Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara demokrasi yang menganut sistem multi partai,


merupakan negara yang menyuarakan suara-suara warga negaranya melalui
pemilu serta memberi kesempatan pada organisasi partai politik yang ingin
mewujudkan visi-misinya. Pada saat ini, semakin banyak bermunculan pelbagai
partai politik yang saling bersaing memperebutkan perhatian dari rakyat di
Indonesia. Pelbagai partai politik berebut mencalonkan anggota yang akan
memiliki banyak pengaruh pada masyarakat dan menentukan masa depan bangsa
sehingga diperlukan suatu kesungguh-sungguhan.

Dalam suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan
adil (free and fair) adalah suatu keniscayaan. Di Indonesia pemilihan umum
banyak terjadi kecurangan baik oleh calon wakil rakyat ataupun partai politik.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana demokratisasi di Indonesia?
2. Bagaimana wujud pelaksanaan pemilu di Indonesia?
3. Apakah pilkada berjalan sesuai dengan UUD 1945?
4. Bagaimana dengan fenomena masyarakat yang memilih untuk “golput”
dalam pemilu?
BAB II

TELAAH

A. Demokratisasi Di Indonesia
Partai Politik merupakan salah satu bentuk perwujudan kebebasan berserikat
dan berkumpul yang dijamin oleh konstitusi dan merupakan salah satu prasyarat
berjalannya demokrasi. Selain itu, partai politik merupakan salah satu wujud
kongkrit dari partisipasi masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi
yang tentunya diharapkan dapat menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan,
kebersamaan, kejujuran, sportifitas dan keadilan. Secara umum partai politik
dapat didefinisikan sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang memiliki
tujuan yang sama, baik untuk mempengaruhi, merebut, maupun mempertahankan
kekuasaannya yang bertujuan untuk memperoleh jabatan-jabatan politik di
pemerintahan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-undang No.31 Tahun 2002, tentang


Partai Politik, maka Partai Politik adalah organisasi politik yang dibentuk oleh
sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar
persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota,
masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum.
Menurut ketentuan Pasal 1 undang-undang No.2 tahun 2008, tentang Partai
Politik, maka yang dimaksud dengan partai politik adalah sebagai berikut. Partai
politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok
warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-
cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Fungsi partai politik menurut beberapa ahli yaitu sarana komunikasi politik,
sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik, pengelolaan konflik, dan
fungsi artikulasi dan agregrasi kepentingan. Namun dalam pelaksanaanya partai
politik masih belum bisa melaksanakan fungsinya secara optimal, terbukti dengan
contoh nyata yaitu komunikasi politik hanya dilakukan saat pemilu atau saat
kampanye saja padahal komunakasi politik seharusnya dilakukan secara berkala/
intens.
Fungsi yang paling menonjol yang dilakukan oleh partai politik adalah
fungsi sarana rekruetmen politik—yaitu rekruitmen untuk menduduki jabatan-
jabatan dipemerintahan, DPR, DPRD dan jabatan-jabatan publik lainnya di
daerah. Namun dalam proses rekruitmen kader di partai politik kurang berjalan
sehat dan dinamis, banyak terjadi sistem kekerabatan atau nepotisme. Hal inilah
yang menjadi kelemahan proses rekruitmen partai politik kita. Selain itu,
kelemahan lainnya adalah sisi pendanaan partai. Tidak ada satupun partai partai
politik yang mandiri secara finansial dengan menarik iuran anggota-anggota partai
politik untuk kemudian digunakan membiayai aktivitas partai politik yang
bersangkutan, sehingga hal inilah yang menjadi salah satu penyebab maraknya
praktek korupsi di beberapa kementerian yang diperebutkan oleh kader partai
politik. Begitu pula dengan masyarakat kali ini yang lebih memilih partai politik
mana yang menguntungkan mereka baik berupa uang maupun barang, daripada
visi, misi partai politik tersebut.
Adapun yang berkaitan dengan sistem kepartaian, secara umum terdapat 3
(tiga) sistem kepartaian yaitu sistem satu partai, sistem dua partai, dan sistem
multi partai.
Sistem satu partai ialah sistem politik dalam suatu negara yang hanya
dikuasai oleh satu partai dominan. Sistem satu partai merupakan salah satu ciri
negara otokrasi, model partai tunggal terdapat di beberapa negara seperti di
negara-negara Afrika (Mali, Pantai Gading) dan negara-negara Eropa Timur
sebelum keruntuhan komunisme Soviet dan di Cina.
Sedangkan sistem dua partai adalah sistem politik suatu negara yang
memiliki dua partai utama (major party) dengan kemungkinan adanya partai
politik lain, namun tidak signifikan. Terbentuknya dua partai politik utama terkait
dengan sistem dan latar belakang sosial negara tertentu. Contoh negara yang
menerapkan sistem ini adalah Inggris.
Sistem multi partai adalah suatu sistem politik di mana dalam suatu negara
tidak terdapat satu partai politik tertentu yang mungkin menjadi mayoritas absolut
untuk dapat menguasai lembaga perwakilan, atau membentuk pemerintahan tanpa
berkoalisi dengan partai lain. Sistem multi partai memiliki kelebihan terutama
bagi negara yang memiliki heterogen dalam masyarakatnya. Sistem ini
berkembang di Belanda, Prancis, Swedia, dan Indonesia. Sistem multi partai
biasanya diperkuat dengan sitem perwakilan berimbang yang memberi
kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai kecil.
Kelemahan dari sistem multi partai ini adalah terletak pada stabilitas politik
dan stabilitas pemerintahan, karena tidak ada partai yang dominan, apalagi kita
menerapkan sistem presidensial. Sistem kepartaian multipartai hanya ideal apabila
diterapkan pada sistem parlementer.
Namun demikian bukan berarti kita lebih setuju dengan sistem kepartaian
yang diterapkan di era Orde Baru yang menerapkan sistem dua partai dan satu
golongan melalui fusi partai-partai politik yang sudah ada pada saat itu. Akan
tetapi yang paling realistis adalah kita menerapkan sistem multi partai sederhana
yaitu penyederhanaan partai secara bertahap melalui penerapan electoral treshold
dan parliamentary treshold, sehingga eksistensi partai politik akan ditentukan
keberlangsungannya oleh rakyat melalui pemilihan umum.

B. Pemilihan Umum
Dalam suatu sistem politik demokrasi, kehadiran pemilu yang bebas dan
adil (free and fair) adalah suatu keniscayaan. Pemilu digunakan sebagai tolak
ukur pelaksanaan demokrasi di suatu negara.
Pemilihan umum merupakan mekanisme dimana rakyat bisa menyalurkan
aspirasi politiknya secara bebas dalam menentukan pemimpin nasional, sehingga
dalam konteks ini sebenarnya tercermin tanggung jawab warga negara. Oleh
karena itu, rakyat harus mengerti benar bahwa apapun pilihannya hal itu mesti
didasari oleh alasan yang kuat, rasional dan kritis (rasional voter), bukan sekedar
pembebekan politik—asal ikut dan asal pilih (emotional voter), tentunya harus
menjadi pemilih yang cerdas dan bertanggung jawab. Karena meskipun hanya
satu suara, maka pilihan rakyat tersebut sangat berarti dan memiliki implikasi
besar yakni dapat menentukan arah nasib bangsa selama lima tahun mendatang,
sehingga kalau salah pilih, maka tentunya rakyat juga yang akan dirugikan.
Dengan adanya pemilu yang bebas dan kompetitif dipandang sebagai salah satu
ciri yang mentapkan suatu bangsa sebagai suatu bangsa yang demokratif.
Kemudian untuk menilai sebuah proses pemilu, maka secara konseptual
terdapat dua mekanisme yang bisa dilakukan untuk menciptakan dan sekaligus
menilai pemilihan umum yang bebas dan adil. Yaitu electoral law dan electoral
process.
Mekanisme pertama yaitu electoral law atau electoral system merupakan
intervening variabel terhadap upaya untuk menciptakan sebuah pemilu yang
demokratis, jujur dan adil serta berkualitas. Karena itu mustahil menciptakan
pemilu yang demokratis, jujur, adil dan berkualitas, tanpa terlebih dahulu
melakukan pembenahan terhadap perangkat hukum terkait dengan partai politik,
dan pemilihan umum yang didalamnya meliputi sistem pemilu, mekanisme
pencalonan, kampanye, tata cara pemungutan dan penghitungan suara serta sangsi
terhadap pelanggaran yang terjadi selama proses tahapan pemilu dan penyelesaian
sengketa hasil pemilu.
Sedangkan mekanisme kedua yaitu elektoral proses, harus diletakkan
sebagai dependent variable. Karena hal itu menentukan sebuah proses pemilu
tersebut berkualitas atau tidak. Artinya dari aspek kualitas proses pemilu misalnya
dari sisi penyelenggara pemilu: apakah mulai dari KPU Pusat, KPU daerah,
sampai dengan PPK, PPS dan KPPS dapat menjalankan netralitasnya sebagai
penyelenggara pemilu dengan tidak melakukan kecurangan yang akan berdampak
menguntungkan ataupun merugikan parpol tertentu atau pasangan calon presiden
dan wakil presiden tertentu.
Sedangkan dari sisi peserta pemilu—dalam hal ini partai politik: apakah
tidak melakukan intimidasi? Apakah tidak melakukan kekerasan? Apakah
melakukan money politics. Apakah telah melakukan rekruetmen politik (caleg)
secara demokratis di internal partai dengan menempatkan caleg yang benar-benar
dikenal dan dekat dengan akar rumput di daerah pemilihannya masing-masing.
Untuk itu merupakan kewajiban kita bersama untuk melakukan
pengawasan, khususnya lebih mengefektifkan fungsi-fungsi pengawasan yang
dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), mulai dari pusat sampai di
tingkat kecamatan dan kelurahan/desa serta lembaga-lembaga pemantauan
pemilu, sehingga pemilu benar-benar berkualitas baik dari sisi proses maupun
output-nya. Hal ini akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang benar-benar
aspiratif dan kapabel serta dapat mendapatkan pemimpin nasional yang peka
terhadap realitas kehidupan rakyatnya.

C. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung


Pasca amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945, khususnya pasal
18 ayat (4) UUD 1945, yang menyebutkan Gubernur, Bupati dan Wali kota
masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten dan
Kota dipilih secara demokratis.
Hal inilah yang menimbulkan persoalan, karena apabila kita lihat
ketentuan Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945, yang menyebutkan; “Pemilihan umum
diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah”. Dengan demikian, Pasal 22 E ayat (2) UUD 1945, sebenarnya tidak
mengenal dan mengatur adanya pemilihan umum untuk memilih kepala daerah
dan wakil kepala daerah, karena yang diatur hanyalah Pemilihan Umum untuk
memilih anggota DPR, DPD, DPRD dan Presiden dan Wakil Presiden, sehingga
pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan secara langsung apalagi
menempatkannya pada ranah Pemilu tidak memiliki pijakan konstitusional.
Sehingga, dalam konteks ini pemilihan Presiden secara langsung memiliki
landasan konstitusional yang kuat dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah
secara langsung.
Sebenarnya, berbicara tentang demokrasi dari segi implementasinya, maka
secara teoritik terdapat 2 (dua) model, yaitu demokrasi langsung (direct
democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect democracy) atau biasa dikenal
dengan demokrasi perwakilan.
Pemilihan Kepala daerah tidak harus dilaksanakan secara langsung, bisa
saja Pemilihan Kepala daerah dipilih melalui lembaga perwakilan—yaitu dipilih
oleh DPRD, karena Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak mengatur secara eksplisit
bentuk dan prosedur Pemilihan Kepala Daerah, akan tetapi ditafsirkan oleh
pembentuk undang-undang menjadi pemilihan secara langsung, sebagaimana
diatur dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1). UU No. 32 tahun 2004, tentang
pemerintahan daerah. Begitu juga dengan ketentuan Pasal 22 E ayat (2) UUD
1945, yang tidak memasukkan pemilihan kepala daerah secara langsung dalam
ranah hukum pemilihan umum.
Sebagai bahan evaluasi atas pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara
langsung, maka setidaknya dapat dilihat dari beberapa hal dibawah ini. Pertama,
masyarakat belum merasakan dampak positif dari pelaksanaan pilkada langsung,
tetapi justru masyarakat terjerembab pada kehidupan demokrasi yang
menghalalkan segala cara, pragmatisme politik dan terseret pada konflik politik
yang seharusnya tidak perlu. Hal ini disebabkan karena kecenderungan elit politik
yang bertarung dalam pilkada ketika mereka mengalami kekalahan akan menyeret
masyarakat bawah pada pusaran konflik dan pengerahan massa.
Kedua, beban anggaran yang begitu besar untuk melangsungkan
perhelatan pilkada langsung dengan biaya APBD yang notabene merupakan uang
rakyat. Anggaran yang telah dikeluarkan begitu besar tersebut tidak sebanding
dengan harapan untuk lebih mensejahterakan masyarakat didaerah, tetapi justru
menimbulkan kebangkrutan secara ekonomi. Pasca pilkada belum ada upaya-
upaya yang signifikan yang dilakukan oleh kepala daerah terpilih untuk
melakukan langkah kongkrit untuk menyelesaikan problem-problem masyarakat
kecil.
Ketiga, asas kemanfaatan dan menjaga nilai-nilai harmoni yang ada di
masyarakat sebenarnya menjadi lebih penting, dibandingkan dengan fenomena
kompetisi yang tidak sehat melalui kampanye hitam dan saling serang antar calon
kepala daerah dalam pelaksanaan pilkada langsung yang biasanya diikuti oleh
massa pendukung masing-masing pasangan calon kepala daerah, sehingga bukan
hanya melanggar etika politik, tetapi juga nilai-nilai harmoni dalam masyarakat
sudah mulai terabaikan.
D. Partisipasi Politik & Kebebasan Berekspresi
Masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik—melalui pemberian
suara dalam pemilihan umum atau kegiatan lain, terdorong oleh keyakinan bahwa
melalui kegiatan tersebut kepentingan mereka akan tersalurkan atau sekurang-
kurangnya diperhatikan, dan bahkan mereka sedikit banyak dapat mempengaruhi
tindakan dari yang berwenang untuk mengambil sebuah kebijakan. Dengan kata
lain, mereka percaya bahwa partisipasi politik yang mereka lakukan akan
memiliki efek. Hal ini dinamakan dengan Political efficacay. Akan tetapi bagi
mereka yang menganggap pemilu tidak akan berdampak apa-apa bagi kehidupan
mereka, dan mereka menganggap pemilu hanya dijadikan sebagai alat legitimasi
politik, maka tentu mereka apatis terhadap pemilu dan ’Golput’ merupakan
pilihan yang tepat bagi mereka, dan hal itu merupakan bentuk nyata dari
kebebasan berekspresi.
Oleh karenanya, terlepas dari semua itu, ’golput’ merupakan salah satu
bentuk hak asasi manusia yang wajib dihormati, dihargai dan dijunjung tinggi
oleh siapa pun, bahkan negara harus melindungi dan menjamin atas pelaksanaan
hak asasi tersebut. Mengingat eksistensi HAM merupakan hak yang sangat
fundamental bagi setiap orang, maka tentunya dalam menjalankan hak dan
kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta menghormatan atas hak & kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketetiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Dalam konteks ini, hendaknya pada setiap pemilu, masyarakat dapat
menggunakan hak pilihnya secara cerdas dan penuh tanggung jawab, tetapi disisi
yang lain kita juga harus menghargai masyarakat yang memilih untuk ’Golput’.
Kedua-keduanya merupakan pilihan yang sama-sama dimungkinkan di era
demokrasi sekarang ini. Akan tetapi bagi yang ’Golput’ diharapkan tidak
mengajak dan memprovokasi orang lain atau bahkan dengan sengaja menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta
kampanye secara langsung ataupun tidak langsung agar tidak menggunakan
haknya untuk memilih. Ancamannya adalah pidana paling singkat 6 (enam) bulan
dan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan atau denda paling sedikit 6 juta dan
paling banyak 24 juta (lihat Pasal 274 UU No. 10 th 2008).
Jadi, meskipun ’Golput’ merupakan hak bagi setiap warga negara dan tidak
’haram’, akan tetapi yang dilarang adanya mengkampanyekan dan mengajak
orang lain untuk melakukan ’Golput’. Akhirnya, pilihan ’Golput’ atau
menggunakan hak pilih dalam pemilu dikembalikan pada individu kita masing-
masing, karena keduanya memiliki implikasi yang sangat besar bagi nasib bangsa
selama lima tahun kedepan.
Selain itu, salah satu kebebasan berekspresi adalah kegiatan demonstrasi
untuk menyampaikan suatu aspirasi atau kepentingan yang diinginkan. Meskipun
ekspresi penyampaian aspirasi tidak selalu harus dilakukan dengan cara
demonstrasi, karena bisa juga melalui tulisan (media Cetak, buku, dan
sebagainya). Namun demikian, kegiatan demonstrasi seolah-olah sudah menjadi
sesuatu yang biasa dalam situasi sekarang ini, mulai dari demonstrasi yang
dilakukan oleh mahasiswa, kaum buruh, petani, pedagang, dan kelompok-
kelompok lain dengan menyuarakan aspirasi yang begitu beragam. Tetapi secara
prinsip kegiatan demonstrasi atau penyampaian aspirasi apapun bentuknya harus
dilakukan dengan cara-cara santun, tertib, dan bertanggung jawab, sehingga
tujuan penyampaian aspirasi itu sendiri dapat tersampaikan secara baik.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Demokratisasi di Indonesia dipengaruhi oleh partisipasi partai politik di
dalamnya. Partai politik memiliki beberapa fungsi yakni sarana komunikasi
politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekruitmen politik, pengelolaan konflik,
dan fungsi artikulasi dan agregrasi kepentingan. Namun dalam pelaksanaannya
masih belum optimal, karena masih dijumpai banyak penyimpangan, seperti pada
fungsi rekuetmen politik yang menggunakan sistem kekerabatan—nepotisme
dalam beberapa kasus.
Secara umum terdapat 3 (tiga) sistem kepartaian yaitu sistem satu partai,
sistem dua partai dan, dan sistem multi partai. Indonesia merupakan negara yang
menganut sistem multi partai seperti Belanda, Prancis, Swedia. Sistem multi
partai biasanya diperkuat dengan sitem perwakilan berimbang yang memberi
kesempatan luas bagi pertumbuhan partai-partai kecil.
Pemilihan umum merupakan instrumen penting dalam negara demokrasi di
mana rakyat bisa menyalurkan aspirasi politiknya secara bebas dalam menentukan
pemimpin nasional, sehingga dalam konteks ini sebenarnya tercermin
tanggungjawab warga negara. Namun, pada konteks Pilkada, seharusnya
dievaluasi kembali untuk kemudian dilaksanakan secara tidak langsung jika
ditelaah menurut UUD 1945.
Fenomena masyarakat dalam pemilu, tentang ‘golput’ merupakan hak bagi
setiap warga negara dan tidak ’haram’, akan tetapi yang dilarang adanya
mengkampanyekan dan mengajak orang lain untuk melakukan ’golput’. Pilihan
’golput’ atau menggunakan hak pilih dalam pemilu dikembalikan pada individu
kita masing-masing, karena keduanya memiliki implikasi yang sangat besar bagi
nasib bangsa selama lima tahun kedepan.

B. Saran
Berdasarkan pada kesimpulan yang telah dikemukakan di atas, ada beberapa
saran yang ditujukan, yaitu :
1. Mengoptimalkan kinerja partai politik dengan melaksanakan fungsi-
fungsinya
2. Sistem Multipartai di Indonesia dapat dimanfaatkan oleh partai-partai
politik kecil untuk menyuarakan visi-misinya lebih intens lagi agar
segera tercapai karena adanya dukungan yang banyak
3. Pemilu dilaksanakan dengan waktu yang lebih singkat, efektif, serta
diberi pengawasan yang ketat untuk mengurangi adanya kecurangan
4. Pilkada sebaiknya dievaluasi ulang dengan berdasar UUD 1945
berdasarkan Pasal 22 E ayat (2)
5. ‘Golput’ merupakan hak bagi warga negara, namun masyarakat
sebaiknya memilih untuk memberikan suara dan lebih selektif dalam
memilih calon pemimpin.
DAFTAR RUJUKAN

Aribowo, Muh. Asfar dkk. 2003. Model-model Sistem Pemilihan Umum di


Indonesia. Surabaya: PusDeHAM.
David E. Apter. 2007. Politik Modernisasi. Jakarta: Penerbit Gramedia.
Gaffar, Affan. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Pelajar.
Gene Sharp. 1997. Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan, Kerangka konseptual
untuk Pembebasan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hanta Yuda AR, Kerentanan Presidensial-Multipartai. 2010. dalam
http://nasional.kompas.com/
read/2010/07/28/03092245/Kerentanan.Presidensial.Multipartai, diakses
pada hari Rabu, 28 Juli 2010.
Jurnal Konstitus. 2009. 6(1).
Lily Zakiyah. 2004. Perempuan, Politik dan Pemilu 2004.Jakarta: CePDeS-
UNDP.
M. Asfar. dkk. 2003. Model-model Sistem Pemilihan di Indonesia. Surabaya:
PuSDeHAM.
Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia. Penerbit LP3ES.
Rosyada, Dede, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan, Demokrasi, Hak Asasi
Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta: Penerbit Prenada Media.
Sunny Tanuwidjaja. 2008. Multipartai dan presidensialisme. KOMPAS. 10 Juli
2008.,
http://www.csis.or.id/scholars_opinion_view.asp?op_id=684&id=76&tab=
0, diakses tgl 13 agustus 2010.
Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Penerbit Grasindo.
Toni A.P, dkk. 2006. Mengenal Teori-teori Politik., Bandung: Penerbit Nuansa.
Undang-undang Nomor 2 tahun 2008, tentang pemilihan umum anggota DPR,
DPD, dan DPRD.
Undang-undang Nomor 31 tahun 2002, tentang pemilihan umum anggota DPR,
DPD, dan DPRD pada pemilu tahun 2004.
Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Amandemen ke Tiga, Jakarta : 2001

Anda mungkin juga menyukai