A. Definisi Kebijakan Persaingan Kebijakan persaingan dapat didefinisikan secara luas sebagai kebijakan pemerintah yang mendorong atau memelihara tingkat persaingan di pasar, dan termasuk tindakan pemerintah yang secara langsung mempengaruhi perilaku perusahaan dan struktur industri dan pasar Kebijakan persaingan pada dasarnya mencakup dua 1. Pertama mencakup, menempatkan seperangkat kebijakan yang mendorong persaingan baik di pasar lokal dan nasional, seperti mengenalkan kebijakan perdagangan yang telah disempurnakan, menghilangkan pembatasan praktek perdagangan, mendukung keluar masuk pasar, mengurangi intervensi pemerintah yang tidak perlu dan menempatkan lebih besar ketergantungan pada kekuatan pasar. 2. Kedua, yang dikenal sebagai hukum persaingan, yang terdiri dari undang- undang, keputusan dan peraturan peradilan yang secara khusus ditujukan untuk mencegah praktek bisnis anti- kompetitif, penyalahgunaan kekuatan pasar dan merger anti-kompetitif. Hal ini umumnya, difokuskan pada pengendalian praktik perdagangan yang membatasi (seperti perjanjian anti- kompetitif dan dari posisi dominan) dan merger yang anti kompetitif juga mencakup ketentuan mengenai praktek-praktek perdagangan yang tidak adil. Perbedaan pengertian antara terminologi Kebijakan Persaingan Usaha (Competition Policy) dengan Hukum Persaingan Usaha (Competition Law) pada dasarnya terletak pada keluasan lingkup pengertian dan bidang pembahasan dari kedua terminologi tersebut. Pengertian Kebijakan Persaingan Usaha melingkupi pula pengertian dari Hukum Persaingan Usaha atau dengan kata lain bidang Hukum Persaingan Usaha merupakan salah satu cabang pembahasan dalam Kebijakan Persaingan Usaha. Hukum persaingan usaha berisi ketentuan-ketentuan substansial tentang tindakan-tindakan yang dilarang (beserta konsekuensi hukum yang bisa timbul) dan ketentuan-ketentuan prosedural mengenai penegakan hukum persaingan usaha. Pada hakikatnya hukum persaingan usaha dimaksudkan untuk mengatur persaingan dan monopoli demi tujuan yang menguntungkan. Apabila hukum persaingan usaha diberi arti luas, bukan hanya meliputi pengaturan persaingan, melainkan juga soal boleh tidaknya monopoli digunakan sebagai saran kebijakan publik untuk mengatur daya mana yang boleh dikelola oleh swasta. B. Ruang lingkup Kebijakan dan Hukum Persaingan Usaha Secara umum, ketentuan hukum persaingan secara substantif dan prosedural didasarkan pada hukum primer yaitu dalam bentuk "Undang-Undang Persaingan", sementara aturan pelaksanaan yang lebih rinci yang tersisa untuk undang-undang sekunder dan tindakan "hukum lunak" (yaitu, pedoman dan instrumen yang tidak mengikat lainnya). Undang-undang persaingan umumnya menetapkan Lembaga/Otoritas Persaingan, yang bertanggung jawab atas penegakan hukum persaingan. Tugas utama mereka adalah menyelidiki dan mengadili kasus, dan pemberian sanksi untuk pelanggaran hukum persaingan. Dalam beberapa sistem hukum, ajudikasi dapat diserahkan kepada otoritas peradilan atau ketiga. Tergantung pada hukum nasional, Otoritas Kompetisi juga dapat memberikan saran kepada Pemerintah dan administrasi publik tentang isu- isu persaingan terkait dan memainkan peran advokasi dalam mempromosikan kepatuhan dalam dunia bisnis dan menciptakan konsensus dalam masyarakat Hukum persaingan berlaku untuk para pelaku usaha, yaitu baik individu atau perusahaan yang terlibat dalam kegiatan ekonomi yaitu, pembelian atau penjualan barang atau jasa. Hal ini biasanya tidak dibedakan antara perusahaan swasta dan milik negara, asalkan mereka terlibat dalam kegiatan ekonomi Hukum persaingan umumnya melarang tiga praktek utama: (1) perjanjian anti-kompetitif; (2) penyalahgunaan posisi dominan atau monopoli; (3) merger anti-kompetitif. Hal ini juga dapat memiliki ketentuan yang berkaitan dengan praktek-praktek komersial yang tidak adil. C. Macam-macam Praktek Anti Persaingan Usaha Praktek anti persaingan usaha secara umum melarang tiga praktek utama yaitu: 1. Perjanjian anti-persaingan (anti-competitive agreements) 2. Penyalahgunaan posisi dominan atau monopoli (abuse of a dominant position or a monopoly) 3. Merger anti-persaingan (anti-competitive mergers) Selain hal di atas dapat juga mengatur ketentuan lain yang berhubungan dengan praktek bisnis yang tidak sehat. 1. Perjanjian anti-persaingan (anti-competitive agreements) Perjanjian anti persaingan adalah perjanjian atau penetapan antara pelaku usaha yang berpengaruh negatif terhadap persaingan dalam pasar bersangkutan (relevant market), (undang-undang persaingan sering menyebut perjanjian yang "mencegah, membatasi atau mengganggu" persaingan atau kalimat serupa). Istilah "perjanjian" tidak terbatas pada, perjanjian berlaku formal, tetapi biasanya mencakup praktek-praktek bersama (yaitu, kolusi informal dan pengaturan non- formal lainnya) serta keputusan oleh asosiasi pelaku usaha (terlepas dari apakah mereka mengikat atau tidak). Perjanjian anti-kompetitif bisa horizontal yakni antara pelaku usaha yang beroperasi pada tingkat yang sama (baik produksi / distribusi / penjualan) dalam rantai pasar (misalnya, antara dua atau lebih produsen, dua atau lebih distributor)atau vertikal yaitu, antara pelaku usaha yang beroperasi pada tingkat yang berbeda dari rantai pasar (misalnya, antara produsen dan distributor). Kedua perjanjian horisontal dan vertikal pada umumnya dikenakan larangan di atas, dengan beberapa pengecualian (misalnya, di bawah hukum Singapura perjanjian vertikal, dengan beberapa pengecualian, dikecualikan dari larangan). Perjanjian biasanya dilarang jika mereka memiliki efek anti-kompetitif. Misalnya, suatu kartel mungkin bersepakat untuk menetapkan harga tinggi atau menetapkan batas produksi pada setiap anggota kartel, yang juga menghasilkan harga yang lebih tinggi. Otoritas persaingan harus membuktikan efek anti- kompetitif, yang kadang-kadang sulit untuk dilakukan. Untuk membuatnya lebih mudah bagi otoritas persaingan untuk mengambil tindakan terhadap kartel beberapa yurisdiksi memungkinkan untuk tindakan hukum yang akan diambil terhadap kartel dengan membuktikan bahwa kartel memiliki 'objek' atau niat membatasi persaingan dalam beberapa cara. Perjanjian yang pada prinsipnya anti-kompetitif dapat dikecualikan, asalkan mereka menghasilkan efek menguntungkan. Secara umum, perjanjian yang dinyatakan dilarang dikecualikan hanya dengan cara tertentu atau izin oleh Lembaga Persaingan atau lembaga lain yang berwenang. Hukum persaingan biasanya menunjukkan kondisi di mana perjanjian anti- kompetitif dapat dikecualikan dan ada prosedur yang harus diikuti untuk mendapatkan pengecualian.31 2. Penyalahgunaan posisi dominan (abuse of a dominant position or a monopoly) Hukum persaingan melarang penyalahgunaan posisi dominan yaitu monopoli atau perusahaan dengan kekuatan pasar yang besar. Biasanya penyalahgunaan istilah mencakup praktik dimana pelaku usaha dengan kekuatan pasar yang besar membatasi persaingan di pasar. Gagasan posisi dominan, atau kekuatan pasar yang besar, dapat bervariasi sesuai dengan perundang-undangan nasional. Umumnya, mengacu pada situasi dimana pelaku usaha memiliki kekuatan ekonomi yang cukup untuk bertindak di pasar tanpa memperhatikan apa yang pesaingnya (aktual atau potensial) lakukan. Untuk menentukan dominasi, hukum persaingan dapat merujuk kepada pangsa pasar dan/atau serangkaian indikator struktur pasar lainnya, seperti tingkat integrasi vertikal, keunggulan teknologi, sumber daya keuangan, pentingnya nama merek, dll. Mencari atau mencapai posisi dominan biasanya tidak dilarang; hanya penyalahgunaan posisi dominannya saja. Perilaku penyalahgunaan bisa menjadi penyalahgunaan eksploitatif (menetapkan harga yang berlebihan atau kondisi yang tidak adil bagi pelanggan) atau penyalahgunaan eksklusif (perilaku yang mengecualikan pesaing efisien dari pasar, seperti predatory pricing atau kontrak berurusan eksklusif dengan satu-satunya pemasok bahan yang dibutuhkan untuk produksi) 3. Merger Anti-Persaingan(anticompetitive mergers) "Merger" mengacu pada situasi dimana dua atau lebih usaha, yang sebelumnya independen satu sama lain, bergabung bersama. Definisi ini mencakup transaksi dimana dua perusahaan hukum bergabung menjadi satu ("merger"), salah satu perusahaan mengambil kendali tunggal dari seluruh atau sebagian dari yang lain ("akuisisi" atau"pengambilalihan"), dua atau lebih banyak perusahaan memperoleh yang pengendalian bersama atas perusahaan lain (join ventures) dan transaksi lainnya, dimana satu atau lebih usaha memperoleh kontrol atas satu atau lebih usaha, seperti saling memimpin. Umumnya, hukum persaingan mencakup kategori berikut merger: merger, akuisisi, dan usaha patungan (joint venture dapat diatur baik di bawah merger atau ketentuan perjanjian anti-kompetitif lainnya). Merger hanya dilarang ketika mereka menyebabkan pembatasan persaingan. Bagi banyak yurisdiksi tes merger adalah apakah ada "berkurangnya besar kompetisi" D. Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA) ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. AFTA dibentuk pada waktu KTT ASEAN ke-IV di Singapura tahun 1992. Pada waktu itu disepakati tiga bentuk kesepakatan yang mengatur AFTA yaitu: 1. Deklarasi Singapura 1992; 2. The Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation; 3. Agreement on the Common Effective Preferential Tariff Scheme (CEPT- AFTA Agreement). ASEAN menyepakati mengenai AFTA didasarkan pada suatu motif atau dorongan kuat yaitu kesadaran negara-negara ASEAN bahwa kawasan Asia Tenggara telah dipinggirkan (being marginalized) atau paling tidak ASEAN pada waktu itu merasa akan terpinggirkan dengan dibentuknya organisasi regional di belahan dunia yang lain, misalnya di Eropa telah terbentuk EU atau European Union (EU).35 Pada tahun 1992 EU mendeklarasikan pembentukan Pasar Tunggal Eropa (European Single Market) yang dilaksanakan pada awal 1993 merupakan tahap penting bagi integrasi ekonomi EU waktu itu. Sedangkan di Amerika terbentuk North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang anggotanya terdiri dari Amerika Serikat, Kanada dan Meksiko. Dengan terbentuknya dua organisasiregional tersebut maka dikuatirkan sebagian besar porsi perdagangan dan investasi dunia akan mengalir ke Amerika Utara dan Eropa Barat. Selanjutnya investor dan perusahaan asing akan tidak tertarik lagi untuk menginvestasikan modalnya di Asia Tenggara. AFTA ini ditempuh melalui mekanisme Skema CEPT sebagai mekanisme utama perjanjian AFTA dengan cara dan jadwal tertentu yang disepakati bersama. Sedangkan pelaksanaan AFTA ini diawasi, dikoordinasikan dan dikaji oleh Dewan AFTA (AFTA Council) yang anggotanya terdiri dari para Menteri Perdagangan negara ASEAN yang tugasnya dibantu oleh Pejabat Senior Ekonomi ASEAN (SEOM). Dewan AFTA mempunyai tugas mencari penyelesaian atas berbagai sengketa perdagangan yang terjadi di antara negara-negara anggota ASEAN dan bertanggung jawab kepada sidang ASEAN Economic Ministers (AEM).AFTA bukan merupakan suatu kerjasama ekonomi (economic co-operation), seperti halnya ASEAN Industrial Project, atau ASEAN Industrial Joint Venture yang dibentuk pada tahun-tahun 1970-an, namun AFTA merupakan sebuah integrasi ekonomi (economic integration) yang mempunyai tujuan untuk mengintegrasikan seluruh wilayah ASEAN dalam suatu area perdagangan bebas.Terwujudnya perjanjian AFTA, merupakan bukti bahwa ASEAN sudah bekerja berdasarkan aturan-aturan formal yang mengikat sebagai hukum E. Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) Negara-negara ASEAN telah mengumumkan dengan jelas visi mereka dalam hal konsep integrasi ekonomi regional dan tujuan dari AEC. Karakteristik dari AEC secara resmi diidentifikasikan sebagai berikut: 1. pasar tunggal dan basis produksi 2. kawasan ekonomi yang kompetitif 3. pembangunan ekonomi yang setara 4. integrasi ke dalam ekonomi global Dalam karakterisasi dari AEC tersebut, baik aspek internal maupun internal dari integrasi regional adalah penting. Penciptaan pasar tunggal dan basis produksi ingin dicapai melalui “four freedoms” yaitu dalam pergerakan lintas batas dari barang (free flow of goods), jasa (free flow of services), modal (free flow of capital) dan tenaga kerja (free flow of labour) secara internal di dalam kawasan ASEAN.Selain itu, ini ditambah dengan kehadiran dari lembaga dan kebijakan yang berhubungan dengan kompetisi (persaingan usaha), perlindungan konsumen,. F. Karakteristik Hukum Persaingan Usaha di negara-negara ASEAN Hukum persaingan usaha secara relatif masih merupakan fenomena baru di ASEAN. Gelombang pertama implementasi hukum persaingan muncul sebagai akibat dari krisis keuangan di Asia pada tahun 1997-1998. Dua negara anggota ASEAN yang sangat merasakan dampak dari krisis tersebut yaitu, Indonesia dan Thailand, membuat hukum persaingan usaha di negara mereka pada tahun 1999. Sejak saat itu, tiga negara anggota ASEAN yang lain bergabung untuk membuat hukum persaingan usaha nasional. AEC telah memberikan dorongan lebih lanjut untuk implementasi hukum persaingan usaha di tingkat regional. F.1. Indonesia Di antara negara anggota ASEAN yang lain dengan hukum persaingan usahanya, Indonesia dapat mengklaim memiliki rezim persaingan yang paling matang dalam hal pengalaman penegakan hukumnya. KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha, lembaga penegakannya, telah menangani total 249 kasus selama periode 2000-2010. Undang-undang yang melarang tindakan anti persaingan ini muncul sebagai konsekuensi dari dampak buruk krisis ekonomi yang terjadi di negara Asia Timur pada tahun 1997 dalam perekonomian di Indonesia. Undang-undang ini juga dibuat atas respon Amerika sebagai pertukaran atas bantuan keuangan dari International Monetary Fund (IMF) untuk menyelesaikan neraca pembayaran dan krisis rupiah. Sebagai bagian dari persyaratan, Indonesia jugamenandatangani the Letter of Intentuntuk berkomitmen “menyelenggarakan persaingan dalam ekonomi domestik dengan mempercepat privatisasi dan memperluas peran sektor swasta dalam penyediaan infrasktruktur (IMF, 1997). Akan tetapi, perjanjian dengan IMF tersebut bukan merupakan satu- satunya alasan penyusunan undang-undang tersebut. Sejak 1989, telah terjadi diskusi intensif di Indonesia mengenai perlunya perundang-undangan antimonopoli. Reformasi sistem ekonomi yang luas dan khususnya kebijakan regulasi yang dilakukan sejak tahun 1980, dalam jangka waktu 10 tahun telah menimbulkan situasi yang dianggap kritis. Timbul konglomerat pelaku usaha yang dikuasai oleh keluarga atau partai tertentu, dan konglomerat tersebut dikatakan menyingkirkan pelaku usaha kecil dan menengah melalui praktek usaha yang kasar serta berusaha untuk mempengaruhi semaksimal mungkin penyusunan undang-undang serta pasar keuangan. Dengan latar belakang demikian, maka disadari bahwa pembubaran ekonomi yang dikuasai negara dan perusahaan monopoli saja tidak cukup untuk membangun suatu perekonomian yang bersaing.52 Oleh karena itu dibentuklah Undang-Undang Persaingan di Indonesia yaitu Undang- undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Hukum persaingan usaha yang berlaku di Indonesia adalah Undang- undang No.5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam peraturan tersebut yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat mencakup perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang dan penyalahgunaan posisi dominan : 1. Perjanjian yang dilarang a. Praktek Oligopoli (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 4 UU No.5 Tahun 1999). b. Penetapan Harga (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk: menetapkan harga (kecuali dalam usaha patungan atau berdasar undang- undang); diskriminasi harga; membuat harga di bawah harga pasar; atau melarang penjualan kembali dengan harga yang lebih rendah dari harga yang ditetapkan, Pasal 5-8 UU No.5 Tahun 1999). c. Pembagian wilayah pemasaran (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menetapkan wilayah pemasaran atau alokasi pasar sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 9 UU No.5 Tahun 1999) d. Pemboikotan (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama atau menolak untuk menjual produk pelaku usaha lain, Pasal 10 UU No.5 Tahun 1999) e. Kartel (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 11 UU No.5 Tahun 1999). f. Trust (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk membentuk gabungan perusahaan dengan tetap mempertahankan kelangsungan perusahaan masing-masing dengan tujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran sehingga dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 12 UU No.5 Tahun 1999). g. Oligopsoni (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai pasokan agar dapat mengendalikan harga yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 13 UU No.5 Tahun 1999). h. Integrasi Vertikal (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih untuk menguasai rangkaian produksi berkelanjutan yang dapat mengakibatkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan masyarakat, Pasal 14 UU No.5 Tahun 1999). i. Perjanjian Tertutup (perjanjian dua pelaku usaha atau lebih yang berisi syarat bahwa penerima pasokan hanya akan memasok atau tidak akan memasok produk tersebut kepada pelaku usaha lain; harus bersedia membeli produk lainnya dari pemasok; atau mengenai harga atau potongan harga yang akan diterima bila bersedia membeli produk lain atau tidak membeli produk yang sama dari pelaku usaha lain, Pasal 15 UU No.5 Tahun 1999). j. Perjanjian dengan Pihak Luar Negeri (perjanjian dengan pelaku usaha luar negeri yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 16 UU No.5 Tahun 1999). 2. Kegiatan yang Dilarang a. Monopoli (pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan pemasaran yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 17 UU No.5 Tahun 1999). b. Monopsoni (pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Pasal 18 UU No.5 Tahun 1999). c. Penguasaan Pasar (dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, sendiri atau bersama yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persainganusaha tidak sehat berupa: menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama; atau menghalangi konsumen untuk bertransaksi dengan pelaku usaha tertentu; atau membatasi peredaran dan penjualan produk; atau melakukan diskriminasi (Pasal 19 UU No.5 Tahun 1999); melakukan jual rugi untuk menyingkirkan pesaing (Pasal 20 UU No.5 Tahun 1999); dengan curang menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya (Pasal 21 UU No.5 Tahun 1999)). d. Persekongkolan (dilarang melakukan tender kolusif (Pasal 22 UU No.5 Tahun 1999), bersekongkol mendapatkan rahasia perusahaan pesaing (Pasal 23 UU No.5 Tahun 1999), bersekongkol untuk menghambat produksi dan atau pemasaran pesaing (Pasal 24 UU No.5 Tahun 1999). 3. Penyalahgunaan Posisi Dominan: a. Dilarang menggunakan posisi dominan secara langsung maupun tidak untuk menetapkan syarat perdagangan guna menghalangi konsumen; membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau menghambat pesaing memasuki pasar bersangkutan. (Pasal 25 UU No.5 Tahun 1999). b. Jabatan rangkap (dilarang merangkap jabatan direktur/komisaris di dua perusahaan atau lebih bila perusahaan lainnya; berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau memiliki keterkaitan dalam bidang dan jenis usaha; secara bersama menguasai pangsa pasar; yang dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat), Pasal 26 UU No.5 Tahun 1999. c. Pemilikan saham (dilarang pemilikan saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis apabila mengakibatkan satu atau sekelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% pangsa pasar; atau dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% pangsa pasar), Pasal 27 UU No.5 Tahun 1999. 4. Penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan (dilarang bila dapat mengakibatkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat dan ada kewajiban notifikasi bila mengakibatkan penguasaan aset atau nilai tertentu), Pasal 28 dan 29 UU No.5 Tahun 1999. UU No.5 Tahun 1999 berlaku untuk semua "pelaku usaha", yang didefinisikan oleh Pasal (5) UU No.5 Tahun 1999 sebagai "individu atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau tidak, yang didirikan dan kegiatan usaha yang berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam yurisdiksi Republik Indonesia, baik secara mandiri maupun bersama-sama berdasarkan kesepakatan, melakukan berbagai kegiatan usaha dalam bidang ekonomi ". Oleh karena itu, berlaku untuk setiap pelaku usaha yang melakukan bisnis di Indonesia, termasuk, antara lain, BUMN dan anak perusahaan asing. Selain itu, ada juga ketentuan Keputusan Presiden No.75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Komisi Pengawas Persaingan Usaha merupakan lembaga pengawas persaingan usaha yang memiliki tugas sebagai berikut :53 1. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 16; 2. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam Pasal 17 sampai dengan Pasal 24; 3. melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli