Gizi Buruk
Gizi Buruk
PENDAHULUAN
Kasus gizi buruk masih menjadi masalah dibeberapa negara. Tercatat satu
dari tiga anak di dunia meninggal setiap tahun akibat buruknya kualitas gizi. Dari
data Departemen Kesehatan menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak meninggal tiap
tahun karena masalah kekurangan gizi dan buruknya kualitas makanan, didukung
pula oleh kekurangan gizi selama masih didalam kandungan. Hal ini dapat berakibat
kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada saat anak beranjak dewasa. Dr.Bruce
Cogill, seorang ahli gizi dari badan PBB UNICEF mengatakan bahwa isu global
tentang gizi buruk saat ini merupakan problem yang harus diatasi (Litbang, 2008).
Gizi buruk pada balita tidak terjadi secara tiba-tiba, tetapi diawali dengan
kenaikan berat badan balita yang tidak cukup. Perubahan berat badan balita dari
waktu ke waktu merupakan petunjuk awal perubahan status gizi balita. Dalam
periode 6 bulan, bayi yang berat badannya tidak naik 2 kali berisiko mengalami gizi
buruk 12.6 kali dibandingkan pada balita yang berat badannya naik terus. Bila
frekuensi berat badan tidak naik lebih sering, maka risiko akan semakin besar
(Litbang, 2007).
Penyebab gizi buruk dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling terkait,
antara lain asupan makanan yang kurang disebabkan karena tidak tersedianya
makanan secara adekuat, anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, pola
gizi anak, serta rendahnya kondisi kesehatan lingkungan, selain itu juga dipengaruhi
oleh masalah ekonomi dan pelayanan kesehatan, serta pola asuh yang kurang
memadai sehingga berdampak pada meningkatnya jumlah balita dengan status gizi
pendek dari kasus gizi buruk adalah anak menjadi apatis, mengalami gangguan bicara
serta gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang dari
kasus gizi buruk adalah penurunan skor IQ, penurunan perkembangan kognitif,
gangguan pemusatan perhatian, serta gangguan penurunan rasa percaya diri. Dari
penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa kasus gizi buruk apabila tidak dikelola
dengan baik akan dapat mengancam jiwa, dan pada jangka panjang akan mengancam
memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak. Bukan hanya dari
dokter maupun tenaga medis saja, tetapi juga dari pihak orang tua, keluarga, pemuka
masyarakat, terutama dalam menanggulangi kebiasaan atau mitos yang salah pada
pemberian makanan pada anak. Demikian juga posyandu dan puskesmas sebagai
Untuk mengatasi masalah gizi buruk ini pemerintah telah melakukan berbagai
program dan salah satu program pemerintah tersebut adalah menurunkan angka gizi
buruk dari 8,5% menjadi 5% pada akhir tahun 2009 (Depkes, 2007), dan juga
2014, yaitu menurunnya prevalensi gizi kurang menjadi 15% dan menurunnya
prevalensi balita pendek menjadi 32% pada tahun 2011. Kegiatan lain yang dilakukan
(Kemenkes, 2010). Prevalensi balita KEP (Kurang Energi dan Protein) di Provinsi
Sumatera Utara yang diukur dengan indikator BB/U menunjukkan ada peningkatan
prevalensi balita gizi buruk dan kurang. Pada tahun 2005 yaitu sebesar 24,60%, tahun
2006 sebesar 28,92% dan pada tahun 2007 ada penurunan 23,20%. Angka prevalensi
gizi buruk dan kurang ini masuk dalam kategori tinggi (Dinkes PSU, 2009).
Berdasarkan data survei kadarzi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Provinsi
Sumatera Utara pada tahun 2009, dengan indikator berat badan per umur balita,
diketahui bahwa status gizi untuk kategori berat badan sangat kurang sebesar 10,17
%, berat badan kurang 10,79%, berat badan normal 71,49%, berat badan lebih 7,13
%. Sedangkan angka untuk Kota Medan berdasarkan survei kadarzi 2009 diketahui
bahwa untuk kategori berat badan sangat kurang ada 6,73%, berat badan kurang
10,57%, berat badan normal 76,36% dan untuk berat badan lebih 6,34% (Dinkes
PSU, 2010).
dari dokter, perawat, bidan, ahli gizi, serta dibantu oleh tenaga kesehatan yang lain.
Diharapkan dapat memberikan penanganan yang cepat dan tepat pada kasus gizi
buruk, baik di tingkat puskesmas maupun rumah sakit untuk membantu pemulihan
Menurut WHO (2000) dalam Suwanti (2003) cara pemulihan gizi buruk yang
paling ideal adalah dengan rawat inap dirumah sakit, tetapi pada kenyataannya hanya
sedikit anak dengan gizi buruk yang dirawat karena berbagai alasan. Salah satu
contohnya dari keluarga yang tidak mampu, karena rawat inap memerlukan biaya
yang besar dan dapat mengganggu sosial ekonomi sehari-hari. Alternatif untuk
pertumbuhan bahkan gizi buruk tidak dirujuk ke puskesmas untuk tindak lanjut
kendala lain dalam pelaksanaan pemantauan adalah seperti : masalah kemiskinan dan
anak yang menderita infeksi, selain itu juga pengetahuan orang tua yang kurang
tentang pola asuh anak, sehingga asupan gizi yang cukup tidak terpenuhi. Sedangkan
kenyataan lain di lapangan, kasus gizi buruk sering ditemukan terlambat atau
ditangani tidak tepat. Hal ini terjadi karena belum semua tenaga pelaksana gizi
berpengetahuan dan terlatih untuk melaksanakan tatalaksana gizi buruk, selain itu
untuk balita gizi buruk, serta kurangnya tindak lanjut pemantauan setelah balita
upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Istilah mutu mempunyai arti dan
persepektif yang berbeda bagi setiap individu, tergantung dari sudut pandang masing-
masing. Hal ini terlihat dengan adanya pesan agar tenaga kesehatan melakukan
perubahan besar yang memberikan tantangan dan peluang. Perubahan itu meliputi
kesadaran akan pentingnya mutu dalam pelayanan kesehatan, begitu juga dalam
penatalaksanaan gizi harus dilakukan sesuai dengan standar yang telah di tetapkan
dan disesuaikan dengan standar asuhan gizi dan pedoman tatalaksana gizi, sehingga
anak yang pernah mengikuti program penatalaksanaan gizi buruk di Dinas Kesehatan
Semarang tahun 2007, persentasi status gizi buruk menunjukkan penurunan yaitu
dari 80 persen pada akhir 2007 menjadi 50 persen pada juli 2009 dan 56,3 persen
pada agustus 2009. Ini menunjukkan apabila kasus gizi buruk yang ditangani dan
prosedur tatalaksana gizi buruk, akan menurunkan angka kejadian kasus gizi buruk.
Pada survei awal dan dari laporan gizi buruk tahun 2010 kasus gizi buruk
yang ditemukan Januari sampai dengan Desember 2010 ada 1909 kasus (tidak ada
penjelasan apakah angka tersebut termasuk kasus lama atau hanya kasus baru) semua
balita yang gizi buruk hanya diberi makanan tambahan dan tidak dilakukan perawatan
di puskesmas maupun dirujuk ke tingkat yang lebih lanjut seperti rumah sakit.
Kesehatan (2009), sebaiknya yang harus dilakukan mulai dari penemuan kasus gizi
buruk adalah perlunya pengorganisasian yaitu adanya tim asuhan gizi yang akan
tindak lanjut, kemudian melakukan tindak lanjut dengan memberi pengobatan sesuai
diagnosa yang telah ditegakkan, serta memberikan makanan pemulihan sesuai dengan
tingkat keadaan gizi buruk yang diderita balita sampai balita tersebut dinyatakan
normal. Dan apabila pada tahap identifikasi ditemukan penyakit penyerta atau tanda-
tanda klinis berat pada balita, hendaknya balita dengan gizi buruk tersebut dirujuk ke
seluruhnya telah dilatih tatalaksana anak gizi buruk. Sehingga permasalahan yang
dalam menangani kasus gizi buruk yang ada di wilayah kerjanya, dan apakah sudah
sesuai dengan prosedur dan standar tatalaksana gizi buruk serta apakah
Atas dasar semua permasalahan diatas peneliti tertarik untuk melihat apakah
pengawasan) dan pengetahuan tenaga pelaksana gizi yang baik tentang tatalaksana
gizi buruk mempunyai atau berpengaruh terhadap perbaikan status gizi pada balita
1.2. Permasalahan
tatacara, tindak lanjut, serta pengawasan) dan pengetahuan tenaga pelaksana gizi
terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada balita gizi buruk
1.4. Hipotesis
pelaksana gizi terhadap keberhasilan Puskesmas dalam perbaikan status gizi pada
3. Bagi puskesmas hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai tindakan korektif
secara optimal.