Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Saluran napas merupakan jalur yang dilalui oleh udara dan menunjang fungsi
pernapasan manusia. Saluran ini terbagi menjadi dua bagian, yakni saluran napas atas
dan saluran napas bawah. Saluran napas atas terdiri dari hidung, faring dan laring.
Masing- masing memiliki fungsi yang berperan dalam hal menjaga saluran napas atas.
Obstruksi saluran napas atas merupakan kondisi terdapatnya sumbatan pada
saluran nafas atas yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor, dan
kelumpuhan nervus rekuren bilateral, sehingga ventilasi pada saluran nafas terganggu.
Obstruksi saluran napas atas dapat menyebabkan berbagai kegawatdaruratan saluran
napas mulai dari asfiksia hingga kematian. Kegawatdaruratan saluran napas
membutuhkan tindakan segera diantaranya dengan menggunakan perasat Heimlich,
intubasi endotrakea, laringoskopi, trakeostomi, dan krikotiroidostomi.
Angka kejadian obstruksi saluran napas atas sekitar 1-3% dengan prevalensi
terbanyak terjadi pada kelompok usia 0-10 tahun (50%) umumnya karena tertelan benda
asing, sedangkan pada kelompok usia 21-40 tahun (20%) memiliki perbandingan yang
relatif sama baik pada kelompok pria maupun wanita.
Oleh karena bahaya obstruksi pada saluran nafas atas, yang dapat menyebabkan
kematian, dan pentingnya penatalaksanaan awal obstruksi jalan nafas, maka penulis
tertarik mengangkat topik ini sebagai judul penulisan makalah

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan dan pemahaman
tentang penatalaksanaan obstruksi saluran nafas atas.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Anatomi Sistem Saluran Napas Atas

Gambar 1. Anatomi Saluran Napas Atas

a. Hidung
Hidung dibentuk oleh tulang sejati (os) dan tulang rawan (kartilago). Hidung
dibentuk oleh sebagian kecil tulang sejati, sisanya terdiri atas kartilago dan
jaringan ikat (connective tissue). Bagian dalam hidung merupakan suatu lubang
yang dipisahkan menjadi lubang kiri dan kanan oleh sekat (septum). Rongga
hidung mengandung rambut (fimbriae) yang berfungsi sebagai penyaring (filter)
kasar terhadap benda asing yang masuk. Pada permukaan (mukosa) hidung
terdapat epitel bersilia yang mengandung sel goblet. Sel tersebut mengeluarkan
lendir sehingga dapat menangkap benda asing yang masuk ke dalam saluran
pernapasan. Kita dapat mencium aroma karena di dalam lubang hidung terdapat
reseptor. Reseptor bau terletak pada cribriform plate, di dalamnya terdapat ujung
dari saraf kranial I (Nervous Olfactorius).

2
Gambar 2. Rongga Hidung

 Vaskularisasi dan Persarafan


Pendarahan dinding medial dan lateral cavitas nasi terjadi melalui cabang arteria
spheno palatina, arteria ethmoidalis anterior dan arteria ethmoidalis posterior,
arteri palatina mayor, arteri labialis superior, dan rami lateralis arteria facialis.
Plexus venosus menyalurkan darah kembali ke dalam vena sphenopalatina,
vena facialis, dan vena ophtalmica.
Persarafan bagian dua pertiga inferior membran mukosa hidung terutama terjadi
melalui nervus nasopalatinus, cabang nervus cranialis V2. Bagian anterior
dipersarafi oleh nervus ethmoidalis anteior, cabang nervus nasociliaris yang
merupakan cabang nervus cranialis V1. Dinding lateral cavitas nasi
memperoleh persarafan melalui rami nasales maxilaris (nervus cranialis V2),
nervus palatinus major, dan nervus ethmoidalis anterior.

 Fungsi Rongga Hidung


Terdapat 3 fungsi Rongga Hidung, antara lain :
a. Dalam hal pernafasan, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan
menjalani tiga proses yaitu penyaringan (filtrasi), penghangatan, dan
pelembaban. Penyaringan dilakukan oleh membran mukosa pada rongga
hidung yang sangat kaya akan pembuluh darah dan glandula serosa yang
mensekresikan mukus cair untuk membersihkan udara sebelum masuk ke
Orofaring. Penghangatan dilakukan oleh jaringan pembuluh darah yang
sangat kaya pada ephitel nasal dan menutupi area yang sangat luas dari

3
rongga hidung, dan pelembaban dilakukan oleh konka, yaitu suatu area
penonjolan tulang yang dilapisi oleh mukosa.
b. Epithellium olfactory pada bagian meial rongga hidung memiliki fungsi
dalam penerimaan sensasi bau.
c. Rongga hidung juga berhubungan dengan pembentukkan suara-suara fenotik
dimana ia berfungsi sebagai ruang resonansi.

b. Sinus Paranasalis
Sinus paranasalis merupakan daerah yang terbuka pada tulang kepala.
Dinamakan sesuai dengan tulang tempat dia berada yaitu sinus frontalis, sinus
ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus maxillaris. Sinus berfungsi untuk:
1. Membantu menghangatkan dan humidifikasi
2. Meringankan berat tulang tengkorak
3. Mengatur bunyi suara manusia dengan ruang resonansi.

Gambar 3. Sinus Paranasal

c. Faring
Faring merupakan saluran yang memiliki panjang kurang lebih 13 cm yang
menghubungkan nasal dan rongga mulut kepada larynx pada dasar tengkorak.
Faring meluas dari dasar cranium sampai tepi bawah cartilago cricoidea di
sebelah anterior dan sampai tepi bawah vertebra cervicalis VI di sebelah
posterior. Dinding faring terutama dibentuk oleh dua lapis otot-otot faring.
Lapisan otot sirkular di sebelah luar terdiri dari tiga otot konstriktor. Lapisan

4
otot internal yang terutama teratur longitudinal, terdiri dari muskulus
palatopharyngeus, musculus stylopharingeus, dan musculus
salphingopharingeus. Otot-otot ini mengangkat faring dan laring sewaktu
menelan dan berbicara.

 Fungsi Faring
Bagian Faring Fungsi Faring
Nasofaring  Terdapat saluran penghubung antara nasofaring
dengan telinga bagian tengah, yaitu Tuba Eustachius
dan Tuba Auditory
 Terdapat Phariyngeal tonsil (adenoids), terletak pada
bagian posterior nasofaring, merupakan bagian dari
jaringan Lymphatic pada permukaan posterior lidah
 Mempunyai fungsi respiratorik.
Orofaring  Merupakan bagian tengah faring antara palatum lunak
dan tulang hyoid. Refleks menelan berawal dari
orofaring menimbulkan dua perubahan, makanan
terdorong masuk ke saluran pencernaan (oesephagus)
dan secara simultan katup menutup laring untuk
mencegah makanan masuk ke dalam saluran
pernapasan
 Mempunyai fungsi pencernaan makanan
Laringofaring  Merupakan posisi terendah dari faring. Pada bagian
bawahnya, sistem respirasi menjadi terpisah dari
sistem digestil. Makanan masuk ke bagian belakang,
oesephagus dan udara masuk ke arah depan masuk ke
laring.

 Vaskularisasi dan persarafan


Arteria tonsillaris, cabang arteria facialis melintas lewat musculus constrictor
pharyng superior dan masuk ke kutub bawah tonsil. Tonsila palatina juga
menerima ranting-ranting arterial dari arteria palatina ascendens, arteria
lingualis, arteria palatina descendens, dan arteria pharyngea ascendens.

5
Ketiga muskulus konstriktor faring dipersyarafi oleh plexus pharyngealis
(nervus glossopharyngeus) yang terletak pada dinding lateral faring, terutama
pada muskulus konstriktor faringealis medius. Susunan secara bertumpang
tindih muskulus konstriktor menyisakan empat celah pada otot-otot tersebut
untuk struktur yang memasuki faring.

d. Laring
Laring sering disebut dengan ‘voice box’ dibentuk oleh struktur epiteliumlined
yang berhubungan dengan faring (di atas) dan trakhea (di bawah). Laring
terletak di anterior tulang belakang (vertebrae) ke-4 dan ke-6. Bagian atas dari
esofagus berada di posterior laring. Fungsi utama laring adalah untuk
pembentukan suara, sebagai proteksi jalan napas bawah dari benda asing dan
untuk memfasilitasi proses terjadinya batuk.

Gambar 4. Laring

 Pembagian Laring
Bagian Laring Deskripsi
Epiglotis Daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah laring
selama menelan
Glotis Ostium antara pita suara dalam laring
Kartilago Thyroid Kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari kartilago ini
membentuk jakun (Adam’s Apple)

6
Kartilago Krikoid Satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring
(terletak di bawah kartilago thyroid)
Kartilago Aritenoid Digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago thyroid
Pita suara Ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan
bunyi suara; pita suara melekat pada lumen laring.

III.2 Fisiologi Sistem Saluran Napas Atas


a. Air conduction (penyalur udara), sebagai saluran yamh meneruskan udara
menuju saluran napas bagian bawah untuk pertukaran gas.
b. Protection ( perlindungan), sebagai pelindung saluran napas bagian bawah agar
terhindar dari masuknya benda asing.
c. Warming, filtrasi, dan humidifikasi yakni sebagai bagian yang menghangatkan,
menyaring, dan memberi kelembaban udara yang diinspirasi (dihirup).

III.3 Obstruksi Saluran Napas Atas


II.4.1 Definisi
Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas (laring) yang
disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan kelumpuhan
nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan terganggu

II.4.2 Etiologi dan Gejala Klinis


Berbagai macam kemungkinan dapat menyebabkan seseorang mengalami
obstruksi pada saluran napas bagian atas. Kemungkinan penyebab tersebut,
diantaranya: kelainan kongenital, proses peradangan, trauma, tumor, benda asing
dan lainnya.
Terjadinya obstruksi pada saluran napas bagian atas dapat ditandai dengan
munculnya beberapa gejala, seperti: sesak napas, stridor inspiratore, ortopne,
pernapasan cuping hidung, dan cekung di daerah jugularis-supraklavikula-
interkostal. Apabila berlanjut dalam waktu yang cukup lama, penderita akan
menjadi sianotik dan gelisah.

7
Etiologi Penyakit
Kelainan Kongenital 1. atresia koana
2. stenosis supraglotis,glottis dan infraglotis
3. kista duktus tireoglosus
4. kista bronkiegen yang besar
5. laringokel yang besar
Radang 1. laringotrakeitis
2. epiglotitis
3. hipertrofi adenotonsiler
4. angina Ludwig
5. abses parafaring atau retrofaring
Trauma 1. ingesti kaustik
2. patah tulang wajah atau mandibular
3. cedera laringotrakeal
4. intubasi lama: udem/stenosis
5. dislokasi krikoaritenoid
6. paralysis n. laringeus rekurens bilateral
Tumor 1. Hemangioma
2. higroma kistik
3. papiloma laring rekuren
4. limfoma
5. tumor ganas tiroid
6. karsinoma sel skuamosa laring, faring atau
oesofagus
Lain-lain 1. benda asing
2. edema angioneurotik

a. Kelainan Kongenital
i. Atresia Koana
Koane dapat menyumbat total atau sebagian, di satu atau dua sisi, akibat
kegagalan absorpsi membran bukofaringeal. Obstruksi mungkin berupa
membran atau tulang. Gejalanya ialah kesulitan bernapas dan keluar sekret
hidung terus menerus. Diagnosis mudah dibuat dengan timbulnya sianosis

8
pada waktu diam yang menghilang pada waktu menangis, dan melihat
sumbatan di belakang rongga hidung.

Gambar 5. Atresia Koana

Atresia koana bilateral memerlukan tindakan yang darurat bertujuan untuk


menjamin jalan napas, karena dapat menyebabkan asfiksia berat dan
kematian setelah kelahiran. Kelainan penyerta yaitu adanya meningosil
sehingga operasi ini dilakukan bersama bagian Bedah Saraf. Tindakan yang
dilakukan adalah koanoplasti dan pemasangan stent menggunakan pipa
nasogastrik ukuran 12.

ii. Stenosis Subglotik


Pada daerah subglotik, 2-3 cm dari pita suara, sering terdapat penyempitan.
Kelainan yang dapat menyebabkan stenosis subglotik ialah :
1. Penebalan jaringan submukosa dengan hyperplasia kelenjar mucus dan
fibrosis.
2. Kelainan bentuk tulang rawan krikoid dengan lumen yang lebih kecil.
3. Bentuk tulang rawan normal dengan ukuran lebih kecil
4. Pergeseran cincin trakea pertama kearah atas belakang ke dalam lumen
krikoid.
Gejala stenosis subglotik ialah stridor, dispneu, retraksi di suprasternal,
epigastrium, interkostal serta subklavikula. Pada stadium yang lebih berat
akan ditemukan sianosis dan apnea sebagai akibat sumbatan jalan, sehingga
mungkin juga terjadi gagal pernafasan (respiratory distress). Terapi
tergantung kelainan yang menyebabkannya.

9
Gambar 6. Stenosis Subglotik

Pada umumnya terapi stenosis subglotik yang disebabkan oleh kelainan


submukosa ialah dilatasi atau dengan laser CO2. Stenosis subglotik yang
disebabkan oleh kelainan bentuk tulang rawan krikoid dilakukan terapi
pembedahan dengan melakukan rekontruksi

b. Radang
i. Angina Ludwig
Angina Ludwig ialah selulitis di dasar mulut dan leher akut yang invasif,
menyebabkan udem hebat di leher bagian atas yang dapat menyumbat jalan
napas. Kuman penyebab biasanya streptokokus atau stafilokokus. Infeksi
biasanya berasal dari lesi di mulut seperti abses alveolar gigi atau infeksi
sekunder pada karsinoma dasar mulut. Kelainan ini cepat meluas melalui
ruang fasia tertutup dan dapat menyebabkan udem glotis yang dapat
mengancam jiwa karena obstruksi jalan napas. Karena radang dasar mulut
ini lidah terdorong ke palatum dan ke dorsal, ke arah dinding dorsal faring
sehingga menutup jalan napas.
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis dan dibantu dengan pemeriksaan
biakan dan uji kepekaan kuman dari nanah.
Bila dapat dibuat diagnosis dini maka pemberian antibiotik kadang-kadang
memberikan hasil yang memuaskan. Bila pembengkakan leher dan dasar
mulut tidak segera berkurang maka dilakukan dekompresi terhadap ruang

10
fasia yang tertutup di dasar mulut dan leher, selanjutnya dipasang pipa
penyalir.

ii. Epiglotitis Akut


Epiglotitis akut adalah suatu keadaan inflamasi akut yang terjadi pada
daerah supraglotis dari orofaring, meliputi epiglotis, valekula, aritenoid,
dan lipatan ariepiglotika. Epiglotitis akut biasanya disebabkan oleh infeksi
bakteri, bakteri paling sering ditemukan adalah Haemophilus influenza.
Epiglotitis akut paling sering terjadi pada anak-anak berusia 2-4 tahun
namun akhir-akhir ini dilaporkan bahwa prevalensi dan insidennya
meningkat pada orang dewasa. Onset dari gejala epiglotitis akut biasanya
terjadi tiba-tiba dan berkembang secara cepat. Pada pasien anak-anak,
gejala yang sering ditemui adalah sesak napas dan stridor yang didahului
oleh demam, sedangkan pada pasien dewasa gejala yang terjadi lebih
ringan, dan yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri tenggorokan dan
nyeri saat menelan.
Diagnosis dapat dibuat berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan tanda
serta gejala klinis yang ditemui, dan dari foto rontgen lateral leher yang
memperlihatkan edema epiglotis (thumb sign) dan dilatasi dari hipofaring.
Penatalaksanaan pada pasien dengan epiglotitis diarahkan kepada
mengurangi obstruksi saluran napas dan menjaganya agar tetap terbuka
serta mengeradikasi agen penyebab. Dapat dilakukan intubasi jika telah
terjadi obstruksi, dengan ekstubasi setelah 48-72 jam, serta pemberian
antibiotika yang adekuat.

c. Trauma
i. Menelan Bahan Kaustik
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorid atau basa kuat
seperti soda kaustik, potassium kaustik dan amonium bila tertelan dapat
mengakibatkan terbakarnya mukosa saluran cerna. Pada penderita yang
tidak sengaja minum bahan tersebut, kemungkinan besar luka bakar hanya
pada mulut dan faring, karena bahan tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit
saja masuk ke dalam lambung. Pada mereka yang mencoba bunuh diri akan
terjadi luka bakar yang luas pada esofagus bagian tengah dan distal karena

11
larutan tersebut berada agak lama sebelum memasuki kardiak lambung.
Diagnostik berdasarkan riwayat menelan zat kaustik dan adanya luka bakar
di sekitar dan dalam mulut.

ii. Trauma Trakea


Trauma tajam atau tumpul pada leher dapat mengenai trakea. Trauma
tumpul tidak menimbulkan gejala atau tanda tetapi dapat juga
mengakibatkan kelainan hebat berupa sesak napas, karena penekanan jalan
napas atau aspirasi darah atau emfisema kutis bila trakea robek.
Dari pemeriksaan photo roentgen dapat dilihat benda asing, trauma
penyerta seperti fraktur vertebra servikal atau emfisema di jaringan lunak
di mediastinum, leher dan subkutis.
Trauma tumpul trakea jarang memerlukan tindakan bedah. Penderita
diobservasi bila terjadi obstreksi jalan napas dikerjakan trakeotomi. Pada
trauma tajam yang menyebabkan robekan trakea segera dilakukan
trakeotomi di distal robekan. Kemudian robekan trakea dijahit kembali.

iii. Trauma Intubasi


Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udema laring
dan trakea. Gejalanya suara penderita terdengar parau, dan adanya kesulitan
menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajat obstruksi
pernafasan. Pengobatan yang diberikan kortikosteroid. Bila obstruksi nafas
terlalu hebat, dilakukan trakeostomi.
d. Tumor
i. Hemangioma
Hemangioma biasanya timbul di daerah subglotik. Sering pula disertai
dengan hemangioma di tempat lain, seperti di leher.

12
Gambar 7. Hemangioma

Gejalanya ialah terdapat hemoptisis dan bila tumor itu besar, terdapat juga
sumbatan laring. Terapinya ialah dengan bedah laser, kortikosteroid atau
dengan obat-obat skleroting.

ii. Neoplasma Tiroid


Karsinoma tiroid dapat berinvasi ke laring dan mempengaruhi jalan napas.
Adanya invasi ini harus dicurigai bila tumor tiroid tidak dapat digerakkan
dari dasarnya, disertai suara parau dan gangguan napas. Pada pemeriksaan
photo roentgen leher terlihat distorsi laring atau bayangan suatu massa yang
menonjol ke lumen laring dan trakea.
Kadang tumor tiroid berada pada saluran napas atas secara primer. Diduga
tumor primer di laring atau trakea bagian atas berasal dari sisa tiroid yang
terletak dalam submukosa yang melapisi krikoid dan cincin trakea atas yang
ditemukan pada 1-2 % populasi. Tumor ini harus dieksisi dengan
laringektomi.

iii. Papiloma Laring


Tumor ini digolongkan dalam 2 jenis :
1. Papiloma laring juvenile, ditemukan pada anak, biasanya berbentuk
multiple dan mengalami regresi saat dewasa
2. Pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak akan mengalami
resolusi dan merupakan prekanker.

13
Gambar 8. Papiloma Laring

Gejala utama adalah suara parau. Kadang-kadang terdapat pula betuk.


Apabila papiloma telah menutup rima glottis maka timbul sesak nafas
dengan stridor. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis,
pemeriksaan laring langsung, biopsy serta pemeriksaan patologi-anatomik.
 Terapi :
- Ekstirpasi papiloma dengan bedah mikro atau juga dengan sinar
laser. Karena sering tumbuh lagi, tindakan ini diulang berkali-kali.
Kadang dalam seminggu tampak papiloma tumbuh lagi.
- Sekarang tersangka penyababnya ialah virus, untuk terapinya
diberikan vaksin dari massa tumor, obat anti virus, hormone,
kalsium atau ID methionin.
Tidak dianjurkan memberikan radioterapi karena papiloma dapat berubah
menjadi ganas.

iv. Tumor Ganas Laring


Penyebabnya belum diketahui pasti. dikatakan para ahli bahwa perokok dan
peminum alkohol merupakan kelompok orang-orang dengan resiko tinggi
terhadap karsinoma laring. Serak adalah gejala utama karsinoma laring,
merupakan gejala paling dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena
gangguan fungsi fonasi laring. Pada tumor ganas laring, pita suara gagal
berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidakteraturan pita suara, oklusi
atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan
ligament krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang saraf. Kadang-
kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit.

14
Gejala lain berupa nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, batuk,
hemoptisis dan penurunan berat badan. Nyeri tekan laring adalah gejala
lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang menyerang
kartilago tiroid dan perikondrium.

Gambar 9. Tumor Ganas Laring

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi antomi dari bahan


biopsy laring dan bajah pada KGB leher. Ada 3 cara yang lazim digunakan
yakni pembedahan, radiasi, obat sitostatik atau kombinasi. Jenis
pembedahan adalah laringektomi totalis atau parsial tergantung lokasi dan
penjalaran. Pemakaian sitostatik belum memuaskan, biasanya jadwal
pemberian sitostatik tidak sampai selesai karena keadaan umum memburuk,
disamping harga obat yang mahal, sehingga tidak terjangkau oleh pasien.

e. Benda Asing
i. Benda Asing di Hidung
Benda asing di hidung sering terjadi pada anak, dan pada anak sering luput
dari perhatian, gejala yang sering ditimbul yaitu hidung tersumbat, rinore
unilateral dengan cairan kental dan berbau, kadang – kadang demam, nyeri,
epitaksisi dan bersin. Hasil pemeriksaan tampak edem dengan inflamasi
mukosa hidung unilateral dan dapat terjadi ulserasi.

15
Cara mengeluarkan benda asing dari dalam hidung ialah dengan memakai
pengait (haak) yang dimasukkan ke dalam hidung bagian atas, menyusuri
atap kavum nasi sampai menyentuh nasofaring. Setelah itu pengeit
diturunkan sedikit dan ditarik ke depan, dengan cara ini menda asing ikut
terbawa keluar. Dapat pula menggunakan cunam Nortman atau “wire
loop”. Pemberian antibiotik sistemik selama 5 – 7 hari hanya jika kasus
benda asing hidung yang telah menimbulkan infeksi.

ii. Benda Asing di Orofaring dan Hipofaring


Benda asing di orofaring dan hipofaring dapat tersangkut antara lain di
tonsil, dasar lidah, valekula dan sinus piriformis yang akan menimbulkan
rasa nyeri menelan (odinofagia), baik saat makan maupun meludah,
terutama benda asing tajam seperti tulang ikan dan tulang ayam.
Pemeriksaan di dasar lidah, valekula dan sinus piriformis diperlukan kaca
tenggorokan yang besar (no 8 – 10). Benda asing di sinus piriformis
menunjukkan tanda Jakcson (Jackson’s Sign) yaitu terdapat akumulasi
ludah di sinus piriformis tempat benda asing tersangkut.
Bila benda asing menyumbat intoitus esophagus, maka tampak ludah
tergenang di kedua sinus piriformis. Benda asing di tonsil dapat diambil
dengan memakai pinset atau cunam. Biasanya yang tersangkut di tonsil
ialah benda tajam, seperti tulang ikan, jarum, atau kail. Benda asing di dasar
lidah, dapat dilihat dengan kaca tenggorokan yang besar.
Pasien diminta menarik lidah sendiri dan pemeriksaan memegang kaca
tenggorokan dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang
cunam untuk mengambil benda tersebut. Bila pasien sangat perasa sehingga
menyulitkan tindakan, maka sebelumnya dapat disemprotkan obat pelali
(anestetikum), seperti xylocain atau pantocain. Tindakan pada benda asing
di valekula dan sinus piriformis kadang – kadang untuk mengeluarkannya
dilakukan dengan cara laringoskopi langsung.

16
Gambar 10. Laringoskopi Direk

iii. Benda Asing di Laring


Benda asing pada laring bisa bersifat total atau subtotal. Jika benda asing
dilaring menutupi secara total merupakan kegawatan dan akan
menimbulkan gejala berupa disfonia sampai afonia, apne dan sianosis.
Pertolongan pertama harus segera dilakukan karena asfiksia dapat terjadi
dalam waktu hany abeberapa menit. Tehnik yang dilakukan berupa
Heimlich (Heimlich manueuver). Menurut teori Heimlich, benda asing
masuk ke dalam laring ialah pada waktu inspirasi, dengan demikian paru
penuh oleh udara, diibaratkan sebagai botol plastik yang tertutup, dengan
menekan botol itu maka sumbatan akan terlempar keluar.
Sumbatan tidak total dilaring dapat menyebabkan gejala suara parau,
disfonia sampai afonia, batuk yang di sertai sesak, odinofagia, mengi,
sianosis, hemoptisis dan rasa subyektif dari benda asing (pasien akan
menunjuk lehernya sesuai dengan letak benda asing itu tersangkut) dan
dispne dengan derajat bervariasi. Gejala dan tanda ini jelas bila benda asing
masih tersangkut di laring, dapat juga benda asing sudah turun ke trakea,
tetapi masih meninggalkan reaksi laring oleh karena udem. Pada kasus
sumbatan subtotal, tidak menggunakan perasat Heimlich, pasien masih
dapat dibawa ke rumah sakit terdekat untuk di beri pertolongan dengan
menggunakan laringoskop atau bronkoskop, atau jika alat – alat tersebut
tidak tersedia maka dapat di lakukan trakeostomi, dengan pasien tidur

17
dengan posisi Trendelenburg, kepala lebih rendah dari badan, supaya benda
asing tidak turun ke trakea.

Gambar 11. Perasat Heimlich

f. Edema Angioneurotik
Udem angiopneurotik mukosa laring adalah salah satu penyebab obstruksi
laring yang disebabkan oleh alergi. Gejala berupa suara parau yang progresif
setelah kontak dengan menghirup atau menelan alergen tanpa tanda infeksi.
Kadang diperlukan trakeotomi untuk menyelamatkan jiwa.

III.4 Stadium Obstruksi Saluran Napas Atas


Jackson membagi sumbatan laring yang progresif dalam 4 stadium:
 Stadium I :
Adanya retraksi di suprasternal dan stridor. Pasien tampak tenang
 Stadium II :
Retraksi pada waktu inspirasi di daerah suprasternal makin dalam, ditambah lagi
dengan timbulnya retraksi di daerah epigastrium. Pasien sudah mulai gelisah.
 Stadium III :
Retraksi selain di daerah suprastrenal, epigastrium juga terdapat di
infraklavikula dan di sela-sela iga, pasien sangat gelisah dan dispnea.

18
 Stadium IV :
Retraksi bertambah jelas, pasien sangat gelisah, tampak sangat ketakutan dan
sianosis, jika keadaan ini berlangsung terus maka penderita akan kehabisan
tenaga, pusat pernapasan paralitik karena hiperkapnea. Pada keadaan ini
penderita tampaknya tenang dan tertidur, akhirnya penderita meninggal karena
asfiksia.

III.5 Penatalaksanaan Obstruksi Saluran Napas Atas


II.4.1 Intubasi
Intubasi endotrakeal adalah memasukan suatu lubang atau pipa melalui mulut
atau melalui hidung kedalam trakea.
 Indikasi dan kontraindikasi
Indikasi intubasi endotrakea:
1. Untuk mengatasi sumbatan saluran napas atas
2. Membantu ventilasi
3. Memudahkan mengisap sekret dari traktus trakeobronkial
4. Mencegah aspirasi sekret yang ada di rongga mulut atau yang berasal
dari lambung
Kontraindikasi intubasi endotrakea
Trauma jalan napas atau obstruksi yang tidak memungkinkan untuk
dilakukan intubasi seperti pada kasus trauma servikal yang memerlukan
keadaan imobilisasi tulang vertebra servikal.

 Alat untuk intubasi


 Laringoskopi
 Pipa endotrakea
 Pipa orofaring atau nasofaring
 Plester
 Forsep intubasi
 Suction

19
 Teknik intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal merupakan tindakan penyelamat (life saving
procedure) yang dapat dilakukan tanpa atau dengan analgetika topikal
dengan xylocain 10%. Posisi pasien tidur terlentang, leher sedikit fleksi dan
kepala ekstensi. Laringoskop dengan spatel bengkok dipegang dengan
tangan kiri, dimasukan melalui mulut sebelah kanan, sehingga lidah
terdorong kekiri. Spatel diarahkan menelusuri pangkal lidah ke valekula,
lalu laringoskop diangkat keatas, sehingga pita suara dapat terlihat, dengan
tangan kanan pipa endotrakea dimasukan melalui mulut terus melalui celah
antara kedua pita suara kedalam trakea.
Pipa endotrakea dapat juga dimasukan melalui salah satu lubang hidung
sampai rongga mulut dan dengan cunan magili ujung pipa endotrakea
dimasukan kedalam celah antara kedua pita suara sampai ke trakea.
Kemudian balon diisi udara dan pipa endotrakea difiksasi dengan baik.
Apabila menggunakan spatel laringoskop yang lurus maka pasien yang
tidur terlentang itu, pundaknya harus diganjang dengan bantal pasir
sehingga kepala mudah diekstensikan maksimal.
Laringoskop dengan spatel yang lurus dipegang dengan tangan kiri dan
dimasukan mengikuti dinding faring posterior dan epiglotis diangkat
horizontal ke atas bersama-sama sehingga laring jelas terlihat.
Pipa endotrakea dipegang dengan tangan kanan dan dimasukan melalui
celah pita suara sampai ditrakea. Kemudian balon diisi udara dan pipa
endotrakea di fiksasi dengan plester. Memasukan pipa endotrakea harus
hati-hati karena dapat menyebabkan trauma pita suara, laserasi pita suara
timbul granuloma dan stenosis laring atau trakea.

II.4.2 Krikotirodotomi
Krikotiroidotomi merupakan tindakan penyelamat pada pasien dalam keadaan
gawat napas. Dengan cara membelah membrane krikotiroid untuk dipasang
kanul. Membrane ini terletak dekat kulit, tidak terlalu kaya darah sehingga
lebih mudah dicapai. Tindakan ini harus dikerjakan cepat walaupun
persiapannya darurat.

20
 Klasifikasi
Krikotiroidotomi dibagi menjadi 2 macam yaitu needle cricothyroidotomy
dan surgical cricothyroidotomy.
a. Needle cricothyroidotomy
Pada needle cricothyroidotomy, sebuah semprit dengan jarum
digunakan untuk melubangi melewati membran krikoid yang berada
sepanjang trakea. Setelah jarum menjangkau trakea, kateter
dilepaskan dari jarumnya dan dimasukkan ke tenggorokan dan
dilekatkan pada sebuah kantung berkatup.

Gambar 12. Krikotiroidotomi


b. Surgical cricothyroidotomy
Pada surgical cricothyroidotomy, dokter dan tim medis lainnya
membuat insisi melewati membran krikoid sampai ke trakea dengan
tujuan memasukkan pipa untuk ventilasi pasien.

 Teknik Krikotirodotomi
Pasien tidur telentang dengan kepala ekstensi pada artikulasio atlanto
oksipitalis.Puncak tulang rawan tiroid (Adam’s apple) mudah diidentifikasi
difiksasi dengan jari tangan kiri.Dengan telunjuk jari tangan kanan tulang rawan
tiroid diraba ke bawah sampai ditemukan kartilago krikoid.Membrane
krikotiroid terdapat diantara kedua tulang rawan ini.Daerah ini diinfiltrasi
dengan anestetikum kemudian dibuat sayatan horizontal pada kulit.Jaringan
dibawah sayatan dipisahkan tepat pada garis tengah.Setelah tepi bawah
kartilago tiroid terlihat, tusukkan pisau dengan arah ke bawah.Kemudian,

21
masukkan kanul bila tersedia.Jika tidak, dapat dipakai pipa plastic untuk
sementara.
Krikotirodotomi merupakan kontraindikasi pada anak dibawah 12 tahun,
demikian juga pada tumor laring yang sudah meluas ke subglotik dan terdapat
laryngitis. Stenosis subglotik akan timbul bila kanul dibiarkan terlalu lama
karena kanul yang letaknya tinggi akan mengiritasi jaringan-jaringan disekitar
subglotis, sehingga terbentuk jaringan granulasi dan sebaiknya segera diganti
dengan trakeostomi dalam waktu 48 jam.

 Indikasi dan kontraindikasi


Indikasi absolut krikotiroidotomi :
gagal intubasi, tidak terjadi ventilasi, atau pasien tidak bias tenang terhadap
pemasangan alat bantu nafas.

Indikasi relatif krikotiroidotomi :


 trauma wajah atau orofaringeal yang massif
 pembengkakan wajah atau orofaringeal yang masif.

 Kontraindikasi
Kontraindikasi absolut:
Tidak ada kontraindikasi absolute untuk dilakukan krikotiroidotomi

Kontraindikasi relatif :
- Transeksi trakea dengan retraksi trakea ke mediastinum
- Fraktur laring atau trauma pada kartilago krikoid
- Tumor laring
- Anak usia < 8 tahun karena anatomi kecil dan jaringannya sangat lembut
- Gangguan perdarahan
- Edema leher yang massif
- Inflamasi laring yang berat (laringotrakeitis, difteri, inflamasi kimia,
TB).

22
 Komplikasi
- Gagal napas
- Perdarahan lokal dan hematoma
- Emfisema subkutis
- Infeksi
- Trauma pita suara
- Trauma laring
- Trauma kelenjar tiroid

II.4.3 Trakeostomi
Trakeostomi adalah suatu tindakan dengan membuka dinding depan/anterior
trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru
dan memintas jalan nafas bagian atas. Menurut letak stoma, trakeostomi
dibedakan letak yang tinggi dan letak yang rendah dan batas letak ini adalah
cincin trakea ketiga. Sedangkan menurut waktu dilakukan tindakan maka
trakeostomi dibagi dalam:
1. Trakeostomi darurat (dalam waktu yang segera dan persiapan sarana sangat
kurang)
2. Trakeostomi berencana (persiapan sarana cukup) dan dapat dilakukan
secara baik.

Gambar 13. Trakeostomi

23
 Indikasi trakeostomi
Indikasi trakeostomi termasuk sumbatan mekanis pada jalan nafas dan
gangguan non obstruksi yang mengubah ventilasi dan pasien dengan
critical illness yang memerlukan intubasi cukup lama (7-21 hari).
Gangguan yang mengindikasikan perlunya trakeostomi;
1. Mengatasi obstruksi laring yang menghambat jalan nafas.
2. Mengurangi ruang rugi (dead air space) disaluran nafas atas seperti
daerah rongga mulut, sekitar lidah dan faring. Dengan adanya stoma
maka seluruh oksigen yang masuk kedalam paru, tidak ada yang
tertinggal diruang rugi itu. Hal ini berguna pada pasien dengan
kerusakan paru, yang kapasitas vitalnya berkurang.
3. Mempermudah pengisapan sekret dari bronkus pada pasien yang tidak
dapat mengeluarkan sekret secara fisiologik, misalnya pada pasien
dalam keadaan koma.
4. Untuk memasang alat bantu nafas (respirator)
5. Untuk mengambil benda asing dari subglotik, apabila tidak mempunyai
fasilitas untuk bronkoskopi.
6. Penyakit inflamasi yang menyumbat jalan nafas ( misal angina ludwig),
epiglotitis dan lesi vaskuler, neoplastik atau traumatik yang timbul
melalui mekanisme serupa

 Syarat dan Kontra Indikasi


Perkutaneus trakeostomi memerlukan penahan rasa sakit, sedasi dan
penghambat neuro muscular pada pasien yang dipasang intubasi dan
ventilator mekanik.Perkutaneus Trakeostomi tidak dapat dilakukan pada
pasien kegawat daruratan jalan nafas terutama pada trauma suprglotis atau
orofasial.Staf medik yang ada dirumah sakit harus terlatih dan
berpengalaman dalam menajemen jalan nafas, PT, bronkoskopi dan
surgical tracheostomy jika PT gagal atau terjadi komplikasi.Pasien umur
dibawah 16 tahun terutama umur 12 tahun tidak dapat dilakukan PT.
Deformitas yang tampak jelas pada jalan nafas, jaringan parut yang
sebelumnya didapatkan dari operasi seperti trakeostostomi atau sternotomi,
udem leher, obesitas, gondok, atau tumor pada leher yang menyulitkan
untuk palpasi lokasi lapangan operasi seperti kartilago krikoid.Pada

24
keadaan seperti ini dapat dianjurkan untuk SST.Pembuluh darah yang
tampak di bawah kulit, inflamasi, dan/ atau ruam pada lokasi operasi juga
merupakan kontra indikasi PDT.
Kesulitan untuk mengoptimalkan regangan leher pasien akibat trauma
servical atau arthritis, adanya leher yang pendek atau akibat kifosis yang
berat adalah kontra indikasi PDT.PDT harus ditunda jika hemodinamik
pasien tidak stabil.Untuk melakukan PDT pada pasien yang telah diketahui
mengalami gangguan jalan nafas bergantung pada opini dan pengalaman
operator.
Pendarahan diathesis yang tidak teratasi merupakan risiko mutlak yang
dapat menimbulkan pendarahan yang tidak dapat dikontrol selama
prosedur.

Gambar 14. Trakeostomi

25
 Keuntungan trakeostomi:
- Dapat dipakai dalam waktu lama.
- Trauma saluran napas tidak ada.
- Penderita masih dapat berbicara sehingga kelumpuhan otot laring dapat
dihindari.
- Penderita merasa enak dan perawatan lebih mudah
- Penderita dapat makan seperti biasa.
- Menghindari aspirasi, menghisap sekret bronkus.
- Jalan napas lancar, meringankan kerja paru.

 Kerugian trakeostomi:
- Tindakan lama.
- Cacat dengan adanya jaringan sikatrik.

 Jenis Tindakan Trakeostomi


1. Surgical Tracheostomy
Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruang
operasi. Insisi dibuat diantara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-
5 cm.
2. Percutaneous Tracheostomy
Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawat darurat.
Dilakukan pembuatan lubang diantara cincing trakea satu dan dua atau
dua dan tiga. Karena lubang yang dibuat lebih kecil,
3. Mini tracheostomy
Dilakukan insisi pada pertengahan membran krikotiroid dan trakeostomi
mini ini dimasukan menggunakan kawat dan dilator.

 Teknik Trakeostomi:
1. Penderita tidur telentang dengan kaki lebih rendah 30˚ untuk
menurunkan tekanan vena di daerah leher. Punggung diberi ganjalan
sehingga terjadi ekstensi. Leher harus lurus, tidak boleh laterofleksi atau
rotasi.
2. Dilakukan desinfektan daerah operasi dengan betadin atau alkohol.

26
3. Anestesi lokal subkutan, prokain 2% atau silokain dicampur dengan
epinefrin atau adrenalin 1/100.000. Anestesi lokal atau infiltrasi ini tetap
diberikan meskipun trakeostomi dilakukan secara anestesi umum
4. Dilakukan insisi.
- Insisi vertikal: dimulai dari batas bawah krikoid sampai fossa
suprasternum, insisi ini lebih mudah dan alir sekret lebih mudah
- Insisi horizontal: dilakukan setinggi pertengahan krikoid dan fossa
sternum, membentang antara kedua tepi depan dan medial
m.sternokleidomastoid, panjang irisan 4-5 cm.
5. Irisan mulai dari kulit, subkutis, platisma sampai fasia colli superfisial
secara tumpul. Bila tampak ismus, maka ismus disisikan ke atas atau ke
bawah. Bila mengalami kesukaran dan tidak memungkinkan, potong
saja.
6. Bila sudah tampak trakea maka difiksasi dengan kain tajam. Kemudian
suntikkan anestesi lokal kedalam trakea sehingga tidak timbul batuk
pada waktu memasang kanul.
7. Stoma dibuat pada cincin trakea 2-3 bagian depan, setelah dipastikan
trakea yaitu dengan menusukkan jarum suntik dan letakkan benang
kapas tersebut. Kemudian kanul dimasukkan dengan bantuan dilator.
8. Kanul difksasi dengan pita melingkar leher, jahitan kulit sebaiknya
jahitan longgar agar udara ekspirasi tidak masuk ke jaringan dibawah
kulit.

 Perawatan Pasca Trakeostomi:


1. Rontgen dada untuk menilai posisi tuba dan melihat timbul atau
tidaknya komplikasi
2. Antibiotik untuk menurunkan risiko timbulnya infeksi
3. Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipa
trakeostomi

Perawatan pasca trakeostomi sangat penting karena sekret dapat


menyumbat dan menimbulkan asfiksia. Oleh karena itu, sekret di trakea dan
kanul harus sering diisap ke luar dan kanul dalam dicuci sekurang-
kurangnya dua kali sehari lalu segera dimasukkan lagi ke dalam kanul luar.

27
Bila kanul harus dipasang dalam jangka waktu lama, maka kanul harus
dibersihkan dua minggu sekali. Kain basah di bawah kanul harus diganti
untuk menghindari timbulnya dermatitis. Gunakan kompres hangat untuk
mengurangi rasa nyeri pada daerah insisi.

28
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Obstruksi saluran napas atas adalah sumbatan pada saluran napas atas
(laring) yang disebabkan oleh adanya radang, benda asing, trauma, tumor dan
kelumpuhan nervus rekuren bilateral sehingga ventilasi pada saluran pernapasan
terganggu.
Obstruksi saluran napas atas dapat disebabkan oleh radang akut dan radang
kronis, benda asing, trauma akibat kecelakaan, perkelahian, percobaan bunuh diri
dengan senjata tajam dan trauma akibat tindakan medik yang dilakukan dengan
gerakan tangan yang kasar, tumor pada laring baik berupa tumor jinak maupun
tumor ganas, serta kelumpuhan nervus rekuren bilateral.
Penanggulangan pada obstruksi saluran napas atas diusahakan supaya jalan
napas lancar kembali. Tindakan konservatif berupa pemberian antiinflamasi,
antialergi, antibiotika serta pemberian oksigen intermitten, yang dilakukan pada
sumbatan laring stadium I yang disebabkan oleh peradangan. Tindakan operatif
atau resusitasi dengan memasukkan pipa endotrakeal melalui mulut (intubasi
orotrakea) atau melalui hidung (intubasi nasotrakea), membuat trakeostoma yang
dilakukan pada sumbatan laring stadium II dan III, atau melakukan krikotirotomi
yang dilakukan pada sumbatan laring stadium IV.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Seeley, Stephens, Tate. Anatomy and Physiology, sixth edition. The McGraw – Hill. New
York. 2004; 228-240
2. Guyton AC, Hall EH. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Philadelphia : W.B. Saunders Company.
2006 ; 384-392
3. Lucky O, Oparaodu U. Upper Airway Obstruction in a Resource Poor Country: An
Etiological Profile and Management Outcome. Global Journal of Otalaryngology. 2017.
Diunduh pada tanggal 22 Agustus 2017 di https://juniperpublishers.com/gjo/pdf/
4. Soepardi EA, Iskandar N. Editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga-Hidung-Tenggorok.
Edisi 5. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2005; 55-62
5. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Editor. Kepala dan Leher dalam: Buku ajar ilmu bedah.
Edisi revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 1997 ; 276-284
6. Perkasa, Fadjar. Penanganan Meningosil dan Atresia Koana Bilateral. 2013. Diunduh pada
tanggal 19 Agustus 2017 di http://www.orli.or.id/index.php
7. Adams GL, Boies LR, Jr. Highler PA. Boies Buku Ajar THT. Edisi 6. Effendi H. Santoso
RAK. Editor. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005; 122-128
8. Snow, J. B. Ballenger, J. J. Ballenger’s Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 16th
ed. USA: BC Decker. 2003; 87-91
9. Hermani B, Abdurrachman. Penanggulangan Sumbatan Laring. Dalam: S.A.Efiaty,
I.Nurbaiti, B.Jenny, R.D.Ratna (editor). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi VI. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta:
2015 : 243 - 253.

30

Anda mungkin juga menyukai