan disfungsi endotel dan peningkatan permeabilitas dalam merespons
stress fisik maupun kimia. Perubahan karakter fisik dari barrier transkapiler
bertanggung jawab dalam peningkatan permeabilitas yang menyebabkan perubahan
kinetik volume, akumulasi cairan interstitial yang bermanifestasi sebagai edema, dan
diikuti deplesi intravaskuler.
Mekanisme baru yang diajukan ini menjelaskan mengapa ekspansi volume
dengan albumin pada pasien kritis tidak sesuai dengan model Starling. Lebih lanjut,
dapat menjelaskan mengapa albumin tidak menunjukkan memberikan manfaat pada
penambahan volume dibandingkan kristaloid dalam kondisi di mana kerusakan
glikokaliks endotel terjadi. Variasi permeabilitas vaskuler menegaskan integritas
glikokaliks sebagai salah satu faktor yang terlibat dalam dinamika cairan dan memberi
kesan bahwa pemulihannya sebaiknya menjadi salah satu tujuan terapi pada kondisi
stress fisiologis [49,50]. Sayangnya, pada saat ini tidak ada terapi spesifik yang
menunjukkan upaya pemulihan glikokaliks.

Kristaloid
Peneliti menggunakan terminologi kristaloid untuk menggambarkan cairan
yang mengandung elektrolit, yang secara mudah melewati barrier membran endotel
vaskuler diikuti oleh air, mengawali keseimbangan antara ruangan intravaskuler dan
ekstraseluler. Seperti dijelaskan sebelumnya, pada teori, redistribusi ini berakibat pada
ketahanan volume intravaskuler yang lebih kecil dari awalan pemberian cairan dan
menyebabkan edema dibandingkan cairan koloid [51-54].
Cairan kristaloid dapat mengandung kation anorganik yang bervariasi, seperti
K+, Ca++, dan Mg++, dan anion organik seperti laktat, asetat, glukonat, atau bikarbonat,
begitu pula Cl-, menyebabkan nilai Na+, Cl-, dan K+ bervariasi satu sama lain [Tabel 3].
Terminologi normal saline adalah misnomer di mana merupakan istilah ciptaan karena
konsentrasinya sebesar 0,9% w/v normal atau sekitar 3000mOsm/L atau 9g/L, bukan
karena komposisinya normal atau fisiologis sebagai cairan elektrolit. Cairan ini sedikit
hipertonik dan memiliki Na+ dan Cl- yang seimbang, yang membuat hipernatremik
sekaligus hiperkloremik relatif terhadap plasma. Kemudian, pemberian NS masif akan
menyebabkan asidosis metabolik hipernatremia dan hiperkloremia dan sekuel yang
berhubungan dengannya seperti vasokonstriksi renal [55]. Realitas ini memberikan
kesan bahwa kandidat terbaik pengguna NS adalah pasien dengan kecenderungan
mengalami hipovolemia, hipokloremia, dan alkalosis metabolik, seperti pada pasien
muntah yang persisten. Hal yang sama, pada pasien yang mengalami asidosis
metabolik hiperkloremik dapat membawa morbiditas yang signifikan (contoh pasien
dengan fungsi renal terganggu atau telah mengalami asidosis), NS dapat menjadi
kontraindikasi sebagai cairan resusitasi [56,57]. Lebih lanjut, perubahan konsentrasi
ion darah dapat secara nyata mengubah farmakodinamik. Sebagai contoh, pada studi
pada sukarelawan sehat ditunjukkan bahwa ketika dibandingkan cairan dengan klorida
yang lebih rendah, NS memiliki ekskresi yang lebih lambat [55,58].

Alternatif kristaloid terhadap NS menunjukkan cairan yang lebih dekat dari


segi komposisi elektrolit pada plasma. Cairan yang paling sering digunakan adalah
Ringer Laktat atau cairan Hartmann dan Plasma-Lyte (Tabel 3). Cairan-cairan baru
yang lebih seimbang semakin memasuki pasaran. RL secara historis digunakan paling
sering, tetapi baik komposisi ion maupun tonisitasnya tidak sesuai dengan plasma.
Secara teori, ketidaksesuaian tonisitas dapat berefek pada distribusi cairan dan
farmakodinamik yang berhubungan dengan diuresis, di mana keduanya dapat memiliki
implikasi klinis [59]. Maka dari itu, baik perubahan farmakodinamik karena tonisitas
dan efek metabolik dari komposisi zat ionik menjadi pertimbangan ketika memilih
kristaloid.

Koloid
Terminologi koloid merujuk pada cairan yang mengandung makromolekul
dan elektrolit. Sekiranya, molekul berukuran besar memiliki kemampuan terbatas
untuk menembus membran endotel. Molekul ini akan tetap pada ruang intravaskuler
dalam derajat yang lebih besar dibandingkan kristaloid murni, sehingga tekanan
onkotiknya lebih besar.
Cairan koloid yang pertama kali digunakan secara klinis adalah albumin.
Albumin diambil dari plasma manusia, tersedia dalam beberapa konsentrasi (4%, 5%,
20%, dan 25%). Barrier terbesar penggunaannya adalah harga, yang bervariasi. Koloid
sintetis, seperti HES, gelatin, dan dekstran, memberikan alternatif yang lebih ekonomis.
Gelatin terbuat dari bovine gelatin, dan dasar koloidnya adalah protein. HES terbuat
dari pati kentang atau maizena, dan dasar koloidnya adalah molekul besar karbohidrat.
Cairan dari bermacam-macam berat molekul juga tersedia, yaitu 130, 200, dan 450kD.
Dekstran juga merupakan koloid berbasis karbohidrat, yaitu molekul polisakarida
terbuat dari bakteri ketika proses fermentasi etanol. Tekanan onkotik dari cairan ini
bervariasi tergantung berat molekul dan konsentrasi, baik hipoonkotik (gelatin 4% dan
albumin 5%) dan hiperonkotik (albumin 20% atau 25%, dekstran, dan HES 6% dan
10%) tersedia. Aksi fisiologis, sifat ekspansi volume, sekaligus morbiditas potensial
dari cairan ini tergantung pada faktor multipel termasuk tekanan onkotik, berat molekul,
waktu paruh, perubahan kimia makromolekul dan akumulasi pada jaringan [60,61].
HES, berakumulasi pada beberapa jaringan termasuk kulit, ginjal, atau hepar yang
berakibat manifestasi klinis pada masing-masing organ dan morbiditas potensial seperti
AKI maupun liver injury [62-64].

Bukti Klinis
Kristaloid dengan Koloid
Kontroversi Albumin Alasan rasional dalam penggunaan albumin dan koloid lain
adalah asumsi teori bahwa koloid lebih baik dalam ekspansi volume intravaskuler
dibandingkan kristaloid. Meskipun koloid menunjukkan ekspansi volume intravaskuler
yang lebih besar, tidak berarti ekspansi volume intravaskuler yang lebih besar akan
menurunkan mortalitas. Pada saat ini, tidak ada bukti yang jelas pada penggunaan
albumin sebagai resusitasi.
Kontroversi awal mengenai penggunaan albumin untuk resusitasi adalah oleh
meta-analysis Cochrane yang dipublikasikan pada 1998, yang menunjukkan bahwa
penggunaan albumin akan meningkatkan mortalitas [65]. Meta-analysis tersebut
menggunakan data yang tersebar beberapa dekade dan validitas yang dapat
dipertanyakan. Hal penting, pada uji SAFE yang dipublikasikan pada tahun 2004 [66],
ditunjukkan tidak ada perbedaan mortalitas pada penggunaan albumin dan NS, kecuali
pada subgrup pasien trauma cedera otak, di mana outcome-nya lebih buruk pada
penggunaan albumin [67]. Studi FEAST pada 2011 [68] juga menunjukkan tidak ada
keuntungan penggunaan albumin dibandingkan kristaloid. Pada uji tersebut, baik
koloid maupun kristaloid yang digunakan sebagai bolus pada pasien pediatri yang
menyebabkan peningkatan mortalitas karena kolaps kardiovaskuler. Tidak hanya studi
ini yang menunjukkan bahwa albumin tidak meningkatkan mortalitas, tetapi hal
penting, studi SAFE menunjukkan bahwa penggunaan albumin dapat menurunkan
mortalitas 28 hari pada pasien sepsis berat, memberi kesan manfaat potensial dari
albumin [69]. Meta analysis terkini oleh Rochwerg et al. menunjukkan bahwa albumin
lebih superior dibandingkan koloid lain, dan manfaat dibandingkan saline (tetapi bukan
kristaloid seimbang) didukung oleh beberapa studi dengan level of confidence yang
moderate [15]. Uji klinis terbaru mengenai isu ini adalah oleh ALBIOS [9] yang
membandingkan albumin 20% terhadap kristaloid pada resusitasi pasien sepsis. Seribu
delapan ratus pasien dengan sepsis berat dan syok sepsis dirawat dengan menggunakan
albumin dan kristaloid atau kristaloid saja selama 7 hari (distribusi 1:1). Uji ini
menunjukkan bahwa pasien yang dirawat dengan albumin memiliki tingkat serum
albumin yang lebih tinggi dan mean arterial pressure yang lebih tinggi. Meskipun
begitu, marker tersebut tidak menunjukkan hasil yang berbeda dari segi mortalitas pada
28 atau 90 hari. Data ini menunjukkan bahwa pencapaian tekanan perfusi yang lebih
tinggi dan tujuan onkotik tidak selalu meningkatkan keselamatan. Analisis pada
subgrup post hoc yang melihat pasien dalam kondisi syok sepsis (>1100 dari 1800)
menunjukkan bahwa pasien syok sepsis yang dirawat dengan albumin tidak
menunjukkan penurunan mortalitas pada 90 hari, sebagaimana grup pasien yang
dirawat dengan albumin tanpa syok sepsis dapat meningkatkan mortalitas. Karena
terdapat analisis post hoc, subjek ini bias dan data ini memerlukan studi follow-up.
Maka dari itu, meskipun penggunaan albumin tidak mencederai, tidak ada bukti
mengenai ini, pada saat ini penggunaan albumin pada resusitasi pasien sepsis tidak
didukung oleh bukti klinis.
Tiga uji klinis tambahan yang saat ini sedang berjalan mencoba menjawab
manfaat potensial albumin di sepsis, salah satunya secara spesifik merujuk pada pasien
syok sepsis. Uji ini antara lain RASP (NCT01337934) mengevaluasi penggunaan RL
dibandingkan albumin 4% pada pasien early sepsis, PRECISE (NCT00819416)
membandingkan albumin 5% dengan NS pada early septic shock, dan EARRS
(NCT00327704) yang membandingkan NS terhadap 20% albumin. Sampai uji ini
selesai, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa albumin memiliki manfaat lebih
dibandingkan kristaloid. Panduan dan rekomendasi terkini tidak mendukung
penggunaan albumin dikarenakan mahal dan kurangnya manfaat yang terbukti.
Kontroversi HES Koloid sintetis sering digunakan untuk resusitasi, terutama di ruang
operasi dan di luar Amerika Utara. Banyak studi dan meta-analysis terkini
mengevaluasi outcome berhubungan dengan penggunaan koloid sintetis, menunjukkan
hasil tidak ada manfaat pada koloid sintetis dibandingkan koloid lain maupun kristaloid
[7,8,10,14,15). Debat lebih lanjut muncul mengenai HES, dengan ditemukan data yang
dipublikasikan oleh Joachim Boldt yang menunjukkan manfaat HES terhadap outcome
adalah palsu, mengakibatkan penarikan kembali uji-uji tersebut [70-71]. Kurangnya
manfaat mortalitas dari HES sudah ditunjukkan dalam Randomized Controlled Trial
(RCT) terkini. Perner, et al. pada 2012 [7] menunjukkan peningkatan mortalitas 90 hari
dengan HES jika dibandingkan dengan RL pada 800 pasien dengan sepsis berat. Uji
CHEST [8] menunjukkan tidak ada perbedaan pada mortalitas antara HES dan NS pada
7000 pasien populasi ICU, dan Baghsaw, et al. [10] menunjukkan tidak ada perbedaan
mortalitas pada 7000 pasien yang menggunakan HES dengan NS. Hal yang sama,
sebuah studi mengevaluasi terapi cairan terarah pada operasi kolorektal menunjukkan
tidak ada manfaat mortalitas antara HES dengan kristaloid yang seimbang [69]. Tiga
meta-analysis terkini oleh Zarychanski et al. [12], Serpa Neto et al. [13], dan Rochwerg,
et al. [15] mendukung simpulan bahwa penggunaan HES sebagai resusitasi tidak
menurunkan mortalitas jika dibandingkan dengan cairan resusitasi lain. Sebagai kontra,
beberapa studi menunjukkan peningkatan mortalitas dengan penggunaan HES [7], dan
setelah pengecualian studi dari Boldt, meta-analysis dari Zarychanski et al juga
menunjukkan hasil yang non signifikan mengenai HES yang merugikan.
Kontras dengan uji CRISTAL, yang melibatkan 2857 pasien yang mengalami
syok hipovolemik, sepsis dan trauma pada center yang berbeda beda di 5 negara [6]. Uji
ini membandingkan pemberian koloid (hipo dan hiperonkotik) terhadap kristaloid
(termasuk salin isotonik dan hipertonik serta larutan yang seimbang) dan mendeteksi
perbedaan pada mortalitas 90 hari, menyokong penggunaan koloid. HES merupakan
koloid yang paling sering digunakan (digunakan pada 70% pasien), sedangkan NS
merupakan kristaloid yang paling sering digunakan (80% pasien). Uji ini
memperlihatkan hasil tidak ada perbedaan pada mortalitas 28 hari pada grup terapi.
Mereka juga menemukan tidak ada perbedaan mengenai kebutuhan terapi penggantian
renal di antara grup. Tidak jelas mengapa hasil pada uji tersebut berbeda dengan uji
lainnya tetapi dapat dijelaskan mengenai keganjilan terapi sebenarnya yang diterima
masing-masing grup. Data dianalisis berdasarkan dengan niat baik untuk terapi analisis.
Meskipun banyak penyimpangan tercatat pada grup koloid dan kristaloid. Pengganggu
lebih lanjut dapat dimungkinkan diakibatkan periode awal randomisasi, ketika banyak
pasien menerima resusitasi berbeda dari mereka yang kemudia dirandomisasi. Lebih
lanjut terdapat data mengenai HES bervariasi dengan variabel seperti berat molekul
yang tidak konsisten dengan hipotesis tertentu, memberikan kesan terdapat
pengganggu yang sebelumnya belum dipertimbangkan. Salah satunya mengenai
kandungan elektrolit digunakan dalam preparat HES.
Meskipun kontroversi HES masih mengenai mortalitas, terdapat juga bukti
yang signifikan bahwa HES meningkatkan morbiditas. Telah terlihat hasil berupa
peningkatan serum kreatinin dan penggunaan terapi penggantian renal baik pada uji
klinis [7,8] maupun meta-analysis [10-17]. Meskipun hasil dari meta-analysis ini
utamanya oleh studi yang luas, tetapi termasuk juga uji-uji yang lebih kecil,
mengkonfirmasi bahwa HES berhubungan dengan kondisi AKI dan butuh terapi
penggantian renal. Satu meta-analysis [22], tidak menunjukkan hubungan itu, tetapi
sulit untuk diinterpretasikan karena membandingkan penggunaan HES dengan cairan
resusitasi lain pada pasien operasi, termasuk 19 uji kecil di mana hanya 3 yang
membandingkan HES dengan kristaloid dan dilaporkan kejadian AKI. Yang menarik,
tidak ada meta-analysis, termasuk CRISTAL yang tidak mendukung perlunya
penggunaan terapi penggantian renal pada HES, yang kontras dengan uji luas lain
seperti CHEST [8] dan 6S [7]. Terdapat beberapa perbedaan yang membedakan uji
tersebut, termasuk penggunaan pembanding berupa RL atau NS, klinis pasien, tipe
cairan dan volume pre resusitasi, dan juga cairan rumatan. Sekarang diketahui, pada
populasi tertentu NS memiliki efek yang mengganggu ginjal, yang sampai sekarang
tidak begitu diperhatikan. Menjadi hal yang mungkin bila perbandingan HES dengan
RL dan HES dengan NS menghasilkan hasil yang berbeda. Tingkat stadium klinis
pasien dapat mempengaruhi dapat atau tidaknya pasien mengalami AKI, tetapi ketika
AKI terjadi, maka dapat lebih buruk dalam hal toleransi, yang akan meningkatkan
mortalitas. Faktor biologis juga dapat berpengaruh terhadap kejadian AKI tersebut.
Debat yang muncul oleh studi tersebut adalah mengenai superioritas kristaloid
dibandingkan koloid, dan manfaat penggunaan HES dibandingkan cairan lain. Diskusi
berkembang pada keseimbangan cairan koloid, tetapi belum pada kristaloid. Kristaloid
diasumsikan seimbang dan dengan buruk dinyatakan seimbang dalam menjaga volume
intravaskuler, ketika sebuah studi diawali. Uji-uji luas yang tidak mendukung
mortalitas dan cedera ginjal antara koloid dan kristaloid, oleh Baghsaw et al. dan
Annane et al. (6,10) membandingkan antara HES dengan NS. Hal ini meningkatkan
pertanyaan apakah pemilihan penggunaan kristaloid dapat meningkatkan mortalitas
dan morbiditas. Bila NS memiliki efek mortalitas dan morbiditas sendiri, maka studi
menggunakan NS pada sisi kristaloid tidak benar-benar menunjukkan perbedaan
kristaloid dan koloid pada mortalitas dan morbiditas. Dalam kompleksitas yang terus
menerus ada, pertanyaan mengenai pemilihan koloid atau kristaloid perlu diungkapkan
dengan kata lain. Fakta bahwa albumin lebih superior dibandingkan koloid lain dan
cairan seimbang berbeda dengan NS, membandingkan koloid dengan kristaloid
menjadi lebih kurang informatif.

Kristaloid dengan Chloride-liberal dan Chloride-restricted


Pertanyaan di atas membawa fokus untuk membandingkan antar cairan kristaloid.
Terdapat literatur terkini yang membandingkan kristaloid yang berbeda pada resusitasi,
seperti chloride-liberal (cont NS) dengan cairan chloride-restricted. Hasil ini utamanya
dari literatur perioperatif termasuk pasien trauma dan menjalani operasi mayor
abdomen dan menunjukkan bahwa penggunaan garam seimbang pada kebanyakan
pasien menurunkan mortalitas dan insidensi AKI dibandingkan dengan NS. Hal ini
mendorong evaluasi lebih teliti pada efek NS dibandingkan dengan larutan kristaloid
seimbang pada pasien sakit kritis [33,73]. Uji klinis oleh Yunos et al. yang melibatkan
2012 pasien menunjukkan penurunan insidensi AKI dan terapi penggantian renal pada
pasien ICU dengan implementasi strategi chloride-restricted [33]. Penggunaan NS
telah lama diketahui berhubungan dengan peningkatan resiko asidosis metabolik
hiperkloremik [74], tetapi baru-baru ini saja diketahui bahwa perubahan metabolik
tersebut dapat menyebabkan penurunan aliran darah renal dan hipoperfusi korteks renal,
yang muncul pada sukarelawan sehat [55]. Beberapa studi sekarang menunjukkan
manfaat mortalitas dan morbiditas perioperatif dari larutan seimbang dibandingkan NS,
dan bukti yang berkembang menunjukkan manfaat yang lebih pada pasien kritis
[32,33,75,76).

Goal-directed therapy
Meskipun tidak menjadi fokus review ini, di samping tipe cairan, pertimbangan juga
harus diberikan pada jumlah cairan yang diberikan selama resusitasi dan waktu relatif
terhadap stress eksogen. Kebanyakan pendekatan mengenai keputusan tentang volume
cairan resusitasi muncul dari literatur perioperatif [77-81]. Studi terkini pada
pemberian cairan perioperatif menolak praktek yang biasa dilakukan dan menunjukkan
bahwa manfaat signifikan dapat tercapai dengan terapi individu berdasarkan respons
pasien. Manajemen cairan perioperatif telah lama telah lama didikte dengan
pendekatan formula yang umum, dibandingkan kebutuhan fisiologis dan homeostasis
[82]. Meskipun, baik cairan perioperatif dalam under-resuscitation dan
over-resuscitation dapat memunculkan efek samping yang dapat meningkatkan
mortalitas dan morbiditas [78, 81, 83].
Terapi resusitasi cairan terarah tujuan menargetkan tujuan fisiologis berupa
stabilisasi hemodinamik, dan manfaat pendekatan ini telah ditampilkan pada banyak
studi dan meta-analysis terkini [84-86]. Tujuan utama terapi ini adalah menjaga perfusi
end-organ, yang tercapai dengan volume sirkulasi yang adekuat serta fungsi adekuat
dari sistem kardiovaskuler. Semua komponen ini dapat berubah pada perioperatif oleh
agen anestesi, suhu tubuh, dan faktor lain. Kemudian, resusitasi cairan seharusnya
digunakan untuk mencapai tujuan spesifik tersebut ketika monitoring menunjukkan
pasien responsif terhadap cairan [87-88]. Argumen yang berlawanan dimunculkan oleh
studi yang mengevaluasi cairan resusitasi pada pasien sepsis, di mana dipegang oleh
Surviving Sepsis Campaign [89], dan selanjutnya pada uji terkini ProCESS dan ARISE
[86,90]. Yang menarik, pada uji ProCESS menunjukkan tidak ada perbedaan pada
outcome pasien sepsis dengan terapi goal-directed dengan 2 tipe terapi biasa.
Pentingnya, ketiga uji tersebut menggunakan terapi cairan dengan jumlah yang sama
pada beberapa jam inisial dan pada hari pertama [90]. Analisis terkini oleh Wachter et
al. telah melihat pengaruh antara volume resusitasi dan penggunaan vasopressor [91]
dan menjaga volume resusitasi merupakan hal kritis pada pasien sepsis pada fase awal
penyakit. Selain itu, pasien yang menunjukkan mortalitas yang lebih rendah adalah
mereka yang menerima cairan dengan volume rendah hingga tinggi pada 6 jam pertama
resusitasi, tetapi dengan penundaan penggunaan vasopressor hingga volume resusitasi
yang adekuat tercapai.
Uji terkini lain dengan populasi pasien sepsis adalah uji ARISE [86]. Dalam
uji tersebut peneliti membandingkan implementasi dari early goal-directed therapy
(EGDT) dengan praktek “standar” dan menunjukkan pasien dengan EGDT
mendapatkan volume cairan resusitasi yang lebih tinggi dan vasopressor yang lebih
banyak, tetapi tidak mengubah mortalitas 90 hari, memberikan kesan bahwa
goal-directed therapy pada early sepsis tidak memberikan manfaat keselamatan.
Meskipun terkesan kontras satu sama lain dan terhadap literatur perioperatif,
peneliti percaya bahwa pesan keseluruhan adalah sama ketika interpretasi diambil
secara konteks. Pertama, perlu dipertanyakan apakah sedekade EGDT telah mengubah
praktek hingga menghilangkan praktek “standar” dari pendekatan formula, dan
mendukung volume resusitasi dan vasopressor yang agresif berdasarkan prinsip
fisiologis. Kedua, peneliti mencatat pada literatur perioperatif, pendekatan
goal-directed pada resusitasi memberikan hasil volume resusitasi yang konservatif,
sedangkan pada pasien sepsis, pendekatan goal-directed memberikan hasil pada
pemberian cairan yang lebih banyak, menunjukkan bahwa pendekatan goal-directed
secara potensial menutupi kebutuhan cairan yang lebih banyak pada pasien early sepsis
sebagaimana progres fisiologi yang menjadi lebih distributif dan vasodilatorik. Secara
kontras, resusitasi pada intraoperatif mencerminkan kondisi yang lebih vasokonstriktif
menunjukkan kombinasi perbedaan agen anestesi, agen farmakologi vasogenik, dan
hipotermia intraoperatif.
Karena itu, kemungkinan tidak hanya jumlah volume, tetapi kebanyakan
adalah kemampuan untuk menstabilkan pasien kritis dengan volume tersebut yang akan
menentukan outcome [92,93]. Reaksi dari volume hanya salah satu komponen pada
kondisi sepsis maupun perioperatif, hal lain adalah kebutuhan dan kemampuan reaksi
dari agen vasoaktif dan dukungan inotropik. Maka dari itu, resusitasi cairan tidak
seharusnya digunakan sendiri karena tujuan dari terapi adalah untuk membuat
kardiovaskuler pasien cukup. Jelasnya, pengetahuan ahli mengenai pemahaman
patofisiologi dan bagaimana berkontribusi kepada patofisiologi akut individu, tipe
prosedur operasi, dan komorbid yang mendasari perlu disatukan dalam rencana terapi
[79]. Maka dari itu terapi cairan perlu digunakan hanya pada pasien yang merespons
dan hanya ketika tujuan perfusi end-organ tidak tercapai. Perlu dicatat bahwa tidak
cukup menargetkan pemberian volume dengan tekanan darah arterial, karena studi oleh
Asfar et al. menunjukkan bahwa perbaikan tekanan darah tidak selalu berhubungan
dengan outcome yang lebih baik [94]. Karena itu, penentuan kebutuhan cairan
tergantung pada parameter dinamik dari monitoring hemodinamik dan perlu bersifat
individual [95]. Studi yang membandingkan strategi pemberian cairan yang
goal-directed dengan strategi fluid-liberal menunjukkan outcome yang lebih baik pada
terapi yang goal-directed [96-98].

Simpulan
Berdasar bukti terkini, organisasi seperti European Society of Intensive Care
Medicine (ESICM) dan Cochrane merangkum dan membuat rekomendasi [1,3].
Rangkuman dari rekomendasi terkini ditambah literatur yang ada dalam beberapa tahun
ini, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Koloid secara luas: tidak ada manfaat yang jelas yang berhubungan dengan koloid
mahal dengan kristaloid yang cenderung lebih murah, koloid secara keseluruhan
menunjukkan dapat meningkatkan mortalitas pada pasien dengan trauma cedera otak.
Tidak ada rekomendasi penggunaan rutin koloid dibandingkan kristaloid.
2. Albumin: tidak ada bukti yang mendukung manfaat khas albumin sebagai cairan
resusitasi. Dengan pengecualian studi terakhir ALBIOS, manfaat mortalitas pada sepsis
belum dapat dibuktikan. Dalam hal harga mahal dan keterbatasan masa simpan,
penggunaan albumin sebagai cairan resusitasi tidak didukung.
3. HES: manfaat penggunaan HES telah disangkal. Penggunaan HES justru
berhubungan dengan kondisi yang membahayakan. Walaupun tidak secara jelas
berhubungan dengan peningkatan mortalitas, bukti secara jelas menunjukkan
peningkatan kejadian AKI dan penggunaan renal replacement therapy berhubungan
dengan penggunaan HES. Lebih lanjut berhubungan dengan koagulopati dan
peningkatan transfusi darah. Efek ini nampaknya dependen pada dosis, tetapi belum
ada konsensus yang mencapai seberapa dosis aman untuk HES. Karena itu,
penggunaan HES sebagai resusitasi perlu dihindari.
4. Dextran dan gelatin: Koloid sintetis lain (dextran dan gelatin) tidak banyak dipelajari
dalam literatur. Walaupun tidak ada bukti yang menunjukkan efek bahaya seperti pada
koloid yang lain, juga tidak ada bukti yang menunjukkan mengenai manfaatnya. Dalam
hal bukti yang kurang dan efek samping potensial menurut teori, disarankan tidak
menggunakan gelatin maupun dextran.
5. Salin 0,9%: Penggunaan NS dihubungkan dengan keadaan asidosis metabolik
hiperkloremik dan peningkatan risiko AKI pada pasien yang rentan, terutama pada
pasien dengan ketoasidosis diabetik. Risiko ini menurun ketika penggunaan larutan
garam seimbang digunakan. Penggunaan larutan kristaloid seimbang dibandingkan NS
ketika memungkinkan perlu dipertimbangkan pada pasien pasien tersebut.
6. Larutan kristaloid seimbang: Larutan ini tidak menunjukkan efek membahayakan
pada populasi pasien tertentu. Terdapat bukti untuk manfaat melebihi NS yang berarti
mencegah kondisi asidosis metabolik hiperkloremik dan efek yang berhubungan
dengannya. Tidak ada studi yang membandingkan larutan kristaloid seimbang satu
sama lain, sehingga tidak ada konsensus yang menyatakan pemilihan salah satu cairan.
Literatur saat ini mendukung penggunaan cairan ini dibandingkan NS karena efek
samping yang telah disebutkan tersebut.
7. Volume: Resusitasi cairan harus dilakukan dengan goal-directed dan menargetkan
kebutuhan fisiologis individu. Bukti yang mendukung penggunaan cairan pada pasien
responsive volume dimana parameter perfusi end-organnya belum memenuhi. Studi
menunjukkan peningkatan outcome ketika penggunaan terapi goal-directed daripada
pendekatan fluid-liberal.

Competing interests
The authors declare that they have no competing interests.
Authors’ contributions
AL performed the systematic review searches and reviewed the primary manuscripts
cited in this review, wrote the initial draft of the manuscript, and contributed to
revisions of the final version. MP reviewed the initial search results and all the primary
manuscripts cited in this review, and revised and wrote the final version of the
manuscript. Both authors read and approved the final manuscript.
Received: 1 August 2014 Accepted: 14 November 2014

References
1. Perel P, Roberts I, Ker K: Colloids versus crystalloids for fluid resuscitation
in critically ill patients. Cochrane Database Syst Rev 2013, 2:CD000567.
American Thoracic Society: Evidence-based colloid use in the critically ill:
American Thoracic Society Consensus Statement. Am J Respir Crit Care Med
2004, 170:1247–1259.
2. Reinhart K, Perner A, Sprung CL, Jaeschke R, Schortgen F, Groeneveld ABJ,
Beale R, Hartog CS: Consensus statement of the ESICM task force on colloid
volume therapy in critically ill patients. Intensive Care Med 2012, 38:368–383.
3. Finfer S, Bette L, Colman T, Bellomo R, Billot L, Cook D, Du B, McArthur C,
Myburgh J: Resuscitation fluid use in critically ill adults: an international cross
sectional study in 391 intensive care units. Crit Care 2010, 14:R185.
4. Singer M: Management of fluid balance: a European perspective. Curr Opin
Anaesthesiol 2012, 25:96–101.
5. Annane D, Siami S, Jaber S, Martin C, Elatrous S, Declère AD, Preiser JC,
Outin H, Troché G, Charpentier C, Trouillet JL, Kimmoun A, Forceville X,
Darmon M, Lesur O, Reignier J, Abroug F, Berger P, Clec’h C, Cousson J,
Thibault L, Chevret S, CRISTAL Investigators: Effects of fluid resuscitation
with colloids vs crystalloids on mortality in critically ill patients presenting with
hypovolemic shock: the CRISTAL trial. J Am Med Assoc 2013,
310:1809–1817.
6. Perner A, Haase N, Guttormsen AB, Tenhunen J, Klemenzson G, Aneman A,
Madsen KR, Moller MH, Elkjær JM, Poulsen LM, Bendtsen A, Winding R,
Steensen M, Berezowicz P, Søe-Jensen P, Bestle M, Strand K, Wiis J, White JO,
Thornberg KJ, Quist L, Nielsen J, Andersen LH, Holst LB, Thormar K,
Kjældgaard AL, Fabritius ML, Mondrup F, Pott FC, Moller TP, et al:
Hydroxyethyl starch 130/0.42 versus Ringer’s acetate in severe sepsis. N Engl J
Med 2012, 367:124–134.
7. Myburgh JA, Finfer S, Bellomo R, Billot L, Cass A, Gattas D, Glass P, Lipman
J, Liu B, McArthur C, McGuinness S, Rajbhandari D, Taylor CB, Webb SA,
CHEST Investigators; Australian and New Zealand Intensive Care Society
Clinical Trials Group: Hydroxyethyl starch or saline for fluid resuscitation in
intensive care. N Engl J Med 2012, 367:1901–1911.
8. Caironi P, Tognoni G, Masson S, Fumagalli R, Persenti A, Romero M, Fanizza
C, Caspani L, Faenza S, Grasselli G, Iapichino G, Antonelli M, Parrini V, Fiore
G, Latini R, Gattinoni L, for the ALBIOS Study Investigators: Albumin
replacement in patients with severe sepsis or septic shock. N Engl J Med N Engl
J Med 2014, 370:1412–1421.
9. Bagshaw SM, Chawla LS: Hydroxyethyl starch for fluid resuscitation in
critically ill patients. Can J Anesth 2013, 60:709–713.
10. Mutter TC, Ruth CA, Dart AB: Hydroxyethyl starch (HES) versus other fluid
therapies: effect on kidney function. Cochrane Database Syst Rev 2013,
7:CD007594. Lira and Pinsky Annals of Intensive Care 2014, 4:38 Page 11 of
13 http://www.annalsofintensivecare.com/content/4/1/38
11. Zarychanski R, Abou-Setta AM, Turgeon AF, Houston BL, McIntyre L,
Marshall JC, Fergusson DA: Association of hydroxyethyl starch administration
with mortality and acute kidney injury in critically ill patients requiring volume
resuscitation: a systematic review and meta-analysis. J Am Med Assoc 2013,
309:678–688.
12. Serpa Neto A, Veelo D, Peireira VG, DeAssuncao MS, Maneta JA, Esposito
DC, Schultz M: Fluid resuscitation with hydroxyethyl starches in patients with
sepsis associated with an increased incidence of acute kidney injury and use of
renal replacement therapy: a systematic review and meta-analysis of the
literature. J Crit Care 2014, 29:185. e1-e7.
13. Thomas-Rueddel DO, Vlasakov V, Reinhart K, Jaeschke R, Rueddel H,
Hutagalung R, Stacke A, Hartog CS: Safety of gelatin for volume resuscitation:
a systematic review and meta-analysis. Intensive Care Med 2012,
38:1134–1142.
14. Rochwerg B, Alhazani W, Sindi A, Heels-Ansdell D, Thabane L,
Fox-Robichaud A, Mbuagbaw L, Szczeklik W, Alshamsi F, Altayyar S, Ip WC,
Li G, Wang M, Wludarczyk A, Zhou Q, Guyatt GH, Cook DJ, Jaeschke R,
Annane D, Fluids in Sepsis and Septic Shock Group: Fluid resuscitation in
sepsis: a systematic review and network meta-analysis. Ann Intern Med 2014,
161:347–355.
15. Gattas JD, Dan A, Myburgh J, Billot L, Lo S, Finfer S: Fluid resuscitation with
6% hydroxyethyl starch (130/0.4) in acutely ill patients: an updated systematic
review and meta-analysis. Anesth Analg 2012, 114:159–169.
16. Haase N, Perner A, Hennings LI, Siegemund M, Lauridsen B, Wetterslev M,
Wetterslev J: Hydroxyethyl starch 130/0.38-0.45 versus crystalloid or albumin
in patients with sepsis: systematic review with meta-analysis and trial
sequential analysis. BMJ 2013, 346:f839.
17. Phillips DP, Kaynar AM, Kellum JA, Gomez H: Crystalloids vs colloids: KO at
the twelfth round? Crit Care 2013, 17:319.
18. Schierhout H, Roberts I: Fluid resuscitation with colloid or crystalloid solutions
in critically ill patients: a systematic review of randomized trials. BMJ 1998,
316:961–964.
19. Choi PT, Yip G, Quinonez LG, Cook DJ: Crystalloids versus colloids in fluid
resuscitation: a systematic review. Crit Care Med 1999, 27:200–210.
20. Severs D, Hoorn EJ, Rookmaaker MB: A critical appraisal of intravenous fluids:
from the physiological basis to clinical evidence. Nephrol Dial Transplant 2014,
1–10, doi:10.1093/ndt/gfu005.
21. Gillies MA, Habicher M, Jhanji S, Mythen M, Hamilton M, Pearse RM:
Incidence of postoperative death and acute kidney injury associated with i.v. 6%
hydroxyethyl starch use: systematic review and meta-analysis. Brit J Anesth
2013, 112:25–34.
22. Burdett E, Dushianthan A, Bennett-Guerrero E, Cro S, Gan TJ, Grocott MP,
James MF, Mythen MG, O’Malley CM, Roche AM, Rowan K: Perioperative
buffered versus non-buffered fluid administration for surgery in adults.
Cochrane Database Syst Rev 2012, 12:CD004089.
23. Estrada CA, Murugan R: Hydroxyethyl starch in severe sepsis: end of the starch
era? Crit Care 2013, 17:310.
24. Myburgh JA, Mythen MG: Resuscitation fluids. N Engl J Med 2013,
369:1243–1251.
25. Latta TA: Malignant cholera: documents communicated by the Central Board
of Health, London, relative to the treatment of cholera by the copious injection
of aqueous and saline fluids into the veins. Lancet 1832, 18:274–280.
26. Thompson WL: Rational use of albumin and plasma substitutes. Johns Hopkins
Med J 1975, 136:220–225.
27. Barsoum N, Kleeman C: Now and then, the history of parenteral fluid
administration. Am J Nephrol 2002, 22:284–289.
28. Kellum JA, Song M, Li J: Science review: extracellular acidosis and the
immune response: clinical and pathophysiologic implications. Crit Care 2004,
8:331–336.
29. Groeneveld AB, Navickis RJ, Wilkes MM: Update on the comparative safety of
colloids: a systematic review of clinical studies. Ann Surg 2011, 253:470–483.
30. Wiederman CJ, Dunzendorfer S, Gaioni LU, Zaraca F, Joannidis M:
Hyperoncotic colloids and acute kidney injury: a meta-analysis of randomized
trials. Crit Care 2010, 14:R191.
31. Shaw AD, Bagshaw SM, Goldstein SL, Scherer LA, Duan M, Schermer CR,
Kellum JA: Major complications, mortality, and resource utilization after open
abdominal surgery: 0.9% saline compared to Plasma-Lyte. Ann Surg 2012,
255:821–829.
32. Yunos NM, Bellomo R, Hegarty C, Story D, Ho L, Bailey M: Association
between a chloride-liberal versus chloride-restrictive intravenous fluid
administration strategy and kidney injury in critically ill adults. J Am Med
Assoc 2012, 308:1566–1572.
33. Hahn RG: Body volumes and fluid kinetics. In Clinical Fluid Therapy in the
Perioperative Setting. Edited by Hahn RG. New York: Cambridge University
Press; 2011:127.
34. Lee WL, Slutsky AS: Sepsis and endothelial permeability. N Engl J Med 2010,
363:689–691.
35. Woddcock TE, Woodcock TM: Revised Starling equation and the glycocalyx
model of transvascular fluid exchange: and improved paradigm for prescribing
intravenous fluid therapy. Br J Anesth 2012, 108:384–394.
36. Rehm M, Bruegger D, Christ F, Conzen P, Thiel M, Jacob M, Chappell D,
Stoeckelhuber M, Welsch U, Reichart B, Peter K, Becker BF: Shedding of the
endothelial glycocalyx in patients undergoing major vascular surgery with
global and regional ischemia. Circulation 2007, 116:1896–1906.
37. Steppan J, Hofer S, Funke B, Brenner T, Henrich M, Martin E, Weitz J,
Hofmann U, Weigand MA: Sepsis and major abdominal surgery lead to flaking
of the endothelial glycocalyx. J Surg Res 2011, 165:136–141.
38. Reed RK, Rubin K: Transcapillary exchange: role and importance of the
interstitial fluid pressure and the extracellular matrix. Cardiovasc Res 2010,
87:211–217.
39. Clough G: Relationship between microvascular permeability and ultrastructure.
Prog Biophysic Mol Biol 1991, 55:47–69.
40. Vink H, Duling BR: Capillary endothelial surface layer selectively reduces
plasma solute distribution volume. Am J Physiol Heart Circ Physiol 2000,
278:H285–H289.
41. Sarin H: Physiologic upper limits of pore size of different blood capillary types
and another perspective on the dual pore theory of microvascular permeability.
J Angiogenes Res 2010, 2:14.
42. Bundgaard-Nielsen M, Jørgensen CC, Secher NH, Kehlet H: Functional
intravascular volume deficit in patients before surgery. Acta Anaesthesiol
Scand 2010, 54:464–469.
43. Haljamae H: Rules of thumb. In Clinical Fluid Therapy in the Perioperative
Setting. Edited by Hahn RG. New York: Cambridge University Press; 2011:18.
44. Pierce A, Pittet JF: Inflammatory response to trauma: implications for
coagulation and resuscitation. Curr Opin Anaesthesiol 2014, 27:246–252.
45. Kolarova H, Ambruzova B, Svihalkova Sindlerova L, Klinke A, Kubala L:
Modulation of endothelial glycocalyx structure under inflammatory conditions.
Mediators Inflamm 2014, 2014:694312.
46. Chen ZH, Liu ZH, Yu C, Ji DX, Li LS: Endothelial dysfunction in patients with
severe acute pancreatitis: improved by continuous blood purification therapy.
Int J Artif Organs 2007, 30:393–400.
47. Van der Heijden M, Veheij J, Van Nieuw Amerongen GO, Groeneveld AB:
Crystalloid or colloid fluid loading and pulmonary permeability, edema, and
injury in septic and nonseptic critically ill patients with hypovolemia. Crit Care
Med 2009, 37:1275–1281.
48. Levick JR, Michel CC: Microvascular fluid exchange and the revised Starling
principle. Cardiovasc Res 2010, 87:198–210.
49. Jacob M, Chappell D: Reappraising Starling: the physiology of the
microcirculation. Curr Opin Crit Care 2013, 19:282–289.
50. Hahn RG: Volume kinetics for infusion fluids. Anesthesiology 2010,
113:470–481.
51. Hahn RG: Crystalloid fluids. In Clinical Fluid Therapy in the Perioperative
Setting. Edited by Hahn RG. New York: Cambridge University Press; 2011:1.
52. Bark BP, Persson J, Grände PO: Importance of the infusion rate for the plasma
expanding effect of 5% albumin, 6% HES 130/0.4, 4% gelatin, and 0.9% NaCl
in the septic rat. Crit Care Med 2013, 41:857–866.
53. Hartog CS, Bauer M, Reinhart K: The efficacy and safety of colloid
resuscitation in the critically ill. Anesth Analg 2011, 112(1):156–164.
54. Chowdhury AH, Cox EF, Francis ST, Lobo DN: A randomized, controlled,
double-blind crossover study on the effects of 2-L infusion of 0.9% saline and
Plasma-Lyte(R) 148 on renal blood flow velocity and renal cortical tissue
perfusion in healthy volunteers. Ann Surg 2012, 256:18–24.
55. Mahler SA, Conrad SA, Wang H, Arnold TC: Resuscitation with balanced
electrolyte solution prevents hyperchloremic metabolic acidosis in patients with
diabetic ketoacidosis. Am J Emerg Med 2011, 29:670–674.
56. Chua HR, Venkatesh B, Stachowski E, Schneider AG, Perkins K, Ladanyi S,
Kruger P, Bellomo R: Plasma-Lyte 148 vs 0.9% saline for fluid resuscitation in
diabetic ketoacidosis. J Crit Care 2012, 27:138–145.
57. Lobo DN, Stanga Z, Simpson JA, Anderson JA, Rowlands BJ, Allison SP:
Dilution and redistribution effects of rapid 2-litre infusion of 0.9% saline and 5%
dextrose on hematological parameters and serum biochemistry Lira and Pinsky
Annals of Intensive Care 2014, 4:38 Page 12 of 13
http://www.annalsofintensivecare.com/content/4/1/38 in normal subjects: a
double-blind crossover study. Clin Sci (Lond) 2001, 101:173–179.
58. Guidet B, Soni N, Della Rocca G, Kozek S, Vallet B, Annane D, James M: A
balanced view of balanced solutions. Crit Care 2010, 14:325.
59. Hahn RG: Colloid fluids. In Clinical Fluid Therapy in the Perioperative Setting.
Edited by Hahn RG. New York: Cambridge University Press; 2011:11.
60. Dubois MJ, Vincent JL: Colloid fluids. In Perioperative Fluid Therapy. Edited
by Hahn RG, Prough DS, Svensen CH. New York: Wiley; 2007:153.
61. Wiedermann CJ, Joannidis M: Accumulation of hydroxyethyl starch in human
and animal tissues: a systematic review. Intensive Care Med 2014, 40:160–170.
62. Christidis C, Mal F, Ramos J, Senejoux A, Callard P, Navarro R, Trinchet JC,
Larrey D, Beaugrand M, Guettier C: Worsening of hepatic dysfunction as a
consequence of repeated hydroxyethyl starch infusion. J Hepatol 2001,
35:726–732.
63. Bork K: Pruritus precipitated by hydroxyethyl starch: a review. Br J Dermatol
2005, 152:3–12.
64. Cochrane Inquiries Group Albumin Reviewers: Human albumin administration
in critically ill patients: systematic review of randomized controlled trials. BMJ
1998, 317:2350240.
65. Finfer S, Bellomo R, Boyce N, French J, Myburgh J, Norton R, SAFE study
investigators: A comparison of albumin and saline for fluid resuscitation in the
intensive care unit. N Engl J Med 2004, 350:2247–2256.
66. Finfer S, Myburgh J, Cooper DJ, Bellomo R, Norton R, Bishop N, Kai Lo S,
Vallance S, SAFE study investigators, Australian and New Zealand Intensive
Care Society Clinical Trials Group; Australian Red Cross Blood Service;
George Institute for International Health: Saline or albumin for fluid
resuscitation in patients with traumatic brain injury. N Engl J Med 2007,
357:874–884.
67. Maitland D, Kiguli S, Opoka RO, Engoru C, Olupot-Olupot P, Akech SO,
Nueko R, Mtove G, Reyburn H, Lang T, Brent B, Evans JA, Tibendarana JK,
Crawley J, Russell EC, Levin M, Babiker AG, Gibb DM: Mortality after fluid
bolus in African children with severe infection. N Engl J Med 2011,
364:2483–2495.
68. Finfer S, SAFE study investigators, McEvoy S, Bellomo R, McArthur C,
Myburgh J, Norton R: Impact of albumin compared to saline on organ function
and mortality of patients with severe sepsis. Intensive Care Med 2011,
37:86–96.
69. Shafer SL: Notice of retraction. Anesth Analg 2010, 111:1567.
70. Shafer SL: Shadow of doubt. Anesth Analg 2011, 112:498–500.
71. Young JB, Utter GH, Schermer CR, Galante JM, Phan HH, Yang Y, Anderson
BA, Scherer LA: Saline versus Plasma-Lyte in initial resuscitation of trauma
patients: a randomized trial. Ann Surg 2014, 259:255–262.
72. Raghunathan K, Shaw A, Nathanson B, Stürmer T, Brookhart A, Stefan MS,
Setoguchi S, Beadles C, Lindenauer PK: Association between the choice of IV
crystalloid and in-hospital mortality among critically ill adults with sepsis. Crit
Care Med 2014, [Epub ahead of print].
73. Kellum JA: Saline-induced hyperchloremic metabolic acidosis. Crit Care Med
2002, 30:259–261.
74. Allen SJ: Fluid therapy and outcome: balance is best. J Extra Corpor Tech 2014,
46:28–32.
75. Disma N, Mameli L, Pistorio A, Davidson A, Barabino P, Locatelli BG,
Sonzogni V, Montobbio G: A novel balanced isotonic sodium solution vs
normal saline during major surgery in children up to 36 months: a multicenter
RCT. Paediatr Anaesth 2014. doi:10.1111/pan.12439. [Epub ahead of print].
76. Yeager MP, Spence BC: Perioperative fluid management: current consensus
and controversies. Semin Dial 2006, 19:472–479.
77. Cecconi M, Parsons AK, Rhodes A: What is a fluid challenge? Curr Opin Crit
Care 2011, 17:290–295.
78. Cecconi M, Corredor C, Arulkumaran N, Abuella G, Ball J, Grounds RM,
Hamilton M, Rhodes A: Clinical review: goal-directed therapy-what is the
evidence in surgical patients? The effect on different risk groups. Crit Care
2013, 17:209.
79. Ramsingh DS, Sanghvi C, Gamboa J, Cannesson M, Applegate RL: Outcome
impact of goal directed fluid therapy during high risk abdominal surgery in low
to moderate risk patients: a randomized controlled trial. J Clin Monit Comp
2013, 27:249–257.
80. Pearse RM, Harrison DA, McDonnald N, Gillies MA, Blunt M, Ackland G,
Grocott MP, Ahern A, Griggs K, Scott R, Hinds C, Rowan K, OPTIMISE Study
Group: Effect of perioperative, cardiac output-guided hemodynamic therapy
algorithm on outcomes following major gastrointestinal surgery: a randomized
clinical trial and systematic review. JAMA 2014, 311(21):2181–2190.
81. Miller TE, Gan TJ: Goal directed fluid therapy. In Clinical Fluid Therapy in the
Perioperative Setting. Edited by Hahn RG. New York: Cambridge University
Press; 2011:91.
82. Boyd JH, Forbes J, Nakada T, Walley KR, Russell JA: Fluid resuscitation in
septic shock: a positive fluid balance and elevated central venous pressure are
associated with increased mortality. Crit Care Med 2011, 39:259–265.
83. Hamilton MA, Cecconi M, Rhodes A: A systematic review and meta-analysis
on the use of preemptive hemodynamic intervention to improve postoperative
outcomes in moderate and high-risk surgical patients. Anesth Analg 2011,
112:1392–1402.
84. Doherty M, Buggy DJ: Intraoperative fluids: how much is too much? Br J
Anaesth 2012, 109:69–70.
85. The ARISE investigators and the ANZICS Clinical Trials Group: Goal-directed
resuscitation for patients with early septic shock. NEJM 2014, 371:1496–1506.
86. Cherpanath TGV, Geerts BF, Lagrand WK, Schultz MJ, Groeneveld ABJ:
Basic concepts of fluid responsiveness. Neth Hearth J 2013, 21:530–536.
87. Marik PE, Cavalazzi R, Vasu T: Stroke volume variations and fluid
responsiveness. A systematic review of literature. Crit Care Med 2009,
37:2642–2647.
88. Delinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, Sevransky
JE, Sprung CL, Douglas IS, Jaeschke R, Osborn TM, Nunnally ME, Townsend
SR, Reinhart K, Kleinpell RM, Angus DC, Deutschman CS, Machado FR,
Rubenfeld GD, Webb S, Beale RJ, Vincent JL, Moreno R, Surviving Sepsis
Campaign Guidelines Committee including The Pediatric Subgroup: Surviving
sepsis 2012. Intensive Care Med 2013, 39:165–228.
89. Investigators PCESS, Yealy DM, Kellum JA, Huang DT, Barnato AE,
Weissfeld LA, Pike F, Terndrup T, Wang HE, Hou PC, LoVecchio F, Filbin
MR, Shapiro NI, Angus DC: A randomized trial of protocol-based care for early
septic shock. N Engl J Med 2014, 370:1683–1693.
90. Wachter J, Kumar A, Lapinsky SE, Marshall J, Dodek P, Arabi Y, Parrillo JE,
Dellinger RP, Garland A, Cooperative Antimicrobial Therapy of Septic Shock
Database Research Group: Interactions between fluids and vasoactive agents on
mortality in septic shock: a multicenter, observational study. Crit Care Med
2014, 42(10):2158–2168.
91. Marik PE, Lemson J: Fluid responsiveness: an evolution of our understanding.
Br J Anaesth 2014, 112:617–620.
92. Bartels K, Thiele RH, Gan TJ: Rational fluid management in today’s ICU. Crit
Care 2013, 17:S6.
93. Asfar P, Meziani F, Hamel JF, Grelon F, Megarbane B, Anguel N, Mira JP,
Dequin PF, Gergaud S, Weiss N, Legay F, Le Tulzo Y, Conrad M, Robert R,
Gonzalez F, Guitton C, Tamion F, Tonnelier JM, Guezennec P, Van Der Linden
T, Vieillard-Baron A, Mariotte E, Pradel G, Lesieur O, Ricard JD, Hervé F, du
Cheyron D, Guerin C, Mercat A, Teboul JL, et al: High versus low blood
pressure target in patients with septic shock. NEJM 2014, 370(17):1583–1593.
94. Marik PE, Monnet X, Teboul JL: Hemodynamic parameters to guide fluid
therapy. Ann Intensive Care 2011, 1:1.
95. Noblett SE, Snowden CP, Shenton BK, Horgan AF: Randomized clinical trial
assessing the effect of Doppler-optimized fluid management on outcome after
elective colorectal resection. Br J Surg 2006, 93:1069–1076.
96. Feldheiser A, Pavlova V, Bonomo T, Jones A, Fotopoulou C, Sehouli J,
Wernecke KD, Spies C: Balanced crystalloid compared with balanced colloid
solution using a goal-directed haemodynamic algorithm. Br J Anaesth 2013,
110:231–240.
97. Yates DR, Davies SJ, Milner HE, Wilson RJ: Crystalloid or colloid for
goal-directed fluid therapy in colorectal surgery. Br J Anaesth 2014,
112(2):281–289. doi:10.1186/s13613-014-0038-4

Cite this article as: Lira and Pinsky: Choices in fluid type and volume during
resuscitation: impact on patient outcomes. Annals of Intensive Care 2014 4:38.

Anda mungkin juga menyukai