Anda di halaman 1dari 15

MEKANISME PENYAKIT

PATOGENESIS ARTRITIS RHEUMATOID


Iain B. McInnes, F. R. C. P., Ph. D., and Georg Schett, M. D.

A
RTRITIS RHEUMATOID MERUPAKAN PENYAKIT AUTOIMUN YANG SERING DITEMUI,

dihubungkan dengan adanya disabilitas progresif, komplikasi sistemik, kematian


dini, dan beban biaya sosioekonomik. Penyebab artritis rheumatoid tidak
diketahui. Namun demikian, kemajuan dalam pemahaman patogenesis penyakit ini telah
membantu perkembangan pengobatan baru, dan meningkatkan hasil dari pengobatan tersebut.
Strategi pengobatan terbaru, yang mana mencerminkan kemajuan ini, adalah dengan inisiasi
terapi agresif secepatnya setelah diagnosis dan meningkatkan terapi, dipandu oleh penilaian
aktifitas penyakit, dalam mengejar remisi klinik.
Bagaimanapun juga, tetap terdapat beberapa kebutuhan yang tidak ditemukan. Terapi
disease-modifying konvensional dan biologikal terbaru terkadang gagal atau memproduksi
hanya respon parsial. Biomarker prediktif prognosis yang terpercaya, respon terapi, dan
toksisitas masih kurang. Remisi berkelanjutan jarang tercapai dan memerlukan terapi
farmakologikal terus-menerus. Tingkat mortalitas lebih tinggi pada pasien dengan artritis
rheumatoid dibandingkan dengan orang sehat, serta komplikasi kardiovaskular dan
komplikasi sistemik lainnya masih merupakan tantangan utama. Remisi molekular dan
kapasitas untuk membangun kembali toleransi imunologi masih sukar dipahami. Penjelasan
mengenai mekanisme patogenik yang menginisiasi dan mengabadikan artritis rheumatoid
menawarkan keberhasilan dalam masing-masing domain ini. Artritis rheumatoid sebagian
besar diklasifikasikan berdasarkan fenotip klinis. Kami percaya penting untuk melakukan
transisi ke taksonomi molekular yang menjelaskan sub-kelompok yang berlainan dengan
perbedaan prognostik dan signifikansi terapi.
Artritis rheumatoid dikarakteristik oleh inflamasi sinovial dan hiperplasia
(“pembengkakan”), produksi autoantibodi (rheumatoid factor dan anti-citrullinated protein
antibody [ACPA]), destruksi tulang dan kartilago (“deformitas”), serta gambaran kelainan
sistemik, termasuk kardiovaskular, sistem pernafasan, fisiologik, dan skeletal. Gambaran
klinis ini menimbulkan pertanyaan mekanis kritis: interaksi genetik-lingkungan apakah yang
harus muncul untuk memfasilitasi reaksi autoimun, dan mengapa hal tersebut menyebabkan
lokalisasi pada artikuler? Mengapa inflamasi sinovial terus berlangsung? Apa yang
menyebabkan destruksi local ang menyebabkan disfungsi sendi? Mengapa artritis rheumatoid
menyebabkan penyakit sistemik? Kami disini merangkum kunci pathogenesis dalam
menginformasikan masalah tersebut.

FAKTOR GENETIK DAN LINGKUNGAN

Artritis rheumatoid melibatkan interaksi kompleks antara genotip, pencetus


lingkungan, dan adanya peluang. Studi kembar melibatkan faktor-faktor genetik pada artritis
rheumatoid, dengan tingkat konkordansi 15-30% pada kembar monozigot dan 5% pada
kembar dizigotik. Analisis genom memastikan bahwa faktor-faktor regulasi imun mendasari
penyakit tersebut. Hubungan yang telah lama diketahui dengan lokus human leukocyte
antigen (HLA)-DRB1 telah dikonfirmasi pada pasien dengan rheumatoid factor positif atau
ACPA positif; alel-alel yang mengandung motif asam amino (QKRAA) dalam region HLA-
DRB1, disebut epitop, memberikan kecurigaan spesifik. Penemuan ini menunjukkan bahwa
beberapa predisposisi seleksi sel-T repertoar, presentasi antigen, atau gangguan pada afinitas
peptida memiliki peran dalam mempromosi respon imun adaptif autoreaktif. Penjelasan
lainnya yang mungkin mengenai hubungan antara artritis rheumatoid dengan epitop tersebut
meliputi mimikri molekular antara epitop dengan protein mikroba, peningkatan proses
pematangan sel T yang diinduksi oleh epitop yang mengandung molekul HLA, serta fungsi
pemberian isyarat proinflamasi yang potensial yang tidak berhubungan dengan peran epitop
dalam pengenalan antigen.
Banyak alel-alel beresiko yang telah teridentifikasi pada artritis rheumatoid dengan
ACPA positif secara fungsional bergabung dengan regulasi imun (Tabel 1), menghasilkan
sinyal nuclear factor KB (NF-KB)-dependent (contoh: TRAF1-C5 dan c-REL) dan stimulasi
sel-T, aktivasi, serta diferensisasi fungsional. Dengan demikian, interaksi antar gen yang
meningkatkan resiko terjadinya penyakit, seperti dijelaskan antara HLA-DRB1 dan PTPN22,
menerangkan kompleksitas resiko dari setiap gen. Faktor-faktor resiko genetik untuk
penyakit dengan ACPA negatif terlihat sama pentingnya dengan yang terdapat pada penyakit
dengan ACPA positif. Bagaimanapun, hal tersebut kurang ditetapkan dengan baik serta
melibatkan alel HLA yang berbeda (contoh: HLA-DRB1*03), faktor-faktor regulasi
interferon (contoh: faktor respon interferon), dan protein yang berikatan dengan lektin
(contoh: C-type lectin domain family 4 member A). Pasien dengan penyakit ACPA positif
memiliki prognosa yang lebih buruk dibandingkan mereka dengan penyakit ACPA negatif,
dimana hal ini menunjukkan perangkat molecular berguna secara klinik.
Penemuan dari penelitian interaksi genetik dan lingkungan mendukung obervasi ini.
Merokok dan bentuk lain stress bronchial (contoh: paparan pada silica) meningkatkan resiko
artritis rheumatoid pada orang-orang dengan peluang memiliki alel HLA-DR4. Terlebih lagi,
merokok dan alel HLA-DRB1 secara sinergis meningkatkan resiko seseorang mendapatkan
ACPA. Merangkum observasi ini, didapatkan bahwa stressor lingkungan pada pulmoner dan
jaringan pertahanan lainnya dapat memicu modifikasi post-transisi, melalui peptidyl asginine
deiminase, tipe IV (PADI4), menghasilkan gangguan kuantitatif dan kualitatif pada proses
sitrulinasi protein mukosa.

Hilangnya toleransi terhadap neoepitop tersebut mencetuskan respon ACPA (yang


akan terdeteksi dengan pemeriksaan anti-cyclic citrullinated peptide [CCP] assay) (Gambar.
1). Beberapa protein yang telah tersitrulinasi dapat dikenali dalam pemeriksaan anti-CCP
assay, termasuk α-enolase, keratin, fibrinogen, fibronektin, kolagen, dan vimentin.
Karakterisasi dari kelompok pasien seropositif dalam mencetuskan penyakit autoantigen
masih dalam penelitian. Kurang lebih 43 sampai 63% pasien artritis rheumatoid dengan
ACPA positif juga seropositif untuk α-enolase tersitrulinasi, dan hal ini sangat berhubungan
dengan HLA-DRB1*04, PTPN22, serta kebiasaan merokok. Interaksi sejenis juga dilaporkan
pada vimentin tersitrulinasi dan epitop fibrinogen.
Agen infeksius (contoh: virus Epstein-Barr, cytomegalovirus, spesies proteus, dan
Escherichia coli) telah lama dihubungkan dengan artritis rheumatoid, walaupun mekanisme
kejadiannya masih sukar dipahami, beberapa bentuk mimikri molekular telah dipostulatkan.
Pembentukan kompleks imun selama infeksi dapat mencetuskan induksi dari rheumatoid
factor, autoantibodi dengan afinitas tinggi terhadap bagian Fc dari immunoglobulin, yang
mana telah lama menjadi penanda diagnostik dari artritis rheumatoid dan terlibat dalam
patogenesis penyakit itu sendiri. Selanjutnya, artritis rheumatoid tampaknya berhubungan
dengan penyakit periodontal: Porphyromonas gingivalis yang mengekspresikan PADI4,
sehingga memiliki kemampuan untuk mencetuskan sitrulinasi protein mamalia. Pada
akhirnya, mikrobiom saluran cerna saat ini telah diketahui dapat mempengaruhi
perkembangan autoimunitas pada model atikular, dan tanda bakterial spesifik yang
dihubungkan dengan autoantibodi yang positif pada artritis rheumatoid telah berkembang.
Tingginya resiko kejadian artritis rheumatoid pada wanita dibandingkan pria telah
lama diketahui. Onset artritis rheumatoid juga dihubungkan dengan kejadian buruk dalam
hidup. Penjelasan molekular untuk fenomena tersebut berkembang dari model inflamasi
hewan, yang menunjukkan adanya kaitan antara aksis hipotalamus-hipofise-adrenal dan
produksi sitokin. Sistem saraf pusat dalam keadaan normal melibatkan regulasi imun dan
hemostasis, serta interaksi neuroimunologik dalam meregulasi perkembangan penyakit pada
model arthritis hewan pengerat. Efek tersebut dapat bekerja lokal (beberapa neurotransmitter
mengekspresikan sinovitis pada artritis rheumatoid) atau secara sentral (sitokin-sitokin
dengan cepat di up-regulated di hipotalamus selama inflamasi perifer).
Beberapa isu kritis masih belum dapat dipecahkan. Autoantibodi, seperti rheumatoid
factor dan ACPA, sering (namun tidak selalu) terdeteksi pada pasien sebelum perkembangan
dari arthritis itu sendiri (fase pre-artikular artritis rheumatoid); pada beberapa kejadian, level
autoantibodi telah meningkat dan telah terdapat bukti dari penyebaran epitop bersamaan
dengan munculnya onset penyakit. Mengapa hilangnya toleransi sistemik dikaitkan dengan
onset inflamasi terlokalisir pada sendi masih belum terpecahkan (fase transisional artritis
rheumatoid). Hal ini mungkin disebabkan kontribusi sifat biologik dari autoantigen target
(contoh: regulasi metabolism selular α-enolase dan glukosa-6-fosfat). Faktor lain yang
mungkin termasuk mekanisme terkait pembuluh darah mikro lokal, neurologik, biomekanik,
dan trauma mikro (Gambar. 1).

P ROSES I MUNOLOGI DAN P ERADANGAN PADA S INOV IAL

Sinovitis terjadi ketika leukosit menginfiltrasi kompartemen sinovial. Akumulasi


leukosit lebih mencerminkan migrasi daripada proliferasi lokal. Migrasi sel dapat terjadi oleh
adanya aktivasi endotel di pembuluh darah kecil sinovial, yang akan meningkatkan ekspresi
dari adhesi molekul (termasuk integrin, selektin, dan anggota immunoglobulin lainnya) dan
kemokin. Oleh karena itu, neoangiogenesis, yang diinduksi oleh kondisi hipoksik lokal dan
sitokin-sitokin, serta insufisiensi lymphangiogenesis merupakan gambaran khas awal dari
sinovitis. Perubahan lingkungan mikro tersebut, dikombinasikan dengan reorganisasi
struktural bermakna dari sinovial serta aktivasi lokal fibroblas, mempermudah penumpukan
jaringan inflamasi sinovial pada artritis rheumatoid (Gambar 2).

J AL U R I M U N I T A S A D A PT I F

Genetika pada artritis rheumatoid dan adanya autoantibodi jelas menempatkan


kekebalan adaptif pada pusat patogenesis awal. Namun, meskipun sel T terdapat dalam
jumlah yang melimpah di lingkungan sinovial, peran fungsional sel T masih kurang
dipahami. Pentargetan langsung sel T oleh siklosporin atau terapi penekanan sel T telah
menunjukkan efikasi yang terbatas. Sinovium pada artritis rheumatoid mengandung sel-sel
myeloid yang melimpah serta sel dendritik plasmacytoid yang mengekspresikan sitokin
(interleukin-12, 15, 18, dan 23), molekul HLA kelas II, dan molekul pendukung stimulasi
yang penting untuk aktivasi sel T dan presentasi antigen. Selain itu, penggunaan abatacept
(gabungan protein yang mengandung limfosit T sitotoksik terkait antigen 4 dan fragmen FC
dari IgG1) untuk mengganggu presentasi antigen dengan menghalangi stimulasi sel T
(melalui interaksi antara CD28 dengan CD80 atau CD86) terbukti efektif pada arthritis
rheumatoid. Sel T yang autoreaktif terhadap protein tersitrulinasi telah teridentifikasi. Sel T
pada sinovial, reaksi yang terpusat pada sel germinal, dan hipermutasi sel B menggambarkan
adanya proses antigen spesifik lokal yang dibantu oleh sel B yang termediasi oleh sel T.

Meskipun artritis rheumatoid secara konvensional dianggap sebagai penyakit yang


dimediasi oleh sel Th tipe 1, perhatian telah semakin berfokus pada peran dari sel Th tipe 17,
sebuah bagian yang menghasilkan interleukin-17A, 17F, 21, dan 22 serta faktor nekrosis
tumor α (TNF-α) (Tabel 2). Derivat makrofag dan sel dendritik merubah faktor pertumbuhan
β dan interleukin-1β, 6, 21, serta 23 menyediakan lingkungan yang mendukung diferensiasi
sel Th17 dan menekan diferensiasi sel T regulasi, sehingga menggeser homeostasis sel-T
kearah peradangan. Interleukin-17A, yang bersinergi dengan TNF-α dalam mencetuskan
aktivasi fibroblas dan kondrosit, saat ini menjadi target dalam uji klinis. Sel T regulator yang
terdeteksi dalam jaringan dari pasien dengan artritis rheumatoid tampaknya memiliki
kapabilitas fungsional yang terbatas. Ketidakseimbangan antara Th17 dan sel T regulator juga
dapat mencerminkan TNF-α local, yang menghambat aktivitas dari sel T regulator. Sebuah
jalur patogen tambahan yang terdiri dari antigen non spesifik, aktivasi makrofag dan
fibroblast yang dimediasi sel T, bekerja melalui interaksi antara CD40 dan ligan CD40,
CD200 dan ligan CD200, serta adhesi intraseluler molekul 1 dan antigen 1 yang terkait fungsi
leukosit.

Kekebalan humoral adaptif merupakan bagian penting dari arthritis rheumatoid. Sel B
sinovial terutama terlokalisasi dalam agregat sel T dan sel B – kenyataannya beberapa
jaringan memiliki folikel limfoid ektopik -- yang didukung oleh ekspresi dari faktor yang
meliputi proliferation-inducing ligand (APRIL), stimulator limfosit B (BLyS ), dan CC dan
kemokin CXC (contoh : ligan kemokin CXC 14 dan 21). Plasmablast dan sel-sel plasma
terdistribusi luas dalam sinovium dan juga didalam sumsum tulang juksta-artikular. Peran
patogenik dari sel B CD20+ telah dikonfirmasi oleh efikasi rituximab pada arthritis
rheumatoid. Karena sel B plasma tidak ditargetkan oleh antibodi anti-CD20, dan tingkat
autoantibodi yang mengalami perubahan setelah pengobatan, observasi klinis ini
menunjukkan bahwa peran sel B dan turunannya dalam patogenesis arthritis rheumatoid
mempengaruhi produksi autoantibodi yang meliputi presentasi autoantigen dan produksi
sitokin (contoh: interleukin-6, TNF-α, dan limfotoksin-β).

A K T I V AS I S I S T E M KE KE B A L A N T UB U H B A WA AN

Berbagai sel efektor bawaan, termasuk makrofag, sel mast, dan natural killer cell
dapat ditemukan pada membran sinovial, dimana neutrofil didapatkan dalam jumlah yang
lebih banyak pada cairan sinovial. Faktor stimulasi koloni makrofag, faktor stimulasi koloni
granulosit, dan faktor stimulasi koloni granulosit-makrofag (GM-CSF) meningkatkan
pematangan sel-sel, pengeluaran sel-sel tersebut dari sumsum tulang, dan perpindahannya ke
sinovium. Secara khusus, makrofag merupakan efektor utama dari sinovitis; agen biologic
yang efektif secara klinis secara konsisten mengurangi infiltrasi makrofag kedalam sinovium.
Makrofag bekerja melalui pelepasan sitokin (contoh: TNF-α dan interleukin-1, 6, 12, 15, 18,
dan 23), oksigen intermediet reaktif, nitrogen intermediet, produksi dari prostanoid dan enzim
degradasi matriks, fagositosis, serta presentasi antigen. Pola ekspresi dari sitokin proinflamasi
dan sintesis nitric oxide menunjukkan predominanasi makrofag M1. Makrofag diaktivasi oleh
toll-like receptors (TLRs) (contoh: TLR 2, 6, 3, 4, dan 8) dan nucleotide-binding
oligomerization domain (NOD)-like receptors (NLRs) yang mengenali pola molekuler terkait
pathogen dan pola molekuler terkait kerusakan yang secara potensial meliputi bakteri, virus,
dan ligan endogen. Aktivasi makrofag juga diatur oleh sitokin, interaksi dengan sel T,
kompleks imun, partikel lipoprotein dan agonis reseptor hepar X (contoh: oxysterol, oxidized
low-density lipoprotein [LDL], dan serum amiloid A-rich high-density lipoprotein [HDL]),
serta lingkungan mikro kaya melalui aktivasi reseptor protease 2. Selain itu, spesies
microRNA (microRNA-155) telah dikaitkan dengan regulasi ekspresi sitokin sinovial.

Kontribusi neutrofil pada sinovitis melalui prostaglandin, protease, dan oksigen


intermediet reaktif. Sel Mast yang memproduksi amino vasoaktif, sitokin, kemokin, dan
protease dalam jumlah yang tinggi, melalui ligasi dari TLR, supresi tumorigenicity 2 (ST2),
reseptor γ- Fc, dan reseptor ε- Fc, juga memiliki peran tersendiri. Fraksi dari ACPA yang
dimiliki oleh kelas IgE, dapat menimbulkan aktivasi sel mast melalui reseptor ε- Fc. Temuan
ini, membuktikan bahwa aktivasi dari jalur imun bawaan memiliki kontribusi dalam sinovitis,
dan dapat mengarah pada perkembangan dari pengobatan yang memodulasi TLR-dependent,
NLR-dependent, dan jalur inflammasome dependent.

S I T O KI N DAN J A L U R S I N Y A L I N T R AS E L UL E R
Produksi sitokin yang meningkal oleh sel-sel synovial adalah patogenesis utama dari
arthritis rheumatoid. Sitokin yang terbentuk akan berubah seiring waktu, dimana pada
arthritis rheumatoid stadium awal akan terbentuk IL 4, 13, 15 yang berperan pada penyakit
kronis. TNF-α berperan penting melalui pengaktifan sitokin dan kemokin, penyatuan sel-sel
endotel, pemeliharaan fibloblas synovial, angiogenesis, sepresi sel T regulator, dan induksi
rasa nyeri. IL 6 mengaktifkan leukosit local, yang memproduksi autoantibodi tetapi
memediasi efek akut sistemik, anemia, disfungsi kognitif, gangguan metabolisme lipid. Peran
utama dari kedua sitokin ini sudah dibuktikan dengan keberhsilan terapi melalui pemblokan
dari TNF-α dan reseptor IL 6 pada pasien arthritis rheumatoid (Tabel 3).
Kelompok IL1 (contohnya, IL 1α, 1β, 18, dan 33) banyak terdapat di pasien arthritis
rheumatoid. Sitokin-sitokin tersebut akan mengaktifkan leukosit, sel endotel, kondrosit dan
osteoklas. Akan tetapi bukti klinis dari pemblokan IL1 hanya sedikit. Walaupun hal ini tidak
dapat dimengerti seluruhnya tetapi mungkin dikarenakan adanya 2 jalur pada jalur sinyal IL1.
Berdasarkan karakteristik biologic dari sitokin sinovial akan terus berkembang (Tabel 2).
Kompleks sinyal intraseluler (terutama kinase) yang mengatur fungsi reseptor sitokin
akan menunjang pembentukan molekul inhibitor. Walaupun banyak jalur sinyal intraseluler
yang aktif di sinovium, penentuan fungsi masing-masing sudah dilakukan melalui penelitian
klinis. Hasil penelitian dari inhibitor Kinase Janus (JAK) 1 dan 3 tofacitinib menunjukkan
jalur JAK yang memediasi fungsi dari beberapa sitokin, interferon dan faktor-faktor
pertumbuhan dari arthritis rheumatoid (Tabel 2). Selain itu, pemblokan dari tirosin kinase
dari limpa oleh fostamatinib, yang efektif di beberapa kelompok pasien, sesuai dengan peran
pada Sel B dan reseptor FC. Target intraselular lainnya, seperti Phosphatidylinositol 3-kinase,
Bruton’s tyrosine kinase, dan komponen lain dari jalur NF-кβ, menawarkan kemungkinan
strategi terapi yang efektif. Tetapi pada kinase p38 mitogen-aktivasi protein terjadi
kegagalan pada penelitian kinis walapun memeliki perkiraan klinis yang baik, hal ini
menunjukan adanya duplikasi jaringan sinyal molekul pada arthritis rheumatoid.
R E S P ON J A R I N G A N M E S E N KI M
Sinovium terdiri dari sinoviosit yang memiliki karakter seperti fibroblast dan
mesenkim (FLSs) dan makrofag local. Pada arthritis rheumatoid, membrane membesar dan
oleh sebab itu berpengaruh secara langsung pada kerusakan tulang rawan dan inflamasi
kronis serta menyediakan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan sel T dan sel B dan
pengaturan imun adaptif.
Mekanisme yang membentuk hiperplasia synovial tidak sepenuhnya dimengerti.
Peningkatan kapasitas proliferasi dari FLSs tidak dapat menjelaskan. Kemungkinan yang
lebih besar adalah karena resistensi apoptosis dimana dimediasi oleh berbagai jalur temasuk
mutasi gen p53 tumor suppressor; ekspresi dari protein stress ( heat shock protein 70), yang
menunjang keselamatan dari FLSs ; dan modulasi fungsi dari retikuluendoplasma oleh
sinoviolin, suatu enzim E3 ubiquitin ligase yang mengatur keseimbangan apoptosis dan
proliferasi sel. Sinoviolin mengatur ekspresi p53 dan fungsi biologisnya.dengan tambahan,
aktivsi dari jalur NF- кβ yang diinduksi oleh sitokin pada FLSs mendukung keselamatan
setelah ligase dari reseptor TNF-α. Metilasi dan asetilasi dari siklus sel gen regulator dan
ekspresi dari mikro RNA dapat menjadi faktor yang penting.
Hiperplasia synovial juga dapat ditunjukan oleh peningkatan influx sel mesenkim.
Pada tikus percobaan dengan artritis disertai imunodefisiensi gabungan yang berat, FLSs
menunjukan migrasi dan oleh karena itu mengaktifkan keterlibatan artikukuler.
Kemajuan yang besar telah menjelaskan jalur molekuler yang mempertahankan
integritas struktur membrane pada arthritis rheumatoid. Cadherin-11 dan β-catenin yang
memediasi interaksi FLSs-homotipik yang esensial untuk pembentukan membrane dan
inflamasi lanjut.

KERUSAKAN STRUKTURAL

K E RU S A K A N KARTILAGO

Hiperplasi dari sinovium adalah komponen utama dari timbulnya kerusakan jaringan
kartilago pada arthritis rheumatoid. Jaringan sinovium kehilangan efek protektif yang
dimilikinya yang diakibatkan oleh perubahan karakteristik dari ikatan protein dari permukaan
kartilago, memicu adhesi dan invasi dari FLS. Hasil sintesa dari FLS yaitu berupa MMPs
(terutama MMPs-1, 3, 8, 13, 14, dan 16) memicu pecahnya jaringan kolagen tipe II, berupa
proses yang menyangkut isi dari glikosaminoglikan dan retensi air yang mengarah langsung
kepada disfungsi bioemkanikal. MMP-14 merupakan MMP predominan yang diekspresikan
oleh FLSs untuk memecah matriks dari jaringan kartilago kolagen. Enzim matriks lain
(contoh: ADAMTS 5) memecah agregasi dan akhirnya menghilangkan integritas dari
kartilago.

Inhibitor enzim endogen, seperti TIMPs, gagal untuk mencegah proses penghancuran
ini. Lebih lanjut, jaringan kartilago artikuler juga telah membatasi kemampuannya untuk
beregenerasi. Kondrosit secara fisiologis mengatur komponen dari matriks, dibawah
pengaruh dari sitokin sinovial (interleukin-1 dan 17A) dan nitrogen reaktif intermediate,
kartilago secara progresif kehilangan kondrosit, yang merupakan bagian dari proses apoptosis
sel. Proses ini akan mengarah pada penghancuran dari permukaan kartilago dan pada foto
radiologi akan memperlihatkan gambaran berupa penyempitan dari celah sendi.

E RO S I T UL A N G

Erosi tulang terjadi secara cepat (terjadi pada 80 % pasien setelah 1 tahun
terdiagnosa) dan berhubungan erat dengan pemanjangan waktu dan peningkatan proses
inflamasi. Sitokin sinovial, biasanya berupa macrophage colony stimulating factor dan
aktivator dari reseptor NF-kB ligand (RANKL), akan memicu diferensiasi dan invasi dari
osteoklas yang berada di permukaan periostal sampai ke kartilago artikuler. TNF-α dan
interleukin-1, 6, dan 27 yang biasanya dapat memicu diferensiasi dan aktivasi dari osteoklas.
Osteoklas mempunyai enzim yang bersifat asam yang dapat menghancurkan lapisan mineral,
termasuk kartilago dan tulang subkondral, dimana hancurnya jaringan ini akan memicu
proses resorbsi yang kemudian akan bagian yang teresorbsi akan diisi oleh sel-sel inflamasi.

Faktor mekanik akan memicu beberapa tempat mengalami erosi. Tempat yang rawan
untuk terjadinya erosi tulang diantaranya adalah os metakarpal II dan III. Erosi pada tulang
kortikal akan memicu timbulnya akses dari cairan sinovial ke dalam sumsum tulang yang
akan mengakibatkan timbulnya proses inflamasi (osteitis yang akan terlihat pada pemeriksaan
MRI), dimana agregasi sel T dan sel B akan menggantikan lemak sumsum tulang. Semakin
jelas bahwa arthritis rheumatoid sendiri merupakan sebuah proses yang bermula dari sumsum
tulang dan akhirnya mempengaruhi membran sinovial.

EFEK SISTEMIK ARTRITIS RHEUMATOID

Artritis rheumatoid berhubungan dengan peningkatan resiko menderita penyakit


kardiovaskuler seperti infark miokard, penyakit serebrovaskuler sampai gagal jantung
(Gambar 3). Peningkatan resiko ini tidak dapat dijelaskan dari faktor resiko yang ada,
penggunaan kortikosteroid atau OAINS maupun faktor genetik. Proses inflamasi yang
berlangsung melibatkan sirokin (interleukin-6 dan TNF-α), reaktan fase akut, kompleks imun,
dan partikel lipid (serum amiloid A-rich HDL) yang akan meingkatkan aktivasi endotelial dan
memicu timbulnya plak aterosklerosis yang tidak stabil. Peningkatan dari reaktan fase akut
merupakan faktor resiko independen penyakit kardiovaskular. Sitokin juga dapat
menyebabkan resistensi insulin pada jaringan adiposa, yang akhirnya akan menyebabkan
sindrom inflamasi metabolik. Lebih lanjut lagi, resiko kardiovaskular meningkat pada artritis
rheumatoid terutama bila inflamasi telah mencapai fase preartikuler.

Pada artritis rheumatoid yang aktif dapat terjadi penurunan kadar kolesterol total,
HDL, LDL yang dapat ditingkatkan kembali dengan terapi yang adekuat. Terapi yang
adekuat juga harus dapat menurunkan resiko kardiovaskular dan mengubah fisiologi dari
jaringan vaskuler. Obat golongan statin terbukti dapat menurunkan resiko kardiovaskular dan
faktor inflamasi pada pasien dengan artritis rheumatoid.

Proses inflamasi pada artritis rheumatoid juga akan berakibat ke otak (kelelahan dan
timbul gangguan kognitif), hati (dimana terjadi peningkatan respon fase akut dan dapat
terjadi anemia akibat penyakit kronis), paru (terjadi inflamasi dan fibrosis), kelenjar eksokrin
(Secondary Sjӧrgen’s syndrome), muskuloskeletal (sarkopenia), dan tulang (osteoporosis).
Osteoporosis mempengaruhi skeletal bagian aksial dan apendikular, tetapi dengan adanya
peningkatan dari respon fase akut dan proses inflamasi sehingga proses ini dapat terjadi
sebelum munculnya penyakit artritis itu sendiri. Obat-obatan anti inflamasi juga dapat
berakibat pada hilangnya matriks tulang dan supresi dari resorbsi tulang secara sistemik, yang
dapat diukur melalui bone-turnover biomarker.

Resiko terjadinya limfoma meningkat pada pasien artritis rheumatoid dan sangat
berhubungan dengan proses inflamasi yang terjadi. Resiko terjadinya kanker paru juga
meningkat pada pasien artritis rheumatoid yang dapat dihubungkan lagi dengan faktor resiko
lain yaitu pasien perokok. Selain karena perokok, resiko terjadinya kanker paru meningkat
juga dapat disebabkan oleh proses fibrosis dari jaringan interstitial paru.

KESIMPULAN

Penjelasan mengenai pathogenesis yang telah ada sebelumnya memiliki hubungan


parallel terhadap pengenalan efektifitas terapi dan perkembangan yang bermakna dari gejala
klinis. Manifestasi klinis yang lebih berat seperti vaskulitis, pembentukan nodul, skleritis dan
amiloidosis, yang terkait secara persisten dengan respon inflamasi yang tidak terkontrol
menjadi sangat jarang.
Bagaimanapun juga, masih banyak yang harus dipecahkan. Kita perlu memahami
factor-faktor yang dapat mengarah kepada intoleransi dan respon inflamasi local pada sendi.
Kita perlu menemukan cara untuk meningkatkan respon inflamasi atau homeostasis dan
perbaikan dari sendi yang telah mengalami kerusakan. Kita harus dapat menjelaskan
mekanisme dari berbagai macam kelainan sistemik yang berkontribusi pada pengurangan
kualitas hidup. Pada akhirnya, kita harus dapat mengembangkan rencana kuratif dan terapi
preventif yang dapat mencegah arthritis rheumatoid menjadi sebuah penyakit kronis.

Anda mungkin juga menyukai