Fraktur Temporal Dan Paresis N Vii Perifer
Fraktur Temporal Dan Paresis N Vii Perifer
PENDAHULUAN
1
ditemukan sekitar 25% kasus, sedangkan pada fraktur transversal ditemukan lebih
banyak yaitu sebesar 50%.4
2
BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1 Anamnesis
Nn. MU, wanita, 19 tahun, tinggal di Bireuen, dirujuk dari RSUD dr.
Fauziah Bireuen ke RSU Zainoel Abidin (RSUZA) dengan keluhan nyeri kepala
setelah mengalami kecelakaan saat mengendarai sepeda motor ± 1 hari sebelum
masuk rumah sakit. Pasien tidak memakai helm saat kejadian dengan kecepatan
mengendarai 60 KM/jam, kemudian bertabrakan dengan sepeda motor lain dari
arah berlawanan, hingga pasien terjatuh dengan posisi menyamping dan kepala
sebelah kanan membentur aspal. Setelah terjatuh pasien langsung tidak sadarkan
diri selama ± 30 menit. Terdapat mual dan muntah, pusing berputar, keluar darah
dari telinga kanan, tetapi dari mulut dan hidung tidak ada. Tidak ada riwayat
keluar cairan atau darah dari telinga sebelumnya. Tidak ada kejang. Pasien sudah
sadar penuh saat tiba di IGD RSUZA.
3
gallop, batas jantung tidak melebar. Abdomen datar, lemas, hati dan limpa tidak
teraba, bising usus positif normal. Pada pemeriksaan punggung tidak terdapat
deformitas. Akral hangat, tidak ada edema.
4
fraktur dan tak tampak soft tissue swelling. Kesimpulan: foto Cervical tak tampak
kelainan.
5
Gambar 3. CT scan kepala non kontras Bone window 10 Januari 2017
6
Laboratorium Darah 10 Januari 2017
7
Tatalaksana awal di ruang perawatan:
1. Suportif :
- Elevasi kepala 300
- IVFD RL 500 mL / 8 jam
- Diet MB
- Pasang folley catheter
2. Medikamentosa:
- Cegah Infeksi : IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
- Neuroprotektor : IV Citicholin 500mg/12 jam
- Analgetik : IV Paracetamol 1000 mg/8 jam
- Anti Emetik : IV Ondansentron 8 mg/12 jam
- Anti perdarahan : IV Asam Tranexamat 500 mg/8 jam
3. Edukasi :
- Hindari batuk dan mengedan, tidak bangun dari tempat tidur.
- Bedrest dengan head up 300
- Atasi nyeri
- Atasi perdarahan
FOLLOW UP
Tanggal S O A P
8
kanan isokor, 3mm/3mm
berdengung Konsul THT: Pemasangan
(+) RCL (+/+) RCTL (+/+)
tampon selama 3 hari
Wajah N.Cranialis: Parese (-)
bengkak (+) Motorik : 5555/5555
5555/5555
Mata kanan Sensorik : dbN
bengkak
tidak bisa R. Fisiologis : +2 /+2
dibuka (+) +2 /+2
R. Patologis : Babinski
Kedua (-/-)
kelopak
mata kiri Otonom : BAK (+)
dan kanan BAB (-)
berwarna
kebiruan (+)
R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
9
R. Patologis : Babinski
(-/-)
10
Hari Telinga N : 84 x/i Cerebri IV Citicholin 500 mg/12 jam
rawatan 4 kanan IV Dexamethason 5 mg/8 jam
berdengung RR : 20 x/i
Fraktur Os Lansoprazole 2 x 30 mg
(+) T : 36,50C Temporal
Paracetamol 3 x 500 mg
Mulut Dextra
NRS : 4 Betahistin 3 x 6 mg
mencong ke
Vertigo
kiri (+) Mata : Brill hematom Aff tampon telinga kanan
Perifer
(+/+), pupil bulat
Mata kanan isokor, 3mm/3mm Konsul Rehabilitasi Medik
Otorhea
tidak Dextra
menutup RCL (+/+) RCTL (+/+)
sempurna Parese
N. Cranialis: Parese
(+) N.VII
N.VII Perifer Dextra Perifer
Mata kanan Dextra
Motorik : 5555/5555
berair (+)
5555/5555
Rasa Sensorik : dbN
makanan R. Fisiologis : +2 /+2
masih +2 /+2
kurang rasa R. Patologis : ( - / - )
(+)
Otonom : BAK (+)
BAB (-)
11
makanan N.VII Perifer Dextra
masih
Motorik : 5555/5555
kurang rasa
5555/5555
BAB (-) 5 Sensorik : dbN
hari R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
R. Patologis : ( - / - )
N. Cranialis: Parese
N.VII Perifer Dextra
Motorik : 5555/5555
5555/5555
Sensorik : dbN
R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
R. Patologis : Babinski
(- / -)
12
17/01/2017 Mulut GCS : E4M6V5 Contusio IVFD RL 500 mL / 8 jam
mencong ke Cerebri
Jam 06.00 TD : 120/80 mmHg Elevasi kepala 30 derajat
kiri
Edema IV Ceftriaxone 2 gr/12 jam
Hari berkurang N : 80 x/i Cerebri
Rawatan 7 (+) IV Citicholin 500 mg/12 jam
RR : 20 x/i Fraktur Os IV Dexamethason 5 mg/12 jam
Mata kanan
0 Temporal
sudah bisa T : 36,7 C Dextra
Lansoprazole 2 x 30 mg
menutup (+) Paracetamol 3 x 500 mg
Mata : pupil bulat
Parese
Mata kanan isokor, 3mm/3mm Pemeriksaan TCD
N.VII
berair juga Perifer
RCL (+/+) RCTL (+/+)
berkurang Dextra
N. Cranialis: Parese
N.VII Perifer Dextra
Motorik : 5555/5555
5555/5555
Sensorik : dbN
R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
R. Patologis : ( - / - )
13
Motorik : 5555/5555
5555/5555
Sensorik : dbN
R. Fisiologis : +2 /+2
+2 /+2
R. Patologis : Babinski
(- / -)
14
dengan usaha maksimal, sehingga dapat disimpulkan terdapat kerusakan saraf
fasialis perifer kanan derajat IV.
Pada hari rawatan ke-4 pasien dikonsulkan ke bagian Rehabilitasi Medik.
Pada hari rawatan ke-5 pasien diberikan Fosen Enema karena mengeluhkan sudah
5 hari tidak BAB.
Perawatan dilanjutkan dan pada hari ke-7 dilakukan pemeriksaan
Trancranial Doppler, didapatkan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
2.6 Diagnosis
Diagnosis Klinis : Otorhea Dextra, Cephalgia Post Trauma Capitis, Vertigo
Perifer, Paresis Nervus VII Perifer Dextra
Diagnosis Topis : Temporoparietal kiri, temporoparietal kanan
Diagnosis Etiologis : Trauma capitis
Diagnosis Patologis : Hemorhagik, Fraktur
15
BAB III
PEMBAHASAN
Tulang temporal terdiri dari bagian tulang skuama, mastoid, petrous dan
timpani. Bersama-sama tulang oksipital, parietal, spenoid dan zygomatikum akan
membentuk dinding lateral dan dasar tulang tengkorak atau bagian tengah dan
posterior dari fossa kranialis. Tulang mastoid disusun dari bagian protrusion
inferior tulang skuama dan tulang petrous.4
Trauma tulang temporal sangat rawan terjadi kerusakan organ-organ
intratemporal. Tulang temporal menutupi organ-organ penting seperti saraf
fasialis, saraf vestibulokoklearis, koklea, labirin, tulang-tulang pendengaran,
membran timpani, kanalis akustikus eksternus, temporomandibular joint, vena
jugularis serta arteri karotis. Struktur intrakranial seperti lobus temporalis,
meningen, saraf abdusen dan batang otak juga dapat mengalami kerusakan akibat
trauma tulang temporal, sehingga dapat menyebabkan terjadinya fistula liquor
cerebro spinal, meningitis dan herniasi batang otak. Disamping itu, komplikasi
intrakranial seperti hematom subdural, kontusio atau perdarahan intraparenkim,
edema serebral, posttraumatic encephalopathy dan peningkatan tekanan
intrakranial dapat juga terjadi.3
Fraktur longitudinal lebih sering ditemukan dibandingkan fraktur
transversal, meliputi 80% dari seluruh fraktur tulang temporal. Fraktur jenis ini
terjadi akibat benturan didaerah temporal atau parietal yang kemudian merambat
ke daerah mastoid atau tulang skuamosa. Garis fraktur yang terjadi akan
paralel/sejajar dengan aksis panjang piramid petrosa. Garisnya berawal dari pars
skuamosa (mastoid atau kanalis auditorius eksterna) meluas melalui
posterosuperior liang telinga bagian tulang, selanjutnya melintasi atap telinga
tengah di anterior labirin dan berakhir di anteromedial fossa kranii media dekat
foramen laserum dan ovale.3
16
Gejala klinis fraktur longitudinal tulang temporal meliputi perdarahan dari
liang telinga akibat laserasi kulit liang telinga atau membran timpani,
hemotimpanum, fraktur kanalis akustikus eksternus, tuli konduktif akibat
kerusakan rangkaian tulang pendengaran dan cedera saraf fasialis. Sekitar 20%
fraktur longitudinal akan mengakibatkan cedera pada saraf fasialis. Lokasi saraf
fasialis yang terkena biasanya pada segmen horizontal di distal ganglion
genikulatum.3
Fraktur transversal meliputi sekitar 20% dari semua fraktur tulang
temporal. Fraktur jenis ini biasanya terjadi akibat benturan pada daerah frontal
atau parietal, tetapi dapat juga terjadi akibat benturan pada daerah oksipital. Garis
fraktur berjalan tegak lurus piramid petrosa, dimulai dari fossa kranii media (dekat
foramen laserum dan spinosum) kemudian melintasi piramid petrosa, hingga
berakhir di foramen magnum. Pada fraktur transversal, biasanya terjadi kerusakan
pada koklea dan struktur vestibuler yang mengakibatkan tuli sensorineural dan
vertigo. Sedangkan cedera pada saraf fasialis terjadi sekitar 50% kasus. Lokasi
cedera biasanya pada daerah kanalis auditori interna sampai segmen horizontal di
distal ganglion genikulatum.3
Ganglion genikulatum saraf fasialis merupakan tempat tersering terkena
trauma. Walaupun fraktur transversal hanya terjadi 10-20% dari fraktur tulang
temporal, tapi jenis fraktur ini paling banyak menyebabkan parese saraf fasialis
(sekitar 50%). Penemuan yang penting pada fraktur transversal adalah vertigo
dengan nistagmus spontan, tuli sensorineural, kelumpuhan saraf fasialis (hampir
pada 50% pasien), dan terjadinya haemotimpanum.3
Perjalanan saraf fasialis terbagi atas bagian intrakranial dan ekstrakranial.
Bagian intrakranial berawal dari area motorik korteks serebri yang terletak di
girus presentralis dan post sentralis, yang berfungsi sesuai dengan homonkulusnya
sampai keluar dari foramen stilomastoid di tulang temporal.7
Sinyal dari korteks dihantarkan melalui fasikulus jaras kortikobulbar
menuju kapsula interna, lalu menuju bagian atas midbrain sampai ke batang otak
bagian bawah untuk bersinaps pada nukleus N VII di pons. N VII mempunyai 2
nukleus yaitu nukleus superior dan inferior. Serabut dari kedua inti meninggalkan
17
batang otak bersama-sama saraf Wrisberg atau saraf intermedius dan saraf
vestibulokokhlearis (N VIII) melewati sudut cerebelopontin menuju tulang
temporal melalui porus akustikus internus.8
Di dalam kanalis akustikus internus, saraf fasialis dan saraf intermedius
berjalan superior dari N VIII sepanjang 8-10 mm sampai dengan fundus kanalis
akustikus internus. Selanjutnya di dalam tulang temporal, saraf fasialis berjalan
dalam saluran tulang yang disebut kanal Fallopi. Intratemporal, saraf fasialis
berjalan membentuk huruf Z sepanjang 28-30 mm, yang terbagi atas segmen
labirin, timpani dan mastoid.8
Dari ganglion genikulatum, keluar cabang pertama saraf fasialis, yaitu N.
Petrosus mayor. Saraf ini membawa serabut motorik sekretorik ke kelenjar
lakrimal. Cabang kedua adalah N. Petrosus eksternal, membawa serabut simpatis
ke arteri meningen media. Cabang ketiga adalah N. Petrosus minor, yang akan
bergabung dengan serabut pleksus timpani yang dipersarafi oleh N IX.9
18
Tabel 1. Otot-otot wajah dan cabang saraf fasialis yang mempersarafinya
19
mandibula dan servikal. Saraf-saraf ini menginervasi 23 pasang otot wajah dan
muskulus orbikularis oris.7
Tujuan pemeriksaan fungsi saraf fasialis, disamping untuk menentukan
derajat kelumpuhan, juga dapat menentukan letak lesi saraf fasialis. Pada
pemeriksaan fungsi motorik otot-otot wajah, dapat digunakan gradasi fungsi saraf
fasialis menurut House-Brackmann dan Freys. Pada sistem ini dinilai 4
komponen, yaitu pemeriksaan fungsi motorik, tonus, sinkinesis dan hemispasme.8
Grade Karakteristik
1. Normal Fungsi otot wajah normal pada semua area
2. Disfungsi Ringan Umum
Ringan pada saat menutup mata
Sinkinesis ringan
Saat istirahat wajah terlihat simetris
Gerakan
Dahi: fungsi ringan sampai baik
Mata: menutup komplit dengan usaha
minimal
Mulut: asimetris ringan
3. Disfungsi Sedang Umum
Terlihat sinkinesis, kontraktur atau spasme
hemifasial tapi tidak berat.
Saat istirahat, wajah terlihat simetris
Gerakan
Dahi: pergerakan tertinggal ringan sampai
sedang
Mata: menutup sempurna dengan usaha
maksimal
Mulut: kelemahan ringan sampai sedang,
simetris dengan usaha maksimal
20
4. Disfungsi Sedang Berat Umum
Kelemahan otot wajah yang nyata.
Saat istirahat terlihat asimetris ringan
Gerakan
Dahi: tidak ada gerakan
Mata: tidak menutup sempurna
Mulut: asimetri walau dengan maksimal
5. Disfungsi Berat Umum
Saat istirahat, sudah terlihat asimetris
Gerakan
Dahi: tidak ada gerakan
Mata: tidak bisa menutup
Mulut: hanya sedikit gerakan
6. Paralisis Total Tidak ada gerakan
21
Untuk setiap gerakan dari kesepuluh otot-otot tersebut, dibandingkan
antara sisi kanan dan kiri, dan diberi nilai dari 0 sampai dengan 3;
Dalam keadaan normal, dimana tidak terdapat kelainan saraf fasialis, maka
nilai maksimal dari penjumlahan 10 area di wajah pada satu sisi adalah 30.
22
c. Sinkinesis juga dapat terlihat saat seseorang berbicara (gerakan emosi).
Pemeriksa memperhatikan ada tidaknya pergerakan otot-otot disekitar
mulut. Bila tidak tampak sinkinesis diberi nilai 1. Bila terjadi sinkinesis
pada sisi parese maka diberi nilai 0.
Nilai total dari motorik, tonus, sinkinesis dan hemispasme pada keadaan
normal adalah 50. Gradasi parese, dinilai berdasarkan nilai total hasil pemeriksaan
dikali 2 untuk mendapatkan persentase fungsi motorik saraf fasialis yang baik.13
23
perbaikan saraf fasialis paska trauma serta merencanakan terapi yang akan
diberikan.12
24
DAFTAR PUSTAKA
25
13. Kartush JM. Overview of Facial Nerve Surgery. In: Jackler RK,
Brackmann DE, editors. Neurotology. St Louis: Mosby,1994.
14. Chen DA, Ariaga MA. Acute Facial Paralysis. In: Pensak ML, ed.
Controversies in otolaryngology. New York: Thieme; 2001.
26