Anda di halaman 1dari 32

ABSES HEPAR

A. PENDAHULUAN
Abses hepar merupakan penyakit yang cukup sering dihadapi di Negara-
negara berkembang seperti Indonesia karena disebabkan terutama oleh
entamoeba. Hampir 10% penduduk dunia terutama di negara berkembang
terinfeksi E. Histolytica, tetapi hanya sepersepuluh yang memperlihatkan
gejala. Insiden amebiasis hepar di RS di Indonesia berkisar antara 5-15 pasien
pertahun.(1)
Prevalensi yang tinggi sangat erat hubungannya dengan sanitasi yang
jelek, status ekonomi yang rendah serta gizi yang buruk. Meningkatnya arus
urbanisasi menyebabkan bertambahnya kasus abses hepar di daerah perkotaan.
Di negara yang sedang berkembang abses hepar amebik lebih sering didapatkan
secara endemik dibandingkan dengan abses hepar piogenik. Insiden abses hepar
sering diawali dengan infeksi pada usus yang ditandai dengan buang air besar
yang berdarah dan berlendir. Walaupun demikian, tidak selamanya hal tersebut
berkembang menjadi abses hepar.(1)
Dalam beberapa dekade terakhir ini telah banyak perubahan mengenai
aspek epidemiologis, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik maupun mengenai
pengelolaan serta prognosisnya. Oleh karena itu penting bagi kita sebagi dokter
untuk mengetahui gejala-gejala, diagnosa, serta penatalaksanaan abses hepar.(1)

B. DEFINISI
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hepar yang disebabkan oleh
karena infeksi bakteri, parasit, jamur maupun nekrosis steril yang bersumber
dari sistem gastrointestinal yang ditandai dengan adanya proses supurasi dengan
pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi atau
sel darah didalam parenkim hati.(1)
Bakteri ini bisa sampai ke hati melelui:(2)
1) kandung kemih yang terinfeksi.
2) Luka tusuk atau luka tembus.
3) Infeksi didalam perut.

1
4) Infeksi dari bagian tubuh lainnya yang terbawa oleh aliran darah.
Secara umum, abses hati terbagi 2, yaitu abses hepar amebik (AHA) dan
abses hepar piogenik (AHP). AHA merupakan salah satu komplikasi amebiasis
ekstraintestinal yang paling sering dijumpai di daerah tropik/subtropik,
termasuk Indonesia. AHP dikenal juga sebagai hepatic abscess, bacterial liver
abscess, bacterial abscess of the liver, bacterial hepatic abscess. AHP ini
merupakan kasus yang relatif jarang, pertama ditemukan oleh Hippocrates (400
SM) dan dipublikasikan pertama kali oleh Bright pada tahun 1936.(3)

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Hepar merupakan organ intra abdomen terbesar. Organ ini dibungkus
oleh jaringan ikat dan terletak pada kuadran kanan atas, yaitu didaerah
hipokondrium kanan sampai epigastrium. Permukaan atas hepar yang cembung
melengkung pada permukaan bawah kubah diafragma. Permukaan postero-
inferior atau permukaan visera membentuk cetakan visera yang berdekatan dan
oleh karena itu bentuknya tidak teratur, permukaan ini berhubungan dengan
pars abdominalis esophagus, lambung, duodenum, fleksura colli dekstra, ginjal
kanan, kelenjar suprarenalis dan kandung empedu.(4,5,6)
Hepar terdiri dari tiga lobus yaitu lobus dextra, lobus sinistra dan lobus
kaudatus. Lobus dextra dengan sinistra dipisahkan oleh vena hepatika media.
Lobus dextra terdiri dari segmen anterior dan posterior yang dipisahkan oleh
vena hepatika dextra. Lobus sinistra terletak di epigastrium dan hipokondrium
sinistra, dan terdiri dari segmen medial dan lateral yang dipisahkan oleh vena
hepatika sinistra, ligamentum teres dan fusiform. Lobus kaudatus merupakan
lobus terkecil, terletak di permukaan posterosuperior dan lobus dextra,
dipisahkan dari lobus sinistra oleh ligamentum venosum.(5,6)

2
Gambar 1. Anatomi Hepar

Hepar merupakan suatu organ yang memiliki dua sistem anatomi


segmental yang diperkenalkan oleh Bismuth-Couinaud pada tahun 1954, yang
membagi hepar menjadi 8 segmen, berdasarkan vena porta dan vena hepatika.
Tiga cabang utama dari vena hepatika membagi hepar secara vertikal dan oblik
serta garis yang melewati percabangan vena porta dextra dan sinistra membagi
hepar secara transversal. Segmen 1, menunjukkan lobus kaudatus, karena
vaskularisasi segmen ini pada posisi yang unik dan mendapatkan perdarahan
dari cabang utama dari vena porta dan dari cabang dextra dan sinistra. Terlebih

3
lagi, drainase pada segmen 1 tidak masuk ke dalam vena hepatika melainkan
ke vena kava inferior.Lobus dextra dan sinistra dipisahkan oleh vena hepatika
media dan vesika felea. Segmen posterior lobus dextra (segmen 6 dan 7)
mendapat suplai darah dari cabang posterior vena porta dextra. Segmen anterior
(segmen 5 dan 8) mendapat suplai darah dari cabang anterior vena porta dextra.
Bidang transversal membagi hepar pada tingkat bifurkasio vena porta menjadi
cabang dextra dan sinistra. Lobus sinistra terbentuk mulai segmen 2 sampai 4.
Vena hepatika terletak di antara segmen. Vena hepatika sinistra membagi lobus
sinistra hepar menjadi segmen lateral ( segmen 2 dan 3) dan medial (segmen 4).
Vena hepatika dekstra membagi lobus kanan hepar menjadi segmen anterior
dan posterior.(5,6)

Gambar 2. Segmen Hepar

Hepar merupakan suatu organ yang memiliki dua aliran darah, dimana
30 % nya disuplai oleh arteri hepatika dan 70 % dari vena porta. Arteri hepatika
membawa darah teroksigenasi ke hepar sedangkan vena porta membawa darah
venosa yang kaya akan hasil pencernaan yang telah diabsorbsi dari saluran
cerna. Arteri hepatika dan vena porta bercabang-cabang paralel satu sama lain.

4
Tumor-tumor hepar pada umumnya mendapat vaskularisasi dari arteri hepatika.
Darah arteri dan vena vena masuk ke vena centralis dari setiap lobulus hepar
melalui sinusoid hepar. Vena centralis mengalirkan darah ke vena hepatika
dextra dan sinistra, dan vena ini meninggalkan permukaan posterior hepar dan
bermuara langsung ke dalam vena cava inferior.(7,8)
Hepar mempunyai fungsi yang sangat beraneka ragam. Beberapa di
antaranya yaitu:(9,10,11,12)
1) Pembentukan dan ekskresi empedu
Dalam hal ini terjadi metabolisme pigmen dan garam empedu. Garam
empedu penting untuk pencernaan dan absopsi lemak serta vitamin larut-
lemak di dalam usus.
2) Pengolahan metabolik kategori nutrien utama (karbohidrat, lemak, protein)
setelah penyerapan dari saluran pencernaan
Metabolisme karbohidrat, menyimpan glikogen dalam jumlah besar,
konversi galaktosa dan friktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, serta
pembentukan banyak senyawa kimia dari produk antara metabolisme
karbohidrat. Metabolisme lemak, oksidasi asam lemak untuk menyuplai
energi bagi fungsi tubuh yang lain, sintesis kolesterol, fosfolipid dan
sebagian besar lipoprotein, serta sintesis lemak dari protein dan karbohidrat.
Metabolisme protein, deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk
mengeluarkan amonia dari cairan tubuh, pembentukan protein plasma, serta
interkonversi beragam asam amino dan sintesis senyawa lain dari asam
amino.
3) Penimbunan vitamin dan mineral
Vitamin larut-lemak (A, D, E, K) disimpan dalam hepar, juga vitamin B12,
tembaga, dan besi dalam bentuk ferritin. Vitamin yang paling banyak
disimpan dalam hepar adalah vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D
dan B12 juga disimpan secara normal.
Hepar menyimpan besi dalam bentuk ferritin
Sel hepar mengandung sejumlah besar protein yang disebut apoferritin,
yang dapat bergabung dengan besi baik dalam jumlah sedikit maupun

5
banyak. Oleh karena itu, bila besi banyak tersedia dalam cairan tubuh, maka
besi akan berikatan dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan
dalam bentuk ini di dalam sel hati sampai diperlukan. Bila besi dalam
sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar rendah, maka ferritin akan
melepaskan besi.
Hepar membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam
jumlah banyak
Zat-zat yang dibentuk di hepar yang digunakan pada proses koagulasi
meliputi fibrinogen, protrombin, globulin akselerator, faktor VII, dan
beberapa faktor koagulasi lainnya. Vitamin K dibutuhkan oleh proses
metabolisme hepar, untuk membentuk protrombin dan faktor VII, IX, dan
X.
4) Hepar mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon, dan zat
lain
Medium kimia yang aktif dari hepar dikenal kemampuannya dalam
melakukan detoksifikasi atau ekskresi berbagai obat-obatan meliputi
sulfonamid, penisilin, ampisilin, dan eritromisin ke dalam empedu.
Beberapa hormon yang disekresi oleh kelenjar endokrin diekskresi atau
dihambat secara kimia oleh hepar meliputi tiroksin dan terutama semua
hormon steroid seperti estrogen, kortisol, dan aldosteron.
5) Hepar berfungsi sebagai gudang darah dan filtrasi
Hepar adalah organ venosa yang mampu bekerja sebagai tempat
penampungan darah yang bermakna saat volume darah berlebihan dan
mampu menyuplai darah ekstra di saat kekurangan volume darah. Sinusoid
hati merupakan depot darah yang mengalir kembali dari vena cava (gagal
jantung kanan). kerja fagositik sel Kupffer membuang bakteri dan debris
dari darah.

D. EPIDEMIOLOGI
Di Negara-negara yang sedang berkembang, AHA didapatkan secara
endemik dan jauh lebih sering dibandingkan AHP. AHP ini tersebar di seluruh

6
dunia, dan terbanyak di daerah tropis dengan kondisi hygiene/sanitasi yang
kurang. Secara epidemiologi, didapatkan 8-15 per 100.000 kasus AHP yang
memerlukan perawatan di RS, dan dari beberapa kepustakaan Barat, didapatkan
prevalensi autopsi bervariasi antara 0,29-1,47% sedangkan prevalensi di RS
antara 0,008-0,016%. AHP lebih sering terjadi pada pria dibandingkan
perempuan, dengan rentang usia berkisar lebih dari 40 tahun, dengan insidensi
puncak pada dekade ke-6.(3)
Abses hepar piogenik sukar ditetapkan. Dahulu hanya dapat dikenal
setelah otopsi. Sekarang dengan peralatan yang lebih canggih seperti USG, CT
Scan dan MRI lebih mudah untuk membuat diagnosisnya. Prevalensi otopsi
berkisar antara 0,29-1,47 % sedangkan insidennya 8-15 kasus/100.000
penderita.(1)
Hampir 10 % penduduk dunia terutama negara berkembang terinfeksi
E. histolytica tetapi hanya 1/10 yang memperlihatkan gejala. Insidens
amebiasis hepar di rumah sakit seperti Thailand berkisar 0,17 % sedangkan di
berbagai rumah sakit di Indonesia berkisar antara 5-15% pasien/tahun.
Penelitian di Indonesia menunjukkan perbandingan pria dan wanita berkisar
3:1 sampai 22:1, yang tersering pada dekade keempat. Penularan umumnya
melalui jalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan yang
menderita amubiasis hati adalah pria dengan rasio 3,4-8,5 kali lebih sering dari
wanita. Usia yang sering dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa
muda dan lebih jarang pada anak. Infeksi E. histolytica memiliki prevalensi
yang tinggi di daerah subtropikal dan tropikal dengan kondisi yang padat
penduduk, sanitasi serta gizi yang buruk.(1,13)

E. ETIOLOGI
1) Abses Hepar Amebik
Didapatkan beberapa spesies amuba yang dapat hidup sebagai
parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya Entamoeba
histolytica yang dapat menyebabkan penyakit. Hanya sebagian kecil
individu yang terinfeksi Entamoeba histolytica yang memberikan gejala

7
amebiasis invasif, sehingga diduga ada 2 jenis Entamoeba histolytica yaitu
strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi berbagai strain
Entamoeba histolytica ini berbeda berdasarkan kemampuannya
menimbulkan lesi pada hati.(1)

Gambar 3. Amuba bentuk trofozoit dengan pseupoda ukuran besar

Entamoeba histolytica adalah protozoa usus kelas Rhizopoda yang


mengadakan pergerakan menggunakan pseupodia/kaki semu. Terdapat 3
bentuk parasit, yaitu tropozoit yang aktif bergerak dan bersifat invasif,
mampu memasuki organ dan jaringan, bentuk kista yang tidak aktif
bergerak dan bentuk prakista yang merupakan bentuk antara kedua stadium
tersebut. Tropozoit adalah bentuk motil yang biasanya hidup komensal di
dalam usus. Dapat bermultiplikasi dengan cara membelah diri menjadi 2
atau menjadi kista. Tumbuh dalam keadaan anaerob dan hanya perlu bakteri
atau jaringan untuk kebutuhan zat gizinya. Tropozoit ini tidak penting untuk
penularan karena dapat mati terpajan hidroklorida atau enzim pencernaan.
Jika terjadi diare, tropozoit dengan ukuran 10-20 um yang berpseudopodia
keluar, sampai yang ukuran 50 um.Tropozoit besar sangat aktif bergerak,
mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan
mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan destruksi jaringan.

8
Bentuk tropozoit ini akan mati dalam suasana kering atau asam. Bila tidak
diare/disentri tropozoit akan membentuk kista sebelum keluar ke tinja.(1,14)
Kista akan berinti 4 setelah melakukan 2 kali pembelahan dan
berperan dalam penularan karena tahan terhadap perubahan lingkungan,
tahan asam lambung dan enzim pencernaan. Kista infektif mempunyai 4 inti
merupakan bentuk yang dapat ditularkan dari penderita atau karier ke
manusia lainnya. Kista berbentuk bulat dengan diameter 8-20 um, dinding
kaku. Pembentukan kista ini dipercepat dengan berkurangnya bahan
makanan atau perubahan osmolaritas media.(1,14)
2) Abses Hepar Piogenik
Etiologi AHP adalah enterobacteriaceae, microaerophilic
streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumoniae, bacteriodes,
fusobacterium, staphylococcus aureus, staphylococcus milleri, candida
albicans, aspergillus, actinomyces, eikenella corrodens, yersinia
enterolitica, salmonella typhi, brucella melitensis, dan fungal. Organisme
penyebab yang paling sering ditemukan adalah E.Coli, Klebsiella
pneumoniae, Proteus vulgaris, Enterobacter aerogenes dan spesies dari
bakteri anaerob ( contohnya Streptococcus Milleri ). Staphylococcus aureus
biasanya organisme penyebab pada pasien yang juga memiliki penyakit
granuloma yang kronik. Organisme yang jarang ditemukan sebagai
penyebabnya adalah Salmonella, Haemophillus, dan Yersinia. Kebanyakan
abses hati piogenik adalah infeksi sekunder di dalam abdomen. Bakteri
dapat menginvasi hati melalui:(3,13,15,16)
1. Vena porta yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal atau bisa
menyebabkan fileplebitis porta
2. Arteri hepatika sehingga terjadi bakteremia sistemik
3. Komplikasi infeksi intra abdominal seperti divertikulitis, peritonitis,
dan infeksi post operasi
4. Komplikasi dari sistem biliaris, langsung dari kantong empedu atau
saluran-saluran empedu. Obstruksi bilier ekstrahepatik
menyebabkan kolangitis. Penyebab lainnya biasanya berhubungan

9
dengan choledocholithiasis, tumor jinak dan ganas atau pascaoperasi
striktur.
5. Trauma tusuk atau tumpul. Selain itu embolisasi transarterial dan
cryoablation massa hati sekarang diakui sebagai etiologi baru abses
piogenik.
6. Kriptogenik tanpa faktor predisposisi yang jelas, terutama pada
orang lanjut usia. Namun insiden meningkat pada pasien dengan
diabetes atau kanker metastatik.

F. PATOGENESIS
1) Abses Hepar Amebik
Cara penularan umumnya fecal-oral yaitu dengan menelan kista,
baik melalui makanan atau minuman yang terkontaminasi atau transmisi
langsung pada orang dengan higiene yang buruk. Kasus yang jarang terjadi
adalah penularan melalui seks oral ataupun anal.(16,17)
E. hystolitica dalam 2 bentuk, baik bentuk trofozoit yang
menyebabkan penyakit invasif maupun kista bentuk infektif yang dapat
ditemukan pada lumen usus. Bentuk kista tahan terhadap asam lambung
namun dindingnya akan diurai oleh tripsin dalam usus halus. Kemudian
kista pecah dan melepaskan trofozoit yang kemudian menginvasi lapisan
mukosa usus. Amuba ini dapat menjadi patogen dengan mensekresi enzim
cysteine protease, sehingga melisiskan jaringan maupun eritrosit dan
menyebar keseluruh organ secara hematogen dan perkontinuinatum.
Amoeba yang masuk ke submukosa memasuki kapiler darah, ikut dalam
aliran darah melalui vena porta ke hepar. Di hepar E.hystolitica mensekresi
enzim proteolitik yang melisis jaringan hepar, dan membentuk abses. Di
hepar terjadi fokus akumulasi neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan
infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti
dengan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan
fibrosa. Lokasi yang sering adalah di lobus dextra (70% - 90%) karena lobus
dextra menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal

10
sedangkan lobus kiri menerima darah dari arteri mesenterika inferior dan
aliran limfatik. Dinding abses bervariasi tebalnya, bergantung pada lamanya
penyakit. Secara klasik, cairan abses menyerupai ”achovy paste” dan
berwarna coklat kemerahan, sebagai akibat jaringan hepar serta sel darah
merah yang dicerna.(1,17,18,19)
2) Abses Hepar Piogenik
Abses hepar dapat berbentuk soliter maupun multipel. Hal ini dapat
terjadi dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat
terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Hepar menerima darah
secara sistemik maupun melalui sirkulasi vena portal, hal ini
memungkinkan terinfeksinya hepar oleh karena paparan bakteri yang
berulang, tetapi dengan adanya sel Kuppfer yang membatasi sinusoid hepar
akan menghindari terinfeksinya hepar oleh bakteri tersebut. Bakteri
piogenik dapat memperoleh akses ke hepar dengan ekstensi langsung dari
organ-organ yang berdekatan atau melalui vena portal atau arteri hepatika.
Adanya penyakit sistem biliaris sehingga terjadi obstruksi aliran empedu
akan menyebabkan terjadinya proliferasi bakteri. Adanya tekanan dan
distensi kanalikuli akan melibatkan cabang-cabang dari vena portal dan
limfatik sehingga akan terbentuk formasi abses fileflebitis. Mikroabses
yang terbentuk akan menyebar secara hematogen sehingga terjadi
bakteremia sistemik. Penetrasi akibat trauma tusuk akan menyebabkan
inokulasi bakteri pada parenkim hepar sehingga terjadi AHP. Penetrasi
akibat trauma tumpul menyebabkan nekrosis hepar, perdarahan intrahepatik
dan terjadinya kebocoran saluran empedu sehingga terjadi kerusakan dari
kanalikuli. Kerusakan kanalikuli menyebabkan masuknya bakteri ke hepar
dan terjadi pembentukan pus. Lobus dextra hepar lebih sering terjadi AHP
dibanding lobus sinistra, hal ini berdasarkan anatomi hepar, yaitu lobus
dextra menerima darah dari arteri mesenterika superior dan vena portal
sedangkan lobus sinistra menerima darah dari arteri mesenterika inferior
dan aliran limfatik.(3,15)

11
G. GAMBARAN KLINIS
Manifestasi klinis abses hepar piogenik biasanya lebih berat dari abses
hepar amebik. Dicurigai adanya abses hepar piogenik apabila dijumpai sindrom
klinis klasik berupa nyeri spontan perut kanan atas, yang ditandai dengan jalan
membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Demam
tinggi merupakan keluhan utama, nyeri pada abdomen yang menghebat dengan
pergerakan. Gejala lain adalah rasa mual, muntah, penurunan nafsu makan,
penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisik dapat dijumpai demam tinggi,
hepatomegali, nyeri tekan pada hepar yang diperberat oleh gerakan.(1,3,17)
Sedangkan menifestasi klinis untuk abses hepar amebik adalah demam
dengan nyeri perut kanan atas yang dapat menjalar ke bahu. Lokalisasi dari
nyeri dapat ditentukan di bagian hati. Pada pemeriksaan fisik dijumpai demam,
hepatomegali dan nyeri tekan pada hepar. Dan yang paling penting adalah
riwayat diare berdarah atau berlendir yang menandakan adanya infeksi
amoeba.(1,3,17)
Karakteristik hepatomegali untuk abses hepar adalah konsistensi lunak
dengan permukaan yang rata dan teradapat nyeri tekan.(3)

Gejala Kelainan Fisis


AHA 1. Demam internitten ( 38-40 oC) 1. Ikterus
2. Nyeri perut kanan atas, kadang nyeri 2. Temperatur naik
epigastrium dan dapat menjalar hingga 3. Malnutrisi
bahu kanan dan daerah skapula 4. Hepatomegali yang nyeri
3. Anoreksia spontan atau nyeri tekan atau
4. Nausea disertai komplikasi
5. Vomitus 5. Nyeri perut kanan atas
6. Keringat malam 6. Fluktuasi
7. Berat badan menurun
8. Batuk
9. Pembengkakan perut kanan atas
10. Ikterus

12
11. Buang air besar berdarah
12. Kadang ditemukan riwayat diare
13. Kadang terjadi cegukan (hiccup)
AHP 1. Demam yang sifatnya dapat remitten, 1. Hepatomegali
intermitten atau kontinyu yang disertai 2. Nyeri tekan perut kanan
menggigil 3. Ikterus, namun jarang terjadi
2. Nyeri spontan perut kanan atas ditandai 4. Kelainan paru dengan gejala
dengan jalan membungkuk ke depan batuk, sesak nafas serta nyeri
dan kedua tangan diletakkan di atasnya. pleura
3. Mual dan muntah 5. Buang air besar berwarna
4. Berkeringat malam seperti kapur
5. Malaise dan kelelahan 6. Buang air kecil berwarna
6. Berat badan menurun gelap
7. Berkurangnya nafsu makan 7. Splenomegali pada AHP yang
8. Anoreksia telah menjadi kronik
Tabel 1. Perbedaan gambaran klinis AHA dan AHP

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pemeriksaan Laboratorium
Pada pasien abses hepar amebik, pemeriksaan hematologi
didapatkan hemoglobin 10,4-11,3 g% sedangkan lekosit 15.000-
16.000/mL3 . pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%,
globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-
382,0 u/L, SGOT 27,8-55,9 u/L dan SGPT 15,7-63,0 u/L. Jadi kelainan
yang didapatkan pada amubiasis hepar adalah anemia ringan sampai sedang,
leukositosis berkisar 15.000/mL3. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan
ringan sampai sedang. Uji serologi dan uji kulit yang positif menunjukkan
adanya Ag atau Ab yang spesifik terhadap parasit ini, kecuali pada awal
infeksi. Ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain
hemaglutination (IHA), countermunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA.

13
Real Time PCR cocok untuk mendeteksi E. histolityca pada feses dan pus
penderita abses hepar.(1,13,14)
Pada pasien abses hepar piogenik, mungkin didapatkan leukositosis
dengan pergeseran ke kiri, anemia, peningkatan laju endap darah, gangguan
fungsi hati seperti peninggian bilirubin, alkalin fosfatase, peningkatan
enzim transaminase, serum bilirubin, berkurangnya konsentrasi albumin
serum dan waktu protrombin yang memanjang menunjukkan bahwa
terdapat kegagalan fungsi hati. Kultur darah yang memperlihatkan bakteri
penyebab menjadi standar emas untuk menegakkan diagnosis secara
mikrobiologik. Pemeriksaan biakan pada permulaan penyakit sering tidak
ditemukan kuman. Kuman yang sering ditemukan adalah kuman gram
negatif seperti Proteus vulgaris, Aerobacter aerogenes atau Pseudomonas
aeruginosa, sedangkan kuman anaerib Microaerofilic sp, Streptococci sp,
Bacteroides sp, atau Fusobacterium sp.(1,3)
2) Pemeriksaan Radiologi
Pada pasien abses hepar amebik, foto thoraks menunjukkan
peninggian kubah diafragma kanan dan berkurangnya pergerakan
diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru. Kelainan pada foto
polos abdomen tidak begitu banyak. Mungkin berupa gambaran ileus,
hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati. Jarang didapatkan air
fluid level yang jelas. Pada pasien abses hepar piogenik, foto polos abdomen
kadang-kadang didapatkan kelainan yang tidak spesifik seperti peninggian
diafragma kanan, efusi pleura, atelektasis basal paru, empiema, atau abses
paru. Pada foto thoraks PA, sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral
sudut kostofrenikus anterior tertutup.(1)

14
Gambar 8. Foto thoraks. Tampak adanya
abses yang rupture pada rongga pleura

Ultrasonografi adalah metode pencitraan yang direkomendasikan


karena cepat, noninvasif, cost effective, dan dapat juga digunakan sebagai
pemandu aspirasi abses untuk diagnostik dan terapi. Pada pemeriksaan USG
abses hepar amebik, biasanya dijumpai lesi soliter,hipoekoik homogen
dengan fine internal echo, bentuk bulat atau oval, batas tegas, dengan lokasi
lebih sering di perifer (subcapsuler). Tak tampak adanya pembentukan gas.
Kadang ditemukan adanya septa, tetapi tak tampak adanya peningkatan
vaskularisasi baik pada dinding ataupun septa. Dapat pula ditemukan
gambaran hallo yang hipoekoik maupun posterior enhancement yang mild.
Pada pemeriksaan USG abses hepar piogenik tampak gambaran lesi dengan
ukuran yang bervariasi , dapat multiple maupun solitair. Biasanya bentuk
bulat atau oval, tepi regular kadang irregular, dinding tipis/tebal.
Ekogenesitas abses piogenik dapat pula bervariasi , berupa lesi anekoik
(50%), hiperekoik (25%), hipoekoik (25 %), dapat dijumpai adanya fluid
level atau debris, internal septa dan posterior acoustic enhancement.
Terbentuknya gas pada lesi memberikan gambaran berupa lesi hiperekoik

15
dengan posterior artefak. Pada pemeriksaan color Doppler tampak
peningkatan vaskuler terutama pada dinding abses . Parenkim hepar yang
berbatasan dengan abses, dijumpai peningkatan vaskularisasi karena adanya
proses inflamasi.(20,21,22)

Tabel 2. Perbedaan USG AHA dan AHP

16
A B
Gambar 4. (A) Tampak gambaran abses amoeba dengan internal echo
disertai gambaran hallo hipoekoik. (B) Tampak gambaran abses hepar
amoeba dengan posterior acoustic enhancement .

A B
Gambar 5. (A). Pada abses hepar piogenik, tampak lesi hiperekoik, uniform
dengan internal debris disertai dengan posterior acoustic enhancement.
(B) Tampak adanya gas di dalam abses pada lobus kanan hepar yang
menggaburkan batas lesi.

17
Gambaran CT scan abses hepar amebik apabila mikroabses berupa
lesi hipodens kecil-kecil <5 mm sukar dibedakan dari mikroabses jamur,
rim enhancement pada mikroabses sukar dinilai karena lesi terlalu kecil.
Apabila mikroabses >10 mm atau membentuk kluster sehingga tampak
massa agak besar maka prakontras kluster piogenik abses tampak sebagai
masa low density berbatas suram. Pasca kontras fase arterial tampak
gambaran khas berupa masa dengan rim enhancement dimana hanya kapsul
abses yang tebal yang menyengat. Bagian tengah abses terlihat hipodens
dengan banyak septa-septa halus yang juga menyengat, sehingga
membentuk gambaran menyerupai jala. Fase porta penyengatan dinding
kapsul abses akan semakin menonjol dan sekitar dinding abses tampak area
yang hipodens sebagai reaksi edema di sekitar abses. Sebagian kecil
piogenik bersifat monokuler, tidak bersepta, dan menyerupai abses
amubiasis. Pembentukan gas di dalam abses biasanya pada infeksi oleh
kuman Klebsiella. Gambaran CT scan pada abses piogenik 85% berupa
massa soliter relatif besar, monolokular, prakontras tampak sebagai massa
hipodens berbatas suram. Densitas cairan abses berkisar 10-20 H.U. Pasca
kontras tampak penyengatan pada dinding abses yang tebal. Septa terlihat
pada 30 % kasus. Penyengatan dinding terlihat baik pada fase porta.(1,3)

Gambar 6. CT Scan pada abses hati amebik

18
Gambar 7. CT Scan dengan multifokal abses hati piogenik
pada segmen IV. Abses lainnya terdapat pada segmen VII
dan VIII.

I. DIAGNOSIS
1) Abses hepar amebik
Diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi hati untuk menemukan
trofozoit amuba. Diagnosis abses hepar amebik di daerah endemik dapat
dipertimbangkan jika terdapat demam, nyeri perut kanan atas, hepatomegali
yang juga ada nyeri tekan. Disamping itu bila didapatkan leukositosis,
fosfatase alkali meninggi disertai letak diafragma yang tinggi dan perlu
dipastikan dengan pemeriksaan USG juga dibantu oleh tes serologi. Untuk
diagnosis abses hepar amebik juga dapat menggunakan kriteria Sherlock
(1969), kriteria Ramachandran (1973), atau kriteria Lamont dan Pooler.(1,14)
Kriteria Sherlock (1969):
1. Hepatomegali yang nyeri tekan
2. Respon baik terhadap obat amebisid
3. Leukositosis
4. Peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang.
5. Aspirasi pus

19
6. Pada USG didapatkan rongga dalam hati
7. Tes hemaglutinasi positif
Kriteria Ramachandran (1973) Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Riwayat disentri
3. Leukositosis
4. Kelainan radiologis
5. Respons terhadap terapi amebisid
Kriteria Lamont Dan Pooler Bila didapatkan 3 atau lebih dari:
1. Hepatomegali yang nyeri
2. Kelainan hematologis
3. Kelainan radiologis
4. Pus amebic
5. Tes serologi positif
6. Kelainan sidikan hati
7. Respons terhadap terapi amebisid
2) Abses hepar piogenik
Menegakkan diagnosis AHP berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisis dan laboratoris serta pemeriksaan penunjang. Diagnosis AHP kadang-
kadang sulit ditegakkan sebab gejala dan tanda klinis sering tidak spesifik.
Diagnosis dapat ditegakkan bukan hanya dengan CT-Scan saja, meskipun
pada akhirnya dengan CT-Scan mempunyai nilai prediksi yang tinggi untuk
diagnosis AHP, demikian juga dengan tes serologi yang dilakukan. Tes
serologi yang negatif menyingkirkan diagnosis AHA, meskipun terdapat
pada sedikit kasus, tes ini menjadi positif beberapa hari kemudian.
Diagnosis berdasarkan penyebab adalah dengan menemukan bakteri
penyebab pada pemeriksaan kultur hasil aspirasi, ini merupakan standar
emas untuk diagnosis.(3)

20
Abses hati piogenik Abses hati amuba
Demografi Usia: 50-70 tahun Usia: 20-40 tahun
Jenis kelamin: Jenis kelamin: laki> perempuan
laki=perempuan (>10:1)
Faktor risiko Infeksi bakteri akut, Bepergian atau menetap di
mayor khususnya intra abdominal daerah endemic ( pernah
Obstruksi bilier/manipulasi menetap)
Diabetes melitus
Gejala klinis Nyeri perut regio kuadran Akut:
kanan atas, demam, demam tinggi, menggigil,
menggigil, rigor, lemah, nyeri abdomen, sepsis
malaise, anoreksia, penurunan Sub akut:
berat badan, diare, batuk, Penurunan berat badan; demam
nyeri dada pleuritik dan nyeri abdomen relatif jarang
Khas:
Tak ada gejala kolonisasi usus
dan kolitis
Tanda klinis Hepatomegali disertai nyeri Nyeri tekan perut regio kanan
tekan, massa abdomen, atas bervariasi
ikterus
Laboratorium Lekositosis, anemia, Serologi amuba positif (70%-
peningkatan enzim-enzim hati 95%)
(alkali fosfatase melebihi
aminotransferase),
peningkatan bilirubin,
hipoalbuminemia
Lekositosis bervariasi dan
Kultur darah positif (50%- anemia
60%) Tidak ditemukan eosinofilia
Alkali fosfatase meningkat,
namun aminotransferase
biasanya normal
Pencitraan Abses multifokal (50%) Khas: abses tunggal (80%)
Biasanya lobus kanan Biasanya lobus kanan
Tepi ireguler “Rounded” atau oval, bersepta
“wall enhancement” pada CT
scan dengan kontras intra vena
Cairan aspirasi Purulen Konsistensi dan warna bervariasi
Tampak kuman pada Steril
pewarnaan gram
Kultur positif (80%) Tropozoit jarang ditemukan
Tabel 3. Perbedaan AHA dan AHB berdasarkan temuan klinis

21
J. DIFERENSIAL DIAGNOSIS
1) Diferensial diagnosis berdasarkan temuan klinis(23)
Differential Diagnosis Manifestasi Klinis

Hepatoma  Merupakan tumor ganas hati primer.


 Anamnesis: penurunan berat badan, nyeri perut kanan
atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas.
 Pemeriksaaan fisik : hepatomegali berbenjol-benjol,
stigmata penyakit hati kronik.
 Laboratorium : peningkatan AFP, PIVKA II, alkali
fosatase.
 USG : lesi lokal/ difus di hati

Kolesistitis akut  Merupakan reaksi inflamasi kandung empedu akibat


infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut
kanan atas, nyeri tekan, dan panas badan.
 Anamnesis : nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang
dapat menjalar ke daerah scapula kanan, demam.
 Pemeriksaan fisik : teraba massa kandung empedu, nyeri
tekan disertai tanda-tanda peritoitis lokal, Murphy sign
(+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran
empedu ekstrahepatik.
 Laboratorium: leukositosis
 USG : penebalan dining kandung empedu, sering
ditemukan pula sludge atau batu.

Tabel 4. Diferensial diagnosis berdasarkan temuan klinis

22
2) Diferensial diagnosis berdasarkan pemeriksaan radiologi(24)
Diferensial Diagnosis Gambaran radiologi

Kista Hepar Patognomonik pada kista hepar lesi yang terlokalisir atau
multipel kavitas disertai fluid level didalamnya dengan
ukuran yang bervariasi yang berbatas tegas dengan parenkim.
Pada pemeriksaan USG tampak gambaran anekoik, bentuk
bulat yang ditandai dengan peningkatan acoustic
enhancement.

Gambar 9. USG kista Hepar

Metastasis Hepar Pada pemeriksaan USG dapat ditemukan lesi dengan berbagai
tipe dapat berupa lesi dengan gambaran hiperekoik,
hipoechoik dan isoechoik Metastasis pada hepar cenderung
solid, batas tidak tegas. Kadang dapat dijumpai lesi besar
dengan nekrotik area didalamnya disertai cairan. Dapat pula
ditemukan adanya kalsifikasi didalamnya, biasanya pada
kasus- kasus metastasis setelah terapi kemoraterapi.

23
B

Gambar 10.

(A) Metastasis karsinoma ovarium.

(B) Metastasis karsinoma kolon

Kista Echinococcus Pada USG, kista ini biasanya memiliki dua lapisan dinding
berupa kapsul dengan dinding yang tebal, yang mungkin
terpisah. Adanya gambaran Daughter cysts yang berasal dari
kapsul bagian dalam atau membentuk gambaran honey comb
atau cartwheel appearance. Dapat ditemukan kalsifikasi pada
dinding kista, yang menunjukkan bahwa kista tersebut sudah
tidak aktif.

Gambar 11. Kista Echinococcus

Tabel 5. Diferensial diagnosis berdasarkan pemeriksaan radiologis

24
K. PENATALAKSANAAN
1) Abses hepar amebik
a. Medikamentosa
Metronidazole merupakan derivat nitroimidazole, efektif untuk
amubiasis intestinal maupun ekstraintestinal., efek samping yang paling
sering adalah sakit kepala, mual, mulut kering, dan rasa kecap logam.
Dosis yang dianjurkan untuk kasus abses hepar amebik adalah 3 x 750
mg/hari selama 5–10 hari. Sedangkan untuk anak ialah 35-50
mg/kgBB/hari terbagi dalam tiga dosis. Derivat nitroimidazole lainnya
yang dapat digunakan adalah tinidazole dengan dosis 3 x 800 mg/hari
selama 5 hari. Untuk anak diberikan 60 mg/kgBB/hari dalam dosis
tunggal selama 3-5 hari.(1,17,25,26)
Dehydroemetine (DHE) merupakan derivat diloxanine furoate.
Dosis yang direkomendasikan untuk mengatasi abses liver sebesar 3 x
500 mg/hari selama 10 hari atau 1-1,5 mg/kgBB/hari intramuskular
(max. 99 mg/hari) selama 10 hari. DHE relatif lebih aman karena
ekskresinya lebih cepat dan kadarnya pada otot jantung lebih rendah.
Sebaiknya tidak digunakan pada penyakit jantung, kehamilan, ginjal,
dan anak-anak.(1,17,25,26)
Klorokuin juga dapat menjadi pilihan untuk pengobtana abses
hepar amebik. Dosis klorokuin basa untuk dewasa dengan amubiasis
ekstraintestinal ialah 2x300 mg/hari pada hari pertama dan dilanjutkan
dengan 2x150 mg/hari selama 2 atau 3 minggu. Dosis untuk anak ialah
10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis terbagi selama 3 minggu. Dosis yang
dianjurkan adalah 1 g/hari selama 2 hari dan diikuti 500 mg/hari selama
20 hari.(1,17,25,26)
b. Aspirasi
Apabila pengobatan medikamentosa dengan berbagai cara
tersebut di atas tidak berhasil (72 jam), terutama pada lesi multipel, atau
pada ancaman ruptur atau bila terapi dengan metronidazol merupakan

25
kontraindikasi seperti pada kehamilan, perlu dilakukan aspirasi.
Aspirasi dilakukan dengan tuntunan USG.(1,17,25,26)
c. Drainase Perkutan
Drainase perkutan indikasinya pada abses besar dengan
ancaman ruptur atau diameter abses > 7 cm, respons kemoterapi kurang,
infeksi campuran, letak abses dekat dengan permukaan kulit, tidak ada
tanda perforasi dan abses pada lobus hepar sinistra. Selain itu, drainase
perkutan berguna juga pada penanganan komplikasi paru, peritoneum,
dan perikardial.(1,17,25,26)
d. Drainase Bedah
Pembedahan diindikasikan untuk penanganan abses yang tidak
berhasil membaik dengan cara yang lebih konservatif, kemudian secara
teknis susah dicapai dengan aspirasi biasa. Selain itu, drainase bedah
diindikasikan juga untuk perdarahan yang jarang terjadi tetapi
mengancam jiwa penderita, disertai atau tanpa adanya ruptur abses.
Penderita dengan septikemia karena abses amuba yang mengalami
infeksi sekunder juga dicalonkan untuk tindakan bedah, khususnya bila
usaha dekompresi perkutan tidak berhasil. Laparoskopi juga
dikedepankan untuk kemungkinannya dalam mengevaluasi terjadinya
ruptur abses amuba intraperitoneal.(1,17,25,26)
2) Abses hati piogenik
a. Medikamentosa
Terapi ini terdiri dari antibiotik, drainase abses yang adekuat dan
menghilangkan penyakit dasar seperti sepsis yang berasal dari saluran
cerna. Pemberian antibiotika secara intravena sampai 3 gr/hari selama 3
minggu diikuti pemberian oral selama 1-2 bulan. Antibiotik ini yang
diberikan terdiri dari:(1,3,13,15)
- Penisilin atau sefalosporin untuk coccus gram positif dan beberapa
jenis bakteri gram negatif yang sensitif. Misalnya sefalosporin
generasi ketiga seperti cefoperazone 1-2 gr/12jam/IV

26
- Metronidazole, klindamisin atau kloramfenikol untuk bakteri
anaerob terutama B. fragilis. Dosis metronidazole 500 mg/6 jam/IV
- Aminoglikosida untuk bakteri gram negatif yang resisten.
- Ampicilin-sulbaktam atau kombinasi klindamisin-metronidazole,
aminoglikosida dan siklosporin.
b. Drainase abses
Pengobatan pilihan untuk keberhasilan pengobatan adalah
drainase terbuka terutama pada kasus yang gagal dengan pengobatan
konservatif. Penatalaksanaan saat ini adalah dengan menggunakan
drainase perkutaneus abses intraabdominal dengan tuntunan abdomen
ultrasound atau tomografi komputer.(1,3,13,15)
c. Drainase bedah
Drainase bedah dilakukan pada kegagalan terapi antibiotik,
aspirasi perkutan, drainase perkutan, serta adanya penyakit intra-
abdomen yang memerlukan manajemen operasi.(1,3,13,15)

L. KOMPLIKASI
1) Abses Hepar Amoeba
Komplikasi yang paling sering adalah ruptur abses sebesar 5 - 5,6%.
Ruptur dapat terjadi ke pleura, paru, perikardium, usus, intraperitoneal atau
kulit. Kadang-kadang dapat terjadi superinfeksi, terutama setelah aspirasi
atau drainase. Infeksi pleuropneumonal adalah komplikasi yang paling
umum terjadi. Mekanisme infeksi termasuk pengembangan efusi serosa
simpatik, pecahnya abses hepar ke dalam rongga dada yang dapat
menyebabkan empiema, serta penyebaran hematogen sehingga terjadi
infeksi parenkim. Fistula hepatobronkial dapat menyebabkan batuk
produktif dengan bahan nekrotik mengandung amoeba. Fistula
bronkopleural mungkin jarang terjadi. Komplikasi pada jantung biasanya
dikaitkan pecahnya abses pada lobus hepar sinistra dimana ini dapat
menimbulkan kematian. Pecah atau rupturnya abses dapat ke organ-organ

27
peritonium dan mediastinum. Kasus pseudoaneurysm arteri hepatika telah
dilaporkan terjadi sebagai komplikasi. (17,19,25)
2) Abses Hepar Piogenik
Saat diagnosis ditegakkan, menggambarkan keadaan penyakit berat
seperti septikamia/bakterimia dengan mortalitas 85%, ruptur abses hepar
disertai peritonitis generalisata dengan mortalitas 6-7%, kelainan
pleuropulmonal, gagal hati, perdarahan ke dalam rongga abses, hemobilia,
empiema, fistula hepatobronkial, ruptur ke dalam perikard atau
retroperineum. Sesudah mendapatkan terapi, sering terjadi diatesis
hemoragik, infeksi luka, abses rekuren, perdarahan sekunder dan terjadi
rekurensi atau reaktifasi abses.(3)

M. PROGNOSIS
Pada kasus AHA, sejak digunakan obat seperti dehidroemetin atau
emetin, metronidazole dan kloroquin, mortalitas menurun tajam. Mortalitas di
rumah sakit dengan fasilitas menurun tajam. Mortalitas di rumah sakit dengan
fasilitas memadai sekitar 2% dan pada fasilitas yang kurang memadai
mortalitasnya 10%. Pada kasus yang membutuhkan tindakan operasi mortalitas
sekitar 12%. Jika ada peritonitis amuba, mortalitas dapat mencapai 40-50%.
Kematian yang tinggi ini disebabkan keadaan umum yang jelek, malnutrisi,
ikterus, dan renjatan. Sebab kematian biasanya sepsis atau sindrom hepatorenal.
Selain itu, prognosis penyakit ini juga dipengaruhi oleh virulensi penyakit,
status imunitas, usia lanjut, letak serta jumlah abses dan terdapatnya komplikasi.
Kematian terjadi pada sekitar 5% pasien dengan infeksi ektraintestinal, serta
infeksi peritonial dan perikardium. (1,19)
Prognosis abses piogenik sangat ditentukan diagnosis dini, lokasi yang
akurat dengan ultrasonografi, perbaikan dalam mikrobiologi seperti kultur
anaerob, pemberian antibiotik perioperatif dan aspirasi perkutan atau drainase
secara bedah. Faktor utama yang menentukan mortalitas antara lain umur,
jumlah abses, adanya komplikasi serta bakterimia polimikrobial dan gangguan
fungsi hati seperti ikterus atau hipoalbuminemia. Komplikasi yang berakhir

28
mortalitas terjadi pada keadaan sepsis abses subfrenik atau subhepatik, ruptur
abses ke rongga peritonium, ke pleura atau ke paru, kegagalan hepar, hemobilia,
dan perdarahan dalam abses hepar. Penyakit penyerta yang menyebabkan
mortalitas tinggi adalah DM, penyakit polikistik dan sirosis hepar. Mortalitas
abses hepar piogenik yang diobati dengan antibiotika yang sesuai bakterial
penyebab dan dilakukan drainase adalah 10-16 %. Prognosis buruk apabila:
terjadi umur di atas 70 tahun, abses multipel, infeksi polimikroba, adanya
hubungan dengan keganasan atau penyakit immunosupresif, terjadinya sepsis,
keterlambatan diagnosis dan pengobatan, tidak dilakukan drainase terhadap
abses, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleural atau adanya penyakit
lain.(1,3)

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Sofwanhadi, Rio. Widjaja, Patricia. Koan, Tan Siaw. Julius. Zubir, Nasrul.
Anatomi hati. Gambar tomografi dikomputerisasi (CT SCAN). Magnetic
resonance imaging (MRI) hati. Abses hati. Penyakit hati parasit. Dalam :
Sulaiman, Ali. Akbar, Nurul. Lesmana, Laurentius A. Noer, Sjaifoellah M.
Buku ajar ilmu penyakit hati edisi pertama. Jakarta : Jayabadi. 2007. Hal 1,
80-83, 93-94, 487-491, 513-514.
2. Lisgaris M.V. & Salata R.A. Liver Abscess. Diunduh dari: eMedicine
specialties: http:\www.eMedicine.com. Update terakhir 2005.
3. Wenas,Nelly Tendean. Waleleng,B.J. Abses hati piogenik. Dalam :
Sudoyo,Aru W. Setiyohadi,Bambang. Alwi,Idrus. Simadibrata,Marcellus.
Setiati,Siti. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid I edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2007. Hal 460-461.
4. Wagener O.Whole Body Computed Tomography. 2 nd edition. Hamburg.
Germany.July 1992.244-75.
5. Grainger RG,Alison DJ, adam.A, Dixon AK..Diagnostic Radiology A
Texbook of Medical Imaging. 4 th edition . Churchill Livingstone .2003 :
1237–72
6. Sutton D.Texbook of Radiology and Imaging Vol.2.Churchill Livingstone.
2003 : 737-86
7. Haaga JR,Lanzieri G, Gilkeson RC. CT and MRI of the Whole Body.
Volume 2. 4 th edition. Missouri Mosby, 2003:1318 – 37
8. Knollmann F, Coakley FV.Multislice CT : Principles and
Protocols.Saunders Elsever.Philadelphia. 2006 : 123 – 47
9. Lindseth, Glenda N. Gangguan hati, kandung empedu, dan pankreas. Dalam
: Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit vol.1 edisi 6. Jakarta : EGC. 2006. Hal 472-476.
10. Guyton, Arthur C. Hall, John E. Hati sebagai suatu organ. Dalam : Buku
ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Jakarta : EGC. 2008. Hal 902-906.

30
11. Sherwood, Lauralee. Sistem pencernaan. Dalam : Fisiologi manusia dari sel
ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 565.
12. Keshav, Satish. Structure and function. In : The gastrointestinal system at a
glance. United Kingdom : Ashford Colour Press, Gosport. 2004. Chapter
27-28.
13. Friedman, Lawrence S. Rosenthal, Philip J. Goldsmith, Robert S. Liver,
biliary tract and pancreas. Protozoal and helminthic infections. In :
Papadakis, Maxine A. McPhee, Stephen J. Tierney, Lawrence M. Current
medical diagnosis and treatment 2008 forty-seventh edition. Jakarta : PT.
Soho Industri Pharmasi. 2008. Page 596, 1304-1306.
14. Soedarto. Penyakit protozoa. Dalam : Sinopsis kedokteran tropis. Surabaya:
Airlangga University Press. 2007. Hal 23-24, 27-29.
15. Nickloes, Todd A. Pyogenic liver abcesses. January 23th, 2009. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/193182-
overview#showall.
16. Crawford, James M. Hati dan saluran empedu. Dalam : Kumar. Cotran.
Robbins. Robbins buku ajar patologi vol.2 edisi 7. Jakarta : EGC. 2007. Hal
684.
17. Fauci. et all. Infectious disease. In : Harrison’s principles of internal
medicine 17th edition. USA. 2008. Chapter 202.
18. Krige,J. Beckingham, I.J. Liver abscesses and hydatid disease. In :
Beckingham, I.J. ABC of Liver, Pancreas, and Gall Bladder. Spain :
GraphyCems,Navarra. 2001. Chapter 40-42
19. Brailita, Daniel. Amebic liver abscesses. September 19th, 2008. November
1st, 2011. Available from http://emedicine.medscape.com/article/183920-
overview#showall.
20. Perez JAP, Gonzalez JJ, Baldonedo RF, Sanz L, Carreiio G, Junco A, et al.
Clinical course, treatment, and multivariate analysis of risk factors for
pyogenic liver abscess. Am J Surg 2001;181:177-86
21. Allan P, Baxter G, Weston M. Clinical Ultrasound. Third Edition. Churchill
Livingstone Elsevier. 2011; 120-66

31
22. Walls P, Barnes P, Radin D R, Colleti P, Halls J. Sonographic Features of
Amebic and Pyogenic Liver Abcesses : A Blinded Comparison. AJR. 1987
; 149 : 499-501
23. Rani, Aziz. Soegondo, Sidartawan. Nasir, Anna Uyainah. Wijaya, Ika
Prasetya. Nafrialdi. Mansjoer, Arif. Abses hati. Kolesistitis akut. Dalam :
Panduan pelayanan medik perhimpunan dokter spesialis penyakit dalam
Indonesia. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Hal 321-
324.
24. Bates, Jane, Abdominal Ultrasound, How,Why and When, 2 nd edition,
Churchill Livingstones.2004
25. Junita,Arini. Widita,Haris. Soemohardjo,Soewignjo. Beberapa kasus abses
hati amuba. Dalam : Jurnal penyakit dalam vol. 7 nomor 2. Mei 2006. 1
November 2011. Diunduh dari :
http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/beberapa%20kasus%20abses%20hati%2
0amuba%20(dr%20arini).pdf.
26. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai
Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.

32

Anda mungkin juga menyukai