Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Disabilitas memiliki arti cacat atau terdapat kelainan pada seseorang yang

tidak memiliki oleh orang pada umumnya. Jenis-jenis disabilitas yaitu disabilitas fisik,

disabilitas mental, disabilitas sensorik, disabilitas intelektual dan disabilitas

perkembangan. Disabilitas bisa terjadi pada semua orang selama hidup atau sejak

seseorang dilahirkan di dunia. Disabilitas atau biasa disebut penyandang cacat sering

kali dikucilkan dan dianggap rendah oleh sebagian besar masyarakat. Keberadaan

disabilitas sering juga dia dianggap sebagai sebuah aib, sumber permasalahan dan

sebuah kutukan atau karma dari dosa yang telah dilakukan. Hal ini juga menyebabkan

kaum difabel atau disabilitas dijauhkan dan tidak dipedulikan oleh masyarakat pada

umunya.

Sikap diskriminasi terhadap penyandang cacat sering terjadi yang

mengakibatkan makin buruknya keadaan kaum difabel. Seiring semakin pesatnya

ilmu pengetahuan tentang kesetaraan hak terhadap kaum disalibilitas, kepedulian

kepada kaum difabel juga mulai bermunculan. Masyarakat mulai sadar bahwa kaum

difabel juga merupakan bagian dari masyarakat yang juga memiliki hak dan

kewajiban sama halnya seperti masyarakat pada umumnya. Undang-Undang tentang

perlidungan kaum disabilitas tertuang dalam UUD 1945, UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2011, dan UNDANG-UNDANG

REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2016. Dengan adanya hukum

tersebut, maka kaum difabel dapat turut berpatisipasi dan mengembangkan potensi
dalam bidang pendidikan, pekerjaan, kesehatan, kesejahteraan sosial, dan bidang

lainnya.

1.2 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan rasa kepedulian masyarakat

terhadap kaum disabilitas tentang hak dan kewajiban bagi penyandang disabilitas agar

tidak terjadi sikap dikriminasi antara kaum difabel dan masyarakat umum.
BAB II

PERMASALAHAN

1. Apa yang dimaksud dengan Penyandang Disabilitas?

2. Hak apa saja yang diterima bagi Penyandang Disabilitas?

3. Fasilitas apa yang diberikan pemerintah bagi Penyandang Disabilitas?

4. Bagaimanakah Undang-Undang yang mengatur Penyandnag Disabilitas?

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Penyandang Disabilitas

Istilah difabel pertama kali dicetuskan di Indonesia oleh beberapa aktivis di

Yogyakarta, salah satunya adalah almarhum Dr. Mansour Fakih. Penggunaan kata

difabel merupakan pengindonesiaan dari “difabled people” yang merupakan kependekan

dari different ability people atau yang dapat diartikan dengan seseorang dengan

kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan dengan istilah disable, disable

sendiri bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti kecacatan, dan

penggunaan istilah kecacatan memiliki transisi perubahan yang cukup signifikan sesuai

dengan persepsi dan penerimaan masyarakat secara luas.

Di dunia internasional, istilah disability mengalami perubahan, antara lain:

cripple, handicapped, impairement yang kemudian lebih sering digunakan istilah people

with disability atau disabled people. People with disability kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia menjadi penyandang cacat yang pada awalnya menggunakan

istilah penderita cacat. Istilah penderita cacat sangatberkesan diskriminatif karena

memandang seseorang memiliki salah satu jenis penyakit atau lebih yang mempengaruhi

kondisi fisik seseorang.

Perubahan penggunaan istilah penderita cacat menjadi penyandang cacat mulai

dikenalkan pada penetapan UU No. 4 tahun 1997, yang menempatkan posisi penyandang

cacat dengan cenderung menghaluskan istilah tersebut. Pemakaian istilah difabel

memiliki nilai lebih humanis dan sebagai suatu usaha untuk menghilangkan kekuatan

ruang yang memiliki hubungan tidak adil/diskriminasi serta mendorong eksistensi dan

peran difabel dalam lingkungan mereka (Priyadi 2006 ; Annisa 2005).

Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang cacat, pengertian

penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental

yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatanbaginya untuk

melakukan secara selayaknya. ( Pasal 1 ). Penyandang cacat dalam UU Nomor 4 Tahun

1997 ini dikategorikan menjadi 3 ( tiga ) jenis penyandang cacat, antara lain penyandang

cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental. Demikian

pula pengertian penyandang cacat yang dijelaskan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah

Nomor 43 Tahun 1998.

Yang terbaru adalah UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas,

pengertian penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik,

intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi

dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara

penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Ada beberapa penggolongan pada orang cacat berikut merupakan jenis atau

klasifikasi dari cacat yaitu :


 Cacat Fisik, didefinisikan sebagai penderita yang mengalami anggota fisik

yang kurang lengkap seperti amputasi, cacat tulang, cacat sendi otot, lungkai, lengan, dan

lumpuh.

 Cacat Mata, didefinisikan sebagai penderita yang mengalami keterbatasan

dalam penglihan atau kurang awas.

 Cacat Rungu Wicara, didefinisikan sebagai penderita yang mengalami

keterbatasan dalam mendengar atau memahami apa yang dikatakan oleh orang lain

dengan jarak lebih dari 1 meter tanpa alat bantu, lainnya tidak dapat berbicara sama sekali

atau bicara kurang jelas, dan mengalami hambatan atau kesulitan untuk berkomunikasi

dengan orang lain.

 Cacat Mental Eks-psilotik, didefinisikan seperti ekspenderita penyakit gila,

kadang-kadang masih memiliki kelainan tingkah laku, sering mengganggu orang lain

biasanya orang-orang yang menderita cacat jenis ini mengalami kesusahan dalam

bersosial dan ada juga yang mengalami kesusahan dalam mengontrol emosi, sehingga

biasanya orang-orang yang mengalami cacat jenis ini perlu pengawsan yang lebih

dibandingkan dengan orang – orangyang mengalami cacat fisik.

 Cacat Mental Retardasi, didefinisikan seperti idiot/kemampuan mental dan

tingkah lakunya sama seperti dengan anak normal berusia 2 tahun dan biasanya wajahnya

dungu, embisil/kemampuan mental dan tingkah lakunyaseperti anak usia 3-7 tahun ,

debil/kemampuan mental dan tingkah lakunya sama seperti anak usia 8-12 tahun.

Selain itu biasanya pada cacat jenis ini, orang-orang yang menderita cacat jenis ini

mengalami kesusahan dalam bersosial dan ada juga yang mengalami kesusahan dalam

mengontrol emosi, sehingga biasanya orang-orang yang mengalami cacat jenis ini perlu

pengawasan yang lebih dibandingkan dengan orang-orang yang mengalami cacat fisik.
3.2 Hak-Hak Disabilitas

Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan juga keterbatasan dasar

manusia sebagai hak yang secara kodrat melekat pada manusia, harus dilindungi,

dihormati, dihargai, dan ditegakkan demi meningkatkan kesejahteraan, keadilan,

kebahagiaan, dan juga kecerdasan. Hak dihubungkan dengan perlindungan hukum.

Diaturnya hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945

membuktikan bahwa hak-hak inibenar-benar penting bagi kelangsungan hidup

manusia, khususnya dalam hal ini adalahwarga Negara Indonesia. Sedangkan yang

termasuk dalam penyebutan Warga NegaraIndonesia adalah orang-orang bangsa

Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yangdisahkan dengan Undang-Undang

sebagai warga Negara ( Pasal 26 ayat (1) UUD1945). Orang-orang bangsa Indonesia

asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkandengan Undang-Undang sebagai

warga Negara ini tentunya di dalamnya termasuk jugaorang-orang penyandang cacat

yang juga merupakan bagian dari orang-orang bangsaIndonesia asli dan orang-orang

bangsa lain yang disahkan sebagaimana yangdijelaskan di atas.

Berdasarkan uraian diatas, hak bagi kaum penyandang cacat dikategorikan

kedalam hak-hak relative. Pentingnya penekanan perlindungan hak bagi kaum

penyandang cacat dikarenakan sebagaimana pengertian penyandang

cacat,bahwasanya kaum penyandang cacat merupakan orang-orang dengan

kemampuan berbeda, sehingga perlu perlakuan yang khusus juga dari pemerintah

untuk memenuhi hak-hak yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab

XA mengenai hakasasi manusia.Selain itu tanpa adanya perlindungan lebih dari

pemerintah, para kaum penyandang cacat ini rentan terhadap perlakuan diskriminasi,

terlebih terhadap pemenuhan hak-haknya.


Bahkan dunia internasional juga begitu sangat peduli terhadap pemenuhan

hak-hak asasi manusia khususnya bagi kaum penyandang cacat, hal ini terbukti

dengan adanya Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Konvensi PBB

yang dilaksanakan pada 3 Mei 2008 ini bertujuan mempromosikan, melindungidan

menjamin penuh terpenuhinya hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi bagi

kaum penyandang cacat (difabel).

Prinsip-prinsip dari Convention on the Rights of Persons with Disabilities

adalah:

 Menghormati martabat yang melekat pada setiap individu termasuk kebebasanuntuk

menentukan pilihannya sendiri.

 Non-Diskriminasi

 Secara penuh dan efektif berpartisipasi dan ikut serta dalam masyarakat

 Menghargai perbedaan dan penerimaan para penyandang cacat sebagai bagian dari

keragaman manusia dan kemanusiaan

 Persamaan kesempatan

 Aksesibilitas

 Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

 Penghormatan terhadap kapasitas berkembang anak-anak penyandang cacat dan

menghormati hak anak-anak penyandang cacat untuk mempertahankan identitas

mereka.

Aksesibilitas bagi penyandang cacat/difabel berdasarkan Convention on

theRights of Persons with Disabilities adalah:

1.Pembangunan jalan, bangunan, transportasi serta fasilitas indoor dan

outdoorsekolah, perumahan, fasilitas kesehatan dan tempat kerja yang mampu


memenuhi kebutuhan difabel untuk dapat hidup mandiri dan berpatisipasi penuh

dalam semuaaspek kehidupan

2.Pemberian informasi, komunikasi, dan layanan lain seperti pelayanan

elektronik danlayanan darurat yang juga mendukung tercapainya kemandirian dan

partisipasipenuh difabel dalam segala aspek kehidupan.

Guna tercapainya aksesibilitas yang telah diatur dalam konvensi ini, negara-

negara peserta mengambil langkah berupa:

1.Mengembangkan, menyebarluaskan dan memantau pelaksanaan standar

minimum dan panduan untuk aksesibilitas fasilitas dan layanan yang terbuka atau

yang disediakan untuk umum

2.Memastikan bahwa fasilitas dan layanan yang terbuka atau yang disediakan

untuk umum yang ditawarkan oleh pihak swasta telah memperhitungkan semua

aspekbagi aksesibilitas bagi para difabel

3.Memberikan pelatihan kepada pemegang kepentingan pada isu aksesibilitas

yang dihadapi oleh difabel

4.Menyediakan huruf braile dan braile signage pada bangunan dan fasilitas

lain yang terbuka untuk umum

5.Memberikan bantuan hidup dan perantara, termasuk panduan, pembaca dan

juru bahasa isyarat professional, untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap bangunan

dan fasilitas lain yang terbuka untuk umum

6.Mempromosikan bentuk-bentuk lain yang sesuai bantuan dan dukungan bagi

para difabel untuk menjamin akses mereka terhadap informasi

7.Mempromosikan akses bagi para difabel terhadap informasi baru dan sistem

teknologi komunikasi termasuk internet


8.Menggalakkan desain, pengembangan, produksi dan distribusi informasi dan

komunikasi dapat diakses dengan teknologi dan sistem pada tahap awal, sehingga

teknologi dan sistem ini dapat dicapai dengan biaya minimum.

Selain hak tersebut, hak yang mengatur penyandang disabilitas ada terdapat

dalam UU Nomor 8 Tahun 2016 pasal 5 sampai pasal 26 yang berisi :

(1) Penyandang Disabilitas memiliki hak:

a. hidup

b. bebas dari stigma

c. privasi

d. keadilan dan perlindungan hukum

e. pendidikan

f. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi

g. kesehatan

h. politik

i. keagamaan

j. keolahragaan

k. kebudayaan dan pariwisata

l. kesejahteraan sosial

m. Aksesibilitas

n. Pelayanan Publik

o. Pelindungan dari bencana

p. habilitasi dan rehabilitasi

q. Konsesi

r. pendataan

s. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat


t. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi

u. berpindah tempat dan kewarganegaraan, dan

v. bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.

(2) Selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perempuan

dengan disabilitas memiliki hak :

a. atas kesehatan reproduksi

b. menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi

c. mendapatkan Pelindungan lebih dari perlakuan Diskriminasi berlapis, dan

d. untuk mendapatkan Pelindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan

eksploitasi seksual.

(3) Selain hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak

penyandang disabilitas memiliki hak:

a. mendapatkan Pelindungan khusus dari Diskriminasi, penelantaran, pelecehan, eksploitasi,

serta kekerasan dan kejahatan seksual

b. mendapatkan perawatan dan pengasuhan keluarga atau keluarga pengganti untuk tumbuh

kembang secara optimal

c. dilindungi kepentingannya dalam pengambilan keputusan

d. perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak

e. Pemenuhan kebutuhan khusus

f. perlakuan yang sama dengan anak lain untuk mencapai integrasi sosial dan pengembangan

individu, dan

g. mendapatkan pendampingan sosial.


3.3 Fasilitas Penyandang Disabilitas

Ada beberapa pelayanan bagi para difabel , yaitu sebagai berikut.

 Pelayanan pendidikan

A.Pendidikan Inklusi

Hak setiap warga negara adalah mendapatkan pendidikan yang layak

dan tanpa diskriminasi. Hak pendidikan ini juga berlaku kepada orang

berkebutuhan khusus atau penyandang cacat atau yang biasa disebut difabel

(different ability). UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU

No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak

setiap warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang,

jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan

kata lain, dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat

sosial yang membedakan para difabel dengan masyarakat umum. Orang tua

bisa mendaftarkan anak difabel mereka ke sekolah umum. UU No. 4 Tahun

1997 pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga pendidikan umum menerima

para difabel sebagai siswa. Kewajiban seperti inilah yang disebut sebagai

model inklusi.

Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara

para difabel dan masyarakat pada umumnya. Sekolah Inklusi memberikan

peluang bagi siswa dengan setiap perbedaannya untuk dapat berhasil dalam

belajar di sekolah reguler (umum). Sehingga sekolah inklusi mensyaratkan

adanya keterbukaan, keadilan, tanpa diskriminasi, ramah dan terbuka dengan

mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul perbedaan yang ada

pada siswa/anak berkebutuhan khusus (ABK). Hal ini berbeda dengan kurun
waktu sebelumnya, pendidikan bagi ABK hanya dapat dilayani oleh Sekolah

Luar Biasa (SLB).

B.Sekolah Luar Biasa (SLB)

Selain sekolah inklusi, untuk penyediaan kebutuhan pendidikan bagi

difabel, Sekolah Luar Biasa merupakan pilihan. Berbeda dengan sekolah

inklusi yang tidak membedakan perlakuan antara siswa biasa dan

berkebutuhan khusus, Sekolah Luar Biasa hanya menampung mereka yang

memiliki keterbatasan fisik atau mental.

Beberapa hal yang ditekankan dalam penyelenggaraan SLB sebagai

lembaga pendidikan Indonesia adalah: (a) Tunanetra : membaca dan menulis

braille, orientasi mobilitas, (b) Tunarungu : Bina Bicara, Bina Persepsi Bunyi

dan Irama, (c) Tunagrahita : Binadiri, Sensomotor, (d) Tunadaksa : Bina

gerak, sensomotor, Behaviour Terapi, (e) Umum : Play terapi, Music Terapi,

Physioterapi, Hidroterapi, dan Occupational terapi.

C.Blind Corner di Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpusda)

Blind Corner bagi difabel merupakan layanan baru setelah

menjalankan kegiatan Bank Buku 2010. Pelayanan Blind Corner adalah

berbasis IT yang menyediakan 1 perangkat komputer yang menggunakan

software JAWS. Dengan aplikasi ini komputer membacakan setiap teks yang

tertera di layar PC sehingga dapat disimak pengunjung tunanetra. Perpusda

juga telah melengkapi dengan koleksi buku elektronik diantaranya novel-novel

Indonesia terkenal, buku bicara digital, file digital sehingga tunanetra dapat

membaca buku umum melalui proses scanning dan pemanfaatan program

JAWS. Juga disediakan pendamping untuk membantu pengunjung tunanetra

dalam mencari buku sampai dengan pemanfaatannya.


Layanan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tunanetra akan

aksesibilitas informasi sebagai upaya menuju perpustakaan inklusif yang

melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.

 Pelayanan Sosial dan Ketenagakerjaan

A.Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial

Ada beberapa kegiatan rehabilitasi dan pelayanan sosial yang

dilakukan. Pertama, kursus sulam. Kedua, Program Pemberdayaan Keluarga

Difabel. Program pemberdayaan ini berupa pemberian bantuan stimulan usaha

dalam bentuk uang tunai dengan jumlah 1 juta per keluarga. Bantuan ini dapat

diperoleh ketika keluarga difabel mengajukan proposal bantuan dana kepada

FKADK dan dinas sosial. Selanjutnya untuk menetukan kelayakan penerima

bantuan, dinas sosial melakukan verifikasi oleh tim survei dengan melakukan

studi kelayakan atau kunjungan ke rumah-rumah keluarga pemohon bantuan

untuk memastikan kelayakan pemberian bantuan.

Ketiga, Program bantuan pemberian alat bantu bagi kaum difabel. Alat

bantu yang diberikan berupa kursi roda, kaki palsu, tongkat, alat bantu dengar,

dsb. Keempat, Program santunan jaminan hidup dari Kementerian Sosial.

Kelima, Kegiatan Pemberdayaan Tenaga Kerja Penca (Difabel). Dalam rangka

pembinaan tenaga kerja Aksus (Angkatan Kerja Khusus) dimana didalamnya

termasuk tenaga kerja penca (Difabel), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan Kegiatan

Pemberdayaan Tenaga Kerja Penca (Difabel). Setelah mengikuti pelatihan,

peserta memperoleh pengetahuan kewirausahaan, baik teori maupun praktek,

dengan harapan termotivasi untuk menjadi wirausaha mandiri yang pada


akhirnya dapat memperluas lapangan pekerjaan bagi orang lain pada

umumnya dan difabel pada khususnya.

B.Pengembangan dan Penyaluran Kerja

Dalam bidang pengembangan tenaga kerja ini, Dinas Sosial membantu

dalam menyalurkan kaum difabel dalam mencari kerja. Dalam Undang –

undang dan Peraturan Pemerintah, termasuk Perda No 4 tahun 2012 tentang

Perlindungan Dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas disebutkan

bahwa perusahaan yang mempunyai 100 pekerja, maka harus memasukkan 1

(satu) kaum difabel untuk dipekerjakan pada perusahaan tersebut. Namun

perusahaan juga mempunyai kriteria dalam memasukkan kaum difabel

tersebut dan ini bersifat tidak memaksa.

Dinas Sosial memberikan penghargaan kepada perusahaan yang

menempatkan kaum difabel di perusahaannya dalam bentuk pemberian gaji

sebesar 25% dari gaji yang diberikan oleh perusahaan tersebut selama 1 (satu)

tahun dan memberikan jaminan Jamsostek.

C.Pelayanan Kesehatan

Kesehatan merupakan hak dasar warga negara. Artinya, dalam kondisi

dimana seorang warga negara tidak mampu mengupayakannya, maka sudah

menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Sebuah langkah maju adalah

bahwa pada saat sekarang ini, telah ada beberapa skema jaminan kesehatan

yang diselenggarakan untuk rakyat seperti JAMKESMAS, JAMKESSOS dan

JAMKESDA. Namun, dari pengalaman yang dirasakan oleh difabel, jaminan-

jaminan kesehatan tersebut ternyata tidak mampu menjawab kebutuhan

kesehatan difabel. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya item-item obat


dan treatment yang ditanggung, sementara penyakit yang melanda tidak

pernah mau peduli apakah yang menyandangnya orang miskin atau kaya.

Meski di Indonesia belum ada suatu penelitian mengenai tingkat

kerawanan kesehatan bagi difabel, namun diyakini bahwa pada tingkat

difabilitas tertentu, tingkat kerawanannya akan jauh lebih tinggi dibanding

yang non difabel. Misalnya bagi difabel dengan paraplegi, setiap bulannya

mereka membutuhkan perawatan kesehatan dan biaya-biaya medis yang tidak

bisa ditangguhkan. Artinya, jika dengan penghasilan yang menurut kategori

yang saat ini berlaku, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat miskin,

tetapi setelah dikurangi dengan biaya-biaya kesehatan yang rutin harus mereka

keluarkan, bisa jadi penghasilan mereka tidak lagi cukup untuk memenuhi

kebutuhan hidup lainnya.

Melihat permasalahan di atas, jelas bahwa jaminan kesehatan yang

sudah ada belum dirasa mampu menjawab kebutuhan difabel akan jaminan

kesehatan, dan untuk itu, perlu dikembangkan sebuah mekanisme jaminan

kesehatan yang sensitive difabel dan mampu menjawab kebutuhan rakyat akan

jaminan kesehatan.

 Aksesibilitas Perhubungan

A.Transjogja

Sarana transportasi umum yang terbilang murah dan menjangkau

seluruh bagian kota jogja, kehadiran Transjogja dengan segala

kenyamanannya disambut hangat oleh masyarakat Yogyakarta secara umum,

termasuk para difabel. Apalagi Transjogja dijanjikan dapat diakses oleh semua

masyarakat dan juga menyediakan sarana sarana penunjang agar dapat ikut
andil dalam transportasi masyarakat difabel. Beberapa hal yang telah

dilakukan adalah menyediakan kursi yang dapat lipat di setiap bus Transjogja

dan pembangunan halte bus Transjogja yang ramah difabel. Akan tetapi,

upaya pelayanan tersebut ternyata dalam prakteknya tidak selalu memberikan

kemudahan bagi difabel.

Dalam menyikapi masalah masalah tersebut PT Jogja Tugu Trans

mulai melakukan pembenahan dari segi desain dan posisi lahan yang

digunakan sebagai halte trans. Beberapa perbaikan yang mulai dilakukan

penyedia Transjogja adalah; (a) Halte didisain lebih menjorok di pintu keluar

menuju bis bertujuan agar mempermudah difabel keluar masuk bis, (b) Ram

yang tidak terlalu curam. Hal ini diharapkan mampu meringankan beban

dalam mendorong kursi roda para difabel. Dalam hal ini kemiringan ram ideal

sudah dapat dilihat pada halte Jl. KH Ahmad Dahlan, (c) Halte hendaknya

dibangun dan menyisakan space lebih kurang 2 m di sebelah kanan dan

sebelah kiri ram agar ketika turun difabel tidak langsung berhadapan dengan

taman, tiang bendera, dan tiang listrik, (d) Penyediaan ram di batas antara

jalan raya dan trotoar yang ada diatasnya, dan (e) Pintu halte dibangun sama

tinggi dengan pintu bis dengan lebih teliti.

B.Sepeda Motor Bagi Difabel

Ada tiga hal pokok yang harus dilaksanakan oleh Poltabes/Polres :

(a) Tidak ada diskriminasi dalam pengurusan SIM antara difabel dan

nondifabel

(b) Memberikan pelayanan dan menyediakan sarana dan prasarana

bagi difabel yang dapat mempermudah difabel mengurus SIM


(c) Difabel diperbolehkan melakukan modifikasi kendaraan bermotor

dengan berpedoman pada ketentuan yang ada.

Peraturan ini memang baru berlaku di kota Yogyakarta. Sedangkan di

kota besar lain seperti Jakarta dan Semarang peraturan ini memanglah belum

diterapkan.

C.Marka Rambu

Saat ini salah satu marka rambu yang disediakan oleh Dinas

Perhubungan untuk difabel adalah di daerah Malioboro. Jadi marka rambu

digunakan untuk penyeberangan kaum difabel yaitu dengan memencet tombol

yang ada pada samping marka tersebut.

 Aksesibilitas Bangunan dan Fasilitas Umum

Selama ini kaum difabel masih mengalami kesulitan dalam mengakses bangunan

dan prasarana fisik yang ada di Kota Yogyakarta. Sebagai contoh, ketika memasuki

Komplek Kantor Pemerintah Kota Yogyakarta, bagian Hubungan Masyarakat misalnya,

para difabel berkursi roda tampak kesulitan ketika harus menaiki tangga tanpa ada jalur

khusus kursi roda. Hal seperti ini masih sangat sering dijumpai di hampir semua

bangunan perkantoran pemerintah dan swasta. Pihak-pihak yang berwenang melakukan

pembangunan prasarana gedung belum banyak mempertimbangkan kemudahan akses

bagi difabel.

Pada beberapa fasilitas publik yang ada di Kota Yogyakarta, Dinas Permukiman

dan Prasarana Wilayah telah membuat dan membangun fasilitas umum yang ramah

difabel yaitu jalan khusus atau trotoar bagi difabel di beberapa ruas jalan utama Kota

Yogyakarta khususnya Jalan Malioboro.


 Lajur blok penanda sebagai tanda jalan difabel diberi warna kuning.

Lajur berada di bagian tengah trotoar dengan desain berbeda memiliki tanda

menonjol pada permukaan jalan. Tanda tersebut merupakan standar penanda jalan

khususnya tunanetra dan penyandang low visions.

3.4 Undang-Undang Penyandang Disabilitas

Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak

penyandang disabilitas, Pemerintah Indonesia telah membentuk berbagai peraturan

perundang-undangan yang mengatur pelindungan terhadap penyandang disabilitas.

Berbagai peraturan perundang-undangan tersebut antara lain:

o Undang-Undang Dasar tahun 1945

o Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

o Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat

o Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

o Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

o Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

o Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

o Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

o Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional

o Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

o Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

o Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

o Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

o Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

o Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik


o Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

o Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin.

o Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan

o Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpuan

Anda mungkin juga menyukai