Disusun oleh:
B-3
Ketua:
Sekertaris:
Anggota:
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2016/2017
1
DAFTAR ISI
COVER …………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI …………………………………………………….. 2
SKENARIO …………………………………………………….. 3
BRAINSTROMING / SASARAN BELAJAR
KATA SULIT …………………………………………….. 4
PERTANYAAN ……………………………………... 4
JAWABAN …………………………………………….. 4-5
HIPOTESIS …………………………………………………….. 6
SASARAN BELAJAR
LO I. Memahami dan menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan Atas
1. Makroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas ……. 8-15
2. Mikroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas ……. 15-18
LO II. Memahami dan menjelaskan Fisiologi Pernapasan Atas
1. Fungsi Pernapasan Atas ……………………………. 19-22
2. Mekanisme Pertahanan Pernapasan Atas ……………. 23-25
LO III. Memahami dan menjelaskan Rhenitis Alergi
1. Definisi Rhenitis Alergi ……………………………. 26
2. Etiologi Rhenitis Alergi ……………………………. 26
3. Klasifikasi Rhenitis Alergi ……………………. 27
4. Epidemiologi Rhenitis Alergi …………………….. 28
5. Patofisiologi Rhenitis Alergi …………………….. 29-31
6. Manifestasi Klinis Rhenitis Alergi …………….. 31
7. Diagnosis Rhenitis Alergi …………………….. 32-34
8. Diagnosis Banding Rhenitis Alergi …………….. 34
9. Tata Laksana Rhenitis Alergi ……………………... 35-38
10. Komplikasi Rhenitis Alergi ……………………... 42-43
11. Pencegahan Rhenitis Alergi ……………………... 43-44
12. Prognosis Rhenitis Alergi ……………………... 44
LO IV. Memahami dan menjelaskan Pandangan Islam dalam menjaga
pernapasan ……………………………………………………. 44-49
DAFTARPUSTAKA ……………………………………. 50
2
I. SKENARIO
BERSIN DI PAGI HARI
Pada pemeriksaan fisik terlihat secret bening keluar dari nares anterior,
choncha nasalis inferior oedem, mukosa pucat.
3
II. BRAIN STORMING
KATA SULIT
PERTANYAAN
1. Apa hubungan memasukkan air wudhu ke dalam hidung dengan
keluhan ?
2. Mengapa pasien bersin saat ada debu di pagi hari ?
3. Apa hubungan riwayat asma pada ayah pasien dengan kondisi
pasien ?
4. Mengapa pasien merasa gatal di area hidung dan mata ?
5. Mengapa keluar ingus encer ?
6. Apa saja faktor risiko pada kasus ini ?
7. Apa diagnosis pada kasus ini ?
8. Apa yang menyebabkan oedem pada kasus ini ?
9. Bagaimana tata laksana pada kasus ini ?
10. Bagaimana pemeriksaan yang dibutuhkan ?
11. Adab bersin menurut islam ?
JAWABAN
1. Dari hasil diskusi kelompok kami didapatkan 2 pendapat yaitu,
tidak ada hubungan dan ada hubungan antara air wudhu dengan
keluhan pasien. air wudhu tidak memiliki hubungan dengan
keluhan yang dirasakan pasien karena Allah tidak pernah
menyulitkan hambanya, dan disetiap perintah pasti memiliki tujuan
yaitu dengan kita berwudhu kita dapat membersihkan hidung.
namun bisa jadi dalam kasus ini ada hubungan antara air wudhu
dengan kondisi pasien karena pasien wudhu untuk shalat tahajud
dimana suhu yang dingin menyebabkan air ikut dingin sehingga
sensitivitas dari silia jadi meningkat lalu terjadilah bersin.
2. Terjadinya bersin pada pasien merupakan salah satu respon
pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing.
3. Karena, adanya riwayat asma pada ayah pasien memungkinkan
pasien untuk memiliki hipersensitifitas.
4. Pasien merasa gatal di daerah hidung dan mata karena adanya debu
yang masuk ke tubuh melalui inhalasi membuat respon tubuh,
salah satunya di daerah sinus ethmoidale dan sinus maxilla
mengeluarkan cairan agar debu terlokalisir. pada pasien ini
kemungkinan memiliki hipersensitifitas sehingga debu yang masuk
dapat merangsang adanya IgE yang memproduksi histamin maka
terjadilah gatal pada daerah tersebut.
4
5. Seperti yang dijelaskan di nomor empat, ingus yang encer keluar
agar debu terlokalisir yang merupakan hasil dari sinus.
6. Faktor risiko pada kasus ini adalah lingkungan (suhu, polusi),
riwayat penyakit dan imunitas.
7. Diagnosis pada kasus ini ialah Rhenitis alergi karena adanya
hipersensitifitas dan disertai radang.
8. Oedem terjadi akibat produksi cairan pada sinus maxillaris
9. Tata laksana pada kasus ini yaitu dengan pemberian Antihistamin
dan Kortikosteroid
10. Pemeriksaan yang dibutuhkan pada kasus ini yaitu:
- Skin prick test dan skin patch test untuk mengetahui ada
tidaknya hipersensitifitas,
- Hitung eosinofil untuk mengetahui ada tidaknya kenaikan IgE
dan hipersensitifitas,
- Rotgen sinus untuk lihat sinus
- Rhenoscopy untuk pemeriksaan penunjang/fisik
11. Adab bersin menurut islam yaitu dengan ditutup dan mengucapkan
hamdalah setelahnya.
5
III. HIPOTESIS
Faktor risiko Rhinitis Alergi adalah lingkungan, riwayat penyakit dan
imunitas dengan gejala bersin-bersin di pagi hari yang merupakan respon
pertahanan tubuh, gatal di daerah hidung dan mata karena allergen yang
masuk berulang kali menginduksi pembentukan IgE dan degranulasi sel
mast sehingga menstimulasi respon inflamasi (histamine, prostaglandin,
leukotrin dan sitokin) dan ingus encer yang bertujuan untuk melokalisir
allergen yang masuk ke dalam tubuh. Pada pemeriksaan fisik akan
ditemukan oedem pada nasalis anterior akibat produksi cairan pada sinus
maxillaris. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada kasus ini yaitu
Rhenoscopy, Skin prick test, Hitung eosinophil, Hitung IgE dan Rotgen
sinus. Rhinitis Alergi dapat diobati dengan memberikan Antihistamin dan
Kortikosteroid. Menurut pandangan islam adab bersin yaitu dengan ditutup
dan mengucapkan hamdalah setelahnya.
6
IV. SASARAN BELAJAR
7
LO I. Memahami dan menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan Atas
1. Makroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan
tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari
metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.
Sistem Respirasi
1. Saluran Nafas Bagian Atas, pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh
dihangatkan, disarung dan dilembabkan.
2. Saluran Nafas Bagian Bawah, bagian ini menghantarkan udara yang masuk
dari saluran bagian atas ke alveoli.
3. Alveoli, terjadi pertukaran gas anatara O2 dan CO2
4. Sirkulasi Paru, pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh
darah vena meninggalkan paru.
5. Paru, terdiri atas :
a. Saluran Nafas Bagian Bawah
b. Alveoli
c. Sirkulasi Paru
6. Rongga Pleura, terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding
dalam rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru
atau pleura veseralis
7. Rongga dan Dinding Dada, merupakan pompa muskuloskeletal yang
mengatur pertukaran gas dalam proses respirasi
8
b. Nasofaring (terdapat Pharyngeal Tonsil dan Tuba Eustachius)
c. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, terdapat
pangkal lidah)
d. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)
(Daniel S.W, 2008; Raden Inmar, 2009)
Hidung
9
Fossa Nasalis
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina cribroformis
ethmoidalis yang memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung.
Dinding inferior dibentuk os maxilla dan os palatinum.
Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan posterior.
10
Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi disebut sinus paranasalis :
a. Sinus sphenoidalis mengeluarkan sekresinya melalui meatus
superior
b. Sinus frontalis ke meatus media
c. Sinus maxillaris ke meatus media
d. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media.
Di sudut mata terdapat hubungan antara hidung dan mata melalui
ductus nasolacrimalis tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus
inferior. Di nasofaring terdapat hubungan antara hidung dan rongga telinga
melalui OPTA (Osteum Pharyngeum Tuba Auditiva) eustachii. Alurnya
bernama torus tobarius.
Vaskularisasi hidung
11
Persarafan hidung
FARING
Merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan
rongga mulut ke laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:
1. Nasofaring
Bagian pharynx yang berada dibelakang cavum nasi dan diatas
palatum molle berfungsi sebagai tractus respiratorius sehingga
dindingnya tidak kolaps. Nasopharynx dihubungkan dengan cavum
nasi oleh choanae. Nasopharynx berhubungan dengan oropharynx
lewat isthmus pharyngeus. Pada dinding lateral nasopharynx terdapat
ostium pharyngeum tubae auditiva (O.P.T.A.). Pada atap dan dinding
posterior terdapat tonsila pharyngea yang dapat mengalami
pembesaran dikenal sebagai adenoid yang membuat buntu tractus
respiratorius. Di samping OPTA terdapat di depan lekukan yang
disebut fosa Rosenmuller.
12
2. Orofaring
Mulai dari palatum mole ke tulang hyoid. Ini membuka ke bagian
depan, melalui isthmus faucium ke dalam mulut, sementara di dinding
lateral, antara kedua lengkungan palatina, terdapat tonsila palatina.
3. Laringofaringeal
Di depannya terdapat pintu masuk larnyx, yang digerakkan oleh
epiglotis. Di bawah muara glotis bagian medial dan lateral terdapat
ruangan yang disebut sinus piriformis yaitu di antara lipatan
ariepiglotika dan cartilago thyroid. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-
otot dari lamina cricoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus
LARING
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago
cricoid. Rangka laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah,
epiglotis 1 buah. Pada arytenoid bagian ujung ada tulang rawan kecil
cartilago cornuculata dan cuneiforme.
Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.
Os hyoid
Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk
perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid
Cartilago thyroid
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut promines’s
laryngis atau lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah
membrana thyrohyoid. Mempunyai cornu superior dan inferior. Pendarahan
dari a. Thyroidea superior dan inferior.
Cartilago arytenoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan
cuneiforme. Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
Epiglotis
Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid.
Berfungsi untuk membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan
epiglotis menutup aditus laryngis supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid
Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid
dengan ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral.
13
Otot-otot laring :
a. Otot extrinsik laring
14
5. M. aryepiglotica
6. M. thyroarytenoid
Dalam cavum laryngis terdapat :
Plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah
pita suara palsu. Antara plica vocalis kiri dan kanan terdapat Rima glottidis
sedangkan antara plica vestibularis terdapat Rima vestibuli. Persyarafan
daerah laring adalah serabut Nervus vagus dengan cabang ke laring sebagai
N.laryngis superior dan N. recurrent.
1. Hidung
Bagian dalam hidung dilapisi empat epitel. Pada bagian luar hidung
akan ditutupi oleh kulit dengan epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk
banyak terdapat kelenjar sebasea yang akan meluas hingga bagian depan dari
vestibulum nasi.
15
Rambut kaku dan besar menonjol ke luar berfungsi sebagai penyaring.
Beberapa milimeter ke dalam vestibulum, epitel berlapis gepeng menjadi
epitel kuboid tanpa silia lalu menjadi epitel bertingkat dan kolumna (torak)
bersilia. Epitel hidung terdiri dari sel-sel kolumnar bersilia, sel goblet dan sel-
sel basofilik kecil pada dasar epitel yang dianggap sebagai sel-sel induk bagi
penggantian jenis sel yang lebih berkembang. Selain mukus, epitel juga
mensekresi cairan yang membentuk lapisan diantara bantalan mukus dan
permukaan epitel. Di bawah epitel terdapat lamina propria tebal mengandung
kelenjar submukosa terdiri dari sel-sel mukosa dan serosa. Di lamina propria
juga terdapat sel plasma, sel mast, dan kelompok jaringan limfoid.
Fungsi chonca :
a. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
b. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan
permukaan mukosa
16
Epitel olfaktoria bertingkat silindris tanpa sel goblet, lamina basal tidak jelas.
Epitel disusun tiga jenis sel :
a. Sel penyokong/sel sustentakular
b. Sel basal
c. Sel olfaktorius
Sinus Paranasalis
2. Faring
Terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Nasofaring yang terletak di bawah dasar tengkorak : epitel bertingkat
torak bersilia dengan lapisan tanduk
b. Orofaring terletak belakang rongga mulut dan permukaan belakang
lidah : epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk
c. Laringofaring, terletak di belakang laring : epitel bervariasi.
3. Laring
17
4. Epiglotis
18
LO II. Memahami dan menjelaskan Fisiologi Pernapasan Atas
1. Fungsi Saluran Pernapasan Atas
Fungsi utama respirasi adalah memperoleh oksigen untuk digunakan
oleh sel tubuh dan mengeluarkan karbondioksida yang diproduksi oleh sel.
Fungsi system pernafasan menurut Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono,
N. 2008 antara lain:
1. Ventilasi : pertukaran oksigen antara atmosfer dengan alveoli
2. Difusi : pertukaran oksigen pada kapiler paru dengan alveolus
3. Perfusi : aliran darah melalui sirkulasi pulmonal
4. Transportasi: Transportasi oksigen pada organ organ
19
antara alveolus dan atmosfer yang berbalik arah secara bergantian yang
ditimbulkan oleh aktivitas siklik otot pernafasan. Terdapat tiga tekanan
yang berbeda:
1. Tekanan atmosfer (barometrik) adalah tekanan yang ditimbulkan
oleh berat udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Pada
ketinggian permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg.
Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian
diatas permukaan laut karena lapisan-lapisan udara diatas permukaan
bumi juga semakin menipis. Pada setiap ketinggian terjadi perubahan
kecil tekanan atmosfer karena perubahan kondisi cuaca (yaitu, tekanan
barometric naik atau turun).
2. Tekanan intra-alveolus atau tekanan intrapulmonal, adalah
tekanan di dalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan
atmosfer melalui saluran nafas penghantar, udara cepat mengalir
menuruni gradien tekanannya setiap kali tekanan intra-alveolus
berbeda dari tekanan atmosfer; udara terus mengalir hingga kedua
tekanan seimbang.
3. Tekanan intrapleura atau tekanan intrathoraks adalah tekanan di
dalam kantung pleura. Tekanan yang ditimbulkan di luar paru di dalam
rongga thoraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah dari
tekanan atmosfer, rerata 756 mmHg saat istirahat. Seperti tekanan
darah yang dicatat dengan menggunakan tekanan atmosfer sebagai titik
referensi (yaitu, tekanan darah sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg
lebih besar daripada tekanan atmosfer 760 mmHg atau, dalam
kenyataan, 880 mmHg).
Karena udara mengalir mengikuti penurunan gradient tekanan, tekanan
intra-alveolus harus lebih kecil daripada tekanan atmosfer agar udara
mengalir masuk ke dalam paru sewatu inspirasi (menarik napas) dan harus
lebih besar daripada tekanan atmosfer agar udara mengalir keluar paru
sewaktu ekspirasi (menghembuskan napas).
Otot-otot pernapasan yang melakukan gerakan bernapas tidak bekerja
secaralangsung pada paru untuk mengubah volumenya. Otot-otot ini
bekerja dengan mengubah volume rongga toraks, menyebabkan perubahan
serupa pada volume paru karena dinding toraks dan dinding paru
berhubungan melalui daya rekat cairan intrapleura dan gradien tekanan
transmural.
“Pusat pernapasan” berada di sebelah bilateral medula oblongata dan
pons. Daerah ini dibagi menjadi 3 kelompok neuron utama :
a. Kelompok pernapasan dorsal, di bagian dorsal medula yang terutama
menyebabkan inspirasi,
b. Kelompok pernapasan ventral, terletak di ventromedial medula,
c. Pusat pneumotaksik, di seblah dorsal bagian superior pons, yang
membantu mengatur kecepatan dan pola bernapas.
Awitan inspirasi: Kontraksi otot-otot inspirasi
Otot-otot insirasi utama – otot yang berkontraksi untuk melakukan
inspirasi sewaktu bernapas tenang, mencakup diafragma dan otot
interkostalis eksternal. Sebelum melakukan inspirasi semua otot-otot
respirasi dalam keadaan relaksasi.
20
Otot inspirasi utama adalah otot diafragma, yang dipersarafi oleh
saraf frenikus. Ketika berkontraksi (pada stimulasi saraf frenikus).
Diafragma turun dan memperbesar volum rongga toraks dengan
meningkatkan ukuran vertical (atas ke bawah). Selama pernapasan
tenang, diafragma menurun sekitar 1 cm selama inspirasi. Dinding
abdomen, jika melemas, menonjol keluar sewaktu inspirasi karena
diafragma yang turun menekan ini abdomen ke bawah dan depan.
Tujuh puluh persen pembesaran rongga tiraks sewaktu inspirasi tenang
dilakukan oleh kontraksi diafragma.
Otot interkostalis eksternal terletak diatas otot interkostalis
internal. Kontraksi otot interkostalis eksternal, yang serat-seratnya
berjalan ke bawah dan depan antara du iga yang berdekatan,
memperbesar rongga toraks dalam dimensi lateral (sisi ke sisi) dan
anteroposterior (depan ke belakang). Ketika berkontraksi, otot
interkostalis eksternal mengangkat iga dan selanjutnya sternum ke atas
dan depan. Saraf interkostalis mengaktifkan otot-otot interkostalis ini
selama inspirasi.
Sebelum inspirasi, ada akhir ekspirasi sebelumnya, tekanan intra-
alveolus sama dengan tekanan atmosfer, sehingga tidak ada udara
mengalir masuk maupun keluar paru. Sewaktu rongga toraks
membesar selama inspirasi akibat kontraksi diafragma, paru juga
dipaksa mengembang untuk mengisi rongga toraksyang lebih bear.
Sewaktu paru membesar, tekanan intra-alveolus menurun karena
jumlah molekul udara yang sama kini menempati volume paru yang
lebih besar. Pada gerakan inspirasi biasa, tekanan intra-alveolus turun
1 mmHg menjadi 759 mmHg. Karena tekanan intra-alveolus sekarang
lebih redah daripada tekanan atmosfer, udara mengalir ke dalam paru.
Udara terus masuk hingga tidak ada lagi gradient – yaitu hingga
tekanan intra-alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Karena itu
udara mengalir masuk ke dalam paru karena penurunan tekanan intra-
alveolus yang disebabkan oleh ekspansi paru.
Sewaktu inspirasi, tekanan intrapleura turun menjadi 754 mmHg
karena paru yang sangat teregang cenderung menarik paru lebih jauh
lagi dari dinding dada.
21
Awitan Ekspirasi : Relaksasi Otot-Otot Inspirasi
Pada akhir inspirasi, otot inspirasi melemas. Diafragma mengambil
posisi aslinya. Ketika otot interkostalis eksternal relaksasi, iga kembali
turun karena gaya gravitasi. Tanpa gaya-gaya yang menyebabkan
ekspansi dinding dada dan paru, dinding dada dan paru mengalami
recoil ke ukuran prainspirasinya karena sifat elastic mereka. Tekanan
intra-alveolus meningkat karena jumlah molekul udara yang lebih
banyak yang semula terkandung di dalam volume paru yang besar
pada akhir inspirasi kini termampatkan dalam volume yang lebih kecil.
Pada ekspirasi biasa, tekanan intra-alveolus meningkat sekitar 1 mmHg
diatas tekanan atmosfer menjadi 761 mmHg dan meninggalkan paru
menuruni gradient tekanannya. Aliran keluar udara berhenti ketika
tekanan intra-alveolus menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan
gradient tidak ada lagi.
22
2. Mekanisme Pertahanan Pernapasan Atas
Mekanisme pertahanan saluran napas tidak hanya berkaitan dengan
infeksi (mikroorganisme) tetapi juga untuk melawan debu/pertikel, gas
berbahaya, serta suhu.
Tabel Pertahanan pada Saluran Pernapasan
Mekanisme Pertahanan
Cara Kerja
Fungsi Pernapasan
1. Penyaring Udara Bulu hidung menyaring partikel berukuran >10
μm sehingga partikel tersebut tidak dapat
mencapai alveolus.
23
dalam; mencegah atelektasis.
24
Sel PMN berperan ketika melawan mikroorganisme yang
menginfeksi paru terutama di distal paru. Dalam keadaan normal, ada
beberapa PMN di saluran pernapasan dan alveoli. Jika mikroorganisme
yang masuk tidak dapat diatasi oleh makrofag, mikroorganisme ini
akan berkembang biak di alveoli dan menyebabkan pneumonia dan
proses inflamasi. Berbagai macam komponen inflamasi yang
dikeluarkan oleh makrofag, seperti komplemen aktivatif dan faktor
kemotaktik, akan menarik PMN untuk datang dan segera
memfagositosis serta membunuh mikroorganisme.
Jika makrofag terpajan partikel atau mikroorganisme, materi asing
dari partikel atau mikroorganisme tersebut akan menempel pada
dinding makrofag (yang berupa membran). Membran ini akan
melakukan invaginasi dan membentuk cekungan untuk menelan benda
asing. Pada beberapa keadaan terdapat opsonin (protein) yang terlebih
dahulu membungkus benda asing sebelum menempel pada sel yang
memfagositosis benda asing ini. Opsonin menyebabkan benda asing
lebih adhesif terhadap makrofag. IgG merupakan salah satu bentuk
opsonin. Makrofag tidak selalu berhasil membunuh atau mengisolasi
benda asing, misalnya ketika memfagositosis partikel siliaka, makrofag
akan mati karena toksisitas substansi yang dikeluarkannya sendiri.
4. Mekanisme respon imun.
Ada dua macam komponen di dalam system imun, yaitu:
a. Mekanisme respon imun humoral yang melibatkan limfosit B
Mekanisme imun humoral di dalam system pernapasan tampak
dalam dua bentuk antibodi berupa IgA dan IgG. Antibodi ini
terutama IgA, penting sebagai pertahanan di nasofaring dan saluran
pernapasan bagian atas. Sedangkan IgG banyak ditemukan di
bagian distal paru. IgG berperan dalam menggumpalkan partikel,
menetralkan toksin, dan melisiskan bakteri gram negatif.
b. Mekanisme respon imun selular yang melibatkan limfosit T
Mekanisme imu selular diperankan oleh sel T (CD4+ dan
CD8+) Sensitisasi terhadap limfosit T menyebabkan limfosit T
menghasilkan berbagai mediator yang dapat larut yang disebut
limfokin, yaitu suatu zat yang dapat menarik dan mengaktifkan sel
pertahanan tubuh yang lain terutama makrofag. Limfosit T juga
dapat berinteraksi dengan system imun humoral dalam
memodifikasi produksi antibody. Peran system imun selular yang
sangat penting adalah untuk melindungi tubuh melawan bakteri
yang tumbuh secara intaselular, seperti kuman Mycobacterium
tuberculosis.
Mekanisme respons imun humoral memerlukan aktivitas limfosit B
dan antibody yang diproduksi oleh sel plasma. Mekanisme respon
imun selular memerlukan aktivitas limfosit T yang mampu
mengeluarkan limfokin. Limfosit T dan limfosit B mempunyai
ketergantungan satu sama lain ketika sedang bekerja. Ada limfosit
yang tidak dapat ditentukan jenisnya, digolongkan sebagai sel natural
killer (NK cell). Sel ini dapat membunuh baik mikroorganisme ataupun
sel tumor tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu. Sel NK distimulasi
oleh limfokin tertentu yang dihasilkan oleh limfosit T.
25
LO III. Memahami dan menjelaskan Rhenitis Alergi
1. Definisi Rhenitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut(Von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.
26
3. Klasifikasi Rhenitis Alergi
Dahulu rhinitis alergik dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada pada Negara
yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepung sari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis
atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merha, gatal disertai lakrimasi)
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering
ialah allergen inhalan terutama pada orang dewasa dan allergen ingestan.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 :
Tidur normal
Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal
Bekerja dan sekolah normal
Tidak ada keluhan yang mengganggu
27
4. Epidemiologi Rhenitis Alergi
Dewasa ini rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global Penyakit
ini ditemukan di seluruh dunia dan diderita oleh sedikitnya 10 -25 % populasi
dan prevalensinya terus meningkat. Rinitis alergi lebih sering dijumpai pada
anak usia sekolah, dijumpai pada sekitar 15% anak usia 6-7 tahun dan 40%
pada usia 13-14 tahun. Sekitar 80% pasien rinitis alergi mulai timbul gejala
sebelum usia 20 tahun. Meskipun rinitis alergi lebih banyak muncul pada anak
yang lebih besar, namun pajanan alergen (sensitisasi) sudah terjadi sejak dini.
Seorang anak yang mempunyai salah satu gejala atopi (rinitis alergi,
asma, eksim) mempunyai risiko 3 kali lebih besar untuk menderita gejala atopi
yang berikutnya. Meskipun pada umumnya rinitis alergi bukan merupakan
penyakit berat, tapi dapat berdampak pada kehidupan sosial penderita dan
kinerja di sekolah serta produktivitas kerja. Disamping itu, biaya yang
ditimbulkan oleh rinitis cukup besar.
Meskipun prevalensinya cukup tinggi, rinitis alergi seringkali tidak
terdiagnosis dan tidak diterapi secara adekuat terutama pada populasi anak.
Penyebab tidak adekuatnya terapi meliputi ketidakmampuan anak untuk
menggambarkan secara verbal gejala yang dialami, anak tidak memahami
bahwa mereka memiliki gangguan, dan seringkali rinitis alergi dikelirukan
dengan infeksi saluran napas atas berulang.
28
5. Patofisiologi Rhenitis Alergi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
29
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
30
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin
(delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak
dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.
31
7. Diagnosis Rhenitis Alergi
Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi.
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner selain
dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal,
dengan punggungtangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute keadaan
menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang
di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease
mulut sering terbuka dengan lengjung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dindinglateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta(geographic tongue).
Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
32
menghitung tingkat IgE dapat menggunakan MAST (Multiple Allergen
Stimulateous Test) dan CAP (Capsulated hydrophilic carrier polymer).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti
tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test ”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.
Pemeriksaan lain
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan
diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk
mencari penyebab lain yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik :
33
1. Hitung jenis sel darah tepi
Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel
eosinofil darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rhinitis
alergi, tetapi kurang bermakna secara klinik
2. Pemeriksaan sitologi secret dan mukosa hidung
Bahan pemeriksaan diperoleh dari secret hidung secara langsung (usapan),
kerokan, bilasan, dan biopsy mukosa. Pengambilaan sediaan untuk
pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan
allergen atau saat bergejala berat dan biasanya hanya untuk keperluan
penelitian dan harus dikerjakan oleh tenaga terlatih
3. Tes provokasi hidung/ nasal challenge test (bila fasilitas tersedia)
Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil
pemeriksaan diagnostic primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum
tes ini lebih sulit untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan
pemeriksaan IgE spesifik. Tes provokasi menempatkan penderita pada situasi
beresiko untuk terjadinya reaksi anafilaksis
4. Tes fungsi mukosilier (menilai gerakan silia)
Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian
5. Pemeriksaan aliran udara hidung
Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometri
(anterior atau posterior) atau rinomanometri akustik misalnya pasca tes
provokasi hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.
6. Pemeriksaan radiologic
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT scan maupun MRI (bila fasilitas
tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi, tetapi
untuk menyingkirkan adanya kelainan patologik atau komplikasi rhinitis alergi
terutama bila respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto
polos dapat ditemukan penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis
akibat alergi), perselubungan homogeny serta gambaran batas udara cairan di
sinus maxilla.
7. Pemeriksaan lain yaitu : fungsi penghitungan dan pengukuran kadar
NO (nitric oxide).
34
5. Rhinitis atrofi : infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang chonca.
Jika tidak berhasil atau obat-obatan tadi menyebabkan efek samping yang
tidak bisa diterima, lakukan imunoterapi dengan terpi desensitasi.
35
Tatalaksana rhinitis alergi berdasarkan ARIA 2001
FARMAKODINAMIK
36
rangsang dengan cara serupa seperti yang dilakukan prokain dan
lidokain. Difenhidramin dan prometazin sebenarnya lebih poten
daripada prokain sebagai anestetik lokal. Mereka kadang digunakan
untuk menghasilkan anestesia lokal pada pasien yang alergi terhadap
obat anestetik lokal konvensional.
FARMAKOKINETIK
PENGGOLONGAN AH1
A) AH 1 Generasi 1
B) AH 1 Generasi 2
EFEK SAMPING
37
Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia, tremor, mulut
kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, lemah pada
tangan.
INTERAKSI OBAT
Aritmia ventrikel letal yang terjadi pada beberapa pasien yang
mendapat obat generasi kedua awal, terfenadin atau astemizol, dalam
kombinasi dengan ketokonazol, itrakonazol atau antibiotik makrolid
seperti eritromisin. Obat-obat antimikroba ini menghambat
metabolisme banyak obat oleh CYP3A4 dan menyebabkan peningkatan
signifikan konsentrasi antihistamin dalam darah. Karena interaksi yang
berbahaya tersebut maka terfenadin dan astemizol dikontraindikasikan
pemberiannya pada pasien yang mendapat ketokonazol, itrakonazol,
atau antibiotik golongan makrolid, dan juga pada pasien dengan
penyakit hati
2. Dekongestan hidung
a. Dekongestan Nasal
FARMAKODINAMIK
Golongan simpatomimetik, beraksi pada reseptor adrenergik
pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi,
menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki
pernafasan
FARMAKOKINETIK
Penggunaan dekongestan topikal tidak menyebabkan atau
sedikit sekali menyebabkan absorpsi sistemik
EFEK SAMPING
Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa, di mana hidung kembali
tersumbat akibat vasodilatasi perifer maka batasi penggunaan
Contoh Obat : nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin dan
xilometazolin
38
Fenilefrin HCl
Aksi Sedang 4-6 jam
Nafazolin HCl
Tetrahidrozolin HCl
Aksi Panjang Sampai 12 jam
Oksimetazolin HCl
Xylometazolin HCl
b. Dekongestan oral
Secara umum tidak dianjurkan karena efek klinis masih diragukan
dan punya banyak efek samping
Contoh obat: Efedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin
Indeks terapi sempit resiko hipertensi
1) Efedrin
FARMAKOKINETIK
Alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra. Efektif pada
pemberian oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja
pada reseptor alfa, beta 1 dan beta 2.
EFEKSAMPING
Efek kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik meningkat,
tekanan nadi membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena
vasokontriksi dan stimulasi jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang
relatif lama.
Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada pengobatan kronik
yang dapat diatasi dengan pemberian sedatif.
DOSIS
Dewasa : 60 mg/4-6 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg/4-6 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam
2) Fenilpropanolamin
FARMAKODINAMIK
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain
menimbulkan konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga
menimbulkan konstriksi pembuluh darah lain sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan stimulasi jantung.
Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin tapi kurang
menimbulkan efek SSP.
KONTRAINDIKASI
Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan pada
pria dengan hipertrofi prostat. Obat ini jika digunakan dalam dosis
besar (>75 mg/hari) pada orang yang obesitas akan meningkatkan
kejadian stroke, sehingga hanya boleh digunakan dalam dosis
maksimal 75 mg/hari sebagai dekongestan.
39
INTERAKSI OBAT
Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah kontra
indikasi.
DOSIS
Dewasa : 25 mg/4 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam
3) Fenilefrin
Fenilefrin adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit
mempengaruhi reseptor beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung
secara langsung dan tidak merelaksasi bronkus. Menyebabkan
konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah splanknikus sehingga
menaikkan tekanan darah.
4. Antikolinergik
40
muskarinik sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan
vasodilatasi.
5. Natrium kromolin
EFEK SAMPING
Iritasi lokal (bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung)
DOSIS
6. Imunoterapi
41
10. Komplikas Rhenitis Alergi
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan
manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan
sekitar ostiasinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis :
inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel,
hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk
GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi
alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak
42
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa
ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan
penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara
rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitisakan semakin parah. Pengobatan komplikasi rinits alergi harus
ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta
menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun seluler yang terjadi
lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatan rasionalnya adalah
pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotia adekuat,
imunoterapi dan bila perlu operatif.
b. Pencegahan sekunder
Untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan
pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal
berupaalergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan
penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat
diketahui dengan uji kulit. Debu tungau adalah salah satu penyebab
terbesar alergi. Mereka adalah serangga mikroskopis yang berkembang
biak dalam debu rumah tangga.
Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membatasi jumlah
tungau di rumah:
1) Pertimbangkan membeli udara-permeabel kasur dan selimut penutup
oklusif ( jenis tempat tidur bertindak sebagai penghalang terhadap
tungau debu dan kotoran mereka).
2) Pilih kayu atau penutup lantai vinyl, bukan karpet.
3) Bersihkan bantai, mainan, tirai dan furnitur berlapis secara teratur, baik
dengan menghilangkan debu.
4) Gunakan bantal sintetis dan selimut akrilik bukannya selimut wol atau
selimut bulu.
5) Gunakan vacuum cleaner dilengkapi dengan filter udara partikulat
efisiensi tinggi (HEPA) karena dapat mengeluarkan debu lebih dari
penyedot debu biasa.
43
6) Gunakan kain bersih basah untuk menyeka permukaan karena debu
kering dapat menyebarkan alergen lanjut.
7) Menjaga pintu dan jendela tertutup selama pertengahan pagi dan sore
hari, ketika ada sebagian serbuk sari di udara
8) Mandi, mencuci rambut dan mengganti pakaian setelah berada di luar
c. Pencegahan tersier
Untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan
penghindaran alergen dan pengobatan.
ADAB-ADAB MENGUAP
“Kuapan (menguap) itu datangnya dari syaitan. Jika salah seorang di antara kalian ada
yang menguap, maka hendaklah ia menahan semampunya” [HR. Al-Bukhari no. 6226
dan Muslim no. 2944. Lafazh ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]
Apabila tidak mampu menahan, maka tutuplah mulut dengan meletakkan tangannya
pada mulutnya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
َ ش ْي
طانَ يَدْ ُخ ُل ْ ب أ َ َحد ُ ُك ْم فَ ْليُ ْمس
َّ ِك بِيَ ِد ِه َع َلى فِ ْي ِه فَإ ِ َّن ال َ إِذَا تَثَا َء
“Apabila salah seorang di antara kalian menguap maka hendaklah menutup mulut
dengan tangannya karena syaitan akan masuk (ke dalam mulut yang terbuka).” [HR.
Muslim no. 2995 (57) dan Abu Dawud no. 5026]
2. Tidak disyari’atkan untuk meminta perlindungan dari syaitan kepada Allah ketika
menguap, karena hal tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tidak pula dari para Sahabatnya.
44
ADAB-ADAB BERSIN
1. Hendaknya orang yang bersin untuk merendahkan suaranya dan tidak secara
sengaja mengeraskan suara bersinnya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu:
َّ س َغ
طى َوجْ َههُ ِب َيد َ سلَّ َم َكانَ ِإذَا َع
َ ط َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َّ ص ْوتَهُِِأ َ َّن النَّ ِب
َ ي َّ ِه أَ ْو ِبث َ ْو ِب ِه َوغ.
َ َض ِب َها
2. Hendaknya bagi orang yang bersin menahan diri untuk tidak menolehkan leher
(menekukkan leher) ke kanan atau ke kiri ketika sedang bersin karena hal tersebut
dapat membahayakannya. Seandainya lehernya menoleh (menekuk ke kanan atau ke
kiri) itu dimaksudkan untuk menjaga agar tidak mengenai teman duduk di
sampingnya, hal itu tidak menjamin bahwa lehernya tidak cedera. Telah terjadi pada
beberapa orang ketika bersin memalingkan wajahnya dengan tujuan untuk menjaga
agar teman duduknya tidak terkena, namun berakibat kepalanya kaku dalam posisi
menoleh.
“Segala puji bagi Allah” [HR. Al-Bukhari no. 6223, at-Tirmidzi no. 2747]
“Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” [HR. Al-Bukhari di dalam al-
Adaabul Mufrad no. 394, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 224, Ibnu
Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.259. Lihat Shahihul Jami’ no. 686]
“Segala puji bagi Allah atas segala hal” [HR. Ahmad I/120,122, at-Tirmidzi no. 2738,
ad-Darimi II/283, al-Hakim IV/66. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/354 no. 2202]
اركا ً فِ ْي ِه َك َما ي ُِحبُّ َربُّنَا َو ي َ ضى َِا َ ْل َح ْمدُ ِللِ َح ْمدًا َكث ِِِي ًْرا
َ َط ِيِّبا ً ُمب َ ر.
ْ
45
“Segala puji bagi Allah (aku memuji-Nya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan
penuh ke-berkahan sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kami.” [HR.
Abu Dawud no. 773, al-Hakim III/232. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud I/147 no.
700]
4. Wajib bagi setiap orang yang mendengar orang bersin (dan mengucapkan
alhamdulillah) untuk melakukan tasymit kepadanya, yaitu dengan mengucapkan,
5.Bila ada orang kafir bersin lalu dia memuji Allah, boleh berkata kepadanya:
ص ِل ُح بَالَ ُك ْم
ْ ُيَ ْه ِد ْي ُك ُم هللاُ َوي.
“Semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian.”
Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa al-‘Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata:
6. Apabila orang yang bersin itu menambah jumlah bersinnya lebih dari tiga kali,
maka tidak perlu dijawab dengan ucapan yarhamukallah. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Apabila salah seorang di antara kalian bersin, maka bagi yang duduk di dekatnya
(setelah mendengarkan ucapan alhamdulillaah) menjawabnya dengan ucapan
yarhamukallah, apabila dia bersin lebih dari tiga kali berarti ia sedang terkena flu dan
jangan engkau beri jawaban yarhamukallah setelah tiga kali bersin.” [HR. Abu
Dawud no. 5035 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 251. Lihat
Shahiihul Jami’ no. 684]
46
Dan jangan mendo’akan orang yang bersin lebih dari tiga kali serta jangan pula
mengucapkan kepadanya do’a:
7. Apabila ada orang yang bersin sedangkan imam sedang berkhutbah (Jum’at), maka
ia harus mengucapkan alhamdulillah (dengan merendahkan suara) dan tidak wajib
untuk dijawab yarhamu-kallah karena diam dikala khutbah Jum’at adalah wajib
hukumnya.
ُ فَش َِِّمت ُ ْوهُ ِفإ ِ ْن لَ ْم َيحْ َم ِد هللاَ فَالَ ت ُش َِِّمت ُ ْوه:َس أ َ َحد ُ ُك ْم فَ َح ِمدَ هللا َ ِإذَا َع.
َ ط
“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu mengucapkan alhamdulillah, maka
hendaklah kalian mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallah) baginya, namun jika
tidak, maka janganlah mengucapkan tasymit baginya.” [HR. Muslim no. 2992]
ُ ) إنه أَروى وأبرأ ُ وأَمرأ: ويقول، ب ثالثًا ُ َّ) كان رسو ُل هللاِ صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم يتنف
ِ س في الشرا
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ini adalah dalil dianjurkannya bernafas 3 kali
ketika minum” (Majmu’ Al Fatawa, 32/208). Maka jelaslah bahwa hal ini hukumnya
sunnah, tidak sampai wajib. Karena hukum asal dari perbuatan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sunnah.
Namun perlu dicatat, bahwa bernafas yang dimaksud di sini bukanlah bernafas atau
mengeluarkan nafas di dalam gelas atau tempat minum. Namun yang dimaksud
47
adalah di luar gelas. Karena dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:
اإلناء
ِ ُ َّب أحد ُكم فال يَتَنَف
س في َ إذا ش َِر
“jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana
(tempat minum)” (HR. Al Bukhari 153, Muslim 267).
Jadi caranya: meneguk air, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk
lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan
keluarkan nafas di luar gelas, selesai.
Lalu bagaimana dengan minum satu kali nafas atau sekali teguk? Terdapat hadits dari
sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu’anhu, ia berkata:
فقال رجل، ان النبي صلى هللا عليه وسلم نهى عن النفخ في الشراب: ”أهرقها” القذاة أراها في اإلناء؟:فقاله
: ”فأبن القدح إذا ً عن فيك” إني ال أروى من نفس واحد؟ قال:قال
Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dengan cara menenggak beberapa teguk
lalu baru bernafas, atau beberapa tenggak sampai habis, baru bernafas. Syaikh Al
Albani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini beliau mengatakan: “ini
menunjukkan bolehnya minum dengan sekali nafas. Karena Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak mengingkari seorang lelaki yang mengatakan: ‘haus saya tidak hilang
dengan sekali teguk saja’. Andai minum dengan sekali nafas itu terlarang, maka
ketika itu Rasulullah akan menjelaskan larangannya. Beliau akan berkata semisal:
‘Memangnya boleh minum dengan sekali nafas?'”.
Di tempat lain, Syaikh Al Albani juga menukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani:
“Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath: Imam Malik membolehkannya minum dengan
sekali nafas berdalil dengan hadits ini. Bolehnya hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu
Abi Syaibah dari Sa’id bin Musayyab dan sekelompok tabi’in lainnya. Lalu Umar bin
Abdul Aziz juga mengatakan: yang dilarang adalah bernafas di dalam bejana, adapun
orang yang tidak bernafas di dalam bejana boleh saja minum dengan sekali nafas jika
ia mau” (Silsilah Ash Shahihah, 1/670-671, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani
478).
ِِAdapun hadits yang menganjurkan minum dengan sekali nafas, haditsnya tidak
shahih.
48
“jika salah seorang dari kalian minum maka minumlah dengan sekali nafas”
Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan: “hadits ini tidak shahih dari Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena Yahya bin Said tidak meriwayatkan dari Aban
bin Yazid dan aku khawatir lafadznya maqlub, seharusnya ‘janganlah minum‘ namun
disebutkan ‘minumlah‘” (Al ‘Ilal Al Mutanahiah, 2/669).
Minum dengan lebih dari tiga kali nafas tentu saja kembali kepada hukum asalnya,
yaitu mubah. Terlebih lagi dalam hadits larangan bernafas di dalam bejana
disebutkan:
“jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana
(tempat minum). Jika ia ingin mengulang (tegukan) maka singkirkan dahulu bejana
(dari mulut untuk bernafas), kemudian teguk lagi jika ingin” (HR. Ibnu Majah 2784,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Menunjukkan tidak ada batasan jumlah tegukan atau nafas ketika minum. Tentu saja
selama tidak sampai israf (berlebih-lebihan) dalam minum. Wallahu a’lam.
49
DAFTAR PUSTAKA
ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on
asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.
Djojodibroto DR. 2017. Respirologi (Respiratory Medicine) Edisi 2.Jakarta: EGC. (p:
43 – 47).
Ganong, WF, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 21th ed, ab. M. Djauhari
Widjajakusumah. Jakarta : EGC.
Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. 2008. Dalam: Buku AjarIlmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.Jakarta:
Balai Penerbit FK UI; 128-134.
Kaplan AP,Cauwenberge PV. 2003. Allergic Rhinitis In: GLORIA Global Resource
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis.Milwaukee US.
Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC
https://almanhaj.or.id/4010-adab-adab-menguap-dan-bersin.html
http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/AI02_Rintis-
Alergi.pdf (ditelusuri pada 16 februari 2018 pukul 8.59 AM)
50