Anda di halaman 1dari 5

TOPIK

Kerahasiaan Medis Saat Konflik Bersenjata

Jones R
Dokter pada Organisasi Kemanusiaan Internasional

‘Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
dan karena keilmuan saya sebagai dokter’

Sumpah dokter berdasarkan PP tahun 1983 ini tampaknya merupakan kewajiban


moral. Kenyataannya, menjaga rahasia jabatan tidaklah semudah teorinya.
Dilema muncul ketika ia harus menjaga rahasia pasien atau membukanya demi
kepentingan lain yang lebih bermanfaat, terutama menyangkut kepentingan
umum. Namun, di daerah konflik seperti kerusuhan etnis di Kalimantan; konflik
horisontal di Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah; atau pada pertikaian
bersenjata di Aceh dan Papua; banyak sejawat dokter dan petugas kesehatan
lainnya menghadapi tidak hanya dilemma, bahkan risiko keamanan pribadi,
profesi, dan institusi sehubungan dengan kerahasiaan medis. Wajibkah mereka
melaporkan segala kasus cedera, misalnya luka tembak, luka bacok, atau luka
bakar? Kepada siapakah mereka harus melaporkannya? Informasi apa yang
boleh atau tidak boleh disampaikan? Kapankah mereka harus melakukannya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah semudah mengikuti pedoman seperti


yang disampaikan oleh pakar etik Prof. Ratna Suprapti Samil:

‘Seorang dokter dilarang membuka rahasia (apa yang telah dipercayakan


kepadanya) selama pasien dalam perawatannya. Ia juga dilarang
mengungkapkan kekurangan-kekurangan yang ada pada si pasien, kecuali
untuk keperluan sidang pengadilan, atau kalau hal tersebut penting untuk
melindungi keamanan si individu atau untuk kesejahteraan masyarakat 1.

"Kode Etik Kedokteran Indonesia" tidak memberikan arahan yang tegas karena
tidak ada batasan yang pasti dan jelas kapan seorang dokter harus menyimpan
rahasia penderita serta kapan ia dapat memberikan keterangan pada pihak yang
membutuhkan1. Ketika hukum dan peradilan di daerah konflik tidak berjalan
sebagaimana mestinya, maka sejawat dokter non-militer menghadapi ‘keadaan
terpaksa’. Bagi sejawat dokter sipil yang bekerja di Aceh dan Papua di mana
aparat keamanan terlibat pertikaian melawan kelompok bersenjata lain, risiko
menjadi sedemikian besar. Apakah ikatan profesi dan otoritas sipil, khususnya
dinas kesehatan, dapat menjadi tempat untuk paling tidak bertanya kalau bukan
mendapatkan perlindungan?
Sebagai negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
tambahan I 1977, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menerapkan standar
hukum perikemanusiaan internasional dalam pertikaian bersenjata antar negara
dan pertikaian bersenjata internal. Dalam hal ini, pertikaian bersenjata untuk
kemerdekaan dikategorikan sebagai pertikaian bersenjata internasional (Protokol
I dapat diberlakukan). Pasal 16 protokol tambahan I, Konvensi Jenewa
menyatakan:

Tidak seorang pun yang bekerja dalam kegiatan-kegiatan kesehatan boleh


dipaksakan untuk memberikan kepada siapapun, baik dari pihak lawan maupun
dari pihaknya sendiri, kecuali diwajibkan oleh undang-undang dari pihak tersebut
terakhir, keterangan mengenai mereka yang luka-luka dan yang sakit yang
berada atau pernah berada di dalam perawatannya, apabila pada pendapatnya
keterangan itu akan terbukti merugikan diri orang-orang yang dirawat itu atau
keluarga mereka. Namun, peraturan-peraturan mengenai kewajiban
memberitahukan tentang penyakit-penyakit yang dapat menular harus dihormati.

Dilema besar muncul di antara para dokter sehubungan dengan kerahasiaan


pasien pada saat konflik bersenjata. Pasal 16 Protokol I dan Pasal 10 Protokol II
dari Konvensi Jenewa dibuat untuk melindungi orang sakit atau terluka dari
pembukaan informasi kepada pihak yang berwajib yang dapat merugikan
mereka. Petugas kesehatan dilindungi dari hal itu. Sesuai protokol tersebut,
mereka tidak dapat dipaksa untuk memberikan informasi mengenai pasiennya.
Masalah ini dicakup dalam pengertian yang sedikit berlainan dalam masing-
masing penjelasan terhadap protokol I dan II. Pada penjelasan protokol I,
menolak bahwa jika ‘informasi’ tidak ada apapun dapat dilakukan dengan
kerahasiaan medis sedangkan penjelasan protokol II merujuk kepada petugas
kesehatan yang perlu menghormati ‘kewajiban profesional’ sehubungan dengan
informasi yang diperoleh dari pasien mereka dalam pemberian pengobatan
medis. Kewajiban itu tidak secara jelas ditentukan, namun penjelasan terhadap
pasal 10 paragraf 3 menyatakan: "Di depan mata banyak perwakilan profesi
kesehatan, pertanyaan ini [apakah dokter diperkenankan melaporkan mengenai
pasien-pasiennya kepada pihak yang berwajib] merupakan……bagian integral
dari etik kedokteran’. Penjelasan yang sama menerangkan bahwa tujuan
paragraf 3 adalah untuk ‘menjaga kerahasiaan profesional’.

Dalam kenyataannya, kontroversi tentang pembukaan kerahasiaan sehubungan


dengan hukum tertuju tidak pada informasinya, tetapi kapan suatu pembukaan
harus dilakukan. Pada kedua protocol, ‘tidak diberlakukannya pembukaan
informasi’ oleh petugas medis diperbolehkan hanya ‘dengan alasan hukum
nasional’. Satu hal dikemukakan oleh para pengamat adalah apakah ini berarti
bahwa kapanpun ‘hukum nasional’ menghendakinya, petugas medis wajib untuk
membuka informasi yang ia dapatkan dari pasien-pasiennya? Para ahli
mempertanyakan apakah masalah ini berlaku juga di negara-negara di mana
hak-hak individu tidak dihormati dan informasi mengenai individu dapat
disalahgunakan? Beberapa hukum nasional menyatakan bahwa para dokter
yang mengobati pasien-pasien dengan jenis cedera tertentu, seperti luka
tembak, harus melaporkan orang-orang tersebut ke pihak polisi. Pada kasus
ekstrim, kewajiban ini menempatkan dokter pada posisi melayani polisi. Hal ini
terjadi di negara-negara di mana aparat keamanan menahan dan melakukan
interogasi terhadap pasien cedera tersebut. Pada beberapa kasus, informasi
yang didapatkan dari sumber-sumber kesehatan secara jelas dipergunakan oleh
aparat keamanan dalam melakukan interogasi. Pada kasus lainnya, para dokter
yang menolak atau tidak bersedia mematuhi hukum tersebut ditahan.

Di Filipina, konflik antara pasukan bersenjata Filipina dan beberapa macam


kelompok oposisi, seperti Tentara Rakyat Baru, mengarahkan pengenalan
hukum yang memaksakan laporan medis kasus cedera yang dilihat para dokter
selama menjalankan profesinya. Akta Republik memaksa semua petugas
kesehatan untuk melaporkan kepada polisi atau militer semua kasus cedera fisik
berat, seperti luka tembak dan luka bacok. Akta ini diubah menjadi suatu
Perintah Eksekutif selama pemerintahan Presiden Aquino, yang memerintahkan
semua petugas kesehatan untuk melaporkan kasus tersebut kepada otoritas sipil
terdekat, yang secara umum diterjemahkan sebagai Kementrian Kesehatan.
Perubahan peraturan tersebut tidak mengubah implikasinya terhadap etik atau
untuk keamanan pribadi, tetapi tetap melanjutkan menempatkan petugas
kesehatan dalam pelanggaran kerahasiaan sebagaimana menempatkannya
dalam bahaya pembalasan dari perseorangan atau pihak-pihak terkait.

Pertanyaan timbul, apakah para dokter harus selalu setuju untuk melepaskan
informasi tentang pasien-pasiennya dalam situasi di mana ia tahu, atau terdapat
dugaan kuat bahwa pembukaan informasi itu akan membahayakan pasien-
pasien tersebut. Dilema ini menjadi perhatian internasional di Turki pada 1998—
1999 dalam pengadilan terhadap Dr. Tufan Kose dan Mustafa Cinkilic. Mereka
adalah anggota Yayasan Hak Asasi Manusia Turki. Keduanya dituduh oleh pihak
berwenang Turki, melakukan penolakan untuk memberikan nama-nama korban
penyiksaan yang mendapat pengobatan di pusat rehabilitasi di Adana. Pihak
berwajib menyatakan bahwa terdapat suatu kebutuhan vital masyarakat untuk
mendapatkan informasi sehingga para pelaku pelanggaran dapat dilacak dan
dihukum. Para pembela, pada sisi lain, menyanggah bahwa informasi tersebut
dapat menempatkan para korban penyiksaan dalam risiko kematian atau
‘penghilangan’. Pengadilan tersebut dipantau oleh masyarakat internasional dan
pihak pembela mendapat dukungan dari organisasi-organisasi kedokteran,
termasuk Asosiasi Kedokteran Turki, Asosiasi Kedokteran Inggris (BMA), dan
Asosiasi Dokter Dunia (WMA).

Dilema lain dapat timbul ketika dokter memberikan pengobatan terhadap


seseorang yang mereka duga telah menjadi penyiksa atau telah terlibat dalam
pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti pembersihan etnis. Sebagai
contohnya, pengobatan yang diberikan kepada orang-orang yang diduga
berpartisipasi dalam pembunuhan etnis di Rwanda yang diperkirakan akan
mengulangi kekerasan yang sama begitu kesehatannya membaik. Penjelasan
pasal 16 protokol I menyatakan:

‘…..seorang dokter memegang kemerdekaan untuk memberitahukan kesalahan


seorang pasien dengan dasar bahwa ia boleh berharap untuk mencegah pasien
tersebut melakukan tindakan-tindakan yang ia anggap berbahaya untuk orang
lain, sebagimana, pada waktu damai, ia boleh berharap untuk mencegah
seorang penjahat melanjutkan tindakan-tindakan kejahatannya’.

Dokter, dalam situasi tertentu, diharapkan bertindak secara bertanggung jawab


dan mempertimbangkan faktor-faktor lainnya sebelum memutuskan untuk
melaporkan pasien itu. Pada kasus-kasus tertentu di mana dokter mempunyai
alasan yang benar untuk percaya bahwa orang lain akan ditempatkan pada risiko
berat oleh pembukaan rahasia pasien itu, agaknya dapat dibenarkan.

BMA mendukung nasihat dari Dewan Kesehatan Umum (GMC) bahwa dokter
harus siap untuk memberikan informasi yang dapat membantu mendeteksi suatu
kejahatan berat6. Secara jelas, profesional kesehatan harus menjamin bahwa
setiap pembukaan informasi dibuat untuk suatu badan yang tepat. Pembukaan
informasi yang dapat menempatkan seseorang dalam risiko pembalasan tanpa
proses hukum harus dihindari, dan petugas kesehatan juga harus bertindak hati-
hati kepada siapa informasi itu disampaikan.

WMA telah menetapkan bahwa etik yang berlaku pada masa konflik adalah
identik dengan yang berlaku pada masa damai. Dinyatakan bahwa kerahasiaan
medis harus dipertahankan oleh dokter dalam mempraktikkan profesinya.
Pemenuhan tugas kedokteran dan kewajibannya tidak dalam keadaan apapun
dianggap sebagai suatu tindakan permusuhan. Selanjutnya, ditetapkan bahwa
para dokter tidak boleh dihukum karena mempertahankan kerahasiaan
profesionalnya. Namun, sangatlah disayangkan bahwa Ikatan Dokter Indonesia
belum mengadopsi ketetapan WMA.

Indonesia meratifikasi konvensi Jenewa 1949 melalui Undang-undang No. 59


tahun 1958, tetapi adopsinya dalam peraturan perundang-undangan nasional
belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa pemerintah Indonesia dapat
menghindar dari penghormatan dan pemberlakuannya. Masalah pokoknya
adalah apakah pihak yang terlibat aktif permusuhan dan pertikaian mengetahui
standar hukum ini. Aparat keamanan dan pemegang senjata lainnya (milisi,
laskar-laskar, gerakan separatis bersenjata) wajib memegang teguh nilai moral
yang mendasari hukum perikemanusiaan dan etik kedokteran, karena ‘Even war
have limits’.

Daftar Pustaka

1. Samil, R. S. (2001). Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo, Jakarta. pp. 20-44.
2. Reyes, H. (1996). ‘Confidentiality subject to national law. Should doctor
always comply ?’ Medish Contact (Journal of the Royal Dutch Medical
Association), Vol. 51, 8 November 1996, pp. 1456-9.
3. Sandoz, Y., Swinarski, Ch., Zimmermann, B. (eds) (1987) Commentary on
the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12
August 1949, ICRC/Martinus Nijhoff Publishers, Geneva, para. 670, p. 204
and footnote 21.
4. Sandoz, Y., Swinarski, Ch., Zimmermann, B. (eds) (1987) Commentary on
the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12
August 1949, ICRC/Martinus Nijhoff Publishers, Geneva, para. 4694, p.
1427.
5. Altamerano, ML., ‘Violations of medical neutrality in the Philipines’ in
Wackers, G.L. and Wennekes, C. T. M. (eds) (1992) Violation of Medical
Neutrality, Thesis Publishers, Amsterdam, p. 98.
6. BMA (2001). The Medical Profession and Human Rights: Handbook for a
Changing Agenda. Zed Books, London, New York in association with
BMA, London, p.258.
7. Sandoz, Y., Swinarski, Ch., Zimmermann, B. (eds) (1987) Commentary on
the Additional Protocols of 8 June 1977 to the Geneva Conventions of 12
August 1949, ICRC/Martinus Nijhoff Publishers, Geneva, para. 671-88,
pp. 204-8.
8. World Medical Association (1983). World Medical Association Regulations
in Time of Armed Conflict Adopted by the 10th World Medical Assembly
Havana, Cuba, October 1956, Edited by the 11th World Medical Assembly
Istanbul, Turkey, October 1957 and Amended by the 35th World Medical
Assembly Venice, Italy, October 1983.

Anda mungkin juga menyukai