Anda di halaman 1dari 18

KEJANG DEMAM

 Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 38o C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium.
 Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun.
 Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali
tidak termasuk dalam kejang demam
 Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam
kejang demam.
 Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi
yang kebetulan terjadi bersama demam.

1. DD

Evaluasi penyebab kejang, dari dalam atau luar susunan saraf pusat. Kelaian dalam
susunan saraf pusat berupa infeksi (meningitis, ensefalitis, abses otak dan lainnya).

Penyebab lain kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya meningitis atau
ensefalitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis media tidak menyingkirkan meningitis,
dan jika pasien telah mendapatkan antibiotika maka perlu pertimbangan pungsi lumbal.

Adapun diagnosis banding kejang pada anak dan bayi adalah gemetar, apnea dan
mioklonus nokturnal benigna.

Kejang pada anak merupakan suatu gejala dan bukan suatu penyakit. Gangguan primer
mungkin terdapat intrakranium atau ekstrakranium. Berbagai penyakit intra serebral dan
gangguan metabolik yang juga dapat menyebabkan kejang antara lain :

1. Kelainan intrakranium

- Meningitis

- Ensefalitis

- Infeksi subdural dan epidural

- Abses otak
- Trauma kepala

- Stroke dan AVM

- Cytomegalic inclusion disease

2. Gangguan metabolik

- Hipoglikemi

- Defisiensi vitamin B-6

- Gangguan elektrolit seperti hiponatremia, hipokalsemia, porfiria

- Keracunan

3. Epilepsi

Epilepsi adalah suatu gangguan serebral kronik dengan berbagai macam etiologi, yang
dicirikan oleh timbulnya serangan paroksismal yang berkala, akibat lepas muatan listrik
neuron-neuron serebral secara eksesif.

MENINGITIS

Meningitis merupakan peradangan selaput otak yang disebabkan oleh bakteri patogen.
Ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal dan
terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal.

2. Epidemiologi

Kejang demam paling sering dijumpai pada anak, terutama pada kelompok usia 6
bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% daripada anak yang berumur dibawah 5 tahun pernah
mengalami kejang demam. Lennox-Butchal (1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap
bangkitan kejang demam diturunkan oleh suatu gen dominan dengan penetrasi yang tidak
sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2% anggota keluarga penderita
mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%

Kejang demam merupakan jenis kejang yang paling sering, biasanya merupakan
kejadian tunggal dan tidak berbahaya. Berdasarkan studi populasi, angka kejadian kejang
demam di Amerika Serikat dan Eropa 2–7%, sedangkan di Jepang 9–10%. Dua puluh
satu persen kejang demam durasinya kurang dari 1 jam, 57% terjadi antara 1-24 jam
berlangsungnya demam, dan 22% lebih dari 24 jam.2 Sekitar 30% pasien akan
mengalami kejang demam berulang dan kemudian meningkat menjadi 50% jika kejang
pertama terjadi usia kurang dari 1 tahun. Sejumlah 9–35% kejang demam pertama kali
adalah kompleks, 25% kejang demam kompleks tersebut berkembang ke arah epilepsi.

3. Manifestasi klinis
4. How to diagnose
a. Anamnesis
Pada anamnesis didapatkan manifestasi klinis berupa demam tinggi dengan
peningkatan suhu yang cepat, disebabkan oleh infeksi diluar susunan saraf pusat.
Serangan kejang terjadi pada 24 jam pertama demam, berlangsung singkat dengan
sifat bangkitan dapat berbentuk tonik – klonik, tonik, klonik atau akinetik. Kejang
dapat berhenti sendiri lalu anak tidak memberi reaksi apapun untuk sementara, tetapi
setelah beberapa detik atau menit anak akan terbangun dan sadar kembali tanpa
adanya kelainan saraf.
Beberapa hal dapat mengarahkan untuk dapat menentukan diagnosis kejang
demam antara lain:
 Demam (suhu > 38oC)
 Adanya infeksi di luar susunan saraf pusat (misalnya tonsillitis, tonsilofaringitis,
otitis media akut, pneumonia, bronkhitis, infeksi saluran kemih). Gejala klinis
berdasarkan etiologi yang menimbulkan kejang demam.
 Serangan kejang (frekuensi, kejang pertama kali atau berulang, jenis/bentuk
kejang, antara kejang sadar atau tidak, berapa lama kejang, riwayat kejang
sebelumnya (obat dan pemeriksaan yang didapat, umur), riwayat kejang dengan
atau tanpa demam pada keluarga, riwayat trauma)
 Riwayat penyakit sebelumnya, riwayat penyakit keluarga, riwayat kehamilan ibu
dan kelahiran, riwayat pertumbuhan dan perkembangan, riwayat gizi, riwayat
imunisasi
 Adanya infeksi susunan saraf pusat dan riwayat trauma atau kelainan lain di otak
yang juga memiliki gejala kejang untuk menyingkirkan diagnosis lain yang bukan
penyebab kejang demam
 Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsy
yang kebetulan terjadi bersama demam.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi keadaan umum, sifat kejang, tonik, klonik, fokal
maupun umum. Tanda – tanda vital anak, status generalis dan status lokalis,
pemeriksaan neurologi untuk mengetahui penyebab kejang berasal dari susunan
saraf pusat atau ekstrakranial.
c. Pemeriksaan Penunjang
• Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab
demam atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah darah perifer, elektrolit dan gula darah.5
• Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakan atau
menyingkirkan kemugkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis
adala 0,6 – 6,7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada5 :
– Bayi usia kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan
– Bayi antara usia 12 – 18 bulan dianjurkan
– Bayi usia lebih dari 18 bulan selektif

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi
lumbal.

• Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsy pada
pasien kejang demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan. Pemeriksaan EEG
dapat dilakukan bila keadaan kejang demam yang tidak khas. Misalnya kejang
demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun atau kejang demam fokal.5
• Pencitraan
Foto X-ray kepala, CT-scan dan MRI jarang dilakukan, hanya untuk
indikasi seperti ;
– Kelainan neurologic fokal menetap (hemiparesis)
– Parese nervus VI
– Papiledema

d. Klasifikasi
ILAE (1993) membuat kriteria dan membagi kejang demam atas 2 golongan, yaitu5 :
a. Kejang demam kompleks
 Kejang lama yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang bewrulang
lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan kejang anak tidak sadar.
 Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
 Berulang dalam 24 jam

b. Kejang demam sederhana


 Berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan berhenti
sendiri
 Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa gerakan fokal,
 Kejang tidak berulang dalam 24 jam

e. Patofisiologi

Peningkatan temperatur dalam otak berpengaruh terhadap perubahan letupan aktivitas


neuronal. Perubahan temperatur tersebut menghasilkan sitokin yang merupakan pirogen
endogen, jumlah sitokin akan meningkat seiring kejadian demam dan respons inflamasi
akut. Respons terhadap demam biasanya dihubungkan dengan interleukin-1 (IL-1) yang
merupakan pirogen endogen atau lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri gram negatif
sebagai pirogen eksogen. LPS menstimulus makrofag yang akan memproduksi pro- dan
anti-inflamasi sitokin tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), IL-6, interleukin-1 receptor
antagonist (IL- 1ra), dan prostaglandin E2 (PGE2). Reaksi sitokin ini mungkin melalui sel
endotelial circumventricular akan menstimulus enzim cyclooxygenase-2 (COX-2) yang
akan mengkatalis konversi asam arakidonat menjadi PGE2 yang kemudian menstimulus
pusat termoregulasi di hipotalamus, sehingga terjadi kenaikan suhu tubuh. Demam juga
akan meningkatkan sintesis sitokin di hipokampus. Pirogen endogen, yakni interleukin
1ß, akan meningkatkan eksitabilitas neuronal (glutamatergic) dan menghambat GABA
ergic, peningkatan eksitabilitas neuronal ini yang menimbulkan kejang

f. Komplikasi
g. Tatalaksana

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah
berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,3-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 20 mg.

Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan
10 mg untuk berat badan lebih dari 10 kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk
anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan
penatalaksanaan kejang demam).

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.

Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah
sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg.

Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila
kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis
awal.

Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang rawat
intensif.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang
demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks dan faktor risikonya.

Pemberian obat pada saat demam

a. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya
kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10 –15 mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Dosis Ibuprofen 5-10 mg/ kg/kali ,3-4 kali sehari.

Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada
anak kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan
(level III, rekomendasi E).

b. Antikonvulsan

Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan
risiko berulangnya kejang pada 30%- 60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal
dosis 0,5 mg/ kg setiap 8 jam pada suhu > 38,5 0 C (level I, rekomendasi A). Dosis
tersebut cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada
25-39% kasus.

Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk
mencegah kejang demam (level II rekomendasi E)

Pemberian obat rumat

Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukkan ciri sebagai berikut
(salah satu):

1. Kejang lama > 15 menit

2. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus.

3. Kejang fokal

4. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila:

• Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.

• Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.

• kejang demam > 4 kali per tahun


Penjelasan:

• Sebagian besar peneliti setuju bahwa kejang demam > 15 menit merupakan indikasi
pengobatan rumat

• Kelainan neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan


merupakan indikasi pengobatan rumat

• Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai fokus
organik.

Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat

Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang (level I).

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap
kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D).

Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan
belajar pada 40-50% kasus.

Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per
hari dalam 1-2 dosis.

Lama pengobatan rumat

Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan.

h. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi
dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan
lain misalnya gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium
yang dapat dikerjakan misalnya darah perifer, elektrolit dan gula darah (level II-2 dan
level III, rekomendasi D).

Gerber dan Berliner. The child with a simple febrile seizure. Appropriate diagnostic
evaluation. Arch Dis Child 1981; 135:431-3. AAP, The neurodiagnostic evaluation of
the child with a first simple febrile seizures. Pediatr 1996; 97:769-95.

b. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan


kemungkinan meningitis. Risiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0,6%-6,7%.
Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau menyingkirkan diagnosis
meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu pungsi lumbal
dianjurkan pada:

1. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan dilakukan

2. Bayi antara 12-18 bulan dianjurkan

3. Bayi > 18 bulan tidak rutin

Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.

Indikasi pungsi lumbal (konsensus ukk 2016)

 Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal


 Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
 Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.

AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child with a first simple febrile seizures.
Pediatr 1996;97:769-95 Baumer JH. Evidence based guideline for post-seizure
management in children presenting acutely to secondary care. Arch Dis Child 2004;
89:278-280.

c. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya
kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang
demam. Oleh karenanya tidak direkomendasikan (level II-2, rekomendasi E).

AAP, The neurodiagnostic evaluation of the child with a first simple febrile seizures.
Pediatr 1996; 97:769-95. Millichap JG. Management of febrile seizures: current
concepts and recommendations for Phenobarbital and electroencephalogram. Clin
Electroencephalogr 1991; 22:5-10.

Pemeriksaan EEG masih dapat dilakukan pada keadaan kejang demam yang tidak
khas. Misalnya: kejang demam kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau
kejang demam fokal

d. Pencitraan

Foto X-ray kepala dan pencitraan seperti computed tomography scan (CT-scan) atau
magnetic resonance imaging (MRI) jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya
atas indikasi seperti:

1. Kelainan neurologik fokal yang menetap (hemiparesis)

2. Paresis nervus VI

3. Papiledema

Wong V, dkk. Clinical Guideline on Management of Febrile Convulsion. HK J


Paediatr 2002;7:143-151

i. Pencegahan dan Edukasi

Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini
harus dikurangi dengan cara yang diantaranya:

1. Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.

2. Memberitahukan cara penanganan kejang

3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali


4. Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang:

1. Tetap tenang dan tidak panik

2. Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher

3. Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit, jangan
memasukkan sesuatu kedalam mulut.

4. Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.

5. Tetap bersama pasien selama kejang

6. Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.

7. Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

Epilepsi

Pengertian

Epilepsi berasal dari bahasa Yunani, Epilambanmein yang berarti serangan. Dahulu
masyarakat percaya bahwa epilepsi disebabkan oleh roh jahat dan dipercaya juga bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang bersifat suci. Latar belakang munculnya mitos dan rasa
takut terhadap epilepsi berasal hal tersebut. Mitos tersebut mempengaruhi sikap
masyarakat dan menyulitkan upaya penanganan penderita epilepsi dalam kehidupan
normal.Penyakit tersebut sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi.
Orang pertama yang berhasil mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap
bahwa epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak adalah
Hipokrates. Epilepsi merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang
di seluruh dunia.

Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan berbagai etiologi,


dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan listrik
neuron otak secara berlebihan dan paroksimal.
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial) dan kejang
umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian dari cerebral cortex, di
mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan kesadaran parsial. Sedangkan pada
kejang umum, lesi mencakup area yang luas dari cerebral cortex dan biasanya mengenai
kedua hemisfer cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi
umum. Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik)
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung mendadak dan sementara, dengan atau tanpa
perubahan kesadaran. Disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak
dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut. Kejang epilepsi harus dibedakan
dengan sindrom epilepsi. Kejang epilepsi adalah timbulnya kejang akibat berbagai
penyebab yang ditandai dengan serangan tunggal atau tersendiri. Sedangkan sindrom
epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang ditandai dengan kejang
epilepsi berulang, meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus,
kronisitas.

Kejang adalah kejadian epilepsi dan merupakan ciri epilepsi yang harus ada, tetapi
tidak semua kejang merupakan manifestasi epilepsi. Seorang anak terdiagnosa menderita
epilepsi jika terbukti tidak ditemukannya penyebab kejang lain yang bisa dihilangkan atau
disembuhkan, misalnya adanya demam tinggi, adanya pendesakan otak oleh tumor,
adanya pendesakan otak oleh desakan tulang cranium akibat trauma, adanya inflamasi
atau infeksi di dalam otak, atau adanya kelainan biokimia atau elektrolit dalam darah.
Tetapi jika kelainan tersebut tidak 1ditangani dengan baik maka dapat menyebabkan
timbulnya epilepsi di kemudian hari.

Gejala dan Tanda

Gejala dan tanda dari epilepsi dibagi berdasarkan klasifikasi dari epilepsi, yaitu :

1) Kejang parsial Lesi yang terdapat pada kejang parsial berasal dari sebagian kecil
dari otak atau satu hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada satu sisi atau satu bagian
tubuh dan kesadaran penderita umumnya masih baik.

a. Kejang parsial sederhana Gejala yang timbul berupa kejang motorik fokal,
femnomena halusinatorik, psikoilusi, atau emosional kompleks. Pada kejang parsial
sederhana, kesadaran penderita masih baik.
b. Kejang parsial kompleks Gejala bervariasi dan hampir sama dengan kejang parsial
sederhana, tetapi yang paling khas terjadi adalah penurunan kesadaran dan otomatisme.

2) Kejang umum Lesi yang terdapat pada kejang umum berasal dari sebagian besar
dari otak atau kedua hemisfer serebrum. Kejang terjadi pada seluruh bagian tubuh dan
kesadaran penderita umumnya menurun.

a. Kejang Absans Hilangnya kesadaran sessat (beberapa detik) dan mendadak


disertai amnesia. Serangan tersebut tanpa disertai peringatan seperti aura atau halusinasi,
sehingga sering tidak terdeteksi.

b. Kejang Atonik Hilangnya tonus mendadak dan biasanya total pada otot anggota
badan, leher, dan badan. Durasi kejang bisa sangat singkat atau lebih lama.

c. Kejang Mioklonik Ditandai dengan kontraksi otot bilateral simetris yang cepat
dan singkat. Kejang yang terjadi dapat tunggal atau berulang.

d. Kejang Tonik-Klonik Sering disebut dengan kejang grand mal. Kesadaran hilang
dengan cepat dan total disertai kontraksi menetap dan masif di seluruh otot. Mata
mengalami deviasi ke atas. Fase tonik berlangsung 10 - 20 detik dan diikuti oleh fase
klonik yang berlangsung sekitar 30 detik. Selama fase tonik, tampak jelas fenomena
otonom yang terjadi seperti dilatasi pupil, pengeluaran air liur, dan peningkatan denyut
jantung.

e. Kejang Klonik Gejala yang terjadi hampir sama dengan kejang mioklonik, tetapi
kejang yang terjadi berlangsung lebih lama, biasanya sampai 2 menit.

f. Kejang Tonik Ditandai dengan kaku dan tegang pada otot. Penderita sering
mengalami jatuh akibat hilangnya keseimbangan

Daftar Pustaka

Ismael S. KPPIK-XI, 1983; Soetomenggolo TS. Buku Ajar Neurologi Anak 1999.
AAP, Provisional Committee on Quality Improvement. Pediatrics 1996; 97:769-74.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993; 34;592-8.
ILAE, Commission on Epidemiology and Prognosis. Epilepsia 1993; 34;592-8.
a. Bagaimana hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan kejang
yang disertai demam?
Di antara semua usia, bayi yang paling rentan mengalami kejang demam. Bayi
sangat rentan terhadap infeksi, lahir hanya dengan memiliki antibodi dari ibu.
Sistem imunimaturnya belum mampu menghasilkan imunoglobulin yang
diperlukan.
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai
pada anak (6 bulan – 4 tahun).
Beberapa penelitian melaporkan bahwa anak laki-laki lebih sering mengalami
kejang demam dibanding anak perempuan. Hal ini mungkin disebabkan oleh
maturasi serebral yang lebih cepat pada perempuan dibanding laki-laki.
Namun risiko berulangnya kejang demam tidak berbeda menurut jenis
kelamin.
b. Bagaimana edukasi pemberian diazepam rektal?

Beritahu orang tua bahwa diazepam rektal sangat sesuai dalam perawatan
kejang karena onset tindakan cepat sangat penting. Diazepam rektal bekerja
cepat dan dapat diandalkan bila injeksi intravena sulit dilakukan atau tidak
memungkinkan untuk dilakukan. Diazepam rektal merupakan pilihan yang
sangat baik terutama pada kasus anak-anak dengan kejang, dan mudah
digunakan untuk dokter, perawat dan orang tua. Diazepam memiliki efek
antikonvulsan yang sangat baik dalam pengobatan kejang akut pada anak-anak
dan merupakan alternatif terbaik karena konsentrasi serum yang dihasilkan
oleh rectal solution dan injeksi intravena hampir sama, yaitu mencapai kadar
serum maksimum dalam beberapa menit.
Nervi kranialis tidak nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas, tidak
Nampak ada paresis otot. Reflex tendon dalam batas normal. Tidak ada refleks
patologis atau klonus. Kaku kuduk tidak ada, tanda brudzinski I dan II negatif, Kernig
negatif.

c. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan neurologis?


Tidak terdapat gangguan pada lapisan meningeal dan pemeriksaan neuromuskular
menandakan bahwa tidak ada kelemahan otot.

d. Apa indikasi pemberian obat kejang oral?

 Diazepam terutama digunakan untuk pengobatan jangka pendek pada ansietas atau
insomnia (sulit tidur), kejang demam, kecemasan, dan kepanikan.
 Sebagai tambahan untuk menghilangkan kejang otot rangka karena spasme refleks
patologi lokal.
 Digunakan juga sebagai obat premedikasi untuk menginduksi sedasi, anxiolysis,
atau amnesia sebelum prosedur medis tertentu (misalnya, endoskopi).
 Sebagai tambahan untuk menangani gejala putus alkohol akut, obat ini berguna
dalam mengurangi gejala-gejala agitasi akut, tremor, dan halusinasi.
 Obat pilihan untuk mengobati ketergantungan benzodiazepine.
 Efek antikonvulsan diazepam dapat membantu dalam pengobatan kejang karena
overdosis obat atau racun kimia seperti zat Sarin, VX, atau soman (atau racun
organofosfat lainnya), lindane, klorokuin, physostigmine, atau piretroid.
 Diazepam intravena atau lorazepam adalah obat lini pertama untuk status
epileptikus. Namun, lorazepam lebih dipilih karena memiliki keunggulan seperti
efektivitas yang lebih tinggi untuk mengakhiri kejang dan efek antikonvulsan yang
lebih lama.

Berat badan 10 kg, tinggi badan 78 cm. kesadaran: GCS pediatrik 15, sedikit rewel,
makan minum masih mau, suhu aksila 38,3o C, nadi 100x/ menit, frekuensi nafas
28x/menit. Kepala: lingkar kepala 47,5 cm, ubun-ubun besar 1x1 cm, rata tidak
tegang, konjungtiva tidak pucat, Nampak faring hiperemis, tonsil T2, T2 hiperemis,
ada eksudat di faring dan tonsil. Jantung, paru, abdomen, ekstremitas dalam batas
normal.

a. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil pemeriksaan fisik umum?

Demam (febris).
Perubahan temperature  sitokin (pirogen endogen)  respon inflamasi akut
 COX- 2  Asam arakidonat  PGE2  pusat termoregulasi di hipotalamus 
kenaikan suhu tubuh.

Faring hiperemis.
Reaksi peradangan menyebabkan arteriol yang memasok daerah tersebut
berdilatasi sehingga darah semakin banyak yang mengalir ke dalam mikrosirkulasi
lokal. Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong secara cepat terisi penuh oleh darah,
menyebabkan kemerahan lokal (hiperemi).

Tonsil T2 – T2: Membesar karena adanya proses radang yang terjadi.


Tonsil dan faring ada eksudat: Terjadi karena adanya proses peradangan.

Anda mungkin juga menyukai