Anda di halaman 1dari 8

PEMBAHASAN

1. Pengertian HIV
HIV adalah singkatan Human Immunodeficiency Virus yaitu virus yang
mrnyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga membuat tubuh rentan terhadap
berbagai penyakit (Nursalam,2007).
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu penyakit
retrovirus yang disebabkan oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi berat yang
menimbulkan infeksi oportunistik oleh HIV dan ditandai dengan imunosupresi berat
yang menimbulkan infeksi oportunistik, neoplasma sekunder dan menifestasi
neurologis (Mansjoer,2000).
2. Etiologi

Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut
Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali ditemukan oleh
Montaigner dan kawan-kawan di Perancis pada tahun 1983 dengan nama
Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika Serikat
pada tahun 1984 mengisolasi HIV. Kemudian atas kesepakatan internasional pada
tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.

Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata, dan mudah mati diluar
tubuh. HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag, dan sel glia jaringan
otak (Kandal,2004).

3. Cara Penularan HIV


Menurut Djoerban (2001), virus HIV dapat ditularkan melalui jalan berikut,
diantaranya:
a. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik homoseksual maupun
heteroseksual merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi.
Penularan ini berhubungan dengan semen dan cairan vagina.
b. Transmisi Parenteral
Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat
tindik) yang telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik
suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama.
Selain itu, dapat juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas
kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu.
c. Produk Darah
Transmisi melalui produk darah bisa terjadi lewat transfusi darah dan
transplantasi organ pengidap HIV.
d. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
risiko sebesar 50%. Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan
sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan
risiko rendah.
4. Patogenesis HIV
Dasar utama patogenesis HIV adalah kurangnya jenis limposit T
helper/induser yang mengandung marker CD 4 (sel T 4). Limfosit T 4 merupakan
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam
menginduksi fungsi-fungsi imunologik. Menurun atau hilangnya sistem imunitas
seluler, terjadi karena HIV secara selektif menginfeksi sel yang berperan membentuk
zat antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel lymfosit T4. Setelah HIV
mengikat diri pada molekul CD 4, virus masuk kedalam target dan ia melepas
bungkusnya kemudian dengan enzym reverse transcryptae ia merubah bentuk RNA
agar dapat bergabung dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak
akan mengundang bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi
irreversibel dan berlangsung seumur hidup (Mansjoer,2000).
Pada awal infeksi, HIV tidak segera menyebabkan kematian dari sel yang di
infeksinya tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi (penggandaan), sehingga ada
kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita tersebut, yang lambat laun akan
menghabiskan atau merusak sampai jumlah tertentu dari sel lymfosit T4. setelah
beberapa bulan sampai beberapa tahun kemudian, barulah pada penderita akan terlihat
gejala klinis sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut. Masa antara terinfeksinya HIV
dengan timbulnya gejala-gejala penyakit (masa inkubasi) adalah 6 bulan sampai lebih
dari 10 tahun, rata-rata 21 bulan pada anak-anak dan 60 bulan pada orang dewasa
(Djoerban, 2001).
Infeksi oleh virus HIV menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak yang
mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang atau hilang, akibatnya mudah terkena
penyakit-penyakit lain seperti penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri,
protozoa, dan jamur dan juga mudah terkena penyakit kanker seperti sarkoma
kaposi. HIV mungkin juga secara langsung menginfeksi sel-sel syaraf, menyebabkan
kerusakan neurologis.
5. Manifestasi Klinis
Menurut Kandal (2004), Tanda-tanda gejala-gejala secara klinis pada
seseorang penderita AIDS adalah pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala
umum yang lazim didapati pada berbagai penderita penyakit lain, namun secara
umum dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
d. Diare dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru-paru
h. Kanker kulit
6. Manifestasi Oral
Menurut Nursalam (2007), Penderita HIV/AIDS menujukkan keadaan rongga
mulut dengan kelainan sebagai berikut.
a. Kandidiasis Oral
Jamur Candida albicans adalah organisme penyebab kandidiasis yang
paling dominan. Spesies lain, termasuk krusei Candida, telah muncul pada
orang yang mengalami immunocompromised. Frekuensi kandidiasis mulut
mempunyai korelasi dengan penurunan jumlah CD4 limfosit dan viral load
HIV yang meningkat.
Kandidiasis oral terjadi dalam 3 bentuk pada pasien HIV yaitu tipe
orofaringeal, esofagus, dan vulvovaginal. Kandidiasis orofaringeal adalah
salah satu manifestasi awal HIV kaerna defisensi imun dan biasanya
mempengaruhi pasien HIV stadium berat yang tidak diobati. Ini baru tampak
dalam waktu bulan atau tahun sebelum terjadinya penyakit oportunistik yang
lebih berat. Kandidiasis oral adalah suatu tanda penting yang menunjukkan
keberadaan atau perkembangan lanjut penyakit HIV. Meskipun biasanya tidak
berhubungan dengan morbiditas berat, kandidiasis oral dapat secara klinis
signifikan. Kandidiasis oral yang parah dapat mengganggu administrasi obat
dan asupan gizi yang memadai, dan bisa menyebar ke kerongkongan.
Kandidiasis esophagus tetap menjadi salah satu infeksi oportunistik
yang paling umum di negara-negara dimana kombinasi terapi antiretroviral
(ART) adalah bagian rutin standar perawatan. Kandidiasis vulvovaginal
merupakan hal yang penting untuk diperhatikan bagi perempuan yang
terinfeksi HIV, meskipun hubungan kandidiasis vulvovaginal terhadap infeksi
HIV tetap tidak jelas.
Gejala kandidiasis yaitu adanya lesi pada mukosa yang tak kunjung
sembuh, rasa sakit terbakar, sensasi rasa yang berubah, dan kesulitan menelan
cairan dan kadang-kadang dengan adanya massa. Kebanyakan orang dengan
kandidiasis hadir dengan kandidiasis pseudomembran atau sariawan (plak
putih pada mukosa bukal, gusi, atau lidah), atau atrophic candidiasis akut
(eritematosa mukosa), kandidiasis hiperplastik kronis yang melibatkan lidah,
dan angular cheilitis (peradangan dan retak di sudut mulut).
b. Hairy Leukoplakia
Hairy Leukoplakia merupakan lesi putih yang hampir selalu terjadi
unilateral atau bilateral pada tepi lateral lidah, sering tampak menyerupai
rambut atau bergelombang, dapat juga seperti plak (Kandal,2004).
Hairy leukoplakia disebabkan oleh autoinokulasi virus epstein bar
(EBV) melalui saliva dan berhubungan dengan imunosupresi yang biasanya
disebabkan oleh infeksi HIV. EBV yang menginfeksi epitel akan menetap
secara laten dan secara periodik menjadi aktif. Hairy leukoplakia
menunjukkan adanya lipatan-lipatan tegak vertikal pada sisi lateral lidah. Pada
awalnya lesi-lesi tersebut mempunyai lipatan-lipatan agak putih dan berlekuk-
lekuk merah muda disekitarnya yang saling menunjukkan gejala infeksi
mononukleosis. Selama infeksi primer, virus yang disekresikan dalam jumlah
kecil dan berlangsung dalam jangka waktu yang terbatas dalam orofaring.
Pada penderita AIDS, tidak terjadi keseimbangan antara replikasi EBV
dengan penghancuran EBV oleh sistem imun, sehingga EBV berubah sifat
dari organisme komensal menjadi patogen. Hilangnya kemampuan sel T
karena infeksi HIV, menyebabkan EBV mendapat kemampuan untuk
menghadapi fase produktif dan siklus kehidupan yang tidak terkendali.
Gambaran klinis hairy leukoplakia tampak sebagai lesi putih seperti
leukoplakia, namun bentuk lesinya tidak teratur, bercak sedikit menonjol, dan
warna putih keabu-abuan. Bentuk lesi seperti rambut disebabkan oleh
hiperplasia epitel yang padat sepanjang 1 cm pada permukaan parakeratotik
yang terbukti secara histologis. Pada umumnya lesi tidak dapat hilang dengan
diusap atau dikerok (Nursalam,2007).
c. Herpetic Gingivostomatitis
Gingivostomatitis herpetika primer adalah bentuk tersering dari infeksi
HSV tipe 1 pada rongga mulut yang ditandai dengan lesi ulserasi pada lidah,
bibir, mukosa gingiva, palatum durum dan molle. Penyakit ini disebabkan
virus herpes simpleks termasuk dalam famili herpes viridae, subfamili alpha
herpes viridae, Genus simpleks virus, spesies HSV tipe 1 dan tipe 2.
Patofisiologi dari penyakit ini berkaitan juga dengan turunnya imunitas
pada penderita HIV. Periode inkubasi terjadi hingga 2 minggu. Fase
prodromal ditandai malaise dan kelelahan, sakit otot dan kadang sakit
tenggorokan. Pada tahap awal nodus limfe submandibular sering membesar
dan sakit. Fase prodromal ini berlangsung 1-2 hari dan diikuti dengan
timbulnya lesi oral dan kadang sirkumoral. Vesikula kecil berdinding tipis
dikelilingi dasar eritematous yang cenderung berkelompok timbul pada
mukosa oral. Vesikula kemudian pecah dengan cepat dan menimbulkan ulser
bulat dangkal. Ulser dapat terjadi pada semua bagian mukosa mulut. Dengan
berkembangnya penyakit, beberapa lesi bersatu membentuk lesi ireguler yang
lebih besar. Lesi ini disertai simptom demam, anoreksia, limfadenopati dan
sakit kepala.
Keluhan utama adalah rasa nyeri pada mulut atau sensasi terbakar,
disfagia, dan malaise. Pada kebanyakan pasien, dilaporkan timbulnya
beberapa keluhan secara bersamaan (Kandal,2004)
d. Angular cheilitis
Angular cheilitis atau perleche ialah reaksi inflamasi pada sudut bibir
mulut yang sering dimulai dengan penyimpangan mukokutaneus dan berlanjut
hingga ke kulit. Angular cheilitis ini dikarakteristikan oleh kemerahan yang
menyebar, bentuknya seperti fisur-fisur, kulit yang nampak terkikis, ulser yang
permukaannya berlapis dan disertai dengan gejala yang subjektif seperti rasa
sakit, rasa terbakar, dan nyeri (Mansjoer,2000).
Patogenesis dari angular cheilitis pada penderita HIV berpengaruh
pada kekurangan nutrisi dan sistem imun serta efek dari perawatan tertentu.
Keadaan defisiensi nutrisi menyebabkan keutuhan jaringan epitel berkurang.
Mucocutan junction merupakan daerah peralihan antara kulit dan mukosa
mulut dengan epitel mukosa yang lebih tipis dibanding epitel kulit sehingga
menyebabkan area ini rentan terjadinya infeksi (angular cheilitis).
Proses terjadinya angular cheilitis pada awalnya jaringan mucocutan di
sudut-sudut mulut menjadi merah, lunak, dan berulserasi. Selanjutnya fisura-
fisura eritomatosa menjadi dalam dan melebar beberapa sentimeter dari sudut
mulut ke kulit sekitar bibir atau berulserasi dan mengenai mukosa bibir dan
pipi dalam bentuk abrasi linear. Infeksi keadaan kronis ditandai dengan
adanya nanah dan jaringan granulasi. Ulkus sering menimbulkan keropeng
yang terbelah dan berulserasi kembali selama fungsi mulut yang normal.
Akhirnya dapat timbul nodula-nodula granulomatosa kecil berwarna kuning
cokelat (Nursalam,2007).
e. NUG (Necrotizing Ulcerative Gingivitis)
Gingivitis merupakan sebuah proses inflamasi yang terbatas pada
jaringan epitel mukosa disekitar bagian cervical dari gigi dan juga merupakan
proses alveolar. NUG merupakan sebuah gingivitis infeksi yang akut.
Tahap awal respon inflamasieksudatif akut dimulai dalam 4 atau 5 hari
setelah akumulasi plak. Cairan gingival dan transmigrasi neutrofil akan
meningkat. Deposisi fibrin dan kerusakan kolagen bisa ditemukan pada tahap
awal ini. Pada sekitar 1 pekan, transisi ke lesi-lesi dini ditandai dengan
perubahan infiltrat-infiltrat limfosit yang menonjol. Monosit dan sel-sel
plasma juga bisa ditemukan. Semakin lama, lesi-lesi ini menjadi kronis dan
ditandai dengan adanya sel-sel plasma dan limfosit B. Ketika inflamasi local
kronis berkembang, poket terjadi dimana gingival terpisah dari gigi. Poket-
poket ini menjadi dalam dan bisa mengalami perdarahan selama menyikat
gigi, menyela-nyela gigi, dan bahkan saat mengunyah biasa. Karena inflamasi
ini berlangsung terus menerus, maka ligament-ligamen periodontal akan
terurai dan kerusakan tulang alveolar local pun terjadi. Gigi mulai longgar dan
pada akhirnya tanggal (Mansjoer,2000).
Gejala yang timbul dari NUG diantaranya nekrosis satu atau lebih
papilla interdental, Nekrosis dan ulserasi gingiva, mudah berdarah, nyeri, dan
halitosis atau bau mulut (Djoerban,2001).
f. NUP (Necritizing Ulserative Periodontitis)
NUP dapat digambarkan sebagai pemanjangan proses dari NUG
dimana dalam keadaan ini terjadi lepasnya tulang alveolar, kehilangan
perlekatan jaringan periodontal. Ciri-ciri NUP: nekrosis jaringan lunak,
destruksi jaringan periodontal, dan lepasnya jaringan tulang interproksimal.
Pada individu imunokompeten, kerusakan jaringan membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk terjadi, namun hanya terjadi dalam beberapa bulan pada
penderita yang terinfeksi HIV , jika tidak dilakukan perawatan yang tepat.
Kehilangan tulang secara cepat ini juga cenderung terjadi pada individu
berusia muda. Penderita kadang-kadang langsung mengalami lesi nekrosis,
tidak ada rasa nyeri, terdapat lubang dalam yang sulit dibersihkan, yang
merupakan tanda terjadinya periodontitis konvensional. Terdapat
pembentukan poket karena hilangnya jaringan lunak ataupunjaringan keras.
Destruksi jaringan dapat meluas sampai ke muco-gingival junction
(Mansjoer,2000).
Seperti pada NUG, kasus klinis pada NUP merupakan nekrosis dan
ulserasi dari koronal ke Interdental Papil dan Margin Gingiva dengan rasa
nyeri, kemerahan pada margin gingival dengan perdarahan ringan. Gambaran
klinis yang jelas pada NUP yaitu kehilangan perlekatan dan kehilangan tulang.
Pada tulang interdental papil yang lebih dalam juga terdapat lesi periodontal
seperti pada NUP. Meskipun konvensional, poket periodontal dengan probing
deep tidak ditemukan karena ulserasi dan nekrosis alami dari lesi gingival
pada epitel marginal dan jaringan ikat, yang menghasilkan kerusakan berupa
resesi gingival lanjutan lesi dari NUP diawali dengan kehilangan tulang yang
parah terjadi kegoyangan gigi dan kehilangan gigi. Penambahan adanya
manifestasi oral, seperti yang telah disebutkan, pada penderita NUP juga
terdapat oral malodor, demam, malaise atau limpadenopati (Kandal,2004).
DAPUS

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani WI., Setiowulan W., 2000, AIDS dalam: Kapita Selekta
Kedokteran, Media Aeskulapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Djoerban, Z., Djauzi, S., 2001, Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam: HIV/AIDS di Indonesia.
Jakarta

Kandal, B.K., 2004, Penyakit Infeksi Edisi ke-6, Erlangga, Jakarta.

Nursalam, 2007, Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS, Salemba Medika,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai