Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN KASUS

HIPOGLIKEMIA DAN HOSPITAL ACQUAIRED


PNEUMONIA

Disusun oleh :

Dr. Kiki Rizkia

Pembimbing:

Dr. Yeni Marlina, Sp.PD

KOMITE INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
BANGKA TENGAH
2014

i
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN KASUS

HIPOGLIKEMIA

Oleh:

Dr. Kiki Rizkia

Telah dipresentasikan dan didiskusikan dihadapan pembimbing dan teman sejawat


dokter umum pada tanggal 30 Oktober 2014

Pembimbing

Dr. Yeni Marlina, Sp.PD

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Hipoglikemia.
Dikesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada dr. Yeni Marlina, Sp.PD, selaku pembimbing yang telah berkenan memberikan
bimbingan dalam penyelesainan laporan kasus ini.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada teman sejawat doktrer lainnya


dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan kasus ini


masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan
kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan.

Demikian penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, amiin.

Koba, Oktober 2014

Penulis

Dr. Kiki Rizkia

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................................ii

KATA PENGANTAR ...................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................................1

BAB II LAPORAN KASUS .........................................................................................2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 11

BAB IV ANALISIS KASUS.......................................................................................33

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................35

iv
BAB I

PENDAHULUAN

Hipoglikemia adalah keadaan yang menunjukkan kadar glukosa darah di


bawah normal. Hipoglikemia menurut PAPDI adalah keadaan diman kadar glukosa
darah < 60 mg/dl atau kadar glukosa darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis. Kadar
glukosa darah keseluruhan (whole blood) lebih rendah 10% dibandingkan dengan
kadar glukosa plasma dikarenakan eritrosit memiliki kadar glukosa yang relatif
rendah.

Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus. Sekitar


90% dari semua pasien yang menerima insulin mengalami episode hipoglikemia.
Kejadian hipoglikemia sangat bervariasi, namun pada umumnya penderita diabetes
mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode hipoglikemia simtomatik per minggu dan
per tahun. Diperkirakan 2-4% dari mortalitas akibat diabetes melitus dikaitkan
dengan hipoglikemia.
Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan diabetes mellitus
tipe 2 dibandingkan tipe 1. Studi di Inggris menunjukkan bahwa pada pasien dengan
diabetes mellitus tipe 2 risiko hipoglikemia berat rendah dalam beberapa tahun
pertama (7%) dan meningkat menjadi 25% dalam perjalanan diabetes. Namun
prevalensi diabetes mellitus tipe 2 adalah sekitar dua puluh kali lipat lebih tinggi
dari diabetes mellitus tipe 1 dan banyak pasien dengan diabetes mellitus tipe 2
akhirnya memerlukan pengobatan insulin, sehingga sebagian besar episode
hipoglikemia terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2.
Hipoglikemia merupakan kasus emergensi, karena apabila pasien
hipoglikemia tidak mendapat pertolongan segera dapat menyebabkan penderita
mengalami kerusakan/ kelainan pada Sistem Saraf Pusat, mulai dari gangguan
kognisi,penurunan kesadaran (koma hipoglikemia )bahkan dapat menyebabkan
kematian jika terlalu lama mendapat pertolongan.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. M
Umur : 80 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Airbara
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
MRS : 21 Februari 2014

B. ANAMNESIS ( Alloanamnesis)
Keluhan Utama
Penurunan kesadaran ± sejak 2 jam SMRS

Riwayat Perjalanan Penyakit

Pasien laki-laki umur 80 tahun diantar keluarganya ke RS dengan keluhan utama


penurunan kesadaran sejak + 2 jam SMRS. Menurut keterangan keluarga pasien, pasien
sejak sore tidak bisa diajak komunikasi dan pasien hanya terbaring tidak memberikan
respon ketika diajak komunikasi. Menurut keterangan keluarga pasien, sebelum pasien
mengalami penurunan kesadaran, pasien sempat mengkonsumsi obat penurun kadar
gula darah yang diberikan petugas kesehatan setempat saat pasien berobat. Menurut
keterangan keluarga pasien, obat tersebut adalah Glibenclamide 5 mg. Pasien rutin
berobat ke petugas kesehatan (mantri ) karena jarak tempat tinggal pasien ke RS jauh,
sehingga pasien hanya berobat pada petugas kesehatan yang jaraknya tidak jauh dari
tempat tinggal pasien. mener

Pasien terakhir dirawat di RS Depati Hamzah karena pada kaki kanan pasien
terdapat luka, namun keluhan tersebut sudah membaik. Selama pasien mengalami
kencing manis, pasien tidak rutin berobat, pasien hanya berobat jika timbul keluhan.

2
Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat mengalami keluhan serupa disangkal


 Riwayat DM (+) sejak 5 tahun pasien biasa mengkonsumsi
metformin,glibenclamide dan insulin ketika pasien di rawat d RSDH
 Riwayat HT (-)
 Riwayat Asma (-)

Riwayat Penyakit dalam Keluarga


Riwayat anggota keluarga dengan keluhan yang sama disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK

 Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit berat
Kesadaran : Sopor koma (GCS 4-5)
Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 72x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 22 x/menit
Temperatur : 36,6 oC

 Pemeriksaan Fisik
Kepala : normocephal
Rambut : putih, tidak mudah dicabut
Mata : pupil bulat, isokor, RC +/+ N, konjungtiva anemis -/-,
sklera ikterik -/-, edema palpebra (-/-)
Telinga : sekret (-/-), darah (-/-)
Hidung : sekret (-), epistaksis (-)
Mulut : bibir kering (-), stomatitis (-), sianosis (-), gusi berdarah (-)

Thoraks

3
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : pulsasi (+), iktus cordis (+).
Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V linea parasternal, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR 72 x/menit, BJ I dan II normal, reguler, murmur (-), gallop
(-)
Abdomen
Inspeksi : Rata
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : Hepatomegali (-), Splenomegali (-), Ballotement (-/-)

Extremitas : akral dingin, edema pitting -/- clubbing finger (-/-), terdapat
luka terbuka pada punggung kaki kanan,dasar luka jaringan,pus(-),darah (-), disekitar
luka terdapat jaringan yang berwarna merah (perbaikan)

Genitalia : tidak dilakukan pemeriksaan

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium

 Hematologi rutin
HB : 11,8 gr/dl
Leukosit : 12.100/ mm3
Trombosit : 215.000/ mm3
 Kimia darah
Ureum : 34 mg/dl
Creatinin : 1,0 mg/dl

4
GDS : 28 mg/dl

E. RESUME
Pasien laki-laki umur 80 tahun diantar keluarganya ke RS dengan keluhan utama
penurunan kesadaran sejak + 2 jam SMRS. Penurunan kesdaran setelah
mengkonsumsi ADO yang diberikan oleh petugas kesehatan saat berobat. Pasien
sebelumnya pernah di rawat di RS Depati Hamzah karena terdapat ulkus pada kaki
sebelah kanan dan keluhan membaik. Pasien memiliki riwayat DM ± sejak 5 tahun
dan tidak rutin berobat.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan :


- KU : Sopor koma dengan GCS 4-5

Pada pemeriksaan laboratorium :

- GDS : 28 mg/dl

F. DIAGNOSIS KERJA
- Hipoglikemia e.c ADO (Glibenclamide 5mg)
- Ulkus diabetikum et regio dorsalis pedis dextra

G. PENATALAKSANAAN

- O2 2-3 lpm
- IVFD D 10 % XXX tpm
- Bolus D 40 2 flakon

Observasi selama di IGD


- Monitor TTV/jam
- Cek GDS secera berkala (berdasarkan protocol PAPDI)
- Pemberian D40 jika GDS < 50 mg/dl sebanyak 2 flakon dan jika GDS < 100 mg/dl
sebanyak 1 flakon.

H. RENCANA PEMERIKSAAN
- Cek GDS secara berkala setelah pemberian D40 (berdasarkan protokol PAPDI)

5
- WT setiap hari

I. PROGNOSIS
 Quo ad vitam : dubia
 Quo ad sanam : dubia
 Quo ad functionam : dubia

Follow up:

Tanggal 22/02 /2014

S : : lemas

O : TD: 100/70 mmHg, HR 80x/mnt, RR 22x/mnt, T 36,0 C, Somnolen , Thorax : dalam


batas normal, Abd: dalam batas normal, GDS 41 mg/dl

A : : Hipoglikemi pada DM tipe 2 + Ulkus diabetikum et regio Dorsalis Pedis Dextra

P : - IVFD D10 XX tpm

- Bolus D40 2 flakon


- WT
- Cek GDS secara berkala (protokol PAPDI)
- (GDS setelah bolus D 40 % 156 mg/dl)

Ket tambahan : lemas , batuk, GDS 45 mg/dl, terapi sama dengan terapi yang
sebelumnya. Dan ditambahkan ambroxol 3 x 1 C, edukasi untuk asupan makanan
yang cukup (pkl 16 :00 WIB).

Tanggal 23/02/2014

S : Demam, pasien tampak lemas, batuk

O : TD 90/60 mmHg, N 82x/mnt, RR 24x/mnt, T 37,8 C, kesedaran CM, Thorax dalam


batas normal, Abdomen dalam batas normal, GDS 87 mg/dl

6
A : Hipoglikemia pada DM tipe 2 + Ulkus Diabetikum et regio Dorsalis Pedis Dextra

P : IVFD D10 % XX tpm


- Bolus D40 1 flakon
- Paracetamol 3 X 1 tab
- Ambroxol 3 X 1 C
- WT
- Cek GDS secara berkala (protokol PAPDI)
- ( GDS setelah bolus D 40 % 137 )

Keterangan tambahan : Pkl 18 : 00 WIB pasien kembali lemas dan setelah


pemeriksaan GDS 46 mg/dl diberikan ulang D 40 % 2 flakon. Cek GDS setelah
15 menit 168 mg/dl.

Tanggal 24/02/2104

S : Penurunan kesadaran, Demam, Batuk, Sesak

O : TD 90/70 mmHg, N : 68x/mnt, RR 28x/mnt, T 38,5 C, Sopor-Koma (GCS 5-


6)Thorax Rh +/+, Abdomen dalam batas normal. GDS 155,leukosit : 18.000/l, SpO2 90-
92 %

A : Post Hipoglikemia Dengan Perbaikan + Ulkus Diabetikum et regio Dorsalis Pedis


Dextra + HAP

P:
- IVFD D10% XX tpm
- O2 dengan sungkup 8-10 lpm
- Ceftriaxon inj.1x 2 gr
- Dexameyhasone inj 2 x 1 amp
- Ranitidine 2 x 1 amp
- Farmadol drip
- Rencana pemasangan NGT, diet cair 1500 kalori,
- Observasi TTV dan GDS /jam
Keterangan : Pasien disarankan dirujuk untuk di rawat di ruang ICU namun keluarga
pasien menolak.

Tanggal 25 /02/2014

S : lemas, batuk ,

7
O : TD : 90/60 mmHg,HR 72 x/m, RR 26x/mnt, T 37,3 C, Apatis, Thorax : Rh +/+
GDS 250 mg/dl.

A : DM tipe 2 + Ulkus Diabetikum et regio Dorsalis Pedis Dextra + HAP

P:
- IVFD D5% XX tpm
- O2 3 lpm
- Ceftriaxon inj.1x 2 gr
- Dexameyhasone inj 2 x 1 amp
- Ranitidine 2 x 1 amp
- Diet cair 1500 kalori
- Observasi TTV dan GDS

Tanggal 26 /02/2014

S : lemas, batuk

O : TD : 90/60 mmHg,HR 62 x/m, RR 26x/mnt, T 37,4 C, Apatis, Thorax : Rh +/+


GDS 170 mg/dl.

A : DM tipe 2 + Ulkus Diabetikum et regio Dorsalis Pedis Dextra + HAP

P:
- IVFD D5% XX tpm
- O2 3 lpm
- Ceftriaxon inj.1x 2 gr
- Dexameyhasone inj 2 x 1 amp
- Ranitidine 2 x 1 amp
- Diet cair 1500 kalori
- Observasi TTV dan GDS

Tanggal 27/02/2012

Pasien mulai mengalami penurunan kesdaran kembali, tampak sesak

8
Pasien di observasi,apneu pada pkl 08:00

Pasien diberikan epinefrin iv + RJP 5 siklus

Nadi pasien tidak teraba,pupil midriasis,tidak ada hembusan nafas kemudian di


konfirmasi dengan pemasangan EKG, hasil EKG flat (asistol) kemudian pasien
dinyatakan meninggal pukul 08 :20

Follow Up GDS

9
10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Hipoglikemia adalah keadaan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl, atau kadar
glukosa darah < 80 mg/dl dengan gejala klinis.

B. Epidemiologi

Hipoglikemia biasanya ditemukan pada pasien diabetes melitus. Sekitar


90% dari semua pasien yang menerima insulin mengalami episode hipoglikemia.
Kejadian hipoglikemia sangat bervariasi, namun pada umumnya penderita diabetes
mellitus tipe 1 memiliki rata-rata episode hipoglikemia simtomatik per minggu dan
per tahun. Diperkirakan 2-4% dari mortalitas akibat diabetes melitus dikaitkan
dengan hipoglikemia (Shafiee, 2012).

Frekuensi hipoglikemia lebih rendah pada orang dengan diabetes mellitus


tipe 2 dibandingkan tipe 1. Studi di Inggris menunjukkan bahwa pada pasien dengan
diabetes mellitus tipe 2 risiko hipoglikemia berat rendah dalam beberapa tahun
pertama (7%) dan meningkat menjadi 25% dalam perjalanan diabetes. Namun
prevalensi diabetes mellitus tipe 2 adalah sekitar dua puluh kali lipat lebih tinggi
dari diabetes mellitus tipe 1 dan banyak pasien dengan diabetes mellitus tipe 2
akhirnya memerlukan pengobatan insulin, sehingga sebagian besar episode
hipoglikemia terjadi pada pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 (Shafiee, 2012).

Studi yang dilakukan terhadap penduduk yang tinggal di daerah pedesaan


Jawa Timur dan Bali menunjukkan tingkat prevalensi hipoglikemia sebesar 1,5%
pada tahun 1982 dan meningkat menjadi 5,7% pada tahun 1995. Saat ini Indonesia
memiliki estimasi prevalensi hipoglikemia sebesar 1,2-2,3% (Sutanegara, 2000).

C. Etiologi

11
Hipoglikemia biasanya dibagi menjadi hipoglikemia pasca-makan (reaktif),
hipoglikemia puasa, dan hipoglikemia pada pasien rawat inap. Hipoglikemia pasca-
makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme pencernaan, intoleransi fruktosa
herediter, galaktosemia, sensitivitas leusin, dan idiopatik. Pada hipoglikemia puasa
penyebab utamanya adalah kurangnya produksi glukosa atau karena penggunaan
glukosa yang berlebihan, sedangkan pada hipoglikemia pasien rawat inap paling
lazim disebabkan oleh penggunaan obat (Longo, 2011).

Hipoglikemia pasca-makan dapat disebabkan oleh hiperinsulinisme


pencernaan. Pasien yang menjalani gastrektomi, gastrojejunostomi, piloroplasti atau
vagotomi dapat mengalami hipoglikemia pasca-makan. Hal ini disebabkan karena
pengosongan lambung yang cepat dengan penyerapan singkat glukosa turun lebih
cepat dibanding insulin. Ketidakseimbangan insulin-glukosa yang terjadi
menyebabkan hipoglikemia. Intoleransi fruktosa herediter yang dipicu pemasukan
fruktosa dan galaktosa juga dapat menyebabkan hipoglikemia pada anak-anak.
Hipoglikemia pasca-makan karena sebab idiopatik dapat dibagi menjadi
hipoglikemia sejati dan pseudohipoglikemia. Pada hipoglikemia sejati, gejala
adrenergik muncul sesudah makan dan disertai dengan glukosa plasma rendah pada
saat gejala muncul spontan dalam kehidupan sehari-hari. Gejala tersebut berkurang
dengan pemasukan karbohidrat yang meningkatkan glukosa plasma.
Pseudohipoglikemia adalah keadaan yang mengarah ke hipoglikemia 2 sampai 5
jam setelah makan, tetapi tidak memiliki konsentrasi glukosa plasma rendah ketika
muncul gejala secara spontan dalam kehidupan sehari-hari (Longo, 2011).

Hipoglikemia puasa dapat disebabkan oleh kurangnya produksi atau


penggunaan glukosa, defek enzim, defisiensi substrat, penyakit hati kongenital,
ataupun obat-obatan. Defisiensi hormon penyebab hipoglikemia puasa karena
kurangnya glukosa dapat terjadi pada hipohipofisisme, insufisiensi adrenal,
defisiensi katekolamin, dan defisiensi glukagon. Adapun defek enzim yang
menyebabkan hipoglikemia puasa karena kurangnya glukosa adalah defek enzim
Glucose-6-fosfatase, fosforilase hati, piruvat karboksilase, fosfoenolpiruvat
karboksikinase, fructose-1,6-difosfatase, dan glikogen sintetase. Defisiensi substrat

12
penyebab hipoglikemia puasa adalah kurangnya produksi glukosa yang terjadi pada
kasus hipoglikemia ketotik pada bayi, malnutrisi berat, penyusutan otot, dan
kehamilan lanjut. Penyakit hati kongenital yang menyebabkan hipoglikemia puasa
karena kurangnya produksi glukosa dapat berupa kongesti hati, hepatitis berat,
sirosis, uremia, dan hipotermia. Penggunaan obat seperti alkohol, propranolol, dan
salisilat juga dapat menyebabkan hipoglikemia puasa akibat produksi glukosa yang
berkurang. Pada hipoglikemia puasa akibat penggunaan glukosa berlebihan dapat
disebabkan oleh hiperinsulinisme atau pada kadar insulin memadai tetapi terdapat
kelainan lain di luar pankreas. Hiperinsulinisme disebabkan karena adanya
insulinoma, insulin eksogen, sulfonilurea, penyakit imun dengan insulin atau
antibodi reseptor insulin, dan mengkonsumsi obat-obatan seperti kuinin pada
malaria falciparum, disopiramid, dan pentamidin serta dapat disebabkan oleh syok
endotoksik. Pada kasus kadar insulin memadai tetapi terjadi hipoglikemia adalah
akibat pemakaian glukosa berlebih, dapat disebabkan oleh tumor ekstrapankreas,
defisiensi karnitin sistemik, defisiensi enzim oksidasi lemak, defisiensi 3-hidroksi-3-
metilglutaril-CoA liase, dan kakeksia dengan penipisan lemak (Longo, 2011).

Pasien rawat inap yang mengalami hipoglikemia paling lazim disebabkan


oleh pengunaan obat-obatan yang diberikan.Obat-obat yang paling sering
menyebabkan hipoglikemia pada pasien rawat inap adalah insulin dan sulfonylurea.
Diperkirakan 60% kasus kedua obat ini terlibat dalam diagnosis hipoglikemia
(Longo, 2011).

13
D. Patogenesis

Pasca Obat-obatan Puasa


Makan

Hiperinsulin Turunnya produksi


Contohnya insulin,
mia glukosa dan
alkohol, dan
sulfonylurea penggunaan
glukosa yang
Pengososngan
berlebih
lambung yang
cepat

Produksi glukosa
Pengeluaran insulin yang tidak seimbang
berlebihan dan dengan kebutuhan
penyerapan glukosa yang
kurang

Tidak seimbang Hipoglikemia


insulin dan glukosa

Bagan 1. Patogenensis Hipoglikemia (Isselbacher, 2000 ; Longo, 2011).

E. Patofisiologi

14
Hipoglikemia dapat terjadi ketika kadar insulin dalam tubuh berlebihan.
Terkadang kondisi berlebih ini merupakan sebuah kondisi yang terjadi setelah
melakukan terapi diabetes mellitus. Selain itu, hipoglikemia juga dapat disebabkan
antibodi pengikat insulin, yang dapat mengakibatkan tertundanya pelepasan insulin
dari tubuh. Selain itu, hipoglikemia dapat terjadi karena malproduksi insulin dari
pankreas ketika terdapat tumor pankreas. Setelah hipoglikemia terjadi, efek yang
paling banyak terjadi adalah naiknya nafsu makan dan stimulasi masif dari saraf
simpatik yang menyebabkan takikardi, berkeringat, dan tremor (Silbernagl dan
Lang, 2010).

Ketika terjadi hipoglikemia tubuh sebenarnya akan terjadi mekanisme


homeostasis dengan menstimulasi lepasnya hormon glukagon yang berfungsi untuk
menghambat penyerapan, penyimpanan, dan peningkatan glukosa yang ada di dalam
darah. Glukagon akan membuat glukosa tersedia bagi tubuh dan dapat
meningkatkan proses glikogen dan glukoneogenesis. Akan tetapi, glukagon tidak
memengaruhi penyerapan dan metabolisme glukosa di dalam sel (Carrol, 2007).

15
Gambar 1. Mekanisme regulasi glukosa pada tubuh manusia (Cryer, 2011).

Selain itu, mekanisme tubuh untuk mengompensasi adalah dengan


meningkatkan epinefrin, sehingga prekursor glukoneogenik dapat dimobilisasi dari
sel otot dan sel lemak untuk produksi glukosa tambahan. Tubuh melakukan
pertahanan terhadap turunnya glukosa darah dengan menaikkan asupan karbohidrat
secara besar-besaran. Mekanisme pertahanan ini akan menimbukan gejala
neurogenik seperti palpitasi, termor, adrenergik, kolinergik, dan berkeringat. Ketika
hipoglikemia menjadi semakin parah maka mungkin juga dapat terjadi kebingungan,
kejang, dan hilang kesadaran (Cryer, 2011).

Hipoglikemia berat didefinisikan sebagai hipoglikemia yang tidak dapat di


tangani oleh mekanisme homeostasis tubuh. Pada kondisi ini orang yang terkena
hipoglikemia berat dapat kehilangan kesadaran atau merasa kebingungan. Walaupun
penderita hipoglikemia berat akan terlihat sadar, tapi penderita akan terlihat lethargik
(kelelahan) dan emosional. Hal ini disebabkan karena glukagon tidak dapat
mengompensasi adanya insulin yang berlebihan. Sehingga terkadang ketika
seseorang mengalami hipoglikemia berat dibutuhkan penyuntikkan glukagon.
Penyuntikkan glukagon ini dapat diberikan dengan orang terdekat yang dilatih atau
tenaga medis terlatih (Nelms et al, 2007).

F. Penegakkan Diagnosis

Berdasarkan panduan hipoglikemia menurut PAPDI, penegakan diagnosis


hipoglikemia dapat ditegakan berdasarkan

Gejala dan tanda klinis :

- Stadium parasimpatik : lapar,mual,tekanan darah turun

- Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu,sulit bicara,kesulitan menghitung


sementara

- Stadium simpatik : keringat dingin pada muka,bibir atau tangan gemetar

16
- Stadium gangguan otak berat : tidak sadar,dengan atau tanpa kejang.

Anamnesis :

- Penggunaan preparat insulin atau ADO : dosis terakhir,waktu pemakaian


terakhir,perubahan dosis

- Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi

- Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya

- Lama menderita DM,komplikasi DM

- Penyakit penyerta : ginjal,hati,dll

- Penggunaan obat sistemik lainnya : penghambat adrenergik ß,dll.

G. Terapi

Stadium permulaan (sadar)

- Berikan gula murni 30 gr (2 Sdm) atau sirup/permen gula murni (bukan pemanis
pengganti gula atau gula diet/gula diabetes) dan makanan yang mengandung
karbohidrat.

- Hentikan obat hipoglikemia sementara.

- Pantau GDS tiap 1-2 jam

- Pertahankan gula darah sekitar 200 mg/dl (bila sbelumnya tidak sadar)

- Cari penyebab

Stadium lanjut ( koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia):

1. Diberikan larutan dekstrosa 40% sebanyak 2 flakon (50ml) bolus IV

2. Diberikan cairan dekstrosa 10% per infuse, 6 jam/kolf

3. Periksa GDS,jika memungkinkan dengan glukometer :

17
- Bila GDS < 50 mg/dl : bolus Dekstrosa 40% 50 ml IV

- Bila GDS < 100 mg/dl : bolus Dekstrosa 40 % 25 ml IV

4. Periksa GDS setiap 1 jam setelah pemberian Dekstosa 40 %:

- Bila GDS < 50 mg/dl : bolus Dekstrosa 40 % 50 ml IV

- Bila GDS < 100 mg/dl : bolus DEkstrosa 40 % 25 ml IV

- Bila GDS 100-200 mg/dl tanpa bolus Dekstrosa 40%

- Bila GDS > 200mg/dl : pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa


10%

5. Bila GDS > 100mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS setiap 2
jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbankan
mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9 %.

6. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS tiap 4
jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDS > 200 mg/dl  pertimbankan
mengganti infus dengan dekstrosa 5% atau NaCl 0,9 %.

7. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam

GDS RI (unit,subkutan)
< 200 0
200-250 5
250-300 10
300-350 15
>350 20

8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin,


seperti : adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM (bila
penyebab insulin)

9. Bila pasien belum sadar, GDS sekitar 200 mg/dl : hidrokortison 100mg/4 jam
selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam

18
dan manitol 1,5 – 2 g/kg BB IV setiap 6-8 jam. Cari penyebab lain penurunan
kesadaran menurun.

H. Pencegahan Hipoglikemia

Untuk membantu mencegah hipoglikemia pada pasien Diabetes Melitus


harus selalu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. Obat-obatan untuk diabetes

Menjelaskan obat-obat yang digunakan untuk terapi diabetes yang


dapat menyebabkan hipoglikemia dan menjelaskan bagaimana dan kapan
harus mengkonsumsi obat tersebut (Fonseca, 2008).

Orang-orang yang mengkonsumsi obat untuk diabetes harus


bertanya kepada dokter atau tenaga kesehatan profesional kesehatan
mengenai

1. Apakah obat yang dikonsumsi dapat menyebabkan hipoglikemia.

2. Kapan mereka harus mengkonsumsi obat diabetes terebut.

3. Berapa jumlah obat yang harus mereka konsumsi.

4. Mereka harus tetap mengkonsumsi obat ketika mereka sakit.

5. Mereka harus menyesuaikan obat sebelum melakukan


aktivitas.Fisik

6. Mereka harus menyesuaikan obat jika melewatkan waktu makan


(Fonseca, 2008).

b. Pola makan

Seorang ahli diet dapat membantu merancang rancangan menu


makan yang sesuai preferensi pribadi dan gaya hidup. Rencana makan ini
penting bagi pengelolaan hipoglikemi. Orang-orang hipoglikemi harus
makan secara teratur, cukup makanan setiap kali makan, dan mencoba untuk
tidak melewatkan waktu makan atau makanan ringan. Beberapa makanan

19
ringan dapat lebih efektif daripada makanan lain dalam mencegah
hipoglikemia pada malam hari. Ahli diet dapat membuat rekomendasi untuk
makanan ringan (Fonseca, 2008).

c. Aktivitas sehari-hari

Untuk membantu mencegah hipoglikemia yang disebabkan oleh


aktivitas fisik, penyedia layanan kesehatan mungkin menyarankan:

1. Memeriksa glukosa darah sebelum olahraga atau aktivitas fisik lainnya


dan konsumsi camilan jika kadar gula darah di bawah 100 miligram
perdesiliter (mg/dL).

2. Menyesuaikan obat sebelum aktivitas fisik.

3. Pemeriksaan glukosa darah secara teratur dengan interval selama waktu


beraktivitas fisik dan konsumsi makanan ringan sesuai kebutuhan.

4. Memeriksa glukosa darah secara berkala setelah aktivitas fisik(Fonseca,


2008).

d. Konsumsi alkohol

Minum-minuman beralkohol, terutama pada saat perut kosong,


dapat menyebabkan hipoglikemia, bahkan satu atau dua hari kemudian.
Alkohol dapat sangat berbahaya bagi orang yang memakai insulin atau obat
yang meningkatkan produksi insulin (Fonseca, 2008).

e. Rencana pengelolaan diabetes

Manajemen diabetes intensif untuk menjaga glukosa darah agar


mendekati kisaran normal dapat mencegah komplikasi jangka panjang yang
bisa meningkatkan risiko hipoglikemia. Mereka yang berencana melakukan
kontrol ketat harus berbicara dengan penyedia layanan kesehatan mengenai
cara-cara yanga dapat dilakukan untuk mencegah hipoglikemia dan cara
terbaik untuk mengobatinya (Fonseca, 2008).

I. Prognosis

20
Prognosis hipoglikemia dinilai dari penyebab, nilai glukosa darah, dan
waktu onset. Apabila bersifat simtomatik dan segera diobati memiliki prognosis baik
(dubia et bonam) dibandingkan dengan asimtomatik tanpa segera diberikan oral
glucose (dubia et malam) (Hamdy, 2013).

Hipoglikemia pada bukan penderita diabetes tidak memiliki prognosis yang


relevan dapat bersifat baik maupun buruk untuk jangka panjang (Manucci et al.,
2006). Apabila pasien dianjurkan pengambilan pankreas maka memiliki prognosis
tergantung skill medis dan kondisi indivual (Anonymous, 2013).

HOSPITAL ACQUIRED PNEUMONIA

Definisi
Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia
yang terjadi setelah pasien 48 jam dirawat di rumah sakit dan disingkirkan semua
infeksi yang terjadi sebelum masuk rumah sakit.

Etiologi
Patogen penyebab pneumonia nosokomial sangat bervariasi, yang paling sering
dilaporkan menyebabkan HAP yaitu : S. aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Enterobacter species, K. Pneumonia, Candida albicans, H. Influenza, Escherichia coli,
Acinetobacter species dan. S. Marcescens. Secara umum aerobic enteric gram negatif
bacillus diperkirakan sampai sepertiga dari semua kuman patogen yang bertanggung
jawab terjadinya pneumonia.

Patogenesis

Patogenesis pneumonia nosokomial pada prinsipnya sama dengan pneumonia komuniti.


Pneumonia terjadi apabila mikroba masuk ke saluran napas bagian bawah. Ada empat
rute masuknya mikroba tersebut ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu : aspirasi
dari flora oropharyngeal yang merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu

21
seperti kasus neurologis dan usia lanjut, inhalasi melalui kontaminasi alat-alat bantu
napas aerosol yang digunakan pasien, hematogenik, dan penyebaran langsung.3
Pasien yang mempunyai faktor predisposisi terjadi aspirasi mempunyai risiko
mengalami pneumonia nosokomial. Apabila sejumlah bakteri dalam jumlah besar
berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah, maka pertahanan pejamu yang
gagal membersihkannya dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi
pneumonia. Interaksi antara faktor pejamu (endogen) dan faktor risiko dari luar
(eksogen) akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas
atau pencernaan makanan. Patogen penyebab pneumonia nosokomial ialah bakteri gram
negatif dan Staphylococcus aureus yang merupakan flora normal sebanyak < 5%.
Kolonisasi di saluran napas bagian atas karena bakteri-bakteri tersebut merupakan titik
awal yang penting untuk terjadi pneumonia.

Faktor predisposisi atau faktor risiko pneumonia nosokomial

Faktor risiko pada pneumonia sangat banyak dibagi menjadi 2 bagian:

1) Faktor endogen

Faktor yang berhubungan dengan daya tahan tubuh

Penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,


azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur,
perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid,
pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi
berat di luar paru dan cidera paru akut serta bronkiektasis.

2) Faktor eksogen adalah :

a. Pembedahan :

22
Besar risiko kejadian pneumonia nosokomial tergantung pada jenis
pembedahan, yaitu torakotomi (40%), operasi abdomen atas (17%) dan
operasi abdomen bawah (5%).

b. Penggunaan antibiotik :

Antibiotik dapat memfasilitasi kejadian kolonisasi, terutama antibiotik yang


aktif terhadap Streptococcus di orofaring dan bakteri anaerob di saluran
pencernaan. Sebagai contoh, pemberian antibiotik golongan penisilin
mempengaruhi flora normal di orofaring dan saluran pencernaan.
Sebagaimana diketahui Streptococcus merupakan flora normal di orofaring
melepaskan bacterocins yang menghambat pertumbuhan bakteri gram
negatif. Pemberian penisilin dosis tinggi akan menurunkan sejumlah bakteri
gram positif dan meningkatkan kolonisasi bakteri gram negatif di orofaring.

c. Peralatan terapi pernapasan

Kontaminasi pada peralatan ini, terutama oleh bakteri Pseudomonas


aeruginosa dan bakteri gram negatif lainnya sering terjadi.

d. Pemasangan pipa/selang nasogastrik, pemberian antasid dan alimentasi


enteral

Pada individu sehat, jarang dijumpai bakteri gram negatif di lambung karena
asam lambung dengan pH < 3 mampu dengan cepat membunuh bakteri yang
tertelan. Pemberian antasid / penyekat H2 yang mempertahankan pH > 4
menyebabkan peningkatan kolonisasi bakteri gram negatif aerobik di
lambung, sedangkan larutan enteral mempunyai pH netral 6,4 - 7,0.

e. Lingkungan rumah sakit

Petugas rumah sakit yang mencuci tangan tidak sesuai dengan prosedur
• Penatalaksanaan dan pemakaiaan alat-alat yang tidak sesuai prosedur,

23
seperti alat bantu napas, selang makanan, selang infus, kateter dll
• Pasien dengan kuman MDR tidak dirawat di ruang isolasi.

Diagnosis

Menurut kriteria dari The Centers for Disease Control (CDC-Atlanta), diagnosis
pneumonia nosokomial adalah sebagai berikut :

1.Onset pneumonia yang terjadi 48 jam setelah dirawat di rumah sakit dan
menyingkirkan semua infeksi yang inkubasinya terjadi pada waktu masuk rumah sakit3

2.Diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan atas dasar :

 Foto toraks : terdapat infiltrat baru atau progresif


 Ditambah 2 diantara kriteria berikut: suhu tubuh > 38oC, sekret purulen, dan
leukositosis.

Kriteria pneumonia nosokomial berat menurut ATS

1.Dirawat di ruang rawat intensif

2.Gagal napas yang memerlukan alat bantu napas atau membutuhkan O2 > 35 % untuk
mempertahankan saturasi O2 > 90 %

3.Perubahan radiologik secara progresif berupa pneumonia multilobar atau kaviti dari
infiltrat paru

4.Terdapat bukti-bukti ada sepsis berat yang ditandai dengan hipotensi dan atau
disfungsi organ yaitu : syok (tekanan sistolik < 90 mmHg atau diastolik < 60 mmHg),
memerlukan vasopresor > 4 jam, jumlah urin < 20 ml/jam atau total jumlah urin 80 ml/4
jam, dan gagal ginjal akut yang membutuhkan dialysis.

Pembagian kriteria pneumonia ringan-sedang-berat.

24
No. Parameter Ringan Sedang Berat

1. Infiltrat < 1 paru Tidak ringan > 2/3 parah


maupun berat 1 paru

2. Suhu tubuh < 37,50 C Tidak ringan ≥ 38,60C


maupun berat

3. Nadi < 100/m Tidak ringan ≥ 130/m


maupun berat

4. Pernapasan < 20/m Tidak ringan ≥ 30/m


maupun berat

5. Dehidrasi Tidak ada Ada / tidak Ada

6. Leukosit < 10.000/mm3 Tidak ringan ≥ 20.000/mm3


maupun berat < 4000/m3

7. CRP < 10./mg/dl Tidak ringan ≥ 20mg/dl


maupun berat

8. PaO2 > 70 torr Tidak ringan < 60 torr SpO2


maupun berat < 90%

Pemeriksaan yang diperlukan adalah :

1. Pewarnaan Gram dan kultur dahak yang dibatukkan, induksi sputum atau aspirasi
sekret dari selang endotrakeal atau trakeostomi. Jika fasilitas memungkinkan dapat
dilakukan pemeriksaan biakan kuman secara semikuantitatif atau kuantitatif dan
dianggap bermakna jika ditemukan 106 colony-forming units/ml dari sputum, 105 –
106 colony-forming units/ml dari aspirasi endotracheal tube, 104 – 105 colony-
forming units/ml dari bronchoalveolar lavage (BAL) , 103 colony-forming units/ml
dari sikatan bronkus dan paling sedikit 102 colony-forming units/ml dari vena kateter
sentral . Dua set kultur darah aerobik dan anaerobik dari tempat yang berbeda
(lengan kiri dan kanan) sebanyak 7 ml. Kultur darah dapat mengisolasi bakteri

25
patogen pada > 20% pasien. Jika hasil kultur darah (+) maka sangat penting untuk
menyingkirkan infeksi di tempat lain. Pada semua pasien pneumonia nosokomial
harus dilakukan pemeriksaan kultur darah.
Kriteria dahak yang memenuhi syarat untuk pemeriksaan apusan langsung dan
biakan yaitu bila ditemukan sel PMN > 25 / lapangan pandang kecil (lpk) dan sel
epitel < 10 / lpk.

2. Analisis gas darah untuk membantu menentukan berat penyakit

3. Jika keadaan memburuk atau tidak ada respons terhadap pengobatan maka dilakukan
pemeriksaan secara invasif. Bahan kultur dapat diambil melalui tindakan
bronkoskopi dengan cara bilasan, sikatan bronkus dengan kateter ganda terlindung
dan bronchoalveolar lavage (BAL). Tindakan lain adalah aspirasi transtorakal.

Terapi antibiotik

Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :

1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus
mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai
penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat

2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan
cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal. Pemberian
terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang terseleksi,
dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.

3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil


kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.

4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi kuman


MDR

5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis memburuk

26
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik
apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik
berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti apabila
terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.

Tabel 1. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP pada pasien pneumonia
nosokomial ringan-sedang,tanpa faktor risiko, onset kapanpun atau pada pasien
pneumonia nosokomial berat dengan onset dini

Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan

• Enteric gram negatif bacillus -Piperacillin-tazobactam3.375 g IV q 4h


• (non pseudomonas) - Piperacillin-tazobactam4.5 g IV q 6h
• Enterobacter species
-Cefotaxim 1-2 gm IV q 8h atau
• Escherichia coli
- Ceftriaxone 1 g IV q 12h atau
- Klebsiella species
- Proteus species - jika alergi terhadap
penisillin/sefalosporin
- Serratia marcescens
- Haemophilus influenza -Clindamicin atau
- Methicillin-sensitive S. Vancomicin plus
Aureus
-Ciprofloxacin IV atau
- S. Pneumonia -Aztreonam

Sumber : American Thoracic Society, Infectious Disease Society of America.


Guidelines for management of adult with hospital-acquired, ventilator associated and
healthcare-associated pneumonia Am J Respir Crit Care Med 171: 388-416:2005.

27
Tabel 2. Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP pada pasien pneumonia
nosokomial ringan-sedang,dengan faktor risiko, onset kapanpun

Antibiotik yang
Patogen potensial
direkomendasikan

-Anaerob -Clindamicin 600 mg IV q


8h
Karbapenem
antipseudomonal
(Meropenem, imipenem)
atau
- S. Aureus
-Piperacillin-tazobactam
3.375 g IV q 6h
- Legionella spp.
- Vancomicin atau

- Linezolid
- P. Aeruginosa
- Fluoroquinolon atau

- Macrolide

- Terapi pneumonia
nosokomial berat

Sumber : American Thoracic Society, Infectious Disease Society of America.


Guidelines for management of adult with hospital-acquired, ventilator associated and
healthcare-associated pneumonia Am J Respir Crit Care Med 171: 388-416:2005

28
Tabel 3 Terapi antibiotik awal secara empirik untuk HAP pada pasien pneumonia
nosokomial berat, dengan faktor risiko, onset kapanpun.

Patogen potensial Antibiotik yang direkomendasikan

-P.aeruginosa - Aminoglikosida (gentamicin,


tobramicin, amkacin)

-Acinetobacter spp. - fluoroquinolon ditambah satu dari di


bawah ini :
- Legionella spp.
-piperacillin-tazobactam 3.375 g IV
q 4h atau
- P. Aeruginosa
-imipenem 500 mg IV q 6h atau

-metropenem 1.0 g IV q 8h atau

-ceftazidime 2.0 g IV q 8h atau

-Cefepime 1-2 g IV q 8h atau

-vancomicin 1 g IV q 12 h atau

- lnezolid 600 mg IV/PO q 12h

Sumber : American Thoracic Society, Infectious Disease Society of America.


Guidelines for management of adult with hospital-acquired, ventilator associated and
healthcare-associated pneumonia Am J Respir Crit Care Med 171: 388-416:2005.

Lama terapi

Pasien yang mendapat antibiotik empirik yang tepat, optimal dan adekuat,
penyebabnya bukan P.aeruginosa dan respons klinis pasien baik serta terjadi resolusi
gambaran klinis dari infeksinya maka lama pengobatan adalah 7 hari atau 3 hari bebas

29
panas. Bila penyebabnya adalah P.aeruginosa dan Enterobacteriaceae maka lama terapi
14 – 21 hari.

Pencegahan Pneumonia Nosokomial

1. Pencegahan pada orofaring dan koloni di lambung

1) Hindari pemakaian antibiotik yang tidak tepat karena dapat


menyebabkan berkembangnya koloni abnormal di orofaring, hal ini akan
memudahkan terjadi multi drug resistant (MDR)

2) Pemilihan dekontaminan saluran cerna secara selektif termasuk


antibiotik parenteral dan topikal menurut beberapa penelitian sangat
efektif untuk menurunkan infeksi pneumonia nosokomial, tetapi hal ini
masih kontroversi. Mungkin efektif untuk sekelompok pasien misalnya
pasien umur muda yang mengalami trauma, penerima donor organ tetapi
hal ini masih membutuhkan survailans mikrobiologi

3) Pemakaian sukralfat disamping penyekat H2 direkomendasikan karena


sangat melindungi tukak lambung tanpa mengganggu pH. Penyekat H2
dapat meningkatkan risiko pneumonia nosokomial tetapi hal ini masih
merupakan perdebatan.

4) Penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan gerakan duodenum


misalnya metoklopramid dan sisaprid, dapat pula menurunkan bilirubin
dan kolonisasi bakteri di lambung.

5) Anjuran untuk berhenti merokok

6) Meningkatkan program vaksinasi S.pneumoniae dan influenza

2. Pencegahan aspirasi saluran napas bawah

30
1) Letakkan pasien pada posisi kepala lebih ( 30-45 derajat ) tinggi untuk
mencegah aspirasi isi lambung

2) Gunakan selang saluran napas yang ada suction subglotis

3) Gunakan selang lambung yang kecil untuk menurunkan kejadian refluks


gastro esofagal

4) Hindari intubasi ulang untuk mencegah peningkatan bakteri yang masuk


ke dalam saluran napas bawah

5) Pertimbangkan pemberian makanan secara kontinyu dengan jumlah


sedikit melalui selang makanan ke usus halus

3. Pencegahan inokulasi eksogen

1) Prosedur pencucian tangan harus dijalankan sesuai prosedur yang benar,


untuk menghindari infeksi silang

2) Penatalaksanaan yang baik dalam pemakaian alat-alat yang digunakan


pasien misalnya alat-alat bantu napas, pipa makanan dll

3) Disinfeksi adekuat pada waktu pencucian bronkoskop serat lentur

4) Pasien dengan bakteri MDR harus diisolasi

5) Alat-alat yang digunakan untuk pasien harus diganti secara berkala


misalnya selang makanan , jarum infus dll

4. Mengoptimalkan pertahanan tubuh pasien

1) Drainase sekret saluran napas dengan cara fisioterapi

2) Penggunaan tempat tidur yang dapat diubah-ubah posisinya

3) Mobilisasi sedini mungkin.

31
Prognosis

Prognosis akan lebih buruk jika dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini, yaitu

1. Umur > 60 tahun

2. Koma waktu masuk

3. Perawatan di IPI

4. Syok

5. Pemakaian alat bantu napas yang lama

6. Pada foto toraks terlihat gambaran abnormal bilateral

7. Kreatinin serum > 1,5 mg/dl

8. Penyakit yang mendasarinya berat

9. Pengobatan awal yang tidak tepat

10. Infeksi yang disebabkan bakteri yang resisten (P.aeruginosa, S.malthophilia,


Acinetobacter spp. atau MRSA)

11. Infeksi onset lanjut dengan risiko kuman yang sangat virulen

12. Gagal multiorgan

13. Penggunaan obat penyekat H2 yang dapat meningkatkan pH pada pencegahan


perdarahan usus. 3

BAB IV

32
ANALISIS KASUS

Laki –laki 80 tahun, datang ke RSUD Bangka Tengah dengan Keluhan


penurunan kesadaran ± sejak 2 jam SMRS. Banyak faktor yang dapat menyebabkan
penurunan kesadaran antara lain,CVD, kelainan jantung,kelainan ginjal,hipoglikemia
pada DM maupun non DM, dan lain-lain. Berdasarkan anamnesis pada pasien
ditemukan adanya penuunan kesadaran yang timbul setelah pasien mengkonsumsi obat
ADO (glibenclamide) sampai akhirnya pasien mengalami penurunan kesadaran.
Hipoglikemia biasanya dibagi menjadi hipoglikemia pasca-makan (reaktif),
hipoglikemia puasa, dan hipoglikemia pada pasien rawat inap. Selain itu hipoglikemia
bisa juga disebebkan oleh karena mngkonsumsi obat ADO golongan sulfonylurea dan
penggunaan insulin.

Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan saat pasien tiba di IGD adalah
pemeriksaan GDS dimana hasil dari pemeriksaan tersebut didapatkan hasil GDS 28
mg/dl. Diagnosis hipoglikemia ditegakan dimana kadar glukosa darah < 60 mg/dl atau
kadar glukosa darah ,<80 mg/dl dengan gejala klinis. Selain itu diagnosis bisa ditegakan
berdasarkan gejala dan tanda klinis antara lain :

- Stadium parasimpatik : lapar,mual,tekanan darah turun


- Stadium gangguan otak ringan : lemah,lesu sulit bicara,kesulitan menghitung
sementara.
- Stadium simpatik : keringat dingin pada wajah, bibir atau tangan gemetar
- Stadium gangguan otak berat : tidak sadar,dengan atau tanpa kejang.

Berdasarkan tanda dan gejala diatas, dapat digolongkan bahwa pada kasus ini pasien
termasuk ke dalam golongan hipoglikemia stadium gangguan otak berat. Pada rawat
inap hari ke 3 pasien mengeluhkan demam,batuk dan sesak. Selain itu pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya Rhonki pada kedua lapang paru pasien dan pada
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan darah rutin ditemukan adanya peningkatan
leukosit. Berdasarkan anamnesis,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien
tersebut dapat di diagnosis sebagai Hospital Acquaired Pneumonia (HAP). Pneumonia
nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) merupakan suatu infeksi parenkim

33
paru yang didapat di rumah sakit.Biasanya dihubungkan dengan waktu semakin
lamanya perawatan pasien di rumah sakit. Ada empat rute masuknya mikroba tersebut
ke dalam saluran napas bagian bawah yaitu : aspirasi dari flora oropharyngeal yang
merupakan rute terbanyak pada kasus-kasus tertentu seperti kasus neurologis dan usia
lanjut, inhalasi melalui kontaminasi alat-alat bantu napas aerosol yang digunakan
pasien, hematogenik, dan penyebaran langsung.

Faktor predisposisi atau faktor resiko pada pneuomonia nosokomial dibagi 2


antara lain :
1. Faktor endogen
2. Faktor eksogen

Faktor endogen yang paling sering menyebabkan pneumonia nosokomial / HAP


adalah penyakit kronik (misalnya penyakit jantung, PPOK, diabetes, alkoholisme,
azotemia), perawatan di rumah sakit yang lama, koma, pemakaian obat tidur,
perokok, intubasi endotrakeal, malnutrisi, umur lanjut, pengobatan steroid,
pengobatan antibiotik, waktu operasi yang lama, sepsis, syok hemoragik, infeksi
berat di luar paru dan cidera paru akut serta bronkiektasis.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka diagnosis pada pasien ini adalah


Hipoglikemia e.c ADO pada DM tipe 2 (stadium gangguan otak berat) dan Hospital
Acquaired Pneumonia.

DAFTAR PUSTAKA

34
Anonymous. 2013. Hypoglycemia (Low Blood Sugar). California: Lucile Packard
Children’s Hospital. available at
{http://www.lpch.org/DiseaseHealthInfo/HealthLibrary/diabetes/hy
po.html} diakses 7 Oktober 2013 pukul 19:00

Carrol, Robert G. 2007. Elsevier’s Integrated Physiology. Philadelphia: Mosby Elsevier.

Cryer, Philip E. 2011. Hypoglicemia During Therapy of Diabetes. Tersedia di


<http://diabetesmanager.pbworks.com/w/page/17680209/Hypoglycemia
%20During%20Therapy%20of%20Diabetes%20> diakses pada Kamis 3
Oktober 2013 21.22.

Hamdy, O. 2013. Hypoglycemia. US: Harvard Medical Schoolavailable at


{http://emedicine.medscape.com/article/122122-overview#aw2aab6b2b6}
diakses 7 Oktober 2013 pukul 18:52

Longo, Dan L, et al. 2011. Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th Edition. New
York; McGraw-Hill Medical Publishing Divison.

Manucci et al,. 2006. Incidence and prognostic significance of hypoglycemia in


hospitalized non-diabetic elderly patients. USA: NCBI available at
{http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17167310} diakses 7 Oktober
2014 pukul 18:40

Nelms, Marcia, Kathryn P. Sucher., dan Sara Long. 2007. Nutrition Therapy and
Pathophysiology. Belmont: Thomson Learning Inc.

Silbernagl, Stefan, dan Florian Lang. 2010. Color Atlas of Pathophysiology 2nd Ed.
New York: Thieme.Soemadji, DjokoWahono. 2009.
BukuAjarIlmuPenyakitDalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.

35

Anda mungkin juga menyukai