Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien

Nama : Tn. Y

Umur : 52 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Mapin

Pekerjaan : petani

MRS : 08 juli 2017

Pemeriksaan : 08 juli 2017

II. Keluhan Utama : kejang sejak 2 hari SMRS


III. Anamnesis
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari pkm dengan keluhan kejang, kekakuan seluruh tubuh, mulut tidak
bisa dibuka. Keluhan mulai dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Os mengaku jatuh di tepi
sungai 7 hari yang lalu, os terkena bebatuan pada kaki kanan dan tangan kanan. Luka
dibersihkan di pkm namun tidak diberikan anti tetanus. Keluhan mulai bertambah
berat hingga mulut susah digerakkan, perut seperti papan, sulit menelan dan sulit
bicara.
2. Riwayat Penyakit Dahulu
Os tidak pernah mengalami hal serupa sebelumnya, riwayat hipertensi (-),
diabetes (-), asma (-).
Riwayat imunisasi tetanus tidak jelas
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada didalam keluarga yang mengalami hal serupa seperti dirasakan oleh
os saat ini. Riwayat hipertensi (-), diabetes (-), asma (-).
IV. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis:
KU : Lemas
Kesadaran : kompos mentis
TD : 130/80 mmHg
N : 111 x/menit
RR : 30 x/menit
t : 37,4 ⁰C
spo2 : 99%

 Kepala-Leher
 Kepala : Normocepali, bentuk simetris
 Mata : Anemis (-/-), ikterik (-/-)
 Wajah : Trismus (+)
 Leher : kaku, kaku kuduk (+), tidak ada pembesaran KGB.

 Thorax-Cardiovascular
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri warna kulit
normal, penggunaan otot bantu nafas (-).
 Palpasi : pergerakan dinding dada simetris kanan-kiri, otot dada kaku
(+).
 Perkusi : sonor pada kedua dinding thorak, batas jantung dalam batas
normal.
 Auskultasi :
 Pul : Vesikuler +/+, Rhonki -/-, Wheezing -/-
 Cor : S1-S2 tunggal, regular, murmur (-), gallop (-).
 Abdomen
 Inspeksi : epistotonus (+)
 Auskultasi : Bising Usus (+) normal
 Perkusi : Timpani pada seluruh dinding abdomen.
 Palpasi : nyeri tekan (-), perut tegang dan keras, massa (-).
 Status lokalis
Pada Wajah : adanya trismus (+),
Pada Leher : kaku kuduk (+),
Abdomen : perut tegang dan keras seperti papan,Risus sardonikus (+)
 Meningeal sign

kaku kuduk + brudzinski sign I -

brudzinski sign II – kernig –

Reflek patologis –

V. Usulan Pemeriksaan
 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Darah Lengkap
 HB : 13,0gr/dl
 Leukosit :7,41/mm
 Eritrosit :4,55 jl/mm3
 Hematokrit :39,9 %
 Trombosit : 294.000/mm3

Kimia Klinik

 GDS : 159
 Ureum 45 mg/dl
 Kreatinin : 1,5 mg/dl
 SGOT :64 u/l
 SGPT :58 U/L

VI. Diagnosis
Diagnosis Klinis : Trismus
Diagnosis Topis :
Diagnosis Etiologi: Tetanus generalisata
V. appertum cruris Dextra
VII. Rencana Terapi
Medikamentosa:
• Ngt, diet cair 8 x 250cc
• O2 masker 6 lpm
• Inj. Ceftriaxone 2x1gr
• Drip metronidazole 3x500
• Ivfd rl : D5 = 1: 1 dalam 24 jam
• Ivfd diazepam 8 amp daam d5 500/24 jam (mikro)
• Tetagam 1x1
• Inj. Omeprazole 2x1
• Rawat luka
• Monitor cairan.
TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
signifikan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksanaan tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU)
yang jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.[1] Di negara
berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian
800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus.[2,3] Kematian
tetanus neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun.[1] Di bagian
Neurologi RS Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun
1999-2000 dengan mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun
2003Oktober 2004 di RS Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas
47%.[4]

Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus


global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus
tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang
mengalami luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk
dilaporkan menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang
berkembang.[3]

DEFINISI

Tetanus adalah penyakit infeksi akut disebabkan eksotoksin yang dihasilkan


oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan
kejangkejang otot rangka.[4]

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang kuat
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
PATOFISIOLOGI

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat


anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan
tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka
bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai
untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin
tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang
bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedangkan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis.[1-3]

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke


susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih
penting, mungkin keduanya terlibat.[4]

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction


lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke
saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat.1,3 Tetanospasmin yang merupakan zincdependent
endopeptidase memecah vesicleassociated membrane protein II (VAMP II atau
synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk
pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi
sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan
γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron
alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refleks motorik
sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan
tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal
ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin
akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas
otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan
dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel,
pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga
memanjangkan durasi penyakit ini.[1,3]

Terpapar kuman Clostridium

Eksotoksin

Pengangkutan toksin melewati saraf motorik

Ganglion Sumsum
Otak Saraf Otonom
Tulang Belakang

Tonus otot  Menempel pada Cerebral Mengenai Saraf Simpatis


Gangliosides

Menjadi kaku Kekakuan dan kejang khas -Keringat berlebihan


pada tetanus -Hipertermi
-Hipotermi
-Aritmia
Hilangnya keseimbangan tonus otot
-Takikardi
otot
Kekakuan otot Hipoksia berat

Sistem Sistem Pernafasan  O2 di otak


Pencernaan
Kesadaran 

-Ggn. Eliminasi -Ketidakefektifan jalan -PK. Hipoksemia


-Ggn. Nutrisi (< dr. kebut) jalan nafas -Ggn. Perfusi Jaringan
-Gangguan Komunikasi -Ggn. Pertukaran Gas
Verbal -Kurangnya pengetahuan
Ortu
-Dx,Prognosa, Perawatan
GEJALA KLINIS

Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah terinfeksi.[3] Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset.
Periode onset maupun periode inkubasi secara signifi kan menentukan prognosis.
Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan
makin berat penyakitnya.[1] Toksin tetanus menyebabkan hiperaktivitas otot rangka
dalam bentuk rigiditas dan spasme. Rigiditas merupakan kontraksi otot involunter
tonik, sedangkan spasme merupakan kontraksi otot yang berlangsung lebih singkat,
dapat dirangsang oleh peregangan otot atau stimulasi sensorik sehingga disebut
sebagai refleks spasme.[4]

Tetanus dikelompokkan menjadi generalisata, neonatus, lokal, dan sefalik.


Sekitar 80% tetanus merupakan tipe generalisata.[5] Tetanus lokal jarang dengan
presentasi kontraksi otot persisten di area anatomi yang mengalami trauma. Tetanus
tipe ini dapat menjadi awal dari tetanus umum, tetapi lebih ringan, dan hanya sekitar
1% menjadi fatal. Tetanus sefalik jarang terjadi, biasanya pada otitis media atau
pasca-trauma kepala dengan gejala terutama di daerah fasial. Tetanus generalisata
tampak dengan pola menyebar ke distal. Gejala awal bermula dari trismus diikuti
spasme leher, kesulitan menelan, dan rigiditas otot abdominal. Tungkai biasanya
sedikit terpengaruh; jika terdapat opistotonus penuh, akan muncul fleksi lengan dan
ekstensi kaki seperti posisi dekortikasi. Gejala lain meliputi peningkatan suhu,
berkeringat, peningkatan tekanan darah, dan takikardia episodik. Hal ini disebabkan
oleh peningkatan dramatis adrenalin dan noradrenalin yang dapat berujung pada
nekrosis miokardial.

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme
otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih
dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak
pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan
nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas
risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otototot trunkal
meng akibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi
sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.[1,3,6,7].
Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fi sik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat
terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respiratory arrest.
Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot dada;
selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea yang
mengancam nyawa.[3,6] Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat spasme
otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada tetanus
akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan dan
aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan
dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi
sampai beberapa minggu lagi.[1]

Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme


otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah
spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan
menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hipertensi. Autonomic storm
berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan
episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan
otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus,
hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.[1,3]

Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme


paroksismal kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma
intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada
vertebrathorakalis.5 Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat
dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom.
Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi
urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis vena, dan
thromboemboli.[1]
DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan sepenuhnya dari tanda dan gejala klinis tanpa


konfirmasi tes laboratorium. Definisi WHO untuk tetanus dewasa membutuhkan
penemuan salah satu tanda klinis, yaitu trismus atau risus sardonikus atau kontraksi
otot yang nyeri.[8] Hanya sekitar 30% kasus tetanus dapat mengisolasi C. tetani pada
pemeriksaan bakteriologik; C. tetani dapat ditemukan dari pasien yang tidak
tetanus.[5]

TATALAKSANA[8]

1. Umum
Pasien sebaiknya ditempatkan di ruang perawatan yang sunyi dan
dihindarkan dari stimulasi taktil ataupun auditorik.
2. Imunoterapi
Antitoksin tetanus intramuskuler (IM) dengan dosis human tetanus
immunoglobulin (TIG) 3.000-10.000 U dibagi tiga dosis yang sama,
diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Rekomendasi British National Formulary
ialah 5.000-10.000 unit intravena. Bila human TIG tidak tersedia, dapat
digunakan ATS dengan dosis 100.000-200.000 unit, diberikan 50.000 unit
intravena dan 50.000 unit IM.9 Antitoksin diberikan untuk menginaktivasi
toksin tetanus bebas, sedangkan toksin yang sudah berada di saraf terminal
tidak dapat ditangani dengan antitoksin. Oleh karena itu, gejala otot dapat
tetap berkembang karena toksin tetanus berjalan melalui akson dan trans-
sinaps serta memecah VAMP. Selain itu, dapat ditambahkan vaksin tetanus
toksoid (TT) 0,5 ml. IM. Pasien yang tidak memiliki riwayat vaksinasi
sebaiknya mendapat dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis pertama dan dosis
ketiga 6-12 bulan setelahnya.
3. Antibiotik

Beberapa antibiotik pilihan di antaranya metronidazol 500 mg setiap 6


jam intravena atau per oral, penisilin G 100.000-200.000 IU/kgBB/hari
intravena dibagi 2-4 dosis. Pasien alergi golongan penisilin, dapat diberi
tetrasiklin, makrolid, klindamisin, sefalosporin, atau kloramfenikol.
4. Kontrol Spasme Otot
Golongan benzodiazepin menjadi pilihan utama. Diazepam intravena
dengan dosis mulai dari 5 mg atau lorazepam dengan dosis mulai dari 2 mg
dapat dititrasi hingga tercapai kontrol spasme tanpa sedasi dan hipoventilasi
berlebihan. Magnesium sulfat dapat digunakan tunggal atau kombinasi dengan
benzodiazepin untuk mengontrol spasme dan disfungsi otonom dengan dosis
loading 5 mg intravena diikuti 2-3 gram/jam hingga tercapai kontrol spasme.
5. Kontrol Disfungsi Otonom
Dapat menggunakan magnesium sulfat atau morfin.
6. Kontrol Saluran Napas
Obat yang digunakan untuk mengontrol spasme dan memberikan efek
sedasi dapat menyebabkan depresi saluran napas. Ventilasi mekanik diberikan
sesegera mungkin. Trakeostomi lebih dipilih dibandingkan intubasi
endotrakeal yang dapat memprovokasi spasme dan memperburuk napas.
7. Cairan dan Nutrisi yang
Adekuat Diperlukan cairan serta nutrisi yang adekuat mengingat
tetanus meningkatkan status metabolik dan katabolik.

Phillips score <9, severitas ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat.
Dakar score 0-1, severitas ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang
dengan mortalitas 10-20%; 4, severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas
sangat berat dengan mortalitas >50%
DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL,
Kochanek PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2005.p.1401-4.

2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care Manual.
6th ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.

3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain.
Vol. 6 No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.

4. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan


Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.

5. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.
Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.

6. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19. [Internet].


2005 [cited 2013 Oct 20]. Available from:
http://www.update.anaesthesiologist.org/wp-content/tetanus-areview.pdf.

7. Blencowe H, Lawn J, Vandelaer J, Roper M, Cousens S. Tetanus toxoid


immunization to reduce mortality from neonatal tetanus. Int J Epidemiol.
2010; 39: 102–9.

8. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian


emergencies. WHO Tech Note [Internet]. 2010 [cited 2015 May 29].
Available from: http://www.who.int/
diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_2010_en.pdf

9. Laksmi NKS. Penatalaksanaan tetanus. CDK. 2014; 41(11): 823-7.

10. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al.
Neurological ascpects of tropical disease: Tetanus. J Neurol Neurosurg
Pschiatry. 2000; 69: 292-301.

11. Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek PM, editors. Textbook of critical
care 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p. 1401-4.

12. GBD 2013 Mortality and Causes of Death Collaborators. Global, regional, and
national age-sex specific all-cause and cause-specific mortality for 240 causes
of death, 1990-2013: A systematic analysis for the Global Burden of Disease
Study 2013. Lancet 2015;385(9963):117-171.
13. Farrar,J.J .,Yen,L.M., Cook,T., Fairweather,N., Binh,N., Parry,J.&Parry,C.M.
(2000).Tetanus. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry ,
inVietnam[L.M.Yen,L.M.Daoand 69, 292–301.
14. Cook TM. Protberoc RT. Handel JM. Tetanus; a review of the literature. BrJ
Anaesth 2001;87:477-87.

15. Jocelyn A. Srigley MD, Shariq Haider MD, Jennie Johnstone MD. A lethal
case of generalized tetanus. CMAJ 2011. DOI:10.1503

16. Ahmad.syab I. Salim A. Treatment of tetanus; an open study to compare tbe


efficacy of procaine penicillin and metronidazole. Br Med.I (Clin Res Ed)
1985;29[ ;648-50.
TETANUS GENERALISATA

Oleh:

dr. I Made Adhiatma

Pembimbing: dr. Sarwan Sp. B

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA


RS H.L MANAMBAI ABDULKADIR
SUMBAWA
2017

Anda mungkin juga menyukai