Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Hukum Jaminan dan Pembiayaan


Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hukum Komersial

Dosen M. Zairul Alam, SH.MH

Yoga Rama Sinuraya : 155020301111031

Rizki Alif Pratama : 155020301111034

Charisma Talytha Z : 155020301111042

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

TAHUN 2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan yang maha Esa yang telah memberikan kita nikmat, baik
itu nikmat islam maupun nikmat iman. Kedua kalinya tak lupa kita ucapkan salawat serta salam
kepada junjungan Nabi besar Muhamamad SAW.Yang telah menunjukkan kita jalan yang
menuju kebenaran, seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberi tugas dan
membimbing kami dalam menyelesaikan makalah yang berjudul “Hukum Jaminan dan
Pembiayaan” kami sadar bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dari teman-teman yang bersifat membangun untuk
dijadikan pelajaran ke depannya.

Akhir kata kami sebagai penyusun mengucapkan, Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita
semua.

Malang, Mei 2016


DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………...……………..i
KATA PENGANTAR………………………………......………….....……………...ii
DAFTAR ISI……………………………………………......………….....…………..iii
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………….…………………………........1
1.1. Latar Belakang…………...……………………………………..………………1
1.2. Rumusa Masalah…………...……………………...………….….…….....……1
1.3. Tujuan.............…………...…………………………………….………………1

BAB 2 PEMBAHASAN........................................... ........……………………………8


2.1. Leasing……………………...........................………………………………….8
2.2. Perjanjian Kredit......………………………………………………………….17

DAFTAR PUSTAKA…………………………………....…....…………………….27
BAB I
PENDAHULUAN
.

1.1 Latar Belakang


Manusia dalam mempertahankan hidupnya melakukan berbagai macam cara, salah
satunya adalah melakukan kegiatan atau aktivitas bisnis. Melalui kegiatan itu manusia ada
kemumgkinan terjadi hubungan pinjam meminjam. Ketika terjadi hubungan pinjam meminjam
maka timbul hak dan kewajiban, ketika terjadi wan prestasi maka disinilah timbulnya pemikiran
mengenai apa yang dinamakan jaminan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Jaminan dan Pembiayaan?
2. Apa saja sumber-sumber Hukum Jaminan dan Pembiayaan ?
3. Siapa saja pihak yang terkait dalam Hukum Jaminan san Pembiayaan?

1.3 Tujuan
Dengan tulisan ini diharapkan semua pihak khususnya pembaca dapat memahami tentang
hukum jaminan dan pembiayaan di Indonesia.
Walaupun tulisan ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh pembaca pada
umumnya karena keterbatasan ilmu dan wawasan penulis, mudah-mudahan sedikit dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan sebuah referensi, bahan bacaan untuk
memperkaya khasanah kepustakaan yang telah dimiliki serta dapat memacu penulis untuk lebih
banyak menggali wawasan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. LEASING
Leasing atau sewa-guna-usaha adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam
bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk jangka
waktu tertentu.Dengan melakukan leasing perusahaan dapat memperoleh barangmodal dengan
jalan sewa beli untuk dapat langsung digunakan berproduksi, yang dapat diangsur setiap bulan,
triwulan atau enam bulan sekali kepada pihak lessor.Bagi perusahaan yang modalnya kurang
atau menengah, dengan melakukan perjanjian leasing akan dapat membantu perusahaan dalam
menjalankan roda kegiatannya. Setelah jangka leasing selesai, perusahaan dapat membeli barang
modal yang bersangkutan.
Pengertian leasing menurut surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri
Perdagangan dan Industri Republik Indonesia No. KEP- 122/MK/IV/2/1974, Nomor
32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 adalah: ”Setiap kegiatan
pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh
suatu perusahaan untuk jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara
berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal
yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa uang telah
disepakati bersama”.
Equipment Leasing Association di London memberikan definisi leasing sebagai berikut:
“Leasing adalah perjanjian antara lessor dan lessee untuk menyewa sesuatu atas barang modal
tertentu yang dipilih/ditentukan oleh lessee. Hak pemilikan barang modal tersebut ada pada
lessor sedangkan lessee hanya menggunakan barang modal tersebut berdasarkan pembayaran
uang sewa yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu”.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka pada prinsipnya pengertian leasing terdiri
dari beberapa elemen di bawah ini:
1. Pembiayaan perusahaan.
2. Penyediaan barang-barang modal.
3. Jangka waktu tertentu.
4. Pembayaran secara berkala.
5. Adanya hak pilih (option right).
6. Adanya nilai sisa yang disepakati bersama
7. Adanya pihak lessor
8. Adanya pihak lessee

Pembiayaan melalui leasing merupakan pembiayaan yang sangat sederhana dalam


prosedur dan pelaksanaannya dan oleh karena itu leasing yang digunakan sebagai pembayaran
alternatif tampak lebih menarik. Sebagai suatu alternatif sumber pembiayaan modal bagi
perusahaan-perusahaan, maka leasing didukung oleh keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1. Fleksibel, artinya struktur kontrak dapat disesuaikan dengan kebutuhan perusahaan yaitu
besarnya pembayaran atau periode lease dapat diatur sedemikian rupa sesuai dengan
kondisiperusahaan.
2. Tidak diperlukan jaminan, karena hak kepemilikan sah atas aktiva yang di lease serta
pengaturan pembayaran lease sesuai dengan pendapatan yang dihasilkan oleh aktiva yang
dilease sudah merupakan jaminan bagi lease itu sendiri.
3. Capital saving, yaitu tidak menyediakan dana yang besar, maksimum hanya menyediakan
down payment yang jumlahnya dalam kebiasaan lease tidak terlalu besar, jadi dalam hal
ini bisa dikatakan menjadi suatu penghematan modal bagi lessee, yaitu lessee dapat
menggunakan modal yang tersedia untuk keperluan lain. Karena leasing umumnya
membiayai 100% barang modal yang dibutuhkan.
4. Cepat dalam pelayanan, artinya secara prosedur leasing lebih sederhana dan relatif lebih
cepat dalam realisasi pembiayaan bila dibandingkan dengan kredit investasi bank, jadi
tanpa prosedur yang rumit dan hal itu memberikan kemudahan bagi para pengusaha
untuk memperoleh mesin-mesin dan peralatan yang mutakhir untuk memungkinkan
dibukanya suatu bidang usaha produksi yang baru atau untuk memodernisasi perusahaan.
5. Pembayaran angsuran lease diperlakukan sebagai biaya operasional, artinya pembayaran
lease langsung dihitung sebagai biaya dalam penentuan laba rugi perusahaan, jadi
pembayarannya dihitung dari pendapatan sebelum pajak, bukan dari laba yang terkena
pajak.
6. Sebagai pelindung terhadap inflasi, artinya terhindar dari resiko penurunan nilai uang
yang disebabkan oleh inflasi, yaitu lessee sampai kapan pun tetap membayar dengan
satuan moneter yang lalu terhadap sisa kewajibannya.
7. Adanya hak opsi bagi lessee pada akhir masa lease.
8. Adanya kepastian hukum, artinya suatu perjanjian leasing tidak dapat dibatalkan dalam
keadaan keuangan umum yang sangat sulit, sehingga dalam keadaan keuangan atau
moneter yang sesulit apapun perjanjian leasing tetap berlaku.
9. Terkadang leasing merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan aktiva bagi suatu
perusahaan, terutama perusahaan ekonomi lemah, untuk dapat memodernisasi pabriknya.

Dalam usaha leasing ini banyak faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan sebelum suatu
perjanjian leasing ditanda tangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Hal ini berarti baik lessee
maupun lessor harus berhati-hati dalam menyusun suatu kontrak lease, adanya sedikit
kekhilafan akan menimbulkan perselisihan yang merugikan bagi kedua belah pihak dikemudian
hari. Jadi dalam membuat perjanjian leasing diharapkan lessee mempelajari dahulu sebaik-
baiknya rencana investasi yang akan dibiayai oleh finansial lease tersebut, dilain pihak lessor pun
harus mempelajari bagaimana kondisi lessee dan bagaimana prospeknya di masa yang akan
datang serta resiko-resiko apa yang harus dihadapi.

Permasalahan:
1. Bagaimana perlindungan hukum Lessor apabila lessee melakukan wansprestasi dalam
pembayaran harga sewa barang modal ?
2. Bagaimana cara penyelesaian yang diberikan Lessor yang menderita kerugian akibat
Lessee melakukan wansprestasi ?
Ketentuan-ketentuan:
 Kepres /No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga Pembiayaan dimana dalam ketentuan pasal
2 ayat 1 disebutkan bahwa Lembaga Pembiayaan melakukan kegiatan yang meliputi
antara lain bidang usaha :
a) Sewa Guna Usaha;

b) ModalVentura;

c) Perdagangan Surat Berharga;


d) Anjak Piutang;
e) Usaha Kartu Kredit;
f) Pembiayaan Konsumen
 KepMenKeu No. 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan Dan Tata Cara Pelaksanaan
Lembaga Pembiayaan.
 Surat Keputusan bersama tiga Menteri yaitu Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian
dan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor Kep. 122/MK/IV/I.1974, No.
32/M/SK/2/1974, dan No. 30/Kpb/I/1974 tertanggal 7 Februari 1974 antara lain di dalam
pasal 1 nya mengatur masalah perizinan usaha leasing.
.
Dalam praktek suatu perjanjian yang dibuat oleh Lessor dan Lessee kadang-kadang tidak
semuanya berjalan mulus, ada saja salah satu pihak yang tidak melakukan/melaksanakan
prestasinya dengan kata lain adanya pihak-pihak yang melakukan wansprestasi.
Keadaan wansprestasi ini kalau tidak segera diselesaikan akan menghambat jalannya per-janjian
yang telah disepakati oleh pihak-pihak.
Wansprestasi atau breach of contract merupakan salah satu sebab sehingga berjalannya
kontrak menjadi berhenti. Dalam hal ini yang dimaksud dengan wansprestasi adalah salah satu
pihak atau lebih tidak melaksanakan prestasinya sesuai dengan kontrak. KUHPerdata Pasal 1239
menentukan bahwa dalam hal suatu pihak melakukan wansprestasi, maka pihak lainnya dapat
menuntut diberikan ganti rugi berupa biaya, rugi dan bunga. Alternatif lain selain dari tuntutan
hanya ganti rugi oleh pihak yang dirugikan, maka dapat juga dituntut pelaksanaan perjanjian itu
sendiri dengan atau tanpa ganti rugi. Khusus terhadap kontrak leasing, maka berbagai
kemungkinan wansprestasi dapat terjadi dengan konsekwensi yuridis yang berbeda-beda pula.
Bentuk-bentuk wansprestasi yang dapat terjadi dalam perjanjian leasing antara lain :
 Lessee tidak membayar harga sewa pada tanggal yang telah ditentukan atau setelah
sekian hari dari tanggal tersebut.
 Lessee tidak membayar denda atas keterlambatannya membayar sewa atau terlambatnya
membayar denda.
 Lessee melakukan tindakan-tindakan yang dilarang dalam perjanjian lease (sublease,
menjaminkan atau menghilangkan label barang).

Adapun wanprestasi ini umumnya sering dilakukan oleh lessee dalam suatu perjanjian leasing,
antara lain :
1. Lessee tidak mampu atau tidak dapat lagi memenuhi kewajibannya untuk membayar
angsuran terhadap barang yang dileasenya., dikarenakan lessee secara sengaja dengan
itikad tidak baik tidak membayar angsuran yang sudah jatuh tempo pembayarannya.
2. Lessee terlambat membayar angsuran yang sudah jatuh tempo pembayarannya atau
menunda-nunda pembayaran angsuran yang seharusnya sudah dibayar.
3. Lessee melakukan perbuatan hukum yang melanggar hak pemilikan, ini merupakan
perbuatan dimana lessee tanpa seizin lessor secara tertulis melakukan pengalihan
pemakaian barang yang dileassenya kepada pihak lain atau menjadikan barang itu
sebagai jaminan hutangnya atau menjual barang tersebut dengan tujuan antara lain
melepaskan diri dari pembayaran angsuran yang ditanggungnya.

Wansprestasi yang dilakukan oleh lessee dalam perjanjian leasing ini dapat bersifat
sementara dalam arti menunggak dan kemudian dapat dibayar, atau bersifat tetap sehingga
persoalan ini harus diselesaikan melalui proses hukum.
Dari kemungkinan-kemungkinan untuk dapat terjadinya perselisihan dalam perjanjian
leasing yang sering menjadi perselisihan adalah masalah pembayaran harga sewa barang modal
yang menjadi obyek perjanjian, dilain pihak lessor juga sering menemukan adanya beberapa
wansprestasi yang dilakukan lessee yang menyangkut kewajibannya terhadap lessor misalnya
memindahkan objek leasing.
Dalam praktek jika lessee memenuhi prestasinya dalam membayar harga sewa barang
kepada lessor berjalan lancar, kecil kemungkinan lessor untuk datang melihat barang sewa
tersebut, tetapi apabila ada hambatan mengenai pembayaran harga sewa oleh lessee baik
tertunda maupun ada keterlambatan barulah lessor akan mendatangi dan melihat ketempat
dimana barang tersebut berada. Hal ini dilakukan oleh lessor dengan asumsi bahwa apabila
kewajiban lessee dalam pembayaran harga sewa diabaikan maka tidak mustahil kewajiban lessee
yang lainnya akan diabaikan pula, misalnya tentang perawatan terhadap barang tidak dilakukan
secara baik, barang yang rusak tidak diperbaiki dan lain-lain kelalaian yang mungkin terjadi.
Apabila sengketa sampai ke proses pengadilan, selama proses pengadilan tersebut belum
selesai biasanya lessee menguasai barang sewa tersebut dan tetap mendapat keuntungan dari
hasil produksi pengoperasian barang obyek lease tersebut. Walaupun sebenarnya menurut
perjanjian yang telah disepakati bersama oleh Lessor dan Lessee dimana jika lessee melakukan
wansprestasi dalam perjanjian leasing tersebut, maka lessor akan mengambil kembali barang
sewa tersebut dari kekuasaan lessee dengan biaya yang ditanggung lessee. Namun dalam
praktek, pelaksanaan tersebut sering mendapat hambatan dan kesulitan dari pihak lessee.
Perlindungan hukum yang dimiliki oleh pihak lessor adalah jika pembeli tidak membayar
harga pembelian, itu merupakan suatu wansprestasi yang memberikan alasan kepada penjual
untuk menuntut ganti rugi atau pembatalan pembelian menurut ketentuan yang berlaku di dalam
pasal 1266 -1267 KUHPerdata yaitu :
 Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam
persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi
pembatalan harus dimintakan kepada Hakim. Permintaan ini juga harus dilakukan,
meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan didalam
perjanjian. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, Hakim adalah leluasa
untuk, menurut keadaan, atas permintaan si tergugat, memberikan suatu jangka waktu
untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun itu tidak boleh
lebih dari satu bulan.
 Pasal 1267 KUHPerdata menyebutkan bahwa Pihak terhadap siapa perikatan
tidakdipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan
memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut
pembatalan perjanjian, disertai biaya, kerugian dan bunga.

Dalam hal penjualan barang-barang dagangan dan barang-barang perabot rumah,


pembatalan untuk keperluan si penjual, akan terjadi demi hukum dan tanpa peringatan setelah
lewatnya waktu yang ditentukan untuk mengambil barang yang dijual, ketentuan ini menuntut
pasal 1517-1518 KUHPerdata serta dibantu oleh lembaga hukum yaitu seorang pengacara
apabila sampai terjadi melalui proses hukum.Adapun ketentuan-ketentuan yang melindungi
pihak lessee terhadap tuntutan ganti rugi yang sewenang-wenang dari pihak lessor adalah
ketentuan :
 Pasal 1247 KUHPerdata yang berbunyi :
“ Si berutang hanya wajib mengganti biaya ganti rugi dan bunga yang nyata telah atau
tersedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan, kecuali jika hal tersebut
tidak dipenuhinya perikatan itu, disebabkan karna suatu tipu daya yang dilakukan
olehnya “.
 Pasal 1248 KUHPerdata yang berbunyi :
“ Bahkan jika hal itu tidak dipenuhi perikatan itu disebabkan karena tipu daya si
berhutang,penggantian biaya, rugi dan bunga sekedar mengenai karugian yang
dideritanya oleh si piutang dan keuntungan yang hilang baginya hanyalah terdiri atas apa
yang merupakan akibat langsung dari tak terpenuhinya perikatan”.

Dari pasal-pasal tersebut dapatlah kita lihat bahwa ganti rugi dibatasi hanya meliputi kerugian
yang diduga merupakan akibat langsung dari wansprestasi. Menurut yuris-prudensi, persyaratan
dapat diduga itu meliputi besarnya kerugian, jadi kerugian yang jumlahnya melampoi batas yang
dapat diduga tidak boleh dilimpahkan kepada lessee untuk membayarnya, kecuali jika ia nyata-
nyata telah berbuat secara licik melakukan tipu daya sebagaimana dimaksudkan dalam pasal
1247 KUHPerdata, dan dalam batas-batas yang terletak dalam persyaratan akibat langsung yang
ditentukan pasal 1248 KUHPerdata.
Dengan demikian pihak lessee yang melakukan wansprestasi masih dilindungi oleh
undang-undang terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari pihak lessor.
Wansprestasi mempunyai akibat-akibat yang begitu penting, oleh karena itu dalam perjanjian
leasing biasanya lessor sudah menetapkan cara-cara tertentu untuk menghadapi wansprestasi
tersebut.
Dengan adanya cara-cara dimaksud lessor dalam menyelesaikan masalah wansprestasi
tidak langsung menempuh jalur hukum yaitu dengan mengajukan gugatan ke pengadilan akan
tetapi mencoba dahulu dengan cara upaya pendekatan kepada lessee dengan harapan dapat
dengan cepat perselisihan tersebut diselesaikan, sehingga lessor dapat menghemat waktu, tenaga
dan biaya jika dibandingkan bila sengketa harus disele-saikan dengan melalui proses pengadilan.
Pendekatan ini dilaksanakan dengan cara mempertemukan kedua belah pihak untuk
merundingkan apakah pembeli bersedia mem-bayar tunggakan kepada pihak lessor. Dalam
pendekatan ini agar lessee mau dan bisa memenuhi kewajibannya diambil kebijakan misalnya
terhadap lessee diberi keringanan untuk mencicil pembayaran uang angsuran dengan atau tanpa
bunga, kebijakan ini diambil biasanya untuk lessee yang masih memperlihatkan itikad baiknya
untuk membayar angsuran.
Apabila pendekatan ini benar-benar tidak dapat diusahakan sama sekali, maka jalan
terakhir yang akan ditempuh adalah melalui jalur hukum. Dalam hal ini bisa diberlakukan
ketentuan pasal 1238 KUHPerdata yaitu dengan cara memberi peringatan kepada debitur agar ia
dapat dikata-kan lalai yang bunyinya :
“ Si Berutang adalah lalai, bila ia dengan surat perintah atau dengan suatu akta sejenis itu
dinyatakan lalai atau demi perikatannya sendiri menetapkan bahwa si berutang harus
dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang telah ditetapkan.”.
Dalam perjanjian leasing wansprestasi pada pihak lessee ini harus dinyatakan secara
resmi yaitu dengan memperingati kepada pihak lessee bahwa perusahaan leasing menghendaki
pembayaran dalam jangka waktu tertentu dan hutang ini harus ditagih terlebih dahulu.
Apabila lessee tidak mau membayar angsuran, lessor dapat menarik kembali obyek lease yang
berada dalam kekuasaan lessee. Apabila pengambilan barang-barang itu tidak dihambat oleh
lessee maka tidak akan terjadi masalah, akan tetapi persoalan akan timbul apabila lessee secara
tanpa hak mencegah atau menghambat pengambilan kembali barang-barang obyek lease yang
menjadi milik lessor.
Untuk menghadapi kesulitan itu dikemudian hari pada saat perjanjian leasing dibuat,
dicantumkan klausula-klausula yang tidak dapat dicabut kembali yang menentukan bahwa pihak
lessee mengizinkan pihak lessor untuk memasuki pekarangan tempat dimana barang sewa berada
dan mengambil barang-barang yang menjadi obyek perjanjian dengan atau tanpa bantuan pihak
kepolisian.
Tindakan polisi dalam memberikan bantuan kepada Lessor untuk mengambil barang-
barang tersebut tidak boleh melampui batas kekuasaan yang diperolehnya dari lessor, hal ini
dikarenakan alasan-alasan sebagai berikut :
1. Pihak kepolisian tugasnya hanya mendampingi lessor untuk mengambil barang-barang
yang menjadi obyek perjanjian leasing dan mencegah kemungkinan terjadinya tindakan-
tindakan dari pihak lessee yang dapat mengganggu ketertiban umum.
2. Barang-barang yang hendak diambil adalah milik lessor sendiri, hanya karena adanya
perjanjian leasing maka barang-barang tersebut berada dalam kekuasaan lessee.
3. Lessor berhak untuk mengambil barang-barang tersebut dari kekuasaan lessee jika terjadi
wansprestasi yang tentunya dengan bukti-bukti dan alasan-alasan yang kuat.
Akibat dari wansprestasi yang dilakukan oleh lesse, pihak lessor dapat melakukan tindakan :
1. Memohon kepada Pengadilan agar diletakkan sita Revindikator dan menarik kembali
barng-barang milik lessor yang berada di dalam kekuasaan lessee untuk kemudian
diserahkan kepada lessor.
2. Lessor dapat menuntut lessee ganti rugi akibat tindakan wansprestasi atau perbuatan
melanggar hukum yang telah dilakukan oleh lessee yaitu berupa :
a. Uang angsuran yang tertunggak;
b. Denda yang tertunggak ditambah bunganya;
c. Seluruh uang sewa yang berjalan hingga angsuran berakhir;
d. Biaya penagihan termasuk biaya perdata dan honor pengacara;
e. Mohon pengadilan meletakkan sita jaminan atas harta milik lessee untuk
menjamin pembayaran ganti rugi;
f. Menghukum lessee untuk membayar ongkos perkara;
g. Mengalihkan segala resiko kepada lessee.

Dalam penuntutan ganti rugi oleh lessor, undang-undang memberikan ketentuan yang
merupakan pembatas dari apa yang boleh dituntut sebagai ganti rugi tersebut. Suatu pembatasan
lain yaitu dalam peraturan mengenai bunga moratoar. Apabila prestasi itu berupa pembayaran
sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh lessor kalu pembayaran itu terlambat adalah
berupa interest, rente atau bunga. Jadi bunga moratoar berarti bunga yang harus dibayar sebagai
ganti rugi atau hukuman karena lessee alpa atau lalai membayar hutangnya, menurut pasal 1250
KUHPerdata bunga yang dapat dituntut itu boleh melebihi prosenan yang ditetapkan oleh
undang-undang.
Untuk mencegah terjadinya kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh pihak Lessee
kepada perusahaan leasing dilakukan usaha-usaha sebagai berikut :
1. Perjanjian Leasing harus dibuat dalam akta yang berisifat notariil. Hal ini dilakukan
dengan tujuan agar perusahaan leasing mempunyai bukti yang kuat, jika ternyata
dikemudian hari terjadi peristiwa yang harus diselesaikan melalui pengadilan. Namun
demikian hal ini bukan berarti perjanjian leasing yang dibuat dengan akta di bawah
tangan tidak sah melainkan akta di bawah tangan tidak mempunyai nilai pembuktian
yang kuat.
2. Perusahaan Leasing mengadakan pengontrolan yang secara kontinyu pada perusahaan
lessee dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan perusahaan lessee
sampai periode lease atau jangka waktu leasing berakhir.dengan demikian pihak lessor
akan mendapat gambaran yang jelas tentang barang yang dileasekan.

Dari uraian diatas ditinjau dari masing-masing pihak tindakan yang saling merugikan
adalah sangat tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak.
Untuk menanggulangi peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan sebagaimana dikemukakan
diatas pihak lessor dapat mengambil langkah-langkah pencegahan berupa :
1. Penggunaan Security Deposit yang menurut semula dapat dijadikan biaya untuk
pembelian barang-barang di akhir periode lease yang tujuannya untuk menutup
tunggakan-tunggakan pembayaran uang sewa yang telah jatuh tempo.
2. Lessee harus membayar bunga untuk setiap keterlambatan membayar angsuran yang
besarnya telah ditentukan yaitu sebesar 3 % untuk setiap bulannya terhitung sejak tanggal
jatuh tempo waktu pembayaran angsuran.
3. Menarik dan menguasai kembali barang-barang yang dileasekan dengan biaya yang harus
ditanggung oleh pihak lessee termasuk biaya pembongkaran dan pemindahan dari tempat
barang berada ke tempat lessor.

2.2 PERJANJIAN KREDIT

1. Pengertian Perjanjian Kredit


Perjanjian kredit merupakan perjanjian konsensuil antara Debitur dengan Kreditur (dalam
hal ini Bank) yang melahirkan hubungan hutang piutang, dimana Debitur berkewajiban
membayar kembali pinjaman yang diberikan oleh Kreditur, dengan berdasarkan syarat dan
kondisi yang telah disepakati oleh para pihak.

Dalam Buku III KUH Perdata tidak terdapat ketentuan yang khusus mengatur perihal
Perjanjian Kredit. Namun dengan berdasarkan asas kebebasan berkontrak, para pihak bebas
untuk menentukan isi dari perjanjian kredit sepanjang tidak bertentangan dengan undang-
undang, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan. Dengan disepakati dan ditandatanganinya
perjanjian kredit tersebut oleh para pihak, maka sejak detik itu perjanjian lahir dan mengikat para
pihak yang membuatnya sebagai undang-undang.

2. Jenis Perjanjian Kredit


Dilihat dari pembuatannya, suatu perjanjian kredit dapat digolongkan menjadi:

1. Perjanjian Kredit Di bawah tangan, yaitu perjanjian kredit yang dibuat oleh dan antara
para pihak yang terlibat dalam perjanjian kredit tersebut tanpa melibatkan pihak pejabat yang
berwenang/Notaris.
Perjanjian Kredit Di bawah tangan ini terdiri dari:
 Perjanjian Kredit Di bawah tangan biasa;
 Perjanjian Kredit Di bawah tangan yang dicatatkan di Kantor Notaris (Waarmerking);
 Perjanjian Kredit Di bawah tangan yang ditandatangani di hadapan Notaris namun bukan
merupakan akta notarial (legalisasi).

2. Perjanjian Kredit Notariil yaitu perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak
di hadapan Notaris.Perjanjian Notariil merupakan akta yang bersifat otentik (dibuat oleh dan
di hadapan pejabat yang berwenang/Notaris)

3. Struktur Perjanjian Kredit


Suatu perjanjian kredit pada umumnya terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut:
 Kepala/Judul
 Komparisi:Komparisi adalah bagian dari perjanjian kredit yang memuat keterangan
identitas para pihak.
 Premis: Premis merupakan bagian dari akta yang berisi uraian yang memuat alasan-
alasan atau dasar pertimbangan para pihak dalam membuat perjanjian kredit. Dalam
premis dimuat hal-hal atau pokok-pokok pikiran yang merupakan konstalasi fakta-fakta
secara singkat dan yang menggerakkan para pihak untuk mengadakan perjanjian kredit.
 Batang Tubuh: Batang tubuh berisikan hal-hal yang disetujui oleh para pihak, berupa
klausula-klausula, baik klausula hukum maupun klausula komersial yang berkaitan
dengan pemberian fasilitas kredit.
 Kolom Tanda tangan (Signature Page): Kolom tanda tangan berisikan tanda tangan
para pihak pembuat perjanjian.

4. Isi Perjanjian Kredit


Pada umumnya isi klausula yang tercantum dalam perjanjian kredit dapat digolongkan
menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:

 Klausula Hukum (Legal Clauses)


Klausula Hukum adalah klausula yang berisikan ketentuan-ketentuan hukum yang
biasanya berlaku untuk pemberian fasilitas kredit. Termasuk dalam klausula ini antara
lain seperti klausula perlindungan Bank, Debet Rekening, Condition Precedent,
Pernyataan daan Jaminan (Representation and Warranties), Covenant dan lain-lain.
 Klausula Komersial (Commercial Clauses)
Klausula Komersial adalah klausula yang berkaitan dengan aspek komersial dalam
pemberian fasilitas kredit, seperti jenis fasilitas kredit, jumlah fasilitas kredit, jangka
waktu kredit, ketentuan pembayaran besarnya angsuran, ketentuan tentang denda dan
bunga, asuransi, dan lain-lain.

Klausula-Klausula Perjanjian Kredit


Dalam praktek, bentuk dan materi Perjanjian Kredit tidak selalu sama, disesuaikan dengan
jenis fasilitas yang diberikan. Namun demikian dalam suatu perjanjian kredit pada umumnya
berisi klausula-klausula sebagai berikut:

 Klausula Fasilitas Kredit

Ketentuan–ketentuan yang berkaitan fasilitas kredit umumnya terdiri dari:

 Jenis, jumlah, dan jangka waktu fasilitas.


 Perubahan mata uang pinjaman (klausula ini digunakan terutama untuk pinjaman non-
Rupiah).
 Penarikan fasilitas kredit, jangka waktu penarikan, cara penarikan, bukti penarikan.
 Pembuktian hutang antara lain berupa Promes/CAR/atau PK tersebut.
 Cara Pembayaran kembali (installment atau langsung)
 Pembayaran kembali lebih cepat/awal (Voluntary or Mandatory)
 Bunga.
 Komisi dan Fee.
 Bunga denda (apabila terjadi keterlambatan pembayaran).
 Pembukuan (lokasi dimana Bank akan membukukan pinjaman tersebut).

 Klausula Kuasa Mendebet Rekening

Klausula ini dicantumkan sebagai dasar dari hak Bank untuk melakukan pendebetan dari
rekening-rekening Debitur yang ada di Bank.

 Klausula Penggunaan Fasilitas Kredit

Tujuan penggunaan fasilitas kredit yang diberikan oleh Bank kepada Debitur.

 Klausula Syarat Penarikan Pinjaman (Drawdown Condition)


a. Sebelum penandatanganan perjanjian kredit dan sebelum suatu kredit dapat dicairkan
Debitur biasanya disyaratkan untuk menyerahkan beberapa dokumen –dokumen atau data
yang dianggap penting oleh Bank antara lain:
 Dokumen-dokumen perusahaan/Identitas Debitur.
 Asli surat kuasa.
 Salinan surat izin usaha perdagangan dan/atau surat-surat izin lainnya.
 Asli bukti-bukti hak kepemilikan atas Jaminan
 Invoice/Daftar tagihan-tagihan/dokumen lain yang sejenis yang mencantumkan
ketentuan bahwa pembayaran melalui rekening Debitur yang ada di Bank.
 Semua Perjanjian Jaminan telah ditanda tangani dan dalam bentuk dan isi yang
disetujui Bank.
b. Debitur tidak sedang dalam keadaan lalai berdasarkan ketentuan-ketentuan
yangtermaktub dalam Perjanjian ini atau berdasarkan sebab lain sesuai pertimbangan baik
Bank.

 Klausula Pernyataan Debitur (Representations and Warranties)


Klausula ini berisikan pernytaan-pernyatan dari Debitur mengenai: Kewenangan
bertindak, Kekuatan Perjanjian, Tidak ada tuntutan/sengketa dari pihak ketiga terutama
yang dapat berakibat secara materiil, kebenaran data-data yang diberikan oleh Debitur
termasuk diantaranya Laporan Keuangan, keabsahan Debitur untuk menjalankan usaha
yang dibuktikan dengan perijinan dari lembaga-lembaga yang berwenang, Tidak adanya
tunggakan Pajak yang harus dibayar, serta Debitur tidak dalam keadaan pailit atau
digugat pailit oleh Pihak ketiga.

 Klausula Affirmative Covenant


Dalam pelaksanaan pemberian kredit Bank harus memberikan batasan-batasan
yang harus dipenuhi oleh Debitur (Affirmative Covenant) selama dalam masa pemberian
kredit. Ada beberapa covenant standard yang biasanya wajib dicantumkan dalam
perjanjian kredit antara lain adalah:
 Menggunakan Fasilitas Kredit seperti yang dipersyaratkan;
 Mengasuransikan seluruh barang-barang yang dijadikan jaminan/agunan Fasilitas
Kredit;
 Memberikan ijin kepada Bank atau petugas-petugas yang diberi kuasa oleh Bank
untuk: (a) melakukan pemeriksaan (audit) terhadap buku-buku, catatan-catatan dan
administrasi Debitur serta memeriksa keadaan barang-barang jaminan, dan (b)
melakukan peninjauan ke dalam proyek, bangunan-bangunan lain dan kantor-kantor
yang digunakan Debitur;
 Memberikan segala informasi/keterangan/data-data (seperti, namun tidak terbatas pada
laporan keuangan Debitur): (a) segala sesuatu sehubungan dengan keuangan dan usaha
Debitur, (b) bilamana terjadi keadaan yang dapat mempengaruhi keadaan usaha atau
keuangan Debitur, setiap waktu, baik diminta maupun tidak diminta oleh Bank;
 Menyerahkan data yang diminta oleh Bank dalam rangka pengawasan pemberian
kredit yaitu, antara lain namun tidak terbatas pada Laporan keuangan, laporan
inventory, daftar tagihan dan lain-lain.
Selain covenant di atas, dapat pula ditambahkan affirmative covenant lain yang
disesuaikan dengan struktur dari fasilitas kredit yang diberikan.

 Klausula Negative Covenant


Pelaksanaan pemberian kredit Bank harus memberikan batasan-batasan yang
tidak boleh dilakukan oleh Debitur (Negative Covenant) selama dalam masa pemberian
kredit. Pelarangan/pembatasan tersebut dilakukan dalam rangka memperkuat posisi Bank
selaku Pemberi pinjaman. Adapun covenant baku yang wajib dimasukkan dalam
perjanjian kredit antara lain adalah:
 Pelarangan untuk menjual /menyewakan asset;
 Tidak menjaminkan asset pada pihak lain;
 Pelarangan untuk menerima pinjaman lain;
 Pelarangan untuk menjadi Penjamin/Penanggung, kecuali melakukan endorsemen atas
surat-surat yang dapat diperdagangkan untuk keperluan pembayaran atau penagihan
transaksi-transaksi lain yang lazim dilakukan dalam menjalankan usaha;
 Pelarangan untuk memberikan pinjaman;
 Pelarangan untuk mengumumkan dan membagikan deviden saham Debitur;
 Pelarangan untuk melakukan merger atau akuisisi;
 Pelarangan untuk membayar atau membayar kembali pinjaman pemegang saham;
 Pelarangan untuk merubah sifat dan kegiatan usaha Debitur seperti yang sedang
dijalankan dewasa ini;
 Pelarangan untuk mengubah susunan pengurus (Direksi dan Komisaris), susunan para
pemegang saham, dan nilai saham.
Selain covenant di atas, dapat pula ditambahkan negative covenant lain yang
disesuaikan dengan struktur dari fasilitas kredit yang diberikan.
 Klausula Perlindungan Terhadap Penghasilan Bank
Selama masa pemberian kredit, Bank selaku kreditur wajib memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan timbulnya biaya-biaya yang harus dibayar berkaitan dengan
pemberian kredit tersebut. Debitur akan dibebankan biaya–biaya tersebut dan dengan
adanya klausula ini maka Debitur menyadari bawah setiap biaya yang timbul harus
dibayar atau ditanggung apabila ternyata Bank terpaksa melakukan pembayaran terlebih
dahulu maka Debitur akan menggantinya dalam waktu secepatnya.

Adapun biaya-biaya yang biasanya timbul adalah:

 Biaya pihak ketiga


 Biaya yang diwajibkan oleh Undang-undang

 Klausula Jaminan
Untuk menjamin pembayaran dari pinjaman yang diberikan, Debitur diminta
untuk menyerahkan jaminan kepada Bank dimana jaminan tersebut akan diikat
sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Untuk Nasabah yang mendapatkan beberapa fasilitas (pinjaman tidak dalam satu
perjanjian) dimana masing masing fasilitas dijamin oleh jaminan yang berbeda sebaiknya
dicantumkan pula ketentuan mengenai Cross Collateral. Penggunaan klausula cross
collateral memberikan keuntungan tambahan dimana jaminan-jaminan yang ada.

 Klausula Kompensasi
Pasal mengenai Kompensasi ini diatur berkaitan dengan adanya pasal 1425
sampai dengan 1429 KUH Perdata mengenai kompensasi hutang. Klausula Kompensasi
ini berisikan persetujuan dari Debitur untuk melepaskan hak-haknya yang diatur dalam
pasal tersebut, sehingga Debitur tidak dapat mengkompensasikan piutang piutang dagang
yang ia miliki kepada Bank (bila ada) dengan hutangnya kepada Bank.
 Klausula Pengalihan Hak
Maksud dari pencantuman klausula pengalihan hak ini Debitur telah memberikan
persetujuan kepada Bank untuk mengalihkan pinjaman kepada Pihak ketiga dengan tanpa
merubah kondisi yang telah disetujui sebelumnya. Sedangkan Debitur tidak dapat
mengalihkan pinjamannya kepada pihak lain tanpa adanya persetujuan dari Bank.

 Klausula Kelalaian

Klausula ini mencantumkan beberapa kondisi yang dapat menyebabkan Debitur


dalam keadaan lalai atau dalam keadaan defalut sehingga seluruh kewajiban Debitur
menjadi jatuh tempo dan harus dibayarkan kembali dengan seketika dan sekaligus
seluruhnya, tanpa perlu adanya surat teguran juru sita atau surat lainnya yang serupa
dengan itu apabila terjadi salah satu kejadian di bawah ini:
 Payment Default / lalai membayar kembali kewajibannya;
 Pelanggaran atas ketentuan Perjanjian;
 Memberikan informasi yang tidak benar;
 Keadaan keuangan, bonafiditas dan solvabilitas Debitur mundur sedemikian rupa yang
dapat mengakibatkan Debitur tidak dapat membayar hutangnya lagi;
 Debitur dinyatakan dalam keadaan pailit atau meminta penundaan pembayaran hutang
(“surseance van betaling“);
 Debitur dibubarkan atau mengambil keputusan untuk bubar;
 Asset Debitur seluruhnya atau sebagian disita oleh instansi yang berwajib dan dianggap
menjadi berkurang sehingga dapat membahayakan Pengembalian Kredit;
 Jaminan disita oleh instansi yang berwenang, atau rusak atau musnah karena sebab
apapun juga;
 Debitur atau Penjamin lalai terhadap perjanjian lain terutama perjanjian yang dapat
meyebabkan Debitur wajib membayar jumlah tertentu;
 Bilamana tidak dapat diperoleh salah satu atau beberapa atau seluruh ijin, persetujuan
atau wewenang, baru maupun perpanjangannya, yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwajib dan yang disyaratkan;
 Nilai asset/kekayaan milik Debitur menurut penilaian Bank menurun.
Tindakan-tindakan yang dapat diambil oleh Bank apabila Debitur melakukan kelalaian
adalah:

 Menghentikan pemberian fasilitas kredit, apabila belum dicairkan;


 Meminta pengembalian kredit secara seketika berikut bunga dan jumlah uang lainnya
yang terhutang.
 Melakukan eksekusi terhadap Jaminan apabila Debitur tidak dapat mengembalikan
pinjaman secara penuh.

 Klausula Ketentuan Tambahan dan Penutup

Pada bagian terakhir dari perjanjian kredit diatur mengenai ketentuan-ketentuan


yang belum tertampung secara khusus di dalam klausula-klausula baku dalam perjanjian
kredit. Klausula ini dimaksudkan untuk mengatur syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan
yang menyimpang dari syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan lain yang telah tercetak di
dalam perjanjian kredit. Klausula ini antara lain adalah:

 Klausula Pilihan Hukum (Choice Of Law)


Dalam klausula ini para pihak menentukan hukum tertentu yang akan diterapkan
apabila terjadi perbedaan penafsiran maupun apabila terdapat dispute (sengketa) di
antara para pihak mengenai perjanjian.
 Klausula Pilihan Forum Penyelesaian Sengketa (Choice Of Forum)
Klausula ini dimaksudkan apabila terjadi dispute (sengketa) maka Para Pihak
telah setuju untuk menyelesaikan permasalahan tersebut melalui lembaga yang telah
disepakati bersama. Pilihan lembaga (forum) penyelesaian sengketa ini biasanya adalah
Pengadilan atau Arbitrase, khusus untuk Arbitrase harus ditegaskan dimana Arbitrase
yang dimaksud.
Selain Pengadilan dan Arbitrase, telah berkembang pula wacana penggunaan
mekanismeAlternative Dispute Resolution (ADR) hanya saja lembaga ini belum begitu
dikenal di Indonesia dan keputusannya belum memiliki kekuatan hukum yang pasti.

5. Hal – Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan Dalam Perjanjian Kredit


Dengan berlakunya Undang-undang No.8 tahun 1999 tertanggal 20 April 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (“UUPK”), maka dalam isi perjanjian kredit harus pula memenuhi
ketentuan-ketentuan dalam UUPK, seperti mengenai pencantuman klausula baku. Dimana dalam
pasal 18 ayat (1) UUPK menyebutkan bahwa dalam perjanjian kredit dilarang mencantumkan
klausula baku, antara lain:
1. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha dalam
masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya.
2. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai