Anda di halaman 1dari 3

Etiologi

Tetanus disebabkan oleh toksin bakteri Clostridium tetani yang memiliki dua bentuk, yaitu bentuk
vegetatif dan spora. Bentuk vegetatif C. tetani adalah basil, gram positif, tidak berkapsul, motil, dan
bersifat obligat anaerob. Bentuk vegetatif rentan terhadap efek bakterisidal dari proses pemanasan,
desinfektan kimiawi, dan antibiotik. Bentuk ini merupakan bentuk yang dapat menimbulkan tetanus.
Costridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Tetanospaminlah yang
dapat menyebabkan penyakit tetanus. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin
(tenospamin) adalah 2,5 nanogram per kilogram berat badan

Pada basil yang mengandung spora terdapat bentukan endospora pada salah satu ujungnya sehingga
memberikan penampilan seperti stik drum. Spora C. tetani relatif resisten terhadap desinfeksi kimiawi
dan pemanasan. Spora tahan terhadap paparan fenol, merbromin, dan bahan kimia lain yang efektif
untuk desinfeksi. Pemanasan di dalam air mendidih selama 15 menit dapat membunuh hampir semua
spora. Sterilisasi menggunakan uap tersaturasi dengan tekanan 15 lbs selama 15-20 menit pada suhu
121°C juga dapat membunuh semua bentuk kehidupan. Sterilisasi menggunakan panas kering lebih
lambat dibandingkan uap panas (1-3 jam pada suhu 160°C) tetapi efektif terhadap spora. Sterilisasi
menggunakan etilen oksida juga dapat membunuh spora. Spora banyak terdapat di dalam tanah, saluran
cerna, dan feses hewan. Tanah yang mengandung kotoran hewan mengandung spora dalam jumlah
banyak. Spora dapat bertahan beberapa bulan bahkan tahun. Pada lingkungan pertanian, manusia
dewasa dapat menjadi reservoir spora. Spora dapat ditemukan pada permukaan kulit yang
terkontaminasi.

Spora bersifat non-patogenik di dalam tanah atau jaringan terkontaminasi sampai tercapai kondisi yang
memadai untuk transformasi ke bentuk vegetatif. Transformasi terjadi akibat penurunan lokal kadar
oksigen akibat: (a) terdapat jaringan mati dan benda asing, (b) crushed injury, dan (c) infeksi supuratif

Patogenesis
Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi antara inokulasi spora dengan
manifestasi klinis awal bervariasi antara beberapa hari sampai 3 minggu. Spora hanya dapat mengalami
germinasi pada kondisi anaerob yang paling sering terjadi pada luka dengan nekrosis jaringan dan benda
asing. Adanya organisme lain juga mempercepat transformasi spora ke bentuk vegetatif. Masa inkubasi
panjang biasanya terjadi pada lokasi infeksi yang jauh dari sistem saraf pusat. Masa inkubasi merupakan
salah satu faktor penentu prognosis.

C. tetani merupakan mikroorganisme yang relatif non-invasif yang kehadirannya di jaringan sulit
dibuktikan. Pada kondisi yang jarang, C. tetani dapat dikultur dari darah. Bakteri ini menimbulkan reaksi
lokal yang minimal pada luka yang biasanya tanpa supurasi. Spora yang mengalami transformasi ke
bentuk vegetatif melepaskan toksin solubel tetanospasmin yang bertanggung jawab terhadap
manifestasi klinis tetanus. Tetanospasmin dapat mencapai lima persen dari berat bakteri.
Tetanospasmin awalnya terdiri dari rantai polipeptida tunggal dengan berat molekul 150-kDa yang tidak
aktif. Toksin tersebut kemudian terbagi menjadi dua subunit oleh enzim protease jaringan yaitu rantai
berat dengan berat molekul 100-kDa dan rantai ringan dengan berat molekul 50-kDa yang dihubungkan
oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari rantai berat berikatan dengan membran neural dan ujung
amino menciptakan pori untuk masuknya rantai ringan ke dalam sitosol. Faktor genetik yang mengontrol
produksi tetanospasmin terdapat pada plasmid bakteri. Setelah rantai ringan memasuki motorneuron,
senyawa tersebut ditranspor melalui akson secara intraaksonal dan retrograd dari tempat infeksi ke
korda spinalis dalam 2-14 hari. Transpor awalnya terjadi pada neuron motorik kemudian pada neuron
sensorik dan autonom. Ketika mencapai badan sel toksin dapat berdifusi keluar dan mempengaruhi
neuron-neuron lain. Apabila terdapat toksin dalam jumlah besar sebagian toksin akan masuk ke dalam
sirkulasi dan berikatan dengan ujung-ujung saraf di seluruh tubuh.

Ketika mencapai korda spinalis, rantai ringan memasuki neuron inhibitori sentral kemudian memecah
sinaptobrevin, senyawa yang penting dalam pengikatan vesikel neurotransmiter ke membran sel.
Tetanospasmin memiliki efek predominan terhadap neuron inhibitori dan yang pertama terkena adalah
neuron yang menginhibisi alfa motor neuron. Setelahnya neuron simpatetik preganglionik di kornu
lateralis dan pusat parasimpatetik juga terkena. Akibatnya vesikel yang mengandung gamma amino-
butyric acid (GABA) dan glisin tidak dilepaskan dan terjadi hilangnya aksi inhibitori pada neuron motorik
dan autonomik. Hilangnya inhibisi sentral menimbulkan kontraksi otot yang terus menerus (spasme)
yang terjadi sebagai respon terhadap stimuli normal seperti suara atau cahaya dan hiperaktivitas
autonomik. Transpor intraneural retrograde yang lebih lanjut terjadi dan toksin mencapai batang otak
dan diensefalon. Motor neuron juga dipengaruhi oleh tetanospasmin dan pelepasan asetilkolin ke celah
neuromuskular menurun. Efek ini serupa dengan efek toksin botulinum yang menimbulkan gejala
paralisis flasid. Meskipun demikian, pada tetanus efek disinhibitori motoneuron melampaui penurunan
fungsi pada sambungan neuromuskular sehingga yang tampak adalah akibat dari gangguan inhibisi.
Pelepasan impuls eferen yang tidak terkontrol dan tanpa inhibisi dari motoneuron pada medula spinalis
dan batang otak menyebabkan rigiditas muskuler dan spasme yang dapat menyerupai konvulsi. Refleks
inhibisi dari kelompok otot antagonis hilang sehingga otot-otot agonis dan antagonis berkontraksi secara
bersamaan. Spasme otot sangat nyeri dan dapat menyebabkan fraktur serta ruptur tendon. Otot-otot
rahang, wajah, dan kepala merupakan yang pertama kali terpengaruh karena jalur aksonal yang lebih
pendek kemudian diikuti otot-otot tubuh dan ekstremitas tetapi otot perifer pada tangan dan kaki
sering tidak terpengaruh. Pelepasan impuls autonom tanpa inhibisi menyebabkan gangguan kontrol
autonomik dengan overaktivitas simpatetik dan kadar katekolamin plasma meningkat. Toksin yang telah
terikat pada neuron tidak dapat dinetralisir oleh antitoksin. Pengikatan toksin terhadap neuron bersifat
ireversibel dan proses penyembuhan memerlukan pertumbuhan ujung.

Anda mungkin juga menyukai