Anda di halaman 1dari 14

Mata Kuliah : Analisis Kebijakan Pangan dan Gizi Lanjut

Dosen : Prof. Dr. dr. Abdul Razak Thaha, M.Sc

Analisis Kebijakan Stunting

JUWITRIANI ALWI

K012 17 1 073

KONSENTRASI GIZI

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Gizi sangat mempengaruhi sumber daya manusia, baik buruknya gizi
seseorang akan berdampak pada kemampuan kognitif, kecerdasaan
seseorang serta produktivitas dari orang tersebut (Depkrs RI, 2014). Sama
halnya dengan masalah kesehatan, masalah gizi juga merupakan masalah
yang penyebabnya tergolong kompleks yang tidak dapat diselesaikan hanya
dengan pendekatan medis dan pelayanan kesehatan. Tetapi juga
diperlukannya kerjasama dengan sektor lain yang tentunya terkait
(Supariasa et al, 2012).
Masalah gizi dapat berupa kekurangan gizi atau kelebihan gizi, tetapi
permasalahan kekurangan gizi hingga saat ini masih menjadi fokus global
maupun nasional. Kekurangan gizi biasanya disebabkan dari proses kurang
asupan makanan yang tidak memenuhi kebutuhan normal. Tidak sampai
disitu, dampak dari kekurangan gizi adalah daya tangkap yang menurun,
memurunnya konsentrasi belajar, kurang aktifnya anak bergerak, daya tahan
tubuh melemah, serta pertumbuhan fisik yang tidak normal. Untuk itu
pentingnya pemenuhan gizi bagi anak usia balita (Oktari, 2015).
Usia balita merupakan masa dimana balita membutuhkan asupan zat
gizi yang cukup dalam jumlah serta kualitas yang cukup banyak guna
menyokong proses pertumbuhan serta perkembangannya (Welasasih &
Wirjatmadi, 2012). Apabila zat gizi tersebut tidak mampu atau tidak cukup
dalam menyokong proses pertumbuhan dan perkembangan maka akan
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spritual
tidak hanya itu masalah ini dapat pula berdampak tidak langsung pada
rendahnya kualitas sumber daya manusia (Khoeroh dan Indriyanti, 2017).
Saat ini, masalah stunting masih menjadi masalah yang tak kunjung
selesai meskipun telah banyak kebijakan yang telah dicanangkan untuk
mengatasinya. Berdasarkan data dari WHO ada tiga masalah gizi yang
masih tinggi untuk secara global yaitu stunting, wasted, dan obesitas. Dari
data tersebut stunting merupakan masalah yang paling mendominasi dengan
penderita sebanyak 155 juta anak, kemudian diikuti oleh wasted dengan
penderita sebanyak 52 juta anak dibawah 5 tahun, sedang penderita obesitas
sebanyak 41 juta orang. Dari sumber yang sama ditahun sama, diperkirakan
45% kematian anak-anak dibawah 5 tahun disebabkan kekurangan gizi
(WHO, 2017).
Di Indonesia tercatat sebagai peringkat ke-4 dengan prevalensi
stunting sebesar 36,4% setelah Timur Leste (50,2%), India (38,7%), Nepal
(37,4%) (WHO, 2016). Sedangkan di Indonesia tahun 2016 status gizi balita
0-23 bulan berdasarkan indeks tinggi badan per umur dengan kategori
sangat pendek adalah Nusa Tenggara Timur (13,3%) dan diikuti oleh
Kalimantan barat (12,5%), ditahun yang sama status gizi balita 0-23 bulan
berdasarkan indeks berat badan per umur dengan kategori gizi buruk Nusa
Tenggara Timur dan Kalimantan Barat mendudukki peringkat yang sama
dengan indeks tinggi badan per umur, dimana masing-masing prevalensi
adalah 6,9% dan 6,7% (Kemenkes RI, 2016).
Ada banyak faktor yang mempengaruhi kejadian stunting diantaranya
yaitu faktor sosial demografi (pendapatan dan pendidikan orang tua yang
rendah serta jumlah keluarga) (Musthaq et al, 2011) dan faktor ekonomi
yang secara tidak langsung mempengaruhi kejadian stunting (Pongou et al,
2006), selain itu juga genetik menjadi faktor tidak langsung, dimana orang
tua yang pendek akan melahirkan anak yang pendek pula (Zottarelli et al,
2007). untuk mengatasi masalah tersebut dikeluarkanlah kebijakan-
kebijakan guna mengurangi masalah stunting khusus di Indonesia. salah
satu kebijakan yaitu Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015.
Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015 adalah salah satu
kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatasi masalah stunting namun lebih
menekankan pada masalah pangan dan gizi, adapun tujuan yaitu (a)
menurunkan prevalensi gizi kurang anak balita menjadi 15,5%, (b)
menurunkan prevalensi pendek pada anak balita menjadi 32%, (c)
tercapainya konsumsi pangan dengan asuoan kalori 2.000 Kkal/orang/hari
(Bappenas, 2011).
B. Tujuan
Tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah sebagai suatu informasi
terkait kebijakan stunting.
C. Sistematika Penulisan
Makalah ini berjudul Analisis Kebijakan Stunting. Makalah ini terdiri
dari BAB I Pendahuluan yang terbagi lagi menjadi latar belakang, tujuan
penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II analisis situasi dan
kecenderungan yang terbagi lagi menjadi analisis dan kecenderungan
stunting dan rumusan atau pernyataan masalah stunting. BAB III kebijakan
terkait dan tujuan kebijakan serta pilihan kebijakan. BAB IV asumsi. BAB
V PENUTUP yang terbagi lagi menjadi Kesimpulan dan Serta Daftar
rujukan dari makalah ini.
BAB II
ANALISIS SITUASI DAN KECENDERUNGAN

A. Analisis situasi
Berdasarkan laporan GNR (2014) dari 117 negara, Indonesia
merupakan salah satu negara yang memiliki tiga masalah yang tinggi pada
balita yaitu stunting, wasting dan overweight. Prevalensi dari ketiga masalah
tersebut paling tinggi adalah stunting (37,2%). Stunting merupakan masalah
gizi yang disebabkan kekurangan gizi kronis yang berdampak pada
kurangnya tinggi anak balita untuk seusia atau biasa pula dikatakan suatu
kondisi dimana anak mengalami gagal tumbuh (TNPPK, 2017). Kekurangan
gizi yang dialami tidak dimulai ketika anak tersebut dilahirkan tetapi
dimulai pada masa sebelum kehamilan, pada saat kehamilan, dan setelah
dilahirkan (Putri dan Utami, 2015). Berdasarkan dari standar WHO, kondisi
stunting baru nampak apabila anak balita berusia 2 tahun yang ditandai
dengan tinggi badan anak tersebut memiliki nilai Z-score tinggi badan
menurut umur (TB/U) ≥-3 sampai dengan <-2SB (Rahmadi dkk, 2015).
Untuk itu perlu dilakukannya pemantau gizi pada ibu hamil.
Anak pada usia 0-2 tahun yang mengalami stunting maka akan tetap
pendek pada usia 4-6 tahun serta memiliki risiko 27 kali tetap pendek pada usia
pubertas, sedang anak yang tumbuh normal apada usia 0-2 tahun memiliki
risiko 14 kali untuk tumbuh pendek pada usia pra-pubrertas (Aryastami, 2015).
Dari segi sosial ekonomi, anak yang memiliki sosial ekonomi rendah sangat
rawan terhadap gizi dikarenakan mereka mengonsumsi energi dan protein lebih
rendah dibandingkan dengan anak dari keluarga berada (Khomsan, 2010).
Berdasarkan laporan SDGs (2017) secara global pada tahun 2000-
2015 masih tercatat sekitr 156 juta anak (23% dari keseluruhan anak)
menderita stunting, sedang dengan prevalensi tertinggi adalah di wilayah
Afrika (38%) dan diikuti dengan wilayah Asia Selatan dan Asia Timur
(33%) (SDGs, 2017). Di dunia, Indonesia tercatat sebagai peringkat ke-4
dengan prevalensi stunting sebesar 36,4% setelah Timur Leste (50,2%),
India (38,7%), Nepal (37,4%) (WHO, 2016). Sedangkan di Indonesia
prevalensi stunting tertinggi di tahun 2016 adalah Sulawesi Barat sebesar
39,7% sedang ditahun 2017 prevalensi stunting terbesar adalah Nusa
tenggara Timur sebesar 40,3%. Berdasarkan data PSG, prevalensi balita
stunting di Sulawesi Selatan berdasarkan Tinggi badan per umur ditahun
2016-2017 yaitu berturut 35,6% dan 34,9% (PSG, 2017).
Zat gizi yang diperlukan oleh tubuh mempunyai nilai penting seperti:
(a) memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan dan perkembangan; (b)
memperoleh energi untuk aktifitas sehari-hari (Kartasapoetra dan Marsetyo,
2012). Sedangkan Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah gizi adalah
sebagai berikut (Suhardjo, 2013):
1. Faktor pertanian; produksi pangan yang rendah dapat membatasi
usaha-usaha dalam perbaikan gizi. Sedang masalah yang dihadapi
dalam pertanian yaitu kekurangan pangan
2. Faktor ekonomi; faktor yang menjadi penyebab utama dalam masalah
gizi adalah kemiskinan, keadaan ekonomi yang kurang maka akan
berdampak pada kurangnya daya beli masyarakat.
3. Faktor fisiologi; faktor fisiologi dapat berupa kemampuan dalam
metabolisme zat gizi, ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi akan
berpengaruh pula pada gizi pada janin.
4. Faktor infeksi; faktor infeksi dapat mempengaruhi melalui
katabolisme jaringan, meskipun hanya infeksi ringan maka akan
mempengaruhi zat gizi.
Penyebab dari masalah stunting terbilang kompleks, seperti yang
dilaporkan oleh Riskesdas (2013) penyebab utamanya yaitu kemiskinan,
sosial dan budaya, peningkatan paparan terhadap penyakit infeksi,
kerawanan pangan dan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.
Berbagai kebijakan yang dicanangkan untuk mengatasi masalah
stunting yang tentunya didasarkan dari penyebab-penyebab stunting itu
sendiri. Salah satu kebijakan yang dicanangkan yaitu Rencana Aksi
Nasional Pangan Gizi 2011-2015.
Kebijakan ini lebih menitik beratkan pada perbaikan pangan guna
memperbaiki masalah gizi. Berdasarkan dari laporan BPS (2009) jumlah
penduduk sangat rawan pangan (asupan kalori <1.400 Kkal/orang/hari)
mencapai 14,47%. Rendahnya kemampuan rumah tangga untuk memenuhi
kebutuhan pangan akan berdampak pula terhadap konsumsi makanan yang
beragam bergizi-seimbang sehingga menjadi pencetus masalah kurang gizi
(BAPPENAS, 2011).
B. Rumusan atau pertanyaan masalah
Tingginya masalah stunting tentu menjadi masalah gizi kesehatan
masyarkat yang bahkan menjadi fokus global hingga saat ini. Untuk
mengatasi masalah ini, berbagai kebijakan telah dikeluarkan guna
mengatasinya. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan yaitu Rencana Aksi
Nasional Pangan dan Gizi 2011-2015, dengan menitikberatkan pada pangan
seperti meningkatkan ketersediaannya, peningkatan pemenuhannya,
peningkatan pengawasan mutu serta keamanan, peningkatan perilaku hidup
bersih dan sehat, serta penguatan kelembagaan pangan dan gizi.
BAB III
KEBIJAKAN TERKAIT
A. Tujuan kebijakan
1. Tujuan umum
Berdasarkan dari pendahuluan serta analisis situasi, tujuan
umum dari kebijakan ini adalah tidak lain sebagai panduan dalam
melaksanakan pembangunan pangan dan gizi dalam tataran nasional,
provinsi, maunpun kabupaten kota. Tentu saja, kebijakan ini
diharapkan diterapkan oleh institusi terkait seperti pemerintah,
organisasi non pemerintah, swasta masyarkat dan pelaku lain
2. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari kebijakan ini adalah
a. Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra-hamil, ibu
hamil, dan anak melalui peningkatan ketersediaan dan
jangkauan pelayanan kesehatan berkelanjutan di fokuskan pula
pada intervensi gizi efektif pada ibu pra-hamil, ibu hamil, dan
anak
b. Peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan terutama
pada keluarga rawan pangan dan miskin
c. Peningkatan pengawasan mutu dan keamanan pangan terutama
pada makanan jajanan yang memenuhi syarat dan produk
industri rumah tangga tersertifikasi
d. Peningkatan pemberdayaan masyarakat guna meningkatkan
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
e. Penguatan kelembagaan pangan dan gizi pada tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten atau kota yang mempunyai wewenang
dalam merumuskan kebijakan.
B. Pilihan kebijakan
1. Perbaikan gizi
Perbaikan gizi perlu dilakukan karena status gizi merupakan
tolak ukur yang mencerminkan status gizi pada masyarakat. Hingga
saat ini kondisi kesehatan dan gizi ibu, bayi dan anak balita telah
mengalami perbaikan yang ditandai dengan menurunnya kematian
ibu, kematian neonatal, kematian bayi dan kematian balita. Meskipun
prevalensi gizi kurang mengalami penurunan, tetapi ada beberapa
daerah yang memiliki angka prevalensi gizi kurang tergolong tinggi
dan masih perlu mendapatkan perhatian. Untuk itu diperlukannya lagi
kebijakan yang kongkrit dalam mengatasi masalah gizi.
2. Peningkatan ketersediaan dan aksesibilitas pangan
Ada dua aspeka yang memepengaruhi ketahanan pangan yang
harus terpenuhi sekaligus yaitu ketersedian pangan yang cukup dan
merata, yang kedua yaitu setiap penduduk memiliki akses berupa fisik
dan ekonomi (Dewan Ketahanan Pangan, 2006)
Tingkat konsumsi pangan masyarakat Indonesia secara rata-rata
mencapai tingkat asupan kalori minimum sebesar 2.000
kalori/kapita/hari. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin
mencukupi, tetapi tidak semua rumah tangga mampu dan memiliki
akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pagan.
Masalah akses pangan dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti
kemiskinan, kurangnya pekerjaan tetap, serta terbatasnya daya beli.
Sedangkan keterjangkauan pangan disebabkan oleh beberapa hal
seperti harga pangan, tingkat pendapatan atau daya beli, kestabilan
keamanan sosial, anomali iklim, bencana alam, lokasi dan topografi,
keberadaan sarana dan prasarana transportasi, kondisi jalan dan lain-
lain.
Fasilitas pasar umum, sarana penyimpanan dan pengolahan hasil
pertanian masih tergolong terbatas. Hal inilah yang menyulitkan
masyarakat dalam melakukan penyimpanan dan peolahan yang baik
sehingga berdampak pula dalam mutu pangan yang kurang baik.
3. Mutu dan keamanan pangan
Keamanan pangan sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan
perilaku personil dalam menanganinya, sehingga secara tidak
langsung keamanan pangan dapat mempengaruhi kesehatan
masyarakat. Selain itu juga, mutu dan keamanan dari suatu pangan
dapat dari penambahan zat kimia yang tidak diperlukan seperti
pemanis, pengawet, formalin, boraks, pewarna bukan makanan serta
cemaran mikroba. Penyalahgunaan dari bahan-bahan kimia tersebut
dapat menyebabkan masalah kesehatan apabila terpapar dalam waktu
lama serta frekuensi sering sehingga menyebabkan masalah seperti
kanker. Adapun kebijakan yang dilakukan dalam mengatasi masalah
terkait mutu dan keamanan pangan seperti pengawasan keamanan
pangan jajanan anak sekolah, pemantauana konsumsi garam
beryodium. Untuk itu perlu dilakukan pengawasan ketat mengenai
mutu dan keamanan pangan karena dapat menyebabkan masalah
kesehatan masyarakat.
4. Perilaku hidup bersih dan sehat
Perilaku hidup bersih dan sehat merupakan semua perilaku
kesehatan yang dilakukan atas kesadaran setiap individu ataupun
kelompok (Cahyani, 2017). Hubungan stunting dengan PHBS yaitu
salah satu indikator dari PHBS yaitu pemberian ASI Eksklusif.
Pemberian ASI ekslusif yang tidak sesuai dengan apa yang ditetapkan
sebelumnya maka akan berdampaka pada gizi dari anak balita itu
sendiri. Pemenuhan gizi anak balita melalui ASI akan mempengaruhi
proses pertumbuhan serta perkembangan anak. Untuk itu perlu
diperlukannya kebijakan khusus dalam menangani masalah ini.
Pengetahua yang kurang serta persepsi yang salah mengenai payudara
dan menyusui serta pemahaman tentang pentingnya dan fungsi ibu
serta pemanfaatan ASI (Chalid dkk, 2014).
5. Kelembagaan pangan dan gizi
Dalam kelembagaan dan gizi diperlukan kerjasama antar sektor
seperti sektor pertanian selain itu juga dilakukan pembagian
tanggungjawab, dimana sektor pertanian bertanggungjawab dalam
produksi pangan. Selain sektor pertanian, perlu juga dilakukannya
kerjasama dengan sektor industri guna memberikan standar industri
dan penegakan hukum. Sedangkan mutu dan keamanan pangan
dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan.
C. Asumsi
Kebijakan yang diperlukan dalam mengatasi masalah dalam hal ini
stunting adalah:
1. Perlu adanya kelas khusus ibu hamil guna memberikan informasi
penting dalam memberikan ASI eksklusif, kebutuhan-kebutuhan gizi
yang perlu dipenuhi untuk menunjang proses pertumbuhan dan
perkembangan anak.
2. Perlu adanya pemerataan sarana dan prasarana demi menunjang
aksesibilitas pangan dalam tatanan rumah tangga.
3. Perlu pula dilakukan pengawasan yang ketat dalam menjaga dan
memelihara mutu dan keamanan pangan
4. Dibukannya pula lapangan kerja guna memberantas kemiskinan serta
meningkatkan daya beli bagi rumah tangga rawan pangan.
5. Perlu diadakannya sosialisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam
kampanye-kampanye PHBS
BAB IV
PENUTUP
A. Penutup
Masalah stunting merupakan masalah gizi yang penyebabnya
kompleks, yang tidak hanya disebabkan oleh kekurangan zat gizi tetapi juga
ditopang oleh beberapa faktor seperti kemiskinan, sosial budaya,
ketersediaan panga dan lain-lain. Karena penyebabnya yang kompleks maka
dalam melakukan penyelesaian perlu diadakan kerjasama antar sektor.
Masalah stunting juga ini merupakan masalah yang menjadi fokus global
karena dapat merusak generasi muda yang memiliki tingkat kecerdasan
yang lebih baik.
B. Saran
Dalam menangani masalah stunting dengan penyebab multifaktor,
maka diperlukan kerjasama dengan sektor lain. Serta meningkatkan
kesadaran pemerintah terkait dan masyarakat terkhusus ibu hamil tentang
pentingnya pemenuhan gizi pada masa pra hamil, pada saat kehamilan, dan
kelahiran.
DAFTAR RUJUKAN

Aryastami, N.K.2015. Pertumbuhan Usia Dini Menentukan Pertumbuhan Usia


Pra-Pubertas. Jakarta. Universitas Indonesia
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2011. Rencana Aksi
Nasional pangan dan gizi 2011-2015
Cahyani, V.D. 2017. Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Rumah Tangga
dengan Kejadian Stunting dan Non-Stunting pada Remaja Putri
di SMP Negeri 1 Nguter Sukoharjo. Artikel Publikasi. Fakultas
Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta
Chalid, M.T., Wahyuni, S,. Islam, A.A. 2014. 1000 Hari Awal Kehidupan.
Sagung Seto. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Depkes RI, 2014. Riskesdas 2013.
Dewan ketahanan pangan. 2016. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2006 –
2009 (General Policy on Food Security, 2006 – 2009). Jurnal
Gizi dan Pangan. Vol 1 No. 1
Kartasapoetra, G., Marsetyo. 2012. Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan
Produktisitas Kerja). Rineka Cipta. Jakarta
Kemenkes RI. 2016. Hasil Pemantauan Status Gizi dan Penjelasannya Tahun
2016.
Khoeroh, H., Indriyanti, DR. 2017. Evaluasi Penatalaksanaan Gizi Balita
Stunting di Wilayah Kerja Puskesmas Sirampog. Unnes Journal
of Public Health. Vol 6 No. 3
Khomsan, A. 2010. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Rajawali Sport. Jakarta
Musthaq M, Gull, Kurshid, Shahid, Siddiqui A. 2011. Prevalence and socio-
demographic correlates of stunting and thinness among
Pakistani primary school children. BMC Public Health. Vol 11
No. 790
Oktari, L. 2015. Gambaran Pola Konsumsi Anak Stunting di SDN 064994
Kelurahan Tanah Enam Ratus Kecamatan Medan Marelan.
Skripsi. Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Sumatera
Utara
Pongou R, Ezzati M, Salomon J. 2006. Household and community socioeconomic
and environmental determinants of child nutritional status in
Cameroon. BMC Public Health. Vol. 6 No. 98
Putri, D.S.K., Utami, N.H. 2015. Nilai Batas Berat Lahir sebagai Prediktor
Kejadian Stunting pada Anak Umur 6-23 Bulan di Indonesia.
Penelitian Gizi dan Makanan. Vol. 38 No. 1
Rahmadi, F.A., Hardaningsih, G., Pratiwi, R. 2015. Prevalensi dan Jenis Masalah
Emosional dan Perilaku pada Anak Usia 9-11 Tahun dengan
Perawakan Pendek di Kabupaten Brebes. Jurnal Gizi Indonesia.
Vol. 3, No. 2
Riskesdas. 2013. Status Gizi Anak Balita. Diakses 13 Februari 2018.
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profil-
kesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf
Suhardjo. 2013. Perencanaan Pangan Dan Gizi. Bumi Aksara. Jakarta
Sukoco, N.E.W., Pambudi, J., Herawati, M.H. 2015. Hubungan Status Gizi Anak
Balita dengan Orang Tua Bekerja. Buletin Penelitian Sistem
Kesehatan. Vol. 18, No.4
Supariasa, I.D.N., Bakri, B., Fajar, I,. 2013. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNPPK). 2017. 100
Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil
(Stunting). Jakarta
Welasasih D.B. dan Wirjatmadi R.B. 2012. Beberapa Faktor yang Berhubungan
dengan Status Gizi Balita Stunting. The Indonesian Journal of
Public Health, Vol 8 No. 3
WHO.2017. Malnutrition. Diakses 15 Februari 18.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/malnutrition/en/
Zottarelli L, Sunil T, Rajaram S. 2007. Influence of parental and socioeconomic
factors on stunting in hildren under 5 years in Egypt. East
Mediterr Heal J.. Vol 13 No.

Anda mungkin juga menyukai