1. Gerakan Tiga A
Gerakan Tiga A didirikan pada bulan April 1942. Kantor propaganda Jepang mendirikan Gerakan ini
dengan semboyannya:
Gerakan ini mengadakan kursus-kursus bagi para pemuda untuk menanamkan semangat pro Jepang
demi menghadapi pasukan sekutu dalam Perang Asia Timur Raya. Gerakan Tiga A dipimpin oleh Mr.
Syamsuddin. Mr. Syamsudin adalah bekas anggota Parindra pada zaman Hindia Belanda. Pada tahun
1943, Gerakan Tiga A dibubarkan karena dianggap gagal dan tidak memberikan keuntungan bagi
pihak Jepang.
PETA. PETA (Pembela Tanah Air) didirikan pada tanggal 3 Oktober 1945. Sebelumnya, pada
tanggal 7 September 1943, seorang tokoh pergerakan nasional yang bernama Gatot
Mangunprojo mengusulkan kepada Panglima Tertinggi Pasukan Jepang untuk membentuk
pasukan bersenjata guna membela tanah air. Permohonan itu dikabulkan oleh Jenderal
Kumakici Harada (Panglima Tentara Keenambelas) pada tanggal 3 Oktober 1945.
Pembentukan PETA ini juga sesuai dengan tuntutan
Perlawanan rakyat terhadap pemerintah Jepang dicetuskan dalam berbagai bentuk. Perlawanan itu
terjadi di berbagai daerah, di antaranya adalah:
Perlawanan di Cot Plieng (Aceh) pada tanggal 10 November 1942. Pemberontakan itu
dipimpin oleh Tengku Abdul Jalil. Tengku Abdul Jalil ditangkap dan ditembak mati.
Perlawanan di Sukamanah (Jawa Barat) pada tanggal 25 Februari 1944. Pemberontakan di
Sukamanah dipimpin oleh K.H. Zainal Mustafa.
Perlawanan di Kaplangan (Jawa Barat) yang terjadi antara bulan April sampai Agustus 1944.
Perlawanan di Lohbener dan Sindang (Jawa Barat) terjadi pada bulan Mei 1944. Para petani
menolak pungutan padi yang terlalu tinggi. Perlawanan dipimpin oleh H. Madrian.
Perlawanan di Pontianak (Kalimantan Barat). Perlawanan terjadi pada tanggal 16 Oktober
1943. Para pemimpin bertekad untuk melawan Jepang, tetapi usaha mereka gagal.
Pemberontakan itu gagal karena ketahuan pemerintah militer Jepang sebelum melakukan
perlawanan.
Pemberontakan Peta. Salah satu pemberontakan yang terbesar pada masa pendudukan Jepang
adalah pemberontakan Peta di Blitar. Pemberontakan itu dipimpin oleh Supriyadi.
Pemberontakan Peta terjadi pada tanggal 14 Februari 1945.
Semua pemberontakan ini dengan mudah dapat dipadamkan karena para pejuang tidak mempunyai
kekuatan senjata yang memadai. Sedangkan pemberontakan Peta dapat dipadamkan karena pasukan
Peta di Blitar tidak berhasil menggerakkan Peta di daerah lain.
Pembukaan kembali sekolah-sekolah bahasa Melayu yang dijadikan sebagai bahasa pengantar
di sekolah.
Bahasa Jepang digunakan sebagai bahasa wajib.
Larangan terhadap penggunaan bahasa Belanda dan Inggris baik di dalam maupun di luar
sekolah.
Para pelajar diharuskan menghormati adat istiadat Jepang seperti berikut ini.
Bersemangat ala Jepang (Nippon Seishin).
Dapat menyajikan lagu kebangsaan Kimigayo.
Mengadakan penghormatan kiblat ke arah timur untuk menyembah kaisar atau Tenno
(Seikeirei).
Melakukan gerak badan (Taigo) dan latihan kemiliteran.
Penutupan perguruan tinggi, walaupun pada tahun 1943 masih ada yang buka seperti
Perguruan Tinggi Kedokteran Jakarta, Perguruan Tinggi Teknik Bandung, Akademi Pamong
Praja Jakarta, Pendidikan Tinggi Hewan Bogor.
Sisi positif yang dirasakan antara lain, digunakannya bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar di sekolah yang kemudian melahirkan kader-kader generasi intelektual yang
berjiwa nasionalis. Jepang juga telah menyelenggarakan kursus-kursus yang bertujuan
menanamkan semangat pro Jepang antara lain Barisan Pemuda Asia Raya di Jakarta tahun
1942, San A Seinen Kunrensyoi yang diadakan oleh Gerakan Tiga A, bulan Juni 1942.
Pada masa pendudukan Jepang, seluruh media komunikasi dikendalikan oleh pemerintah
militer sehingga sebagian besar tulisan sastra diperuntukkan bagi kepentingan penguasa.
Kendati mengundang unsur-unsur semangat patriotisme dan semangat kerja keras, tetapi
semuanya diperuntukkan bagi pemujaan terhadap Dai Nippon.
Didirikan pusat kebudayaan yang bernama Keimin Bunka Shidosho di Jakarta pada tanggal 1
April 1943. Melalui pusat kebudayaan ini, pemerintah Jepang hendak menanamkan dan
menyebarluaskan seni budaya Jepang.
Digunakannya nama-nama berbau Barat yang diindonesiakan, seperti Java menjadi Jawa,
Batavia menjadi Betawi, Meester Cornelis menjadi Jatinegara, Buitenzorg menjadi Bogor,
Preanger menjadi Priangan.
Tenaga romusha kebanyakan diambil dari penduduk desa-desa yang tidak tamat sekolah atau paling
tamat sekolah dasar. Mereka dikirim juga ke luar Jawa bahkan ada yang dikirim ke luar negeri seperti
di Burma/Myanmar,Malaysia, Thailand, Indochina. Kehidupan kesehatan para romusha tidak
terjamin, makanan tidak mencukupi sementara pekerjaan sangat berat. Akibatnya banyak tenaga
romusha yang mati di tempat pekerjaan karena sakit, kecelakaan, kurang gizi. Jepang berupaya untuk
menutupi rahasia kekejamannya dan menghilangkan rasa takut penduduk Indonesia. Sejak tahun
1943, Jepang melancarkan kampanye yang menjuluki para romusha sebagai “prajurit ekonomi” atau
“pahlawan pekerja”. Mereka digambarkan sebagai prajurit yang menunaikan tugas sucinya untuk
angkatan perang Jepang dan sumbangan mereka terhadap usaha Jepang itu mendapat pujian sangat
tinggi dan mulia.