Anda di halaman 1dari 50

WRAP UP SKENARIO 1

BERSIN DI PAGI HARI

Disusun oleh:

B-3

Ketua:

Wira Alwysaputro 1102016227

Sekertaris:

Zila Meifanza Hanifah 1102016235

Anggota:

Nusicha Siti Andriana 1102015173

Meylita Diaz Stovana 1102016119

Nabila maysa Aurelia 1102016145

Putri Azzahra Nur Azrina 1102016170

Shafa kamila 1102016202

Viera Dzakiyyah Muthohharoh 1102016220

Winona Rindy Ballinan 1102016226

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS YARSI

2016/2017

1
DAFTAR ISI

COVER …………………………………………………….. 1
DAFTAR ISI …………………………………………………….. 2
SKENARIO …………………………………………………….. 3
BRAINSTROMING / SASARAN BELAJAR
KATA SULIT …………………………………………….. 4
PERTANYAAN ……………………………………... 4
JAWABAN …………………………………………….. 4-5
HIPOTESIS …………………………………………………….. 6
SASARAN BELAJAR
LO I. Memahami dan menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan Atas
1. Makroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas ……. 8-15
2. Mikroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas ……. 15-18
LO II. Memahami dan menjelaskan Fisiologi Pernapasan Atas
1. Fungsi Pernapasan Atas ……………………………. 19-22
2. Mekanisme Pertahanan Pernapasan Atas ……………. 23-25
LO III. Memahami dan menjelaskan Rhenitis Alergi
1. Definisi Rhenitis Alergi ……………………………. 26
2. Etiologi Rhenitis Alergi ……………………………. 26
3. Klasifikasi Rhenitis Alergi ……………………. 27
4. Epidemiologi Rhenitis Alergi …………………….. 28
5. Patofisiologi Rhenitis Alergi …………………….. 29-31
6. Manifestasi Klinis Rhenitis Alergi …………….. 31
7. Diagnosis Rhenitis Alergi …………………….. 32-34
8. Diagnosis Banding Rhenitis Alergi …………….. 34
9. Tata Laksana Rhenitis Alergi ……………………... 35-38
10. Komplikasi Rhenitis Alergi ……………………... 42-43
11. Pencegahan Rhenitis Alergi ……………………... 43-44
12. Prognosis Rhenitis Alergi ……………………... 44
LO IV. Memahami dan menjelaskan Pandangan Islam dalam menjaga
pernapasan ……………………………………………………. 44-49
DAFTARPUSTAKA ……………………………………. 50

2
I. SKENARIO
BERSIN DI PAGI HARI

Seorang perempuan, umur 25 tahun, selalu bersin-bersin lebih dari lima


kali setiap pagi hari, keluar ingus encer, gatal di hidung dan mata. Keluhan
timbul bila udara berdebu jika berangkat ke kantor. Keluhan ini sudah
dialami sejak kecil dan mengganggu aktifitas kerja. Dalam keluarga tidak
ada yang menderita penyakit serupa, kecuali penyakit asma pada ayah
pasien.

Pada pemeriksaan fisik terlihat secret bening keluar dari nares anterior,
choncha nasalis inferior oedem, mukosa pucat.

Pasien rajin sholat tahajud, sehingga dia bertanya adakah hubungan


memasukkan air wudhu ke dalam hidung di malam hari dengan keluhan
ini? pasien menanyakan ke dokter mengapa bisa terjadi demikian, dan
apakah berbahaya apabila menderita keluhan seperti ini dalam jangka
waktu yang lama.

3
II. BRAIN STORMING

KATA SULIT

1. Concha nasalis inferior : concha nasalais paling bawah di daerah


cavum nasi berdekatan dengan maxilla
2. Asma : penyemputan saluran nafsskarena hipereaktifitas suatu
rangsangan tertentu
3. Nares Anterior : lubang hidung

PERTANYAAN
1. Apa hubungan memasukkan air wudhu ke dalam hidung dengan
keluhan ?
2. Mengapa pasien bersin saat ada debu di pagi hari ?
3. Apa hubungan riwayat asma pada ayah pasien dengan kondisi
pasien ?
4. Mengapa pasien merasa gatal di area hidung dan mata ?
5. Mengapa keluar ingus encer ?
6. Apa saja faktor risiko pada kasus ini ?
7. Apa diagnosis pada kasus ini ?
8. Apa yang menyebabkan oedem pada kasus ini ?
9. Bagaimana tata laksana pada kasus ini ?
10. Bagaimana pemeriksaan yang dibutuhkan ?
11. Adab bersin menurut islam ?

JAWABAN
1. Dari hasil diskusi kelompok kami didapatkan 2 pendapat yaitu,
tidak ada hubungan dan ada hubungan antara air wudhu dengan
keluhan pasien. air wudhu tidak memiliki hubungan dengan
keluhan yang dirasakan pasien karena Allah tidak pernah
menyulitkan hambanya, dan disetiap perintah pasti memiliki tujuan
yaitu dengan kita berwudhu kita dapat membersihkan hidung.
namun bisa jadi dalam kasus ini ada hubungan antara air wudhu
dengan kondisi pasien karena pasien wudhu untuk shalat tahajud
dimana suhu yang dingin menyebabkan air ikut dingin sehingga
sensitivitas dari silia jadi meningkat lalu terjadilah bersin.
2. Terjadinya bersin pada pasien merupakan salah satu respon
pertahanan tubuh untuk mengeluarkan benda asing.
3. Karena, adanya riwayat asma pada ayah pasien memungkinkan
pasien untuk memiliki hipersensitifitas.
4. Pasien merasa gatal di daerah hidung dan mata karena adanya debu
yang masuk ke tubuh melalui inhalasi membuat respon tubuh,
salah satunya di daerah sinus ethmoidale dan sinus maxilla
mengeluarkan cairan agar debu terlokalisir. pada pasien ini
kemungkinan memiliki hipersensitifitas sehingga debu yang masuk
dapat merangsang adanya IgE yang memproduksi histamin maka
terjadilah gatal pada daerah tersebut.

4
5. Seperti yang dijelaskan di nomor empat, ingus yang encer keluar
agar debu terlokalisir yang merupakan hasil dari sinus.
6. Faktor risiko pada kasus ini adalah lingkungan (suhu, polusi),
riwayat penyakit dan imunitas.
7. Diagnosis pada kasus ini ialah Rhenitis alergi karena adanya
hipersensitifitas dan disertai radang.
8. Oedem terjadi akibat produksi cairan pada sinus maxillaris
9. Tata laksana pada kasus ini yaitu dengan pemberian Antihistamin
dan Kortikosteroid
10. Pemeriksaan yang dibutuhkan pada kasus ini yaitu:
- Skin prick test dan skin patch test untuk mengetahui ada
tidaknya hipersensitifitas,
- Hitung eosinofil untuk mengetahui ada tidaknya kenaikan IgE
dan hipersensitifitas,
- Rotgen sinus untuk lihat sinus
- Rhenoscopy untuk pemeriksaan penunjang/fisik
11. Adab bersin menurut islam yaitu dengan ditutup dan mengucapkan
hamdalah setelahnya.

5
III. HIPOTESIS
Faktor risiko Rhinitis Alergi adalah lingkungan, riwayat penyakit dan
imunitas dengan gejala bersin-bersin di pagi hari yang merupakan respon
pertahanan tubuh, gatal di daerah hidung dan mata karena allergen yang
masuk berulang kali menginduksi pembentukan IgE dan degranulasi sel
mast sehingga menstimulasi respon inflamasi (histamine, prostaglandin,
leukotrin dan sitokin) dan ingus encer yang bertujuan untuk melokalisir
allergen yang masuk ke dalam tubuh. Pada pemeriksaan fisik akan
ditemukan oedem pada nasalis anterior akibat produksi cairan pada sinus
maxillaris. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada kasus ini yaitu
Rhenoscopy, Skin prick test, Hitung eosinophil, Hitung IgE dan Rotgen
sinus. Rhinitis Alergi dapat diobati dengan memberikan Antihistamin dan
Kortikosteroid. Menurut pandangan islam adab bersin yaitu dengan ditutup
dan mengucapkan hamdalah setelahnya.

6
IV. SASARAN BELAJAR

LO I. Memahami dan menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan


Atas
1. Makroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas
2. Mikroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas

LO II. Memahami dan menjelaskan Fisiologi Pernapasan Atas


1. Fungsi Pernapasan Atas
2. Mekanisme Pertahanan Pernapasan Atas

LO III. Memahami dan menjelaskan Rhenitis Alergi


1. Definisi Rhenitis Alergi
2. Etiologi Rhenitis Alergi
3. Klasifikasi Rhenitis Alergi
4. Epidemiologi Rhenitis Alergi
5. Patofisiologi Rhenitis Alergi
6. Manifestasi Klinis Rhenitis Alergi
7. Diagnosis Rhenitis Alergi
8. Diagnosis Banding Rhenitis Alergi
9. Tata Laksana Rhenitis Alergi
10. Komplikasi Rhenitis Alergi
11. Pencegahan Rhenitis Alergi
12. Prognosis Rhenitis Alergi

LO IV. Memahami dan menjelaskan Pandangan Islam dalam


menjaga pernapasan

7
LO I. Memahami dan menjelaskan Anatomi Saluran Pernapasan Atas
1. Makroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas
Respirasi adalah pertukaran gas, yaitu oksigen (O2) yang dibutuhkan
tubuh untuk metabolisme sel dan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan dari
metabolisme tersebut dikeluarkan dari tubuh melalui paru.

Sistem Respirasi

1. Saluran Nafas Bagian Atas, pada bagian ini udara yang masuk ke tubuh
dihangatkan, disarung dan dilembabkan.
2. Saluran Nafas Bagian Bawah, bagian ini menghantarkan udara yang masuk
dari saluran bagian atas ke alveoli.
3. Alveoli, terjadi pertukaran gas anatara O2 dan CO2
4. Sirkulasi Paru, pembuluh darah arteri menuju paru, sedangkan pembuluh
darah vena meninggalkan paru.
5. Paru, terdiri atas :
a. Saluran Nafas Bagian Bawah
b. Alveoli
c. Sirkulasi Paru
6. Rongga Pleura, terbentuk dari dua selaput serosa, yang meluputi dinding
dalam rongga dada yang disebut pleura parietalis, dan yang meliputi paru
atau pleura veseralis
7. Rongga dan Dinding Dada, merupakan pompa muskuloskeletal yang
mengatur pertukaran gas dalam proses respirasi

Saluran Nafas Bagian Atas


a. Rongga hidung
Udara yang dihirup melalui hidung akan mengalami tiga hal :
1. Dihangatkan
2. Disaring
3. Dilembabkan
Ketiga hal di atas merupakan fungsi utama dari selaput lendir respirasi,
yang terdiri atas Psedostrafied Ciliated Columnar Epitelium yang
berfungsi menggerakkan partikel-partikel halus ke arah faring sedangkan
partikel yang besar akan disaring oleh bulu hidung, sel golbet dan kelenjar
serous yang berfungsi melembabkan udara yang masuk, pembuluh darah
yang berfungsi menghangatkan udara. Ketiga hal tersebut dibantu dengan
concha.

8
b. Nasofaring (terdapat Pharyngeal Tonsil dan Tuba Eustachius)
c. Orofaring (merupakan pertemuan rongga mulut dengan faring, terdapat
pangkal lidah)
d. Laringofaring (terjadi persilangan antara aliran udara dan aliran makanan)
(Daniel S.W, 2008; Raden Inmar, 2009)

Hidung

Organ pertama yang berfungsi dalam saluran napas. Terdapat


vestibulum nasi yang terdapat cilia kasar yang berfungsi sebagai saringan
udara. Bagian dalam rongga hidungada terbentuk terowongan yang disebut
cavum nasi mulai dari nares anterior sampai ke nares posterior lalu ke
nasofaring.
Sekat antara kedua rongga hidung dibatasi dinding yang berasal dari tulang
dan mucusa yaitu septum nasi yang dibentuk oleh :
a. Cartilago septi naso
b. Os vomer
c. Lamina perpendicularis os ethmoidalis
Merupakan organ berongga yang terdiri atas tulang, tulang rawan
hyalin otot bercorak dan jaringan ikat
Fungsi Hidung:
a) Menyalurkan udara
b) Menyaring udara dari benda asing
c) Menghangatkan udara pernafasan
d) Melembabkan udara pernafasan
e) Alat pembau
Cavum nasi dipisahkan oleh septum nasi, yang berhubungan dengan
nasofaring melalui choana (nares posterior) dan bagian terlebar yang disebut
dengan vestibulum nasi.

9
Fossa Nasalis
Dinding superior rongga hidung sempit, dibentuk lamina cribroformis
ethmoidalis yang memisahkan rongga tengkorak dengan rongga hidung.
Dinding inferior dibentuk os maxilla dan os palatinum.
Ada 2 cara pemeriksaan hidung yaitu rhinoscopy anterior dan posterior.

Bagian anterior, di cavum nasi di sisi lateral terdapat concha nasalis


yang terbentuk dari tulang tipis dan ditutupi mukusa yang mengeluarkan
lendir dan di medial terlihat dinding septum nasi. Kalau pada posterior, dapat
terlihat nasofaring, choanae, bagian ujung belakang conchae nasalis media
dan inferior, juga terlihat OPTA yang berhubungan dengan telinga.
Ada 3 buah concha nasalis, yaitu :
a. Concha nasalis superior
b. Concha nasalis inferior
c. Concha nasalis media
Di antara concha nasalis superior dan media terdapat meatus nasalis
superior.
Antara concha media dan inferior terdapat meatus nasalis media.
Antara concha nasalis inferior dan dinding atas maxilla terdapat meatus
nasalis inferior.
Fungsi chonca :
1. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
2. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan
permukaan mukosa.

10
Sinus-sinus yang berhubungan dengan cavum nasi disebut sinus paranasalis :
a. Sinus sphenoidalis mengeluarkan sekresinya melalui meatus
superior
b. Sinus frontalis ke meatus media
c. Sinus maxillaris ke meatus media
d. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media.
Di sudut mata terdapat hubungan antara hidung dan mata melalui
ductus nasolacrimalis tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus
inferior. Di nasofaring terdapat hubungan antara hidung dan rongga telinga
melalui OPTA (Osteum Pharyngeum Tuba Auditiva) eustachii. Alurnya
bernama torus tobarius.

Vaskularisasi hidung

Berasal dari cabang a. Opthalmica dan a. Maxillaris interna


1. Arteri ethmoidalis dengan cabang-cabang : arteri nasalis externa dan
lateralis, arteri septalis anterior
2. Arteri ethmoidalis posterior dengan cabang-cabang : arteri nasalis
posterior, lateralis dan septal, arteri palatinus majus
3. Arteri sphenopalatinum cabang arteri maxillaris interna. Ketiga
pembuluh tersebut membentuk anyaman kapiler pembuluh darah yang
dinamakan Plexus Kisselbach. Plexus ini mudah pecah oleh
trauma/infeksi sehingga sering menjadi sumber epistaxis pada anak.

11
Persarafan hidung

Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung :


1. Depan dan atas cavum nasi mendapat persarafan sensoris dari cabang
nervus opthalmicus
2. Bagian lainnya termasuk mucusa hidung cavum nasi dipersarafi
ganglion sfenopalatinum. Nasofaring dan concha nasalis mendapat
persarafan sensorik dari cabang ganglion pterygopalatinum.
Nervus olfactorius memberikan sel-sel reseptor untuk penciuman. Proses
penciuman : pusat penciuman pada gyrus frontalis, menembus lamina
cribrosa ethmoidalis ke traktus olfactorius, bulbus olfactorius, serabut n.
olfactorius pda mucusa atas depan cavum nasi.

FARING
Merupakan struktur seperti tuba yang menghubungkan hidung dan
rongga mulut ke laring. Dibagi menjadi 3 bagian, yaitu:

1. Nasofaring
Bagian pharynx yang berada dibelakang cavum nasi dan diatas
palatum molle berfungsi sebagai tractus respiratorius sehingga
dindingnya tidak kolaps. Nasopharynx dihubungkan dengan cavum
nasi oleh choanae. Nasopharynx berhubungan dengan oropharynx
lewat isthmus pharyngeus. Pada dinding lateral nasopharynx terdapat
ostium pharyngeum tubae auditiva (O.P.T.A.). Pada atap dan dinding
posterior terdapat tonsila pharyngea yang dapat mengalami
pembesaran dikenal sebagai adenoid yang membuat buntu tractus
respiratorius. Di samping OPTA terdapat di depan lekukan yang
disebut fosa Rosenmuller.

12
2. Orofaring
Mulai dari palatum mole ke tulang hyoid. Ini membuka ke bagian
depan, melalui isthmus faucium ke dalam mulut, sementara di dinding
lateral, antara kedua lengkungan palatina, terdapat tonsila palatina.
3. Laringofaringeal
Di depannya terdapat pintu masuk larnyx, yang digerakkan oleh
epiglotis. Di bawah muara glotis bagian medial dan lateral terdapat
ruangan yang disebut sinus piriformis yaitu di antara lipatan
ariepiglotika dan cartilago thyroid. Lebih ke bawah lagi terdapat otot-
otot dari lamina cricoid dan di bawahnya terdapat muara esofagus

LARING
Daerah yang dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilago
cricoid. Rangka laring terbentuk dari tulang rawan dan tulang.
1. Berbentuk tulang adalah os hyoid
2. Berbentuk tulang rawan adalah : tyroid 1 buah, arytenoid 2 buah,
epiglotis 1 buah. Pada arytenoid bagian ujung ada tulang rawan kecil
cartilago cornuculata dan cuneiforme.
Laring adalah bagian terbawah dari saluran napas atas.

Os hyoid
Mempunyai 2 buah cornu, cornu majus dan minus. Berfungsi untuk
perlekatan otot mulut dan cartilago thyroid
Cartilago thyroid
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang disebut promines’s
laryngis atau lebih disebut jakun pada laki-laki. Jaringan ikatnya adalah
membrana thyrohyoid. Mempunyai cornu superior dan inferior. Pendarahan
dari a. Thyroidea superior dan inferior.
Cartilago arytenoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin. Ada cartilago corniculata dan
cuneiforme. Kedua arytenoid dihubungkan m.arytenoideus transversus.
Epiglotis
Tulang rawan berbentuk sendok. Melekat di antara cartilago arytenoid.
Berfungsi untuk membuka dan menutup aditus laryngis. Saat menelan
epiglotis menutup aditus laryngis supaya makanan tidak masuk ke laring.
Cartilago cricoid
Batas bawah adalah cincin pertama trakea. Berhubungan dengan thyroid
dengan ligamentum cricothyroid dan m.cricothyroid medial lateral.

13
Otot-otot laring :
a. Otot extrinsik laring

Berfungsi untuk menarik larynx ke atas dan ke bawah selama proses


menelan. Pada umumnya otot-otot melekat pada os hyoideus melalui
membrana thyrohyoideus dan terjadi gerakan larynx. Otot-otot ekstrinsik
terbagi atas 2 golongan :
1. Otot-otot elevator (otot-otot suprahyoid), otot yang berinsertio pada os
hyoideus yaitu : M. digastricus, M. stylohyoideus, M. mylohyoideus
dan M. geniohyoideus
2. Otot-otot depressor (otot-otot yang infra hyoid), otot yang berorigo
pada os hyoideus yaitu : M. sternothyroideus, M. sternohyoideus dan
M. omohyoideus
b. Otot intrinsik laring

1. M.cricoarytenoid posterior yang membuka plica vocalis.


Jika terdapat gangguan pada otot ini maka bisa
menyebabkan orang tercekik dan meninggal karena rima
glottidis tertutup. Otot ini disebut juga safety muscle of
larynx.
2. M. cricoarytenoid lateralis yang menutup plica
vocalis dan menutup rima glottdis
3. M. arytenoid transversus dan obliq
4. M.vocalis

14
5. M. aryepiglotica
6. M. thyroarytenoid
Dalam cavum laryngis terdapat :

Plica vocalis, yaitu pita suara asli sedangkan plica vestibularis adalah
pita suara palsu. Antara plica vocalis kiri dan kanan terdapat Rima glottidis
sedangkan antara plica vestibularis terdapat Rima vestibuli. Persyarafan
daerah laring adalah serabut Nervus vagus dengan cabang ke laring sebagai
N.laryngis superior dan N. recurrent.

2. Mikroskopik Anatomi Saluran Pernapasan Atas


Sistem pernapasan biasanya dibagi menjadi 2 daerah utama:
1. Bagian konduksi, meliputi rongga hidung, nasofaring, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus dan bronkiolus terminalis
2. Bagian respirasi, meliputi bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan
alveolus.
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat
silindris bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron
dapat dilihat ada 5 macam sel epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel
goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel basal, dan sel granul kecil.

1. Hidung
Bagian dalam hidung dilapisi empat epitel. Pada bagian luar hidung
akan ditutupi oleh kulit dengan epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk
banyak terdapat kelenjar sebasea yang akan meluas hingga bagian depan dari
vestibulum nasi.

15
Rambut kaku dan besar menonjol ke luar berfungsi sebagai penyaring.
Beberapa milimeter ke dalam vestibulum, epitel berlapis gepeng menjadi

epitel kuboid tanpa silia lalu menjadi epitel bertingkat dan kolumna (torak)
bersilia. Epitel hidung terdiri dari sel-sel kolumnar bersilia, sel goblet dan sel-
sel basofilik kecil pada dasar epitel yang dianggap sebagai sel-sel induk bagi
penggantian jenis sel yang lebih berkembang. Selain mukus, epitel juga
mensekresi cairan yang membentuk lapisan diantara bantalan mukus dan
permukaan epitel. Di bawah epitel terdapat lamina propria tebal mengandung
kelenjar submukosa terdiri dari sel-sel mukosa dan serosa. Di lamina propria
juga terdapat sel plasma, sel mast, dan kelompok jaringan limfoid.

Di atas chonca nasalis superior serta di bagian sekat hidung di


dekatnya terdapat daerah berwarna cokelat kekuningan berbeda dengan daerah
respirasi lain yang berwarna merah jambu mengandung reseptor penghidu
yaitu derah olfaktoriua atau mukosa olfaktoria. Di bawah epitel chonca
inferior terdapat swell bodies, merupakan fleksus venosus untuk
menghangatkan udara inspirasi.

Fungsi chonca :
a. Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
b. Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan
permukaan mukosa

16
Epitel olfaktoria bertingkat silindris tanpa sel goblet, lamina basal tidak jelas.
Epitel disusun tiga jenis sel :
a. Sel penyokong/sel sustentakular
b. Sel basal
c. Sel olfaktorius

Sinus Paranasalis

Terdiri atas sinus frontalis, sinus maxillaris,


sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya
berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-
sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih
tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta
lamina propria yang mengandung sedikit kelenjar kecil
penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum.
Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.

2. Faring
Terbagi menjadi tiga, yaitu :
a. Nasofaring yang terletak di bawah dasar tengkorak : epitel bertingkat
torak bersilia dengan lapisan tanduk
b. Orofaring terletak belakang rongga mulut dan permukaan belakang
lidah : epitel berlapis gepeng dengan lapisan tanduk
c. Laringofaring, terletak di belakang laring : epitel bervariasi.
3. Laring

Laring adalah saluran napas yang menghubungkan faring dengan


trakea. Laring berfungsi untuk bagian system konduksi pernapasan juga pita
suara. Pita suara sejati dan pita suara palsu masing-masing merupakan tepi
bebas atas selaput krikovokal (krikotiroid) dan tepi bebas bawah selaput
kuadratus (aryepiglotica). Di antara pita suara palsu dan pita suara sejati
terdapat sinus dan kantung laring. Lipatan aryepiglotica dan pita suara
mempunyai epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk. Laring juga
mempunyai epitel bertingkat silindris bersilia dengan sel goblet.
Pada pita suara, lamina propria di bawah epitel berlapis gepeng padat
dan terikat erat dengan jaringan ikat ligamentum vokalis di bawahnya. Dalam
laring tidak ada submukosa tapi lamina propria dari membrane mukosanya
tebal dan mengandung banyak serat elastin.

17
4. Epiglotis

Epiglotis merupakan juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan


memiliki permukaan lingual dan laringeal. Bagian lingual dan apikal epiglotis
ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan laringeal ditutupi
oleh epitel respirasi bertingkat silindris bersilia. Di bawah epitel terdapat
kelenjar campuran mukosa dan serosa.

Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas


ke dalam lumen laring: pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu
(plikavestibularis) yang terdiri dari epitel respirasi dan kelenjar serosa, serta
dilipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri dari epitel
berlapisgepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot
rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan
frekuensiyang berbeda-beda.
(Kuslestari, 2018)

18
LO II. Memahami dan menjelaskan Fisiologi Pernapasan Atas
1. Fungsi Saluran Pernapasan Atas
Fungsi utama respirasi adalah memperoleh oksigen untuk digunakan
oleh sel tubuh dan mengeluarkan karbondioksida yang diproduksi oleh sel.
Fungsi system pernafasan menurut Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono,
N. 2008 antara lain:
1. Ventilasi : pertukaran oksigen antara atmosfer dengan alveoli
2. Difusi : pertukaran oksigen pada kapiler paru dengan alveolus
3. Perfusi : aliran darah melalui sirkulasi pulmonal
4. Transportasi: Transportasi oksigen pada organ organ

Respirasi selain mempunyai fungsi utama tersebut, juga memiliki


fungsi non respiratorik, sebagai berikut:
1. Sistem respirasi merupakan rute untuk mengeluarkan air dan
mengeliminasi panas.
2. Sistem respirasi meningkatkan aliran balik vena.
3. Sistem respirasi membantu mempertahankan kesimbangan asam-basa
normal dengan mengubah jumlah CO2 penghasil H+ yang dikeluakan.
4. Sistem respirasi memungkinkan kita untuk berbicara, bernyanyi, dan
vokalisasi lain.
5. Sistem respirasi merupakan sistem pertahanan terhadap benda asing
yang terhirup.
6. Sistem respirasi mengeluarkan, memodifikasi, mengaktifkan, atau
menginaktifkan berbagai bahan yang mengalir melewati sirkulasi paru.
7. Hidung, bagian dari sistem respirasi, berfungsi sebagai organ
penciuman.

Untuk melaksanakan fungsi tersebut, respirasi terbagi dua, yaitu


respirasi internal dan respirasi eksternal.
a. Respirasi internal atau seluler, merujuk pada proses-proses metabolik
intrasel yang dilaksanakan di dalam mitokondria, yang menggunakan
O2 dan menghasilkan CO2 selagi mengambil energi dari molekul
nutrien.
b. Respirasi eksternal, merujuk ke seluruh rangkaian kejadian dalam
pertukaran O2 dan CO2 antara lingkungan eksternal dan sel
tubuh.Respirasi eksternal, yaitu dalam hal ini mencangkup empat
langkah :
1. Udara secara bergantian dimasukan ke dalam dan dikeluarkan dari
paru sehingga udara dapat dipertukarkan antara atmosfer
(lingkungan eksternal) dan kantung udara (alveolus) paru.
Pertukaran ini dilaksanakan oleh tindakan mekanis bernafas atau
ventilasi.
2. O2 dan CO2 dipertukarkan antara udara di alveolus dan darah di
dalam kapiler pulmonal melalui proses difusi.
3. Darah mengangkut O2 dan CO2 antara paru dan jaringan.
4. O2 dan CO2 dipertukarkan antara sel jaringan dan darah melalui
proses difusi menembus kapiler sistemik (jaringan).

Pada mekanisme pernafasan, udara mengalir masuk dan keluar paru


selama tindakan bernafas karena berpindah mengikuti gradient tekanan

19
antara alveolus dan atmosfer yang berbalik arah secara bergantian yang
ditimbulkan oleh aktivitas siklik otot pernafasan. Terdapat tiga tekanan
yang berbeda:
1. Tekanan atmosfer (barometrik) adalah tekanan yang ditimbulkan
oleh berat udara di atmosfer pada benda di permukaan bumi. Pada
ketinggian permukaan laut, tekanan ini sama dengan 760 mmHg.
Tekanan atmosfer berkurang seiring dengan penambahan ketinggian
diatas permukaan laut karena lapisan-lapisan udara diatas permukaan
bumi juga semakin menipis. Pada setiap ketinggian terjadi perubahan
kecil tekanan atmosfer karena perubahan kondisi cuaca (yaitu, tekanan
barometric naik atau turun).
2. Tekanan intra-alveolus atau tekanan intrapulmonal, adalah
tekanan di dalam alveolus. Karena alveolus berhubungan dengan
atmosfer melalui saluran nafas penghantar, udara cepat mengalir
menuruni gradien tekanannya setiap kali tekanan intra-alveolus
berbeda dari tekanan atmosfer; udara terus mengalir hingga kedua
tekanan seimbang.
3. Tekanan intrapleura atau tekanan intrathoraks adalah tekanan di
dalam kantung pleura. Tekanan yang ditimbulkan di luar paru di dalam
rongga thoraks. Tekanan intrapleura biasanya lebih rendah dari
tekanan atmosfer, rerata 756 mmHg saat istirahat. Seperti tekanan
darah yang dicatat dengan menggunakan tekanan atmosfer sebagai titik
referensi (yaitu, tekanan darah sistolik 120 mmHg adalah 120 mmHg
lebih besar daripada tekanan atmosfer 760 mmHg atau, dalam
kenyataan, 880 mmHg).
Karena udara mengalir mengikuti penurunan gradient tekanan, tekanan
intra-alveolus harus lebih kecil daripada tekanan atmosfer agar udara
mengalir masuk ke dalam paru sewatu inspirasi (menarik napas) dan harus
lebih besar daripada tekanan atmosfer agar udara mengalir keluar paru
sewaktu ekspirasi (menghembuskan napas).
Otot-otot pernapasan yang melakukan gerakan bernapas tidak bekerja
secaralangsung pada paru untuk mengubah volumenya. Otot-otot ini
bekerja dengan mengubah volume rongga toraks, menyebabkan perubahan
serupa pada volume paru karena dinding toraks dan dinding paru
berhubungan melalui daya rekat cairan intrapleura dan gradien tekanan
transmural.
“Pusat pernapasan” berada di sebelah bilateral medula oblongata dan
pons. Daerah ini dibagi menjadi 3 kelompok neuron utama :
a. Kelompok pernapasan dorsal, di bagian dorsal medula yang terutama
menyebabkan inspirasi,
b. Kelompok pernapasan ventral, terletak di ventromedial medula,
c. Pusat pneumotaksik, di seblah dorsal bagian superior pons, yang
membantu mengatur kecepatan dan pola bernapas.
Awitan inspirasi: Kontraksi otot-otot inspirasi
Otot-otot insirasi utama – otot yang berkontraksi untuk melakukan
inspirasi sewaktu bernapas tenang, mencakup diafragma dan otot
interkostalis eksternal. Sebelum melakukan inspirasi semua otot-otot
respirasi dalam keadaan relaksasi.

20
Otot inspirasi utama adalah otot diafragma, yang dipersarafi oleh
saraf frenikus. Ketika berkontraksi (pada stimulasi saraf frenikus).
Diafragma turun dan memperbesar volum rongga toraks dengan
meningkatkan ukuran vertical (atas ke bawah). Selama pernapasan
tenang, diafragma menurun sekitar 1 cm selama inspirasi. Dinding
abdomen, jika melemas, menonjol keluar sewaktu inspirasi karena
diafragma yang turun menekan ini abdomen ke bawah dan depan.
Tujuh puluh persen pembesaran rongga tiraks sewaktu inspirasi tenang
dilakukan oleh kontraksi diafragma.
Otot interkostalis eksternal terletak diatas otot interkostalis
internal. Kontraksi otot interkostalis eksternal, yang serat-seratnya
berjalan ke bawah dan depan antara du iga yang berdekatan,
memperbesar rongga toraks dalam dimensi lateral (sisi ke sisi) dan
anteroposterior (depan ke belakang). Ketika berkontraksi, otot
interkostalis eksternal mengangkat iga dan selanjutnya sternum ke atas
dan depan. Saraf interkostalis mengaktifkan otot-otot interkostalis ini
selama inspirasi.
Sebelum inspirasi, ada akhir ekspirasi sebelumnya, tekanan intra-
alveolus sama dengan tekanan atmosfer, sehingga tidak ada udara
mengalir masuk maupun keluar paru. Sewaktu rongga toraks
membesar selama inspirasi akibat kontraksi diafragma, paru juga
dipaksa mengembang untuk mengisi rongga toraksyang lebih bear.
Sewaktu paru membesar, tekanan intra-alveolus menurun karena
jumlah molekul udara yang sama kini menempati volume paru yang
lebih besar. Pada gerakan inspirasi biasa, tekanan intra-alveolus turun
1 mmHg menjadi 759 mmHg. Karena tekanan intra-alveolus sekarang
lebih redah daripada tekanan atmosfer, udara mengalir ke dalam paru.
Udara terus masuk hingga tidak ada lagi gradient – yaitu hingga
tekanan intra-alveolus setara dengan tekanan atmosfer. Karena itu
udara mengalir masuk ke dalam paru karena penurunan tekanan intra-
alveolus yang disebabkan oleh ekspansi paru.
Sewaktu inspirasi, tekanan intrapleura turun menjadi 754 mmHg
karena paru yang sangat teregang cenderung menarik paru lebih jauh
lagi dari dinding dada.

Inspirasi dalam : peran otot inspirasi tambahan


Inspirasi dalam (lebih banyak udara yang dihirup) dapat dilakukan
dengan kontraksi yang lebih kuat oleh otot interkostalis eksternal dan
otot diafragma, dibantu dengan aktivasi otot inspirasi tambahan untuk
memperbesar rongga toraks. Kontraksi otot-otot tambahan ini, yang
terletak dileher, mengangkat ternum dan dua iga pertama,
memperbesar bagian atas rongga toraks. Dengan semakin besarnya
volume dibandingkan dengan keadaan istirahat, paru juga semakin
mengembang, menyebabkan tekanan intra-alveolus semakin menurun.
Akibatnya terjadi peningkatan aliran masuk udara sebelum tercapai
keseimbangan dengan tekanan atmosfer; yaitu tercapainya pernapasan
lebih dalam.

21
Awitan Ekspirasi : Relaksasi Otot-Otot Inspirasi
Pada akhir inspirasi, otot inspirasi melemas. Diafragma mengambil
posisi aslinya. Ketika otot interkostalis eksternal relaksasi, iga kembali
turun karena gaya gravitasi. Tanpa gaya-gaya yang menyebabkan
ekspansi dinding dada dan paru, dinding dada dan paru mengalami
recoil ke ukuran prainspirasinya karena sifat elastic mereka. Tekanan
intra-alveolus meningkat karena jumlah molekul udara yang lebih
banyak yang semula terkandung di dalam volume paru yang besar
pada akhir inspirasi kini termampatkan dalam volume yang lebih kecil.
Pada ekspirasi biasa, tekanan intra-alveolus meningkat sekitar 1 mmHg
diatas tekanan atmosfer menjadi 761 mmHg dan meninggalkan paru
menuruni gradient tekanannya. Aliran keluar udara berhenti ketika
tekanan intra-alveolus menjadi sama dengan tekanan atmosfer dan
gradient tidak ada lagi.

Ekspirasi Paksa: Kontraksi Otot Respirasi


Ekspirasi dapat menjadi aktif untuk mengosongkan paru secara
lebih tuntas dan lebih cepat daripada yang dicapai selama pernapasan
tenang, misalnya sewaktu pernapasan dalam ketika berolahraga. Untuk
mengeluarkan lebih banyak udara, tekanan intra-alveolus harus lebih
ditingkatkan di atas tekanan atmosfer daripada yang dicapai oleh
relaksasi biasa otot inspirasi dan recoil elastic paru. Untuk
menghasilkan ekspirasi paksa atau aktif, otot-otot ekspirasi harus lebih
berkontraksi untuk mengurangi volume rongga toraks dan paru. Otot
ekspirasi paling penting adalah otot dinding abdomen. Sewaktu otot
dinding abdomen berkontraksi terjadi peningkatan tekanan intra-
abdomen yang menimbulkan gaya ke atas ke dalam rongga toraks
daripada posisi lemasnya sehingga ukuran vertical rongga toraks
menjadi semakin kecil. Otot interkostalis internal berkontraksi,
menarik turun iga ke arah dalam, mendatarkan dinding dada dan
semakin mengurangi ukuran rongga toraks.
Sewaktu kontraksi aktif otot ekspirasi semakin mengurangi volume
rongga toraks, volume paru juga menjadi semakin berkurang karena
paru tidak harus teregang lebih banyak untuk mengisi rongga toraks
yang lebih kecil; yaitu, paru dibolehkan mengempis ke volume yang
lebih kecil. Perbedaan antara tekanan intra-alveolus dan atmosfer kini
menjadi lebih besar daripada ketika ekspirasi pasif sehingga lebih
banyak udara keluar menuruni gradient tekanan sebelum tercapai
keseimbangan. Dengan cara ini pengosongan paru menjadi lebih tuntas
dibandingkan dengan ekspirasi tenang pasif
Selama ekspirasi paksa, tekanan intraleura melebihi tekanan intra-
alveolus tetapi paru tidak kolaps. Karena tekanan intra-alveolus juga
meningkat setara, tetap terdapat gradient tekanan transmural
menembus dinding paru sehingga paru tetap teregang dan mengisi
rongga toraks. Sebagai contoh, jika tekanan didalam toraks meningkat
10 mmHg, tekanan intrapleura menjadi 766 mmHg dan tekanan intra-
alveolus menjadi 770 mmHg-tetap terdapat perbedaan tekanan 4
mmHg.

22
2. Mekanisme Pertahanan Pernapasan Atas
Mekanisme pertahanan saluran napas tidak hanya berkaitan dengan
infeksi (mikroorganisme) tetapi juga untuk melawan debu/pertikel, gas
berbahaya, serta suhu.
Tabel Pertahanan pada Saluran Pernapasan
Mekanisme Pertahanan
Cara Kerja
Fungsi Pernapasan
1. Penyaring Udara Bulu hidung menyaring partikel berukuran >10
μm sehingga partikel tersebut tidak dapat
mencapai alveolus.

Udara yang mengalir melalui nasofaring sangat


turbulen sehingga partikel yang lebih kecil (1-5
μm) akan terperangkap dalam sekresi
nasofaring.
2. Pembersihan Mukosiliaris Dibawah laring, escalator mukosiliaris akan
menjebak partikel-partikel debu yang terinhalasi
dan berukuran lebih kecil serta bakteri yang
melewati hidung; mucus akan terus menerus
membawa partikel dan bakteri tersebut kearah
atas sehingga bisa ditelan atau dibatukkan;
produksi mucus kira-kira 100 ml/hari.

Gerakan siliaris dihalangi oleh keadaan


dehidrasi, konsentrasi O2 yang lebih tinggi,
merokok, infeksi, obat anestesi, dan meminum
etil alcohol.
3. Refleks Batuk Refleks pertahanan bekerja membersihkan jalan
napas dengan menggunakan tekanan tinggi
udara yang mengalir dengan kecepatan tinggi;
yang akan membantu kerja pembersihan
mukosiliaris bila mekanisme ini kerja
berlebihan atau tidak efektif; di bawah tingkat
segmen pohon trakeabronchial, reflex batuk
menjadi tidak efektif; sehingga diperlukan kerja
mukosiliaris atau drainase postural.
4. Refleks Menelan dan Muntah Mencegah masuknya makanan atau cairan ke
saluran pernapasan.
5. Refleks Bronkokonstriksi Bronkokonstriksi merupakan respon untuk
mencegah iritan terinhalasi dalam jumlah besar,
seperti debu dan aerosol; beberapa penderita
asma memiliki jalan napas hipersensitif yang
akan berkontraksi setelah menghirup udara
dingin, parfum, atau bau menyengat.
6. Makrofag Alveolus Pertahanan utama pada tingkat alveolus (tidak
terdapat epitel siliaris); bakteri dan partikel-
partikel debu difagosit; kerja makrofag
dihambat oleh merokok, infeksi virus,
kortikosteroid dan beberapa penyakit kronik.
7. Ventilasi Kolateral Melalui pori-pori Kohn yang dibantu oleh napas

23
dalam; mencegah atelektasis.

Mekanisme pertahanan tubuh yang melindungi paru terdiri atas 4


mekanisme yang saling berinteraksi, yaitu:
1. Mekanisme yang berkaitan dengan faktor fisik, anatomik, dan
fisiologik
a. Deposisi partikel
Perjalanan udara pernapasan mulai dari hidung sampai ke
parenkim paru melalui struktur yang berbelok-belok sehingga
memungkinkan terjadinya proses deposisi partikel. Partikel
berukuran > 10 µm tertangkap di dalam rongga hidung, antara 5-10
µm tertangkap di dalam bronkus dan percabangannya, sedangkan
yang berukuran < 3 µm dapat masuk ke dalam alveoli.
Tertengkapnya partikel disebabkan karena partikel tersebut
menabrak dinding saluran pernapasan dan adanya kecenderungan
partikel untuk mengendap. Pada daerah yang mempunyai aliran
udara turbulen, partikel besar terlempar keluar dari jalur aslinya
sehingga menabrak dinding jalan napas dan menempel pada
mucus. Kecepatan aliran udara bronkiolus berkurang sehingga
partikel kecil yang masuk sampai ke alveoli dapat dipengaruhi oleh
gaya gravitasi dan sedimentasi sehingga partikel tersebut
mengendap. Partikel yang sangat kecil menabrak dinding karena
adanya gerak Brown.
b. Refleks batuk dan reflex tekak (Gag Reflex)
Berfungsi agar jalan napas tetap terbuka (patent) dengan cara
menyingkirkan hasil sekresi, selain itu juga untuk menghalau
benda asing (corpus alienum) yang akan masuk ke dalam system
pernapasan.
2. Mekanisme eskalasi mucus dan mucus blanket,
Eskalasi mukosiliar melibatkan peran silia dan mucus. Silia
terdapat pada dinding saluran pernapasan mulai dari laring sampai
bronkiolus terminalis. Semakin ke arah cephalad, jumlah silia akan
bertambah padat. Silia bergerak 14 kali per detik. Mukus yang lengkat
dan berbentuk gel yang mengapung di atas mucus yang lebih encer,
terdorong kea rah cephalad karena gerak silia. Partikel menempel pada
mucus sehingga partikel juga keluar bersama mucus.
Jumlah silia dan aktivitasnya dipengaruhi oleh asap rokok, toksin,
dan asidosis; ketiganya menurunkan jumlah silia dan aktivitasnya.
Gerak silia ditingkatkan oleh β-agonis, kecepatan mucociliary
clearance dipercepat oleh metilxantin, dan oleh bahan kolinergik.
Atropin menurunkan kecepatan mucociliary clearance.
3. Mekanisme fagositik dan inflamasi, dan
Partikel dan mikroorganisme yang terdeposisi akan difagosit oleh
sel yang bertugas mempertahankan system pernapasan. Sel sel tersebut
adalah sel makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage) dan sel
polimorfonuklear (PMN). Di dalam sitoplasma makrofag terdapat
bermacam-macam bentuk granula yang berisi berbagai enzim untuk
mencerna partikel dan mikroorganisme yang difagositosis. Makrofag
mampu mengeluarkan substansi antigenic

24
Sel PMN berperan ketika melawan mikroorganisme yang
menginfeksi paru terutama di distal paru. Dalam keadaan normal, ada
beberapa PMN di saluran pernapasan dan alveoli. Jika mikroorganisme
yang masuk tidak dapat diatasi oleh makrofag, mikroorganisme ini
akan berkembang biak di alveoli dan menyebabkan pneumonia dan
proses inflamasi. Berbagai macam komponen inflamasi yang
dikeluarkan oleh makrofag, seperti komplemen aktivatif dan faktor
kemotaktik, akan menarik PMN untuk datang dan segera
memfagositosis serta membunuh mikroorganisme.
Jika makrofag terpajan partikel atau mikroorganisme, materi asing
dari partikel atau mikroorganisme tersebut akan menempel pada
dinding makrofag (yang berupa membran). Membran ini akan
melakukan invaginasi dan membentuk cekungan untuk menelan benda
asing. Pada beberapa keadaan terdapat opsonin (protein) yang terlebih
dahulu membungkus benda asing sebelum menempel pada sel yang
memfagositosis benda asing ini. Opsonin menyebabkan benda asing
lebih adhesif terhadap makrofag. IgG merupakan salah satu bentuk
opsonin. Makrofag tidak selalu berhasil membunuh atau mengisolasi
benda asing, misalnya ketika memfagositosis partikel siliaka, makrofag
akan mati karena toksisitas substansi yang dikeluarkannya sendiri.
4. Mekanisme respon imun.
Ada dua macam komponen di dalam system imun, yaitu:
a. Mekanisme respon imun humoral yang melibatkan limfosit B
Mekanisme imun humoral di dalam system pernapasan tampak
dalam dua bentuk antibodi berupa IgA dan IgG. Antibodi ini
terutama IgA, penting sebagai pertahanan di nasofaring dan saluran
pernapasan bagian atas. Sedangkan IgG banyak ditemukan di
bagian distal paru. IgG berperan dalam menggumpalkan partikel,
menetralkan toksin, dan melisiskan bakteri gram negatif.
b. Mekanisme respon imun selular yang melibatkan limfosit T
Mekanisme imu selular diperankan oleh sel T (CD4+ dan
CD8+) Sensitisasi terhadap limfosit T menyebabkan limfosit T
menghasilkan berbagai mediator yang dapat larut yang disebut
limfokin, yaitu suatu zat yang dapat menarik dan mengaktifkan sel
pertahanan tubuh yang lain terutama makrofag. Limfosit T juga
dapat berinteraksi dengan system imun humoral dalam
memodifikasi produksi antibody. Peran system imun selular yang
sangat penting adalah untuk melindungi tubuh melawan bakteri
yang tumbuh secara intaselular, seperti kuman Mycobacterium
tuberculosis.
Mekanisme respons imun humoral memerlukan aktivitas limfosit B
dan antibody yang diproduksi oleh sel plasma. Mekanisme respon
imun selular memerlukan aktivitas limfosit T yang mampu
mengeluarkan limfokin. Limfosit T dan limfosit B mempunyai
ketergantungan satu sama lain ketika sedang bekerja. Ada limfosit
yang tidak dapat ditentukan jenisnya, digolongkan sebagai sel natural
killer (NK cell). Sel ini dapat membunuh baik mikroorganisme ataupun
sel tumor tanpa melalui sensitisasi terlebih dahulu. Sel NK distimulasi
oleh limfokin tertentu yang dihasilkan oleh limfosit T.

25
LO III. Memahami dan menjelaskan Rhenitis Alergi
1. Definisi Rhenitis Alergi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen
yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan
ulangan dengan alergen spesifik tersebut(Von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)
tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-
bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantarai oleh IgE.

2. Etiologi Rhenitis Alergi


Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan
predisposisi genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan
herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler,
1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa
dan ingestan pada anak- anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi
lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat
berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap
beberapa alergen.Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur,
binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk
terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang
tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan
faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa
berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya
asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan
perubahan cuaca.
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan,
misalnya debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan,
misalnya susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau
jaringan mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan.

26
3. Klasifikasi Rhenitis Alergi
Dahulu rhinitis alergik dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat
berlangsungnya, yaitu :
1. Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
Di Indonesia tidak dikenal rhinitis alergi musiman, hanya ada pada Negara
yang mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik yaitu tepung sari
(pollen) dan spora jamur. Oleh karena itu, nama yang tepat adalah polinosis
atau rino konjungtivitis karena gejala klinik yang tampak ialah gejala pada
hidung dan mata (mata merha, gatal disertai lakrimasi)
2. Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala pada penyakit ini timbul intermitten atau terus menerus, tanpa variasi
musim, jadi dapat ditemukan sepanjang tahun. Penyebab yang paling sering
ialah allergen inhalan terutama pada orang dewasa dan allergen ingestan.
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 :

Menurut klasifikasi tersebut, maka rinitis alergi berdasarkan lama gejala


dibagi menjadi:

1. Intermiten: gejala ≤4 hari per minggu atau lamanya ≤4 minggu


2. Persisten: gejala >4 hari per minggu dan lamanya >4 minggu

Sedangkan berdasarkan beratnya gejala, rinitis alergi dibagi menjadi: Ringan:

 Tidur normal
 Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai normal
 Bekerja dan sekolah normal
 Tidak ada keluhan yang mengganggu

Sedang atau berat: (satu atau lebih gejala)

 Tidur terganggu (tidak normal)


 Aktivitas sehari-hari, saat olahraga dan santai terganggu
 Gangguan saat bekerja dan sekolah
 Ada keluhan yang mengganggu

27
4. Epidemiologi Rhenitis Alergi
Dewasa ini rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global Penyakit
ini ditemukan di seluruh dunia dan diderita oleh sedikitnya 10 -25 % populasi
dan prevalensinya terus meningkat. Rinitis alergi lebih sering dijumpai pada
anak usia sekolah, dijumpai pada sekitar 15% anak usia 6-7 tahun dan 40%
pada usia 13-14 tahun. Sekitar 80% pasien rinitis alergi mulai timbul gejala
sebelum usia 20 tahun. Meskipun rinitis alergi lebih banyak muncul pada anak
yang lebih besar, namun pajanan alergen (sensitisasi) sudah terjadi sejak dini.
Seorang anak yang mempunyai salah satu gejala atopi (rinitis alergi,
asma, eksim) mempunyai risiko 3 kali lebih besar untuk menderita gejala atopi
yang berikutnya. Meskipun pada umumnya rinitis alergi bukan merupakan
penyakit berat, tapi dapat berdampak pada kehidupan sosial penderita dan
kinerja di sekolah serta produktivitas kerja. Disamping itu, biaya yang
ditimbulkan oleh rinitis cukup besar.
Meskipun prevalensinya cukup tinggi, rinitis alergi seringkali tidak
terdiagnosis dan tidak diterapi secara adekuat terutama pada populasi anak.
Penyebab tidak adekuatnya terapi meliputi ketidakmampuan anak untuk
menggambarkan secara verbal gejala yang dialami, anak tidak memahami
bahwa mereka memiliki gangguan, dan seringkali rinitis alergi dikelirukan
dengan infeksi saluran napas atas berulang.

28
5. Patofisiologi Rhenitis Alergi
Rhinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri
dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag


atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting

29
Cell/APC) akan menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa
hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide
dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide
MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian
dipresentasikan pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas
sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk
berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin
seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh
reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif
dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau
basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut
sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa
yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE
akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet
Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah
yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin
juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan
pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion
Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik
yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target.
Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan
penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil,
basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF)
dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator
inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP),
Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen),
iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok,
bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad)


dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
pembesaran ruang interseluler dan penebalan membran basal, serta ditemukan
infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa hidung.
Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan

30
serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan
hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar
terdiri dari:

1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut
menjadi respon tersier.

3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi
sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin
(delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak
dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi.

6. Manifestasi Klinis Rhenitis Alergi


1. Bersin-bersin: sebagai self cleaning process atau pelepasan histamin
2. Rinore encer dan banyak
3. Hidung tersumbat
4. Hidung dan mata gatal (Lakrimasi)

Pada pemeriksaan fisik ditemukan:


- Allergic Shiner : Bayangan gelap di bagian bawah daerah mata
biasanya pada anak yang disebabkan stasis vena sekunder
- Allergic Salute : anak menggosok hidung karena gatal dengan
punggung tangan dan
- Allergic Crease : menggosok hidung terlalu lama sehingga
menimbulkan garis di 1/3 dorsum nassi
- Facies adenoid : mulut sering terbuka hingga menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi
- Cobblestone Appearance : dinding posterior tampak granule dan edema
- Geographic Tongue : gambaran lidah seperti peta

31
7. Diagnosis Rhenitis Alergi
Anamnesis
Gejala rinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada
pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini
merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima
kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-
kadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah
keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak,hidung tersumbat, hidung dan
mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis alergi.
Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-
kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten,
mukosa inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah
terdapatnya bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis
vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner selain
dari itu sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung, karena gatal,
dengan punggungtangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute keadaan
menggosok ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang
di dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut sebagai allergic crease
mulut sering terbuka dengan lengjung langit-langit yang tinggi, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dindinglateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran
peta(geographic tongue).

Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.


Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radioimunosorbent test )
sering kali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien
lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita
asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi
kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga dengan
derajat alergi yang tinggi. Lebih bermakna adalah dengan RAST
(Radio Immuno Sorbent Test ) atau ELISA (Enzyme Linked ImmunoSorbent
Assay Test ). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan
diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya
eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika
basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri kekurangan RAST
adalah mahal dan tidak dapat detect antibodi sekaligus sehingga untuk

32
menghitung tingkat IgE dapat menggunakan MAST (Multiple Allergen
Stimulateous Test) dan CAP (Capsulated hydrophilic carrier polymer).

b. In vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point
Titration/SET). SET dilakukan untuk elergen inhalan dengan menyuntikkan
alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial
untuk desensitisasi dapat diketahui. Untuk alergi makanan, uji kulit seperti
tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan
dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test ”). Alergen ingestan
secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada
Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah
berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi,
jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

Pemeriksaan IgE total serum


Kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada
orang atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rhinitis
alergi. Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir (o-1 KU/L) sampai
pubertas dan menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun.
Pada orang dewasa kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar meningkat
hanya dijumpai pada 60% penderita rhinitis alergi dan 75% penderita asma.
Terdapat berbagai keadaan dimana kadar IgE meingkat yaitu infeksi parasit,
penyakit kulit (dermatitis kronik, penyakit pemfigoid bulosa) dan kadar
menurun pada imunodefisiensi serta multiple mielom. Kadar IgE dipengaruhi
juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus melampirkan nilai
batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat dipakai
sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan
diagnostic.
Pemeriksaan IgE spesifik serum (dengan metode RAST/
Radioallergosorbent test)
Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap
suatu allergen. Pemeriksaan ini cukup sensitive dan spesifik (>85%), akurat
dapat diulang dan bersifat kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya
korelasi yang baik antara IgE spesifik dengan tes kulit, gejala klinik, dan tes
provokasi hidung bila menggunakan allergen terstandarisasi. Hasil baru
bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik, seperti pada tes kulit. Cara
lain adalah modified RAST dengan sistem scoring.

Pemeriksaan lain
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan
diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk
mencari penyebab lain yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik :

33
1. Hitung jenis sel darah tepi
Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel
eosinofil darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderita rhinitis
alergi, tetapi kurang bermakna secara klinik
2. Pemeriksaan sitologi secret dan mukosa hidung
Bahan pemeriksaan diperoleh dari secret hidung secara langsung (usapan),
kerokan, bilasan, dan biopsy mukosa. Pengambilaan sediaan untuk
pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan
allergen atau saat bergejala berat dan biasanya hanya untuk keperluan
penelitian dan harus dikerjakan oleh tenaga terlatih
3. Tes provokasi hidung/ nasal challenge test (bila fasilitas tersedia)
Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil
pemeriksaan diagnostic primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum
tes ini lebih sulit untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan
pemeriksaan IgE spesifik. Tes provokasi menempatkan penderita pada situasi
beresiko untuk terjadinya reaksi anafilaksis
4. Tes fungsi mukosilier (menilai gerakan silia)
Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian
5. Pemeriksaan aliran udara hidung
Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometri
(anterior atau posterior) atau rinomanometri akustik misalnya pasca tes
provokasi hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.
6. Pemeriksaan radiologic
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT scan maupun MRI (bila fasilitas
tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi, tetapi
untuk menyingkirkan adanya kelainan patologik atau komplikasi rhinitis alergi
terutama bila respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto
polos dapat ditemukan penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis
akibat alergi), perselubungan homogeny serta gambaran batas udara cairan di
sinus maxilla.
7. Pemeriksaan lain yaitu : fungsi penghitungan dan pengukuran kadar
NO (nitric oxide).

8. Diagnosis Banding Rhenitis Alergi


1. Rhinitis vasomotor : suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa
adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal dan pajanan
obat.
2. Rhinitis medikamentosa : suatu kelainan hidung berupa gangguan
respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian
vasokonstriktor topikal dalam waktu lama dan berlebihan sehingga
menyebabkan sumbatan hidung yang menetap.
3. Rhinitis simpleks : penyakit yang diakibatkan oleh virus. Biasanya
adalah rhinovirus. Sangat menular dan gejala dapat timbul sebagai
akibat tidak adanya kekebalan atau menurunnya daya tahan tubuh
4. Rhinitis hipertrofi : hipertrofi concha karena proses inflamasi kronis
yang disebabkan oleh bakteri primer atau sekunder.

34
5. Rhinitis atrofi : infeksi hidung kronik yang ditandai adanya atrofi
progresif pada mukosa dan tulang chonca.

9. Tata Laksana Rhenitis Alergi


Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang
dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE
spesifik yang melekat pada reseptornya di permukaan sel tersebut. Tujuan
pengobatan rinitis alergi adalah

1. Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik


dan inflamasi.
2. Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas
sehari-hari.
3. Mengurangi efek samping pengobatan.
4. Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan
kewaspadaan terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah
gaya hidup seperti pola makanan yang bergizi, olahraga dan
menghindari stres.
5. Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.

Untuk mencapai tujuan pengobatan rhinitis alergi, dapat diberikan obat-


obatan sebagai berikut:

a. Anti histamine oral, antagonis H-1 (difenhidaramin, prometasin,


loratadin, setisirin, fexofenadin)
b. Agonis alfa adrenergic, sebagai dekongestan hidung oral dengan atau
tanpa kombinasi anti histamine
c. Kortikosteroid topikal, bila gejala sumbatan tidak dapat diobati dengan
obat lain (beklometason, budesonid, flunisolid, triamsinolon).
d. Sodium kromoglikat topikal, bekerja menstabilkan mastosit sehingga
pelepasan mediator kimia dihambat.
e. Antikolinergik topikal, mengatasi rhinorea karena inhibisi reseptor
kolinergik pada permukaan sel efektor (ipratropium bromida).
f. Anti leukotrine (zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan
merupakan obat-obatan baru untuk rhinitis alergi.

Jika tidak berhasil atau obat-obatan tadi menyebabkan efek samping yang
tidak bisa diterima, lakukan imunoterapi dengan terpi desensitasi.

35
Tatalaksana rhinitis alergi berdasarkan ARIA 2001

Tipe rhinitis Lini pertama Tambahan


alergi
Sedang- Antihistamin Dekongestan
Intermitten oral,antihistamin intranasal
intranasal
Sedang- Antihistamin Dekongestan
Intermitten atau oral,kortikosteroid intranasal dan
berat-intermitten intranasal, sodium kromolin
antihistamin
intranasal
Berat-Persisten Kortikosteroid Antihistamin
intranasal oral,antihistamin
intranasal,sodium
kromolin,ipratropium
bromida,antagonis
leukotriene
1. Antihistamin

Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis


alergi. Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan
antihistamin H1 golongan baru. Antihistamin H1 klasik seperti
Diphenhydramine, Tripolidine, Chlorpheniramine dan lain-lain.
Sedangkan antihistamine generasi baru seperti Terfenadine, Loratadine,
Desloratadine dan lain- lain.

Desloratadine memiliki efektifitas yang sama dengan montelukast


dalam mengurangi gejala rinitis yang disertai dengan asma.
Levocetirizine yang diberikan selama 6 bulan terbukti mengurangi
gejala rinitis alergi persisten dan meningkatkan kualitas hidup pasien
rinitis alergi dengan asma.

FARMAKODINAMIK

Efek umum antagonis H1 generasi pertama adalah sedasi tetapi


intensitas efek ini bervariasi diantara subgolongan kimiawi dan
diantara pasien. Antagonis H1 generasi kedua sedikit atau tidak
memiliki efek sedatif atau stimulan. Obat-obat ini jarang menimbulkan
efek autonom daripada antihistamin generasi pertama.

Beberapa antargonis H1 generasi pertama memiliki aktifitas


signifikan dalam mencegah mabuk perjalanan. Doksilamin dahulu
digunakan dalam mengobati mual dan muntah kehamilan.
difenhidramin memiliki efek penekan akut yang signifikan pada gejala
ekstrapiramidal yang berkaitan dengan obat antipsikotik tersebut.

Beberapa antagonis H1 generasi pertama adalah anestesi lokal


yang poten. Mereka menghambat saluran natrium di membran peka-

36
rangsang dengan cara serupa seperti yang dilakukan prokain dan
lidokain. Difenhidramin dan prometazin sebenarnya lebih poten
daripada prokain sebagai anestetik lokal. Mereka kadang digunakan
untuk menghasilkan anestesia lokal pada pasien yang alergi terhadap
obat anestetik lokal konvensional.

Beberapa antagonis H1 misalnya setirizin, menghambat


pelepasan histamin dan mediator peradangan lain dari sel mast.
Mekanismenya belum sepenuhnya diketahui tetapi mungkin berperan
dalam efek positif obat ini dalam pengobatan alergi misalnya rhinitis
alergi.

FARMAKOKINETIK

Antagonis H1 biasanya dibagi menjadi obat generasi pertama dan


generasi kedua. Keduanya ini dibedakan oleh efek sedatif yang relatif
kuat pada sebagian besar obat generasi pertama. Penghambat H1
generasi kedua kurang sedatif, sebagian karena distribusinya yang
lebih sedikit di susunan saraf pusat.
Obat-obat ini cepat diserap setelah pemberian oral, dengan
konsentrasi puncak darah terjadi dalam 1-2 jam. Mereka tersebar luas
di seluruh tubuh, dan obat generasi pertama cepat masuk ke susunan
saraf pusat. Sebagian dari mereka mengalami metabolisme ekstensif,
terutama oleh sistem mikrosom di hati.
Beberapa dari obat generasi kedua dimetabolisme oleh sistem
CYP3A4 dan karenanya dapat berinteraksi dengan obat lain (misalnya
ketokonazol) yang menghambat subtipe enzim P450 ini. Sebagian besar
obat memiliki masa kerja efektif 4-6 jam setelah satu dosis, tetapi
meklizin dan beberapa obat generasi kedua bekerja lebih lama, dengan
masa kerja 12-24 jam.

PENGGOLONGAN AH1

A) AH 1 Generasi 1

Contoh : Etanolamin, Etilenedamin, Piperazin, Alkilamin,


Derivat fenotiazin.

Keterangan : sedasi ringan hingga berat, antimietik dan komposisi


obat flu dan antimotion sickness.

B) AH 1 Generasi 2

Contoh : Feksofenadin, Loratadin, Desloratadin, Setirizin

Keterangan : efek samping sedatif lebih sedikit bahkan tidak ada


dibanding AH 1 generasi 1

EFEK SAMPING

37
Vertigo, tinitus, lelah, penat, inkoordinasi, insomnia, tremor, mulut
kering, disuria, palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat, lemah pada
tangan.

INTERAKSI OBAT
Aritmia ventrikel letal yang terjadi pada beberapa pasien yang
mendapat obat generasi kedua awal, terfenadin atau astemizol, dalam
kombinasi dengan ketokonazol, itrakonazol atau antibiotik makrolid
seperti eritromisin. Obat-obat antimikroba ini menghambat
metabolisme banyak obat oleh CYP3A4 dan menyebabkan peningkatan
signifikan konsentrasi antihistamin dalam darah. Karena interaksi yang
berbahaya tersebut maka terfenadin dan astemizol dikontraindikasikan
pemberiannya pada pasien yang mendapat ketokonazol, itrakonazol,
atau antibiotik golongan makrolid, dan juga pada pasien dengan
penyakit hati

2. Dekongestan hidung

Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokontriksi karena


adanya efek pada reseptor 𝛼adrenergik. Efek vasokontriksi terjadi
dalam 10 menit, berlangsung selama 1 sampai 12 jam.

Pemakaian topikal sangat efektif untuk keluhan bersin dan rinore.


Pemakaiannya terbas selama 10 hari. Kombinasi antihistamin dan
dekongestan oral dimaksud untuk mengatasi obstruksi hidung yang
tidak dipengaruhi oleh antihistamin.

a. Dekongestan Nasal

FARMAKODINAMIK
Golongan simpatomimetik, beraksi pada reseptor adrenergik
pada mukosa hidung untuk menyebabkan vasokonstriksi,
menciutkan mukosa yang membengkak, dan memperbaiki
pernafasan

FARMAKOKINETIK
Penggunaan dekongestan topikal tidak menyebabkan atau
sedikit sekali menyebabkan absorpsi sistemik

EFEK SAMPING
Penggunaan agen topikal yang lama (lebih dari 3-5 hari) dapat
menyebabkan rhinitis medikamentosa, di mana hidung kembali
tersumbat akibat vasodilatasi perifer maka batasi penggunaan
Contoh Obat : nafazolin, tetrahidrozolin, oksimetazolin dan
xilometazolin

Obat dekongestan topical dan durasi aksinya :


Obat Durasi Aksi
Aksi Pendek Sampai 4 jam

38
Fenilefrin HCl
Aksi Sedang 4-6 jam
Nafazolin HCl
Tetrahidrozolin HCl
Aksi Panjang Sampai 12 jam
Oksimetazolin HCl
Xylometazolin HCl

b. Dekongestan oral
Secara umum tidak dianjurkan karena efek klinis masih diragukan
dan punya banyak efek samping
Contoh obat: Efedrin, fenilpropanolamin dan fenilefrin
Indeks terapi sempit  resiko hipertensi
1) Efedrin

FARMAKOKINETIK
Alkaloid yang terdapat dalam tumbuhan efedra. Efektif pada
pemberian oral, masa kerja panjang, efek sentralnya kuat. Bekerja
pada reseptor alfa, beta 1 dan beta 2.

EFEKSAMPING
Efek kardiovaskular : tekanan sistolik dan diastolik meningkat,
tekanan nadi membesar. Terjadi peningkatan tekanan darah karena
vasokontriksi dan stimulasi jantung. Terjadi bronkorelaksasi yang
relatif lama.
Efek sentral : insomnia, sering terjadi pada pengobatan kronik
yang dapat diatasi dengan pemberian sedatif.

DOSIS
Dewasa : 60 mg/4-6 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 30 mg/4-6 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 15 mg/4-6 jam

2) Fenilpropanolamin

FARMAKODINAMIK
Dekongestan nasal yang efektif pada pemberian oral. Selain
menimbulkan konstriksi pembuluh darah mukosa hidung, juga
menimbulkan konstriksi pembuluh darah lain sehingga dapat
meningkatkan tekanan darah dan menimbulkan stimulasi jantung.
Efek farmakodinamiknya menyerupai efedrin tapi kurang
menimbulkan efek SSP.

KONTRAINDIKASI
Harus digunakan sangat hati-hati pada pasien hipertensi dan pada
pria dengan hipertrofi prostat. Obat ini jika digunakan dalam dosis
besar (>75 mg/hari) pada orang yang obesitas akan meningkatkan
kejadian stroke, sehingga hanya boleh digunakan dalam dosis
maksimal 75 mg/hari sebagai dekongestan.

39
INTERAKSI OBAT
Kombinasi obat ini dengan penghambat MAO adalah kontra
indikasi.

DOSIS
Dewasa : 25 mg/4 jam
Anak-anak 6-12 tahun : 12,5 mg/4 jam
Anak-anak 2-5 tahun : 6,25 mg/4 jam

3) Fenilefrin
Fenilefrin adalah agonis selektif reseptor alfa 1 dan hanya sedikit
mempengaruhi reseptor beta. Hanya sedikit mempengaruhi jantung
secara langsung dan tidak merelaksasi bronkus. Menyebabkan
konstriksi pembuluh darah kulit dan daerah splanknikus sehingga
menaikkan tekanan darah.

3. Kortikosteroid / Intranassal corticosteroids (INCS)

Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai


depo steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif
sedikit dan tidak ada pelelitian komparatif mengenai cara mana yang
lebih baik dan hubungannya dengan dose response. Kortikosteroid oral
sangat efektif dalam mengurangi gejala rhinitis alergi terutama dalam
episode akut. Efek samping sistemik dari pemakaian jangka panjang
kortikosteroid sistemik baik peroral atau parenteral dapat berupa
osteoporosis, hipertensi, memperberat diabetes, supresi dari
hypothalamic-pituitary-adrenal axis, obesitas, katarak, glukoma,
cutaneous striae. Efek samping lain yang jarang terjadi diantaraya
sindrom Churg-Strauss. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan
pengawasan diberikan pada kasus asma yang disertai tuberkulosis,
infeksi parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus.

Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rhinitis alergi


seperti Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate
fluticasone dan Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena
mempunyai mengurangi inflamasi dengan memblok pelepasan
mediator, menekan kemotaksis neutrophil, mengurangi edema
intrasel, menyebabkan vasokonstriksi ringan, menghambat reaksi fase
lambat yang diperantarai oleh sel mast. pada reseptornya, serta
memiliki efek samping sitemik yang lebih kecil. Tapi pemakaian
dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan mukosa hidung
menjadi atropi dan dapat memicu tumbuhnya jamur.

4. Antikolinergik

Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi


kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor

40
muskarinik sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan
vasodilatasi.

Ipratropium bromida, yang merupakan turunan atropin secara topikal


dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin

5. Natrium kromolin

Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja


belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat
penglepasan mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek
terhadap saluran ion kalsium dan klorida.

EFEK SAMPING

Iritasi lokal (bersin dan rasa perih pada membran mukosa hidung)

DOSIS

Anak diatas 6 tahun : 1 semprotan pada setiap lubang hidung 3 – 4


kali sehari pada interval yang teratur.

6. Imunoterapi

Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya


penghindaran alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi
gejala klinis rinitis alergi. Terdapat beberapa cara pemberian
imunoterapi seperti injeksi subkutan, pernasal, sub lingual, oral dan
lokal.

Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen standar


selama 3 tahun, terbukti memiliki efek preventif pada anak penderita
asma yang disertai seasonal rhinoconjunctivitis mencapai 7 tahun
setelah imunoterapi dihentikan.

41
10. Komplikas Rhenitis Alergi
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip
hidung. Polip hidung biasanya tumbuh di meatus medius dan merupakan
manifestasi utama akibat proses inflamasi kronis yang menimbulkan sumbatan
sekitar ostiasinus di meatus medius. Polip memiliki tanda patognomonis :
inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa
banyaknya (lebih-lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel,
hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. Ditemukan juga mRNA untuk
GM-CSF, TNF-alfa, IL-4 dan IL-5 yang berperan meningkatkan reaksi
alergis.
2. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak

42
3. Sinusitis paranasal
Merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal. Terjadi
akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa. Edema mukosa
ostia menyebabkan sumbatan ostia. Penyumbatan tersebut akan menyebabkan
penimbunan mukus sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara
rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob. Selain dari itu, proses alergi akan menyebabkan rusaknya
fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator-
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat
sinusitisakan semakin parah. Pengobatan komplikasi rinits alergi harus
ditujukan untuk menghilangkan obstruksi ostia sinus dan tuba eustachius, serta
menetralisasi atau menghentikan reaksi humoral maupun seluler yang terjadi
lebih meningkat. Untuk tujuan ini maka pengobatan rasionalnya adalah
pemberian antihistamin, dekongestan, antiinflamasi, antibiotia adekuat,
imunoterapi dan bila perlu operatif.

11. Pencegahan Rhenitis Alergi


Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap,
yaitu:
a. Pencegahan primer
Untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen.
Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko
atopi. Pada ibu hamil diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan
kacang) mulai trimester 3 dan selama menyusui, dan bayi mendapat ASI
eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan dilakukan untuk
mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.

b. Pencegahan sekunder
Untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan
pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal
berupaalergi makanan dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan
penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan dan makanan yang dapat
diketahui dengan uji kulit. Debu tungau adalah salah satu penyebab
terbesar alergi. Mereka adalah serangga mikroskopis yang berkembang
biak dalam debu rumah tangga.

Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk membatasi jumlah
tungau di rumah:
1) Pertimbangkan membeli udara-permeabel kasur dan selimut penutup
oklusif ( jenis tempat tidur bertindak sebagai penghalang terhadap
tungau debu dan kotoran mereka).
2) Pilih kayu atau penutup lantai vinyl, bukan karpet.
3) Bersihkan bantai, mainan, tirai dan furnitur berlapis secara teratur, baik
dengan menghilangkan debu.
4) Gunakan bantal sintetis dan selimut akrilik bukannya selimut wol atau
selimut bulu.
5) Gunakan vacuum cleaner dilengkapi dengan filter udara partikulat
efisiensi tinggi (HEPA) karena dapat mengeluarkan debu lebih dari
penyedot debu biasa.

43
6) Gunakan kain bersih basah untuk menyeka permukaan karena debu
kering dapat menyebarkan alergen lanjut.
7) Menjaga pintu dan jendela tertutup selama pertengahan pagi dan sore
hari, ketika ada sebagian serbuk sari di udara
8) Mandi, mencuci rambut dan mengganti pakaian setelah berada di luar
c. Pencegahan tersier
Untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi dengan
penghindaran alergen dan pengobatan.

12. Prognosis Rhenitis Alergi


Secara umum, pasien dengan rhinitis alergi tanpa komplikasi yang
respon dengan pengobatan memiliki prognnosis baik. Pada pasien yang
diketahui alergi terhadap serbuk sari, maka kemungkinan rhinitis pasien ini
dapat terjadi musiman. Prognosis sulit diprediksi pada anak-anak dengan
penyakit sinusitis dan telinga yang berulang.
Prognosis yang terjadi dapat dipengaruhi banyak faktor termasuk status
kekebalan tubuh maupun anomali anatomi. Perjalanan penyakit rhinitis alergi
dapat bertambah berat pada usia dewasa muda dan tetap bertahan hingga
dekade lima dan enam. Setelah masa tersebut, gejala klinik akan jarang
ditemukan karena menurunnya sistem kekebalan tubuh.

LO IV. Memahami dan menjelaskan Pandangan Islam dalam menjaga


pernapasan

ADAB-ADAB MENGUAP

1. Apabila seseorang akan menguap, maka hendaknya menahan semampunya dengan


jalan menahan mulutnya serta mempertahankannya agar jangan sampai terbuka, hal
ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ُ‫ب أَ َحدُ ُك ْم فَ ْل َي ُردَّه‬


َ ‫ان فَإِذَا تَثَا َء‬
ِ ‫ط‬َ ‫ش ْي‬
َّ ‫ع التَّثَاؤُبُ فَإِنَّ َما ه َُو ِمنَ ال‬ َ َ ‫ َما ا ْست‬.
َ ‫طا‬

“Kuapan (menguap) itu datangnya dari syaitan. Jika salah seorang di antara kalian ada
yang menguap, maka hendaklah ia menahan semampunya” [HR. Al-Bukhari no. 6226
dan Muslim no. 2944. Lafazh ini berdasarkan riwayat al-Bukhari]

Apabila tidak mampu menahan, maka tutuplah mulut dengan meletakkan tangannya
pada mulutnya, hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

َ ‫ش ْي‬
‫طانَ يَدْ ُخ ُل‬ ْ ‫ب أ َ َحد ُ ُك ْم فَ ْليُ ْمس‬
َّ ‫ِك بِيَ ِد ِه َع َلى فِ ْي ِه فَإ ِ َّن ال‬ َ ‫إِذَا تَثَا َء‬

“Apabila salah seorang di antara kalian menguap maka hendaklah menutup mulut
dengan tangannya karena syaitan akan masuk (ke dalam mulut yang terbuka).” [HR.
Muslim no. 2995 (57) dan Abu Dawud no. 5026]

2. Tidak disyari’atkan untuk meminta perlindungan dari syaitan kepada Allah ketika
menguap, karena hal tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, tidak pula dari para Sahabatnya.

44
ADAB-ADAB BERSIN

1. Hendaknya orang yang bersin untuk merendahkan suaranya dan tidak secara
sengaja mengeraskan suara bersinnya. Hal tersebut berdasarkan hadits dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu:

َّ ‫س َغ‬
‫طى َوجْ َههُ ِب َيد‬ َ ‫سلَّ َم َكانَ ِإذَا َع‬
َ ‫ط‬ َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َّ ‫ص ْوتَهُِِأ َ َّن النَّ ِب‬
َ ‫ي‬ َّ ‫ ِه أَ ْو ِبث َ ْو ِب ِه َوغ‬.
َ ‫َض ِب َها‬

“Bahwasanya apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau Shallallahu


‘alaihi wa sallam menutup wajah dengan tangan atau kainnya sambil merendahkan
suaranya.” [HR. Ahmad II/439, al-Hakim IV/264, Abu Dawud no. 5029, at-Tirmidzi
no. 2746. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/355 no. 2205]

2. Hendaknya bagi orang yang bersin menahan diri untuk tidak menolehkan leher
(menekukkan leher) ke kanan atau ke kiri ketika sedang bersin karena hal tersebut
dapat membahayakannya. Seandainya lehernya menoleh (menekuk ke kanan atau ke
kiri) itu dimaksudkan untuk menjaga agar tidak mengenai teman duduk di
sampingnya, hal itu tidak menjamin bahwa lehernya tidak cedera. Telah terjadi pada
beberapa orang ketika bersin memalingkan wajahnya dengan tujuan untuk menjaga
agar teman duduknya tidak terkena, namun berakibat kepalanya kaku dalam posisi
menoleh.

3. Dianjurkan kepada orang yang bersin untuk mengucapkan alhamdulillaah sesudah


ia selesai bersin. Dan tidak disyari’atkan kepada orang-orang yang ada di sekitarnya
untuk serta merta mengucapkan pujian kepada Allah (menjawabnya) ketika
mendengar orang yang bersin. Telah ada ungkapan pujian yang disyari’atkan bagi
orang yang bersin sebagaimana yang tertuang dalam sunnah Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam yaitu:

ِ‫ا َ ْل َح ْمدُ ِلل‬.

“Segala puji bagi Allah” [HR. Al-Bukhari no. 6223, at-Tirmidzi no. 2747]

َ‫ب ْالعَالَ ِميْن‬


ِ ِّ ‫اَ ْل َح ْمدُ ِللِ َر‬.

“Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” [HR. Al-Bukhari di dalam al-
Adaabul Mufrad no. 394, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 224, Ibnu
Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no.259. Lihat Shahihul Jami’ no. 686]

‫اَ ْل َح ْمدُ ِللِ َعلَى ُك ِِّل َحال‬.

“Segala puji bagi Allah atas segala hal” [HR. Ahmad I/120,122, at-Tirmidzi no. 2738,
ad-Darimi II/283, al-Hakim IV/66. Lihat Shahih at-Tirmidzi II/354 no. 2202]

‫اركا ً فِ ْي ِه َك َما ي ُِحبُّ َربُّنَا َو ي‬ َ ‫ضى َِا َ ْل َح ْمدُ ِللِ َح ْمدًا َكث ِِِي ًْرا‬
َ َ‫ط ِيِّبا ً ُمب‬ َ ‫ر‬.
ْ

45
“Segala puji bagi Allah (aku memuji-Nya) dengan pujian yang banyak, yang baik dan
penuh ke-berkahan sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Rabb kami.” [HR.
Abu Dawud no. 773, al-Hakim III/232. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud I/147 no.
700]

4. Wajib bagi setiap orang yang mendengar orang bersin (dan mengucapkan
alhamdulillah) untuk melakukan tasymit kepadanya, yaitu dengan mengucapkan,

ُ‫يَ ْر َح ُمكَ هللا‬

“Semoga Allah memberikan rahmat kepadamu.”

Apabila tidak mendengarnya mengucapkan al-hamdulillah, maka janganlah


mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallah) baginya, dan tidak perlu
mengingatkannya untuk mengucapkan hamdallah (ucapan alhamdulillaah).[1]

5.Bila ada orang kafir bersin lalu dia memuji Allah, boleh berkata kepadanya:

‫ص ِل ُح بَالَ ُك ْم‬
ْ ُ‫يَ ْه ِد ْي ُك ُم هللاُ َوي‬.

“Semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan memperbaiki keadaan kalian.”

Hal ini berdasarkan hadits Abu Musa al-‘Asy’ari Radhiyallahu anhu, ia berkata:

ُ‫ َي ْه ِد ْي ُك ُم هللا‬:ُ‫ فَ َيقُ ْول‬،ُ‫سلَّ َم َي ْر ُج ْونَ أَ ْن َيقُ ْو َل لَ ُه ْم َي ْر َح ُم ُك ُم هللا‬ َ ُ‫صلَّى هللا‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ُ ‫س ْونَ ِع ْندَ َر‬
َ ‫س ْو ِل هللا‬ َ ‫َكانَ ْال َي ُه ْود ُ َيت َ َعا‬
ُ ‫ط‬
‫ص ِل ُح باَلَ ُك ْم‬
ْ ُ‫وي‬.َ

“Orang-orang Yahudi berpura-pura bersin di ha-dapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi


wa sallam, mereka berharap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sudi mengatakan
kepada mereka yarhamukumullah (semoga Allah memberikan rahmat bagi kalian),
namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mengucapkan yahdikumullaah
wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberikan pada kalian petunjuk dan
memperbaiki keadaanmu).” [HR. Ahmad IV/400, al-Bukhari dalam al-Adaabul
Mufrad II/392 no. 940, Abu Dawud no. 5058, an-Nasa-i dalam ‘Amalul Yaum wal
Lailah no. 232, at-Tirmidzi no. 2739, al-Hakim IV/268. Lihat Shahih Sunan at-
Tirmidzi II/354 no. 2201]

6. Apabila orang yang bersin itu menambah jumlah bersinnya lebih dari tiga kali,
maka tidak perlu dijawab dengan ucapan yarhamukallah. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ُ ‫س أ َ َحد ُ ُك ْم فَ ْليُش ِ َِّمتْهُ َج ِل ْي‬


‫ َو ِإ ْن زَ ادَ َعلَى ثَالَث فَ ُه َو َمز‬،ُ‫سه‬ َ ‫ث َم َّراتِْ ِإذَا َع‬
َ ‫ط‬ ِ َ‫ت َب ْعدَ ثَال‬
ْ ‫ ُك ْو ٌم َوالَ تُش ِ َِّم‬.

“Apabila salah seorang di antara kalian bersin, maka bagi yang duduk di dekatnya
(setelah mendengarkan ucapan alhamdulillaah) menjawabnya dengan ucapan
yarhamukallah, apabila dia bersin lebih dari tiga kali berarti ia sedang terkena flu dan
jangan engkau beri jawaban yarhamukallah setelah tiga kali bersin.” [HR. Abu
Dawud no. 5035 dan Ibnu Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 251. Lihat
Shahiihul Jami’ no. 684]

46
Dan jangan mendo’akan orang yang bersin lebih dari tiga kali serta jangan pula
mengucapkan kepadanya do’a:

َ‫شفَاكَ هللاُ َو َعافَاك‬


َ .

“Semoga Allah memberikan kesembuhan dan menjagamu.”

Karena seandainya hal tersebut disyari’atkan maka tentulah Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam telah mencontohkannya.

7. Apabila ada orang yang bersin sedangkan imam sedang berkhutbah (Jum’at), maka
ia harus mengucapkan alhamdulillah (dengan merendahkan suara) dan tidak wajib
untuk dijawab yarhamu-kallah karena diam dikala khutbah Jum’at adalah wajib
hukumnya.

8. Barangsiapa yang bersin sedangkan ia dalam keadaan tidak dibolehkan untuk


berdzikir (memuji Allah), misalnya sedang berada di WC, apabila ia khilaf
menyebutkan alhamdulillah, maka tidak wajib bagi kita yang mendengarkannya untuk
menjawab yarhamukallah. Hal ini karena berdzikir di WC terlarang. [Lihat kitab
Adaabut Tatsaa-ub wal ‘Uthas oleh ar-Rumaih]

[1]. Berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ُ‫ فَش َِِّمت ُ ْوهُ ِفإ ِ ْن لَ ْم َيحْ َم ِد هللاَ فَالَ ت ُش َِِّمت ُ ْوه‬:َ‫س أ َ َحد ُ ُك ْم فَ َح ِمدَ هللا‬ َ ‫ ِإذَا َع‬.
َ ‫ط‬

“Jika salah seorang dari kalian bersin lalu mengucapkan alhamdulillah, maka
hendaklah kalian mengucapkan tasymit (ucapan yarhamukallah) baginya, namun jika
tidak, maka janganlah mengucapkan tasymit baginya.” [HR. Muslim no. 2992]

Anjuran minum perlahan dengan 3 kali nafas

Anas bin Malik radhiallahu’anhu menceritakan,

ُ ‫ ) إنه أَروى وأبرأ ُ وأَمرأ‬: ‫ ويقول‬، ‫ب ثالثًا‬ ُ َّ‫) كان رسو ُل هللاِ صلَّى هللاُ عليه وسلَّ َم يتنف‬
ِ ‫س في الشرا‬

“biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bernafas tiga kali ketika minum.


Dan beliau bersabda: ‘Sesungguhnya dengan begini haus lebih hilang, lebih lepas dan
lebih enak‘” (HR. Al Bukhari 5631, Muslim 2028, dan ini adalah lafadz Muslim).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “ini adalah dalil dianjurkannya bernafas 3 kali
ketika minum” (Majmu’ Al Fatawa, 32/208). Maka jelaslah bahwa hal ini hukumnya
sunnah, tidak sampai wajib. Karena hukum asal dari perbuatan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam adalah sunnah.

Namun perlu dicatat, bahwa bernafas yang dimaksud di sini bukanlah bernafas atau
mengeluarkan nafas di dalam gelas atau tempat minum. Namun yang dimaksud

47
adalah di luar gelas. Karena dalam hadits lain Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
bersabda:

‫اإلناء‬
ِ ُ َّ‫ب أحد ُكم فال يَتَنَف‬
‫س في‬ َ ‫إذا ش َِر‬

“jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana
(tempat minum)” (HR. Al Bukhari 153, Muslim 267).

Jadi caranya: meneguk air, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk
lagi, lalu berhenti dan keluarkan nafas di luar gelas, lalu teguk lagi, lalu berhenti dan
keluarkan nafas di luar gelas, selesai.

Hukum minum dengan satu nafas

Lalu bagaimana dengan minum satu kali nafas atau sekali teguk? Terdapat hadits dari
sahabat Abu Sa’id Al Khudry radhiallahu’anhu, ia berkata:

‫ فقال رجل‬،‫ ان النبي صلى هللا عليه وسلم نهى عن النفخ في الشراب‬: ‫ ”أهرقها” القذاة أراها في اإلناء؟‬:‫فقاله‬
:‫ ”فأبن القدح إذا ً عن فيك” إني ال أروى من نفس واحد؟ قال‬:‫قال‬

Bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang bernafas di dalam tempat


minum. Maka ada seorang yang bertanya: “(Wahai Rasulullah,) terkadang (kalau saya
minum) ada gelembung udara yang keluar di bejana (tempat minum)”. Rasulullah
bersabda: “keluarkan itu!”. Lalu lelaki tadi berkata: “(Wahai Rasulullah,) haus saya
tidak hilang dengan sekali teguk saja”. Rasulullah bersabda: “kalau begitu minumlah
beberapa teguk lalu ambil nafas!” (HR. At Tirmidzi 764, dishahihkan Al Albani
dalam Silsilah Ash Shahihah 385).

Hadits ini menunjukkan bolehnya minum dengan cara menenggak beberapa teguk
lalu baru bernafas, atau beberapa tenggak sampai habis, baru bernafas. Syaikh Al
Albani rahimahullah ketika menjelaskan hadits ini beliau mengatakan: “ini
menunjukkan bolehnya minum dengan sekali nafas. Karena Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam tidak mengingkari seorang lelaki yang mengatakan: ‘haus saya tidak hilang
dengan sekali teguk saja’. Andai minum dengan sekali nafas itu terlarang, maka
ketika itu Rasulullah akan menjelaskan larangannya. Beliau akan berkata semisal:
‘Memangnya boleh minum dengan sekali nafas?'”.

Di tempat lain, Syaikh Al Albani juga menukil perkataan Ibnu Hajar Al Asqalani:
“Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath: Imam Malik membolehkannya minum dengan
sekali nafas berdalil dengan hadits ini. Bolehnya hal ini juga diriwayatkan dari Ibnu
Abi Syaibah dari Sa’id bin Musayyab dan sekelompok tabi’in lainnya. Lalu Umar bin
Abdul Aziz juga mengatakan: yang dilarang adalah bernafas di dalam bejana, adapun
orang yang tidak bernafas di dalam bejana boleh saja minum dengan sekali nafas jika
ia mau” (Silsilah Ash Shahihah, 1/670-671, dinukil dari Ikhtiyarat Imam Al Albani
478).

ِِAdapun hadits yang menganjurkan minum dengan sekali nafas, haditsnya tidak
shahih.

‫واحد‬ َ َ‫ب أ َ َحد ُ ُكم فَلي‬


ِ ‫شرب فِي نَفَس‬ َ ‫إِذا ش َِر‬

48
“jika salah seorang dari kalian minum maka minumlah dengan sekali nafas”

Ibnul Jauzi rahimahullah mengatakan: “hadits ini tidak shahih dari Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena Yahya bin Said tidak meriwayatkan dari Aban
bin Yazid dan aku khawatir lafadznya maqlub, seharusnya ‘janganlah minum‘ namun
disebutkan ‘minumlah‘” (Al ‘Ilal Al Mutanahiah, 2/669).

Minum dengan bernafas lebih dari tiga kali

Minum dengan lebih dari tiga kali nafas tentu saja kembali kepada hukum asalnya,
yaitu mubah. Terlebih lagi dalam hadits larangan bernafas di dalam bejana
disebutkan:

‫ ث َّم ل َيع‬،‫ فلين ِّحِ اإلنا َء‬،َ‫ فإذا أرادَ أن يعود‬،‫اإلناء‬


ِ ْ َّ‫ فال يتنف‬،‫شرب أحد ُكم‬
‫س في‬ َ ‫د إن كانَ يريدُ ُِإذا‬

“jika salah seorang di antara kalian minum, janganlah bernafas di dalam bejana
(tempat minum). Jika ia ingin mengulang (tegukan) maka singkirkan dahulu bejana
(dari mulut untuk bernafas), kemudian teguk lagi jika ingin” (HR. Ibnu Majah 2784,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

Menunjukkan tidak ada batasan jumlah tegukan atau nafas ketika minum. Tentu saja
selama tidak sampai israf (berlebih-lebihan) dalam minum. Wallahu a’lam.

49
DAFTAR PUSTAKA

ARIA -World Health organisation initiative, allergic rhinitis and its impact on
asthma. J allergy clinical immunology : S147-S276.

Djojodibroto DR. 2017. Respirologi (Respiratory Medicine) Edisi 2.Jakarta: EGC. (p:
43 – 47).

Effy Huriyati, Al Hafiz. Diagnosis dan Penatalaksanaan yang Disertai Asma


Bronkial. Padang: Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas – RSUP Dr. M. Djamil Padang.

Gunawan SG, Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth. (2016). Farmakologi dan Terapi.


Edisi VI, Jakarta : Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI.

Ganong, WF, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 21th ed, ab. M. Djauhari
Widjajakusumah. Jakarta : EGC.

Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. 2008. Dalam: Buku AjarIlmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam.Jakarta:
Balai Penerbit FK UI; 128-134.

Kaplan AP,Cauwenberge PV. 2003. Allergic Rhinitis In: GLORIA Global Resource
Allegy Allergic Rhinitis and Allergic Conjunctivitis.Milwaukee US.

Purnama, Yulian. www.muslim.or.id

Raden, Inmar. 2013. Anatomi Kedokteran.

Sherwood L. 2014. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 8. Jakarta: EGC

Sofwan A. 2017. Apparatus Respiratorius/ Systema Respiratorium/ Sistem


Pernafasan. Jakarta: Bagian Anatomi FK Yarsi. (p: 1 – 22)

Yang-Gi Min. 2010. The Pathophysiology, Diagnosis and Treatment of Allergic


Rhenitis. Department of Otorhinolaryngology, Seoul National University
College of Medicine, Seoul, Korea

https://almanhaj.or.id/4010-adab-adab-menguap-dan-bersin.html

http://spesialis1.ika.fk.unair.ac.id/wp-content/uploads/2017/04/AI02_Rintis-
Alergi.pdf (ditelusuri pada 16 februari 2018 pukul 8.59 AM)

50

Anda mungkin juga menyukai