PEMBAHASAN
P a g e 3 | 22
Kebijakan secara umum yang terlihat dan terkait pengelolaan utang luar
negeri adalah makin memperkecil ketergantungan pada jenis utang ini.
Berikut adalah kebijakan pemerintah tentang manajemen utang luar
negeri.
a. Mempertimbangkan kemampuan pemerintah untuk membayar
kembali pinjaman tersebut di masa yang akan datang.
b. Mempertimbangkan kemampuan kementerian/lembaga,
pemerintahan daerah (pemda), maupun BUMN pelaksana kegiatan
dalam penyerapan, dana pinjaman.
c. Mencapai kemandirian dalam pendanaan pembangunan yaitu dengan
cara menurunkan porsi pinjaman luar negeri dalam pembiayaan
APBN.
d. Pendanaan luar negeri sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan
pembangunan, perlu dimanfaatkan secara .optimal sehingga dapat
meningkatkan kapasitas ekonomi nasional.
Kebijakan tentang utang luar negeri sejalan dengan hasil
kesepakatan Deldarasi Paris (2 Maret 2005) tentang efektifitas
pemanfaatan bantuan luar negeri (Paris Declaration on Aid
Effectiveness) yang ditandatangani oleh 91 negara dan 26 lembaga
multilateral dan bilateral. Deklarasi Paris tersebut menyatakan bahwa
seluruh penandatangan deklarasi sepakat akan memberikan komitmen
dalam mempercepat peningkatan efektifitas pemanfaatan bantuan luar
negeri melalui langkah-langkah sebagai berikut.
a. Meningkatkan kemampuan negara-negara penerima bantuan
(partner) dalam menyusun strategi pembangunan nasional dan
kerangka kerja operasional (dalam perencanaan, pembiayaan, dan
penilaian kinerja).
b. Meningkatkan kesesuaian bantuan dengan prioritas, sistem dan
prosedur, serta membantu meningkatkan kapasitas negara-negara
penerima bantuan (partner).
P a g e 4 | 22
c. Meningkatkan akuntabilitas (accountability) kebijakan, strategi, dan
kinerja pemanfaatan bantuan kepada masyarakat dan parlemen di
negara donor dan penerima bantuan.
d. Menghilangkan duplikasi kegiatan dan melakukan rasionalisasi
kegiatan donor agar dana dapat digunakan seefektif mungkin.
e. Melakukan reformasi dan menyederhanakan kebijakan dan prosed
dari donor untuk meningkatkan kerja sama dan penyesuai prioritas,
sistem dan prosedur negara-negara penerima bantua (partner).
f. Menyusun standar dan ukuran-ukuran atas kinerja dan akuntabilitas
sistem dari negara-negara penerima bantuan (partner) dalam
manajemen keuangan publik, pengadaan barang dan jasa
perlindungan hukum dan lingkungan hidup, yang sejalan dengan
praktik yang dapat diterima secara luas serta dapat dilaksanakan
dengan mudah.
P a g e 8 | 22
1.4 Permasalahan Pinjaman Program
Meskipun perencanaan dan kebijakan - kebijakan umum pinjaman
program telah ditetapkan, namun dalam pelaksanaan masih sering terdapat kekurang
sempurnaan dan permasalahan-perrnasalahan yang diperlukan jalan pemecahan demi
sempurnanya manajemen keuangan pinjaman program di masa yang akan datang.
Beberapa permasalahan yang sering terjadi tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Permasalahan biaya-biaya pinjaman
Permasalahan ini timbul karena masih kurang kritisnya para negosiator pemerintah
terhadap isi perjanjian penarikan pinjaman program. Oleh karena negosiator
pemerintah yang masih kurang bargaining power mengakibatkan pihak kreditur
dapat memaksakan berbagai macam biaya tambahan untuk mendapatkan pinjaman
tersebut, adalah sebagai berikut.
a. Commitment fee
b. Tied loan (pinjaman mengikat)
c. Biaya bunga
d. Biaya di muka (up-front fee)
2. Risiko depresiasi
Risiko nilai tukar merupakan komponen biaya yang mestinya sangat perlu
diperhitungkan dalam memperoleh pinjaman. Tingka depresiasi rupiah sangat
bergantung pada jenis valuta yang dijadik denominasi. Pinjaman pemerintah tidak
hanya berdominasi rupiah, tapi juga dalam mata uang asing seperti euro, dolar, yen
dan poundsterling.
3. Penyerapan pinjaman yang belum optimal
Penyerapan pinjaman yang belum optimal akan memberatkan pemerintah dalam
membayar commitment fee. Sampai dengan 30 September 2010, pinjaman program
yang direalisasikan baru 37,2% Faktor penyebab rendahnya penyerapan pinjaman
ini antara lain karena:
a. Adanya perbedaan ketentuan antara satu pemberi pinjaman dengan pemberi
pinjaman lain, dan juga antara kreditur dan peminjam,terhadap mekanisme
pelaksanaan kegiatan;
b. Kurangnya persiapan pengelola proyek untuk mengimplementasikan kegiatan;
P a g e 9 | 22
c. Keterlambatan atau bahkan belum ada alokasi dana, pendamping dalam proses
penyusunan awal APBN sehingga harus diusulkan kembali untuk
diakomodasikan dalam APBN-P atau bahkan APBN tahun selanjutnya.
d. Pilihan kreditur yang tidak banyak
Kreditur pinjaman program selama ini hanya terdiri dari World Bank, ADB,
JICA, dan ADF. Pilihan kreditur yang tidak banyak ini membuat pinjaman
program kurang fieksibel dan bergantung pada keempat kreditur tersebut.
e. Pengawasan dan koordinasi pelaksanaan kegiatan belum optimal Berdasarkan
laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun 2007-2009, BPK selalu
memberikan opini disclaimer (tidak rnemberikan pendapat). Sebanyak 999,04
(penerusan pinjaman/ subsidiary loan agreement). Alasan BPK memberikan
opini tersebut adalah karena temuan itu lebih pada kelemahan sistem
pengendalian internal.
1.5 Solusi Pinjamana Program
Berdasarkan permasalahan-perrnasalahan yang terjadi, maka beberapa solusi
yang dapat dilaksanakan yaitu:
a. Mengupayakan kesamaan ketentuan mekanisme pelaksanaan proyek di
antara para kreditur;
b. mengupayakan kesamaan ketentuan antara kreditur, peminjam, dan
pelaksana kegiatan;
c. menuntut kepada kreditur agar menurunkan atau menghilangkan berbagai
macam biaya pinjaman;
d. mengupayakan kesesuaian perencanaan dan pelaksanaan penyediaan dana
pendamping, dana pinjaman, dan jadwal pelaksanaan kegiatan; dan
e. mengoptimalkan sistem pengawasan internal (SPI) pelaksanaan kegiatan dan
peningkatan koordinasi di antara Kementerian Keuangan, Kementerian
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, dan pelaksana pinjaman
program.
P a g e 10 | 22
2. MANAJEMEN PINJAMAN PROYEK
2.1 Latar Belakang Bantuan Luar Negeri
Untuk mencapai tujuan bernegara sesuai dengan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Perubahan Keempat, bahwa tujuan Negara Indonesia adalah
menciptakan masyarakat adil makmur dan sejahtera, maka sudah, menjadi
kewajiban pemerintah melakukan pembangunan di segala bidang sesuai dengan
rencana pernbangunan jangka menengah dan jangka panjang yang telah ditetapkan.
Pembangunan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perekonomian dan
mencapai target pertumbuhan yang telah direncanakan setiap tahun. Bila ekonomi
Indonesia bertumbuh sesuai dengan target maka diharapkan akan menciptakan nilai
tambah baru seperti penciptaan lapangan kerja baru, pertumbuhan ekonomi, dan
pertumbuhan kesejahteraan masyarakat.
Dalarn upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan,
pemerintah dihadapkan pada pilihan untuk mencari sumber-sumber pendanaan dan
berbagai pilihan sumber pembiayaan yang tersedia, Sewajarnya pembiayaan dalam
negeri merupakan pilihan utama pemerintah untuk pembiayaan pembangunan
karena dianggap pembiayaan dalam negeri lebih berbiaya murah dan tidak
dipengaruhi oleh faktor ekonomi eksternal. Namun sumber penerimaan dalam
negeri yang berasal dari penerimaan pajak, penerimaan migas, serta penerimaan
dalam negeri lainnya masih dianggap tidak mencukupi untuk membiayai
pembangunan sesuai target pertumbuhan yang diinginkan. Kondisi saat ini
Pemerintah Indonesia tidak bisa mengandalkan penerimaan dari lainnya dan gas
(migas), penerimaan pajak ataupun penerimaan domestik lainnya. Dualisme kondisi
karena kekurangan sumber dana namun dipacu untuk mencapai target pertumbuhan
ekonomi yang ditetapkan, pemerintah menjatuhkan pilihan pada pembiayaan luar
negeri dan salah satunya adalah pembiayaan pinjaman proyek.
Beberapa bentuk pinjaman proyek yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia
hingga tahun 2011 dari sisi sumber dana maupun dari sisi persyaratan antara lain
sebagai berikut.
1. Dan sisi sumber dana.
a. Pinjaman multilateral, yaitu pinjaman yang berasal dan badan-badan
P a g e 11 | 22
internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB),
Islamic Development Bank (IDB), dan International Monetary Fund
(IMF).
b. Pinjaman bilateral, yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara yang
tergabung dalam kelompok negara seperti Consultative Group for Indonesia
(CGI) maupun antarnegara secara langsung (intergovernment).
c. Pinjaman sindikasi, yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan
lembaga keuangan bukan bank (LKBB) internasional dengan
dikoordinasikan oleh satu bank/ LKBB yang bertindak sebagai pemimpin
sindikasi (sindication leader). Pinjaman ini biasanya dalam jurnlah besar
dan bersifat komersial (commercial loan), dengan tingkat suku bunga yang
mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam
loan agreement merupakan konsensus dan kesepakatan di antara para
pemberi pinjaman.
2. Dari sis persyaratan dana
a. Pinjaman lunak
Pinjaman lunak atau Concessional loan diartikan sebagai pinjaman dari
official development assistance (ODA) yang bersifat bilateral maupun
multilateral. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 08 Tahun 1984
tentang Penggunaan Kredit Ekspor Luar Negeri, menjelaskan bahwa
pinjaman yang boleh diterima Pemerintah Indonesia dan dikelompokkan
sebagai pinjaman lunak, hams memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
1) Jangka waktu pengembalian pinjaman selama 25 tahun atau lebih.
2) Masa tenggang (grace period) pembayaran pokok pinjaman selama 7
sampai dengan 10 tahun.
3) Tingkat bunga pinjaman berkisar 2% sampai dengan 3%.
4) Dalam pinjaman yang diberikan terdapat unsur hibah (grant element)
sebesar 25% atau lebih.
b. Pinjaman semilunak
Pinjaman setengah lunak (semi-concessional loan) merupakan pinjaman
yang hampir sama dengan penggunaan pinjaman lunak, namun
persyaratannya lebih berat' dari pinjaman lunak tetapi lebih ringan dari pada
P a g e 12 | 22
pinjaman komersial. Waktu pengembalian pinjaman ini biasanya lebih
singkat dari pinjaman lunak. Pinjaman semilunak bisa berupa fasilitas kredit
ekspor (FKE) dan purchase installment sale agreement (PISA).
1) Fasilitas kredit ekspor (FKE) merupakan pinjaman ekspor yang
disediakan oleh suatu badan pengembangan ekspor di luar negeri
kepada Pemerintah Indonesia dalam rangka rriembiayai pembelian
barang modal bagi proyek tertentu. Keuntungan dari FKE ini adalah
fasilitas kredit dijamin oleh pemerintah negara yang bersangkutan atau
lembaga yang ditunjuk. FKE biasanya hanya diberikan antara 65%
sampai dengan 90% dari total nilai proyek, sedangkan sisanya dibiayai
dengan dana sendiri atau dana pendampingan oleh Pemerintah
Indonesia.
Fasilitas kredit ekspor dapat dalam bentuk suppliers credit atau buyers
credit. Suppliers credit merupakan pinjaman FKE yang diterima
langsung oleh Pemerintah RI dari pemasok barang (supplier) di luar
negeri yang diberikan dalam bentuk barang untuk keperluan proyek.
Kita dapat mengartikan bahwa dalam suppliers credit ini, pihak yang
menerirna pinjaman adalah pihak pemasok barang, sedangkan pada
buyers credit, pinjaman FKE yang diterima. dan bank komersial atau
lembaga keuangan bukan bank, luar negeri, yang tujuan pinjaman
tersebut adalah untuk pembelian barang dan negara pemberi pinjaman.
2) Purchase installment sale agreement (PISA)
Purchase installment sale agreement (PISA), merupakan pinjaman yang
diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek
pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual
beli dengan pembayaran angsuran Besarnya pinjaman PISA adalah
100% dari nilai proyek.
3. Pinjaman komersial.
Pinjaman komersial (commercial loan), merupakan pinjaman yang diterima
dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar vang dan pasar
modal internasional. Pinjaman ini disebut juga cash loan karena pinjaman
diterima dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau tidak
P a g e 13 | 22
mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah besar
karena,pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya terdiri atas
perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Pinjaman komersial
ini memiliki karakteristik lainnya yaitu termin peminjaman lebih singkat dan
tingkat suku bunga lebih bila dibandingkan dengan pinjaman lunak maupun
pinjaman semilunak. Pemerintah yang mendapatkan pinjaman ini harus berhati-
hati agar tidak terperangkap pada status utang yang tidak terbayar karena gagal
dalam pengelolaannya.
Beberapa pertimbangan bagi pemerintah dalam menerima pinjaman
komersial adalah sebagai berikut.
1. Sebagai pendukung dari diversifikasi pinjaman atau memperluas sumber
pinjaman yaitu memperoleh pinjaman dari perbankan dan lembaga keuangan
bukan bank. Pinjaman ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena
kondisi "keterpaksaan". Hal ini dilakukan karena pemerintah harus
menerima pinjaman komersial sebagai "balas jasa" atas perolehan pinjaman
lunak ataupun pinjaman semilunak.
2. Jumlah pinjaman yang relatif besar dan waktu pengurusan yang tidak
panjang. Perbedaan yang sangat signifikan terjadi karena antrian negara-
negara pencari pinjaman lunak dan semilunak sangat panjang sementara
kebutuhan akan pendanaan harus segera, maka pinjaman komersial ini
dijadikan'sebagai salah satu altematif untuk menutupi kekurangan dana.
3. Fleksibilitas dari penggunaan dand. Pada pinjaman komersial, penerima
pinjaman tidak diberikan batasan tujuan penggunaan dana. Hal yang berbeda
bila pinjaman itu bersifat lunak atau semilunak. Pada pinjaman lunak dan
semilunak, peruntukan pinjaman sudah jelas dan tidak bisa berbeda dari
kesepakatan pemberian utang.
2.2 Manajemen Pengelolaan Pinjaman Proyek
Perspektif pinjaman proyek selalu berkaitan dengan pengelolaan dan
manajemen pinjaman. Pengelolaan pinjamari proyek membutuhkari kepatuhan dan
ketelitian agar marripu menghasilkan tingkat investasi melebihi tingkat risiko dan
bunga sertabiaya lain yang berkaitari dengan pinjaman proyek. Kegagalan atau
penundaan pelaksanaan kegiatan investasi yang didanai oleh pinjaman proyek
P a g e 14 | 22
berarti makin menambah panjang daftar kewajiban Yang 'harus dilakukari"oleh
Indonesia sebagai negara penerima donor.
Jumlah utang pemerintah yang cenderung meningkat tersebut akan membebani
APBN karena mengakibatkan adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok
utang dan bunga setiap tahunnya.
2.2.1 Motivasi Pinjaman Proyek
Hampir bisa dipastikan, negara-negara donor memberikan bantuannya
karena memiliki kepentingan masing-masing terhadap negara pendonor maupun
negara penerima donor. Beberapa kepentingan yang kerap muncul dari sisi negara
pendonor antara lain kepentingan politik, target militer, alasan ekonomi, alasan
moral ataupun kepentingan lainnya. Sementara dari sisi negara penerima donor
secara garis besar adalah praktis dan konseptual,dan politik.
1. Motivasi bagi negara pendonor
a. Kepentingan politik
Kepentingan politik merupakan alasan pertama bagi negara pendonor dalam
memberikan hibah khususnya pinjaman proyek namun bukan menjadi alasan
utama. Kepentingan politik seperti mengumpulkan aliansi kekuatan politik di
pentas dunia, intervensi kebijakan politik negara penerima pinjaman, dan
tetap berinuara kepada satu alasan utama yaitu alasan ekonomi.
b. Alasan militer
Alasan militer bukanlah alasan tunggal bagi negara pendonor memberikan
pinjamannya, tetapi merupakan alasan ikutan. Bantuan ini sangat
memberikan kekuatan besar, khususnya bagi negara penerima pinjaman yang
tidak memiliki kekuatan militer memadai namun membutuhkan bantuan
kekuatan militer. Pendonor memberikan bantuan kepada negara-negara
penerima pinjaman dalam bentuk pengawasan dan penjagaan ketat atas suatu
daerah potensi ekonomi tertentu seperti potensi tambang, wilayah wisata,
dan kantor-kantor penting.
c. Alasan ekonomi
Alasan ekonomi merupakan alasan utama bagi negara pendonor dalam
memberikan pinjaman proyeknya. Argumentasi ekonomi yang penting dan
P a g e 15 | 22
telah dikemukakan oleh pandangan yang mendukung bantuan luar negeri
adalah sebagai berikut.
1) Pinjaman memiliki peranan untuk menutupi kelangkaan sumber daya
dalam negeri guna mengejar target tabungan, investasi, dan devisa.
2) Pinjaman mempercepat proses pembangunan, yang nantinya akan
menghasilkan tambahan tabungan dalam negeri sebagai akibat dari
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara bertahap, akhirnya
bantuan luar negeri akan berkurang dan lenyap.
3) Bila pinjaman dilengkapi dengan bantuan nonkas yaitu seperti dalam
bentuk alih-pengetahuan (transfer of knowledge) dan teknologi bisa
memberikan tambahan nilai bahwa dana tersebut akan digunakan secara
efisien untuk dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi.yang tinggi.
Dengan alasan bahwa pinjaman menjadi obat instan bagi pertumbuhan
pembangunan negara penerima, keuntungan akan mengalir ke negara-
negara donor sebagai basil bunga pinjaman. Bahkan negara pendonor
tidak lagi memberikan pinjaman secara langsung, tetapi dengan ikatan
bantuan tertentu seperti ikatan atau keharusan bagi negara penerima
pinjaman untuk menerima basil ekspor dari negara-negara pendonor
dengan syarat tertentu.
d. Alasan moral
Alasan moral di dalam memberikan pinjaman merupakan alasan yang
berkaitan dengan alasan murni pada konteks moral, yaitu alasan pada rasa
tanggung jawab sosial negara kaya terhadap kesejahteraan negara miskin
karena perbuatan masa lalu yang pernah dilakukan oleh negara pemberi
pinjaman tersebut misalnya alasan imperialisme atau kolonialisme di masa
lalu. Dengan alasan ini, negara pendonor biasanya memberikan pinjaman
dengan sifat pinjaman sangat lunak.
e. Alasan lainnya
Alasan lainnya walaupun sangat jarang diungkapkan adalah alasan sampah.
Bagi negara-negara maju tertentu, sampah hasil industri menjadi masalah
utama dan pelik untuk dipecahkan. Salah satu alternatif untuk memecahkan
sampah bagi negara yang bersangkutan, maka negara kaya tersebut
P a g e 16 | 22
mengirim sampahnya ke negara-negara yang bersedia untuk menerima
sampah. Dengan alasan pemberian pinjaman lunak dan alasanalasan lainnya
yang dikemas agar negara penierima sampah mau menerima sampah dan
juga sekaligus menerima pinjaman -- lunak. Pada alasan ini, negara penerima
pinjaman memiliki 7 dua keivajiban dalam waktu bersamaan yaitu kewajiban
untuk mendaur ulang sampah yang mungkin sudah bercampur dengan bahan
berbahaya dan kewajiban untuk membayar cicilan di masa yang akan datang.
2. Motivasi negara penerima donor
Negara penerima donor selalu berkeinginan untuk menerima pinjaman,
walaupun pinjaman tersebut bersifat pinjaman komersial berbunga tinggi.
Alasan bagi negara penerima pinjaman dalam niencari bantuan luar negeri,
yaitu:
a. Alasan praktis dan konseptual yang bersifat ekonomis
b. Alasan politik
P a g e 19 | 22
diperhatikan dalam penyusunan proyek/program yang didanai dari
pinjaman/hibah luar negeri, antara lain:
a. Kebutuhan impor barang/jasa yang besar tersebut tidak dapat dipenuhi
oleh produsen dalam negeri;
b. Proyek yang didanai akan memperbesar kapasitas nasional,seperti
peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemberantasan kemiskinan,
peningkatan pendapatan pemerintah, peningkatan tabungan dalam negeri,
pertumbuhan cadangan devisa. Pelestarian lingkungan hidup, mendorong
ekspor, transfer teknologi, kemandirian; dan
c. Peningkatan kemampuan .produsen dalam. Negeri agar mampu bersaing
dengan produsen dari luar negeri.
P a g e 21 | 22
a. Negative net transfer. Transfer negatif ini terjadi akibat penarikan utang luar
negeri pada pinjaman proyek lebih kecil bila dibandingkan dengan kemampuan
pembayaran kembali utang luar negeri beserta bunganya.
b. Increasing debt service to government expenditure (DSGE). Besarnya
pembayaran utang luar negeri pemerintah memberikan konsekuensi terhadap
peran belanja negara.
c. High borrowing cost. Persepsi atas murahnya utang luar negeri tidak jarang
menjadi dasar untuk pemanfaatan utang luar negeri sebagai pembiayaan
pembangunan.
d. Law absorptive capacity. Masalah rendahnya daya serap juga menunjukkan
lemahnya kemampuan pemerintah dalam pengelolaan, utang luar negeri baik
dalam hal administratif, kelembagaan, maupun landasan kebijakan yang berlaku.
e. Koordinasi antar lembaga tidak terpadu. Penyebab rendahnya daya serap ini juga
timbulkan dari kordinasi antar lembaga pemerintah yang lebih
mempermasalahkan kecemburuan terhadap pengelolaan pinjaman proyek.
P a g e 22 | 22