Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Saraf fasialis merupakan saraf yang kompleks dan memiliki keunikan


dalam hal fungsi maupun anatomi, sehingga sering terlibat pada patologi kepala-
leher diantaranya karena trauma. Trauma pada saraf fasialis merupakan kasus
terbanyak kedua sebagai penyebab paralisis saraf fasialis setelah Bell’s Palsy.1,2
Secara anatomi, saraf fasialis terbagi atas 3 segmen yaitu intrakranial,
intratemporal dan ekstratemporal. Lokasi terbanyak paralisis saraf fasialis akibat
trauma adalah intratemporal. Terdapat beberapa jenis trauma pada tulang temporal
yang menyebabkan paralisis saraf fasialis yaitu fraktur tulang temporal, trauma
tembus dan trauma iatrogenik. Fraktur tulang temporal merupakan penyebab
terbanyak paralisis saraf fasialis.2
Hal-hal yang penting dalam penilaian awal trauma tulang temporal
mencakup pencatatan gejala dan tanda-tanda, pemeriksaan saluran telinga luar,
membran tympani dan telinga tengah, pemeriksaan saraf kranial, khususnya saraf
fasialis dan saraf vestibulokoklearis dan pemeriksaan adanya kebocoran cairan
serebrospinal.3
Simptom trauma tulang temporal mencakup otalgia, kehilangan
pendengaran, rasa penuh di telinga, tinitus, vertigo dan gangguan keseimbangan.
Tanda-tanda lainnya termasuk perdarahan dari liang telinga, otorhea atau
otorhinorea, deformitas tulang pendengaran, perforasi membran timpani,
hemotimpani, nistagmus, kelemahan wajah dan battle sign yang muncul beberapa
hari paska trauma.3
Fraktur tulang temporal dapat berupa fraktur longitudinal, transversal
maupun campuran. Fraktur longitudinal merupakan jenis fraktur yang terbanyak
ditemukan yaitu sekitar 70-80% dari semua kasus fraktur temporal, sedangkan
jenis transversal sekitar 10-20%. Paralisis saraf fasialis pada fraktur longitudinal

1
ditemukan sekitar 25% kasus, sedangkan pada fraktur transversal ditemukan lebih
banyak yaitu sebesar 50%.4

2
BAB II

ILUSTRASI KASUS

2.1 Anamnesis

Nn. MU, wanita, 19 tahun, tinggal di Bireuen, dirujuk dari RSUD dr.
Fauziah Bireuen ke RSU Zainoel Abidin (RSUZA) dengan keluhan nyeri kepala
setelah mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor ± 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien tidak memakai helm saat kejadian dengan kecepatan
mengendarai 60 KM/jam, kemudian bertabrakan dengan sepeda motor lain dari
arah berlawanan, hingga pasien terjatuh dengan posisi menyamping dan kepala
sebelah kanan membentur aspal. Setelah terjatuh pasien langsung tidak sadarkan
diri selama ± 30 menit. Terdapat mual dan muntah, pusing berputar, keluar darah
dari telinga kanan, tetapi dari mulut dan hidung tidak ada. Tidak ada riwayat
keluar cairan atau darah dari telinga sebelumnya. Tidak ada kejang. Pasien sudah
sadar penuh saat tiba di IGD RSUZA.

2.2 Pemeriksaan Fisik

Pada saat pemeriksaan fisik pertama kali di ruang IGD RSUZA,


didapatkan pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran kompos mentis. Tanda
vital tekanan darah 130/80 mmHg, frekuendi nadi 82 kali per menit, sama antara
kanan dan kiri, isi cukup, regular, frekuensi napas 20 kali per menit, simetris,
regular, kedalaman cukup, dan suhu 36,5 derajat Celsius. Skala nyeri Numerical
Rating Scale adalah 8.

Pada status generalis, didapatkan kepala normosefali, konjungtiva tidak


pucat dan sklera tidak ikterik. Pada pemeriksaan THT dijumpai adanya
perdarahan aktif dari telinga kanan. Tidak ada kandidiasis oral. Dada tampak
simetris saat statis dan dinamis, auskultasi paru vesikuler, tidak terdapat ronki
maupun mengi. Bunyi jantung 1 dan 2 normal, tidak terdapat murmur maupun

3
gallop, batas jantung tidak melebar. Abdomen datar, lemas, hati dan limpa tidak
teraba, bising usus positif normal. Pada pemeriksaan punggung tidak terdapat
deformitas. Akral hangat, tidak ada edema.

Pada pemeriksaan neurologis didapatkan GCS E4M6V5, pupil bulat


isokor 3 mm/3mm, dengan refleks cahaya langsung dan tak langsung dalam batas
normal. Tidak terdapat kaku kuduk. Pada pemeriksaan nervus kranialis tidak
didapatkan kesan parese nervus. Kekuatan motorik 5555 di ekstremitas kanan atas
dan bawah, dan 5555 di ekstremitas kiri atas dan bawah. Refleks fisiologis positif
normal dan refleks patologis babinski grup tidak ada. Otonom dalam batas
normal.

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan rontgen thorak AP pada tanggal 10 Januari 2017,


didapatkan gambaran jantung besar dan bentuk normal, pulmo tak tampak
infiltrat, sinus costophrenicus kanan dan kiri tajam, tulang tampak baik.
Kesimpulan: Cor dan Pulmo tak tampak kelainan.

Gambar 1. Foto Thorax AP (10 Januari 2017, RSUZA)

Pada pemeriksaan rontgen Cervical lateral didapatkan alignment baik,


procesus spinosus normal, prosesus transversus normal, curve normal, tak tampak

4
fraktur dan tak tampak soft tissue swelling. Kesimpulan: foto Cervical tak tampak
kelainan.

Gambar 2. Foto Cervical Lateral (10 Januari 2017, RSUZA)

Pada pemeriksaan CT scan kepala tanpa kontras dengan Bone window,


didapatkan adanya area hiperdens berdensitas darah disertai dengan perifokal
edema di lobe temporoparietal kiri, sistem ventrikel dan sisterna normal, sulci dan
gyri normal, pons dan cerebellum normal, tak tampak deviasi midline struktur, tak
tampak kalsifikasi abnormal. Orbita, mastoid kanan kiri normal, sinus maksilaris,
frontalis, ethmoidalis kanan kiri normal, tampak densitas cairan di sinus
sphenoidalis, tampak fraktur os temporoparietal kanan. Kesimpulan: ICH disertai
dengan perifokal edema di lobe temporoparietal kiri, hematosinus sphenoidalis
dan fraktur os temporoparietal kanan.

5
Gambar 3. CT scan kepala non kontras Bone window 10 Januari 2017

Gambar 4. Tampak area hyperdens dengan perifokal edema

Gambar 5. Tampak garis fraktur os temporoparietal dextra

6
Laboratorium Darah 10 Januari 2017

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Hb 12 12 – 15
Ht 36 37 – 47
Leukosit 10.100 4.500 - 10.500
Trombosit 204.000 150.000 - 450.000
MCV 89 80 – 100
MCHC 34 32 – 36
BT 2 1–7
CT 7 5 – 15
KGDS 90 < 200
Natrium 138 132 – 146
Kalium 3,9 3,7 - 5,4
Klorida 103 98 – 106
Ureum 17 13 – 43
Kreatinin 0,30 0,51 - 0,95

2.4 Diagnosis dan Tatalaksana Awal

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik awal di IGD, pasien


didiagnosis dengan:
Diagnosa klinis : Cephalgia Post Trauma, Vertigo Perifer, Otorhea Dextra,
Paresis N.VII Perifer Dextra
Diagnosa topis : Temporoparietal kiri, Temporoparietal kanan
Diagnosa etiologi : Trauma capitis
Diagnosa patologi : Hemorhagik, fraktur

7
Tatalaksana awal di ruang perawatan:
1. Suportif :
- Elevasi kepala 300
- IVFD RL 500 mL / 8 jam
- Diet MB
- Pasang folley catheter
2. Medikamentosa:
- Cegah Infeksi : IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
- Neuroprotektor : IV Citicholin 500mg/12 jam
- Analgetik : IV Paracetamol 1000 mg/8 jam
- Anti Emetik : IV Ondansentron 8 mg/12 jam
- Anti perdarahan : IV Asam Tranexamat 500 mg/8 jam
3. Edukasi :
- Hindari batuk dan mengedan, tidak bangun dari tempat tidur.
- Bedrest dengan head up 300
- Atasi nyeri
- Atasi perdarahan

FOLLOW UP

Tanggal S O A P

11/03/2017 Nyeri GCS : E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL /8 jam


kepala (+) Cerebri
Jam 06.30 TD : 130/80 mmHg Elevasi kepala 30 derajat
Mual (+) Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
Hari N : 82 x/i Cerebri
Rawatan 1 Muntah (+) IV Citicholin 500 mg/12 jam
RR : 19 x/i Fraktur Os IV Ondansentron 8 mg/12 jam
Pusing Temporal
berputar (+) T : 36,9 0C IV Asam Tranexamat 500 mg/
Dextra
8 jam
Perdarahan NRS: 6 Vertigo
IV Paracetamol 1000 mg/8 jam
dari telinga Mata : Brill hematom Perifer
kanan (+) (+/+), pupil bulat Betahistin 3 x 6 mg
Otorhea
Lansoprazole 2 x 30 mg
Telinga Dextra

8
kanan isokor, 3mm/3mm
berdengung Konsul THT: Pemasangan
(+) RCL (+/+) RCTL (+/+)
tampon selama 3 hari
Wajah N.Cranialis: Parese (-)
bengkak (+) Motorik : 5555/5555
5555/5555
Mata kanan Sensorik : dbN
bengkak
tidak bisa R. Fisiologis : +2 /+2
dibuka (+) +2 /+2
R. Patologis : Babinski
Kedua (-/-)
kelopak
mata kiri Otonom : BAK (+)
dan kanan BAB (-)
berwarna
kebiruan (+)

12/03/2017 Nyeri GCS: E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL /8 jam


kepala Cerebri
Jam 07.00 TD : 120/90 mmHg Elevasi kepala 30 derajat
berkurang
Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
Hari Pusing N : 80 x/i cerebri
Rawatan 2 IV Citicholin 500 mg/12 jam
berputar (+) RR : 20 x/i Fraktur Os IV Ondansentron 8 mg/12 jam
Mual (+) Temporal
T : 37,0 0C IV Asam Tranexamat 500 mg/
Dextra
Muntah (-) NRS : 4 8 jam
Vertigo
IV Paracetamol 1000 mg/8 jam
Perdarahan Mata : Brill hematom Perifer
telinga (+/+), pupil bulat Betahistin 3 x 6 mg
kanan (-) Otorhea
isokor, 3mm/3mm Lansoprazole 2 x 30 mg
Dextra
Telinga RCL (+/+) RCTL (+/+)
kanan
berdengung N. Cranialis: Parese (-)
(+)
Motorik : 5555/5555
5555/5555
Sensorik : dbN

R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2

9
R. Patologis : Babinski
(-/-)

Otonom : BAK (+)


BAB (-)

13/03/2017 Nyeri GCS : E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL / 8 jam


kepala Cerebri
Jam 06.00 TD : 110/80 mmHg Elevasi kepala 30 derajat
berkurang
Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
Hari Pusing N : 78 x/i Cerebri
Rawatan 3 IV Citicholin 500 mg/12 jam
berkurang RR : 20 x/i Fraktur Os IV Asam Tranexamat 500 mg/
Telinga Temporal
T : 36,7 0C 8 jam
kanan Dextra
IV Dexamethason 5 mg/8 jam
berdengung NRS : 4
Vertigo
(+) Lansoprazole 2 x 30 mg
Mata : Brill hematom Perifer
(+/+), pupil bulat Betahistin 3 x 6 mg
Mulut
Otorhea
mencong ke isokor, 3mm/3mm Paracetamol 3 x 500 mg
Dextra
kiri (+)
RCL (+/+) RCTL (+/+)
Parese
Mata kanan
N. Cranialis: Parese N.VII
tidak Perifer
N.VII Perifer Dextra
menutup Dextra
sempurna Motorik : 5555/5555
(+) 5555/5555
Sensorik : dbN
Mata kanan
terus R. Fisiologis : +2 /+2
mengeluark +2 /+2
an air mata R. Patologis : ( - / - )
(+)
Otonom : BAK (+)
Rasa BAB (-)
makanan
berkurang

14/01/2017 Nyeri GCS : E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL / 8 jam


kepala Cerebri
Jam 06.00 TD : 120/80 mmHg Elevasi kepala 30 derajat
berkurang
Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam

10
Hari Telinga N : 84 x/i Cerebri IV Citicholin 500 mg/12 jam
rawatan 4 kanan IV Dexamethason 5 mg/8 jam
berdengung RR : 20 x/i
Fraktur Os Lansoprazole 2 x 30 mg
(+) T : 36,50C Temporal
Paracetamol 3 x 500 mg
Mulut Dextra
NRS : 4 Betahistin 3 x 6 mg
mencong ke
Vertigo
kiri (+) Mata : Brill hematom Aff tampon telinga kanan
Perifer
(+/+), pupil bulat
Mata kanan isokor, 3mm/3mm Konsul Rehabilitasi Medik
Otorhea
tidak Dextra
menutup RCL (+/+) RCTL (+/+)
sempurna Parese
N. Cranialis: Parese
(+) N.VII
N.VII Perifer Dextra Perifer
Mata kanan Dextra
Motorik : 5555/5555
berair (+)
5555/5555
Rasa Sensorik : dbN
makanan R. Fisiologis : +2 /+2
masih +2 /+2
kurang rasa R. Patologis : ( - / - )
(+)
Otonom : BAK (+)
BAB (-)

15/01/2017 Nyeri GCS : E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL / 8 jam


kepala Cerebri
Jam 06.00 TD : 110/70 mmHg Elevasi kepala 30 derajat
berkurang
Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
Hari Mulut N : 82 x/i Cerebri
Rawatan 5 IV Citicholin 500 mg/12 jam
mencong ke RR : 20 x/i
Fraktur Os IV Dexamethason 5 mg/8 jam
kiri (+)
Temporal
T : 36,5 0C Lansoprazole 2 x 30 mg
Mata kanan Dextra
Paracetamol 3 x 500 mg
mulai bisa NRS : 2
Parese
menutup (+) Fosen Enema
Mata : Brill hematom N.VII
Perifer
Mata kanan (+/-), pupil bulat isokor,
Dextra
yang berair 3mm/3mm
berkurang
RCL (+/+) RCTL (+/+)
Rasa
N. Cranialis: Parese

11
makanan N.VII Perifer Dextra
masih
Motorik : 5555/5555
kurang rasa
5555/5555
BAB (-) 5 Sensorik : dbN
hari R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
R. Patologis : ( - / - )

Otonom : BAK (+)


BAB (-)

16/01/2017 Mulut GCS : E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL / 8 jam


mencong ke Cerebri
Jam 06.00 TD : 110/80 mmHg Elevasi kepala 30 derajat
kiri
Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
Hari berkurang N : 82 x/i Cerebri
Rawatan 6 (+) IV Citicholin 500 mg/12 jam
RR : 20 x/i Fraktur Os IV Dexamethason 5 mg/12 jam
Mata kanan
0 Temporal
mulai bisa T : 36,7 C Dextra
Lansoprazole 2 x 30 mg
menutup (+) Paracetamol 3 x 500 mg
Mata : Brill hematom
Parese
Rasa (+/-), pupil bulat isokor,
N.VII
makanan 3mm/3mm Perifer
mulai terasa Dextra
RCL (+/+) RCTL (+/+)

N. Cranialis: Parese
N.VII Perifer Dextra

Motorik : 5555/5555
5555/5555
Sensorik : dbN

R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
R. Patologis : Babinski
(- / -)

Otonom : BAK (+)


BAB (+)

12
17/01/2017 Mulut GCS : E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL / 8 jam
mencong ke Cerebri
Jam 06.00 TD : 120/80 mmHg Elevasi kepala 30 derajat
kiri
Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
Hari berkurang N : 80 x/i Cerebri
Rawatan 7 (+) IV Citicholin 500 mg/12 jam
RR : 20 x/i Fraktur Os IV Dexamethason 5 mg/12 jam
Mata kanan
0 Temporal
sudah bisa T : 36,7 C Dextra
Lansoprazole 2 x 30 mg
menutup (+) Paracetamol 3 x 500 mg
Mata : pupil bulat
Parese
Mata kanan isokor, 3mm/3mm Pemeriksaan TCD
N.VII
berair juga Perifer
RCL (+/+) RCTL (+/+)
berkurang Dextra
N. Cranialis: Parese
N.VII Perifer Dextra

Motorik : 5555/5555
5555/5555
Sensorik : dbN

R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
R. Patologis : ( - / - )

Otonom : BAK (+)


BAB (+)

18/01/2017 Mulut GCS : E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL / 8 jam


mencong ke Cerebri
Jam 06.00 Elevasi kepala 30 derajat
kiri (+) TD : 110/70 mmHg
Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
Hari berkurang N : 86 x/i Cerebri
Rawatan 8 IV Citicholin 500 mg/12 jam
Mata kanan RR : 19 x/i Fraktur Os IV Dexamethason 5 mg/12 jam
sudah dapat
Temporal
menutup (+) T : 36,8 0C Lansoprazole 2 x 30 mg
Dextra
dengan Paracetamol 3 x 500 mg
Mata : pupil bulat
berkurangn Parese
isokor, 3mm/3mm
ya air mata N.VII
RCL (+/+) RCTL (+/+) Perifer
Dextra
P/PBJ
N. Cranialis: Parese
N.VII Perifer Dextra

13
Motorik : 5555/5555
5555/5555
Sensorik : dbN

R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
R. Patologis : Babinski
(- / -)

Otonom : BAK (+)


BAB (+)

2.5 Perawatan Lanjutan Pada Pasien

Selama 2 hari pertama perawatan di RSUZA, pasien mengeluhkan nyeri


kepala, pusing berputar yang disertai dengan mual dan muntah, wajah dan mata
bengkak kebiruan, juga keluar darah dari telinga kanan disertai dengan rasa
berdengung pada telinga kanan, pasien dengan kesadaran baik (kompos mentis).
Keluhan tersebut berkurang dengan pemberian injeksi Ceftriaxone 2 gr/12 jam,
injeksi Ondansentron 8 mg/12 jam, injeksi Asam Tranexamat 500 mg/8 jam,
Lansoprazole 2 x 30 mg dan Betahistin 3 x 6 mg, serta dikonsulkan ke bagian
THT dan dilakukan pemasangan tampon pada telinga kanan selama 3 hari.
Kemudian pada hari rawatan ke-3 sampai dengan hari rawatan ke-7, mulut
mulai mencong ke kiri, mata kanan tidak bisa menutup sempurna dan terus
mengeluarkan air mata disertai dengan berkurangnya sensasi rasa di lidah,
sehingga ditambahkan injeksi Dexamethason 5 mg/8 jam. Pada pemeriksaan
fungsi saraf fasialis perifer kanan dengan metode Freys didapatkan fungsi motorik
otot-otot wajah dengan nilai 10, tonus otot 11, sinkinesis 4, fungsi motor pada
gerakan emosi 1, tidak ditemukan hemispasme, dengan total nilai 26. Pada tes
pengecapan sederhana didapatkan fungsi pengecapan lidah anterior kanan
menurun.
Pemeriksaan gradasi kerusakan saraf fasialis dengan metode House
Brackmann didapatkan pada keadaan istirahat terlihat asimetris ringan, dahi tidak
ada pergerakan, mata tidak menutup sempurna dan mulut asimetris walaupun

14
dengan usaha maksimal, sehingga dapat disimpulkan terdapat kerusakan saraf
fasialis perifer kanan derajat IV.
Pada hari rawatan ke-4 pasien dikonsulkan ke bagian Rehabilitasi Medik.
Pada hari rawatan ke-5 pasien diberikan Fosen Enema karena mengeluhkan sudah
5 hari tidak BAB.
Perawatan dilanjutkan dan pada hari ke-7 dilakukan pemeriksaan
Trancranial Doppler, didapatkan adanya peningkatan tekanan intrakranial.

Gambar 6. Transcranial Doppler tanggal 17 Januari 2017

Selama dalam masa perawatan pasien diedukasi untuk bedrest dengan


head up 300, menghindari batuk dan mengedan serta tidak bangun dari tempat
tidur, dengan mobilisasi ringan miring kiri dan kanan dengan tujuan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya peningkatan tekanan intra kranial.

2.6 Diagnosis
Diagnosis Klinis : Otorhea Dextra, Cephalgia Post Trauma Capitis, Vertigo
Perifer, Paresis Nervus VII Perifer Dextra
Diagnosis Topis : Temporoparietal kiri, temporoparietal kanan
Diagnosis Etiologis : Trauma capitis
Diagnosis Patologis : Hemorhagik, Fraktur

15
BAB III

PEMBAHASAN

Tulang temporal terdiri dari bagian tulang skuama, mastoid, petrous dan
timpani. Bersama-sama tulang oksipital, parietal, spenoid dan zygomatikum akan
membentuk dinding lateral dan dasar tulang tengkorak atau bagian tengah dan
posterior dari fossa kranialis. Tulang mastoid disusun dari bagian protrusion
inferior tulang skuama dan tulang petrous.4
Trauma tulang temporal sangat rawan terjadi kerusakan organ-organ
intratemporal. Tulang temporal menutupi organ-organ penting seperti saraf
fasialis, saraf vestibulokoklearis, koklea, labirin, tulang-tulang pendengaran,
membran timpani, kanalis akustikus eksternus, temporomandibular joint, vena
jugularis serta arteri karotis. Struktur intrakranial seperti lobus temporalis,
meningen, saraf abdusen dan batang otak juga dapat mengalami kerusakan akibat
trauma tulang temporal, sehingga dapat menyebabkan terjadinya fistula liquor
cerebro spinal, meningitis dan herniasi batang otak. Disamping itu, komplikasi
intrakranial seperti hematom subdural, kontusio atau perdarahan intraparenkim,
edema serebral, posttraumatic encephalopathy dan peningkatan tekanan
intrakranial dapat juga terjadi.3
Fraktur longitudinal lebih sering ditemukan dibandingkan fraktur
transversal, meliputi 80% dari seluruh fraktur tulang temporal. Fraktur jenis ini
terjadi akibat benturan didaerah temporal atau parietal yang kemudian merambat
ke daerah mastoid atau tulang skuamosa. Garis fraktur yang terjadi akan
paralel/sejajar dengan aksis panjang piramid petrosa. Garisnya berawal dari pars
skuamosa (mastoid atau kanalis auditorius eksterna) meluas melalui
posterosuperior liang telinga bagian tulang, selanjutnya melintasi atap telinga
tengah di anterior labirin dan berakhir di anteromedial fossa kranii media dekat
foramen laserum dan ovale.3

16
Gejala klinis fraktur longitudinal tulang temporal meliputi perdarahan dari
liang telinga akibat laserasi kulit liang telinga atau membran timpani,
hemotimpanum, fraktur kanalis akustikus eksternus, tuli konduktif akibat
kerusakan rangkaian tulang pendengaran dan cedera saraf fasialis. Sekitar 20%
fraktur longitudinal akan mengakibatkan cedera pada saraf fasialis. Lokasi saraf
fasialis yang terkena biasanya pada segmen horizontal di distal ganglion
genikulatum.3
Fraktur transversal meliputi sekitar 20% dari semua fraktur tulang
temporal. Fraktur jenis ini biasanya terjadi akibat benturan pada daerah frontal
atau parietal, tetapi dapat juga terjadi akibat benturan pada daerah oksipital. Garis
fraktur berjalan tegak lurus piramid petrosa, dimulai dari fossa kranii media (dekat
foramen laserum dan spinosum) kemudian melintasi piramid petrosa, hingga
berakhir di foramen magnum. Pada fraktur transversal, biasanya terjadi kerusakan
pada koklea dan struktur vestibuler yang mengakibatkan tuli sensorineural dan
vertigo. Sedangkan cedera pada saraf fasialis terjadi sekitar 50% kasus. Lokasi
cedera biasanya pada daerah kanalis auditori interna sampai segmen horizontal di
distal ganglion genikulatum.3
Ganglion genikulatum saraf fasialis merupakan tempat tersering terkena
trauma. Walaupun fraktur transversal hanya terjadi 10-20% dari fraktur tulang
temporal, tapi jenis fraktur ini paling banyak menyebabkan parese saraf fasialis
(sekitar 50%). Penemuan yang penting pada fraktur transversal adalah vertigo
dengan nistagmus spontan, tuli sensorineural, kelumpuhan saraf fasialis (hampir
pada 50% pasien), dan terjadinya haemotimpanum.3
Perjalanan saraf fasialis terbagi atas bagian intrakranial dan ekstrakranial.
Bagian intrakranial berawal dari area motorik korteks serebri yang terletak di
girus presentralis dan post sentralis, yang berfungsi sesuai dengan homonkulusnya
sampai keluar dari foramen stilomastoid di tulang temporal.7
Sinyal dari korteks dihantarkan melalui fasikulus jaras kortikobulbar
menuju kapsula interna, lalu menuju bagian atas midbrain sampai ke batang otak
bagian bawah untuk bersinaps pada nukleus N VII di pons. N VII mempunyai 2
nukleus yaitu nukleus superior dan inferior. Serabut dari kedua inti meninggalkan

17
batang otak bersama-sama saraf Wrisberg atau saraf intermedius dan saraf
vestibulokokhlearis (N VIII) melewati sudut cerebelopontin menuju tulang
temporal melalui porus akustikus internus.8
Di dalam kanalis akustikus internus, saraf fasialis dan saraf intermedius
berjalan superior dari N VIII sepanjang 8-10 mm sampai dengan fundus kanalis
akustikus internus. Selanjutnya di dalam tulang temporal, saraf fasialis berjalan
dalam saluran tulang yang disebut kanal Fallopi. Intratemporal, saraf fasialis
berjalan membentuk huruf Z sepanjang 28-30 mm, yang terbagi atas segmen
labirin, timpani dan mastoid.8
Dari ganglion genikulatum, keluar cabang pertama saraf fasialis, yaitu N.
Petrosus mayor. Saraf ini membawa serabut motorik sekretorik ke kelenjar
lakrimal. Cabang kedua adalah N. Petrosus eksternal, membawa serabut simpatis
ke arteri meningen media. Cabang ketiga adalah N. Petrosus minor, yang akan
bergabung dengan serabut pleksus timpani yang dipersarafi oleh N IX.9

Gambar 7. Saraf Fasialis dan percabangannya. 1.Cabang Temporal


2.Cabang Zigomatikum 3.Cabang Bukal 4.Muskulus Masseter 5.Cabang
Mandibular 6.M.Digastrikus anterior 7.Cabang Cervical 8.Kelenjar parotis
9.M.Digastrikus posterior 10.Saraf fasialis 11.Pes anserinus

18
Tabel 1. Otot-otot wajah dan cabang saraf fasialis yang mempersarafinya

Saraf fasialis keluar dari kanal Fallopi melalui foramen stilomastoid,


kemudian berjalan di anterior otot digastrikus posterior dan lateral dari prosessus
stiloid, arteri karotis eksterna dan vena fasialis posterior, kemudian memasuki
kelenjar parotis dan bercabang menjadi 2 cabang utama, yaitu divisi atas dan
bawah di pes anserinus. Setelah percabangan utama tersebut, kemudian
mengalami 5 percabangan, yaitu cabang temporal (frontal), zigomatikus, bukal,

19
mandibula dan servikal. Saraf-saraf ini menginervasi 23 pasang otot wajah dan
muskulus orbikularis oris.7
Tujuan pemeriksaan fungsi saraf fasialis, disamping untuk menentukan
derajat kelumpuhan, juga dapat menentukan letak lesi saraf fasialis. Pada
pemeriksaan fungsi motorik otot-otot wajah, dapat digunakan gradasi fungsi saraf
fasialis menurut House-Brackmann dan Freys. Pada sistem ini dinilai 4
komponen, yaitu pemeriksaan fungsi motorik, tonus, sinkinesis dan hemispasme.8

Grade Karakteristik
1. Normal Fungsi otot wajah normal pada semua area
2. Disfungsi Ringan Umum
Ringan pada saat menutup mata
Sinkinesis ringan
Saat istirahat wajah terlihat simetris
Gerakan
Dahi: fungsi ringan sampai baik
Mata: menutup komplit dengan usaha
minimal
Mulut: asimetris ringan
3. Disfungsi Sedang Umum
Terlihat sinkinesis, kontraktur atau spasme
hemifasial tapi tidak berat.
Saat istirahat, wajah terlihat simetris
Gerakan
Dahi: pergerakan tertinggal ringan sampai
sedang
Mata: menutup sempurna dengan usaha
maksimal
Mulut: kelemahan ringan sampai sedang,
simetris dengan usaha maksimal

20
4. Disfungsi Sedang Berat Umum
Kelemahan otot wajah yang nyata.
Saat istirahat terlihat asimetris ringan
Gerakan
Dahi: tidak ada gerakan
Mata: tidak menutup sempurna
Mulut: asimetri walau dengan maksimal
5. Disfungsi Berat Umum
Saat istirahat, sudah terlihat asimetris
Gerakan
Dahi: tidak ada gerakan
Mata: tidak bisa menutup
Mulut: hanya sedikit gerakan
6. Paralisis Total Tidak ada gerakan

Pada pemeriksaan sistem motorik, wajah dibagi menjadi 10 area, berdasarkan


10 otot yang bertanggung jawab terhadap mimik dan ekspresi wajah.
Kesepuluh otot yang diperiksa dan cara pemeriksaannya adalah:12

1. M. Frontalis mengangkat alis keatas


2. M. Soursilier mengerutkan alis
3. M. Pyramidalis mengangkat dan mengerutkan hidung keatas
4. M. Orbikularis okuli memejamkan kedua mata kuat-kuat
5. M. Zygomatikus tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi
6. M. Relevar komunis memoncongkan mulut ke depan sambil
memperlihatkan gigi
7. M. Businator mengembungkan kedua pipi
8. M. Orbikularis oris bersiul
9. M. Triangularis menarik kedua sudut bibir kebawah
10. M. Mentalis memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke
depan

21
Untuk setiap gerakan dari kesepuluh otot-otot tersebut, dibandingkan
antara sisi kanan dan kiri, dan diberi nilai dari 0 sampai dengan 3;

Nilai 3: gerakan normal dan simetris

Nilai 2: gerakan diantara nilai 1 dan 3

Nilai 1: sedikit ada gerakan

Nilai 0: tidak ada gerakan sama sekali

Dalam keadaan normal, dimana tidak terdapat kelainan saraf fasialis, maka
nilai maksimal dari penjumlahan 10 area di wajah pada satu sisi adalah 30.

Pemeriksaan tonus wajah dinilai dengan membagi wajah menjadi 5 area.


Menurut Freys, pemeriksaan tonus merupakan hal yang penting dan penilaian
tidak harus dilakukan untuk setiap otot, melainkan cukup untuk setiap tingkatan
otot-otot wajah. Nilai untuk tonus bernilai 0-3, dengan nilai 3 untuk tonus normal
dan 0 bila tidak ada tonus. Apabila terdapat hipotonus maka nilai dikurangi 2
untuk setiap tingkatan tergantung derajatnya. Pada keadaan normal nilai total
untuk tonus dari kelima tingkatan wajah adalah 15.12

Sinkinesis merupakan salah satu komplikasi dari parese saraf fasialis.


Untuk mengetahui ada tidaknya sinkinesis dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:13

a. Penderita disuruh memejamkan mata sekuat-kuatnya, kemudian pemeriksa


memperhatikan ada tidaknya pergerakan otot-otot di daerah sudut bibir
atas. Kemudian dilakukan penilaian sebagai berikut: nilai 2 bila tidak
ditemukan sinkinesis. Bila terjadi sinkinesis pada sisi paresis tergantung
derajatnya dikurangi nilai 1 atau 2.
b. Penderita disuruh tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian
pemeriksa memperhatikan ada atau tidaknya pergerakan otot-otot sudut
mata bawah. Penilaian seperti poin a.

22
c. Sinkinesis juga dapat terlihat saat seseorang berbicara (gerakan emosi).
Pemeriksa memperhatikan ada tidaknya pergerakan otot-otot disekitar
mulut. Bila tidak tampak sinkinesis diberi nilai 1. Bila terjadi sinkinesis
pada sisi parese maka diberi nilai 0.

Hemispasme merupakan suatu hiperaktivitas saraf fasialis unilateral. Bila


tidak terdapat hemispasme maka diberi nilai 0, namun bila terdapat hemispasme,
untuk setiap gerakannya diberi nilai minus satu (-1).13

Nilai total dari motorik, tonus, sinkinesis dan hemispasme pada keadaan
normal adalah 50. Gradasi parese, dinilai berdasarkan nilai total hasil pemeriksaan
dikali 2 untuk mendapatkan persentase fungsi motorik saraf fasialis yang baik.13

Dalam sistem ini juga dilakukan penilaian topografi dan pemeriksaan


electrophisiologic tests yang meliputi nerve exitability test (NET), Maximal
Stimulation Test (MST), Electroneurography (EnoG) dan Electromyography
(EMG). Penilaian topografi mencakup tes Schimer, refleks stapedius dan
gustometri.12

Tes Schimer atau tes refleks Nasolakrimal, untuk mengetahui fungsi


serabut simpatis saraf fasialis melalui saraf petrosus superfisialis setinggi ganglion
genikulatum. Caranya dengan meletakkan kertas lakmus pada dasar konjungtiva.
Menurut Freys jika terdapat perbedaan antara mata kanan dan mata kiri ≥50%
dianggap patologis.12

Untuk menilai refleks stapedius digunakan elektrokaustik impedans, yaitu


dengan memberikan ambang rangsang pada m .Stapedius untuk mengetahui
fungsi saraf stapedius cabang saraf fasialis.13

Pada gustometri dinilai adanya perbedaan ambang rangsang antara kanan


dan kiri. Freys menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.
Dari sistem ini dapat dilaporkan letak lesi dengan persentase fungsi motorik yang
terbaik disertai kemungkinan prognosis dari hasil NET, MST, EnoG atau EMG,
sehingga dapat digunakan untuk menilai derajat kerusakan, menentukan prognosis

23
perbaikan saraf fasialis paska trauma serta merencanakan terapi yang akan
diberikan.12

Penatalaksanaan paresis saraf fasialis akibat fraktur tulang temporal masih


merupakan hal kontroversial. Chen dan Ariaga menyatakan pasien dengan
paralisis parsial (House Brackmann II-V) cukup dilakukan observasi dan terapi
dengan steroid berupa prednison 1 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari
tappering off jika tidak terdapat kontraindikasi. Sedangkan pada paralisis komplit
(House Brackmann VI), terapi medikamentosa dengan steroid dapat
dikombinasikan dengan terapi bedah berupa dekompresi dan grafting. Akan tetapi
pertimbangan untuk melakukan pembedahan tergantung dari pemeriksaan CT
Scan dan tes elektrofisiologis. Terapi bedah dilakukan jika pada pemeriksaan CT
Scan ditemukan adanya fraktur temporal disertai diastasis >1mm dan pemeriksaan
EnoG menunjukkan degenerasi > 90%.10
Terapi konservatif yang dapat diberikan pada cedera saraf fasialis akibat
trauma adalah pemberian steroid, melindungi fungsi penglihatan dan terapi
rehabilitasi wajah. Pemberian steroid dapat berupa kortikosteroid dosis tinggi
untuk mengurangi edema yang terjadi. Chen dan Ariga menyarankan pemberian
prednison 1 mg/kg/hari selama 10 hari dengan tappering off. Sedangkan Chang
dan Cass, seperti dikutip Patel dan Groppo menyatakan pemberian kortikosteroid
intravena jangka pendek dapat mencegah inflamasi serta mengurangi edema pada
saraf dan daerah sekitarnya, sehingga mengurangi kompresi pada saraf.14
Mata yang tidak menutup sempurna dalam waktu lama dapat
mengakibatkan keratitis. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain
pemberian airmata artifisial, membantu menutup mata dengan cara sederhana
dengan plester saat tidur hingga diberi implan pemberat (gold weighting) atau
dilakukan tarsorafi oleh dokter mata.6

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Gleinser David, Makishima T. Facial Nerve Trauma. The University of


Texas Medical Branch. 2009. Grand Rounds Presentation.
2. Myckatyn TM, Mackinnon SE. A Review of Facial Nerve Anatomy.
Seminars in Plastic Surgery. 2004; 18 (1): 5-10.
3. Narayan Raj K. Temporal Bone Injuries. In: Neurotrauma. Volume 1. Bi-
Comp. Inc, 1995. p. 253-255.
4. Massa N, Meyers AD. Intratemporal Bone Trauma. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/846226.
5. Gulya AJ. Anatomy of the Ear and Temporal Bone. In: Glasscock ME,
Gulya AJ, editors. Glasscock Shambaugh Surgery of the Ear, 5th Ed. BC
Decker Inc, 2003. p. 35-57.
6. Evans Randolp W. Facial Nerve: Clinical Presentation. In: Neurology and
Trauma. Oxford University Press. 2006. p. 137-139.
7. Schaitkin BM, Eisenman DJ. Anatomy of Facial Muscle. In: May M,
Schaitkin BM, editors. The Facial Nerve, May’s 2nd Edition. New York:
Thieme, 2000. p. 95-113.
8. Patel AA, Tanna N, Schaitkin BM, Bascom DA. Facial Nerve Anatomy.
Available from URL: http://emedicine.medscape.com/article/835286-
overview. Article last update March 2009.
9. Larouere MJ, Lundy LB. Anatomy and Physiology of the Facial Nerve. In:
Jackler RK, Brackmann DE, editors. Neurotology. St Louis: Mosby, 1994.
p. 1271-81.
10. May M. Anatomy for Clinician. In: May M, Schaitkin BM, editors. The
Facial Nerve, May’s 2nd Edition. New York: Thieme, 2000. p. 19-56.
11. Syarifuddin. Dekompresi Fasialis. Jakarta, 1993. p. 1-3.
12. Dobie RA. Tests of Facial Nerve Function. In: Cummings Otolaryngology
Head and Neck Surgery, 4th Ed Vol 4. Philadelphia: Elsevier Mosby, 2005.

25
13. Kartush JM. Overview of Facial Nerve Surgery. In: Jackler RK,
Brackmann DE, editors. Neurotology. St Louis: Mosby,1994.
14. Chen DA, Ariaga MA. Acute Facial Paralysis. In: Pensak ML, ed.
Controversies in otolaryngology. New York: Thieme; 2001.

26

Anda mungkin juga menyukai