Kerahasiaan Dokter Pada Saat Perang
Kerahasiaan Dokter Pada Saat Perang
Jones R
Dokter pada Organisasi Kemanusiaan Internasional
‘Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan
dan karena keilmuan saya sebagai dokter’
"Kode Etik Kedokteran Indonesia" tidak memberikan arahan yang tegas karena
tidak ada batasan yang pasti dan jelas kapan seorang dokter harus menyimpan
rahasia penderita serta kapan ia dapat memberikan keterangan pada pihak yang
membutuhkan1. Ketika hukum dan peradilan di daerah konflik tidak berjalan
sebagaimana mestinya, maka sejawat dokter non-militer menghadapi ‘keadaan
terpaksa’. Bagi sejawat dokter sipil yang bekerja di Aceh dan Papua di mana
aparat keamanan terlibat pertikaian melawan kelompok bersenjata lain, risiko
menjadi sedemikian besar. Apakah ikatan profesi dan otoritas sipil, khususnya
dinas kesehatan, dapat menjadi tempat untuk paling tidak bertanya kalau bukan
mendapatkan perlindungan?
Sebagai negara peserta Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
tambahan I 1977, Indonesia mempunyai kewajiban untuk menerapkan standar
hukum perikemanusiaan internasional dalam pertikaian bersenjata antar negara
dan pertikaian bersenjata internal. Dalam hal ini, pertikaian bersenjata untuk
kemerdekaan dikategorikan sebagai pertikaian bersenjata internasional (Protokol
I dapat diberlakukan). Pasal 16 protokol tambahan I, Konvensi Jenewa
menyatakan:
Pertanyaan timbul, apakah para dokter harus selalu setuju untuk melepaskan
informasi tentang pasien-pasiennya dalam situasi di mana ia tahu, atau terdapat
dugaan kuat bahwa pembukaan informasi itu akan membahayakan pasien-
pasien tersebut. Dilema ini menjadi perhatian internasional di Turki pada 1998—
1999 dalam pengadilan terhadap Dr. Tufan Kose dan Mustafa Cinkilic. Mereka
adalah anggota Yayasan Hak Asasi Manusia Turki. Keduanya dituduh oleh pihak
berwenang Turki, melakukan penolakan untuk memberikan nama-nama korban
penyiksaan yang mendapat pengobatan di pusat rehabilitasi di Adana. Pihak
berwajib menyatakan bahwa terdapat suatu kebutuhan vital masyarakat untuk
mendapatkan informasi sehingga para pelaku pelanggaran dapat dilacak dan
dihukum. Para pembela, pada sisi lain, menyanggah bahwa informasi tersebut
dapat menempatkan para korban penyiksaan dalam risiko kematian atau
‘penghilangan’. Pengadilan tersebut dipantau oleh masyarakat internasional dan
pihak pembela mendapat dukungan dari organisasi-organisasi kedokteran,
termasuk Asosiasi Kedokteran Turki, Asosiasi Kedokteran Inggris (BMA), dan
Asosiasi Dokter Dunia (WMA).
BMA mendukung nasihat dari Dewan Kesehatan Umum (GMC) bahwa dokter
harus siap untuk memberikan informasi yang dapat membantu mendeteksi suatu
kejahatan berat6. Secara jelas, profesional kesehatan harus menjamin bahwa
setiap pembukaan informasi dibuat untuk suatu badan yang tepat. Pembukaan
informasi yang dapat menempatkan seseorang dalam risiko pembalasan tanpa
proses hukum harus dihindari, dan petugas kesehatan juga harus bertindak hati-
hati kepada siapa informasi itu disampaikan.
WMA telah menetapkan bahwa etik yang berlaku pada masa konflik adalah
identik dengan yang berlaku pada masa damai. Dinyatakan bahwa kerahasiaan
medis harus dipertahankan oleh dokter dalam mempraktikkan profesinya.
Pemenuhan tugas kedokteran dan kewajibannya tidak dalam keadaan apapun
dianggap sebagai suatu tindakan permusuhan. Selanjutnya, ditetapkan bahwa
para dokter tidak boleh dihukum karena mempertahankan kerahasiaan
profesionalnya. Namun, sangatlah disayangkan bahwa Ikatan Dokter Indonesia
belum mengadopsi ketetapan WMA.
Daftar Pustaka