Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

KERATITIS

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Pendidikan Dokter Umum


Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing : dr. Suyatno, Sp.M

Oleh :

Nur Isman J510165037


Mita Restuning Aji J510165037
Muhammad Apriyanda J510165037

PROGRAM STUDI PROFESI KEDOKTERAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017
Table of Contents
BAB I ....................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................... 3
BAB II ..................................................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 4
A. Anatomi Bulbus Oculi ................................................................................. 4
1. Anatomi Kornea ........................................................................................... 6
2. Fisiologi Kornea ........................................................................................... 9
1. Definisi................................................................................................................... 10
2. Etiologi .................................................................................................................. 10
3. Klasifikasi ............................................................................................................. 11
4. Patofisiologi........................................................................................................... 11
5. Tanda dan Gejala Umum .................................................................................... 13
6. Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang .............................................................. 15
7. Terapi .................................................................................................................... 17
8. Komplikasi ............................................................................................................ 19
9. Prognosis ............................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 21
BAB I
PENDAHULUAN

Kornea merupakan bagian anterior dari mata yang harus dilalui cahaya,
dalam perjalanan pembentukan bayangan di retina. Karena itu kornea harus tetap
jernih dan permukaannyarata agar tidak menghalangi proses pembiasan sinar.
Kelainan yang bisa merusak bentuk dan kejernihan kornea dapat menimbulkan
gangguan penglihatan yang hebat, terutama bila letaknya di sentral (daerah pupil),
bila kelainan ini tidak diobati maka dapat terjadi kebutaan.1,2
Kelainan kornea yang paling sering ditemukan adalah keratitis. Keratitis
merupakan suatu proses peradangan kornea yang dapat bersifat akut maupun
kronis yang disebabkan oleh berbagai faktor antara lain bakteri, jamur, virus atau
karena alergi. Keratitis dapat dibagi menjadi beberapa golongan berdasarkan
kedalaman lesi pada kornea (tempatnya), penyebab dan bentuk klinisnya.3
Berdasarkan tempatnya keratitis secara garis besar dapat dibagi menjadi
keratitis pungtata superfisialis, keratitis marginal dan keratitis
interstitial.Berdasarkan penyebabnya keratitis digolongkan menjadi keratitis
bakterialis, keratitis fungal, keratitis viral, keratitis akibat alergi.Kemudian
berdasarkan bentuk klinisnya dapat dibagi menjadi keratitis sika, keratitis flikten,
keratitis numularis dan keratitis neuroparalitik.3Penyebab keratitis 90%
disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri tersering seperti Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Stapylococcus aeroginosa, dan Moarxella.4
Gejala umum keratitis adalah visus turun mendadak, mata merah, rasa
silau, dan merasa ada benda asing di matanya.Gejala khususnya tergantung dari
jenis-jenis keratitis yang diderita oleh pasien. Gambaran klinik masing-masing
keratitis pun berbeda-beda tergantung dari jenis penyebab dan tingkat kedalaman
yang terjadi di kornea, jika keratitis tidak ditangani dengan benar maka penyakit
ini akan berkembang menjadi suatu ulkus yang dapat merusak kornea secara
permanen sehingga akan menyebabkan gangguan penglihatan bahkan dapat
sampai menyebabkan kebutaan sehingga pengobatan keratitis haruslah cepat dan
tepat agar tidak menimbulkan komplikasi yang merugikan di masa yang akan
datang terutama pada pasien yang masih muda.1,2,3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Bulbus Oculi


Mata merupakan salah satu alat indera yang terdiri dari susunan yang
kompleks. Mata terletak dalam suatu rongga orbita berbentuk limas dalam kerangka
wajah. Di dalam orbita terdiri dari bulbus oculi, nervus opticus, musculi bulbi, fascia,
saraf, pembuluh, lemak dan glandula lacrimalis serta saccus lacrimalis. 5
Bulbus oculi orang dewasa normal hampir bulat dengan diameter
anteroposterior sekitar 24.2 mm. Terdiri dari 3 lapis yaitu sklera, koroid beserta corpus
siliare dan retina. 5
1. Sklera
Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar yang hampir
seluruhnya terdiri atas kolagen. Pita kolagen dan jaringan elastin membentang
di sepanjang foramen sklera posterior membentuk lamina cribosa, diantarana
dilalui oleh berkas akson nervus optikus. 5
2. Limbus
Jaringan yang membatasi antara kornea dan konjungtiva. Didekatnya terdapat
sel punca yang mempunyai karakteristik dimana sel tersebut dapat
beregenerasi.5
3. Konjungtiva
Lapisan transparan dan tipis yang menutupi sklera dan mempunyai pembuluh
darah yaitu arteri konjungtiva. Konjungtiva yang menutupi kelopak mata
bagian dalam atas dan bawah disebut konjungtiva palpebra, menutupi sklera
disebut konjungtiva bulbi dan perlihan diantaranya disebut konjungtiva
forniks.5
4. Kornea
Adalah selaput bening mata yang tembus cahaya mempunyai beberapa lapisan.
Lapisan pertama terdiri 5-6 lapisan epitel, lapisan kedua adalah membran
Bowman, lapisan ketiga adalah stroma, lapisan keempat adalah membran
Descement dan dibawah itu terdapat lapisan endotel.5
5. Iris
Bagian mata yang berwarna berdasarkan jumlah pigmen. Berfungsi untuk
menyaring cahaya dengan cara melebarkan dan mengecilkan pupil. Permukaan
anterior iris berkripta sedangkan permukaan posterior iris dilapisi oleh sel
epitel. 5
6. Pupil
Bagian dari tepi iris dengan pembukaan secara sirkular untuk menyesuaikan
jumlah cahaya yang masuk. 5
7. Bilik mata depan
Ruangan yang berada diantara posterior kornea dan anterior iris. 5
8. Lensa
Adalah suatu struktur bikonveks, avaskular dan tak berwarna. Terlihat hampir
transparan. Lensa tergantung pada zonula zinii yang menghubungkannya
dengan corpus siliaris. Lensa mampu menebal dan menipis untuk
berakomodasi. 5

Gambar 2.1. Lapisan Bola Mata


Gambar 2.2. Anatomi Bola Mata

1. Anatomi Kornea

Kornea merupakan jaringan avaskular, bersifat transparan, berukuran 11-12


mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea
memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60
kekuatan dioptri mata manusia. Kornea merupakan sumber astigmatisme pada system
optik. Asupan nutrisi dan pembuangan produk metabolik terutama melalui humor
akuos di posterior dan lapisan air mata di anterior, dengan gradien oksigen yang
menurun secara anterior-posterior. 6

Gambar 2.3. Lapisan kornea


Kornea memiliki ujung-ujung saraf terbanyak, dengan pleksus subepitel dan
lapisan dalam stroma dimana keduanya dipersarafi oleh divisi pertama nervus
trigeminalis. Tebal kornea (0.6 – 1.0 mm) terdiri atas lima lapisan:3,4

Gambar 2.4. Lapisan Kornea

1. Epitel
Epitel kornea merupakan lapis paling luar kornea dan berbentuk epitel
gepeng berlapis tanpa tanduk. Ini terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpang tindih; sel poligonal dan sel gepeng. Tebal
lapisan epitel kira-kira 5% (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea.
Epitel dan film air mata merupakan lapisan permukaan dari media
penglihatan. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini
terdorong ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya
dan sel poligonal di sampingnya melalui desmosom dan makula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa melalui
barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat
kepadanya. Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.
Lapisan in berasal dari ectoderm pemukaan, daya regenerasi epitel cukup
besar sehingga apabila terjadi kerusakan, akan diperbarui dalam beberapa
hari tanpa membentuk jaringan parut. Bagian ujung saraf kornea berakhir
pada epitel, sehingga setiap gangguan epitel akan memberikan gangguan
sensibilitas kornea berupa rasa sakit atau mengganjal.
2. Membran Bowman
Membran Bowmanterletak di bawah epitel bersifat jernih dan
aselular.Merupakan lapisan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti
stroma dan berasal dari epitel bagian depan stroma. Lapisan ini tidak
mempunyai daya generasi.
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea, yang merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril
kolagen dengan lebar sekitar 1 µm yang saling menjalin yang hampir
mencakup seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang
teratur sedang di bagian perifer serta kolagen ini bercabang. Di antara serat-
serat kolagen ini terdapat matriks. Terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama, dan kadang sampai 15 bulan.Bila terjadi gangguan
dari susunan serat di dalam stroma maka akan mengakibatkan sinar yang
melalui kornea terpecah dan kornea terlihat keruh. Stroma bersifat
higroskopis yang menarik air dari bilik mata depan. Kadar air di dalam
stroma kurang leih 70%. Kadar air dalam stroma relatif tetap yang diatur
oleh fungsi pompa sel endotel dan penguapan oleh epitel. Apabila fungsi
sel endotel kurang baik maka akan terjadi kelebihan kadar air sehingga
timbul sembab kornea.
4. Membran Descemet
Merupakan suatu lapisan tipis yang bersifat kenyal, kuat, tidak berstruktur
dan bening; terletak di bawah stroma dan mempunyai tebal kurang lebih 40
mm. Lapisan ini merupakan pelindung atau barrier infeksi dan masuknya
pembuluh darah.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20 – 40 mm melekat erat pada membran Descemet melalui
taut. Endotel dari kornea ini dibasahi oleh humor akuos. Lapisan endotel
berbeda dengan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi,
sebaliknya endotel mengkompensasi sel-sel yang mati dengan mengurangi
kepadatan seluruh endotel dan memberikan dampak pada regulasi cairan,
jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat
akibat gangguan sistem pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan
cairan (edema kornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan)
akan terjadi. Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel
yang merupakan membran semipermeabel, kedua lapisan ini
mempertahankan kejernihan daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada
lapisan ini maka akan terjadi edema kornea dan kekeruhan pada kornea.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf
siliar longus, saraf nasosiliar, saraf ke V, saraf siliar longus yang berjalan
suprakoroid, masuk ke dalam stroma kornea, menembus membran
Bowman melepas selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel dipersarafi
sampai pada kedua lapis terdepan. Sensasi dingin oleh Bulbus Krause
ditemukan pada daerah limbus.

2. Fisiologi Kornea

Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahayanya disebabkan oleh strukturnya yang
uniform, avaskuler dan deturgesensi. Deturgesensi atau keadaan dehidrasi relatif
jaringan kornea, dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh
fungsi sawar epitel dan endotel. Dalam mekanisme dehidrasi ini, endotel jauh lebih
penting daripada epitel, dan kerusakan kimiawi atau fisis pada endotel berdampak jauh
lebih parah daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan
edema kornea dan hilangnya sifat transparan. Sebaliknya, kerusakan pada epitel hanya
menyebabkan edema stroma kornea lokal sesaat yang akan meghilang bila sel-sel
epitel telah beregenerasi. Penguapan air dari lapisan air mata prekorneal menghasilkan
hipertonisitas ringan lapisan air mata tersebut, yang mungkin merupakan faktor lain
dalam menarik air dari stroma kornea superfisial dan membantu mempertahankan
keadaan dehidrasi. 3
Penetrasi kornea utuh oleh obat bersifat bifasik. Substansi larut-lemak dapat
melalui epitel utuh dan substansi larut-air dapat melalui stroma yang utuh. Karenanya
agar dapat melalui kornea, obat harus larut-lemak dan larut-air sekaligus. Epitel
adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme kedalam kornea.
Namun sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran bowman mudah
terkena infeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, virus, amuba, dan
jamur.3
Kornea merupakan bagian anterior dari mata, yang harus dilalui cahaya, dalam
perjalanan pembentukan bayangan di retina, karena jernih, sebab susunan sel dan
seratnya tertentu dan tidak ada pembuluh darah. Biasan cahaya terutama terjadi di
permukaan anterior dari kornea. Perubahan dalam bentuk dan kejernihan kornea,
segera mengganggu pembentukan bayangan yang baik di retina. Oleh karenanya
kelainan sekecil apapun di kornea, dapat menimbulkan gangguan penglihatan yang
hebat terutama bila letaknya di daerah pupil.3

B. KERATITIS
1. Definisi
Keratitis adalah radang pada kornea atau infiltrasi sel radang pada
kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh sehingga tajam
penglihatan menurun. Infeksi pada kornea bisa mengenai lapisan superficial
yaitu pada lapisan epitel atau membran bowman dan lapisan profunda jika
sudah mengenai lapisan stroma.2
2. Etiologi
Penyebab keratitis 90% disebabkan oleh bakteri, jenis bakteri seperti
Staphylococcus, Streptococcus, Pseudomonas, Atypical Mycobacteria dan
Moraxella. Infeksi keratitis adalah kondisi yang berpotensi membutakan yang
dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang parah jika tidak diobati pada
tahap awal. Jika pengobatan antimikroba yang tepat tertunda, hanya 50% dari
mata memperoleh pemulihan visual yang baik.7
Faktor risiko umum untuk infeksi keratitis meliputi trauma okular,
memakai lensa kontak, riwayat operasi mata sebelumnya, mata kering,
gangguan sensasional kornea, penggunaan kronis steroid topikal, dan
imunosupresi sistemik. Patogen umum termasuk Staphylococcus aureus,
koagulase-negatif Staphylococcus, Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus
pneumonia, dan spesies Serratia. Mayoritas kasus yang ditemukan di
masyarakat adalah keratitis bakteri yang teratasi dengan pengobatan empirik
dan tidak memerlukan kultur bakteri. Apusan kornea untuk kultur dan tes
sensitivitas diindikasikan untuk ulkus kornea dengan ukuran yang besar,
berlokasi di sentral kornea, mencapai daerah stroma.8

3. Klasifikasi
Menurut lapisan yang terkena, keratitis dibagi menjadi:9
1. Keratitis superfisialis, jika mengenai lapisan epitel dan membrane
Bowman
a. Keratitis pungtata superfisialis
Berupa bintik-bintik putih pada permukaan kornea yang dapat
disebabkan oleh berbagai penyakit infeksi virus antara lain
virus herpes, herpes zoster, dan vaksinia.
b. Keratitis flikten
Benjolan putih yang bermula di limbus tetapi mempunyai
kecenderungan untuk menyerang kornea.
c. Keratitis sika
Suatu bentuk keratitis yang disebabkan oleh kurangnya sekresi
kelenjar lakrimal atau sel goblet yang berada di konjungtiva.
d. Keratitis lepra
Suatu bentuk keratitis yang diakibatkan oleh gangguan trofik
saraf, disebut juga keratitis neuroparalitik.
e. Keratitis numularis
Bercak putih berbentuk bulat pada permukaan kornea biasanya
multipel dan banyak didapatkan pada petani.
2. Keratitis profunda, jika mengenai lapisan stroma
a. Keratitis interstisial luetik atau keratitis sifilis kongenital
b. Keratitis sklerotikans

4. Patofisiologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predisposisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea
(dry eyes), penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma
dan penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.
Kornea mendapatkan pemaparan konstan dari mikroba dan pengaruh
lingkungan, oleh sebab itu untuk melindunginya kornea memiliki beberapa
mekanisme pertahanan. Mekanisme pertahanan tersebut termasuk refleks
berkedip, fungsi antimikroba film air mata (lisosim), epitel hidrofobik yang
membentuk barrier terhadap difusi serta kemampuan epitel untuk beregenerasi
secara cepat dan lengkap.
Epitel adalah merupakan barrier yang efisien terhadap masuknya
mikroorganisme ke dalam kornea.Pada saat epitel mengalami trauma, struma
yang avaskuler dan lapisan bowman menjadi mudah untuk mengalami infeksi
dengan organisme yang bervariasi, termasuk bakteri, amoeba dan jamur.
Sreptokokus pneumonia adalah merupakan pathogen kornea bakterial,
pathogen-patogen yang lain membutuhkan inokulasi yang berat atau pada host
yang immunocompromised untuk dapat menghasilkan sebuah infeksi di
kornea.10
Ketika patogen telah menginvasi jaringan kornea melalui lesi kornea
superfisial, beberapa rantai kejadian tipikal akan terjadi, mulai dari lesi pada
kornea yang selanjutnya agen patogen akan menginvasi dan mengkolonisasi
pada daerah struma kornea respon tubuh berupa pelepasan antibodi yang akan
menginfiltrasi lokasi invasi agen pathogen. Hasilnya,akan tampak gambaran
opasitas pada kornea dan titik invasi pathogen akan membuka lebih luas dan
memberikan gambaran infiltrasi kornea.10
Iritasi dari bilik mata depan dengan hipopion (umumnya berupa pus
yang akan berakumulasi pada lantai dari bilik mata depan) dan selanjutnya
agen pathogen akan menginvasi seluruh kornea.Hasilnya stroma akan
mengalamii atropi dan melekat pada membarana descement yang relatif kuat
dan akan menghasilkan descematocele yang dimana hanya membarana
descement yang intak.Ketika penyakit semakin progresif, perforasi dari
membrane descement terjadi dan humor aquos akan keluar. Hal ini disebut
ulkus kornea perforate dan merupakan indikasi bagi intervensi bedah
secepatnya. Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus progresif dan
bola mata akan menjadi lunak.10

5. Tanda dan Gejala Umum

Tanda patognomik dari keratitis ialah terdapatnya infiltrat di kornea.


Infiltrat dapat ada di seluruh lapisan kornea, dan menetapkan diagnosis dan
pengobatan keratitis. Pada peradangan yang dalam, penyembuhan berakhir
dengan pembentukan jaringan parut (sikatrik), yang dapat berupa nebula,
makula, dan leukoma. Adapun gejala umum adalah:4

 Keluar air mata yang berlebihan


 Nyeri
 Penurunan tajam penglihatan
 Radang pada kelopak mata (bengkak, merah)
 Mata merah
 Sensitif terhadap cahaya.

Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada


pasien yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial.
Pasien dapat mengeluhkan adanya pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia,
penurunan visus, sensasi benda asing, iritasi okuler dan blefarosspasma dan
kadang juga di temukan hipopion pada kamera anterior.3

Gambar 2.5 Keratitis Bakterial


Oleh karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan merefraksikan
cahaya, lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan menjadi kabur,
terutama ketika lesinya berada dibagian sentral.10
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi
epithelia multiple sebanyak 1 – 50 lesi (rata – rata sekitar 20 lesi
didapatkan).Lesi epithelial yang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial
berupa kumpulan bintik – bintik kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan
cenderung berakumulasi di daerah pupil. Opasitas pada kornea tersebut tidak
tampak apabila di inspeksi secara langsung, tetapi dapat dilihat dengan slitlamp
ataupun loup setelah diberi flouresent.3

Gambar 2.6 Keratitis Pungtata Superfisial

Pada Keratitis Pneumokokusmuncul 24-48 jam setelah inokulasi, ulkus


berbatas tegas, kelabu, cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat
infeksi ke sentral. Batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi
kornea sekitar ulkus sering bening, ada hipopion.
Pada Keratitis Pseudomonas ulkus berawal sebagai infiltrat kelabu atau
kuning. Lesi ini cenderung cepat menyebar ke segala arah. Terdapat hipopion
dan infiltrat dan eksudat berwarna hijau kebiruan
Pada Keratitits Streptokokuskhas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi ke arah
tengah kornea (serpinginous). Ulkus bewarna kuning keabu-abuan, berbentuk
cakram dengan tepi ulkus yang menggaung.Ulkus cepat menjalar ke dalam dan
menyebabkan perforasi.
Sensitifitas kornea umumnya normal atau hanya sedikit berkurang, tapi
tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada keratitis herpes simpleks.
Walaupun umumnya respons konjungtiva tidak tampak pada pasien,akan tetapi
reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar dapat dilihat pada pasien.8

6. Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang


Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien
yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa silau
(fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea ini
biasanya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti keratitis
superfisial dan interstisial atau profunda. Keratitis superfisial termasuk lesi
inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman superfisial.7
Sangat penting untuk dilakukan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea.Letak lesi di kornea dapat
diperkirakan dengan melihat tanda-tanda yang terdapat pada kornea.Pada
keratitis epithelial, perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari penebalan
epitel, Punctate Epitelial Erosion (PEE), dan lecet kornea untuk
pseudodendrites.Dapat menjadi reaksi traumatis sekunder dan alergi terhadap
lensa kontak. Pada pewarnaan fluorescein terutama terlihat pada posisi pukul
3 dan pukul 9 kornea, edema ringan dan vakuolasi hingga erosi, pembentukan
filamen maupun keratinisasi parsial. Pada keratitis stromal, respon struma
kornea dapat berupa infiltrasi sel radang, edema yang bermanifestasi kepada
edema kornea yang awalnya bermula dari stroma lalu ke epitel kornea.10
Periksa reaktivitas pupil dengan senter, pemeriksaan slit lamp dengan
memperhatikan daerah konjungtiva bulbar dan palpebral untuk mencari setiap
papillae atau folikel, permukaan kornea untuk menyingkirkan ulkus kornea,
dan reaksi pada ruang anterior mata.10
Pemeriksaan fisik pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada
keratitis melalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat.Larutan flouresent
dapat menggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat
dengan inspeksi biasa.Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam
pemeriksaan kornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan
sebuah loup dan dengan iluminasi yang terang.Pemeriksaan harus melihat
jalannya refleksi cahaya sementara memindahkan cahaya dengan hati-hati ke
seluruh kornea. Dengan cara ini area yang kasar sebagai indikasi dari defek
kornea dapat terlihat.10
Keratitis pungtata superfisial yang disebut juga keratitis pungtata
epithelial atau Thygenson’s disease merupakan salah satu tipe inflamasi atau
peradangan pada kornea mata dengan hilangnya epitel kornea.Lesinya berupa
pungtata yang terlihat seperti titik – titik meskipun dapat juga berupa dendritik
dengan gambaran linier dan bercabang. Karateristik dengan tidak adanya
jaringan parut sisa dan jarang menyisakan penglihatan.10
Pasien biasanya mengeluhkan adanya sensasi benda asing, fotofobia
dan air mata yang berlebihan.Lesi pungtata pada kornea dapat dimana saja tapi
biasanya pada daerah sentral.Daerah lesi biasanya meninggi dan berisi titik –
titik berwarna abu – abu yang kecil. Tidak adanya terapi spesifik untuk keadaan
ini, tergantung faktor penyebabnya.11
Floresensi topikal adalah merupakan larutan nontoksik dan water-
soluble yang tersedia dalam beberapa sediaan dalam larutan 0,25% dengan zat
anestetik (benoxinate atau proparacaine), sebagai antiseptik (povidone-iodine),
maupun dalam zat pengawet sebagai tetes mata tanpa pengawet 2% dosis unit.
Floresens akan menempel pada defek epithelial pungtata maupun yang
berbentuk makroulseratif (positive stanining) dan dapat memberikan gambaran
akan lesi yang tidak bebrbekas melalui film air mata (negative staining).
Floresens yang terkumpul dalam sebuah defek epithelial akan mengalami
difusi ke dalam strauma kornea dan tampak dengan warna hijau pada kornea.4
Diagnosis yang tepat dan pengobatan infeksi kornea sedini mungkin
sangatlah penting dalam menghindari penurunan penglihatan secara permanen.
Diagnosis melalui pemeriksaan penunjang dari setiap jenis infeksikeratitis
pada dasarnya meliputi langkah-langkah berikut:4

1. Mengidentifikasi agen patogen dan tes sensitivitas. Hal ini dilakukan


dengan mengambil apusan dasar ulkus sebagai bahan sampel dan inokulasi
media kultur untuk bakteri dan fungi. Spesimen lensa kontak yang
digunakan juga harusdiambil dan di kulturuntuk memastikan sumberdari
bakteri atau jamur.
2. Dilakukan pewarnaan dengan Gram dan Giemsa pada spesimen yang
diambil untuk mendeteksi bakteri.
3. Apabila dicurigai suatu infeksi virus, tes sensitivitas kornea dianjurkan
dimana hasil sensitivitasnya akan berkurang.
4. Biopsi kornea.
5. Sensibilitas Kornea.

7. Terapi
a.Terapi antibiotika
Tetes mata antibiotik mampu mencapai tingkat jaringan yang tinggi dan
merupakan metode yang banyak dipakai dalam pengobatan banyak kasus.
Salep pada mata berguna sewaktu tidur pada kasus yang kurang berat dan
juga berguna sebagai terapi tambahan. Antibiotik subkonjungtiva dapat
membantu pada keadaan ada penyebaran segera ke sclera atau perforasi atau
dalam kasus di mana kepatuhan terhadap rejimen pengobatan diragukan. 9,12
Antibiotik topikal spektrum luas empiris digunakan pada pengobatan
awal dari keratitis bakteri. Untuk keratitis yang parah (melibatan stroma atau
dengan defek yang lebih besar dari 2 mm dengan nanah yang luas), diberikan
dosis loading setiap 5 sampai 15 menit untuk jam pertama, diikuti oleh
aplikasi setiap 15 menit sampai 1 jam pada jam berikutnya. Pada keratitis
yang kurang parah, rejimen terapi dengan dosis yang kurang frekuen terbukti
efektif. Agen Cycloplegic dapat digunakan untuk mengurangi pembentukan
sinekhia dan untuk mengurangi nyeri pada kasus yang lebih parah pada
keratitis bakteri dan ketika adanya peradangan bilik anterior mata. 9,12
Terapi single-drug dengan menggunakan fluoroquinolone (misalnya
ciprofloksasin, ofloksasin) menunjukkan efektiftivitas yang sama seperti
terapi kombinasi. Tetapi beberapa patogen (misalnya Streptococcus,
anaerob) dilaporkan mempunyai kerentanan bervariasi terhadap golongan
fluoroquinolone dan prevalensi resistensi terhadap golongan
fluoroquinolones tampaknya semakin meningkat. Gatifloksasin dan
moksifloksasin (generasi keempat fluoroquinolone) telah dilaporkan
memiliki cakupan yang lebih baik terhadap bakteri gram-positif dari
fluoroquinolone generasi sebelumnya pada uji in-vitro. Namun,
fluoroquinolone generasi keempat belum disetujui FDA untuk pengobatan
keratitis bakteri.9,12
Terapi kombinasi antibiotika digunakan dalam kasus infeksi berat dan
mata yang tidak responsif terhadap pengobatan. Pengobatan dengan lebih
dari satu agen mungkin diperlukan untuk kasus-kasus penyebab mikobakteri
non-tuberkulos. Antibiotik sistemik jarang dibutuhkan, tetapi dapat
diipertimbangkan pada kasus-kasus yang parah di mana proses infeksi telah
meluas ke jaringan sekitarnya (misalnya, sclera) atau ketika adanya ancaman
perforasi dari kornea. Terapi sistemik juga diperlukan dalam kasus-kasus
keratitis gonokokal.9,12

b.Terapi kortikosteroid
Terapi topikal kortikosteroid memiliki peran bermanfaat dalam
mengobati beberapa kasus menular keratitis. Keuntungan potensial adalah
penekanan peradangan dan pengurangan pembentukan jaringan parut pada
kornea, yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan. Antara
kerugiannya pula termasuk timbulnya aktivitas infeksi baru, imunosupresi
lokal, penghambatan sintesis kolagen dan peningkatan tekanan intraokular.
Meskipun berisiko, banyak ahli percaya bahwa penggunaan kortikosteroid
topikal dalam pengobatan keratitis bakteri dapat mengurangi morbiditas.
Terapi kortikosteroid pada pasien yang sedang diobati dengan kortikosteroid
topikal pada saat adanya curiganya keratitis bakteri hendaklah diberhentikan
dahulu sampai infeksi telah dikendalikan.9,12
Prinsip pada terapi kortikosteroid topikal adalah menggunakan dosis
minimal kortikosteroid yang bisa memberikan efek kontrol peradangan.
Keberhasilan pengobatan membutuhkan perkiraan yang optimal, regulasi
dosis secara teratur, penggunaan obat antibiotika yang memadai secara
bersamaan, dan follow-up. Kepatuhan dari pasien sangat penting, dan
tekanan intraokular harus sering dipantau. Pasien harus diperiksa dalam 1
sampai 2 hari setelah terapi kortikosteroid topikal dimulai. 9,12
8. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat menyertai keratitis, antara lain:
a. Hipopyon: sebagai proses perluasan pada kasus yang tidak diobati, jaringan
uveal anterior yang disusupi oleh limfosit, sel-sel plasma dan PMNLs
bermigrasi melalui iris ke kamera anterior.
b. Penyembuhan membentuk jaringan parut atau sikatriks di lokasi
sebelumnya. Sikatriks yang dapat dibagi menjadi 3 yaitu nebula , makula
dan leukoma.

1. Leukoma distroma, denganmatatelanjang biasdilihat


2. Makula disubepitel,dengan senter biasdilihat
3. Nebula di epitel
4. Ulkus kornea
5. Descemetocoele
Membran descemet yang tahan terhadap kolagenolisis dan mengalami
perbaikan dengan pertumbuhan epitel kearah anterior membran
kornea.Kondisi ini lebih umum sebagai sekuel keratitis virus.
6. Perforasi

9. Prognosis
Prognosis visual tergantung pada beberapa faktor, seperti diuraikan di bawah
ini, dan dapat mengakibatkan penurunan visus derajat ringan sampai berat.13
 Virulensi organisme yang bertanggung jawab atas keratitis
 Luas dan lokasi ulkus kornea
 Hasil vaskularisasi dan / atau deposisi kolagen
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San


Fransisco 2008-2009. p. 179-90
2. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17.
Jakarta : EGC. 2009. p. 125-49.
3. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi–2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2002.
p.113–116.
4. Lang GK. Cornea. In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook Atlas. 2nd
edition. Stuttgart ; thieme ; 2007. p. 462-466.

5. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : W.B.
Saunders Company ; 2006.
6. Yanoff M., Duker J.S.Opthalmology Fouth Edition. Elsevier Saunders. 2014.
7. Rapuano CJ. Color Atlas & Synopsis of Clinical Opththalmology : Cornea. 2nd
edition. Pennsylvania : Wills Eye Institute; 2003. P168-73.
8. Chern KC. Emergency Ophtalmology a Rapid Treatment Guide. Mc Graw-
Hill. 2002.
9. Kanski. Clinical Opthalmology: A Systemic Approach. 7th edition. Elsevier.
2011.
10. Tasman W, Jaeger EA. Duane’s Ophtalmology. Lippincott Williams &
Wilkins Publishers. 2007
11. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophtalmology.
Thieme. 2006. p. 97-99
12. Vaughan, Daniel. General Opthalmology. 18th edition. McGraw Hill. 2014.
13. Lopez FHM. Bacterial Keratitis. August 28th, 2014. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1194028-overview. Accessed on
March11th, 2016.

Anda mungkin juga menyukai