Anda di halaman 1dari 26

Secara ringkas insektisida dapat didifinisikan semua bahan yang dapat digunakan untuk

mengendalikan hama dari golongan serangga. Ada banyak sekali jenis dan merek insektisida
yang beredar di pasaran. Untuk mempermudah mengenal insektisida, insektisida digolongkan
menurut kriteria/batasan tertentu.

Penggolongan insektisida

1. Pembagian menurut cara kerjanya


1. Insektisida kontak
2. Insektisida racun perut
3. Insektisida racun pernafasan
4. Insektisida sistemik
2. Pembagian menurut asal bahan yang digunakan :
1. Insektisida kimia sintetik, insektisida yang banyak kita kenal seperti organofosfor,
karbamat, piretroid sintetik.
2. Insektisida botani (berasal dari ekstrak tumbuhan)
 Ekstrak sejenis bunga krisan (Chrisanthemum sp-Compositae/Asteraceae)
(piretrin). Dalam kemajuannya insektisida ini telah dibuat secara sintetik
dan disebut sintetik piretroid (permetrin, sipermetrin , sihalotrin dll)
 Ekstrak biji nimba (azadirahtin- Nimbo 0,6 AS)
 Ekstrak akar tuba (rotenon- Biocin 2 AS)
3. Insektisida dari mikroorganisme
 Beauveria bassiana (Bevaria P, Bassiria AS)
 Bacllus thuringigiensis (Bactospeine WP, Thuricide HP, Turex WP).
3. Pembagian yang umum, yang banyak digunakan adalah berdasar batasan golongan kimia
dan cara kerja yang khas yaitu :
1. Anorganik (tembaga arsenat, boraks, merkuri klorida)
2. Organochlorine (DDT, aldrin, dieldrin, endosulfan)
3. Organofosfor (organophosphorus)
 Organophosphate (dicrotophos, monocrotophos, naled)
 Organothiophosphate (phenthoate, dimethoate, omethoate, poksim,
chlorpyrifos, diazinon, fenitrothion, profenofos, trichlorfon dll)
 Phosphoramidate (fenamiphos, mephosfolan, phosfolan)
 Phosphoramidothioate (acephat, isofenphos, methamidophos)
 Phosphorodiamide (dimefox, mazidox)
4. Karbamat (carbamate) (carbaryl, bendiocarb)
 Benzofuranyl methylcarbamate (carbofuran, carbosulfan, benfuracarb)
 Dimethylcarbamate (dimetan, dimetilan, pirimicarb)
 Oxime carbamate (methomyl, oxamyl, thiodicarb)
 Phenyl methylcarbamate (fenobucarb, isoprocarb, propoxur)
5. Pyrethroid
 Pyrethroid ester (allethrin, cyfluthrin, cyhalothrin,cypermethrin,
deltamethrin, fenpropathrin, fenvalerate, fluvalinate, transfluthrin dll)
 Pyrethroid ether (etofenprox, flufenprox)
6. IGR (insect growth regulator)
 Chitin synthesis inhibitor (menghambat sintesis chitin (buprofezin,
cyromazin, diflubenzuron, luvenuron)
 Moulting hormones agonist (menghambat pembentukan kepongpong)
(halofenozide, tebufenozide, a-ecdysone).
 Juvenile hormone mimic(mengganggu secara hormonal serangga tetap
dalam fase larva (fenoxycarb, hydroprene, methoprene).
7. Dinitrophenol (dinex, dinoprop, DNOC)
8. Flourine (barium hexafluorosilicate, sodium hexafluorosilicate)
9. Formamidine (amitraz, chlordimeform)
10. Nereistoxin analog (cartap, bensultap, thiosultap)
11. Nicotinoid (imidacloprid, acetamiprid, thiametoxam)
12. Pyrazol (fipronil)
13. Insektisida botani (lihat butir 2.b)
14. Insektisida antibiotik (abamectin, ivermectin, spinosad)
15. Insektisida fumigant (chloropicrin, ethylene dibromide, phosphine)
16. Dan lain-lain

Saat ini, dari hasil penelitian yang ada, paling tidak telah diketahui secara garis besar ada lima
macam mode of action insektisida, yang telah diketahui.:

1. Insektisida yang mempengaruhi sistem syaraf.

Kebanyakan insektisida seperti organofosfor, karbamat dan piretroid sintetik dan lainnya bekerja
dengan mengganggu sistem syaraf. Untuk dapat lebih memahami cara kerja racun saraf berikut
diuraikan sedikit tentang sistem saraf. Sistem saraf adalah suatu organ yang digunakan untuk
merespon rangsangan baik dari luar maupun dari dalamsehingga serangga dapat hidup dan
berkembang. Sistem saraf terdiri dari banyak sel saraf (neuron) yang saling berhubungan yang
menyebar ke seluruh tubuh. Secara tipikal bentuk neuron di salah satu ujungnya berupa semacam
serabut yang disebut dendrit dan diujung lain memanjang dan ujungnya bercabang-cabang
disebut akson. Antar neuron berhubungan melalui aksonnya. Titik dimana dua neuron
berhubungan disebut sinap. Ujung akson yang berhubungan neuron lainnya disebut pre sinap
sedangkan bagian dari neuron yang berhubungan dengan presinap disebut postsinap. Impul saraf
berjalan dari satu neuron ke neuron berikutnya sepanjang akson melalui sinap. Di daerah sinap
impul saraf diteruskan oleh neurotransmitter yang banyak jenisnya. Berjalannya impul saraf
merupakan proses yang sangat kompleks. Prosses ini dipengaruhi oleh keseimbangan ion-ion
K+, Na+, CA++, Cl-, berbagai macam protein, enzim, neurotransmitter, dan lain-lainnya yang
saling mempengaruhi. Gangguan pada salah satu faktor mengakibatkan impul saraf tidak dapat
berjalan secara normal. Sehingga serangga tidak mampu merespon rangsangan.

Insektisida organofosfor dan karbamat mengikat enzim asetilkolinesterase yang berfungsi


menghidrolisis asetilkolin. Dalam keadaan normal asetilkolin berfungsi menghantar impul saraf,
setelah itu segera mengalami hidrolisis dengan bantuan enzim asetilkolinesterase menjadi kolin
dan asam asetat. Dengan terikatnya enzim asetilkolinesterase terjadi penumpukan asetilkolin,
akibatnya impul saraf akan terstimulasi secara terus menerus menerus menyebabkan gejala
tremor/gemetar dan gerakan tidak terkendali.
Piretroid sintetik adalah sintetik kimia yang menyerupai piretrin. Mulanya, insektisida pyretrin
diperoleh dari ekstrak bunga tanaman Chrysanthemum sp (Compositae), namun sekarang
manusia telah mampu membuat sintetiknya. Piretrin memiliki knock down yang cepat namun
tidak stabil, mudah mengalami degradasi. Sebaliknya, sintetik piretroid memiliki sifat lebih
stabil. Sintetik piretroid juga bekerja mengganggu sistem syaraf dengan mengikat protein
“voltage-gated sodium channel” yang mengatur denyut impul syaraf. Efeknya sama seperti yang
disebabkan oleh organofosfor dan karbamat, impul saraf akan mengalami stimulasi secara terus
menerus dan mengakibatkan serangga menunjukkan gejala tremor/gemetar, gerakan tak
terkendali.

Imidacloprid, insektisida golongan kloronikotinil juga insektisida yang bekerja mengganggu


sistem saraf. Didalam sistem saraf, imidacloprid memiliki sifat menyerupai fungsi asetilkolin.
Seperti telah diterangkan di atas bahwa setelah asetilkolin meneruskan impul saraf pada reseptor
akan segera terhidrolisa. Imidacloprid akan menempati reseptor asetilkolin dan tetap terikat pada
reseptor. Efek selanjutnya mirip dengan organofosfor atau karbamat.

Avermektin, demikian juga abamektin juga bekerja sebagai racun saraf. Avermektin adalah
insektisida antibiotik yang berasal dari suatu jamur, secara kimia digolongkan dalam
makrolakton. Avermektin mengikat suatu protein dalam sel saraf yang yaitu gamma amino
butyric acid (GABA)-gated chloride channel. Protein ini berfungsi mengatur impul saraf.
Avermektin menghambat fungsi protein ini, akibatnya saraf akan mengalami overeksitasi. Gejala
yang ditunjukkan tremor dan gerakan tak terkendali. Demikian juga fipronil, insektisida dari
golongan phenylpyrazole menunjukkan efek yang mirip menghambat fungsi GABA-gated
chloride channel.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa sebagian besar insektisida walaupun memiliki struktur
kimia yang berbeda, namun efeknya sama mengganggu sistem saraf jasad sasaran.

2. Insektisida yang menghambat produksi enegi

Dibandingkan dengan insetisida yang bekerja mengganggu racun saraf, insektisida golongan ini
dapat dikatakan sangat sedikit. Namun demikian tidak menutup kemungkinan akan berkembang
pada masa datang. Insektisida jenis ini yang telah beredar di Indonesia adalah dengan merek
dagang Amdro

Mekanisme kerja insektisida ini mengganggu proses respirasi, suatu proses yang menghasilkan
energi untuk proses metabolisme. Respirasi adalah suatu proses pemecahan gula atau senyawa
lain yang menghasilkan energi. Energi ini digunakan untuk proses pertumbuhan. Proses respirasi
adalah proses yang kompleks, yang melibatkan banyak reaksi yang memerlukan enzim.
Gangguan-gangguan dalam setiap tahap reaksi ini akan menggaggu perolehan energi yang
diperlukan yang akhirnya menghambat pertumbuhan dan jasad akan mati di atas kakinya sendiri
karena kehabisan tenaga untuk tumbuh dan berkembang.

3. Insektisida yang mempengaruhi pertumbuhan serangga hama (IGR, Insect Growth


Regulator)
Insektisida ini dibagi menjadi dua yaitu yang mempengaruhi sistem endokrin dan yang
menghambat sintesis kitin.

Pertumbuhan serangga pada fase muda (larva), dikendalikan oleh hormon juvenile (juvenile
hormon) yang diproduksi di otak. Hormon juvenil mengatur kapan fase larva berakhir kemudian
dilanjutkan dengan molting kemudian menjadi dewasa. Insektisida berbahan aktin hydroprene,
methoprene, pyriproxypen dan fenoxycarb bekerja menyerupai hormon juvenil, menyebabkan
larva terganggu pertumbuhannya, tetap dalam fase muda, tidak dapat bekepompong dan akhirnya
mati

Iinsektisida yang menghambat pembentukan kitin adalah dari golongan benzoylurea seperti
lufenuron (Program), diflubenzuron (Dimilin), teflubenzuron (Nomolt) dan hexaflumuron
(Sentricon). Kitin adalah komponen utama eksoskeleton serangga. Tergangguna proses
pembentukan kitin larva tidak dapat melanjutkan pertumbuhannya secara normal dan akhirnya
mati.

4. Insektisida yang mempengaruhi keseimbangan air tubuh.

Tubuh serangga dilapisi oleh zat lilin/minyak untuk mencegah hilangnya air dari
tubuhnya. Diatom, silica aerogels dan asam borat adalah bahan yang dapat menyerap
lilin/lemak, sehingga lapisan lilin akan hilang, serangga akan banyak kehilangan air dan
mengalami desikasi dan akhirnya mati.

5. Insektisida yang merusak jaringan pencernaan serangga

nsektisida golongan ini adalah yang berbahan aktif mikroorganisme Baccilus thuringiensis (Bti).
Bti membentuk endotoksin yang bila masuk ke dalam pencernaan serangga (larva dari golongan
lepidoptera) yang bersifat asam akan terlarut dan merusak sel-sel jaringan pencernaan dan
menyebabkan kematian.
BAB II

ISI

A. Pengertian Insektisida

Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang bisa mematikan
semua jenis serangga (Wudianto, Rini ,1997). Sedangkan menurut Soemirat (2003) Insektisida
merupakan pestisida atau bagian dari pestisida yang berfungsi untuk mengendalikan dan mengontrol
hama serangga. Insektisida dapat memengaruhi pertumbuhan, perkembangan, tingkah laku,
perkembangbiakan, kesehatan, sistem hormon, sistem pencernaan, serta aktivitas biologis lainnya
hingga berujung pada kematian serangga pengganggu tanaman. Insektisida termasuk salah satu jenis
pestisida (http://id.wikipedia.org/wiki/Insektisida).

Insektisida adalah jenis pestisida yang berfungsi sebagai racun serangga. Berdasarkan cara
masuknya ke dalam tubuh serangga (1) racun perut, yaitu insektisida yang bekerja melalui sistem
pencernaan (stomach poison), dan merupakan insektisida yang dicampurkan pada bahan yang biasa
dimakan serangga; (2) racun kontak, yaitu insektisida yang meresap ke dalam tubuh serangga melalui
permukaan tubuh; dan (3) fumigan, yaitu insektisida yang masuk ke dalam tubuh melalui alat
pernafasan (spiraculum) (Ramulu, 1979).
Metode kimia dengan insektisida sintetis termasuk cara paling umum yang digunakan dalam
praktek sehari-hari. Kelebihan penggunaan insektisida sintetis selama ini terletak pada kemampuannya
untuk mengendalikan serangan hama pasca panen secara cepat dan efektif. Akan tetapi insektisida
sintetis juga mempunyai beberapa kekurangan yaitu selain biaya yang mahal juga menimbulkan masalah
lain. Akibat dari pemakaian insektisida sintetis antara lain : 1) adanya bahaya residu dalam lingkungan 2)
timbulnya resitensi serangga terhadap insektisida sintetis; 3) adanya bahaya insektisida bagi organisme
bukan target; dan 4) adanya dampak penurunan populasi biang pengendali hama seperti parasit dan
predator (Hascoet, 1988).

B. Penggolongan Insektisida
Menurut Hoedojo (2000) dan Tarumingkeng (2001), insektisida
berdasarkan macam bahan kimianya dibagi dalam :
1. Insektisida sintetik
1) Anorganik: garam- garam beracun seperti arsenat, flourida, tembaga sulfat,
dan garam merkuri.
2) Organik :
a. Organoklorin:
Insektisida golongan ini dibuat dari molekul organik dengan penambahan
klorin. Insektisida organoklorin bersifat sangat persisten, dimana senyawa ini mashi
tetap aktif hingga bertahun-tahun. Oleh karena itu, kini insektisida golongan
organoklorin sudah dilarang penggunaannya karena memberikan dampak buruk
terhadap lingkungan.
a) Seri DDT; DDT,DDD, metoksiklor.
b) Seri klorden: klorden, dieldrin, aldrin, endrin,heptaklor, toksefen.
c) Seri BHC: BHC, linden.
b. Heterosiklik: kepone, mirex,dll
c. Organofosfat
Insektisida golongan ini dibuat dari molekul organik dengan penambahan fosfat
misalnya: malathion, biothion, diazinon, dll.
d. Karbamat
Insektisida golongan karbamat diketahui sangat efektif mematikan banyak jenis
hama pada suhu tinggi dan meninggalkan residu dalam jumlah sedang. Namun,
insektisida karbamat akan terurai pada suasana yang terlalu basa, misalnya :
furadan, sevin, dll.
e. Dinitrofenol: dinex,dll
f. Thiosianat: Lethane,dll
g. Sulfonat, sulfida, sulfon
h. Lain- lain: methylbromidr, dll
2. Hasil alam: nikotinoida, piretroida, rotenoida, dll.

Insektisida juga dibagi-bagi menurut cara mematikannya atau melumpuhkan serangga menurut
matsumura (1985) dan Tarumingkeng (1992) sebagi berikut;
a. Racun Fisik
Racun fisk membunuh serangga dengan cara yang tidak khas. Misalnya minyak
bumi dan debu inert dapat menutup lubang-lubang pernapasan serangga, sehingga
serangga mati lemas kekurangan oksigen. Minyak bumi dapat menutupi permukaan
air, sehingga jentik-jentik nyamuk tidak bisa mengambil udara dan mati karena
kukurangan oksigen. Debu yang higroskopis (misalnya bubuk karbon) dapat
membunuh serangga karna debu yang menempel dikulit serangga menyerap cairan
dari tubuh serangga secara berlebihan.
b. Racun protoplasma
Yang termasuk racun protoplasma dalah logam berat, asam, dan sebagainya.
c. Penghambat metabolisme
Yang termasuk insektisida penghambat metabolisme adalah sebagai berikut.
1) Racun pernapasan : HCN, H2S,rotenon dan fumigansia lainnya.
2) Penghambat mixed function oxidase.
3) Penghambat metabolisme amina : klordimefon
4) Penghambat sintesa khitin: lufenuron, dsb
5) Peniru hormon: juvenile hormone, dsb
6) Racun syaraf (neurotoksin), racun syaraf bekerja mempengaruhi sistem syaraf
serangga (menghambat kholinesterase), sehingga menimbulkan berturut-turut,
eksitasi ( kegelisahan), konvulsi (kekejangan), parilis (kelumpuhan) dan akhirnya
kematian. Misalnya : organofosfat, karbamat, dan piretroid.
d. Peniru hormon :metoprene
e. Racun perut : Bacillus thuringiensis

C. Efek Penggunaan Insektisida


Pada tahun 1960, Rachel Carson menerbitkan buku yang sangat berpengaruh dalam sejarah
penggunaan insektisida berjudul Silent Spring (Musim Sepi yang Sunyi). Buku tersebut menyorot
penggunaan DDT yang sangat marak di masa itu karena sangat efektif, sekaligus menyadarkan manusia
akan bahaya dari penggunaan pestisida berlebihan. Insektisida yang dipakai seringkali menyerang
organisme non target seperti burung dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, penggunaan
insektisida juga dikhawatirkan berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Insektisida seringkali
digunakan melebihi dosis yang seharusnya karena petani beranggapan semakin banyak insektisida yang
diaplikasikan maka akan semakin bagus hasilnya.

http://id.wikipedia.org/wiki/Insektisida
Beberapa petani bahkan mencampurkan perekat pada insektisidanya agar tidak mudah larut
terbawa air hujan. Namun, penggunaan perekat ini justru mengakibatkan tingginya jumlah residu
pestisida pada hasil panen yang nantinya akan menjadi bahan konsumsi manusia. Menurut data WHO
sekitar 500 ribu orang meninggal dunia setiap tahunnya dan diperkirakan 5 ribu orang meninggal setiap
1 jam 45 menit akibat pestisida dan/atau insektisida. Penggunaan insektisida sintetik juga dapat
mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Hal ini dikarenakan insektisida tertentu dapat
tersimpan di dalam tanah selama bertahun-tahun, dapat merusak komposisi mikroba tanah, serta
mengganggu ekosistem perairan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Insektisida

a. Selektivitas Insektisida
Selektivitas insektisida lebih menekankan kemampuan insektisida
memilih serangga sasaran tanpa merugikan organisme non target, termasuk musuh alami hama.
Idealnya , insektisida adalah insektisida yang efektif untuk mengendalikan serangga sasaran tanpa
merugikan musuh alami serangga tersebut. Selektivitas insektisida juga dibedakan menjadi empat
macam sebagai berikut (Djojosumarto, 2000).
a) Selektivitas fisiologis atau bawaan
Selektivitas yang menjadi karakter khas insektisida tersebut. Selektivitas bawaan
menjadikan insektisida pada dosis dan konsentrasi tertentu mampu membunuh
serangga tertentu dan tidak merugikan serangga lainnya. Selektivitas fisiologis
berkaitan erat dengan takaran (dosis, konsentrasi) penggunanya. Artinya, insektisida
yang selektif pada takaran tertentu dapat menjadi tidak selektif bila takaran
penggunaanya dinaikkan.
b) Selektifitas karena sifat atau cara kerja insektisida
Contoh insektisida yang baik adalah insektisida racun perut murni, yang mungkin
secara fisiologis kurang selektif. Namun, karena insektisida bersifat racun perut, maka
hanya serangga yang memakan makanan khasnya yang akan mati. Sedangkan musuh
alami serangga tidak terganggu
c) Selektivitas karena formulasi
Insektisida yang diformulasikan dalam bentuk butiran mempunyai selektivitas yang
tinggi. Misal: microencapsilated
d) Selektivitas ekologik
Selektivitas yang memanfaatkan teknik aplikasi untuk mengurangi dampak negatif
insektisida terhadap musuh alami serangga sasaran. Contoh : penyemprotan
insektisida secara parsial.

b. Spektrum Pengendalian
Insektisida dikatakan mempunyai spektrum yang luas (broad spectrum) bila
insektisida tersebut dapat mengendalikan banyak jenis serangga target dari kelompok
taksonomi yang berbeda. Pestisida berspestrumsempit hanya mengendalikan kelompok
serangga sasaran tertentu. Insektisida hidrokarbon berklor dan organofosfat merupakan
insektisida berspektrum luas. Insektisida dari kelompok IGR (insect growth regulator) umumnya
berspektrum pengendalian terbatas. Pada waktu lampau, orang- orang umumnya lebih
menyukai insektisda berspektrum luas. Tetapi karena kelemahan-kelemahan insektisida
berspektrum luas (merugikan organisme non target atau musuh alami) adn diperkenalkan
konsep pengendalian PHP, maka insektisida sekarang ini cenderung berspektrum sempit
bahkan lebih spesifik (Djojosumarto, 2000).

c. Pencampuran Insektisida yang Boleh Dilakukan


Pencampuran pestisida dalam aplikasi boleh dilakukan apabila (Djojosumarto, 2000):
a) Sasarannya berbeda. Misal ; mencampur fungisida (untuk penyakit) dengan insektisida
(untuk hama) dalam sekali penyemprotan.
b) Insektisida yang dicampur tidak menimbulkan efek buruk. Karena banyaknya insektisida
yang beredar saat ini, maka sulit untuk membuat daftar pestisida yang dapat atau yang
tidak dicampur. Maka harus dilakukan percobaan terlebih dahulu sebelum
pencampuran.
c) Pencampuran dilakukan untuk menimbulkan sinergisme atau memperkuat efikasi
insektisida tersebut
d) Pencampuran juga boleh dilakukan bila bertujuan untuk memecahkan serangga
sasaran yang sudah resisten atau mencegah resisten.

D. Resistensi Serangga Terhadap Insektisida

Resisten adalah kemampuan serangga atau organisme lain untuk bertahan hidup terhadap
pengaruh insektisida. Populasi suatu serangga yang dikendalikan, pada mulanya rentan terhadap
insektisida yang digunakan untuk memberantasnya. Pada beberapa generasi, keampuhan dari
insektisida itu semakin menurun sebab serangganya semakin toleran terhadap insektisida dan akhirnya
tidak berdayaguna lagi sebab serangga yang diberantas sudah menjadi resisten terhadap insektisida
yang digunakan (Brown dan Pal, 1971).
Menurut Darwin di alam terjadi seleksi alamiah terhadap makhluk hidup, yang dapat
meningkatkan daya penyesuaian populasi terhadap lingkungannya. Hal ini mungkin terjadi bila faktor-
faktor yang menentukan daya penyesuaian itu mempunyai keragaman. Darwin mengatakan bahwa
faktor-faktor itu juga diwariskan kepada keturunannya. Mendel menyatakan bahwa hanya karakter
yang diatur oleh gen yang dapat diwariskan. Fisher menyatakan bahwa laju pertambahan daya
penyesuaian sebanding dengan keragaman genetik yang mengatur daya penyesuaian itu (Villee, 1957;
Bishop, 1982).
Toleransi suatu spesies serangga terhadap insektisida sangat beragam, dapat terbukti dengan
terjadinya berbagai presentasi kematian bila beberapa kelompok serangga dari spesies yang sama,
dipaparkan dengan berbagai dosis atau konsentrasi insektisida. Toleransi itu berkisar antara 0 dan 100%
yang merupakan distribusi kumulatif normal yang disebut sebaran toleransi sedangkan Macnair (1981)
menyebut differential susceptibility. Teori Darwin (dalam Villee, 1957) menyatakan bahwa seleksi alam
menyebabkan punahnya individu-individu yang daya penyesuainnya lemah, sedangkan yang daya
penyesuainnya baik akan terus mempertahankan eksistensi populasinya. Seperti halnya dengan gen (+)
yang (+) akan punah sedangkan gen RR akan mampu hidup bila kontak dengan insektisida. Untuk gen
R(+) keadaannya tergantung kepada dominasi gen R, bila gen R dominan maka R(+) akan terus hidup
bersama-sama RR, sedang bila gen R resesif maka R(+) akan punah bersama-sama (+)(+). Bila gen R
bersifat intermediate maka nasib R(+) tergantung pada dosis yang digunakan (Villee, 1957).

E. Jenis – jenis Resisten


Menurut Soedarto (2008), resistensi dibagi menjadi resistensi bawaan (natural resistancy) dan
resistensi yang didapat (acquired resistancy).
1. Resistensi bawaan
Serangga yang secara alami sensitif terhadap suatu insektisida akan menghasilkan
secara alami keturunan yang juga sensitif terhadap insektisida tersebut. Sedangkan
serangga yang secara alami sudah resisten terhadap suatu insektisida, keturunannya juga
akan resisten terhadap insektisida bersangkutan. Selain itu, serangga yang sensitif terhadap
suatu insektisida jika mengalami mutasi (yang terjadi satu kali setiap beberapa ratus atau
ribu tahun) dapat berkembang menjadi serangga yang resisten terhadap insektisida tersebut.
2. Resistensi didapat
Akibat pemberian dosis insektisida yang di bawah dosis lethal dalam waktu yang lama,
serangga target yang sebelumnya sensitif dapat menyesuaikan diri berkembang menjadi
resisten terhadap insektisida tersebut. Berdasar atas jenis insektisida yang tidak lagi peka
terhadap serangga, resistensi dibedakan menjadi resistensi silang (cross resistance) dan
resistensi ganda (double resistance) (Hoedojo & Zulhasril, 2000; Soedarto, 2008).

3. Cross resistance
Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang satu golongan atau
satu seri, misalnya resisten terhadap malathion dan diazinon (satu golongan) atau kebal
terhadap DDT dan metoksiklor (satu seri).

4. Double resistance
Resistensi serangga yang terjadi terhadap dua insektisida yang berbeda golongannya
atau serinya, misalnya resisten terhadap malathion dan DDT (beda golongan) atau DDT dan
dieldrin (beda seri).
Jika satu jenis serangga telah resisten terhadap suatu insektisida, maka dosis
insektisida harus dinaikkan. Jika dosis insektisida terus-menerus dinaikkan, maka pada dosis
tertentu akan dapat membahayakan kesehatan manusia dan hewan serta berdampak buruk
pada lingkungan hidup. Karena itu, insektisida harus diganti dengan jenis atau golongan lain
atau diciptakan insektisida baru untuk memberantas serangga tersebut (Soedarto, 2008).

F. Penyebab Resistensi
Faktor – faktor yang menyebabkan berkembangnya resisten adalah sebagai berikut
(Djojosumarto, 2000) ;
1. Faktor genetik, yakni adanya gen pembawa dasar sifat “resisten” pada suatu populasi
sasaran. Semakin banyak individu pembawa gen pembawa dasar sifat “resisten”,
semakin cepat populasi tersebut.
2. Faktor operasional yang bertindak sebagai tekanan seleksi (selection pressure).
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju perkembangan resistensi adalah tingkat
tekanan seleksi yang diterima oleh suatu populasi serangga. Pada kondisi yang
sama, suatu populasi yang menerima tekanan yang lebih keras akan berkembang
menjadi populasi yang resisten dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan
populasi hama yang menerima tekanan seleksi yang lemah.
Semakin besar tekanan seleksi, semakin cepat resistensi terjadi. Penggunaan satu
produk insektisida secara terus menerus dengan frekuensi tinggi merupakan suatu
tekanan seleksi yang sangat besar, sehingga dapat mempercepat terjadinya
resistensi. Jenis, dosis, dan formulasi insektisida juga mempengaruhi penurunan
kepekaan.
3. Faktor biologi sasaran, misalnya dinamika populasi, penyebaran, kecepatan
berkembang biak, dan tingkat isolasi sangat mempengaruhi kecepatan prose
terjadinya resistensi.
4. Cara kerja (mode of action) insektisida sendiri juga mempengaruhi terjadinya
kecepatan resistensi. Insektisida yang bekerja hanya pada satu lokasi dalam sistem
fisiologi serangga (monosite inhibitor) akan lebih cepat menyebabkan resistensi
daripada insektisida yang bekerja dibanyak tempat (multisite inhibitor).
Penurunan kepekaan serangga terhadap insektisida antara lain disebabkan oleh
adanya individu-individu serangga hama yang secara alami yang tahan terhadap
insektisida tertentu, meskipun jumlahnya kecil sekali. Oleh karena itu, setiap
penyemprotan insektisida tidak pernah mematikan serangga hama semuanya.
Serangga – serangga yang tidak mati mungkin karena telah membawa gen resisten
atau tidak terkena insektisida. Serangga yang membawa sifat resisten memiliki
keturunan yang mempunyai sifat tahan terhadap insektisida juga. Bila penyemprotan
dengan insektisida yang sama atau sama kelompok kimianya dilakukan secara terus-
menerus, maka jumlah individu yang tahan terhadap insektisida tersebut makin lama
akan makin bertambah banyak dan akhirnya akan dapat mendominasi populasi
serangga hama tersebut (Panut Djojosumarto, 2000).
Menurut Kasumbogo Untung (1993), mekanisme resistensi suatu serangga
terhadap insektisida dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak beracun) insektisida oleh karena
bekerjanya ensim-ensim tertentu seperti ensim dehidroklorinase (terhadap DDT),
ensim mikrosomal oksidase (terhadap karbamat, OP, piretroid), glutation
transferase (terhadap OP), hidrolase dan esterase (terhadap OP).
2. Penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida pada tubuh serangga seperti
asetilkolinesterase (terhadap OP dan karbamat), sistem syaraf (Kdr) seperti terhadap
DDT dan piretroid.
3. Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau integumentum seperti yang
terjadi pada ketahanan terhadap kebanyakan insektisida.

Ketahanan serangga terhadap suatu jenis atau beberapa jenis insektisida disebabkan
oleh lebih dari satu penyebab dan mekanisme ketahanan. Ada beberapa jenis serangga yang
cepat membentuk populasi yang resisten tetapi ada yang lambat, ada juga jenis-jenis
insektisida yang cepat menimbulkan reaksi ketahanan dari banyak jenis serangga.

G. Strategi Pengelolaan Resistensi Insektisida


Untuk memperlambat timbul dan berkembangnya populasi resisten menurut
Georghiou (1993) dapat dilakukan dengan 3 strategi yaitu :
1) sikap sedang (moderation), Pengelolaan dengan moderasi bertujuan mengurangi tekanan
seleksi terhadap hama antara lain dengan pengurangan dosis, dan frekuensi penyemprotan
yang lebih jarang.
2) penjenuhan ( saturation ), Pengelolaan dengan saturasi bertujuan memanipulasi atau
mempengaruhi sifat pertahanan serangga terhadap insektisida baik yang bersifat biokimiawi
maupun genetik.
3) serangan ganda ( multiple attack), Pengelolaan dengan serangan ganda antara lain dilakukan
dengan cara mengadakan rotasi atau pergiliran kelompok dan jenis insektisida yang
mempunyai cara kerja atau mode of action yang berbeda.
4) pencampuran pestisida, jangan mencampur insektisida yang tidak jelas tujuannya. Ada
pendapat bahwa pencampuran insektisida dapa mencegah atau menunda resistensi serangga
terhadap insektisida. Tetapi pendapat lain menyatakan bahwa pencampuran justru akan
merangsang timbulnya resistensi silang (cross resistance)

Pengelolaan resistensi pestisida bertujuan melakukan kegiatan yang dapat menghalangi,


menghambat, menunda atau membalikkan pengembangan resistensi. Untuk membuat
keputusan pengelolaan resistensi sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang faktor-faktor
yang mendorong timbul dan berkembangnya resistensi, dan pendugaan frekuensi genotipe
resisten. Program pengelolaan resistensi menjadi sangat sulit dilaksanakan tanpa pengetahuan
komprehensif tentang mekanisme suatu jenis serangga atau organisme lain menjadi resisten
terhadap pestisida (http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/.
a. Deteksi dan Monitoring Resitensi

Penerapan program pengelolaan resistensi perlu dilakukan sedini mungkin. Apabila kegagalan
pengendalian hama dengan pestisida telah terjadi karena berkembangnya populasi resisten, mungkin
tingkat resistensi sudah sangat tinggi sehingga sulit untuk diturunkan kembali sampai ke tingkat yang
rendah. Karena itu perlu dikembangkan metode pendeteksian yang mudah, cepat, murah dan akurat
sehingga adanya perubahan sifat populasi yang mengarah ke resistensi dapat diketahui lebih awal.
Tersedianya metode pendeteksian resistensi yang standar akan menunjang kegiatan monitoring yang
terprogram.

Metode tersebut diperlukan juga untuk memonitor penyebaran dan tingkat keparahan
resistensi secara spasial dan temporal dan melakukan pendugaan mengenai lebar atau panjang
“jendela waktu― yaitu sejak resistensi terdeteksi sampai ke tingkat keparahan resistensi yang
tidak dapat dikelola lagi tersebut. Untuk mendukung program ini ilmu-ilmu dasar seperti immunologi,
biokimia dan genetika molekuler diharapkan mempunyai peran penting dalam mengembangkan metode
deteksi tersebut.

Langkah yang perlu dilakukan adalah pengembangan dan penggunaan metode deteksi yang cepat,
dapat dipercaya untuk mendeteksi tingkatan rendah terjadinya resistensi di populasi hama. Metode
deteksi dan monitoring resistensi yang sudah lama digunakan adalah dengan teknik bioassay. Pengujian
biokimia untuk mengidentifikasikan aktifitas ensim yang diduga terkait dengan mekanisme resistensi
pada organisme yang diuji juga telah banyak dikembangkan. Namun metode biokimia menuntut lebih
banyak peralatan yang lebih canggih dan lebih mahal daripada metode bioassay. Di samping itu para
pakar bioteknologi juga sedang mengembangkan teknik molekul untuk mendeteksi keberadaan gen
resisten (http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/)

b. Pengendalian Serangga Pengganggu Terpadu

Pada dasarnya PHT adalah pengendalian populasi serangga agar tetap berada di bawah satu
tingkatan atau kerugian ekonomi. Jadi strategi PHT bukanlah pembasmian, pemusnahan atau
pemberantasan, melainkan pembatasan dan mengurangi penggunaan pestisida khususnya insektisida.
Sebab tidak selalu serangga di lingkungan selalu berbahaya, bahkan kadang juga berguna bagi
kehidupan manusia. Untuk melaksanakan program ini semua teknik pengendalian dikombinasikan
secara terpadu dalam satu kesatuan pengolahan. Jadi PHT adalah pengendalian secara multilateral,
bukan unilateral. Tidak cukup hanya dengan pestisida (Rini Wudianto,1997).

Masalah resistensi harus ditanggulangi secara terpadu, lintas disiplin dan lintas sektor,
mengikutsertakan semua stakeholders, tidak hanya pemerintah dan petani tetapi terutama industri
pestisida dengan para petugasnya yang beroperasi di lapangan. Salah satu program yang dapat
dilaksanakan oleh stakeholders secara bersama adalah memberikan penjelasan, penyuluhan dan
pelatihan pada para petani agar mereka dapat ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dalam
menggunakan pestisida secara bijaksana sehingga dapat memperlambat terjadinya populasi resisten.
Petani terutama petani hortikultura harus mengubah perilaku dan kebiasaan mereka dalam
menggunakan dan mengaplikasikan pestisida sehingga sesuai dengan strategi pengelolaan resistensi
pestisida.

Pengelolaan resistensi pestisida sangat komplementer dan mendukung prinsip dan strategi PHT.
Pengelolaan resistensi pestisida merupakan kombinasi teknik pengendalian dengan pestisida dan
pengendalian tanpa pestisida sedemikian rupa sehingga frekuensi individu-individu resisten dalam
populasi hama tetap dalam tingkatan yang dapat dikelola dan secara ekonomis layak. Penggunaan
pestisida agar dilaksanakan secara selektif dengan memperhatikan hasil monitoring dan analisis data
populasi hama dan musuh alaminya. Semakin kecil paparan populasi hama terhadap pestisida kimia
tertentu diharapkan dapat memperlambat timbulnya populasi resisten. Penerapan PHT akan
mengurangi tekanan seleksi terhadap organisme perusak tanaman serta dapat memperlambat atau
menunda pengembangan populasi resisten yang merugikan semua pihak
(http://cdsindonesia.wordpress.com/2008/04/08/).

Pada pelaksanaan PHT ini ada beberapa tahapan pengendalian, yaitu (Rini Wudianto,1997):

1. Pengendalian kultur teknik


Inti dari pengendalian ini ialah memodifikasi lingkungan agar lingkungan menjadi
sangat buruk bagi perkembangan dan perbanyakan serangga pengganggu. Misalnya
dengan pengolahan tanah, sanitasi, dll
2. Pengendalian hayati
Pengendalian hayati ialah pengendalian hama dengan cara biologi, yaitu
memanfaatkan musuh alami yang berupa parasitoid dan predator, patogen : jamur,
bakteri virus dan nematoda, serta hewan vertebrata. Misal : ikan Peocilia reticulata
efektif memangsa jentik nyamuk malaria.

Pengendalian ini mempunyai beberapa keuntungan dan kelemahan :


- Tidak mencemari lingkungan,
- Musuh alami yang dipilih biasanya sudah mengkhususkan diri terhadap serangga
sasaran dan tidak atau sedikit sekali berdampak negatif pada organisme lainnya,
- Petugas ataupun petani tidak perlu melakukan tindakan apa pun
- Lebih murah biayanya dibanding pestisida

Kelemahannya diantaranya :
- Tingkat keberhasilan sekitar 10%

3. Pengendalian Mekanik dan Fisik


Tujuan dari pengendalian ini adalah mengubah faktor lingkungan fisik menjadi di atas atau
dibawah batas toleransi serangga sasaran. Pada pengendalian ini target di berantas atau
dipindahkan secara langsung oleh manusia dengan bantuan alat. Diantara beberapa
caranya dalah memasang perangkap, dan membunuh langsung telur, larva, pupa dan
imago serangga sasaran yang ditemui.
4. Pengendalian Secara Kimiawi
Pengendalian dengan cara ini tidak hanya dengan menggunakan pestisida , tetapi masih
banyak bahan kimia yang bisa digunakan untuk pengendalian. Misalnya penggunaan
feromon dan repellant (penolak serangga).
a. Feromon adalah senyawa kimia yang dikeluarkan oleh hewan yang menyebabkan
rangsangan khas pada individu dari satu spesies yang menerimanya yaitu
menunjukkan perilaku tertentu atau menentukan perkembangan fisiologi. Sebagai
misal feromon seks, feromon pengumpulan, feromon jejak.
b. Repellant adalah senyawa yang menyebabkan serangga menjauh dengan cara
membuat tanaman menjadi tidak menarik, tidak enak, atau menjijikkan. Misal ; kayu
pinus dan kayu jati mengandung senyawa penolak alamiah sehingga tahan terhadap
serangga rayap.
c. Pestisida
Memang diakui bahwa pestisida telah menjadi bagian dalam pengendalian vektor
maupun binatang pengganggu di Indonesia. Bahkan dalam keadaan panik strategi ini
merupakan satu-satunya cara yang sangat diharapkan membantu memecahkan
masalah vektor maupun binatang pengganggu. Namun, seperti telah dibahas
sebelumnya, dibalik efektifitasnya yang tinggi pestisida banyak menimbulkan efek
negatif yang merugikan.

Dalam pengendalian dengan pestisida ini sebaiknya pengguna mengetahui sifat kimia
dan sifat fisik pestisida, biologi dan ekologi organisme pengganggu, serta mush alaminya. Prinsip
berikut perlu diperhatikan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan (Rini Wudianto,1997).

1. Gunakan pestisida bila populasinya telah mencapai tingkat kerusakan atau


ambang ekonomi.
2. Gunakan pestisida yang berspektrum sempit, mempunyai selektivitas tinggi
dengan konsentrasi dosis yang tepat.
3. Gunakan pestisida yang residunya pendek dan mudah terdekomposisi oleh
faktor lingkungan.
4. Gunakan pestisida pada saat serangga sasaran berada pada titik terlemah.
5. Gunakan pestisida bila cara pengendalian lain sudah tidak efektif dan efisien
lagi.

d. Insektisida yang ideal


Kemajuan telah banyak diperoleh, tetapi sebegitu jauh, pestisida yang benar – benar ideal
belum ada. dari berbagai sumber (dalam al.Fischer et al.,1990; Natawigena, 1985, sifat-
sifat ideal yang seharusnya dipunyai pestisida adalah sebagi berikut;
1. Sifat biologi
a. Efektif
b. Takaran aplikasi rendah
c. Toksisitas rendah (LD50 tinggi) sehingga tidak berbahaya bagi manusia maupun
lingkungan.
d. Sasarannya spesifik
e. Selektif
f. Tidak cepat menimbulkan resisten.
2. Sifak kimia
a. Tidak persisten
b. Tidak mudah menembus kulit manusia.
3. Formulasi
a. Diformulasi dalam bentuk mendukung keselamatan manusia
b. Formulasinya cukup stabil
c. Mudah diaplikasikan
Mekanisme Keracunan Insektisida
Semua insektisida bentuk cair dapat diserap melalui kulit dan usus dengan sempurna.
Jenis yang paling sering menimbulkan keracunan di Indonesia adalah golongan organofosfat dan
organoklorin. Golongan karbamat efeknya mirip efek organofosfat, tetapi jarang menimbulkan
kasus keracunan. Masih terdapat jenis pestisida lain seperti racun tikus (antikoagulan dan seng
fosfit) dan herbisida (parakuat) yang juga sangat toksik. Kasus keracunan golongan ini jarang
terjadi. Organofosfat diabsorbsi dengan baik melalui inhalasi, kontak kulit, dan tertelan dengan
jalan utama pajanan pekerjaan adalah melalui kulit.(4)
Pada umumnya organofosfat yang diperdagangkan dalam bentuk –thion (mengandung
sulfur) atau yang telah mengalami konversi menjadi –okson (mengandung oksigen), dalam –
okson lebih toksik dari bentuk –thion. Konversi terjadi pada lingkungan sehingga hasil tanaman
pekrja dijumpai pajanan residu yang dapat lebih toksik dari pestisida yang digunakan. Sebagian
besar sulfur dilepaskan ke dalam bentuk mercaptan, yang merupakan hasil bentuk aroma dari
bentuk –thion organofosfat. Mercaptan memiliki aroma yang rendah, dan reaksi-reaksi
bahayanya meliputi sakit kepala, mual, muntah yang selalu keliru sebagai akibat keracunan akut
organofosfat.(4)
Konversi dari –thion menjadi -okson juga dijumpai secara invivo pada metabolisme
mikrosom hati sehingga –okson menjadi pestisida bentuk aktif pada hama binatang dan manusia.
Hepatik esterase dengan cepat menghidrolisa organofosfat ester, menghasilkan alkil fosfat dan
fenol yang memiliki aktifitas toksikologi lebih kecil dan cepat diekskresi.
Organofosfat menimbulkan efek pada serangga, mamalia dan manusia melalui inhibisi
asetilkolinesterase pada saraf.(1,2,3,4,5,6,7)
Fungsi normal asetilkolin esterase adalah hidrolisa dan dengan cara demikian tidak
mengaktifkan asetilkolin. Pengetahuan mekanisme toksisitas memerlukan pengetahuan lebih
dulu aksi kolinergik neurotransmiter yaitu asetilkolin (ACh) . Reseptor muskarinik dan nikotinik-
asetilkolin dijumpai pada sistem saraf pusat dan perifer.(1)
Pada sistem saraf perifer, asetilkolin dilepaskan di ganglion otonomik :
1. sinaps preganglion simpatik dan parasimpatik
2. sinaps postgamglion parasimpatik
3. neuromuscular junction pada otot rangka.
Pada sistem saraf pusat, reseptor asetilkolin umumnya lebih penting toksisitas
insektisitada organofosfat pada medulla sistem pernafasan dan pusat vasomotor. Ketika
asetilkolin dilepaskan, peranannya melepaskan neurotransmiter untuk memperbanyak konduksi
saraf perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri melalui
hidrolisis dengan munculnya enzim asetilkolinesterase (AChE). Ada dua bentuk AChE yaitu true
cholinesterase atau asetilkolinesterase yang berada pada eritrosit, saraf dan neuromuscular
junction. Pseudocholinesterase atau serum cholisterase berada terutama pada serum, plasma dan
hati.(1,4)
Insektisida organofosfat menghambat AChE melalui proses fosforilasi bagian ester anion.
Ikatan fosfor ini sangat kuat sekali yang irreversibel. Aktivitas AChE tetap dihambat sampai
enzim baru terbentuk atau suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Dengan berfungsi sebagai
antikolinesterase, kerjanya menginaktifkan enzim kolinesterase yang berfugnsi menghidrolisa
neurotransmiter asetilkolin (ACh) menjadi kolin yang tidak aktif. Akibatnya terjadi penumpukan
ACh pada sinapssinaps kolinergik, dan inilah yang menimbulkan gejala-gejala keracunan
organofosfat.(1,2,3,4,6,7) Pajanan pada dosis rendah, tanda dan gejala umumnya dihubungkan
dengan stimulasi reseptor perifer muskarinik. Pada dosis lebih besar juga mempengaruhi reseptor
nikotinik dan reseptor sentral muskarinik. Aktivitas ini kemudian akan menurun, dalam dua atau
empat minggu pada pseudocholinesterase plasma dan empat minggu sampai beberapa bulan
untuk eritrosit.(1)

Manifestasi Klinis Keracunan Insektisida

1. Tanda dan Gejala

Keracunan organofosfat dapat menimbulkan variasi reaksi keracunan. Tanda dan


gejala dihubungkan dengan hiperstimulasi asetilkolin yang persisten.(1)
Tanda dan gejala awal keracunan adalah stimulasi berlebihan kolinergik pada otot polos dan
reseptor eksokrin muskarinik yang meliputi miosis, gangguan perkemihan, diare, defekasi,
eksitasi, dan salivasi (MUDDLES).(1,2,3,4,5,6,7)
Efek yang terutama pada sistem respirasi yaitu bronkokonstriksi dengan sesak nafas
dan peningkatan sekresi bronkus.(1) Dosis menengah sampai tinggi terutama terjadi stimulasi
nikotinik pusat daripada efek muskarinik (ataksia, hilangnya refleks, bingung, sukar bicara,
kejang disusul paralisis, pernafasan Cheyne Stokes dan coma.(1,2,4,7) Pada umumnya gejala
timbul dengan cepat dalam waktu 6 – 8 jam, tetapi bila pajanan berlebihan dapat menimbulkan
kematian dalam beberapa menit. Bila gejala muncul setelah lebih dari 6 jam,ini bukan keracunan
organofosfat karena hal tersebut jarang terjadi.(4)
Kematian keracunan akut organofosfat umumnya berupa kegagalan pernafasan. Oedem
paru, bronkokonstriksi dan kelumpuhan otot-otot pernafasan yang kesemuanya akan
meningkatkan kegagalan pernafasan.(1,4)
Aritmia jantung seperti hearth block dan henti jantung lebih sedikit sebagai penyebab
kematian.(4)
Insektisida organofosfat diabsorbsi melalui cara pajanan yang bervariasi, melalui inhalasi
gejala timbul dalam beberapa menit. Ingesti atau pajanan subkutan umumnya membutuhkan
waktu lebih lama untuk menimbulkan tanda dan gejala. Pajanan yang terbatas dapat
menyebabkan akibat terlokalisir. Absorbsi perkutan dapat menimbulkan keringat yang
berlebihan dan kedutan (kejang) otot pada daerah yang terpajan saja. Pajanan pada mata dapat
menimbulkan hanya berupa miosis atau pandangan kabur saja. Inhalasi dalam konsentrasi kecil
dapat hanya menimbulkan sesak nafas dan batuk. Komplikasi keracunan selalu dihubungkan
dengan neurotoksisitas lama dan organophosphorus-induced delayed neuropathy(OPIDN).(1)
Sindrom ini berkembang dalam 8 – 35 hari sesudah pajanan terhadap organofosfat.
Kelemahan progresif dimulai dari tungkai bawah bagian distal, kemudian berkembang
kelemahan pada jari dan kaki berupa foot drop. Kehilangan sensori sedikit terjadi. Demikian juga
refleks tendon dihambat .(7)

2. Laboratorium

Nilai laboratorium tidak spesifik , yang dapat ditemukan bersifat individual pada
keracunan akut, diantaranya lekositosis, proteinuria, glikosuria dan hemokonsentrasi. Walaupun
demikian, perubahan aktifitas kolinesterase sesuai dengan tanda dan gejala merupakan informasi
untuk diagnosa dan penanganan sebagian besar kasus.(4)
Pada konfirmasi diagnosa, pengukuran aktifitas inhibisi kolinesterase dapat digunakan,
tetapi pengobatan tidak harus menunggu hasil laboratotium.(1)
Pemeriksaan aktivitas kolinesterase darah dapat dilakukan dengan cara acholest atau
tinktometer. Enzim kolinesterase dalam darah yang tidak diinaktifkan oleh organofosfat akan
menghidrolisa asetilkolin ( yang ditambahkan sebagai substrat) menjadi kolin dan asam asetat.
Jumlah asam asetat yang terbentuk, menunjukkan aktivitas kolinesterase darah, dapat diukur
dengan cara mengukur keasamannya dengan indikator. Pada pekerja yang menggunakan
organofosfat perlu diketahui aktivitas normal kolinesterasenya untuk dipakai sebagai pedoman
bila kemudian timbul keracunan. Manifestasi klinik keracunan akut umumnya timbul jika lebih
dari 50 % kolinesterase dihambat, berat ringannya tanda dan gejala sesuai dengan tingkat
hambatan.

Penatalaksanaan Keracunan Insektisida


Penanganan keracunan insektsida organofosfat harus secepat mungkin dilakukan.
Keragu-raguan dalam beberapa menit mengikuti pajanan berat akan meningkatkan timbulnya
korban akibat dosis letal.(1)
Beberapa puluh kali dosis letal mungkin dapat diatasi dengan pengobatan cepat. Pertolongan
pertama yang dapat dilakukan :

1. Bila organofosfat tertelan dan penderita sadar, segera muntahkan penderita dengan
mengorek dinding belakang tenggorok dengan jari atau alat lain, dan atau memberikan
larutan garam dapur satu sendok makan penuh dalam segelas air hangat. Bila penderita
tidak sadar, tidak boleh dimuntahkan karena bahaya aspirasi.
2. Bila penderita berhenti bernafas, segeralah dimulai pernafasan buatan. Terlebih dahulu
bersihkan mulut dari air liur, lendir atau makanan yang menyumbat jalan nafas. Bila
organofosfat tertelan, jangan lakukan pernafasan dari mulut ke mulut.
3. Bila kulit terkena organofosfat, segera lepaskan pakaian yang terkena dan kulit dicuci
dengan air sabun.
4. Bila mata terkena organofosfat, segera cuci dengan banyak air selama 15 menit.

Pengobatan
1. Segera diberikan antidotum Sulfas atropin 2 mg IV atau IM. Dosis besar ini tidak
berbahaya pada keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 10 – 15 menit sampai terlihat
gejala-gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering,
midriasis dan takikardi. Kewmudian atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama 24 – 48
jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali. Pada hari pertama
mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat diberikan oral 1 – 2 mg
selang beberapa jam, tergantung kebutuhan. Atropin akan menghialngkan gejala –gejala
muskarinik perifer (pada otot polos dan kelenjar eksokrin) maupun sentral. Pernafasan diperbaiki
karena atropin melawan brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi
pernafasan di otak, tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang
berupa kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernafasan.

2. Pralidoksim
Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator enzim
kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan, keefektifannya
dipertanyakan.(1)
Dosis normal yaitu 1 gram pada orang dewasa. Jika kelemahan otot tidak ada perbaikan,
dosis dapat diulangi dalam 1 – 2 jam. Pengobatan umumnya dilanjutkan tidak lebih dari 24 jam
kecuali pada kasus pajanan dengan kelarutan tinggi dalam lemak atau pajanan kronis. (1)
Pralidoksim dapat mengaktifkan kembali enzim kolinesterase pada sinaps-sinaps termasuk
sinaps dengan otot rangka sehingga dapat mengatasi kelumpuhan otot rangka.

Pencegahan Keracunan Insektisida


Cara-cara pencegahan keracunan pestisida yang mungkin terjadi pada pekerjapekerja
pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai berikut :
a. Penyimpanan pestisida :

1. Pestisida harus disimpan dalam wadah wadah yang diberi tanda,


sebaiknyatertutup dan dalam lemari terkunci.
2. Campuran pestisida dengan tepung atau makanan tidak boleh disimpan dekat
makanan. Campuran yang rasanya manis biasanya paling berbahaya. Tanda tanda harus jelas
juga untuk mereka yang buta huruf.

3. Tempat-tempat bekas menyimpan yang telah tidak dipakai lagi harus dibakar agar
sisa pestisida musnah sama sekali.
4. Penyimpanan di wadah-wadah untuk makanan atau minuman seperti di
botolbotol, sangat besar bahayanya.

b. Pemakaian alat-alat pelindung :

1. Pakailah masker dan adakanlah ventilasi keluar setempat selama melakukan


pencampuran kering bahan-bahan beracun.
2. Pakailah pakaian pelindung, kacamata, dan sarung tangan terbuat dari neopren, jika
pekerjaan dimaksudkan untuk mencampur bahan tersebut dengan minyak atau pelarut-
pelarut organis. Pakaian pelindung harus dibuka dan kulit dicuci sempurna sebelum
makan.
3. Pakaialah respirator, kacamata, baju pelindung, dan sarung tangan selama menyiapkan
dan menggunakan semprotan, kabut, atau aerosol, jika kulit atau paru-paru mungkin
kontak dengan bahan tersebut.

c. Cara-cara pencegahan lainnya :

1. Selalu menyemprot ke arah yang tidak memungkinkan angin membawa bahan, sehingga
terhirup atau mengenai kulit tenaga kerja yang bersangkutan.
2. Hindarkan waktu kerja lebih dari 8 jam sehari bekerja di tempat tertutup dengan penguap
termis, juga alat demikian tidak boleh digunakan di tempat kediaman penduduk atau di
tempat pengolahan bahan makanan.
3. Janganlah disemprot tempat-tempat yang sebagian tubuh manusia akan bersentuhan
dengannya.
Di bawah ini dikutip pedoman dan petunjuk-petunjuk pemakaian pestisida yang dikeluarkan oleh
Departemen Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi :

1. Semua pestisida adalah racun, tetapi bahayanya dapat diperkecil bila diketahui cara-cara
bekerja dengan aman dan tidak mengganggu kesehatan.
2. Bahaya pestisida terhadap pekerja lapangan ialah :

a. Pada waktu memindahkan pestisida dari wadah yang besar kepada wadah yang lebih
kecil untuk diangkat dari gudang ke tempat bekerja.
b. Pada waktu mempersiapkannya sesuai dengan konsentrasi yang dibutuhkan.
c. Pada waktu dan selama menyemprot.
d. Kontaminasi karena kecelakaan, yang dapat terjadi pada setiap tingkat pekerjaan
e. tersebut di atas (waktu memindah-mindahkan, bongkar muat, peredearan dan
f. transportasi, penyimpanan, pengaduk, menyemprot atau pemakaian lainnya).

3. Mengingat hal-hal tersebut di atas, maka perlu mendapat perhatian intensif :

a. Mereka yang bekerja dengan pestisida harus diberitahu bahaya yang akan dihadapinya
atau mungkin terjadi dan menerima serta memperhatikan pedoman dan petunjuk-
petunjuk tentang cara-cara bekerja yang aman dan tidak mengganggu kesehatan.
b. Harus ada pengawasan teknis dan medis yang cukup.
c. Harus tersedia fasilitas untuk PPPK (Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan) mengingat
efek keracunan pestisida yang dapat berbahaya pada pekerja. Bila dipakai pestisida
golongan organofosfat harus tersedia atropin, baik dalam bentuk tablet maupun suntikan.
Untuk ini perlu adanya seorang pengawas yang terlatih.

4. Penyemprot diharuskan memakai tutup kepala atau masker yang tak dapat tembus, serta
dicuci dengan baik secara berkala.
5. Pekerja yang mendapat cedera atau iritasi kulit pada tempat-tempat yang mungkin
terkena pestisida, dalam hal ini ia tidak diperkenankan bekerja dengan pestisida, karena
keadaan ini akan mempermudah masuknya pestisida ke dalam tubuh.
6. Fasilitas (termasuk sabun) untuk mencuci kulit (mandi) dan mencuci pakaian harus
tersedia cukup. Mandi setelah menyemprot adalah merupakan keharusan yang perlu
mendapat pengawasan.
7. Pekerja tidak boleh bekerja dengan pestisida lebih dari 4 sampai 5 jam dalam satu hari
kerja, bila aplikasi dari pestisida oleh pekerja yang sama berlangsung dari hari ke hari
(kontinu dan berulang kali) dan untuk waktu yang sama.
8. Harus dipakai pakaian kerja yang khusus dan tersendiri, pakaian kerja ini harus diganti
dan dicuci setiap hari, untuk pestisida golongan organofosfat perlu dicuci dengan sabun.
9. Disamping memperhatikan keadaan-keadaan lainnya, pekerja tidak boleh merokok,
minum atau makan sebelum mencuci tangan dengan bersih memakai sabun dan air.
10. Bahaya terbesar terdapat pada waktu bekerja dengan konsentrat, karenanya perlu
diperhatikan ketentuan-ketentuan di bawah ini :

a. Dalam mempersiapkan konsentrat dari bubuk dispersi dalam air, haruslah dipakai bak
pencampur yang dalam, serta alat pengaduk yang cukup panjangnya untuk mencegah
percikan, dan dapat bekerja sambil berdiri. Demikian pula untuk mencairkan past yang
padat.
b. Mengisi bak pencampur harus demikian, sehingga bahaya percikan dapat ditiadakan atau
sekecil mungkin.
c. Pekerja disini selain memakai alat pelindung seperti pada penyemprot, harus pula
memakai skor dan sarung tangan yang tidak dapat tembus.
d. Memindahkan konsentrat dari satu tempat atau wadah ke tempat yang lain harus
memakai alat yang cukup panjang.
e. Konsentrat cair harus ditempatkan dalam wadah yang cukup kuat, tidak mudah rusak
pada waktu pengangkutan dan ditutup rapat.

11. Alat-alat penyemprot harus memenuhi ketentuan-ketentuan keselamatan kerja.


12. Semua wadah pestisida harus mempunyai etiket yang memenuhi syarat, mudah dibaca
dan dimengerti baik oleh pekerja maupun pengawas.
13. Harus dipenuhi ketentuan-ketentuan tentang wadah pestisida yang telah kosong atau
hampir kosong, yaitu :
a. Wadah ini harus dikembalikan ke gudang selanjutnya dibakar atau dirusak dan kemudian
dikubur.
b. Wadah dapat pula didekontaminasikan dengan memenuhi persyaratan tertentu.

14. Sedapat mungkin diusahakan supaya tenaga kerja pertanian yang bersangkutan dilakukan
pemeriksaan kesehatan berkala, terhadap yang menggunakan pestisida organofosfat
dilakukan setiap bulan sekali pemeriksaan kesehatan berkala yang berpedoman kepada
standard kolinesterase dalam darah.

Anda mungkin juga menyukai