Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma


nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak
yang sering ditemukan di nasofaring, dan sering ditemukan pada remaja pria berusia
antara 14-25 dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak yang ada di
kepala dan leher. Istilah juvenile nasopharyngeal angiofibroma ini adalah istilah
yang kurang tepat karena tumor juga dapat ditemukan pada usia kurang dari 10
tahun, usia yang lebih tua, wanita dan ibu hamil. Insiden pada usia dewasa sangat
jarang ditemukan. 1

Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan.


Tumor ini secara histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secara klinis bersifat
destruktif. Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang
disekitarnya dan dapat meluas ke sinus paranasal, fossa pterigomaksila, fossa
infratemporal, fossa temporal, pipi, orbita, dasar tengkorak dan rongga intrakranial.
Perluasan ke intrakranial 10-30 % dari semua kasus dengan bagian yang sering
dikenai adalah kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan media. Secara
histopatologis tumor mengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat fibrosa dan
unsur pembuluh darah. Dinding pembuluh darah tidak mengandung jaringan ikat
elastis dan lapisan otot, sehingga mudah terjadi perdarahan hebat saat disentuh. 2

Penyebab tumor ini belum diketahui secara jelas. Banyak penulis yang
mengajukan berbagai macam teori, tetapi secara garis besar dibagi menjadi 2
golongan yaitu teori jaringan asal tumbuh dan teori hormonal. Keluhan paling sering
dijumpai adalah hidung tersumbat yang bersifat progresif, epistaksis berulang dan
rinore kronik. Hidung tersumbat bersifat unilateral dikeluhkan lebih dari 80%
pasien. 3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI FARING

2.1.1 LOKASI DAN DESKRIPSI

Faring terletak di belakang cavum nasi, mulut dan laring. Bentuknya


mirip corong dengan bagian atasnya yang lebar terletak di bawah cranium dan di
bagian bawahnya yang sempit dilanjutkan sebagi esofagus setinggi vertebra
cervikalis enam. Faring mempunyai dinding muskulomembranosa yang tidak
sempurna di bagian depan. Di sini, jaringan muskulomembranosa diganti oleh
apertura nasalis posterior, isthmus faucium (muara ke dalam rongga mulut), dan
aditus larynges.4

2
2.1.2 OTOT-OTOT FARING

Otot-otot faring terdiri atas m. contrictor pharyngis superior, medius dan


inferior, yang serabut-serabutnya berjalan hampir melingkar dan m.
stylopharyngeus serta m. salphingopharyngeus yang serabut-serabutnya berjalan
ke arah hampir longitudinal.

Kontraksi otot-otot constrictor secara berturut-turut mendorong bolus


ke bawah masuk ke dalam esofagus. Serabu-serabut paling bawah m. constrictor
pharyngis inferior kadang-kadang di sebut m. cricopharyngeus. Otot ini diyakini
melakukan efek sphincter pada ujung bawah faring, yang mencegah masuknya
udara ke dalam esofagus selama gerakan menelan. 4

2.1.3 BAGIAN DALAM FARING


a. Nasofaring
Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle. Bila
palatum molle di angkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti
waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai
atap, datap, dinding anterior, dinding posterior dan dinding lateral.
- Atap dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis
occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis,
terdapat di dalam submukosa daerah ini.
- Dasar dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus
pharyngeus adalah lubang di dasar nasofaring di antara pinggir bebas
palatum molle dan dinding posterior faring. Selama menelan, hubungan
antara naso dan orofaring tertutup oleh naiknya palatum molle dan
tertariknya dinding posterior faring ke depan.
- Dinding anterior dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh
pinggir posterior septum nasi.
- Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan
dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis.

3
- Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke
faring. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba.
M. salphingoparyngeus yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk
lipatan vertikal pada membran mucosa yang disebut plica
salphingopharyngeus. Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil pada
dinding lateral di belakang elevasi tuba. Kumpulan jaringan limfoid di dalam
submukosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria.
b. Orofaring
Orofaring terletak di belakang cavum oris dan berentang dari palatum molle
sampai ke pinggir atas epiglotis. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding
anterior, dinding posterior dan dinding lateral.
- Atap dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus
pharyngeus. Kumpulan kcil jaringan limfoid terdapat di dalam submukosa
permukaan bawah palatum molle
- Dasar dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir vertikal) dan
celah antara lidah permukaan anterior epiglotis. Membrana mucosa yang
meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk ireguler, yang disebabkan oleh
adanya jaringan limfoid di bawahnya, disebut tonsila liguae. Membrana
mukosa melipat dari lidah menuju ke epiglotis. Pada garis tengah terdapat
elevasi yang disebut plica glossoepiglotica mediana dan dua plica
glossoepiglotica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glossoepiglotica
mediana disebut vallecula.
- Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus orofaring
(isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat parss pharyngeus linguae.\
- Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra cerviklais kedua dan
bagian atas corpus vertebra servikais ketiga.
- Dinding lateral. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglossus
dan asrcus palatopharyngeus dengan tonsila palatina diantaranya.
c. Laringofaring
Laringofaring terletak dibelakang aditus larynges dan permukaan posterior
laring, dan terbentang dari pinggir atas epiglotis sampai dengan pinggir bawah

4
cartilago cricoidea. Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior dan
lateral.
- Dinding anterior dibentuk oleh aditus laryngis dan membrana mucosa yang
meliputi permukaan posterior laring
- Dinding posterior disokong oleh corpus vertebra cervikalis ketiga, keempat,
kelima dan keenam
- Dinding lateral disokong oleh cartilago thyroidea dan membrana
thyrohyoidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrana, disebut fossa
piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan
miring ke bawah dan belakang dari dorsum linguae menuju ke esofagus.
Fossa piriformis dibatasi di medial oleh plica aryepiglottica dan di lateral
oleh lamina cartilagoo thyroidea dan membrana thyrohyoidea. 4

2.1.4 FISIOLOGI FARING


a. Nasofaring
Fungsi utama nasofaring adalah sebagai tabung kaku dan terbuka untuk
udara pernapasan. Pada waktu menelan, muntah, bersendawa dan tercekik,
nasofaring akan terpisah dengan sempurna dari orofaring karena palatum
mole terangkat sampai ke dinding posterior orofaring.
Nasofaring juga merupakan saluran ventilasi dari telinga tengah melalui tuba
Eustachius dan sebagai saluran untuk drainase dari hidung dan tuba
Eustachius. Sebagai ruang resonansi dangar penting dalam pembentukan
suara.
b. Orofaring dan laringooofaring
Bagian dari faring ini tidak hanya berfungsi sebagai saluran napas, tetapi
juga sebagai saluran drainase dari nasofaring, sebagai saluran makanan dan
minuman dari dalam mulut, terakhir sebagai ruang resonansi pada
pembentukan suara. Saluran ini terbuka terus selama bernapas, kecuali pada
waktu menelan atau muntah. Jaringan limfoid yang terdapat dalam
nasofaring, ororfaring dan laringofaring juga berfungsi sebagai pelindung,

5
menghilangkan dan menghancurkan benda asing yang masuk melalui mulut
dan hidung serta ikut serta dalam pembentukan antibodi.
Mekanisme menelan terdiri dari tiga fase yang penting. Fase pertama atau
fase di bawah kehendak, terjadi jika bolus makanan atau minuman didalam
mulut, setelah di kunyah, didorong oleh lidah dan kontraksi pilar tonsil
melalui arkus faring. Pada saat ini, terjadi kontraksi palatum mole dan
menutup nasofaring, fase kedua terjadi di luar kehendak dan meliputi jalan
makanan dari faring sampai ke introitus esofagus. Fase terakhir, juga di luar
kehendak, timbul jika makanan berjalan sepanjang esofagus. Kontaksi
m.konstriktor faringeus menekan makanan ke bawah masuk introitus
esofagus yang akan membuka untuk menerima makanan. Selama fase kedua,
epiglotis terangkat dan sfingter laring bagian superior tertutup. Perjalanan
makanan turun sepanjang esofagus dibantu oleh tekanan positif, gelombang
peristaltik dinding esofagus dan tekanan negatif di dalam lumen esofagus. 5

2.2 ANGIOFIBROMA NASOFARING


2.2.1 DEFINISI

Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah di


nasofaring yang secara histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena
mempunyai kemampuan mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya,
seperti ke sinus paranasal, pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah
berdarah yang sulit dihentikan. 6

2.2.2 ETIOLOGI

Etiologi tumor ini masih belum jelas, berbagai macam teori banyak di
ajukan. Salah satu diantaranya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa
tempat perlekatan spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap
rongga hidung. Faktor ketidakseimbangan hormonal juga banyak dikemukakan
sebagai penyebab adanya kekurangan androgen atau kelebihan esterogen.
Anggapan ini didasarkan juga atas adanya hubungan erat antra tumor dengan

6
jebis kelamin dan umur. Banyak ditemukan pada anak atau remaja laki-laki.
Itulah sebabnya tumor ini disebut juga angiofibroma nasofaring belia (Juvenille
nasopharyngeal angiofibroma).6

2.2.3 EPIDEMIOLOGI

Tumor ini jarang ditemukan, frekuensinya 1/5000-1/6000 dari pasien


THT, diperkirakan hanya merupakan 0,05 persen dari tumor leher dan kepala.
Tumor ini umumnya terjadi pada laki-laki dekade ke-2 antara 7-19 tahun. Jarang
terjadi pada usia lebih dari 25 tahun. 6

2.2.4 PATOGENESIS

Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior


dan lateral koana di atap nasofaring. Tumor ini akan tumbuh besar dan meluas di
bawah mukosa, sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan
meluas ke arah bawah membentuk tonjolan massa di atap rongga hidung
posterior. Perluasan ke arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong
septum ke sisi kontralateral dan mempipihkan konka. Pada perluasan ke arah
lateral, tumor melebar ke arah foramen sfenopalatina, masuk ke fisura
pterigomaksila dan akan mendesak dinding posterior sinus maksila. Bila meluas
terus, akan masuk ke fosa intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di
pipi, dan rasa penuh di wajah. Apabila tumor ini telah mendorong salah satu atau
kedua bola mata maka tampak gejala yang khas pada wajah, yang disebut “muka
kodok”. Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fosa serebri media. Dari
sinus etmoid masuk ke fosa serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus
kavernosus dan fosa hipofise. 6

2.2.5 DIAGNOSIS

Diagnosis biasanya hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Gejala


yang paling sering ditemukan (lebih dari 80 %) ialah hidung tersumbat yang
progresif dan epistaksis berulang yang masif. Adanya obstruksi hidung
memudahkan terjadinya penimbunan sekret, sehingga timbul rinorea kronis yang

7
diikuti oleh gangguan penciuman. Tuba Eustachius akan menimbulkan ketulian
atau otalgia. Sefalgia hebat biasanya menunjukkan bahawa tumor sudah meluas
ke intrakranial. 6,7

Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa


tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh
selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda,
pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen
fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang
ditemukan adanya ulserasi. 6,7

Karena tumor ini sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan


penunjang diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT Scan
serta pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto
posisi Waters) akan terlihat gambaran klasik yang disebut tanda “Holdman
Miller” yaitu pendorongan prosesus pterigoideus ke belakang, sehingga fisura
pterigo-palatina melebar. Akan terlihat juga adanya massa jaringan lunak di
daerah nasofaring yang dapat mengorasi dinding orbita, arkus zigoma dan tulang
disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan CT Scan dengan kontras akan tampak
secara tepat perluasan tumor serta destruksi tulang ke jaringan sekitarnya. 6,7

Pemeriksaan magnetik resonansi imaging (MRI) dilakukan untuk


menentukan batas tumor terutama yang telah meluas ke intra kranial. 6,7

Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis eksterna akan


memperlihatkan vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang
a.maksila interna homolateral. Arteri maksilaris terdorong ke depan sebagai
akibat dari pertumbuhan tumor dari posterior ke anterior dan dari nasofaring ke
arah fosa pterigomaksila. Selain itu, masa tumor akan terisi oleh kontras pada
fase kapiler dan akan mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras
disuntikkan. Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi

8
trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang danakan
mempermudah pengangkatan tumor. Pemeriksaan kadar hormonal dan
pemeriksaan immunohistokimia terhadap reseptor estrogen, pogesteron dan
androgen sebaiknya dilakukan untuk melihat adanya gangguan hormonal.
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi merupakan
kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif. 6

2.2.6 STADIUM

Untuk menentukan derajat atau stadium tumor umumnya saat ini


menggunakan klasifikasi Session dan Fisch.6

KLASIFIKASI
MENURUT SESSION
Stadium IA Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal voult
Stadium IB Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult
dengan meluas sedikitnya 1 sinus paranasal
Stadium IIA Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila
Stadium IIB Tumor memenuhi fossa pterigomaksila tanpa mengerosi tulang
orbita
Stadium IIIA Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit ke
intarakranial
Stadium IIIB Tumor telah meluas ke intra kranial dengan atau tanpa meluas
ke sinus kavernosa

9
KLASIFIKASI
MENURUT FISCH
Stadium I Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa
mendestruksi tulang
Stadium II Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang
Stadium III Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau
regio paraselar
Stadium IV Tumor menginvasi sinus kafernosus, regio chiasma optik dan
atau fossa pituitary

2.2.7 PENGOBATAN

Tindakan operasi merupakan pilihan utama selain terapi hormonal,


radioterapi. Operasi harus dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas cukup,
karena risiko perdarahan yang hebat. Berbagai pendekatan operasi dapat
dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya, seperti melalui
transpalatal, rinotomi lateral, rinotomi sublabial (sublabial mid-facial degloving)
atau kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal bila sudah meluas ke
intrakranial. Selain itu operasi melalui bedah endoskopi transnasal juga dapat
dilakukan dengan dipandu CT Scan 3 dimensi dan pengangkatan tumor dapat di
bantu dengan laser. Sebelum dilakukan operasi pengangkatan tumor selain
embolisasi untuk mengurangi pendarahan yang banyak dapat dilakukan ligasi
arteri karotis eksterna dan anestesi dengan teknik hipotensi. 6

Pengobatan hormonal diberikan pada pasien dengan stadium I dan II


dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid). Pengobatan radioterapi
dapat dilakukan dengan streotaktik radioterapi (Gma Knife) atau jika tumor
meluas ke intrakranial dengan radioterapi konformal 3 dimensi. Untuk tumor
yang sudah meluas ke jaringan sekitarnya dan mendestruksi dasar tengkorak
sebaiknya diberikan radioterapi prabedah arau dapat pula diberikan terapi

10
hormonal dengan preparat testosteron reseptor bloker (flutamid) 6 minggu
sebelum operasi, meskipun hasilnya tidak sebaik radioterapi.6

11
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Tumor jinak yang sangat langka ini teradapat hampir ekslusif pada pria
remaja. Tumor ini biasanya terbentuk di area choana posterior dan nasofaring.
Meskipun fibroma nasofaring merupakan neoplasma jinak, tumor ini tumbuh
dengan menimbulkan kerusakan dan infiltrasi setempat, tetapi tidak bermetastase. 3

Pasien dikenali karena mengalami gangguan pernapasan dan serangan


epistaksis yang berat. Akibat lesi desak ruang di nasofaring, tumor ini dapat
menggangu fungsi tuba dengan gejala telinga terkait. Pada tumor yang masif, muka
dapat membengkak, mungkin dengan eksoftalmus. Diagnosis ditegakkan dengan
bantuan endoskopi. Dengan pemeriksaan CT Scan dan MRI, luas penyebaran dan
infiltrasi tumor ke dalam struktur sekitar dapat di nilai. Dengan suntikan zat kontras
ke suatu arteri penyuplai, pembuluuuh darah tumor dapat diperlihatkan secara
selektif. Biopsi tidak perlu dilakukan. Jika biopsi dilakukan, perdarahan masif yang
sulit dihentikan dapat terjadi karena banyaknya suplai darah tumor tersebut.3

Fibroma nasofaring juvenil harus diangkat sepenuhnya melalui pembedahan


karena tumor ini cenderung kambuh. Sebelumnya, suplai darah tumor ini harus
dikurangi malalui embolisasi selektif karena jika tidak demikian, setiap intervensi
dapat menimbulkan perdarahan hebat. Radiasi dilakukan hanya pada tumor yang
tidak dapat dioperasi. 3

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardani dkk. 2012. Bedah sinonasal endoskopik angiofibroma nasofaring


belia: laporan seri kasus berbasis bukti (evidence based). Departemen Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala-Leher : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Rahman S, Budiman BJ dan Azani S. Angiofibroma Nasofaring Pada Dewasa.
Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala-Leher:
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang.
3. Nagel P dan Gurkov R. 2012. Fibroma nasofaring juvenil (Angiofibroma).
Dalam: Dasar-dasar Ilmu THT. Edisi 2. Jakarta: EGC.
4. Snell, RS. 2012. Anatomi pharynx. Dalam: Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC
5. Ballenger, JJ. 2012. Anatomi bedah faring. Dalam: Penyakit Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid I. Jakarta: Binarupa Aksara Publisher.
6. Soepardi, EA dkk. 2012. Angiofibroma nasofaring belia. Dalam: Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ketujuh.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia.
7. Adams. GL dkk. 2013. Penyakit-penyakit nasofaring dan orofaring. Dalam:
Boies Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta: EGC.

13

Anda mungkin juga menyukai