Anda di halaman 1dari 30

TUGAS

MATA KULIAH : KEPERAWATAN ANAK


LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN
KEPERAWATAN
PADA ANAK DENGAN

DIFTERI
Dosen Pengampu : Aris Fitriani,S.Kep.Ns.MM

Disusun oleh :
KELAS IIA
JUHARIAH (P10220206019)

POLITEKNIK KESEHATAN
DEPARTEMEN KESEHATAN SEMARANG
PRODI KEPERAWATAN
PURWOKERTO

LAPORAN PENDAHULUAN DIFTERI


KONSEP DASAR

A. Pengertian
1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999).
2. Diftery adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum
diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ).
3. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang
diserang terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas
timbulnya pseudo membran (Ngastiyah, 2005).
4. Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtriae (Rampengan, 1993).
5. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat
berbahaya pada anak –anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian
atas,penularannya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman
ke orang lain yang sehat (Sulianti Suroso. 2004).
6. Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
7. Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif
(Jauhari,nurudin. 2008).
8. Difteri adalah suatu infeksiakut yang disebabkan oleh bakteri
penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).

B. Etiologi dan klasifikasi


Penyebabnya adalah Corynebacterium diphteriae. Bakteri ini ditularkan
melalui percikan ludah yang berasal dari batuk penderita atau benda maupun
makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Biasanya bakteri ini
berkembangbiak pada atau disekitar selaput lender mulut atau tenggorokan dan
menyebabkan peradangan. Pewarnaan sediaan langsung dapat dialkuakan dengan
biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan dengan sediaan
langsung dari lesi.
Menurut Staf Ilmu Kesehatan Anak FKUI dalam buku kuliah ilmu
kesehatan anak, sifat bakteri Corynebacterium diphteriae :
1. Gram positif
2. Aerob
3. Polimorf
4. Tidak bergerak
5. Tidak berspora
Disamping itu bakeri ini dapat mati pada pemanasan 60º C selama 10
menit, tahan beberapa minggu dalam es, air, susu dan lendir yang telah
mengering.Terdapat tiga jenis basil yaitu bentuk gravis, mitis, dan intermedius
atas dasar perbedaan bentuk koloni dalam biakan agar darah yang mengandung
kalium telurit. Basil Difteria mempunyai sifat:
1. Mambentuk psedomembran yang sukar dianggkat, mudah berdarah,
dan berwarna putih keabu-abuan yang meliputi daerah yang terkena.terdiri
dari fibrin, leukosit, jaringan nekrotik dan kuman.
2. Mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat meracuni
jaringan setelah beberapa jam diserap dan memberikan gambaran perubahan
jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan saraf.
Menurut tingkat keparahannya, Staff Ilmu Kesehatan Anak FKUI
membagi penyakit ini menjadi 3 tingkat yaitu :
1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa
hidung dengan gejala hanya nyeri menelan.
2. Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyaring sampai faring
(dinding belakang rongga mulut), sampai menimbulkan pembengkakan pada
laring.
3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan
gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralysis
(kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).
Menurut bagian ilmu kesehatan anak FKUI, penyakit ini juga dibedakan
menurut lokasi gejala yang dirasakan pasien :
1. Difteri hidung
Gejala paling ringan dan paling jarang (2%). Mula-mula tampak pilek,
kemudian secret yang keluar tercampur darah sedikit yang berasal dari
pseudomembran. Penyebaran pseudomembran dapat mencapai faring dan
laring.
2. Difteri faring dan tonsil ( Difteri Fausial ).
Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa
penderita akibat gagal nafas. Paling sering dijumpai ( 75%). Gejala mungkin
ringan tanpa pembentukan pseudomembran. Dapat sembuh sendiri dan
memberikan imunitas pada penderita.Pada kondisi yang lebih berat diawali
dengan radang tenggorokan dengan peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu
tinggi, pseudomembran awalnya hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang
cepat meluas ke nasofaring atau ke laring, nafas berbau, dan ada
pembengkakan regional leher tampak seperti leher sapi (bull’s neck). Dapat
terjadi sakit menelan, dan suara serak serta stridor inspirasi walaupun belum
terjadi sumbatan laring.
3. Difteri laring dan trakea
Lebih sering merupakan penjalaran difteri faring dan tonsil, daripada yang
primer. Gejala gangguan nafas berupa suara serak dan stridor inspirasi jelas
dan bila lebih berat timbul sesak nafas hebat, sianosis, dan tampak retraksi
suprasternal serta epigastrium. Ada bull’s neck, laring tampak kemerahan dan
sembab, banyak sekret, dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. Bila
anak terlihat sesak dan payah sekali perlu dilakukan trakeostomi sebagai
pertolongan pertama.
4. Difteri kutaneus dan vaginal
Dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan
pembentukan membrane diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat
nyeri, pada difteri, luka yang terjadi justru tidak terasa apa-apa. Difteri dapat
pula timbul pada daerah konjungtiva dan umbilikus.
C. Patofisiologi
Basil hidup dan berkembangbiak pada traktus respiratorius bagian atas
terutama bila terdapat peradangan kronis pada tonsil, sinus, dan lain-lain.Selain
itu dapat juga pada vulva, kulit, mata, walaupun jarang terjadi. Pada tempat-
tempat tersebut basil membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal kemudian menjalar kefaring, tonsil, laring, dan
saluran nafas atas. Kelenjar getah bening sekitarnya akan membengkak dan
mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot jantung akan menyebabkan
miokarditis toksik atau jika mengenai jaringan saraf perifer sehingga timbul
paralysis terutama otot-otot pernafasan. Toksin juga dapat menimbulkan nekrosis
fokal pada hati dan ginjal, yang dapat menimbulkan nefritis interstitialis.
Kematian pasien difteria pada umumnya disebabkan oleh terjadinya sumbatan
jalan nafas akibat pseudomembran pada laring dan trakea, gagal jantung karena
miokardititis, atau gagal nafas akibat terjadinya bronkopneumonia.
Penularan penyakit difteria adalah melalui udara (droplet infection), tetapi
dapat juga melalui perantaraan alat atau benda yang terkontaminasi oleh kuman
difteria.Penyakit dapat mengenai bayi tapi kebayakan pada anak usia balita.
Penyakit Difteria dapat berat atau ringan bergantung dari virulensi, banyaknya
basil, dan daya tahan tubuh anak. Bila ringan hanya berupa keluhan sakit menelan
dan akan sembuh sendiri serta dapat menimbulkan kekebalan pada anak jika daya
tahan tubuhnya baik. Tetapi kebanyakan pasien datang berobat sering dalam
keadaan berat seperti telah adanya bullneck atau sudah stridor atau dispnea.
Pasien difteria selalu dirawat dirumah sakit karena mempunyai resiko terjadi
komplikasi seperti mioarditis atau sumbatan jalan nafas (Ngastiyah, 1997).
Menurut Iwansain,2008 dalam www.iwansain.wordpress.com secara sederhana
pathofisiologi difteri yaitu :
1. Kuman difteri masuk dan berkembang biak pada saluran nafas atas,
dan dapat juga pada vulva, kulit, mata.
2. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin.
Pseudomembran timbul lokal dan menjalar dari faring, laring, dan saluran
nafas atas. Kelenjar getah bening akan tampak membengkak dan mengandung
toksin.
3. Bila eksotoksin mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya
miokarditis dan timbul paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan
saraf.
4. Sumbatan pada jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran
pada laring dan trakea dan dapat menyebabkan kondisi yang fatal.

Pathway Keperawatan

Corynebacterium diphteriae
D. Manifestasi Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Sacara umum gejala yang timbul berupa (FKUI, 1999) :
1. Demam yang tidak terlalu tinggi
2. Denyut jantung cepat
3. Lesu dan lemah
4. Menggigil
5. Mual muntah
6. Nyeri saat menelan dan anoreksia
7. Pucat
8. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
9. Sakit kepala
10. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
11. Sesak nafas
12. Serak

E. Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut Rampengan (1993) yaitu
:
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptococus dan staphylococcus.
Pasien dengan infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami
panas tinggi.
2. Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas
dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.
3. Sistemik
a. Kardiovaskuler
1) Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga
terjadi pada bentuk ringan.komlikasi terhadap penyakit jantung pada
anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin terlambat
pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman.
Melemahnya jantung pertama atau adanya aritmia
menunjukan gejala-gejala miokarditis.
Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada
miokarditis difteri atas:
a) Gangguan kondiksi .
b) Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai
dengan atau tanpa deviasi segmen ST.
c) Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia .
2) Neuritis
Manifestasi klinisnya yaitu:
a) Timbul setelah masa laten
b) Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant
daripada sensorik
c) Kelainan ini biasanya sembuh sempurna
b. Susunan saraf
Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama
sistem motorik.
Parese atau paralysis dapat berupa :
1) Paralisis atau parese palatum mole
a) Merupakan manifestasi sraf yang paling sering
b) Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara
hidung dan regurgutasi hidung.
c) Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
2) Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh
paralisisdari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi
kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
3) Paralisis diafragma
Dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak
segera diatasi penderita akan meninggal.
4) Paresis atau paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang,
cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip
Guillian Barre Syndrom.
c. Urogenital
Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya
apakah normal atau tidak.

F. Prognosis
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
1. Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
2. Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk
keadaanya.
3. Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
5. Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
6. Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.

G. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan medis
a. Pengobatan Umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur,
isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya
komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Buku kuliah
ilmu kesehatan anak FKUI, 1999).
b. Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI,
1999)
1) Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari
selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit
dan mata.
2) Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3
hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi,
ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
3) Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya
komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan
prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian
dihentikan secara bertahap.
2. Keperawatan .
Menurut Ngastiyah (1997),penatalaksanaan keperawatan pada pasien
difteri yaitu pasien dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus
memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian
tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan cuci tangan,
desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk
merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu
diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi obstuksi jalan nafas,
miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat,
gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko
terjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua
mengenai penyakit dan perawatan trakheostomi (jika pasien perlu
dilakukan trakheostomi).

H. Pencegahan
Pencegahan penyakit difteria (Ngastiyah, 1997) ada beberapa macam cara yaitu :
1. Imunisasi
Penurunan drastic morbidity difteri sejak dilakukan pemberian
imunisasi.Imunisasi aktif diberikan dengan penyuntikan toksoid.imunisasi
dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakuakan 3 kali berturut-turut dengan
selang wktu 1 bulan.biasanya diberikan bersamaan dengan toksoid tetanus dan
basil B,pertusis yang telah dimatikan sehingga disebut DPT.
Vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun setelah suntikan terakhir imunisasi dasar (1
½-2 tahun dan5 tahun,selanjutnya setiap 5 tahun sampai usia 15 tahun hanya
diberiksn vaksin difteri jika kontak dengan penderita difteri.doosis yang
diberikan adalah 0,5 setiap kali pemberian.
2. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
kuman difteri dua kali berturut-turut negative.
3. Pencarian seorang karier difteri
Dengan dilakukan uji shick.bila diambil hapusan tenggorok ditemukan
Corynebacterium diphteriae pasien (karier) diobati, bila perlu dilakukan
tonsilektomi.
4. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteriharus diisolasi selama 7 hari.Bila
dalam pengamatan tampak gejala-gejala maka penderita tersebut harus
diobati.Bila tidak ada gejala klinis maka diberi iminisasi difteri.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman
Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
2. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin.
Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau
bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood (
Rampengan, 1993 ).
4. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena
hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
5. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit
peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
6. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita,
suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter
darah cukup dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan
dosis 1/50 MLD (Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam,
bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut
tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan
akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer
antitoksin yang rendah, uji shick dapat positif pada orang dengan imunitas
atau mengandung anti toksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat
reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang menghilang dalam 72 jam.Tes
ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru dapat dibaca beberapa hari
kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999 ).
7. Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis),pada
pemeriksaan EKG hasilnya :Low voltage, depresi segment S ( Buku kuliah
ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DIFTERI


A. Pengkajian
Menurut Doenges (1994), pengkajian pada pasien difteri meliputi :
1. Aktivitas / istirahat
a. Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.
b. Kurang tidur, penurunan kemampuan beraktivitas, pusing.
c. Fatigue.
d. Insomnia.
e. Berat badan menurun.
2. Sirkulasi
a. Nadi meningkat, takikardi.
b. Aritmia.
3. Nutrisi
a. Anoreksia
b. Sulit menelan / sakit.
c. Turgor kulit menurun
d. Edema laring, faring
e. Berat badan menurun.
4. Pernafasan
a. Sulit bernafas
b. Produksi sputum meningkat.
c. Dypsneu.
d. Pada tenggorok ada luka.
e. Edema mukosa laring, faring.
f. Pembesaran kelenjar getah bening leher.
g. Pernafasan cepat dan dangkal.
h. Dada : penggunaan otot bantu pernafasan.
Auskultasi : terdengar wheezing.
5. Interaksi sosial
a. Merasa tergantung.
b. Pembatasan mobilitas fisik
6. Data Penunjang
a. Laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman Corynebacterium
difteri.
b. EKG : Low voltage, depresi segment ST, gelombang T terbalik.

B. Diagnosa
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan
anoreksia
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
4. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang
terdekat sakit dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
5. Kecemasan keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan
anaknya.
6. Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit
berhubungan dengan kurangnya informasi.
7. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.
8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.

B . Intervensi
Dx 1 : Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang Oxygen theraphy
selama 1 X 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali normal yang
ditunjukan dengan Respiratory status : Airway patency dengan skala 4.
NOC : Respiratory status : Airway patency
a. Frekuensi pernafasan dbn
b. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan
c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.
d. Tidak ada suara nafas tambahan
e. Bernafas mudah
f. Tidak ada dyspnea
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Oxygen theraphy
a. Bersihkan mulut hidung dan secret trakea
b. Pertahankan jalan nafas yang paten
c. Monitor aliran oksigen
d. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
e. Monitor adanya suara nafas tambahan

Dx 2 : Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan anoreksia


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang terapi nutrisi selama 1
X 24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi terpenuhi yang ditunjukan
dengan status nutrisi berskala 4.
NOC : Status nutrisi
a. Laporkan nutrisi adekuat
b. Masukan makanan dan cairan adekuat
c. Energi adekuat
d. Massa tubuh normal
e. Ukuran biokimia normal
Skala
Skala 1 = Sangat berbahaya
Skala 2 = Berbahaya
Skala 3 = Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4 =Sedikit berbahaya
Skala 5 = Tidak berahaya
NIC : Terapi Nutrisi
a. Monitor makanan/cairan yang dicerna dan hitung masukan
kalori tiap hari
b. Tentukan makanan kesukaan dengan mempertimbangkan
budaya dan keyakinannya
c. Tentukan kebutuhan pemberian makan melalui NGT
d. Dorong pasien untuk memilih makanan yang lunak
e. Dorong masukan makanan tinggi kalsium

Dx 3: Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan manajemen nyeri dan
manajemen analgetik selama 1 x 24 jam didharapkan nyeri berkurang
atau hilang yang ditunjukkan dengan kontrol nyeri meningkat dan
skala nyeri menurun, dengan skala 4.
NOC I : Kontrol nyeri
a. Ketahui faktor penyebab nyeri
b. Ketahui permulaan terjadinya nyeri
c. Gunakan tindakan pencegahan
d. Gunakan analgetik secara tepat
e. Laporkan gejala
f. Laporkan kontrol nyeri
NOC II : Tingkat Nyeri
a. Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
b. Frekuensi nyeri berkurang
c. Lama nyeri berlangsung
d. Ekspresi wajah saat nyeri
Skala
Skala 1= Tidak terasa nyeri
Skala 2 = Jarang terasa nyeri
Skala 3 =Kadang-kadang terasa nyeri
Skala 4 = Sering terasa nyeri
Skala 5 =Terus-menerus terasa nyeri
NIC I : Manajemen Nyeri
a. Lakukan pengkajian nyeri secara menyeluruh meliputi lokasi,
durasi, frekuensi, kualitas, keparahan nyari dan factor pencetus
nyeri
b. Observasi ketidaknyamanan non verbal
c. Ajarkan untuk menggunakan teknik non farmakologi misal
relaksasi, guided imageri, terapi music dan distraksi
d. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi
respon pasien terhadap ketidaknyamanan misal suhu, lingkungan,
cahaya, kegaduhan
e. Kolaborasi: pemberian analgetik sesuai indikasi
NIC II : Manajemen analgetik
a. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan tingkat nyeri
sebelum mengobati pasien
b. Cek obat meliputi jenis, dosis dan frekuensi pemberian
analgetik
c. Cek mengenai riwayat alergi obat.
d. Tentukan jenis analgetsik (narkotik, non-narkotik,
NSAID) di samping tipe dan tingkat nyeri.
e. Tentukan analgetik yang tepat, cara pemberian dan
dosisnya secara tepat.
f. Monitor tanda-tanda vital sebelum dan setelah pemberian
analgetik.
Dx 4: Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang terdekat
dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang selama 1 X24 jam
diharapkan koping keluarga menjadi efektif ditunjukkan dengan
koping keluarga berskala 4.
NOC : Koping Keluarga
a. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan dukungan terhadap
anak
b. Tidak ada depresi
c. Mampu mengelola masalah
d. Orang tua tidak menunjukkan rasa malu
Skala
Skala 1= Sangat berbahaya
Skala 2= Berbahaya
Skala 3= Sedang / tidak terlalu berbahaya
Skala 4= Sedikit berbahaya
Skala 5=Tidak berahaya
NIC : Family Support
a. Dengarkan perasaan keluarga.
b. Bangun hubungan kepercayaan dengan keluarga.
c. Sediakan keluarga informasi tentang perkembangan pasien.
d. Sertakan anggota keluarga untuk mermbuat keputusan tentang
perawatan pasien.
e. Gunakan mekanisme koping adaptif.
f. Hargai dan dukung mekanisme koping yang adaptif yang
digunakan oleh keluarga.
g. Sediakan umpan balik untuk memperhatikan koping keluarga.
h. Konsultasikan dengan anggota keluarga untuk menambahkan
koping yang efektif.

Dx 5 : Kecemasan keluarga berhubungan dengan status kesehatan anaknya.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan mengenai teknik menurunkan
cemas selama 1 X 24 jam diharapkan kecemasan keluarga berkurang
ditunjukan dengan kontrol cemas berskala 4.
NOC : Kontrol Cemas
a. Monitor intensitas cemas

b. Hilangkan penyebab cemas

c. Turunkan stimulus lingkungan ketika cemas

d. Cari informasi untuk menurunkan cemas

e. Gunakan strategi koping yang efektif

f. Laporkan kepada perawat penurunan lama cemas

Skala :

Skala 1 = tidak pernah dilakukan

Skala 2 = jarang

Skala 3 = kadang-kadang

Skala 4 = sering

Skala 5 = selalu dilakukan

NIC : Menurunkan Cemas

a. Ciptakan hubungan saling percaya


b. Kaji tingkat kecemasan

c. Anjurkan keluarga klien untuk membicarakan kecemasan dan


berikan umpan balik tentang mekanisme koping yang tepat.

d. Tekankan bahwa kecemasan adalah masalah yang umum


terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami masalah
yang sama

e. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah


tamah dan tulus dalam membantu klien.

f. Anjurkan keluarga untuk menyampaikan tentang isi


perasaannya.

Dx 6. :Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit


berhubungan dengan kurangnya informasi.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang pendidikan kesehatan
mengenai proses penyakit selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dan
keluarganya dapat mengerti atau lebih paham mengenai penyakitnya
ditunjukkan dengan Proses openyakit berskala 4.
NOC : Proses Penyakit
a. Kenal nama penyakit
b. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit
c. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang mempengaruhi
d. Dapat menjelaskan tanda dan gajala penyakit
e. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit
f. Dapat menjelaskan prognosis penyakit
Skala
Skala 1 = Tidak mengetahui
Skala 2 = Terbatas pengetahuannya
Skala 3 = Sedikit mengetahui
Skala 4 = Banyak pengetahuannya
Skala 5 = Intensif atau mengetahuinya secara kompleks
NIC : Pendidikan Kesehatan
a. Identifikasi faktor dalam atau luar untuk menambah /
meningkatkan motivasi mengenai tingkah laku kesehatannya.
b. Tentukan hubungan individu dengan latar belakang sosial
budaya pada individu, keluarga atau masyarakat mengenai tingkah
laku kesehatannya.
c. Hindari menggunakan teknik menakut-nakuti untuk
memotivasi orang mengubah tngkah laku / gaya hidup sehatnya.
d. Kembangkan materi pendidikan dengan penulisan masalah
yang umum terjadi pada orang tua klien yang anaknya mengalami
masalah yang sama (difteri)

e. Ciptakan lingkungan yang tenang, tunjukkan sikap ramah


tamah dan tulus dalam membantu klien.

Dx 7 : Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang manajemen jalan nafas
selama 1 x 24 jam diharapkan bersihan jalan nafas pasien efektif
ditunjukkan dengan Airway patency berskala 4.
NOC : Airway patency
a. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih
b. Menunjukakan jalan nafas yang paten
c. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang dapat
menghambat jalan nafas.
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Air way management
a. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
b. Auskultasi suara nafas
c. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
d. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
e. Moniror respirasi dan starus O2
f. Lakukan fisioterapi dada untuk mengeluarkan sekret

Dx 8 : Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.


Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang tentang pengendalian
infeksi selama 1 x 24 jam diharapkan infeksi pada pasien tidak terjadi
ditunjukkan dengan pasien terhindar dari infeksi dengan skala 4.

NOC : Pengendalian resiko


a. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi
b. menghindari pajanan terhadap ancaman kesehatan
c. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko
d. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas normal
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Pengendalian infeksi
a. Pantau TTV dengan ketat, khususnya adanya peningkatan
frekuensi jantung dan suhu serta pernafasan yang cepat dan
dangkal untuk mendeteksi rupturnya apendiks.
b. Observasi adanya tanda-tanda lain peritonitis ( misal hilangnya
nyeri secara tiba-tiba pada saat terjadi perforasi diikuti dengan
peningkatan nyeri yang menyebar dan kaku abdomen, distensi
abdomen, kembung, sendawa karena akumulasi udara, pucat,
menggigil, peka rangsang untuk menentukan tindakan yang tepat.
c. Hindari pemberian laksatif,karena dapat merangsang motilitas
usus dan meningkatkan resiko perforasi.
d. Pantau jumlah SDP sebagai indikator infeksi.
e. Lindungi pasien dari kontaminasi silang.

Dx. 9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.


Tujuan :Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang manajemen energi
selama 1 X 24 jam diharapkan pasien dapat beraktivitas tanpa mengalami
kelemahan ditunjukkan dengan konservasi energi berskala 4..
NOC : Konservasi energi
a. Berpartisipasi dalam aktivitas fisik
tanpa disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR
b. Mampu melakukan aktivitas secara
mandiri.
NIC : Managemen Energi
a. Tirah baring pada pasien dan bantu
segala aktivitas sehari-hari, atur periode istirahat dan aktivitas
b. Monitor terhadap tingkat kemampuan
aktivitas, hindari aktivitas yang berlebihan
c. Tingkatkan aktivitas sesuai dengan
toleransi
d. Monitor kadar enzim serum untuk
mengkaji kemampuan aktivitas
e. Monitor tanda-tanda vital dan atur
perubahan posisi.
f. Monitor nutrisi dan sumber energi
yang adekuat.

C . Evaluasi
Kriteria Hasil Skala

Dx 1
1. Frekuensi pernafasan dbn 4
4
4
4 4
2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan 4
4

4
3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.

4
4. Tidak ada suara nafas tambahan

4
5. Bernafas mudah

6. Tidak ada dyspnea

Dx 2
1. Laporkan nutrisi adekuat 4
4
4 4

2. Masukan makanan dan cairan adekuat 4


4

4
3. Energi adekuat

4
4. Massa tubuh normal

4
5. Ukuran biokimia normal
4

Dx 3
1. Ketahui faktor penyebab nyeri 4
4
4 4

2. Ketahui permulaan terjadinya nyeri 4


4

4 4

3. Gunakan tindakan pencegahan 4


4

4
4. Gunakan analgetik secara tepat

4
5. Laporkan gejala

4
6. Laporkan kontrol nyeri

4
7. Melaporkan nyeri berkurang atau hilang

4
8. Frekuensi nyeri berkurang

4
Dx 4
1. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan 4
dukungan terhadap anak
2. Tidak ada depresi 4

3. Mampu mengelola masalah 4

4. Orang tua tidak menunjukkan rasa malu 4

Dx 5

1. Monitor intensitas cemas


4
2. Hilangkan penyebab cemas 4
4
3. Turunkan stimulus
lingkungan ketika cemas 4
4
4. Cari informasi untuk
4
menurunkan cemas

5. Gunakan strategi koping


yang efektif

6. Laporkan kepada perawat


penurunan lama cemas

Dx 6
1. Kenal nama penyakit 4
2. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit 4

3. Dapat menjelaskan sebab atau faktor yang 4

mempengaruhi 4

4. Dapat menjelaskan tanda dan gajala penyakit 4

5. Dapat menjelaskan akibat dari penyakit 4


6. Dapat menjelaskan prognosis penyakit 4

Dx 7
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang 4
bersih
2. Menunjukakan jalan nafas yang paten 4
3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang 4

dapat menghambat jalan nafas

Dx 8
1. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi 4
2. menghindari pajanan terhadap ancaman 4

kesehatan 4

3. mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko 4

4. lekosit dalam batas normal, TTV dalam batas


normal

Dx 9
1. Menghindari pajanan terhadap ancaman 4
kesehatan 4

2. Mengubah gaya idup untuk mengurangi risiko 4

3. Mekosit dalam batas normal, TTV dalam batas


normal 4

4. Merpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa 4

disertai peningkatan tekanan darah, nadi, dan RR 4

5. Mampu melakukan aktivitas secara mandiri


DAFTAR PUSTAKA

Fuadi, Hasan. 2008. Asuhan keperawatan difteri. www.detikhealth.com. 7 juni


2008.www.medicastrore.com

Iwansain.2008. Difteria.www.iwansain.wordpress.com.7 juni 2008

Jauhari,nurudin. 2008. Imunisasi Difteri.


www.who.lat/immunization/tipics/diphteria/en.7 juni 2008

Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan UI

Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.

Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Jakarta: EGC

Ngastiyah. 1997. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC

Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC

Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu
Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika.

Sulianti Suroso. 2004. Pengaruh Imunisasi pada anak.www.infeksi.com.7 juni


2008

Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV.
Agung Seto. Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai