Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

1. MANAJEMEN PINJAMAN LUAR NEGERI


1.1 Perspektif Utang Luar Negeri
A. Dasar hukum utang luar negeri.
Ada tiga dasar hukum dalam pelaksanaan utang luar negeri yaitu:
a. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu
pada:
1. Pasal 23 ayat (1)
Pemerintah pusat dapat memberikan hibah atau pinjaman kepada atau
menerima hibah atau pinjaman dari pemerintah atau lembaga asing
dengan. persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
2. Penjelasan Pasal 12 ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari produk
domestik bruto (PDB). Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari
PDB.
b. Undang-Undang Nomor 01. Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara, yaitu pada Pasal 38, yang mengatur antara lain:
1. Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat yang diberi kuasa atas
nama Menteri Keuangan untuk mengadakan utang negara atau
menerima hibah yang berasal dari dalam negeri ataupun dan luar
negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-
Undang APBN.
2. Utang/hibah sebagaimana dimaksud di atas dapat diterus pinjamkan
kepada Pemerintahan Daerah/BUMN/ BUMD.
3. Biaya berkenaan dengan proses pengadaan utang atau hibah
sebagaimana dimaksud di atas dibebankan pada APBN.
4. Tata cara pengadaan utang dan/atau penerimaan hibah baik yang
berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri serta penerusan
utang atau hibah luar negeri kepada Pemerintahan
Daerah/BUMN/BUMD, diatur dengan peraturan pemerintah.
P a g e 1 | 22
c. Undang-undang tentang APBN yang ditetapkan setiap tahun antara lain
menyebutkan bahwa pemerintah dapat melakukan perubahan instrumen
utang dalam hal terdapat surnber utang yang lebih menguntungkan.
d. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara
Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah.
e. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor Per. 005/
M.PPN/06/2006 tentang Tata Cara Perencanaan dan Pengajuan Usulan
serta Penilaian Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman dan/atau Hibah
Luar Negeri.
f. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 514/KMK.08/2010 tentang
Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2010-2014.
B. Definisi utang luar negeri.
Definisi utang luar negeri menurut Pasal 1 PP Nomor 10 Tahun 2011 adalah:
Setiap pembiayaan melalui utang yang diperoleh pemerintah dari pemberi
pinjaman luar negeri yang diikat oleh suatu perjanjian pinjaman dan tidak
berbentuk surat berharga negara, yang harus dibayar kembali dengan persyaratan
tertentu.
C. Prinsip utang luar negeri.
Adapun prinsip-prinsip pengelolaan utang luar negeri menurut Pasal 2 PP
Nomor 10 Tahun 2011 adalah:
a. Transparan;
b. Akuntabel;
c. Efisien dan efektif;
d. Kehati-hatian;
e. Tidak disertai ikatan politik; dan
f. Tidak memiliki muatan yang dapat mengganggu stabilitas kearnanan negara.
D. Penggunaan utang luar negeri.
Penggunaan utang luar negeri sesuai dengan Pasal 7 PP Nomor 10 Tahun
2011 adalah untuk:
a. Membiayai defisit APBN;
b. Membiayai kegiatan prioritas kementerian/lembaga;
P a g e 2 | 22
c. Mengelola portofolio utang;
d. Diteruspinjamkan kepada Pemerintahan Daerah;
e. Diterus pinjamkan kepada BUMN; dan/atau
f. Dihibahkan kepada Pemerintahan Daerah.
E. Bentuk utang luar negeri.
Bentuk utang luar negeri adalah:
a. pinjaman program atau tunai; dan
b. pinjaman proyek atau kegiatan.
F. Sumber utang luar negeri.
Sumber utang luar negeri sesuai dengan Pasal 7 PP Nomor 10 Tahun 2011
adalah:
a. kreditur multilateral;
b. kreditur bilateral;
c. kreditur swasta asing; dan
d. lembaga penjamin kredit ekspor.

1.2 Pinjaman Program: Definisi, Tujuan, dan Kebijakan Perencanaan


1. Definisi pinjaman program
Pinjaman program adalah pinjaman yang terkait dengan program yang
telah dan akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Dalam
pelaksanaannya, pinjaman program ini dikaitkan dengan pemenuhan
matriks kebijakan yang telah disepakati bersama antara pemberi
pinjaman dengan pemerintah.
2. Tujuan pinjaman program
Tujuan pinjaman program adalah untuk budget support dan pencairannya
dikaitkan dengan pemenuhan matriks kebijakan di bidang kegiatan untuk
mencapai MDGs (Millennium Development Goals) yaitu meliputi
pengentasan kemiskinan, pendidikan, pemberantasan korupsi,
pemberdayaan masyarakat, kebijakan terkait dengan perubahan iklim
(climate change), dan infrastruktur.
3. Kebijakan perencanaan pinjaman program

P a g e 3 | 22
Kebijakan secara umum yang terlihat dan terkait pengelolaan utang luar
negeri adalah makin memperkecil ketergantungan pada jenis utang ini.
Berikut adalah kebijakan pemerintah tentang manajemen utang luar
negeri.
a. Mempertimbangkan kemampuan pemerintah untuk membayar
kembali pinjaman tersebut di masa yang akan datang.
b. Mempertimbangkan kemampuan kementerian/lembaga,
pemerintahan daerah (pemda), maupun BUMN pelaksana kegiatan
dalam penyerapan, dana pinjaman.
c. Mencapai kemandirian dalam pendanaan pembangunan yaitu dengan
cara menurunkan porsi pinjaman luar negeri dalam pembiayaan
APBN.
d. Pendanaan luar negeri sebagai salah satu alternatif sumber pendanaan
pembangunan, perlu dimanfaatkan secara .optimal sehingga dapat
meningkatkan kapasitas ekonomi nasional.
Kebijakan tentang utang luar negeri sejalan dengan hasil
kesepakatan Deldarasi Paris (2 Maret 2005) tentang efektifitas
pemanfaatan bantuan luar negeri (Paris Declaration on Aid
Effectiveness) yang ditandatangani oleh 91 negara dan 26 lembaga
multilateral dan bilateral. Deklarasi Paris tersebut menyatakan bahwa
seluruh penandatangan deklarasi sepakat akan memberikan komitmen
dalam mempercepat peningkatan efektifitas pemanfaatan bantuan luar
negeri melalui langkah-langkah sebagai berikut.
a. Meningkatkan kemampuan negara-negara penerima bantuan
(partner) dalam menyusun strategi pembangunan nasional dan
kerangka kerja operasional (dalam perencanaan, pembiayaan, dan
penilaian kinerja).
b. Meningkatkan kesesuaian bantuan dengan prioritas, sistem dan
prosedur, serta membantu meningkatkan kapasitas negara-negara
penerima bantuan (partner).

P a g e 4 | 22
c. Meningkatkan akuntabilitas (accountability) kebijakan, strategi, dan
kinerja pemanfaatan bantuan kepada masyarakat dan parlemen di
negara donor dan penerima bantuan.
d. Menghilangkan duplikasi kegiatan dan melakukan rasionalisasi
kegiatan donor agar dana dapat digunakan seefektif mungkin.
e. Melakukan reformasi dan menyederhanakan kebijakan dan prosed
dari donor untuk meningkatkan kerja sama dan penyesuai prioritas,
sistem dan prosedur negara-negara penerima bantua (partner).
f. Menyusun standar dan ukuran-ukuran atas kinerja dan akuntabilitas
sistem dari negara-negara penerima bantuan (partner) dalam
manajemen keuangan publik, pengadaan barang dan jasa
perlindungan hukum dan lingkungan hidup, yang sejalan dengan
praktik yang dapat diterima secara luas serta dapat dilaksanakan
dengan mudah.

Perencanaan pinjaman program melibatkan tiga peran dari


pemerintah, yaitu:
a. Kementerian Keuangan, selaku pemegang otoritas pengelola
keuangan negara;
b. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, selaku
koordinator dari para pengguna dana pinjaman program dan sebagai
partner dari Kementerian Keuangan; dan
c. kementerian-kementerian/lembaga atau pemerintahan daerah, selaku
calon pengguna dana pinjaman program.

1.3 Pelaksanaan Pinjaman Program


Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perjanjian
Pinjaman Luar Negeri memuat paling sedikit:
a. Jumlah;
b. Peruntukan;
c. Hak dan kewajiban; dan
d. Ketentuan dan persyaratan.
P a g e 5 | 22
Kreditur pinjaman program selama ini adalah World Bank (WB), Asian
Development Bank (ADB), Japan International Cooperation Agency (JICA), dan
L'Agence Frangaise de Developpement (AFD).
1. Pinjaman Program World Bank (WB)
a. Program Nasional Pemberdayaan ,Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan
(National Program for Community Empowerment in Rural Areas Project)
dan PNPM Mandiri Perkotaan (National Program for Community
Empowerment in Urban Areas Project).
Pinjaman ini bertujuan untuk:
1) meningkatkan ketersediaan sarana dan pinsarana dasar yang mendukung
pengembangan kegiatan ekonomi produktif;
2) memperkuat manajemen dan keuangan unit unit pengelola keuangan
masyarakat agar menjadi basis pengembang ekonomi lokal;
3) meningkatkan kapasitas institusi lokal tingkat desa kecamatan, dan
kabupaten dalam proses penyelenggarakan pembangunan; dan
4) mengembangkan pusat/media pengetahuan dan pembelajaran antara lain
dalam bentuk best practices dan berbagai mekanisme perencanaan,
pelaksanaan, dan pengendalian program-program pemberdayaan
masyarakat yang ada.
b. Climate Change Development Policy Loan (CC-DPL)
Pinjaman ini bertujuan untuk membantu reformasi kebijakan mitigasi dan
adaptasi terhadap perubahan iklim di Indonesia.
c. Additional Financing for Thce Bantuan Operasional Sekolah Knowledge
Improvement for Transparency and Accountability (BOS-KITA)
Pinjaman ini bertujuan untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan yang
memadai untuk usia 7 s.d. 15 tahun, dengari memperkuat sistem di sekolah
dalam menicngkatkan efektivitas, penggunaan dana BOS.
d. Local Government And Decentralization Project 7914-ID
Pinjaman ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas, pelaporan, dan
penguatan verifikasi output, khususnya di bidang infrastruktur (jalan, irigasi,
air bersih, dan sanitasi).
P a g e 6 | 22
e. Infrastructure Development Policy Loan (IDPL)
Pinjaman ini bertujuan untuk:
1) Meningkatkan kuantitas dan efisiensi belanja pemerintah pusat pada
sektor infrastruktur melalui kebijakan public service obligation (subsidi),
perencanaan, dan penganggaran;
2) Meningkatkan pelayanan infrastruktur daerah melalui peningkatan
belanja pemerintah daerah dan kerangka insentif;
3) Meningkatkan investasi swasta pada bidang infrastruktur melalui
pembentukan mekanisme public private partnership (PPP) yang secara
fisik baik, transparan, dan kredibel;
4) Menguatkan tata kelola untuk sektor infrastruktur melalui land
acquisition, perlindungan lingkungan, proses pengadaan, dan audit dalam
Kementerian Pekerjaan Umum.
f. Development Policy Loan (DPL)
Pinjaman ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Indonesia mencapai
pertumbuhan jangka menengah dan pengentasan kemiskinan dengan
mendukung kegiatan reformasi dengan:
a. Meningkatkan iklim investasi;
b. Menguatkan manajemen keuangan publik; dan
c. Meningkatkan pengurangan kemiskinan dan kegiatan pelayanan publik.
2. Pinjaman Program Asian Development Bank (ADB)
a. Countercyclical Facility Support Program (Loan No. 2563-IN0).
Pinjaman ini bertujuan untuk mengantisipasi krisis keuangan global dan juga
sebagai stimulus fiskal yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan
permintaan domestik, penguatan perlindungan sosial, fasilitas perdagangan,
dan perlindungan lapangan pekerjaan.
b. Infrastructure Reform Sector Development Program-Subprogram 3 (IRSDP-
SP3).
Pinjaman ini bertujuan untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia
dengan menghapus hambatan-hambatan di bidang infrastruktur dan
meningkatkan akses pada pelayanan infrastruktur, sehingga dapat
mendukung pencapaian tujuan makroekonomi jangka menengah, khususnya
P a g e 7 | 22
pertumbuhan rata-rata gross domestic product (GDP) 6-7% per tahun selama
tahun 2010-2014.
3. Pinjaman Program Jepang (Japan International Cooperation Agency -
JICA)
a. The Seventh Development Policy Loan (DPL 7)
Pinjaman ini bertujuan untuk mendukung program kerj pemerintah dalam
rangka menjaga stabilitas makro-ekonomi meningkatkan iklim investasi, dan
meningkatkan pengelola keuangan publik.
b. Climate Change Program Loan (CCPL)
Pinjaman ini bertujuan untuk membiayai defisit APBN sekaligus untuk
menjalankan reformasi kebijakan yang terkait dengan isu - isu perubahan
iklim berdasarkan kerangka kerja Rencana Aksi Nasional untuk climate
change yang disusun o1eh Pemerintah Indonesia.
4. Pinjaman Program. Prancis (L'Agence Francaise de Developpement AFD)
AFD beroperasi di Indonesia dalam kerangka mandatnya yang berfokus pada
perlindungan "Barang Publik Global" yaitu: memeran perubahan iklim, terutama
dengan meningkatkan efisiensi energi dan pengembangan energi terbarukan,
melestarikan keanekaragarnan hayati, dan memerangi penyakit baru dan
menular.
Penggunaan pinjaman program seperti dalam bentuk-bentuk kegiatan
tersebut dapat dilaksanakan oleh menteri atau pimpinan lembaga, gubernur,
bupati/walikota, atau direksi BUMN. Menuruti Pasal. 76 PP Nomor 10 Tahun
2011, instansi-instansi pelaksana pinjaman program tersebut selanjutnya hares
menyampaikan laporan triwulanan kepada Menteri Keuangan dan Menteri
Perencanaan Pembangunan Nasional paling sedikit mengenai:
a. Pelaksanaan pengadaan barang/jasa;
b. Kemajuan fisik kegiatan;
c. Realisasi penyerapan;
d. Permasalahan dalam pelaksanaan, dan
e. Rencana tindak lanjut penyelesaian masalah.

P a g e 8 | 22
1.4 Permasalahan Pinjaman Program
Meskipun perencanaan dan kebijakan - kebijakan umum pinjaman
program telah ditetapkan, namun dalam pelaksanaan masih sering terdapat kekurang
sempurnaan dan permasalahan-perrnasalahan yang diperlukan jalan pemecahan demi
sempurnanya manajemen keuangan pinjaman program di masa yang akan datang.
Beberapa permasalahan yang sering terjadi tersebut antara lain sebagai berikut.
1. Permasalahan biaya-biaya pinjaman
Permasalahan ini timbul karena masih kurang kritisnya para negosiator pemerintah
terhadap isi perjanjian penarikan pinjaman program. Oleh karena negosiator
pemerintah yang masih kurang bargaining power mengakibatkan pihak kreditur
dapat memaksakan berbagai macam biaya tambahan untuk mendapatkan pinjaman
tersebut, adalah sebagai berikut.
a. Commitment fee
b. Tied loan (pinjaman mengikat)
c. Biaya bunga
d. Biaya di muka (up-front fee)
2. Risiko depresiasi
Risiko nilai tukar merupakan komponen biaya yang mestinya sangat perlu
diperhitungkan dalam memperoleh pinjaman. Tingka depresiasi rupiah sangat
bergantung pada jenis valuta yang dijadik denominasi. Pinjaman pemerintah tidak
hanya berdominasi rupiah, tapi juga dalam mata uang asing seperti euro, dolar, yen
dan poundsterling.
3. Penyerapan pinjaman yang belum optimal
Penyerapan pinjaman yang belum optimal akan memberatkan pemerintah dalam
membayar commitment fee. Sampai dengan 30 September 2010, pinjaman program
yang direalisasikan baru 37,2% Faktor penyebab rendahnya penyerapan pinjaman
ini antara lain karena:
a. Adanya perbedaan ketentuan antara satu pemberi pinjaman dengan pemberi
pinjaman lain, dan juga antara kreditur dan peminjam,terhadap mekanisme
pelaksanaan kegiatan;
b. Kurangnya persiapan pengelola proyek untuk mengimplementasikan kegiatan;

P a g e 9 | 22
c. Keterlambatan atau bahkan belum ada alokasi dana, pendamping dalam proses
penyusunan awal APBN sehingga harus diusulkan kembali untuk
diakomodasikan dalam APBN-P atau bahkan APBN tahun selanjutnya.
d. Pilihan kreditur yang tidak banyak
Kreditur pinjaman program selama ini hanya terdiri dari World Bank, ADB,
JICA, dan ADF. Pilihan kreditur yang tidak banyak ini membuat pinjaman
program kurang fieksibel dan bergantung pada keempat kreditur tersebut.
e. Pengawasan dan koordinasi pelaksanaan kegiatan belum optimal Berdasarkan
laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sejak tahun 2007-2009, BPK selalu
memberikan opini disclaimer (tidak rnemberikan pendapat). Sebanyak 999,04
(penerusan pinjaman/ subsidiary loan agreement). Alasan BPK memberikan
opini tersebut adalah karena temuan itu lebih pada kelemahan sistem
pengendalian internal.
1.5 Solusi Pinjamana Program
Berdasarkan permasalahan-perrnasalahan yang terjadi, maka beberapa solusi
yang dapat dilaksanakan yaitu:
a. Mengupayakan kesamaan ketentuan mekanisme pelaksanaan proyek di
antara para kreditur;
b. mengupayakan kesamaan ketentuan antara kreditur, peminjam, dan
pelaksana kegiatan;
c. menuntut kepada kreditur agar menurunkan atau menghilangkan berbagai
macam biaya pinjaman;
d. mengupayakan kesesuaian perencanaan dan pelaksanaan penyediaan dana
pendamping, dana pinjaman, dan jadwal pelaksanaan kegiatan; dan
e. mengoptimalkan sistem pengawasan internal (SPI) pelaksanaan kegiatan dan
peningkatan koordinasi di antara Kementerian Keuangan, Kementerian
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional, dan pelaksana pinjaman
program.

P a g e 10 | 22
2. MANAJEMEN PINJAMAN PROYEK
2.1 Latar Belakang Bantuan Luar Negeri
Untuk mencapai tujuan bernegara sesuai dengan Undang-Undang Dasar
(UUD) 1945. Perubahan Keempat, bahwa tujuan Negara Indonesia adalah
menciptakan masyarakat adil makmur dan sejahtera, maka sudah, menjadi
kewajiban pemerintah melakukan pembangunan di segala bidang sesuai dengan
rencana pernbangunan jangka menengah dan jangka panjang yang telah ditetapkan.
Pembangunan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perekonomian dan
mencapai target pertumbuhan yang telah direncanakan setiap tahun. Bila ekonomi
Indonesia bertumbuh sesuai dengan target maka diharapkan akan menciptakan nilai
tambah baru seperti penciptaan lapangan kerja baru, pertumbuhan ekonomi, dan
pertumbuhan kesejahteraan masyarakat.
Dalarn upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan,
pemerintah dihadapkan pada pilihan untuk mencari sumber-sumber pendanaan dan
berbagai pilihan sumber pembiayaan yang tersedia, Sewajarnya pembiayaan dalam
negeri merupakan pilihan utama pemerintah untuk pembiayaan pembangunan
karena dianggap pembiayaan dalam negeri lebih berbiaya murah dan tidak
dipengaruhi oleh faktor ekonomi eksternal. Namun sumber penerimaan dalam
negeri yang berasal dari penerimaan pajak, penerimaan migas, serta penerimaan
dalam negeri lainnya masih dianggap tidak mencukupi untuk membiayai
pembangunan sesuai target pertumbuhan yang diinginkan. Kondisi saat ini
Pemerintah Indonesia tidak bisa mengandalkan penerimaan dari lainnya dan gas
(migas), penerimaan pajak ataupun penerimaan domestik lainnya. Dualisme kondisi
karena kekurangan sumber dana namun dipacu untuk mencapai target pertumbuhan
ekonomi yang ditetapkan, pemerintah menjatuhkan pilihan pada pembiayaan luar
negeri dan salah satunya adalah pembiayaan pinjaman proyek.
Beberapa bentuk pinjaman proyek yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia
hingga tahun 2011 dari sisi sumber dana maupun dari sisi persyaratan antara lain
sebagai berikut.
1. Dan sisi sumber dana.
a. Pinjaman multilateral, yaitu pinjaman yang berasal dan badan-badan

P a g e 11 | 22
internasional, misalnya World Bank, Asian Development Bank (ADB),
Islamic Development Bank (IDB), dan International Monetary Fund
(IMF).
b. Pinjaman bilateral, yaitu pinjaman yang berasal dari negara-negara yang
tergabung dalam kelompok negara seperti Consultative Group for Indonesia
(CGI) maupun antarnegara secara langsung (intergovernment).
c. Pinjaman sindikasi, yaitu pinjaman yang diperoleh dari beberapa bank dan
lembaga keuangan bukan bank (LKBB) internasional dengan
dikoordinasikan oleh satu bank/ LKBB yang bertindak sebagai pemimpin
sindikasi (sindication leader). Pinjaman ini biasanya dalam jurnlah besar
dan bersifat komersial (commercial loan), dengan tingkat suku bunga yang
mengambang (floating rate). Syarat-syarat pinjaman yang dituangkan dalam
loan agreement merupakan konsensus dan kesepakatan di antara para
pemberi pinjaman.
2. Dari sis persyaratan dana
a. Pinjaman lunak
Pinjaman lunak atau Concessional loan diartikan sebagai pinjaman dari
official development assistance (ODA) yang bersifat bilateral maupun
multilateral. Berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 08 Tahun 1984
tentang Penggunaan Kredit Ekspor Luar Negeri, menjelaskan bahwa
pinjaman yang boleh diterima Pemerintah Indonesia dan dikelompokkan
sebagai pinjaman lunak, hams memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.
1) Jangka waktu pengembalian pinjaman selama 25 tahun atau lebih.
2) Masa tenggang (grace period) pembayaran pokok pinjaman selama 7
sampai dengan 10 tahun.
3) Tingkat bunga pinjaman berkisar 2% sampai dengan 3%.
4) Dalam pinjaman yang diberikan terdapat unsur hibah (grant element)
sebesar 25% atau lebih.
b. Pinjaman semilunak
Pinjaman setengah lunak (semi-concessional loan) merupakan pinjaman
yang hampir sama dengan penggunaan pinjaman lunak, namun
persyaratannya lebih berat' dari pinjaman lunak tetapi lebih ringan dari pada
P a g e 12 | 22
pinjaman komersial. Waktu pengembalian pinjaman ini biasanya lebih
singkat dari pinjaman lunak. Pinjaman semilunak bisa berupa fasilitas kredit
ekspor (FKE) dan purchase installment sale agreement (PISA).
1) Fasilitas kredit ekspor (FKE) merupakan pinjaman ekspor yang
disediakan oleh suatu badan pengembangan ekspor di luar negeri
kepada Pemerintah Indonesia dalam rangka rriembiayai pembelian
barang modal bagi proyek tertentu. Keuntungan dari FKE ini adalah
fasilitas kredit dijamin oleh pemerintah negara yang bersangkutan atau
lembaga yang ditunjuk. FKE biasanya hanya diberikan antara 65%
sampai dengan 90% dari total nilai proyek, sedangkan sisanya dibiayai
dengan dana sendiri atau dana pendampingan oleh Pemerintah
Indonesia.
Fasilitas kredit ekspor dapat dalam bentuk suppliers credit atau buyers
credit. Suppliers credit merupakan pinjaman FKE yang diterima
langsung oleh Pemerintah RI dari pemasok barang (supplier) di luar
negeri yang diberikan dalam bentuk barang untuk keperluan proyek.
Kita dapat mengartikan bahwa dalam suppliers credit ini, pihak yang
menerirna pinjaman adalah pihak pemasok barang, sedangkan pada
buyers credit, pinjaman FKE yang diterima. dan bank komersial atau
lembaga keuangan bukan bank, luar negeri, yang tujuan pinjaman
tersebut adalah untuk pembelian barang dan negara pemberi pinjaman.
2) Purchase installment sale agreement (PISA)
Purchase installment sale agreement (PISA), merupakan pinjaman yang
diberikan oleh perusahaan leasing untuk pembiayaan proyek
pembangunan tertentu yang dituangkan dalam bentuk persetujuan jual
beli dengan pembayaran angsuran Besarnya pinjaman PISA adalah
100% dari nilai proyek.
3. Pinjaman komersial.
Pinjaman komersial (commercial loan), merupakan pinjaman yang diterima
dengan syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan kondisi pasar vang dan pasar
modal internasional. Pinjaman ini disebut juga cash loan karena pinjaman
diterima dalam bentuk uang tunai dan penggunaannya lebih fleksibel atau tidak
P a g e 13 | 22
mengikat. Jumlah pinjaman komersial umumnya berjumlah besar
karena,pemberi pinjaman berupa sindikasi yang anggotanya terdiri atas
perbankan dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Pinjaman komersial
ini memiliki karakteristik lainnya yaitu termin peminjaman lebih singkat dan
tingkat suku bunga lebih bila dibandingkan dengan pinjaman lunak maupun
pinjaman semilunak. Pemerintah yang mendapatkan pinjaman ini harus berhati-
hati agar tidak terperangkap pada status utang yang tidak terbayar karena gagal
dalam pengelolaannya.
Beberapa pertimbangan bagi pemerintah dalam menerima pinjaman
komersial adalah sebagai berikut.
1. Sebagai pendukung dari diversifikasi pinjaman atau memperluas sumber
pinjaman yaitu memperoleh pinjaman dari perbankan dan lembaga keuangan
bukan bank. Pinjaman ini dilakukan oleh Pemerintah Indonesia karena
kondisi "keterpaksaan". Hal ini dilakukan karena pemerintah harus
menerima pinjaman komersial sebagai "balas jasa" atas perolehan pinjaman
lunak ataupun pinjaman semilunak.
2. Jumlah pinjaman yang relatif besar dan waktu pengurusan yang tidak
panjang. Perbedaan yang sangat signifikan terjadi karena antrian negara-
negara pencari pinjaman lunak dan semilunak sangat panjang sementara
kebutuhan akan pendanaan harus segera, maka pinjaman komersial ini
dijadikan'sebagai salah satu altematif untuk menutupi kekurangan dana.
3. Fleksibilitas dari penggunaan dand. Pada pinjaman komersial, penerima
pinjaman tidak diberikan batasan tujuan penggunaan dana. Hal yang berbeda
bila pinjaman itu bersifat lunak atau semilunak. Pada pinjaman lunak dan
semilunak, peruntukan pinjaman sudah jelas dan tidak bisa berbeda dari
kesepakatan pemberian utang.
2.2 Manajemen Pengelolaan Pinjaman Proyek
Perspektif pinjaman proyek selalu berkaitan dengan pengelolaan dan
manajemen pinjaman. Pengelolaan pinjamari proyek membutuhkari kepatuhan dan
ketelitian agar marripu menghasilkan tingkat investasi melebihi tingkat risiko dan
bunga sertabiaya lain yang berkaitari dengan pinjaman proyek. Kegagalan atau
penundaan pelaksanaan kegiatan investasi yang didanai oleh pinjaman proyek
P a g e 14 | 22
berarti makin menambah panjang daftar kewajiban Yang 'harus dilakukari"oleh
Indonesia sebagai negara penerima donor.
Jumlah utang pemerintah yang cenderung meningkat tersebut akan membebani
APBN karena mengakibatkan adanya lonjakan dalam pembayaran cicilan pokok
utang dan bunga setiap tahunnya.
2.2.1 Motivasi Pinjaman Proyek
Hampir bisa dipastikan, negara-negara donor memberikan bantuannya
karena memiliki kepentingan masing-masing terhadap negara pendonor maupun
negara penerima donor. Beberapa kepentingan yang kerap muncul dari sisi negara
pendonor antara lain kepentingan politik, target militer, alasan ekonomi, alasan
moral ataupun kepentingan lainnya. Sementara dari sisi negara penerima donor
secara garis besar adalah praktis dan konseptual,dan politik.
1. Motivasi bagi negara pendonor
a. Kepentingan politik
Kepentingan politik merupakan alasan pertama bagi negara pendonor dalam
memberikan hibah khususnya pinjaman proyek namun bukan menjadi alasan
utama. Kepentingan politik seperti mengumpulkan aliansi kekuatan politik di
pentas dunia, intervensi kebijakan politik negara penerima pinjaman, dan
tetap berinuara kepada satu alasan utama yaitu alasan ekonomi.
b. Alasan militer
Alasan militer bukanlah alasan tunggal bagi negara pendonor memberikan
pinjamannya, tetapi merupakan alasan ikutan. Bantuan ini sangat
memberikan kekuatan besar, khususnya bagi negara penerima pinjaman yang
tidak memiliki kekuatan militer memadai namun membutuhkan bantuan
kekuatan militer. Pendonor memberikan bantuan kepada negara-negara
penerima pinjaman dalam bentuk pengawasan dan penjagaan ketat atas suatu
daerah potensi ekonomi tertentu seperti potensi tambang, wilayah wisata,
dan kantor-kantor penting.
c. Alasan ekonomi
Alasan ekonomi merupakan alasan utama bagi negara pendonor dalam
memberikan pinjaman proyeknya. Argumentasi ekonomi yang penting dan

P a g e 15 | 22
telah dikemukakan oleh pandangan yang mendukung bantuan luar negeri
adalah sebagai berikut.
1) Pinjaman memiliki peranan untuk menutupi kelangkaan sumber daya
dalam negeri guna mengejar target tabungan, investasi, dan devisa.
2) Pinjaman mempercepat proses pembangunan, yang nantinya akan
menghasilkan tambahan tabungan dalam negeri sebagai akibat dari
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara bertahap, akhirnya
bantuan luar negeri akan berkurang dan lenyap.
3) Bila pinjaman dilengkapi dengan bantuan nonkas yaitu seperti dalam
bentuk alih-pengetahuan (transfer of knowledge) dan teknologi bisa
memberikan tambahan nilai bahwa dana tersebut akan digunakan secara
efisien untuk dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi.yang tinggi.
Dengan alasan bahwa pinjaman menjadi obat instan bagi pertumbuhan
pembangunan negara penerima, keuntungan akan mengalir ke negara-
negara donor sebagai basil bunga pinjaman. Bahkan negara pendonor
tidak lagi memberikan pinjaman secara langsung, tetapi dengan ikatan
bantuan tertentu seperti ikatan atau keharusan bagi negara penerima
pinjaman untuk menerima basil ekspor dari negara-negara pendonor
dengan syarat tertentu.
d. Alasan moral
Alasan moral di dalam memberikan pinjaman merupakan alasan yang
berkaitan dengan alasan murni pada konteks moral, yaitu alasan pada rasa
tanggung jawab sosial negara kaya terhadap kesejahteraan negara miskin
karena perbuatan masa lalu yang pernah dilakukan oleh negara pemberi
pinjaman tersebut misalnya alasan imperialisme atau kolonialisme di masa
lalu. Dengan alasan ini, negara pendonor biasanya memberikan pinjaman
dengan sifat pinjaman sangat lunak.
e. Alasan lainnya
Alasan lainnya walaupun sangat jarang diungkapkan adalah alasan sampah.
Bagi negara-negara maju tertentu, sampah hasil industri menjadi masalah
utama dan pelik untuk dipecahkan. Salah satu alternatif untuk memecahkan
sampah bagi negara yang bersangkutan, maka negara kaya tersebut
P a g e 16 | 22
mengirim sampahnya ke negara-negara yang bersedia untuk menerima
sampah. Dengan alasan pemberian pinjaman lunak dan alasanalasan lainnya
yang dikemas agar negara penierima sampah mau menerima sampah dan
juga sekaligus menerima pinjaman -- lunak. Pada alasan ini, negara penerima
pinjaman memiliki 7 dua keivajiban dalam waktu bersamaan yaitu kewajiban
untuk mendaur ulang sampah yang mungkin sudah bercampur dengan bahan
berbahaya dan kewajiban untuk membayar cicilan di masa yang akan datang.
2. Motivasi negara penerima donor
Negara penerima donor selalu berkeinginan untuk menerima pinjaman,
walaupun pinjaman tersebut bersifat pinjaman komersial berbunga tinggi.
Alasan bagi negara penerima pinjaman dalam niencari bantuan luar negeri,
yaitu:
a. Alasan praktis dan konseptual yang bersifat ekonomis
b. Alasan politik

2.2.2 Prosedur Pinjaman Proyek


1. Pengajuan usulan proyek yang dibiayai pinjaman luar negeri
a. Prosedur pengusulan proyek pinjaman luar negeri adalah sebagai
berikut.
1) Menteri/ ketua lembaga pemerintah nondepartemen,
mengusulkan proyek-proyek yang. direncanakan untuk mencapai
sasaran pembangunan (didanai dari pinjaman atau hibah luar
negeri), yang sebagian atau seluruh pembiayaannya berasal dan
pinjaman atau hibah luar negeri, kepada Kepala Bappenas.
2) Untuk proyek yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah/badan
usaha milik negara (BUMN)/badan usaha milik daerah (BUMD)
maka usulan proyek dikoordinasikan dan diajukan oleh Menteri
atau Ketua Lembaga Pemerintah Nondepartemen yang
memberikan pembinaan teknis.
3) Selanjutnya Bappenas melakukan penilaian terhadap proyek-
proyek yang diusulkan, dengan mempertimbangkan kesesuaian
perencanaan penggunaan pinjaman dengan kebijakan, sasaran,
P a g e 17 | 22
dan program pembangunan, serta memperhitungkan prioritas
tinggi dan layak untuk dibiayai dengan pinjaman/hibah luar
negeri (PHLN).
Selanjutnya, usulan proyek-proyek yang dinilai prioritas dan layak,
dituangkan dalam Daftar Rencana Pinjaman/Hibah Luar Negeri
(DRPHLN atau Blue Book - Buku Biru), yang disusun dan berlaku untuk
satu tahun. Buku biru terdiri dan dua bagian, yaitu: 1) bagian pertama
berisi usulan bantuan proyek (project aid) yang umurnnya berupa usulan
proyek baru, rehabilitasi, atau peningkatan proyek yang sudah ada dan
persiapan desain teknik proyek yang akan dibangun; 2) bagian kedua
berisi usulan bantuan teknik (technical assistance) yang biasanya
merupakan proyek-proyek penunjang yang luas pula cakupannya, seperti
persiapan prastudi, studi kelayakan, peningkatan keahlian tenaga-tenaga
proyek, dan pengadaan peralatan dan fasilitas penunjang lainnya yang
dana pembiayaannya dapat berupa hibah atau pinjaman.
b. Persyaratan pengusulan proyek pinjaman dan hibah luar negeri.
Proyek-proyek yang dapat dibiayai dengan pinjaman/hibah luar
negeri harus memiliki karakteristik yang terkait dengan strategi,
kebijakan, dan prosedur pemberi pinjaman/bantuan, jenis dan sifat
pinjaman/bantuan itu sendiri, sifat dan besaran proyek, kompleksitas
manajemen proyek, dan aspek-aspek yang harus diperkuat dalam
penyiapan maupun pelaksanaan proyek.
2. Penetapan pledge pinjaman (konteks CGI)
Pada tahapan ini, pembahasan usulan proyek dilakukan dalam
perundingan bilateral antara Pemerintah Indonesia dengan delegasi negara
kreditur CGI.Biasanya, beberapa negara kreditur sudah menyelesaikan
perundingan pinjaman sebelum sidang CGI, sehingga hasil pembicaraan
menjadi janji pinjaman kreditur yang bersangkutan yang akan dibahas dalam
sidang CGI.
3. Penandatanganan loan agreement
Setelah pihak kreditur menetapkan pledge bagi pinjaman yang akan
diberikan kepada negara penerima misal Indonesia dan agreed minutes,
P a g e 18 | 22
maka langkah selanjutnya adalah pendatanganan perjanjian pinjaman (loan
agreement) antara Pemerintah Indonesia dengan kreditur/pemberi pinjaman.
4. Alokasi pinjaman dan kontrak pelaksanaan proyek
Saat Kementerian dan Bappenas mengalokasikan pinjaman kepada
kementrian-kementian teknis (executing agency) sesuai dengan Daftar Isian
Proyek (DIP) yang sebagian atau seluruh pembiayaannya bersumber dari
pinjaman luar negeri.
5. Penerusan pinjaman (subsidiary loan agreement)
Pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah pusat dan tidak terikat
pemakaiannya terhadap proyek tertentu (pinjaman komersial), bisa
dialokasikan bagi pemerintah daerah (pemda) atau BUMN/BUMD. Tata cara
penerusan pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah pusat kepada
pemda/BUMD/BUMN diatur dalam SKB antara Menkeu dengan Bappenas,
yaitu sebagai berikut
a. Gubernur Kepala Daerah/Bupati/Walikotamadya/ Direksi
BUMN/BUMD sebagai calon penerima penerusan pinjaman
mengajukan usul penerusan pinjaman kepada Menteri Keuangan
dengan tembusan kepada Ketua Bappenas.
b. Menteri Keuangan menetapkan persyaratan penerusan pinjaman dan
menandatangani perjanjian penerusan pinjaman (subsidiary loan
agreement-SLA) dengan penerima penerusan pinjaman.
c. Tembusan SLA yang telah ditandatangani disampaikan kepada
Bappemas,BI, dan BPKP.

2.2.3 Penggunaan dan Penatausahaan Pinjaman Proyek


Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor IV/ MPR/
1978 tentang Garis Besar Haluan Negara (GBHN) mengamanatkan bahwa
pinjaman luar negeri berperan sebagai salah satu altematif sumber pembiayaan
pembangunan di samping sumber lainnya yang benipa tabungan pemerintah dan
masyarakat serta investasi modal asing. Pinjaman tersebut hams digunakan
untuk proyek-proyek produktif dan bermanfaat. Pertimbangan yang hams

P a g e 19 | 22
diperhatikan dalam penyusunan proyek/program yang didanai dari
pinjaman/hibah luar negeri, antara lain:
a. Kebutuhan impor barang/jasa yang besar tersebut tidak dapat dipenuhi
oleh produsen dalam negeri;
b. Proyek yang didanai akan memperbesar kapasitas nasional,seperti
peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemberantasan kemiskinan,
peningkatan pendapatan pemerintah, peningkatan tabungan dalam negeri,
pertumbuhan cadangan devisa. Pelestarian lingkungan hidup, mendorong
ekspor, transfer teknologi, kemandirian; dan
c. Peningkatan kemampuan .produsen dalam. Negeri agar mampu bersaing
dengan produsen dari luar negeri.

2.2.4 Pelunasan Utang Luar Negeri


Indonesia pernah mengajukan permintaan penjadwalan ulang
(rescheduling) pembayaran utang-utang lamanya, pada masa Orde Baru, sesuai
dengan rekomendasi dari Dr. Heiman J. Abs, dengan hasil sebagai, berikut.
a. Pokok utang (US$1,7 miliar) akan dibayar kembali dalam jangka waktu 30
tahun (1970-1999).
b. Terhadap penangguhan ini, pemerintah Indonesia tidak dikenakan bunga
baru (moratorium).
c. Bunga sebesar US$400 juta dari hasil utang lama akan dibayar kembali
dalam 15 tahun mulai tahun 1985.
d. Selama delapan tahun pertaina sebagian dari jumlah yang seharusnya dibayar
dapat ditangguhkan sampai 8 tahun terakhir dari periode 30 tahun tersebut.
e. Sesudah tahun 1980 akan diadakan peninjauan kembali dan tergantung
kepada keadaan ekonomi Indonesia waktu itu maka pembayaran kembali
dapat dipercepat atau sebaliknya dapat pula pembayaran bunga dikurangi
atau dihapuskan.
f. Paris club. Paris club rnertipakan forum negara-negara kreditur untuk
melakukan negosiasi restrukturisasi pinjaman dengan negara penerima
pinjanian secara beksama-sama agar diperoleh hasil yang optimal dengan
waktu yang lebih singkat. Klub ini inulai terbentuk sejak Argentina untuk
P a g e 20 | 22
pertarna kali meminta bertemu dengan negara-negara kreditur di Paris pada
tahun. 1956. Setelah itu, wakil-wakil dari negara pendonor bertemu di Paris
secara rutin untuk melakukan negosiasi negara yang mengalami kesulitan
neraca pembayaran utang. Sebelum krisis melanda, Indonesia tidak
memanfaatkan keberadaari Paris club karena alasan keberhasilan Pemerintah
Indonesia pada saat awal orde baru dalam mempetolefi ketiriganan
penjadwalan kembali utang-utang pemerintah orde lama sesuai kemampuan
pemerintah baru. Ketika krisis melanda Indonesia pada tahun 1998,
kemampuan pemerintah baik dari sisi fiskal maupun neraca pembayaran
untuk melakukan pembayaran titang sebagaimana disepakati sebelumnya
mengalami 'gangguan besar. Indonesia telah memanfaatkan forum itu untuk
mendapatkan keringanan pembayaran utangnya sebanyak tiga kali: Pada
Paris club-I, Indonesia memperoleh keringanan berupa penjadwalan kembali
Penibayaran utang pokok yang jatuh tempo pada bulan April tahun 1998
sampai dengan Maret 2000; di Paris club-II, Indonesia memperoleh
keringanan jadwal pembayaran utang pokok yang jatuh tempo pada bulan
April tahun 2000, sampai dengan bulan Maret tahun 2002; dan di Paris club-
III, Indonesia kembali memperoleh keringanan jadwal pembayaran utang
pokok dan bunga yang jatuh tempo pada bulan April 2002 sampai dengan
Desember 2003.

2.3 Permasalahan Pengelolaan Pinjaman Proyek


Utang luar negeri pada prinsipnya berperan dalam pembiayaan defisit
anggaran dan pembangunan ekonomi secara umum. Hal bertolak belakang terjadi di
Indonesia karena pertumbuhan utang luar negeri yang sangat pesat khususnya
pinjaman proyek telah menciptakan masalah tersendiri dalam pengelolaan anggaran
dan perekonomian secara umum. Utang luar negeri pemerintah tidak lagi memainkan
peranan sebagaimana seharusnya dan bahkan menjadi sumber permasalahan
tersendiri. Berbagai permasalahan timbul dari pinjaman proyek yaitu negative net
transfer, increasing debt service to government expenditure (DSGE), high borrowing
cost, low absorptive capacity, dan koordinasi lintas departemen atau kementerian.

P a g e 21 | 22
a. Negative net transfer. Transfer negatif ini terjadi akibat penarikan utang luar
negeri pada pinjaman proyek lebih kecil bila dibandingkan dengan kemampuan
pembayaran kembali utang luar negeri beserta bunganya.
b. Increasing debt service to government expenditure (DSGE). Besarnya
pembayaran utang luar negeri pemerintah memberikan konsekuensi terhadap
peran belanja negara.
c. High borrowing cost. Persepsi atas murahnya utang luar negeri tidak jarang
menjadi dasar untuk pemanfaatan utang luar negeri sebagai pembiayaan
pembangunan.
d. Law absorptive capacity. Masalah rendahnya daya serap juga menunjukkan
lemahnya kemampuan pemerintah dalam pengelolaan, utang luar negeri baik
dalam hal administratif, kelembagaan, maupun landasan kebijakan yang berlaku.
e. Koordinasi antar lembaga tidak terpadu. Penyebab rendahnya daya serap ini juga
timbulkan dari kordinasi antar lembaga pemerintah yang lebih
mempermasalahkan kecemburuan terhadap pengelolaan pinjaman proyek.

P a g e 22 | 22

Anda mungkin juga menyukai

  • Notaris
    Notaris
    Dokumen1 halaman
    Notaris
    Tyas Putri Saraswati
    Belum ada peringkat
  • Bank Mega
    Bank Mega
    Dokumen1 halaman
    Bank Mega
    Tyas Putri Saraswati
    Belum ada peringkat
  • Bank BNI Bina Bni
    Bank BNI Bina Bni
    Dokumen1 halaman
    Bank BNI Bina Bni
    Tyas Putri Saraswati
    Belum ada peringkat
  • Motivasi Kerja BPR
    Motivasi Kerja BPR
    Dokumen1 halaman
    Motivasi Kerja BPR
    Tyas Putri Saraswati
    Belum ada peringkat
  • 3 - Bab I
    3 - Bab I
    Dokumen46 halaman
    3 - Bab I
    Tyas Putri Saraswati
    Belum ada peringkat