Tetanus Adhiatma
Tetanus Adhiatma
I. Identitas Pasien
Nama : Tn. Y
Umur : 52 tahun
Alamat : Mapin
Pekerjaan : petani
Kepala-Leher
Kepala : Normocepali, bentuk simetris
Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
Wajah : Trismus (+)
Leher : kaku, kaku kuduk (+), tidak ada pembesaran KGB.
Thorax-Cardiovascular
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri warna kulit
normal, penggunaan otot bantu nafas (-).
Palpasi : pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri, otot dada kaku
(+).
Perkusi : sonor pada kedua dinding thorak, batas jantung dalam batas
normal.
Auskultasi :
Pul : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
Cor : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
Abdomen
Inspeksi : epistotonus (+)
Auskultasi : Bising Usus (+) normal
Perkusi : Timpani pada seluruh dinding abdomen.
Palpasi : nyeri tekan (-), perut tegang dan keras, massa (-).
Status lokalis
Pada Wajah : adanya trismus (+),
Pada Leher : kaku kuduk (+),
Abdomen : perut tegang dan keras seperti papan,Risus sardonikus (+)
Meningeal sign
Reflek patologis –
V. Usulan Pemeriksaan
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap
HB : 13,0gr/dl
Leukosit :7,41/mm
Eritrosit :4,55 jl/mm3
Hematokrit :39,9 %
Trombosit : 294.000/mm3
Kimia Klinik
GDS : 159
Ureum 45 mg/dl
Kreatinin : 1,5 mg/dl
SGOT :64 u/l
SGPT :58 U/L
VI. Diagnosis
Diagnosis Klinis : Trismus
Diagnosis Topis :
Diagnosis Etiologi: Tetanus generalisata
V. appertum cruris Dextra
VII. Rencana Terapi
Medikamentosa:
• Ngt, diet cair 8 x 250cc
• O2 masker 6 lpm
• Inj. Ceftriaxone 2x1gr
• Drip metronidazole 3x500
• Ivfd rl : D5 = 1: 1 dalam 24 jam
• Ivfd diazepam 8 amp daam d5 500/24 jam (mikro)
• Tetagam 1x1
• Inj. Omeprazole 2x1
• Rawat luka
• Monitor cairan.
TINJAUAN PUSTAKA
PENDAHULUAN
Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)
yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.[1] Di negara
berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian
800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus.[2,3] Kematian
tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun.[1] Di bagian
Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun
1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun
2003Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas
47%.[4]
DEFINISI
Eksotoksin
Ganglion Sumsum
Otak Saraf Otonom
Tulang Belakang
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi.[3] Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset.
Periode onset maupun periode inkubasi secara signifi kan menentukan prognosis.
Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan
makin berat penyakitnya.[1] Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot rangka
dalam bentuk rigiditas dan spasme. Rigiditas merupakan kontraksi otot involunter
tonik, sedangkan spasme merupakan kontraksi otot yang berlangsung lebih singkat,
dapat dirangsang oleh peregangan otot atau stimulasi sensorik sehingga disebut
sebagai refleks spasme.[4]
Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme
otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih
dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak
pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan
nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas
risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otototot trunkal
meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi
sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.[1,3,6,7].
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fi sik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat
terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest.
Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada;
selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang
mengancam nyawa.[3,6] Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme
otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus
akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan
aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan
dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi
sampai beberapa minggu lagi.[1]
TATALAKSANA[8]
1. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan
dihindarkan dari stimulasi taktil ataupun auditorik.
2. Imunoterapi
Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis human tetanus
immunoglobulin (TIG) 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang sama,
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Rekomendasi British National Formulary
ialah 5.000-10.000 unit intravena. Bila human TIG tidak tersedia, dapat
digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit
intravena dan 50.000 unit IM.9 Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi
toksin tetanus bebas, sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal
tidak dapat ditangani dengan antitoksin. Oleh karena itu, gejala otot dapat
tetap berkembang karena toksin tetanus berjalan melalui akson dan trans-
sinaps serta memecah VAMP. Selain itu, dapat ditambahkan vaksin tetanus
toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang tidak memiliki riwayat vaksinasi
sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis
ketiga 6-12 bulan setelahnya.
3. Antibiotik
Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat.
Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang
dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas
sangat berat dengan mortalitas >50%
DAFTAR PUSTAKA
1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.
2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care Manual.
6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.
3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain.
Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.
5. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.
10. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological ascpects of tropical disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg
Pschiatry. 2000; 69: 292-301.
11. Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM, editors. Textbook of critical
care 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p. 1401-4.
12. GBD 2013 Mortality and Causes of Death Collaborators. Global, regional, and
national age-sex specific all-cause and cause-specific mortality for 240 causes
of death, 1990-2013: A systematic analysis for the Global Burden of Disease
Study 2013. Lancet 2015;385(9963):117-171.
13. Farrar,J.J .,Yen,L.M., Cook,T., Fairweather,N., Binh,N., Parry,J.&Parry,C.M.
(2000).Tetanus. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry ,
inVietnam[L.M.Yen,L.M.Daoand 69, 292–301.
14. Cook TM. Protberoc RT. Handel JM. Tetanus; a review of the literature. BrJ
Anaesth 2001;87:477-87.
15. Jocelyn A. Srigley MD, Shariq Haider MD, Jennie Johnstone MD. A lethal
case of generalized tetanus. CMAJ 2011. DOI:10.1503
Oleh: