Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KASUS ANESTESI

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. EM
Tempat/Tanggal Lahir : Jakarta, 16 Juli 1960
Agama : Islam
Usia : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Citra Raya Blok H5 No.18, Tangerang
Tanggal Masuk RS : 19 Oktober 2010
II. EVALUASI PRE-ANESTESI
1. Anamnesis (Autoanamnesis – 19 Oktober 2010)
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Accident & Emergency Unit Siloam Hospital Lippo
Village pada tanggal 19 Oktober 2010, pukul 02.00 dengan keluhan nyeri
perut kanan. Keluhan sudah dirasakan sejak pagi hari 1 hari sebelumnya,
awalnya nyeri dirasakan di uluhati, pasien juga muntah 2 kali, tidak ada
gangguan buang air besar dan kecil.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Pasien
memiliki riwayat gastritis, hipertensi terkontrol (konsumsi Norvasc®
-amlodipine besylate (1x5mg)). Riwayat diabetes dan asma dibantah.
Riwayat Penyakit Keluarga
Terdapat riwayat hipertensi dan diabetes. Tidak ditemukan adanya riwayat
asma.
Riwayat Alergi
-
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol.
Riwayat Operasi Sebelumnya
Eksisi FAM (Fibroadenoma Mammae) ± 4 tahun yang lalu.
Riwayat Anestesi
Anestesi umum
Status Sosial
Status Ekonomi
Menengah ke atas
2. Pemeriksaan Fisik
- Keadaan Umum : sakit sedang
- Kesadaran : compos mentis

1
- Skala nyeri : 7/10
- Tekanan Darah : 140/80 mmHg
- Nadi : 73x/menit
- RR : 22x/menit
- Suhu : 36,60C
- Tinggi Badan : 156 cm
- Berat Badan : 66 kg
- Jalan napas, gigi geligi dalam batas normal.
3. Pemeriksaan Penunjang
CT-scan whole abdomen (19 Oktober 2010): suggestive appendisitis akut
(appendiks membesar dengan dinding agak menebal dan tampak fekalit di
dalamnya)
Laboratorium (19 Oktober 2010):
o Hb : 15,1 gr/dl
o Ht : 45%
o WBC : 19,59 /μl
o Platelet: 267.000
o Blood Random Glucose : 110 mg/dl
4. PS ASA 2
5. Terapi Pre-anestesi: puasa 6 jam pre-operatif
Infus RL
III. INTRAOPERATIF (19 Oktober 2010)
- Tindakan Operasi : Laparoskopi appendiktomi
- Tindakan Anestesi : Anestesi umum
- Posisi : Supine
- Obat Anestesi : 1. Midazolam: 0,1- 0,4 mg/kgBB IV 3 mg
2. Fentanyl: 2-150 mcg/kgBB IV 100 mcg
3. Propofol: 1,5-2,5 mg/kgBB IV 150 mg
4. Rocuronium: 0, 45- 0,9 mg/kgBB IV 30 mg
- Intubasi : 1. Laringoskop grade: 1
2. Tube: oral 7,5 cuff (+)
3. Benda Asing Dalam Saluran Pernapasan: guedel
- Ventilasi :
- Circuit
- IPPV
- Gas Flow : O2 2 LPM
- TV : 500 ml
- RR : 12 x/ menit
- SaO2: 100%
- ETCO2: 34 mmHg
- Volatile agent : Desflurane 5%
- IV Line : tangan kiri No.20G

2
- Artery Line : -
- Keseimbangan Cairan : Input: kristaloid: 1000 mL
Blood loss: 20 mL
- Tekanan Darah : - Pasien masuk dengan tekanan darah 160/85 mmHg (17.00)
- Setelah induksi, tekanan darah berkisar 140/65 mmHg (17.10)
hingga operasi selesai (19.00)
- Denyut Jantung : 90 kali/menit
- RR : 12 kali/menit.
- Obat Reverse : 1. Atropin®: 0,01- 0,02 mg/kgBB 0,5 mg
2. Prostigmin® (neostigmine) 0,5 mg
- Obat Lain : 1. Pelastin® (imipenem 500 mg, cilastatin 500 mg)
2. Rantin® (ranitidine) 50 mg
3. Nasea® (ramosetron HCl) 0,3 mg
4. Metrofusin® (metronidazole) 500 mg
5. Dynastat® (parecoxib) 40 mg
6. Torasic® (ketorolac tromethamine) 30 mg
IV. POST OPERATIF
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke kamar Bethsaida
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
SpO2: 100 %
Kesadaran: compos mentis
TD: 140/90 mmHg
Nadi: 82x/min
- RL 500 mL/ 8 jam no. III
- Baquinor® (ciprofloxacin HCl) 500 mg PO no.X
- Omeprazole 20 mg PO no.X
- Torasic® (ketorolac tromethamine) 10 mg PO no. X
- Makan dan minum jika bising usus (+)
- Pasien meninggalkan rumah sakit pada tanggal 21 Oktober 2010

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

APPENDISITIS AKUT1
Appendisitis akut adalah peradangan pada appendiks vermiformis yang
terjadi secara akut. Appendiks merupakan tabung panjang, sempit (sekitar 6–9
cm), menghasilkan lendir 1-2 ml/hari. Lendir itu secara normal dicurahkan dalam
lumen dan selanjutnya dialirkan kesekum. Bila ada hambatan dalam pengaliran
lendir tersebut maka dapat mempermudah timbulnya appenditis. Hingga saat ini
fungsi appendiks belum diketahui dengan pasti.

Etiologi1
Appendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit lainnya, di antaranya
obstruksi yang terjadi pada lumen appendiks. Obstruksi pada lumen appendiks
biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit),hiperplasia
jaringan limfoid, parasit, benda asing dalam tubuh, dan neoplasma. Yang paling
sering menyebabkan obstruksi lumen appendiks adalahfekalit dan hiperplasia
jaringan limfoid.
Patogenesis2
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan
mukus yang diproduksi mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut
makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks memounya keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.Tekanan yang meningkat

4
tersebut akan menghambat aliran limfe yang menyebabkan edema, diapedesis
bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi appendisitis akut fokal yang
ditandai dengan nyeri epigastrium. Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan
akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas
dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di kuadran
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendisitis supuratif akut. Bila
kemudian aliran arteri terganggu, akan terjadi infark dinding appendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan appendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendisitis perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut
infiltrate appendikularis. Peradangan appendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan appendiks lebih
panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan
pada orang tua, perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah.

5
Nyeri Appendisitis1
Nyeri dari visera seringkali secara bersamaan dilokalisasi di dua daerah
permukaan tubuh karena nyeri dijalarkan melalui nyeri alih viseral dan nyeri
langsung parietal.
Mekanisme :
1. Impuls nyeri yang berasal dari appendiks akan melewati serabut-serabut nyeri
viseral saraf simpatik dan selanjutnya akan masuk ke medulla spinalis kira-kira
setinggi thorakal X sampai thorakal XI dan dialihkan ke daerah sekeliling
umbilikus (menimbulkan rasa pegal dan kram).
2. Dimulai di peritoneum parietal tempat appendix meradang yang melekat pada
dinding abdomen. Ini menyebabkan nyeri tajam di peritoneum yang teriritasi di
kuadran kanan bawah abdomen.

Gambaran Klinis1,2
Ada beberapa gejala awal yang khas yakni nyeri yang dirasakan secara
samar (nyeri tumpul) di daerah sekitar pusar (umbilikus atau periumbilikus) yang
berhubungan dengan muntah. Kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan
bawah dengan tanda-tanda yang khas pada appendisitis akut yaitu nyeri pada titik
Mc Burney. Nyeri perut ini akan bertambah sakit apabila terjadi pergerakan
seperti batuk, bernapas dalam, bersin, dan disentuh daerah yang sakit. Nyeri saat
batuk kemungkinan disebabkan oleh peningkatan tekanan intraabdomen.
Nyeri yang bertambah saat terjadi pergerakan disebabkan karena adanya
gesekan antara visera yang meradang sehingga menimbulkan rangsangan
peritoneum. Selain nyeri, gejala appendisitis akut lainnya adalah demam derajat
rendah, mules, konstipasi atau diare, perut membengkak, dan ketidakmampuan
mengeluarkan gas. Peradangan pada apendiks dapat merangsang peningkatan
peristaltik dari usus sehingga dapat menyebabkan diare. Infeksi dari bakteri akan
dianggap sebagai benda asing oleh mukosa usus sehingga secara otomatis usus
akan berusaha mengeluarkan bakteri tersebut melalui peningkatan peristaltik.
Gejala-gejala ini biasanya memang menyertai apendisitis akut namun kehadiran
gejala-gejala ini tidak terlalu penting dalam menambah kemungkinan appendisitis
dan begitu juga ketidakhadiran gejala-gejala ini tidak akan mengurangi
kemungkinan appendisitis..

Pemeriksaan Fisik dan Penunjang


Pemeriksaan fisi k:
Inspeksi : pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada inspeksi biasa ditemukan distensi perut.

Palpasi : Pada daerah perut kanan bawah seringkali bila ditekan akan terasa nyeri
dan bilatekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign). Nyeri perut kanan
bawah merupakan kunci dari diagnosis appendisitis akut. Terkadang dokter akan

6
melakukan pemeriksaan colok dubur untuk menentukan letak apendiks bila
letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan colok dubur kemudian terasa nyeri
maka kemungkinan apendiks penderita terletak didaerah pelvis.

Pemeriksaan penunjang :
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan pada
pasien yang diduga apendisitis akut adalah pemeriksaan darah lengkap dan test
protein reaktive (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap sebagian besar pasien
biasanya ditemukan jumlah leukosit diatas 10.000 dan neutrofil diatas 75 %. Pada
pemeriksaan CRP ditemukan jumlah serum yang mulai meningkat pada 6-12 jam
setelah inflamasi jaringan. Pemeriksaan radiologi yang biasa dilakukan pada
pasien yang diduga appendisitis akut antara lain adalah ultrasonografi dan
CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonogarafi ditemukan bagian memanjang pada
tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedang pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan appendicalith serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran dari caecum.

Diagnosis1
Diagnosis appendisitis akut harus dilakukan secara cermat dan teliti. Kesalahan
diagnosis lebih sering terjadi pada wanita daripada laki-laki. Hal ini disebabkan
karena pada wanita sering timbul nyeri yang menyerupai appendisitis akut, mulai
dari alat genital (karena proses ovulasi, menstruasi), radang di panggul atau
penyakit kandungan lainnya. Hal ini sering menjadi penyebab terlambatnya
diagnosis sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah
perforasi. Untuk mengurangi kesalahan diagnosis, saat berada di rumah sakit
dilakukan observasi pada penderita tiap 1-2 jam. Dari hasil pemeriksaan
laboratorium, didapatkan peningkatan jumlah sel darah putih yang melebihi
normal.

TataLaksana1
Bila diagnosis sudah pasti, maka terapi yang paling tepat adalah tindakan
operatif. Ada dua teknik operasi yang biasa digunakan :
1. Operasi terbuka : satu sayatan akan dibuat (sekitar 5 cm) di bagian bawah
kanan perut. Sayatan akan lebih besar jika appendisitis sudah mengalami
perforasi.
2. Laparoskopi : sayatan dibuat sekitar 1-4 buah. Satu di dekat pusar, yang lainnya
di seputar perut. Laparoskopi dilakukan dengan kamera yang akan dimasukkan
melalui sayatan tersebut. Kamera akan merekam bagian dalam perut kemudian
ditampakkan pada monitor. Gambaran yang dihasilkan akan membantu
jalannya operasi dan peralatan yang diperlukan untuk operasi akan dimasukkan

7
melalui sayatan di tempat lain. Pengangkatan appendiks, pembuluh darah, dan
bagian dari appendiks yang mengarah ke usus besar akan diikat.

PEMBAHASAN
Pada kasus di atas, dilakukan tindakan laparoskopi appendiktomi dengan
anestesi umum (anestesi general). Anestesi umum dipilih untuk laparoskopi
dengan pertimbangan bahwa tindakan laparoskopi ini akan menimbulkan
ketidaknyaman (sesak napas dan nyeri pundak yang berasal dari iritasi diafragma)
bagi pasien jika pasien sadar (anestesi regional) dan mencegah gerakan pasien
yang tiba-tiba..3
Tindakan laparoskopi dilakukan dengan cara memasukkan gas ke dalam
rongga abdomen (pneumoperitoneum) untuk mengembangkan rongga abdomen
sehingga area kerja di dalam rongga abdomen menjadi lebih luas. Gas yang
digunakan adalah CO2 (insuflasi CO2) karena tidak mengganggu sistemik, mudah
diserap, mudah dikeluarkan oleh tubuh (difusi atau pertukaran gas), dan tidak
mengendap (sehingga resiko terjadinya emboli udara sangat kecil sebab tinggi
derajat kelarutannya). Pneumoperitoneum meningkatkan tekanan intra-abdomen
yang akan menekan diafragma ke arah cephalad, pengembangan paru menjadi
terhambat sehingga difusi CO2 ke
luar terhambat pula. Bila dibiarkan terus-menerus, kondisi ini akan menyebabkan
hiperkarbia
dan hipoksia. Hiperkarbia akan merangsang sistem saraf simpatis, yang akan
meningkatkan
tekanan darah, denyut jantung, dan kemungkinan disritmia. Kondisi ini harus
dicegah dengan
cara menjaga keseimbangan antara O2 dan CO2, yaitu dengan memberikan O2
tinggi,
respiratory rate tinggi (hiperventilasi), dan volume tidal yang tidak terlalu besar
(karena jika
volume tidal besar namun tidak disertai dengan kemampuan pengembangan paru
yang cukup
maka dapat terjadi pneumotoraks). Jika hiperkarbia sudah terjadi, kondisi ini
dapat
dikompensasi dengan meningkatkan volume tidal atau respiratory rate sehingga
terjadi
peningkatan tekanan intra-thoracic, yang akan diikuti dengan peningkatan tekanan
rata-rata
arteri pulmonal.
Tekanan insuflasi CO2 yang tidak terlalu tinggi biasanya menyebabkan sedikit
peningkatan atau tidak sama sekali dari denyut jantung, tekanan vena sentral, atau
curah

8
jantung. Tekanan insuflasi yang tinggi cenderung menyebabkan penekanan organ-
organ di
sekitarnya, antara lain kolaps vena utama abdomen (inferior vena cava) dan aorta
abdominalis, yang akan menyebabkan penurunan venous return, yang akan diikuti
dengan
penurunan curah jantung pada beberapa pasien.3 Karena itu, sebelum penekanan
oleh CO2
berlangsung, vaskuler harus terisi penuh sehingga menjaga aliran darah balik agar
adekuat.
Caranya adalah dengan pemberian infus cairan.
Pada saat laparoskopi, biasanya pasien diposisikan pada posisi Trendelenburg
(headdown
position), posisi ini menyebabkan organ-organ di rongga abdomen dan diafragma
berpindah ke arah cephalad yang akan menyebabkan pasien sesak napas jika
pasien sadar
pada anestesi regional.3
Tindakan laparoskopi juga memerlukan relaksasi otot agar visualisasi menjadi
lebih
baik dan tekanan insuflasi yang diperlukan lebih rendah, sehingga diperlukan
relaksan otot.
Relaksan otot ini bekerja pada otot rangka, sehingga terjadi kelumpuhan otot
pernapasan, otot
interostalis, abdominalis, dan relaksasi otot-otot ekstremitas. Kondisi ini tidak
memungkinkan
pasien untuk bernapas spontan karena otot pernapasan lumpuh, sehingga
diperlukan teknik
ventilasi yang menjamin zat anestesi inhalasi dan O2 masuk ke trakea dengan
benar.4
Karena banyaknya risiko yang berhubungan dengan terhambatnya pernapasan dan
vaskular, maka perlu dilakukan anamnesa pre-operatif yang tepat mengenai
penyakit sistemik
atau penyakit tertentu yang mengganggu fungsi paru-paru maupun jantung.
Manajemen Pre-Operatif
Sebelum tindakan laparoskopi, ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk
mencegah efek-efek insuflasi CO2
yang tidak diinginkan ke organ-organ sekitarnya, seperti
penekanan ke gas ke arah cephalad menekan diafragma, ke kaudal menekan
vesika urinaria,
ke anterior menekan peritoneum, dan ke posterior menekan vena cava inferior dan
aorta
abdominalis. Efek penekanan yang dapat dicegah adalah kolaps vena cava inferior
yang dapat

9
menyebabkan penurunan venous return dan curah jantung. Untuk mencegahnya,
maka
pembuluh-pembuluh darah tersebut harus diisi terlebih dahulu dengan infus cairan
sehingga
pembuluh darah memiliki tahanan (tidak obstruksi karena penekanan). Pada
pasien ini
diberikan infus RL.
Manajemen Intra-Operatif
Tindakan laparoskopi dibutuhkan anestesi umum (anestesi general) karena
tindakan
ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang tidak memungkinkan pasien
untuk
bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk menjamin adekuatnya difusi CO2 ke
luar tubuh,
respiratory rate harus diatur menggunakan mechanical ventilator dengan RR yang
cepat
(hiperventilasi) dan volume tidal yang tidak terlalu besar.
Pemberian obat-obat untuk pasien ini selama operasi adalah sebagai berikut :
- Midazolam 3 mg untuk sedasi, menenangkan pasien (anxiolitik), dan
menciptakan amnesia.
- Propofol (1,5–2,5 mg/kgBB: 150 mg ) sedasi, menurunkan refleks
saluran napas, inhibisi transmisi sinaps melalui efek terhadap reseptor
GABA, pemulihan cepat, menurunkan rasa muntah dan mual, memiliki efek
bronkodilatasi.
- Rocuronium (0,45-0.9 mg/kgBB: 30mg) relaksan otot non-depolarisasi
durasi kerja sedang (60 menit). Dipilih karena onsentya cepat (1-3 menit).
- Fentanyl (2-10 mcg/kg: 100 mcg) bekerja pada reseptor (paling efektif
untuk menghasilkan analgesia), terdapat efek depresi napas, penurunan
denyut jantung, dan aliran darah ke otak.
- Desflurane (5%) tidak mudah larut dalam jaringan dan darah, induksi dan
pemulihan cepat, ditambahkan untuk memperdalam proses anesthesia serta
mempunyai efek bronkodilatasi.
- Pelastin® (imipenem 500 mg dan cilastatin 500 mg) 500 mg antibiotik
profilaksis spektrum luas.
- Rantin® (ranitidine-50 mg) dan Nasea (ramosetron HCl-0,3 mg) anti
mual-muntah, diberikan karena sering terjadi mual dan muntah paska operasi
terutama karena penggunaan opioid.
- Dynastat® (parecoxib-40 mg) COX-2 inhibitor yang diberikan secara
injeksi, diberikan sebagai analgesia untuk menghilangkan nyeri paska
operasi.
- Torasic® (ketorolac tromethamine-30mg) NSAID
- Metrofusin® (metronidazole) 500 mg antibiotik

10
Obat-obat reverse yang digunakan: Prostigmin® (Neostigmine-
antikolinesterase)
0,5 mg dan Atropin 0,5 mg (antikolinergik).
Manajemen Post-Operatif
Pasien post-laparaskopi harus diamati perubahan hemodinamiknya, karena
perubahan
hemodinamik sangat mungkin terjadi akibat pneumoperitoneum.
Pasien post-laparoskopi biasanya akan mengalami mual dan muntah karena
distensi
dari rongga peritoneum dan untuk mengatasinya pasien dapat diberikan anti-mual
dan antimuntah.
Pasien juga akan merasakan nyeri pada bahu akibat iritasi diafragma, nyeri ini
dapat
berlangsung selama 4 hari, hal ini dapat diatasi dengan pemberian analgesik.
Untuk
mencegah terjadinya infeksi, dapat pula diberikan antibiotik profilaksis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ashari I. Appendisitis Akut. Dikutip dari:
http://www.irwanashari.com/2007/06/appendisitis-akut.html
2. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.3, cet. 1. Jakarta: Media
Aesculapius. 2000.
3. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anesthesiology, Third edition.
McGraw-
Hill, 2006
4. Sudarwaty Y. General Anestesi pada Laparoskopi Appendiktomi. Dikutip dari:
http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=GENERAL+ANESTESI+PADA+LAPAROSCOPI+APPENDICTOMI
17

11

Anda mungkin juga menyukai