PENDAHULUAN
Tumor jinak pada hidung dan sinus paranasal sering ditemukan, tetapi
tumor yang ganas termasuk jarang, hanya 3% dari tumor kepala dan leher atau
kurang dari 1% dari seluruh tumor ganas. Gejala-gejala dan tanda klinis semua
tumor hidung dan sinus paranasal hampir mirip sehingga seringkali hanya
pemeriksaan histopatologi saja yang dapat menentukan jenisnya. Lokasi hidung
dan sinus paranasal (sinonasal) merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-
tulang wajah yang merupakan daerah yang terlindung sehingga karsinoma yang
timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Hidung dan sinus paranasal
merupakan rongga yang saling berhubungan dan seringkali tumor ditemukan
pertama kali pada stadium yang sudah lanjut dan sudah memenuhi rongga hidung
dan seluruh sinus paranasal.1,2
Karsinoma sinonasal banyak terjadi di negara berkembang. Di bagian Asia,
keganasan sinonasal adalah peringkat kedua yang paling umum setelah karsinoma
nasofaring. Pria yang terkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita,dan 80%
dari tumor ini terjadi pada orang berusia 45-85 tahun. Sekitar 60-70% dari
keganasan sinonasal terjadi pada sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga
hidung sendiri. Diperkirakan 10-15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus),
dan 1% ditemukan di sinus frontal dan sphenoid. Karsinoma sel skuamosa adalah
jenis yang paling banyak terjadi (70%), disusul oleh karsinoma tanpa differensiasi
dan tumor asal kelenjar.1,3
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat
dengan struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal
yang terjadi (misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi
awal yang umum dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya. Oleh karena
itu, pasien dan dokter sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal
dari tumor dan mengobati tahap awal tumor ganas sebagai gangguan sinonasal
1
jinak. Tumor ganas hidung dan sinus paranasal termasuk tumor yang sukar diobati
secara tuntas dan angka kesembuhan masih sangat rendah. Pasien dengan tumor
ganas sinonasal ditangani oleh tim spesialis menggunakan pendekatan holistik
multidisiplin ilmu. Pengobatan dapat berupa pembedahan, kemoterapi dan
radioterapi. 1,2,3
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui anatomi dan fisiologi
nasal dan sinus paranasal, etiologi dan faktor resiko, patofisiologi, klasifikasi,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis pada karsinoma sinonasal.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Cavum nasi terletak dari nares sampai choana. Dasar dari cavum nasi
dibentuk oleh processus palatinus maxillae dan lamina horizontalis ossis palatini
yaitu permukaan atas palatum durum. Bagian atap dibentuk oleh corpus os
sphenoidalis, lamina cribrosa, os ethmoidalis, os frontale, os nasale dan cartilago
nasi. Dinding lateral dari cavum nasi terdapat tiga tonjolan yaitu concha nasalis
superior, media dan inferior. Area dibawah stiap concha disebut meatus. Recessus
3
sphenoethmoidalis adalah daerah kecil yang terletak diatas concha nasalis superior
dan di depan corpus os sphenoidalis. Daerah ini terdapat muara dari sinus
sphenoidalis.4
Meatus nasi superior terletak dibawah dan lateral dari concha nasalis
superior dan terdapat muara dari sinus ethmoidalis posterior. Metaus nasi media
terletak di bawah dan lateral concha media. Pada dinding lateralnya terdapat bulla
ethmoidalis. Sebuah celah yang melengkung disebut hiatus semilunaris yang
terletak tepat di bawah bulla. Ujung anterior hiatus masuk ke dalam saluran yang
berbentuk corong disebut infundibulum. Sinus maxillaris bermuara pada meatus
nasi media melalui hiatus semilunaris. Sinus frontalis dan sinus ethmoidales
anterior bermuara pada infundibulum.4
Meatus nasi inferior terletak di bawah dan lateral concha inferior dan
terdapat muara dari ductus nasolacrimalis. Dinding medial atau septum nasi
merupakan osteocartilago yang ditutupi membrana mukosa. Membrana mukosa
melapisi cavum nasi kecuali vestibulum. Terdapat dua jenis membrana mukosa
yaitu mukosa olfactorius dan respiratorius. Membrana mukosa olfactorius
melapisi permukaan atas concha nasalis superior dan recessus sphenoethmoidalis;
juga melapisi daerah septum nasi septum nasi yang berdekatan dengan atap.
Fungsinya adalah menerima rangsangan penghidu dan untuk fungsi ini mukosa
memiliki sel-sel penghidu khusus.permukaan membrana mukosa tetap basah oleh
sekret kelenjar serosa yang berjumlah banyak.4
4
Gambar 2. Anatomi Cavum Nasi6
5
B. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis adalah rongga-rongga yang terdapat di dalam os maxilla,
os frontal, os ethmoidalis, dan os sphenoidalis. Sinus dilapisi oleh
mucoperiosterum dan berisi udara, berhubungan dengan cavum nasi melalui
apertura yang relatif kecil. Sinus maxillaris dan sphenoidalis pada waktu lahir
terdapat dalam bentuk yang rudimenter, setelah usianya delapan tahun menjadi
cukup besar dan pada masa remaja sudah terbentuk sempurna. Sinus berfungsi
sebagai resonator suara dan mengurangi berat tengkorak. Bila muara sinus
tersumbat atau sinus terisi cairan kualitas suara jelas berubah.4,6
Sinus maxillaris terletak di dalam corpus maxillaris. Sinus ini berbentuk
piramid dengan basis membentuk dinding lateral hidung dan apex di dalam
processus zygomaticus maxillae. Atap dibentuk oleh dasar orbita sedangkan dasar
dibentuk oleh processus alveolaris. Akar premolar pertama dan kedua serta molar
ketiga dan kadang-kadang akar dari caninus menonjol ke dalam sinus sehingga
jika dilakukan ekstraksi gigi tersebut dapat menyebabkan terbentuk fistula bahkan
terjadi sinusitis. Sinus maxillaris bermuara ke dalam meatus nasi medius melalui
hiatus semilunaris. Karena sinus ethmoidalis anterior dan sinus frontalis bermuara
ke dalam infundibulum, kemudian ke hiatus semilunaris, kemungkinan
penyebaran infeksi dari sinus-sinus tersebut ke sinus maxillaris sangat besar.
Membrana mukosa sinus maxillaris dipersarafi oleh n.alveolaris dan
n.infraorbitalis.4,6
Sinus frontalis ada dua buah dan terdapat dalam os frontale dan dipisahkan
oleh septum tulang yang sering menyimpang dari bidang median. Setiap sinus
berbentuk segitiga, meluas ke atas, di atas ujung medial alis mata dan ke belakang
ke bagian medial atap orbita. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.supraorbitalis.
Sinus sphenoidalis ada dua buah dan terletak di dalam corpus os sphenoidalis.
Setiap sinus akan bermuara ke dalam recessus sphenoethmoidalis di atas concha
nasalis superior. Membrana mukosa dipersarafi oleh n.ethmoidalis superior.4,6
6
Sinus ethmoidalis terdapat dalam os ethmoidale di antara hidung dan orbita.
Sinus ini terpisah dari orbita oleh selapis tipis tulang, sehinggga infeksi dengan
mudah menjalar dari sinus ke dalam orbita. Sinus ini terbagi menjadi tiga yaitu
anterior, media dan posterior. Kelompok anterior bermuara ke dalam
infundibulum, kelompok media bermuara ke dalam meatus nasi medius, dan
kelompok posterior bermuara ke dalam meatus nasi superior. Membrana mukosa
dipersarafi oleh n.ethmoidalis anterior dan posterior. Sinus paranasal hampir tidak
mempunyai aliran limfe, sehingga metastasis ke kelenjar limfe sangat jarang
terjadi dan bila ada, hal itu mungkin terjadi pada waktu tumornya sudah meluas
keluar dari sinus paranasal seperti nasofaring, mukosa pipi atau kulit.4
Ohngren pada tahun 1933 membuat teori tentang adanya suatu bidang
imaginer yang melalui kantus medius dan angulus mandibula. Bidang itu
7
membagi rahang atas menjadi struktur superoposterior (suprastruktur) dan struktur
inferoanterior (infrastruktur). Yang dimaksud suprastruktur adalah dinding tulang
sinus maxilla bagian posterior dan separuh bagian posterior dinding atas. Sisanya
termasuk infrastruktur. Tumor di daerah infrastruktur mempunyai prognosis yang
jauh lebih baik daripada tumor di daerah suprastruktur.4,6,7
8
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit
sintetis, dan tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut (gas “mustard” dan isopropanolol) yang digunakan dalam
memproduksi furniture dan sepatu.
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr
6. Usia
Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun
hingga 85 tahun.
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih
sering pada pria dibandingkan pada wanita.
8. Paparan terhadap thorotrast yang merupakan zat kontras untuk pemeriksaan
radiologi sinus maxilla karena mengandung thorium radioaktif.
3 Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko
terjadinya tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan,
debu industri, sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun
mutasi pada gen yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan
diferensiasi. Dalam proses diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang
peranan penting, yaitu gen yang memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang
menghambat diferensiasi (anti-onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu
sel normal menjadi sel kanker oleh karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu
fase inisiasi dan fase promosi serta progresi. 8,9
Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi
sel yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya
9
kerusakan gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh
promosi sehingga tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat
dilakukan oleh karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh
dan belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10
tahun. 8,9
Sel kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis
dan masuk ke jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga
dengan fase invasif yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi
(penyebaran) sel-sel kanker menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional
dan atau ke organ-organ jauh dalam kurun waktu 1-5 tahun. Sel-sel kanker ini
akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan kelainan dan gangguan. Sel
kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal sekitarnya, mengadakan
infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak dini dan di berikan
terapi.8,9
4 Klasifikasi
10
Melanoma maligna Lymphoploroferative
Olfactory neuroblastoma Lymphoma
Sinonasal undifferentiated carcinoma Polymorphic reticulosis
Plasmacytoma
Metastatic
11
i. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa dari
lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan diferensiasi
skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin intraseluler
(sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau intercellular bridges.
Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau sebagai kelompok kecil
sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan tidak beraturan. Sering terlihat
reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini dinilai dengan diferensiansi baik,
sedang atau buruk.9,10,11
12
Gambar 6. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma11
Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah maupun
radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal terapi
seperti terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi post operatif.
Pasien dengan karsinoma sel squamosa nasal umumnya terlihat lebih awal
dibandingkan pasien dengan kanker maxilla. Karsinoma sel squamosa nasal
jarang bermetastasis ke nodus limfe dan rekuren. Ketika jenis ini terjadi,
perkembangannya berlangsung sangat cepat. Adanya gangguan lokal yang
terjadi selain kanker, akan memperburuk prognosis. Angka survival 5 tahun
sebesar 60% sedangkan untuk karsinoma sel squamosa maxilla 42%.8,9
b. Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan
histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang
cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan
melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Lokasi yang sering terjadi
yaitu cavum nasi, antrum maxilla, dan sinus ethmoidalis. Karsinoma jenis ini
banyak terjadi pada dekade 3-9 dan pertengahan pada dekade 6 dan juga laki-
laki lebih banyak dibanding wanita. Beberapa kasus terjadi setelah terapi radiasi
karsinoma nasofaring.8,9
Gambaran klinis untuk tipe ini yaitu gejala berlangsung singkat, obstruksi
nasal, epistaksis, proptosis, bengkak periorbital, diplopia, nyeri wajah, dan
termasuk gejala kelainan nervus kranial. Gambaran mikroskopik berupa
13
proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi, termasuk
trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel tumor
berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan memiliki inti
sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma eosinofilik,
rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan gambaran
mitosis atipikal.8,9
c. Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14% dari
keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis merupakan
neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan usia antara 40
hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari minor dari traktus
aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus maksilaris dan etmoid.
Gejala utama berupa hidung tersumbat, nyeri, massa pada wajah dengan
deformasi dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung pada lokasinya.8,9,10
Gambaran histologi yang dapat ditemukan adalah tipe cribriform, tubular,
dan solid. Tipe cribriform paling sering ditemukan dengan gambaran khas
penampakan “swiss cheese”. Adenokarsinoma menyebar dengan menginvasi
14
dan merusak jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan jarang bermetastasis.
Terapi pembedahan dan adjuvant radioterapi adalah pengobatan pilihan yang
umum digunakan untuk terapi pada adenokarsinoma. Prognosisnya jelek dan
biasanya penderita meninggal dunia disebabkan penyebaran lokal tanpa adanya
metastasis.8,9
5 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-
12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat
asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang
dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari
kemungkinan faktor resiko.1,2,3
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor serta
arah dan perluasannya. Tumor di dalam sinus maxilla biasanya tanpa gejala.
Gejala yang timbul setelah tumor besar mendorong atau menembus dinding
tulang meluas ke rongga hidung, rongga mulut, pipi atau orbita. Gejala yang
dikeluhkan dapat dikategorikan sebagai berikut:1,3
1. Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada
Sekret, sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis.
15
Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas
hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung
jaringan nekrotik.
2. Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis
atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.
3. Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus di
palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak pas
lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena
nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.
4. Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri,
anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.
5. Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala hebat,
oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan otak
yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi atau
menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media maka
saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi trismus
akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan parestesia
daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.
2. Pemeriksaan Fisis
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah
terdapat asimetri atau distorsi. Jika ada proptosis, perhatikan arah
pendorongan bola mata. Jika mata terdorong ke atas, berarti tumor berasal
dari sinus maxilla, jika ke bawah dan lateral berarti tumor berasal dari sinus
frontal atau etmoid. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin
16
merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-
benjol, rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas.1,3,8
Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor
berada di sinus maksila. Untuk memeriksa rongga oral, disamping inspeksi
lakukan juga palpasi gusi rahang atas dan palatum, apakah ada nyeri tekan,
penonjolan atau gigi goyang. Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi
dapat membantu menemukan tumor pada stadium dini. Kita juga harus
memeriksa telinga adakah tuli konduktif unilateral tanpa kelainan telinga dan
kelainan saraf cranial. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari
meskipun tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.1,3,9
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk
pemeriksaan dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk
mengevaluasi sel, jaringan, dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini
merupakan salah satu cara untuk mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor
tersebut jinak atau ganas. Untuk yang ukuran kecil, tumor dapat diangkat
seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar maka tumor hanya diambil
sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang sudah diangkat.1,3,9
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah
yang dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila
hasilnya jinak, maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila
ganas atau kanker, maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah
berupa operasi kembali atau diberikan kemoterapi atau radioterapi.1,3,9,12
b. Pemeriksaan X-ray
Pada pemeriksaan X-ray sinus paranasal ada 4 macam posisi yang
perlu untuk mendapat hasil yang baik. Pertama, posisi waters paling baik
untuk melihat sinus maxilla. Kedua, posisi Caldwell untuk melihat sinus
etmoid dan orbita. Ketiga, posisi lateral untuk melihat sinus sphenoid dan
dinding anterior dan posterior sinus frontal dan maxilla. Keempat, posisi
17
submentovertex untuk melihat sinus sphenoid dan etmoid posterior.
Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran
seperti udara.. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya
dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan.1,12
c. CT - Scan
CT-Scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur
tulang sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar
karsinogen, nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus,
kemosis, penyakit sinonasal dan dengan gejala persisten setelah
pengobatan medis yang adekuat seharusnya dilakukan pemeriksaan
dengan CT scan axial dan coronal dengan kontras. CT scan merupakan
pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang traktus sinonasal dan
dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan untuk menilai
tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.1,12
18
Gambar 10. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor
yang berbentuk lobus tajam sehingga terjadi peningkatan
di kedua rongga hidung yang dapat meluas ke sinus
etmoid, sinus sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke
dalam orbit kiri dan kedua sinus maksilaris12
d. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk
membedakan daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan
sekret di dalam nasal yang tersumbat yang menempati rongga nasal,
menunjukkan penyebaran perineural, membuktikan temuan imaging pada
sagital plane, dan tidak melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi.
Coronal MRI image terdepan untuk mengevaluasi foramen rotundum,
vidian canal, foramen ovale dan kanalis optik. Sagital image berguna
untuk menunjukkan replacement signal berintensitas rendah yang normal
dari Meckel cave signal berintensitas tinggi dari lemak di dalam fossa
pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan otak.1,12
19
Gambar 12. a.CT-Scan terlihat karsinoma sinonasal ekstensif
dengan destruksi tulang anterior dan sekitar tulang
orbita; b Coronal MRI; c Sagittal MRI; d Axial MRI12
4. Staging
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem
TNM didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi
subkategori untuk melukiskan keadaan masing– masing pada T(tumor,
sampai dimana perluasannya), N (nodul, kelenjar limfe regional yang
terkena), dan M (metastasis). Pembuatan sistem klasifikasi berguna untuk
mrencanakan terapi, meramalkan prognosis, mengevaluasi hasil pengobatan,
20
keseragaman informasi antar sentra di dunia dan membantu penelitian
mengenai tumor ganas.9,11,12
6 Penatalaksanaan
Pasien dengan kanker sinus paranasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor sinus paranasal meliputi:1,3,8,12
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi
dini (T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak
21
dapat dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting
pada daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif
sangat dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa
kasus eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri
yang hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga
orbita, serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. 1,7,12
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis,
lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka
(open surgery). Dalam memilih terapi bedah yang optimal, seorang ahli harus
mempertimbangkan dengan seksama dalam memilih pendekatan endonasal
daripada prosedur klasik yaitu melalui pendekatan rhinostomi lateral,
rhinostomi medial, transfasial, transoral, dan midfacial degloving. Jenis reseksi
pada tumor rongga hidung dan sinus paranasal ditentukan oleh lokasi lesi dan
perluasannya. Tumor yang berasal dari dalam sinus maxilaris diangkat dengan
cara maxilektomi.7,9
Menurut MSKCC, maksilektomi dibagi menjadi IV yaitu defek tipe 1 (
maksilektomi terbatas) terdiri dari reseksi pada satu atau dua dinding maksila
kecuali palatal. Pada kebanyakan pasien, dinding anterior sebagian dibuang
beserta dengan salah satu dinding tengah atau dasar orbita. Defek tipe II
(maksilektomi subtotal) meliputi reseksi pada lengkung maksila, palatal,
dinding anterior dan lateral (lima dinding dasar), dengan tetap menjaga dasar
orbita. Defek tipe III (maksilektomi total) meliputi reseksi keenam dinding
maksila. Defek tipe ini dibagi menjadi 2 tipe yaitu tipe IIIa, dimana isi orbita
tetap dijaga dan tipe IIIb, dimana isi orbita diikutsertakan. Defek tipe IV
(orbitomaksilektomi) meliputi reseksi pada isi orbita dan kelima dinding atas
maksila dengan tetap menjaga bagian palatal.1,7,12
22
Gambar 13. Jenis Maksilektomi
23
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat
menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan
kesulitan menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah
penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk
wajah, restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan
berbicara, menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum cranii.1,7,12
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri
pada stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap
penyakit sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah
dilakukannya terapi utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus
paranasal, radioterapi dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi.
Radioterapi melibatkan penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk
menghancurkan sel-sel kanker di zona yang akan diobati. Terapi radiasi juga
digunakan untuk terapi paliatif pada pasien dengan kanker tingkat lanjut. Jenis
terapi radiasi yang diberikan dapat berupa teleterapi (radiasi eksternal) maupun
brachyterapi (radiasi internal). Pemberian radioterapi didasarkan pada jenis
histopatologi karena ada yang bersifat radiosensitif dan sebaliknya.7,9,12
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut.
Selain terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar
dalam tubuh adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang
mempengaruhi seluruh tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk
pengobatan ini disebut kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau
kombinasi obat-obatan biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu).
Tujuan kemoterapi untuk terapi tumor sinonasal adalah sebagai terapi
tambahan (baik sebagai adjuvant maupun neoadjuvant), kombinasi dengan
radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi paliatif. 7,9,12
Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi
obstruksi, ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian
24
kemoterapi dengan radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi
untuk rekurensi seperti pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah
dilakukan reseksi, penyebaran perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular
pada metastasis regional.7,12
7 Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu : 1,2,7,12
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior
dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii.
Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin
dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan
drainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika
gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh
obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan
dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci
untuk menghindari komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan
kacamata prisma merupakan terapi yang paling sederhana.
8 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut
seperti perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan
yang diberikan, status imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain
yang dapat berpengaruh terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang
tentunya berpengaruh juga terhadap prognosis penyakit ini. Pengobatan
multimodalitas akan memberikan hasil yang terbaik dalam mengontrol tumor
25
primer dan akan meningkatkan angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 75%
untuk seluruh stadium tumor.1,9,12
26
BAB III
PENUTUP
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. 2007.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 178-81.
2. Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala
Leher. dalam : BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Effendi H,
Santoso RAK, editor. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal :
235-7, 429-44.
3. Rosen, ST. Head and Neck Cancer. 2004. USA : Kluwer Academic
Publishers. hal : 161-169.
4. Snell, R. S. Kepala dan Leher. dalam: Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa
Kedokteran. Edisi 6. 2006. Jakarta : EGC. hal 252-256
5. Faller, A, Schuenke,M. The Respiratory System. dalam : The Human Body.
New York. Georg Thieme Verlag; 2004;hal 335-338
6. Dhingra P. Anatomy of Nose. in : Disease of Ear, Nose, and Throat 4th edition.
2010. India : Elsevier. hal 130-5,141,165.
7. Budiman, B., Yurni. Maksilektomi Total Dengan Eksenterasi Orbita Pada
Karsinoma Mukoepidermoid Sinonasal . 2012. Padang : Fakultas
Departemen Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher
Kedokteran Universitas Andalas/ RS. Dr. M.Djamil Padang. hal 1-15.
8. Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. [cited on
14 Maret 2015]. Available from : http://emedicine.medscape.com/article
/846995-overview#showall
9. Surakardja, IDG. Tumor Hidung dan Sinus Paranasal. dalam : Onkologi
Klinik. 2000. Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. hal : 85-103.
10. Salam KS, Choudhury AA, Hossain MD, et al. Clinicopathological Study of
Sinonasal Malignancy. Bangladesh J Otorhinolaryngology 2009;
15(2):55-9.
28
11. American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus
Cancers. 2011. USA. [cited on 14 Maret 2015]. Available from :
http://www. cancer.net/cancer-types/nasal-cavity-and-paranasal-sinus-
cancer
12. Probst,R., Grever, G., Iro, H. Disease of the Nose, Paranasal Sinuses, and
Face. dalam : Basic Otorhinolaryngology. 2006. New York : Thieme.
hal 64-67.
29