Makalah Filsafat Hukum Doc PDF
Makalah Filsafat Hukum Doc PDF
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya, penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 tentang sistem pemerintahan Indonesia
dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsstaat) bukan berdasarkan atas
kekuasaan belaka (machtsstaat), dalam hal ini terlihat bahwa kata “hukum” dijadikan lawan kata
“kekuasaan”. Tetapi apabila kekuasaan adalah serba penekanan, intimidasi, tirani, kekerasan dan
pemaksaan maka secara filosofis dapat saja hukum dimanfaatkan oleh pihak tertentu yang menguntungkan
dirinya tetapi merugikan orang lain.
Hubungannya dengan hal tersbut di atas, maka sesungguhnya perlu dipahami akan makna dari
filsafat hukum. Filsafat hukum mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”, tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari
hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu,
filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan
hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif
hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas,
peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem hukumnya sendiri.
Berbeda dengan pemahaman yang demikian itu, filsafat hukum mengambil sebagai fenomena
universal sebagai sasaran perhatiannya, untuk kemudian dikupas dengan menggunakan standar analisa
seperti tersebut di atas. Suatu hal yang menarik adalah, bahwa “ilmu hukum” atau“jurisprudence” juga
mempermasalahkan hukum dalam kerangka yang tidak berbeda dengan filsafat hukum. Ilmu hukum dan
filsafat hukum adalah nama-nama untuk satu bidang ilmu yang mempelajari hukum secara sama.
Pemikiran tentang Filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri seberapa jauh
penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari, juga untuk menunjukkan ketidaksesuaian
antara teori dan praktek hukum. Manusia memanipulasi kenyataan hukum yang baik menjadi tidak
bermakna karena ditafsirkan dengan keliru, sengaja dikelirukan, dan disalahtafsirkan untuk mencapai
kepentingan tertentu. Banyaknya kasus hukum yang tidak terselesaikan karena ditarik ke masalah politik.
Kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang sistematik sehingga peradilan tidak
menemukan keadaan yang sebenarnya. Kebijaksanaan pemerintah tidak mampu membawa hukum menjadi
“panglima” dalam menentukan keadilan, sebab hukum dikebiri oleh sekelompok orang yang mampu
membelinya atau orang yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi. Dalam beberapa dekade terakhir,
fenomena pelecehan terhadap hukum semakin marak. Tindakan pengadilan seringkali tidak bijak karena
tidak memberi kepuasan pada masyarakat. Hakim tidak lagi memberikan putusan adil pada setiap
pengadilan yang berjalan karena tidak melalui prosedur yang benar. Perkara diputuskan dengan undang-
undang yang telah dipesan dengan kerjasama antara pembuat Undang-undang dengan pelaku kejahatan
yang kecerdasannya mampu membelokkan makna peraturan hukum dan pendapat hakim sehingga
berkembanglah “mafia peradilan”. Produk hukum telah dikelabui oleh pelanggarnya sehingga kewibawaan
hukum jatuh. Manusia lepas dari jeratan hukum karena hukum yang dipakai telah dikemas secara
sistematik sehingga perkara tidak dapat diadili secara tuntas bahkan justru berkepanjangan dan akhirnya
lenyap tertimbun masalah baru yang lebih aktual. Keadaan dan kenyataan hukum dewasa ini sangat
memprihatinkan karena peraturan perundang-undangan hanya menjadi lalu lintas peraturan, tidak
menyentuh persoalan pokoknya, tetapi berkembang, menjabar dengan aspirasi dan interpretasi yang tidak
sampai pada kebenaran, keadilan dan kejujuran. Fungsi hukum tidak bermakna lagi, karena adanya
kebebasan tafsiran tanpa batas yang dimotori oleh kekuatan politik yang dikemas dengan tujuan tertentu.
Hukum hanya menjadi sandaran politik untuk mencapai tujuan, padahal politik sulit ditemukan arahnya.
Politik berdimensi multi tujuan, bergeser sesuai dengan garis partai yang mampu menerobos hukum dari
sudut manapun asal sampai pada tujuan dan target yang dikehendaki.
Perlunya kita mengetahui filsafat hukum karena relevan untuk membangun kondisi hukum yang
sebenarnya, sebab tugas filsafat hukum adalah menjelaskan nilai dasar hukum secara filosofis yang mampu
memformulasikan cita-cita keadilan, ketertiban di dalam kehidupan yang relevan dengan pernyataan-
kenyataan hukum yang berlaku, bahkan merubah secara radikal dengan tekanan hasrat manusia melalui
paradigma hukum baru guna memenuhi perkembangan hukum pada suatu masa dan tempat tertentu.
Olehnya itu, dari ilustrasi latar belakang di atas penulis tertarik megambil judul makalah mengenai
hakekat, pengertian hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum.
B. Rumusan Masalah
Adapaun yang menjadi rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana hakekat, pengertian
hukum sebagai obyek telaah filsafat hukum ?
BAB II
PEMBAHASAN
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada dasarnya hakekat hukum yang ideal sebagai obyek filsafat hukum tentunyamempersoalkan
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan-pertanyaan tentang “hakikat hukum”,
tentang “dasar-dasar bagi kekuatan mengikat dari hukum”, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang
bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa dihadapkan kepada ilmu hukum
positif. Sekalipun sama-sama menggarap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut
pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum
tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas-asas, peraturan-peraturan, bidang-bidang serta sistem
hukumnya sendiri.
Oleh sebab itu, hukum harus melindungi kepentingan-kepentingan sebagimana yang dikemukakan
oleh Pound yaitu sebagai berikut :
1. Kepentingan Umum (Public Interest), terdiri dari
a. kepentingan negara sebagai badan hukum;
b. kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
2. Kepentingan Masyarakat (Social Interest):
a. kepentingan akan kedamaian dan ketertiban;
b. perlindungan lembaga-lembaga sosial;
c. pencegahan kemerosotan akhlak;
d. pencegahan pelanggaran hak;
e. kesejahteraan sosial.
3. Kepentingan Pribadi (Private Recht):
a. kepentingan individu;
b. kepentingan keluarga;
c. kepentingan hak milik.
B. Saran
Sebagai bentuk saran dari penulis hubungannya dengan hakekat, pengertian hukum sebagai obyek
telaah filsafat hukum yakni sebagai insan yang berpikir tentunya dapat membedakan yang mana yang haq
dan mana yang bathil, mana yang salah dan mana yang benar. Utamanya kepada para penegak hukum,
haruslah mengetahui akan makna hukum itu sendiri agar tidak terjebak dalam dinamika perdebatan akan
makna hukum itu, sehingga dengan demikian mereka mampu menegakkan hukum secara ideal yang
mengedepankan keselarasan antara keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum
DAFTAR PUSTAKA
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993.
Kencana, Syafiie Inu, Pegantar Filsafat. Penerbit PT Refika Aditama, Bandung, 2004.
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, cetakan kedua , Badan Penerbit Iblam Jakarta, 2006
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, (Terj.) Muhammad radjab, Penerbit Bhratara, Jakarta, 1996.
Rasjidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.
Soeyono Koesoemo Sisworo, “Beberapa Pemikiran Tentang Filsafat Hukum”, Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang.
Soeyono Koesoemo Sisworo, Pidato Ilmiah Dies Natalis Ke-25 UNISSULA, “Dengan semangat Sultan
Agung Kita Tegakkan Hukum dan Keadilan berdasarkan kebenaran, suatu perjuangan yang tidak pernah
tuntas”.