DIFTERI
Dosen Pengampu : Aris Fitriani,S.Kep.Ns.MM
Disusun oleh :
KELAS IIA
JUHARIAH (P10220206019)
POLITEKNIK KESEHATAN
DEPARTEMEN KESEHATAN SEMARANG
PRODI KEPERAWATAN
PURWOKERTO
A. Pengertian
1. Difteri adalah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh
kuman Corynebacterium diphteriae (FKUI, 1999).
2. Diftery adalah toksiko infeksi yang disebabkan oleh Corynebacteryum
diphtheriae ( Sarah S Long ,2003 ).
3. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang
diserang terutama saluran pernafasaan bagian atas dengan tanda khas
timbulnya pseudo membran (Ngastiyah, 2005).
4. Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium
diphtriae (Rampengan, 1993).
5. Difteria adalah suatu infeksi akut yang mudah menular,sangat
berbahaya pada anak –anak terutama menyerang saluran pernafasan bagian
atas,penularannya melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman
ke orang lain yang sehat (Sulianti Suroso. 2004).
6. Difteri adalah suatu infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri
penghasil toksik (racun) Corynebacterium diphteriae. (Iwansain.2008).
7. Difteri adalah infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh
Corynebacterium diphteriae dengan bentuk basil batang gram positif
(Jauhari,nurudin. 2008).
8. Difteri adalah suatu infeksiakut yang disebabkan oleh bakteri
penghasil racun Corynebacterium diphteriae. (Fuadi, Hasan. 2008).
Pathway Keperawatan
Corynebacterium diphteriae
D. Manifestasi Klinis
Gejala mulai timbul dalam waktu 1-4 hari setelah terinfeksi.
Sacara umum gejala yang timbul berupa (FKUI, 1999) :
1. Demam yang tidak terlalu tinggi
2. Denyut jantung cepat
3. Lesu dan lemah
4. Menggigil
5. Mual muntah
6. Nyeri saat menelan dan anoreksia
7. Pucat
8. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
9. Sakit kepala
10. Pembengkakan kelenjar limfa dileher
11. Sesak nafas
12. Serak
E. Komplikasi
Komplikasi yang timbul pada pasien difteri menurut Rampengan (1993) yaitu
:
1. Infeksi tumpangan oleh kuman lain
Infeksi ini dapat disebabkan oleh kuman Streptococus dan staphylococcus.
Pasien dengan infeksi tumpangan kuman Streptococus sering mengalami
panas tinggi.
2. Lokal ( obstruksi jalan nafas )
Obstruksi jalan nafas dapt terjadi akibat membran atau oedema jalan nafas
dengan segala akibatnya, bronkopneumonia dan atelektasis.
3. Sistemik
a. Kardiovaskuler
1) Miokarditis
Sering timbul akibat komplikasi difteri tetapi dapat juga
terjadi pada bentuk ringan.komlikasi terhadap penyakit jantung pada
anak diperkirakan 10-20%. Makin luas lesi local dan makin terlambat
pemberian oksitosin,miokarditis makin sering terjadi.faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya miokarditis yaitu virulensi kuman.
Melemahnya jantung pertama atau adanya aritmia
menunjukan gejala-gejala miokarditis.
Maimunah dkk (1965) membagi kelainan EKG pada
miokarditis difteri atas:
a) Gangguan kondiksi .
b) Kerusakan miokard:perubahan gelomgang T yang disertai
dengan atau tanpa deviasi segmen ST.
c) Aritmia: sinus takikardia atau bradikardia .
2) Neuritis
Manifestasi klinisnya yaitu:
a) Timbul setelah masa laten
b) Lesi biasanya bilateral dimana motorik kena lebih dominant
daripada sensorik
c) Kelainan ini biasanya sembuh sempurna
b. Susunan saraf
Penderita difteri akan mengalami komplikasi pada system saraf terutama
sistem motorik.
Parese atau paralysis dapat berupa :
1) Paralisis atau parese palatum mole
a) Merupakan manifestasi sraf yang paling sering
b) Timbul pada minggu ketiga dank has dengan adanya suara
hidung dan regurgutasi hidung.
c) Kelainan ini biasanya hilang sama sekali dalam 1-2 minggu.
2) Ocular palsy
Biasanya timbul pada minggu kelima atau khas ditandai oleh
paralisisdari otot akomodasi yang menyebabkan penglihatan menjadi
kabur,otot yang terkena adalah rectus exsternus.
3) Paralisis diafragma
Dapat tejadi pada minggu ke5-7
Paralysis ini disebabkan oleh neuritis n. phrenicus dan bila tadak
segera diatasi penderita akan meninggal.
4) Paresis atau paralysis anggota gerak
Dapat terjadi pada minggu ke6-10
Pada pemeriksaan didapati lesi bilateral, reflek tendon menghilang,
cairan cerebrospinal menunjukan peningkatan protein yang mirip
Guillian Barre Syndrom.
c. Urogenital
Dapat tejadi neftritis sehingga harus diperhatikan warna dan volumenya
apakah normal atau tidak.
F. Prognosis
Menurut Ngastiyah (2005) prognosis tergantung pada :
1. Umur pasien, makinmuda usianya makin jelek prognosisnya.
2. Perjalanan penyakit, makin terlambat diketemukan makin buruk
keadaanya.
3. Letak lesi difteria, bila dihidung tergolong ringan.
4. Keadaan umum pasien, bila keadaan gizinya buruk, juga buruk.
5. Terdapat komplikasi miokarditis sangat memperburuk prognosis.
6. Pengobatan terlambat pemberian ADS, prognosis makin buruk.
G. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan medis
a. Pengobatan Umum
Terdiri dari perawatan yang baik, istirahat mutlak di tempat tidur,
isolasi penderita dan pengawasan ketat atas kemungkinan timbulnya
komplikasi antara lain pemeriksaan EKG setiap minggu (Buku kuliah
ilmu kesehatan anak FKUI, 1999).
b. Pengobatan Spesifik (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI,
1999)
1) Anti Diphteri Serum (ADS) diberikan sebanyak 20.000U/hari
selam 2 hari berturut-turut, dengan sebelumnya dilakukan uji kulit
dan mata.
2) Antibiotika, penicillin prokain 50.000U/kgBB/hari sampai 3
hari bebas panas. Pada penderita yang dilakukan trakeostomi,
ditambahkan kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari, dibagi 4 dosis.
3) Kortikosteroid, dimaksudkan untuk mencegah timbulnya
komplikasi miokarditis yang sangat berbahaya. Dapat diberikan
prednisone 2mg/kgBB/hari selama 3 minggu yang kemudian
dihentikan secara bertahap.
2. Keperawatan .
Menurut Ngastiyah (1997),penatalaksanaan keperawatan pada pasien
difteri yaitu pasien dirawat dikamar isolasi yang tertutup. Petugas harus
memakai skort (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian
tugas atau bila kotor. Harus disediakan pula perlengkapan cuci tangan,
desinfektan sabun, lap atau handuk yang kering. Juga tempat untuk
merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan. Masalah yang perlu
diperhatikan adalah resiko terjadi komplikasi obstuksi jalan nafas,
miokarditis, komplikasi pada ginjal, komplikasi susunan saraf pusat,
gangguan masukan nutrisi, gangguan rasa aman dan nyaman, resiko
terjadi efek samping dari pengobatan, kurangnya pengetahuan orang tua
mengenai penyakit dan perawatan trakheostomi (jika pasien perlu
dilakukan trakheostomi).
H. Pencegahan
Pencegahan penyakit difteria (Ngastiyah, 1997) ada beberapa macam cara yaitu :
1. Imunisasi
Penurunan drastic morbidity difteri sejak dilakukan pemberian
imunisasi.Imunisasi aktif diberikan dengan penyuntikan toksoid.imunisasi
dasar dimulai pada umur 3 bulan dilakuakan 3 kali berturut-turut dengan
selang wktu 1 bulan.biasanya diberikan bersamaan dengan toksoid tetanus dan
basil B,pertusis yang telah dimatikan sehingga disebut DPT.
Vaksinasi ulang dilakukan 1 tahun setelah suntikan terakhir imunisasi dasar (1
½-2 tahun dan5 tahun,selanjutnya setiap 5 tahun sampai usia 15 tahun hanya
diberiksn vaksin difteri jika kontak dengan penderita difteri.doosis yang
diberikan adalah 0,5 setiap kali pemberian.
2. Isolasi penderita
Penderita harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan
kuman difteri dua kali berturut-turut negative.
3. Pencarian seorang karier difteri
Dengan dilakukan uji shick.bila diambil hapusan tenggorok ditemukan
Corynebacterium diphteriae pasien (karier) diobati, bila perlu dilakukan
tonsilektomi.
4. Pencegahan terhadap kontak
Terhadap anak yang kontak dengan difteriharus diisolasi selama 7 hari.Bila
dalam pengamatan tampak gejala-gejala maka penderita tersebut harus
diobati.Bila tidak ada gejala klinis maka diberi iminisasi difteri.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium: Apusan tenggorok terdapat kuman
Corynebakterium difteri (Buku kuliah ilmu kesehatan anak, 1999).
2. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan
leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin.
Pada urin terdapat albuminuria ringan (Ngastiyah, 1997).
3. Pemeriksaan bakteriologis mengambil bahan dari membrane atau
bahnan di bawah membrane, dibiak dalam Loffler, Tellurite dan media blood (
Rampengan, 1993 ).
4. Lekosit dapat meningkat atau normal, kadang terkadi anemia karena
hemolisis sel darah merah (Rampengan, 1993 )
5. Pada neuritis difteri, cairan serebrospinalis menunjukkan sedikit
peningkatan protein (Rampengan, 1993 ).
6. Schick Tes: tes kulit untuk menentukan status imunitas penderita,
suatu pemeriksaan swab untuk mengetahui apakah seseorang telah
mengandung antitoksin. Dengan titer antitoksin 0,03 ml satuan permilimeter
darah cukup dapat menahan infeksi difteri. Untuk pemeriksaan ini digunakan
dosis 1/50 MLD (Minimal Letal Dose) yang diberikan intrakutan dalam,
bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml. Bila orang tersebut
tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan
akan hilang setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer
antitoksin yang rendah, uji shick dapat positif pada orang dengan imunitas
atau mengandung anti toksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat
reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang menghilang dalam 72 jam.Tes
ini tidak berguna pada diagnosis dini, baru dapat dibaca beberapa hari
kemudian (Buku kuliah ilmu kesehatan anak FKUI, 1999 ).
7. Apabila pasien mengalami komplikasi kejantung (miokarditis),pada
pemeriksaan EKG hasilnya :Low voltage, depresi segment S ( Buku kuliah
ilmu kesehatan anak FKUI, 1999)
B. Diagnosa
1. Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
2. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh dengan
anoreksia
3. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
4. Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan orang
terdekat sakit dan kurang pengetahuan terhadap kondisi anak.
5. Kecemasan keluarga berhubungan dengan perubahan status kesehatan
anaknya.
6. Kurang pengetahuan mengenai penyebab proses,prognosis penyakit
berhubungan dengan kurangnya informasi.
7. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret berlebih.
8. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan proses penyakit.
9. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
B . Intervensi
Dx 1 : Pola nafas napas tidak efektif berhubungan dengan edema laring.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tentang Oxygen theraphy
selama 1 X 24 jam diharapkan pola nafas pasien kembali normal yang
ditunjukan dengan Respiratory status : Airway patency dengan skala 4.
NOC : Respiratory status : Airway patency
a. Frekuensi pernafasan dbn
b. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan
c. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.
d. Tidak ada suara nafas tambahan
e. Bernafas mudah
f. Tidak ada dyspnea
Skala
Skala 1 = Tidak pernah menunjukan
Skala 2 = Jarang menunjukan
Skala 3 = Kadang menunjukan
Skala 4 = Sering menunjukan
Skala 5 = Selalu menunjukan
NIC : Oxygen theraphy
a. Bersihkan mulut hidung dan secret trakea
b. Pertahankan jalan nafas yang paten
c. Monitor aliran oksigen
d. Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
e. Monitor adanya suara nafas tambahan
Skala :
Skala 2 = jarang
Skala 3 = kadang-kadang
Skala 4 = sering
C . Evaluasi
Kriteria Hasil Skala
Dx 1
1. Frekuensi pernafasan dbn 4
4
4
4 4
2. Irama nafas sesuai dengan yang diharapkan 4
4
4
3. Pengeluaran sputum pada jalan nafas.
4
4. Tidak ada suara nafas tambahan
4
5. Bernafas mudah
Dx 2
1. Laporkan nutrisi adekuat 4
4
4 4
4
3. Energi adekuat
4
4. Massa tubuh normal
4
5. Ukuran biokimia normal
4
Dx 3
1. Ketahui faktor penyebab nyeri 4
4
4 4
4 4
4
4. Gunakan analgetik secara tepat
4
5. Laporkan gejala
4
6. Laporkan kontrol nyeri
4
7. Melaporkan nyeri berkurang atau hilang
4
8. Frekuensi nyeri berkurang
4
Dx 4
1. Keluarga menunjukkan rasa sayang dan 4
dukungan terhadap anak
2. Tidak ada depresi 4
Dx 5
Dx 6
1. Kenal nama penyakit 4
2. Dapat menjelaskan mengenai proses penyakit 4
mempengaruhi 4
Dx 7
1. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang 4
bersih
2. Menunjukakan jalan nafas yang paten 4
3. Mampu mengidentifikasi dan mencegah faktor yang 4
Dx 8
1. terbebas dari gejala an tanda-tanda infeksi 4
2. menghindari pajanan terhadap ancaman 4
kesehatan 4
Dx 9
1. Menghindari pajanan terhadap ancaman 4
kesehatan 4
Kemala, Rita Wahidi. 1996. Nursing Care in Emergency. Jakarta: Fakultas Ilmu
Keperawatan UI
Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapius.
Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI
Rampengan, H.T, dkk. 1993. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta : EGC
Staf Pengajar ll Buku Ilmu Kesehatan Anak FKUI. 1958. Buku Kuliah Ilmu
Kesehalan Anak. Jakarta : Info Medika.
Suradi, dkk. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak Edisi I. Jakarta : CV.
Agung Seto. Keperawatan