Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Zat adiktif adalah bahan yang menyebabkan adiksi atau ketergantungan yang
membahayakan kesehatan dengan ditandai perubahan perilaku,kognitif, fenomena
fisiologis, keinginan kuat untuk mengonsumsi bahan tersebut, kesulitan dalam
mengendalikan penggunannya, memberi prioritas pada penggunaan bahan
tersebut daripada kegiatan lain, meningkatkan toleransi dan dapat menyebabkan
keadaan putus zat.

Zat adiktif narkotika pada dasarnya memilki sifat yang dapat dimanfaatkan
untuk bidang kesehatan , tetapi sekaligus dapat menimbulkan ketergantungan
serta penyalahgunaan.Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman
atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang
dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-
Undang.

Narkotika golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak


digunakan dalam terapi atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa jenis-jenis narkotika golongan III?
2. Apa jenis narkotika golongan III yang umum dimasyarakat?
3. Bagaimana pemanfaatan narkotika golongan III yang umum
dimasyarakat?
4. Bagaimana efek dan mekanisme kerja narkotika golongan III yang umum
di masyarakat?
5. Bagaimana dampak penyalahgunaan narkotika golongan III yang umum di
masyarakat?

1
6. Apa contoh kasus penyalahgunaan narkotika golongan III yang umum
dimasyarakat?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui jenis-jenis narkotika golongan III.
2. Mengetahui jenis narkotika golongan III yang umum dimasyarakat.
3. Mengetahui pemanfaatan narkotika golongan III yang umum
dimasyarakat.
4. Mengetahui efek dan mekanisme kerja narkotika golongan III yang
umum di masyarakat.
5. Mengetahui dampak penyalahgunaan narkotika golongan III yang umum
di masyarakat.
6. Mengetahui contoh kasus penyalahgunaan narkotika golongan III yang
umum dimasyarakat.

2
BAB II
PEMBAHASAN

Berdasarkan pada rumusan masalah di Bab 1, maka pada Bab II akan


memaparkan mengenai (1) memaparkan jenis-jenis narkotika golongan III (2)
memaparkan jenis narkotika golongan III yang umum dimasyarakat (3) memaparkan
pemanfaatan narkotika golongan III yang umum dimasyarakat (4) memaparkan
efek dan mekanisme kerja narkotika golongan III yang umum di masyarakat (5)
memaparkan dampak penyalahgunaan narkotika golongan III yang umum di
masyarakat (6) menunjukkan contoh kasus penyalahgunaan narkotika golongan III
yang umum dimasyarakat

2.1 Penggolongan Jenis-Jenis Narkotika


Narkotika digolongkan menjadi tiga golongan, yatu sebagai berikut.
a. Narkotika golongan I.
Berpotensi sangat tinggi menyebabkan ketergantungan. Tidak digunakan
untuk terapi. Contoh : heroin, kokain, ganja. Putauw adalah heroin tidak
murni berupa bubuk.
b. Narkotika Golongan II.
Berpotensi tingi menyebabkan ketergantungan. Digunakan pada terapi
sebagai pilihan terakhir. Contoh : morfin, dan petidin.
c. Narkotika Golongan III.
Berpotensi ringan menyebabkan keteragantungan dan banyak digunakan
dalam terapi. Contoh : Kodein, Dekstrometorfan dan Buprenorfina

2.2 Jenis-Jenis Narkotika Golongan III

Menurut Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2


Tahun 2017 Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam

3
golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Peraturan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 ini. Berikut merupakan
daftar narkotika Golongan III :
1. Asetildihidrokodeina
2. Dekstropropoksifena : α-(+)-4-dimetilamino-1,2-difenil-3-metil-2- butanol
propionat
3. Dihidrokodeina
4. Etilmorfina : 3-etil morfina
5. Kodeina : 3-metil morfina
6. Nikodikodina : 6-nikotinildihidrokodeina
7. Nikokodina : 6-nikotinilkodeina
8. Norkodeina . . . - 8 - 8. Norkodeina : N-demetilkodeina
9. Polkodina : Morfoliniletilmorfina
10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2- piridilpropionamida
11. Buprenorfina : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2- trimetilpropil]-
6,14-endo-entano-6,7,8,14- tetrahidrooripavina
12. CB 13, nama lain CRA atau SAB 378 : Naftalen 1-il[4-
(pentiloksi)naftalen-1-il]etanona
13. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut diatas
14. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika
15. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika
( Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
2017)

2.3 Jenis Narkotika Golongan III yang umum dimasyarakat


2.3.1 Kodein
Kodein merupakan prodrug karena di saluran pencernaan kodein diubah
menjadi bentuk aktifnya, yakni morfin dan kodeina -6-glukoronida. Sekitar 5-10%
kodein akan diubah menjadi morfin, sedangkan sisanya akan menjadi bentuk yang
bebas, atau terkonjugasi dan membentuk kodeina-6-glukoronida (70%),
norkodeina (10%), hidromorfona (1%). Pada biosintesis kodeina, Kodein yang
terkonsumsi akan teraktivasi oleh enzim di dalam hati menjadi morfin, sebelum

4
mengalami proses glusuronidasi, sebuah mekanisme detoksifikasi bagi
xenobiotik. Walau bagaimanapun, morfin tersebut tidak dapat digunakan,
mengingat 90% kodein yang diambil akan dimusnahkan dalam usus
halus(rembesan dari hati) sebelum berhasil memasuki peredaran darah.Oleh itu,
kodein seolah-olah tidak brpengaruh atas penggunanya, namun efek samping
seperti analgesia,sedasi, dan kemurungan pernapasan masih terasa. (Santoso: 2005)
Kodein merupakan alkaloida alamiah yang terdapat dalam opium mentah
sebanyak 0,7-2,5% yang paling banyak digunakan dalam pengobatan. Biasanya
dibuat dari morfin yang terdapat pada opium.Kodein mempunyai efek analgesik
lemah, sekitar 1/12 kekuatan analgesik morfin.Kodein adalah antitusif (anti batuk
yang kuat).Dosis fatal kodein 800mgr.(Joewana : 99)
Kodein terbuat dari ekstrak opium poppy, tetapi ada pula kodein yag
disuling dari morfin. Kodein biasanya digunakan untuk penghilang rasa sakit
sedang atau obat batuk dengan resep dokter.Kodein memiliki efek yang lebih
lama dari pada heroin. (Sofiyah : 12) Kodein bekerja secara langsung pada sistem
saraf pusat untuk mengurangi rasa sakit yang dialami dan dapat memicu
ketergantungan jika tidak dikonsumsi sesuai dengan anjuran dokter.Kodein dapat
dijumpai dalam air seni sampai dua hari penggunaan terakhir. ( Joewena : 99)

Gambar 1.1 Struktur Kimia Kodein

2.3.1.1 Pemanfaatan Kodein


Kodein adalah obat golongan analgesik opioid yang digunakan untuk
meredakan rasa nyeri ringan hingga berat. Obat ini bekerja secara langsung pada

5
sistem saraf pusat untuk mengurangi rasa sakit yang dialami. Jika digunakan
dengan dosis yang benar kodein mempunyai manfaat sebagai berikut :
a. Kodein dapat meredakan nyeri yang menyertai infark miokard,
keganasan, kolik renal atau kolik empedu, oklusi pembuluh darah perifer,
perikarditisakut, dan nyeri akibat trauma seperti luka bakar, fraktur, dan
luka pasca bedah
b. kodein dikombinasikan dengan obat lain atau sediaan tunggal dapat
digunakan untuk menangani batuk tidak berdahak (berfungsi sebagai
antitusif). Penghambatan ini bermanfaat meredakan batuk iritatif, kering,
dan batuk yang sangat mengganggu. Batuk seperti ini sangat mengganggu
pasien karena menyebabkan pasien tidak dapat tidur, tidak dapat
beristirahat, dan nyeri pada dada.
c. Kodein digunakan untuk menurunkan motilitas (pergerakan) usus sehingga
gejala diare dapat berkurang. (Santoso, 2005)

2.3.1.2 Efek dan Mekanisme Kerja Kodein


Kodein memiliki efek anti-nyeri. Kodein dapat diindikasikan sebagai
pereda atau penghilang nyeri hebat yang tidak dapat diatasi dengan analgesik non-
opioid. Sebuah studi yang dilakukan oleh Glowinski menemukan bahwa
kombinasi antara parasetamol 500 mg/kodein 30 mg tiga kali sehari ditambah
natrium diklofenak 50 mg sehari memiliki efek analgesik yang sama dengan
pemberian natrium diklofenak 50 mg dua kali sehari pada pasien artritis
reumatoid. Substitusi natrium diklofenak dengan parasetamol dan kodein ini
memiliki keuntungan mengurangi efek iritasi pada mukosa lambung.Secara
umum, kodein dapat meredakan nyeri yang menyertai infark miokard, keganasan,
kolik renal atau kolik empedu, oklusi pembuluh darah perifer, perikarditis akut,
dan nyeri akibat trauma seperti luka bakar, fraktur, dan luka pascabedah.Dosis
yang dibutuhkan meningkat sesuai dengan penambahan intensitas nyeri.
Efek lain dari kodein yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat adalah
efek anti-diare. Alkaloid morfin dan turunannya secara umum memiliki manfaat
menghentikan diare dengan terlibat langsung pada otot polos kolon. Pada
pengobatan diare yang disebabkan intoksikasi makanan atau obat lain, pemberian

6
morfin harus didahului dengan pemberian garam katalitik untuk mengeluarkan
racun dan mikroorganisme penyebab diare. Dosis kodein atau morfin yang
menghentikan diare (terkadang dapat menyebabkan konstipasi) kurang lebih sama
dengan dosisnya sebagai obat batuk.
Kodein juga memiliki efek penghambatan terhadap refleks batuk.
Penghambatan ini bermanfaat meredakan batuk iritatif, kering, dan batuk yang
sangat mengganggu.Batuk seperti ini sangat mengganggu pasien karena
menyebabkan pasien tidak dapat tidur, tidak dapat beristirahat, dan nyeri pada
dada. Kodein merupakan analgesik agonis opioid.Efek kodein terjadi apabila
kodein berikatan secara agonis dengan reseptor opioid di berbagai tempat di
susunan saraf pusat.Efek analgesik kodein tergantung afinitas kodein terhadap
reseptor opioid tersebut.Kodein dapat meningkatkan ambang rasa nyeri dan
mengubah reaksi yang timbul di korteks serebri pada waktu persepsi nyeri
diterima dari thalamus. Kodein juga merupakan antitusif yang bekerja pada
susunan saraf pusat dengan menekan pusat batuk.
Kodein dimetabolisme menjadi morfin di liver oleh enzim sitokrom
P4501D6 (CYP2D6). Terdapat variasi genetik enzim sitokrom P4502D6
(CYP2D6) yang dikenal dengan ultra rapid metabolizers (CYP2D6 UM). Orang
dengan ultra-rapid metabolizers dapat meningkatkan metabolisme kodein
menjadi morfin dibanding normal walaupun menerima kodein pada rentang dosis
terapi. (BPOM 2012).
Sebagai akibat pada metabolisme, dosis ini dapat menyebabkan penurunan
suhu tubuh, penurunan aktivitas otot, vasodilatasi perifer, serta penghambatan
mekanisme neural di sistem saraf pusat. Kecepatan metabolisme tubuh akan
berkurang dengan pemberian morfin dan turunannya. Hiperglikemia sementara
dapat terjadi akibat pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis.Efek-
efek ini hanya bersifat sementara, dan dapat hilang seiring berjalannya
waktu.(Santoso, 2005)

2.3.1.3 Dampak Penyalahgunaan Kodein


Kodein merupakan obat analgesik golongan opiat yang biasa digunakan
untuk penghilang rasa nyeri dari sedang hingga berat. Sebagai langkah kedua

7
untuk obat analgesik opiat lemah dan narkotik, kodein merupakan obat yang
paling banyak digunakan dikalangan praktisi kesehatan. Seperti halnya dengan
obat-obat lainnya, kodein juga mempunyai dampak yang ditimbulkan jika
penggunaannya tidak sesuai dosis yang dianjurkan oleh dokter. Berikut dampak
dalam menyalahgunakan kodein :
- Dapat menimbulkan ketergantungan.
- Mual
- Muntah
- Idiosinkrasi
- Pusing
- Sembelit
- Depresi pernafasan terutama pada penderita asma.
- Depresi jantung
- Syok

2.3.1.4 Contoh Kasus Penyalahgunaan Kodein

KOMPAS.com - Obat pereda nyeri dan batuk jenis codein kini dilarang
digunakan untuk anak. Selain tidak efektif, obat ini juga bisa menyebabkan efek
samping fatal. Rekomendasi tersebut disampaikan oleh ikatan dokter anak di
Amerika Serikat (American Academy of Pediatrics). Codein sebenarnya
merupakan obat yang sudah lama diresepkan dokter. Obat ini juga sering dipakai
untuk menghilangkan nyeri pascaoperasi pengangkatan amandel dan adenoid.
Dalam beberapa tahun terakhir dilaporkan kasus gangguan pernapasan berat
hingga menyebabkan kematian pada beberapa anak di AS. Kajian terbaru dari
badan pengawas obat dan makanan AS (FDA) mengungkap, ada 64 kasus anak
mengalami napas yang lambat dan 24 kematian terkait obat ini, termasuk 21
kematian pada anak berusia kurang dari 12 tahun. Ads by AdAsia Secara umum,
efek samping fatal dari obat ini ditemukan pada anak kecil yang mendapat
kombinasi codein dan asetaminofen setelah operasi. Anak yang obesitas atau
yang sering menderita gangguan pernapasan di malam hari juga beresiko
mengalami efek samping serius dari codein. Menurut para dokter, sebenarnya
tidak ada bukti kuat yang menunjukkan obat ini efektif. "Kami sangat yakin tak

8
ada alasan mengapa harus menggunakan codein," kata Dr.Joseph Tobias, ketua
peneliti yang juga anggota American Academy of Pediatrics. Salah satu hal yang
menjadi masalah adalah cara codein diproses dalam tubuh. Obat ini diubah oleh
liver menjadi morfin yang bisa mengurangi rasa nyeri. Tetapi perbedaan genetik
bisa memicu liver membentuk terlalu banyak atau terlalu sedikit morfin. Bila
jumlahnya terlalu sedikit berarti obat ini tidak bekerja efektif. Sebaliknya, jika
berlebihan akan berbahaya karena menyebabkan napas menjadi lambat, bahkan
kematian. Pada tahun 2013, FDA sudah mewajibkan perusahaan farmasi untuk
mencantumkan peringatan keras pada obat ini dan menyarankan dokter tidak lagi
memberi anak codein setelah operasi pengangkatan amandel. Sebagian besar
rumah sakit di AS juga sudah menyarankan dokter untuk berhenti meresepkan
obat ini. "Opioid seharusnya tidak diresepkan untuk obat batuk, demikian juga
obat opioid oral lainnya seperti oxycodone dan hydrocodone yang bisa digunakan
untuk anak," kata Dr.Constance Houck, peneliti dari Rumah Sakit Anak Boston.
Orangtua juga perlu berhati-hati memberi obat pada anak. Apalagi memberi obat
flu dan batuk yang dijual bebas yang mengandung codein di dalamnya tanpa
konsultasi dengan dokter.

2.3.2 Dekstrometorfan
Menurut aturan International Union of Pure and Applied Chemistry
(IUPAC) , dekstrometorfan merupakan bahan kimia sintetik yang memilikki
struktur C18H25NO dengan nama (+)-3-methoxy-17-methyl-(9α-13α-

9
14α)morphinan. Sifat fisik dan kimia dekstrometorfan adalah berbentuk serbuk
kristal berwarna putih sampai sedikit kekuningan dengan berat molekul
271,44 g/mol; titik lebur 111oC (231,8oF), tidak berbau, larut dalam air maupun
etanol, dan tidak larut dalam eter (Bonauli,2010).Berikut ini merupakan struktur
kimia dari dekstrometorfan.

Gambar 1.2 Struktur dekstrometorfan

2.3.2.1 Pemanfaatan Dekstrometorfan


Dekstrometorfan adalah salah satu obat batuk supressan (antitusif) yang
telah banyak digunakan di dunia sejak tahun 1958 untuk menekan batuk yang
disebabkan oleh iritasi tenggorokan dan saluran nafas bronkial terutama pada
kasus batuk pilek (Tjandra, 2010).Nama dagang dekstrometorfan di Indonesia saat
ini ada berbagai macam, misalnya Anakonidin, Decolsin, Mixadin, Siladex,
Ultragrip, dan lain-lain, serta telah tercatat dalam Informasi Spesialite Obat
(ISO) Indonesia volume 42 tahun 2007 ada 77 merk obat yang mengandung
dekstrometorfan.

Gambar 1.3. Bentuk Dektrometorfan di pasaran

Dosis untuk obat ini adalah sebagai berikut,


- Untuk Dewasa

10
Sebanyak 10-20 mg secara oral setiap 4 jam atau 30 mg setiap 6-8 jam
dengan dosis maksimal 120 mg/hari.
- Untuk anak-anak usia 6 – 12 tahun
Sebanyak 5-10 mg per-oral setiap 4 jam atau 15 mg setiap 6-8 jam dengan
dosis maksimum 60 mg/hari.
- Untuk usia 2-6 tahun
Dosisnya sebanyak 2.5-5 mg per-oral setiap 4 jam atau 7.5 mg atau setiap
6-8 jam dengan dosis maksimum 30 mg/hari. (Gitawati, 2014)

2.3.2.2 Efek dan Mekanisme Kerja Dekstrometorfan


Efek anti batuk dekstrometorfan bisa bertahan 5-6 jam setelah penggunaan
per-oral.Jika digunakan sesuai aturan, obat ini relatif aman. Efek samping yang
sering muncul adalah sebagai berikut,
1. Mengantuk
2. Pusing
3. Mual
4. Muntah
5. Gangguan Pencernaan
6. Kesulitan berkonsentrasi
7. Rasa kering pada mulut dan tenggorok.

Dektrometorfan di dalam tubuh di metabolisme pada hati.Senyawa ini


cukup kompleks karena memiliki kemampuan untuk mengikat beberapa
reseptor, sehingga juga diduga memiliki banyak efek.Obat ini masuk ke dalam
tubuh melalui mulut dan diserap pada saluran gastrointestinal sistem,lalu masuk
ke hati melalui vena portal hepatica dan dengan bantuan enzim sitokrom P-450
yang akan mengubah dektrometorfan menjadi metabolit yang lebih aktif yaitu
dekstorfan. Metabolit aktif ini diangkut melalui darah ke pusat batuk dan di
eksresikan pada urine dalam bentuk yang tidak berubah (Martindal,2009).
Dekstorfan adalah turunan 3-hidroksi dari dekstrometorfan dan poten sebagai
sebagai antagonis NMDA (N-Methyl-D-aspartat). Dekstrometorfan tidak beraksi
pada reseptor opiate sub tipe mu , tetapi beraksi pada reseptor opiate sub tipe

11
sigma , sehingga efek ketergantungannya relative kecil. Pada dosis besar, efek
farmakologi dekstrometorfan menyerupai PCP atau ketamine yang merupakan
antagonis dari reseptor NMDA(N-Methyl-D-aspartat).Antagonisme terhadap
NMDA dapat menyebabkan efek euphoria, antidepresan, dan efek psikosis seperti
halusinasin penglihatan maupun pendengaran.

Gambar 1.4

2.3.2.3 Dampak Penyalahgunaan Dekstrometorfan


Antitusif opioid ini dapat diperoleh dan digunakan secara bebas bahkan
tanpa perlu menggunakan resep dokter seperti yang saat ini terjadi pada beberapa
negara berkembang termasuk Indonesia. Peredaran dekstrometorfan yang terlalu
bebas ini meningkatkan resiko terjadinya penyalahgunaan dan keracunan
dekstrometorfan di dunia.Penyalahgunaan itu sendiri adalah penggunaan zat
secara terus-menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah (Stuart & Sundeen,
1998). Hal ini sesuai dengan laporan American Association of Poison Control
Centers (AAPCC) yang menyatakan bahwa sejak tahun 2000 terjadi
peningkatan kasus penyalahgunaan dekstrometorfan, yaitu kasus pada remaja
meningkat kurang lebih 100% dari tahun 2000 (1623 kasus) sampai tahun 2003 (3
271 kasus) dan pada kelompok usia lain meningkat kurang lebih 21% dari tahun

12
2000 (900 kasus) sampai tahun 2002 (1 139 kasus). Adapun beberapa faktor yang
mempengaruhi penyalahgunaan tersebut adalah sebagai berikut,
 Mudahnya dekstrometorfan diperoleh baik di warung maupun apotek;
 Harga dekstrometorfan yang relatif murah;
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
092/Menkes/SK/II/2012 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik
Tahun 2012,
a. Harga Eceran tertinggi Dekstrometorfan HBr tablet 15 mg dengan
kemasan kotak isi 10 x 10 tablet adalah Rp. 14.850,-.
b. Dekstrometorfan HBr tablet 15 mg dengan kemasan botol isi 1000
tablet , HET nya adalah Rp. 53.406,-.
c. Jadi Harga Eceran tertinggi untuk 1 tablet Dekstrometorfan HBr
adlah Rp. 150,-.
 Adanya persepsi yang berkembang di tengah masyarakat yang menyebutkan
bahwa dekstrometorfan “hanya” tergolong sebagai obat bebas dan relatif
lebih aman jika dibandingkan dengan obat golongan narkotika atau
psikotropika (disarikan dari InfoPOM Vol.13 No.6 November-Desember
2012). Padahal jika dicermati secara seksama, dekstrometorfan masuk
kategori narkotika golongan III yang tertuang dalam lampiran Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yakni di urutan kedua
dalam gugus narkotika golongan III dengan nama dekstropropoksifena.
Penyalahgunaan dekstrometorfan dengan dosis yang berlebihan akan
memberikan efek seperti berikut
 Euforia, rasa tenang,
 Halusinasi penglihatan dan pendengaran.
 Hipereksitabilitas,
 Kelelahan, berkeringat,
 Bicara kacau,
 Hipertensi,
 Depresi sistem pernapasan.

13
Jika digunakan bersama dengan alkohol, efeknya bisa menjadi lebih
berbahaya yaitu menyebabkan kematian(BPOM, 2012).Dampak-dampak diatas
terjadi ketika penyalahguna mengonsumsi dalam dosis tertentu.Berikut penjelasan
lebih detailnya.

Plateau Dose (mg) Behavioral Effects


1st 100–200 Stimulasi ringan
2nd 200–400 Euforia dan halusinasi
3rd 300– 600 Gangguan persepsi visual dan
hilangnya koordinasi motoric
4th 500-1500 Dissociative sedation
Tabel 1.1 Dosis dan Dampak Penyalahgunaan Dekstrometorfan

Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa ketika penyalahguna


mengonsumsi dengan dosis normal yaitu sekitar 100-200 mg , dampak yang
ditimbulkan masih ringan seperti mual, muntah , dan mengantuk sedangkan untuk
dosis >200 mg akan menimbulkan dampak yang serius bagi tubuh bahkan dapat
menyebabkan kematian.

2.3.2.4 Contoh kasus Dekstrometorfan

Salahgunakan Obat Batuk, Dua Siswa SMP Tewas Overdosis

Rabu 28 November 2012 20:12 WIB

Red: Heri Ruslan

Korban meninggal dunia (ilustrasi)

14
Foto: www.123rf.com

REPUBLIKA.CO.ID, CILACAP -- Penyalahgunaan obat di kalangan remaja


sungguh memprihatinkan.

Di Kabupaten Cilacap, dua siswa SMP warga Desa Tambaksari, Kecamatan


Kedungreja, tewas akibat overdosis setelah mencoba 'fly' dengan menggunakan
obat Dextromethorpan. Sedangkan dua orang lainnya, masih bisa diselamatkan
dan dalam perawatan.

Dua remaja yang meninggal itu bernama Kriswanto (13) dan Rahmanto (14).
Sedangkan dua remaja lain yang dirawat adalah Frengki (14) dan Torik (16).

''Kedua remaja yang berhasil diselamatkan tersebut, kini dirawat di Puskesmas


Kecamatan Sidareja,'' jelas Kesubag Humas Polres Cilacap AKP Siti Khayati,
Rabu (28/11).

Berdasarkan keterangan yang diproleh pihak kepolisian, keempat remaja tersebut


mengonsumsi obat yang sebenarnya merupakan obat batuk tersebut, di rumah
Torik di Desa Tambaksari, Senin (26/11) malam.Saat itu, orang tua Thorik sudah
tidur semua.

''Saat itu, Kriswanto mengonsumsi pil dextro sebanyak 18 butir, Rahmanto 30


butir, Frengki 20 butir, dan Torik mengonsumsi hingga 40 Butir,'' jelasnya.

Hingga padi hari, tidak ada penghuni rumah Thorik tersebut, yang tahu apa yang
dilakukan Thorik dan ketiga kawan-kawannya. Orang tua Thorik, baru tahu
bahwa keempatnya telah bermabuk-mabukkan semalam suntuk, pada Selasa
(28/11) pagi.

Oleh orang tua Thorik dan warga setempat, keempat remaja yang sudah dalam
kondisi diam tak bergerak tersebut langsung dilarikan ke Puskesmas Sidareja.
Sementara warga lainnya, melaporkan kejadian tersebut ke Polsek
Kedungreja.Namun petugas medis puskesmas setempat, memastikan bahwa
sebelum dibawa ke puskesmas, Kriswanto dan Rahmanto, sudah meninggal dunia.

15
Terkait kejadia ini, Siti Khayati mengatakan Polres Cilacap akan menggelar
sosialisasi kepada masyarakat untuk tidak mengonsumsi obat secara berlebihan.
Terlebih obat jenis dextromethorpan.

Pil dextro, atau dextromethorphan atau yang biasa disingkat dengan nama DMP,
adalah merupakan bahan aktif obat batuk yang memang dapat dibeli secara
bebas tanpa resep di apotik atau toko obat.

Bila dikonsumsi dalam dosis yang sesuai, pil DMP bermanfaat untuk menekan
batuk dan penurun demam.Cara kerja obat ini, adalah dengan menaikan ambang
batas rangsang batuk di bagian otak, bukan bekerja pada saluran pernapasan
seperti beberapa jenis obat lainnya.

Efek overdosis dextromethorphan, dengan kadar konsumsi 200-400 mg akan


menyebabkan euforia dan halusinasi. Konsumsi 300-600mg, akan ditambah
dengan gangguan penglihatan dan hilangnya koordinasi gerak tubuh. Sedangkan
mengonsumsi 500-1500mg, akan muncul perasaan bahwa jiwa dan raga seolah-
olah terpisah.

Siti Khayati mengaku, di kalangan remaja Cilacap, saat ini memang ada gejala
penyalahgunaan obat batuk itu untuk bermabuk-mabukkan.''Untuk itu, kita akan
menggelar sosialisasi ke apotik-apotik dan toko obat agar mengendalikan
penjualan obat jenis itu,'' katanya.

(Republika.id)

2.3.3 Buprenorfin
Buprenorfin (nama merek: Subutex)adalah opiat (narkotik) sintetis yang
kuat seperti heroin (putaw), tetapi tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat.
Seperti ,buprenorfin biasanya dipakai dalam program pengalihan narkoba, yaitu
program yang mengalihkan pengguna heroin pada obat lain yang lebih
aman.Buprenorfin bukan penyembuh untuk ketergantungan opiat: selama
memakai buprenorfin,penggunanya tetap tergantung pada opiat secara fisik.
Tetapi buprenorfinmenawarkan kesempatan pada penggunanya untuk mengubah
hidupnya menjadi lebih stabil dan mengurangi risiko terkait dengan penggunaan

16
narkoba suntikan, dan juga mengurangi kejahatan yang sering terkait dengan
kecanduan. Dan karena diminum, penggunaan metadon mengurangi penggunaan
jarum suntik bergantian,perilaku yang sangat berisiko penularan HIV dan virus
lain.
Latar belakang masuknya Buprenorfina ke dalam golongan narkotika lebih
didasari oleh tingginya angka penyalahgunaan zat tersebut di masyarakat.
Perpindahan penggolongan ini secara langsung menuntut pengaturan
penyelenggaraan yang lebih ketat. Ketika masih berada di golongan psikotropika,
pelaksanaan terapi dengan Buprenorfina dikelola lebih banyak oleh organisasi
profesi akan tetapi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika ini mengharuskan sebagian besar kota besar di Indonesia
memiliki jumlah pengguna opiat suntik (penasun) yang signifikan. Zat yang
mereka suntikkan bukan saja heroin, melainkan juga Buprenorfina.

2.3.3.1 Pemanfaatan Buprenorfina


Program Terapi Buprenorfina (PTB), khususnya yang bersifat Rumatan
diselenggarakan untuk meminimalisasi dampak buruk yang diakibatkan
penggunaan heroin atau opiat lain dengan cara suntik. Program ini disediakan
mengingat tidak semua pecandu heroin atau opiat lain mampu berhenti dari
perilaku penggunaan zatnya. PTB telah berlangsung di Indonesia sejak tahun
2002, dan hingga tahun 2010 telah diakses oleh lebih dari 3000 orang seluruh
Indonesia. Catatan tentang penggunaan Buprenorfina tidak tersedia secara akurat
karena selama ini pengaturan pencatatan dan pelaporan PTB tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Program buprenorfin sering mempunyai dua tujuan pilihan. Tujuan
pertama adalah untuk membantu pengguna berhenti memakai heroin, diganti
dengan takaran buprenorfin yang dikurangi tahap-demi-tahap selama jangka
waktu tertentu. Tujuan kedua adalah untuk mengurangi beberapa dampak buruk
akibat penggunaan heroin secara suntikan.Pilihan ini menyediakan terapi rumatan,
yang memberikan buprenorfin pada pengguna secara terus-menerus dengan
takaran yang disesuaikan agar pengguna tidak mengalami gejala putus zat (sakaw)
atau sedasi.

17
2.3.3.2 Efek dan Mekanisme Kerja Buprenorfina
Buprenorfin biasanya diberikan padaklien program dalam bentuk pil yang
tidakditelan, tetapi ditaruh di bawah lidah sampai larut. Proses ini membutuhkan
2-10 menit. Buprenorfin tidak bekerja bila dikunyah atau ditelan. Jangan
menyuntik tablet buprenorfin yang dibuatpuyer dan dilarutkan dengan
air.Buprenorfin seharusnya dipakai di bawah pengawasan di klinik setiap
hari.Setiap klien membutuhkan takaran yang berbeda, akibat perbedaan
metabolisme, berat badan dan toleransi terhadap opiat.Beberapa waktu dibutuhkan
untuk menentukan takaran buprenorfin yang tepat untuk setiap klien.Awalnya,
klien harus diamati setiap hari dan reaksi terhadap dosisnya dinilai.Jika klien
menunjukkan tanda atau gejala putus zat, takaran harus ditingkatkan.Umumnya
program mulai dengan takaran 2-4mg buprenorfin dan kemudian ditingkatkan 2-
4mg per hari.Biasanya klien bertahan dalam terapi dan mampu menghentikan
penggunaan heroin dengan takaran buprenorfin 12-24mg/hari, dengan maksimum
32mg/hari.
Buprenorfin dapat menyebabkan gejala putus zat bila dipakai segera
setelah opiat (heroin, morfin atau metadon). Buprenorfin mempunyai yang disebut
sebagai ‘efek plafon’.Setelah takaran buprenorfin tertentu dipakai, takaran yang
lebih tidak menimbulkan efek yang lebih tinggi.Oleh karena ini, overdosis
buprenorfin jarang terjadi, jadi dianggap lebih aman daripada metadon.Karena
buprenorfin bertahan lebih lama dalam darah dibandingkan metadon, untuk klien
tertentu dosis buprenorfin dapat diberikan setiap tiga hari.Buprenorfin sebaiknya
tidak dipakai oleh perempuan hamil atau mungkin menjadi hamil. Buprenorfin
juga dapat mengarah pada air susu ibu (ASI), dan memberi dampak buruk pada
bayi yang disusui. Oleh karena itu, ibu yang menyusui sebaiknya tidak memakai
buprenorfin.
Efek samping buprenorfin pada awalnya serupa dengan opiat lain,
termasuk sakit kepala, mual, muntah dan sembelit. Namun klien yang dialihkan
dari heroin ke buprenorfin jarang mengalami efek samping.Sebelum mulai
memakai buprenorfin, berhenti memakai heroin atau metadon untuk beberapa
waktu sehingga gejala putus zat timbul, sedikitnya delapan jam untuk heroin dan

18
24 jam untuk metadon. Bila mulai lebih cepat, dosis pertama buprenorfin akan
langsung membuat sakaw. Penggunaan buprenorfin tidak berisiko pada hati.
Buprenorfina yang seharusnya adalah obat terapi rumatan yang digunakan
secara sublingual, dalam 5 (lima) tahun belakangan ini telah banyak
disalahgunakan dengan cara suntik, terutama Buprenorfina bentuk tunggal.
Bahkan dalam sebuah survei perilaku terkini terhadap 3.321 orang pengakses
layanan pengurangan dampak buruk narkotika di wilayah Jawa dan Bali
menemukan bahwa zat yang paling banyak disuntikkan justru Buprenorfina
(dalam bentuk tunggal), diikuti dengan heroin, khususnya karena ketersediaan
heroin yang terbatas (HCPI, 2010). Berbagai faktor menjadi penyebab mengapa
penyuntikkan Buprenorfina dilakukan.Hasil kajian terapi substitusi opioida
(Kementerian Kesehatan-WHO, 2011) menunjukkan bahwa karena harganya yang
cukup mahal, dosis yang diterima menjadi kurang adekuat dan belum mencapai
dosis terapi.Hal ini membuat pecandu lebih memilih menyuntikkan Buprenorfina
yang tersedia dengan alasan penghematan.Di luar ini semua, tidak bisa pula
dikesampingkan kemungkinan penyalahgunaan terjadi karena faktor pengawasan
dan kontrol yang belum berjalan dengan baik.Pemerintah agar mengatur hal ini
lebih ketat. (Permenkes No.47 tahun 2016)
Pelaksanaan terapi terdiri dari 2 tahap, yaitu:
a. Inisiasi
Inisiasi Terapi Buprenorfina dapat berupa terapi awal atau terapi pada pasien yang
di transfer dari terapi Rumatan lainnya. Terapi awal adalah terapi yang diterima
oleh pasien pertama kali (tidak didahului oleh terapi Rumatan lainnya). Pada
tahap inisiasi pasien yang belum pernah mendapatkan terapi Rumatan lainnya,
harus mempertimbangkan:
1) Tingkat neuroadaptasi terhadap opioida.
Pasien dengan tingkat neuroadaptasi terhadap opioida yang rendah (toleransi
opioida rendah) harus memulai Terapi Buprenorfina/nalokson dengan dosis
rendah.
2) Tingkat gejala putus opioida setelah pemberian Buprenorfina pertama.

3) Kemungkinan penggunaan Napza lain pada saat yang sama.


4) Kondisi medis penyerta.

19
5) Durasi antara pemakaian heroin atau opioida lainnya terakhir kali dan
pemberian dosis Buprenorfina yang pertama.

6) Semakin lebar interval waktu antara pemakaian dosis terakhir Heroin atau
opioida lainnya dengan pemberian dosis pertama Buprenorfina, semakin baik
keluaran gejala putus opioida (prepicitated opioid withdrawal).
Pada tahap inisiasi pasien yang ditransfer dari terapi Rumatan lainnya,
selain hal diatas petugas harus mempertimbangkan:
1) Besar dosis obat yang dipakai pada terapi Rumatan sebelumnya.
2) Durasi antara pemakaian obat dari terapi Rumatan sebelumnya dan pemberian
dosis Buprenorfina yang pertama.
b. Stabilisasi
Dosis Rumatan optimal perlu diatur secara individual sesuai respon pasien
terhadap Buprenorfina-Nalokson. Respon pasien dapat bervariasi luas, sesuai
dengan faktor-faktor berikut ini:
1) Tingkat absorpsi atau metabolisme Buprenorfina-Nalokson.

2) Tingkat neuroadaptasi dan ketergantungan opioida.

3) Pengalaman mengalami efek samping.

4) Tetap sembunyi-sembunyi menggunakan obat-obat lain.


Kadar stabilisasi Buprenorfina umumnya cepat dicapai, dan efek
perubahan dosis terlihat dalam 2–3 hari.Karena itu, dosis Buprenorfina dapat lebih
cepat disesuaikan, dibandingkan dengan terapi Rumatan lainnya.
Evaluasi perlu dilakukan oleh dokter dalam beberapa minggu pertama:
1) Untuk penyesuaian dosis optimal Buprenorfina-nalokson secara individual
2) Untuk mengevaluasi pasien secara lebih komprehensif

3) Untuk mendiskusikan rencana tindak lanjut terapi.


Seiring perkembangan terapi, dokter harus mengevaluasi pasien 2-3 kali
seminggu hingga stabil:
1) Untuk mendapatkan dosis adekuat.

2) Untuk mendeteksi gejala putus zat atau efek samping.

3) Untuk memantau penggunaan napza lain secara sembunyi.

20
Dosis Rumatan Buprenorfina umumnya dicapai dalam 1-2 minggu
pertama proses terapi, tergantung dari ada tidaknya penggunaan opioida atau
napza lainnya.

2.3.3.4 Dampak Penyalahgunaan Buprenorfina

Menilik dari efek samping Buprenorfina maka dampak penyalahgunaan


sebagai berikut.Ada risiko pengguna narkoba suntikan akan menyalahgunakan
buprenorfin dengan menggerus tablet, melarutkannya dengan air, lalu memakai
larutan dengan cara suntikan. Hal ini menimbulkan dua masalah: pertama,
buprenorfin tidak larut dalam air, sehingga cairan mengandung gumpalan obat,
yang dapat memampatkan pembuluh darah, dengan risiko terjadi emboli
(penyumbatan), yang dapat mematikan. Kedua, perilaku suntikan terus berisiko
menyebarkan infeksi.Oleh karena itu, versi buprenorfin yang tersedia di Indonesia
dikombinasikan dengan nalokson, obat yang dipakai untuk mengobati overdosis
opiat.Versi ini dikenal sebagai Suboxone.Nalokson hanya bekerja bila disuntikkan
pada pembuluh darah, jadi bila dipakai melalui mulut, tidak ada dampak. Tetapi
bila Suboxone disuntik, nalokson langsung melawan dengan buprenorfin,
sehingga tidak ada efek sama sekali dari buprenorfin. Oleh karena itu, pengguna
dihindari memakainya dengan cara suntikan.

– Rasa Kantuk
– Pusing
– Kelelahan
– Susah buang air
– Sakit kepala
– Mual/Muntah
– Pernafasan yang tersendat
– Perubahan mental
– Perubahan Mood (depresi)
– Gangguan perut
– Masalah kulit

21
– Masalah penglihatan
– Kematian yang terjadi dari over dosis

2.3.3.4 Contoh Kasus Penyalahgunaan

BUPRENORFIN, OBAT PECANDU NARKOBA SERING


DISALAHGUNAKAN

Penggunaan buprenorfin sebagai obat untuk pecandu narkoba efektif menekan


angka pengguna narkotika dan penyebaran penyakit HIV/AIDS.Namun obat jenis
ini kerap kali disalahgunakan oleh pasien yang mengambil terapi ini.
Tim Medis Poli Metadon RSUD dr Soetomo, Prof dr Hendy M SpKJ di Surabaya,
Jumat (21/5) mengatakan obat jenis buprenorfin seringkali disalahgunakan dengan
disuntikkan pada tubuh pasien. Padahal, obat yang berbentuk kablet ini
merupakan obat yang ditelan dengan diletakkan di bawah lidah.Bila disuntikkan
maka bisa berdampak buruk pada pasien."Bila disuntikkan akibatnya mulai dari
tersumbatnya pembuluh darah hingga kematian karena pernafasan yang terhenti,"
katanya.
Banyaknya potensi penyalahgunaan itu karena pasien merasa lebih nyaman bila
obat yang termasuk narkotika golongan 3 itu disuntikkan.Sehingga pasien banyak
yang mengakali petugas kesehatan atau dokter dengan pura-pura meletakkan di
bawah lidah.Bahaya lain bila obat tersebut dimasukkan ke dalam tubuh melalui
jarum suntik adalah penularan penyakit HIV/AIDS. Hal ini berbeda dengan tujuan
pemerintah yang menginginkan agar terapi ini mampu mengurangi pengguna
narkoba dan menekan angka HIV/AIDS.

Oleh karena itu, Hendy mengharapkan agar masyarakat sekitar juga ikut
mengawasi penyalahgunaan obat ini dengan mengingatkan orang
sekitarnya.Melalui pengawasan tersebut, obat terapi ini bisa digunakan sesuai
dengan aturan medis.

"Kita harus bekerjasama untuk menekan penyalahgunaan obat ini.Obat terapi ini
mempunyai dampak yang cukup besar untuk kesehatan pengguna narkoba,"
tambahnya.

22
Siapkan Empat Layanan Buprenorfin

Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya hanya mampu menyiapkan empat


layanan kesehatan buprenorfin yang merupakan substitusi untuk mengurangi
kecanduan terhadap narkoba. "Di Surabaya, estimasi kami ada 2.000-4.000 pelaku
penyalahgunaan narkoba dengan 50 persen di antaranya berpotensi HIV, tapi
kemampuan kami terbatas," kata Kabid Pengendalian Masalah Kesehatan
Masyarakat Dinkes Surabaya, dr Ina Aniati.

Selain itu, pihaknya menyadari jumlah dokter dan jumlah pasien narkoba yang
perlu layanan buprenorfin tidak seimbang, namun kami hanya mampu melayani
mereka pada RSUD dr Soetomo, RSJ Menur, Puskesmas Jagir, dan Puskesmas
Manukan Kulon," katanya.

Menurut dia, sebenarnya menyiapkan enam puskesmas, namun pihaknya


mengalami keterbatasan dokter dan anggaran untuk pengadaan buprenorfin,
karena itu empat puskesmas rintisan itu hanya melayani jarum suntik steril bagi
pengguna narkoba.

"Paling tidak, penggunaan jarum suntik steril yang tidak digunakan lebih dari satu
pengguna narkoba akan mengurangi potensi HIV/AIDS, namun kami akan
berupaya meningkatkan rumah sakit atau puskesmas yang melayani buprenorfin,"
katanya. Masalahnya, kata Ina, pengguna buprenorfin juga banyak yang
menyalahgunakan sarana substitusi narkoba itu dengan cara disuntikkan, padahal
penggunaan buprenorfin itu bilingual atau diletakkan di bawah lidah hingga larut
dalam 3-5 menit.

"Kalau disuntikkan justru akan mengandung dua risiko, yakni potensi HIV/AIDS
dan buprenorfin yang disuntikkan dalam kondisi partikel akan menyebabkan
penyumbatan darah, sehingga pengguna narkoba mengalami stroke, lumpuh, dan
sejenisnya," katanya.

23
Karena itu, para pengguna buprenorfin hendaknya menjalani perawatan pada
dokter yang bersertifikat untuk menerima pengobatan serta pendampingan
psikososial.(dra)

Sumber :http://kominfo.jatimprov.go.id/read/umum/22012

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pada tujuan penulisan, maka kesimpulan sebagai berikut.

1. Peraturan Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017


menyebutkan terdapat 15 jenis narkotika golongan 3.
2. Jenis narkotika yang umum di masyarakat antara lain adalah kdein ,
dekstrometorfan dan buprenorfin.
3. Pemanfaatan narkotika golongan III yang umum dimasyarakat ;
a. Kodein digunakan sebagai penghilang rasa sakit, pereda nyeri,
menangani batuk tidak berdahak, serta mengurangi gejala diare.
b. Dekstrometorfan digunakan sebagai penekan batuk khususnya batuk
tidak berdahak.
c. Buprenorfin digunakan untuk membantu penghentian pemakaian heroin
pada pecandu serta mengurangi dampak yang ditimbulkan.
4. Efek penggunaan ketiga jenis narkotika golongan 3 hampir sama diantaranya
yaitu mengantuk , mual , pusing, sembelit, gangguan pencernaan, dll.
Sedangkan mekanisme kerja ketiganya tergantung pada pemanfaatan obat
tersebut pada intinya obat merangsang menuju saraf pusat.
5. Dampak penyalahgunaan narkotika golongan 3 yang umum di masyarakat ini
bermacam-macam sedangkan yang sering ditimbulkan adalah rasa senang
yang berlebihan, gangguan pernapasan, gangguan pada indera bahkan
kematian.
6. Kasus narkotika golongan 3 yang umum di masyarakat diantaranya;
- Penyalahgunaan kodein di Amerika Serikat
- Salahgunakan Obat Batuk, Dua Siswa SMP Tewas Overdosis
- Buprenorfin, Obat Pecandu Narkoba Sering Disalahgunakan
3.2 Saran
1. Pembaca lebih memperbanyak informasi dari berbagai literature mengenai
narkotika golongan 3.
2. Memahami narkotika golongan 3 lebih sempurna

25
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM RI.2012. Mengenal Penyalahgunaan Dekstrometorfan. Vol 13. No. 6


Jakarta : Penerbit Badan POM RI.

Bonauli, Nina. 2010.Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis BertingkatPer


Oral Terhadap Gambaran Histopatologi Hepar Tikus Wistar. Semarang:
Universitas Diponegoro.

Gitawati,R. 2014. Bahan Aktif dalam Kombinasi Obat Flu dan Batuk-Pilek dan
Pemilihan Obat Flu yang Rasional. Media Litbangkes. Vol 24. No.1.

ISFI. ISO indonesia: Informasi spesialite obat. Vol 42. Jakarta: ISFI; 2007. p.

294-329.

Joewana, Satya.2005.Gangguan Mental dan Perilaku Akibat Penggunaan Zat


Psikoaktif : Penyalahgunaan NAPZA/NARKOBA. Jakarta: Gramedia.

Martindal.2009. The Complete Drug Reference.

Santoso HSO, Dewoto HR. 2005. Analgesik opioid dan antagonis.Farmakologi


dan Terapi edisi ke-4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

Sofiyah.2007. Mengenal Napza dan Bahayanya. Jakarta: Gramedia

Stuart & Sundeen.1998. Buku Keperawatan (alih bahasa) Achir Yani S.


Hamid.Edisi 3.Jakarta : EGC.

Tjandra, Aditya. 2010.Pengaruh Pemberian Dekstrometorfan Dosis Bertingkat


Per Oral Terhadap Gambaran Histopatologi Otak Tikus Wistar.
Semarang : Universitas Diponegoro.

Tjay,Tan Hoan &Kirana Rahardja.2002. Obat-Obat Terlarang.Jakarta: Gramedia.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

26
27

Anda mungkin juga menyukai