Disusun Oleh:
Kelompok 5 Rabu
Syafarudin 1306482035
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Menghitung koefisien perpindahan panas logam dan pengaruh suhu terhadap k, dengan
menganalisa mekanisme perpindahan panas konduksi steady dan un-steady.
Menghitung koefisien kontak
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
pada ukuran dan bentuk benda. Untuk mengetahui secara kuantitatif, perhatikan hantaran
kalor melalui sebuah benda uniform tampak seperti pada gambar berikut.
Konduksi dapat dibagi menjadi dua berdasarkan berubah atau tidaknya suhu terhadap
waktu, yaitu konduksi tunak (steady) dan konduksi tak tunak (unsteady). Konduksi tunak
dapat dijelaskan sebagai konduksi ketika suhu yang dihantarkan tidak berubah atau distribusi
suhu konstan terhadap waktu. Sebaliknya, konduksi tak tunak jika suhu berubah terhadap
waktu.
Perpindahan kalor secara konduksi dibedakan menjadi dua, yaitu konduksi tunak dan
konduksi tak-tunak. Aplikasi dari konduksi tunak ini ialah pada proses insulasi. Zaman ini,
sistem insulasi digunakan pada banyak kasus. Salah satu penerapan sistem insulasi yang
dikenal ialah sistem insulasi perpipaan. Fluida yang dialirkan dalam pipa memiliki kondisi
yang perlu dipertahankan sehingga membutuhkan sistem insulasi yang baik. contoh lain ialah
sistem insulasi pada oven dan kulkas. Oleh karena, hal tersebut diatas maka perlu dipelajari
dengan baik sistem perpipaan, diantaranya ialah tebal kritis insulasi, tahanan kalor tergabung,
dan konduktivitas termal.
Perpindahan kalor konduksi tak-tunak memiliki perbedaan dengan konduksi tunak
dimana pada konduksi tak-tunak terjadi perubahan pada energi internal.contoh dari konduksi
tak-tunak ialah proses pemanasan dan pendinginan makanan. Pada proses ini terjadi aliran
kalor yang tidak langsung setimbang secara termal. Aplikasi dari hukum fourier ini
membahas aliran kapasitas kalor tergabung, aliran kalor transien pada benda semi-infinite,
batasan-batasan konveksi, dan angka biot, angka fourier, serta bagan heisler.
5
Besar fluks kalor yang berpindah berbanding lurus dengan gradien temperatur pada
benda tersebut. Secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
q T
(2.1)
A x
Dengan memasukkan konstanta kesetaraan yang disebut konduktivitas termal,
didapatkan persamaan yang disebut Hukum Fourier tentang Konduksi Kalor.
Hukum Fourier merupakan hukum dari konduksi panas yang menyatakan bahwa
kecepatan perpindahan kalor melalui sebuah material sebanding dengan gradien negatif suhu
ke area sudut kanannya. Hukum tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
q kA T (2.2)
x
Di mana:
q = energi panas atau laju perpindahan kalor konduksi (W)
A = luas cross section (m2)
k = konduktivitas material (Wm-1K-1) (konstanta proporsionalitas)
= gradien temperatur ke arah normal terhadap luas A
T = suhu (K)
x = jarak (m)
Konduktivitas termal (k) merupakan suatu konstanta yang dipengaruhi oleh suhu yang
nilainya akan bertambah jika suhu meningkat. Selain memiliki karakteristik yang dipengaruhi
oleh suhu, nilai k juga merupakan suatu besaran yang dapat mengidentifikasi sifat penghantar
suatu benda. Bahan yang memiliki konduktivitas termal yang besar biasanya dikategorikan
sebagai penghantar panas yang baik, dan sebaliknya. Umumnya, nilai k logam lebih besar
daripada nonlogam, dan k pada gas sangat kecil. Unit konduktivitas termal biasanya
dinyatakan dalam Watt/moC atau BTU/jam.ft.oF. Nilai konduktivitas termal dapat diperoleh
dari persamaan umum konduksi, yaitu
H Q k.A. T k Q . x (2.3)
t x A.t T
6
dimana ΔT adalah perbedaan suhu dan x adalah ketebalan permukaan media yang
memisahkan dua suhu Bila perubahan konduktivitas termal (k) merupakan fungsi liner
terhadap perubahan suhu, maka hubungan tersebut dapat dituliskan sebagai,
k k0 1 T (2.4)
Pada zat padat, energi kalor dihantarkan dengan cara getaran kisi bahan. Selain itu,
menurut hukum Wiedemann-Franz, konduktivitas termal zat padat mengikuti konduktivitas
elektrik, dimana pergerakan elektron bebas yang terdapat pada kisi tidak hanya menghasilkan
arus elektrik tapi juga energi panas. Hal ini adalah salah satu penyebab tingginya nilai
konduktivitas termal beberapa jenis zat padat, terutama logam.
Untuk kebanyakan gas pada tekanan sedang konduktivitas termal merupakan fungsi
suhu. Pada gas ringan, seperti hidrogen dan helium memiliki konduktivitas termal yang
tinggi. Gas padat seperti xenon memiliki konduktivitas kecil, sedangkan sulfur hexafluorida,
yang berupa gas padat, memiliki konduktivitas termal yang tinggi berdasar tingginya
kapasitas panas gas ini.
Konduksi energi kalor dalam zat cair, secara kualitatif, tidak berbeda dari gas. Namun,
karena molekul-molekulnya lebih berdekatan satu sama lain, medan gaya molekul (molecule
force field) lebih besar pengaruhnya pada pertukaran energi dalam proses tubrukan molekul.
Tabel 1. Konduktivitas Berbagai Jenis Zat
(sumber: ittelkom.ac.id)
Pada konduksi tunak, terjadi perpindahan energi dari bagian bersuhu tinggi ke bagian
bersuhu rendah, dimana suhu tidak berubah terhadap fungsi waktu. Berdasarkan arah
pergerakan laju perpindahan kalor, konduksi tunak dibagi atas konduksi tunak dimensi satu
dan konduksi tunak dimensi rangkap.
(2.5)
(2.6)
q
k0 A
T2 T1 T2 2 T1 2 (2.7)
x 2
Jika dalam sistem teradapat lebih dari satu macam bahan (komposit), aliran kalor dapat
ditulis
T1 T4
q x A xB xC (2.8)
k A A k B A kC A
Untuk geometri lainnya, penurunan persamaannya dapat dilihat pada tabel 1 di bagian
lampiran.
dalam. Untuk sistem tunak yang disertai adanya kalor yang dibangkitkan, maka
digunakan persamaan umum,
(2.9)
2
T qL T (2.10)
0 w
2k
Untuk geometri lainnya, persamaan yang digunakan dapat dilihat pada tabel 1 lampiran.
Perpindahan kalor konduksi keadaan tunak dua dimensi, kalor mengalir dalam arah
kordinat ruang x dan y yang tidak saling bergantungan satu sama lain. Untuk keadaan
tunak berlaku persamaan Laplace
2T 2T
0
x 2 y 2 (2.11)
q kA T
x x x (2.12)
q kA T
y y y (2.13)
Untuk keadaan tidak tunak atau terdapat sumber kalor di dalam benda, maka perlu dibuat
neraca energi.
T T
k q c (2.15)
x x t
Untuk yang alirannya lebih dari 1 dimensi, kita hanya perlu memperhatikan kalor yang
dihantarkan ke dalam dan keluar satuan volume itu dalam ketiga arah koordinat. Neraca
energi di sini menghasilkan
q q q dE
qx qy qz qgen xdx ydy zdz dt (2.16)
10
Konduktansi interfasial, hc, ditempatkan pada permukaan kontak secara seri dengan
material penghantar pada sisi-sisinya. Koefisien hc ini analog dengan koefisien perpindahan
kalor. Jika T adalah perubahan suhu yang terjadi pada daerah interfasa, maka Q = Ahc T, di
mana pada tahanan kontak Q = T/ Rt, dan Rt = 1/(hcA)
Gambar 4. a) Transfer kalor melalui permukaan kontak antara 2 permukaan padatan, (b) Konduksi
melalui 2 unit daerah dengan tahanan kontak
Pada gambar 4(b), dengan menerapkan neraca energi pada kedua bahan (bahan pertama A,
bahan kedua B) diperoleh
T T
q k A A T 1T2 A 2A
k B A T 2 BT3
2B
T1 T3
q x k A 1 h A x k A
A A 2 B B (2.18)
11
dengan memberi tanda Ac untuk bidang kontak termal dan Av untuk celah, serta memberi Lg
untuk tebal celah dan kf untuk konduktivitas termal fluida yang mengisi celah. Luas
penampang total batangan adalah A, maka dapat ditulis
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA | UNIVERSITAS INDONESIA
Kelompok 5R Konduksi
T T T T T T
q 2A 2B
k A 2A 2B
2A 2B
Lg 2k A Ac Lg 2kB A c fv
Lg 1 hc A (2.19)
1 A 2k A k B A
h c
v
k (2.20)
c f
L
A k A kB
g A
Tabel 2 berikut menampilkan sejumlah nilai hc untuk beberapa bahan.
Tabel 2 Beberapa Nilai Konduktansi Interfasial pada Kisaran Tekanan 1-10 atm
sumber: Lienhard, 3rd ed, page 66
Meskipun belum ada teori yang dapat meramalkan konsep tahanan kontak ini secara lengkap,
beberapa hipotesis dapat diambil:
Tahanan kontak meningkat jika tekanan gas sekitar diturunkan hingga di bawah nilai
terbesar mean free path karena konduktivitas termal efektif akan menurun pada
keadaan ini.
Tahanan kontak menurun jika tekanan sambungan ditingkatkan karena akan
memperluas deformasi kontak.
Q UAT
menyeluruh
(2.21)
(a)
(b)
Perpindahan kalor menyeluruh, yang terjadi secara konveksi dan konduksi, dihitung
dengan jalan membagi beda suhu menyeluruh dengan jumlah tahanan termal,
TA TB
q 1 h A x kA 1 h A
1 2 (2.23)
1
U 1 h x k 1 h
1 2 (2.24)
Pada silinder bolong (gambar 6) yang terkena lingkungan konveksi di permukaan bagian
13 dalam dan luarnya, luas bidang konveksi tidak sama untuk kedua fluida karena tergantung
diameter dalam tabung dan tebal dinding.
TA TB
q 1 lnr r 1
o
i
hA 2kL hA
i i o o (2.25)
Besaran Ai dan Ao merupakan luas permukaan dalam dan luar tabung dalam. Koefisien
perpindahan kalor menyeluruh dapat didasarkan atas bidang dalam atau luar tabung, sehingga
1
U
i 1 Ai lnro ri Ai 1
h 2kL A h
i o o (2.26)
1
U
o Ao 1 Ao lnro ri 1
A h 2kL h
i i o (2.27)
Beberapa nilai koefisien perpindahan kalor menyeluruh diberikan pada tabel 2 (lampiran).
Nilai-nilai yang tertera pada tabel tidak sepenuhnya cocok untuk kondisi-kondisi khusus,
yang perlu diperhatikan adalah
h
Fluida dengan konduktivitas termal yang rendah biasanya memiliki nilai yang
rendah. Ketika fluida tertentu mengalir ke suatu sisi heat exchanger, nilai U umumnya
menjadi kecil.
Kondensasi dan pendidihan merupakan proses transfer kalor yang sangat efektif.
h
Keduanya meningkatkan U namun nilai yang begitu kecil tidak bisa
dikesampingkan seperti halnya exchanger.
BAB III
PERCOBAAN
1. Memeriksa jaringan air pendingin masuk dan keluar peralatan konduksi, memeriksa
apakah air pendingin mengalir kedalam alat, dengan membuka kran pengontrol.
2. Mengalirkan air pendingin dengan laju cukup kecil.
3. Menghubungkan kabel ke sumber listrik.
4. Memasang milliVolt meter (memerhatikan kutub + dan -), mengeset mV meter pada
penunjuk mV, DC.
5. Menyalakan saklar utama dan unit 1 / 2 dan 3 / 4.
6. Mengeset heater unit 1 / 2 pada angka 5 ddan unit 3 / 4 pada angka 400.
7. Mengamati suhu tiap node 1 s/d 10 setiap 5 menit untuk unit 2 dan 3.
8. Mengamati suhu air keluar untuk unit 2 dan 3.
9. Menghentikan pengamatan apabila node 10 telah tidak berubah suhunya pada 3 kali
pengamatan .
3.2.2. Unit 3
Node Temperatur air keluar (oC) Tegangan (mV) Volume air keluar (ml)
16
BAB IV
PENGOLAHAN DATA
4.1 Unit 2
Dengan menggunakan asas black, persamaan untuk mendapatkan nilai k adalah sebagai
berikut :
Ti w = 25 oC
17 A = 0.00079 m2
Nilai k untuk stainless steel diperoleh dari node 1 dan 2, aluminium dari node 3 sampai 6,
dan magnesium dari node 7 sampai 10, maka diperoleh :
Selang dx (m) dT1 (ºC) dT2 (ºC) dT avg T node avg k k avg
node (ºC) (ºC)
1-2 0.025 36.68396 37.87532 37.27964 107.43901 109.6390531 109.6391
3-4 0.045 2.95358 3.00322 2.9784 57.89829 2470.167867
4-5 0.045 3.00322 3.05286 3.02804 54.89507 2429.673312 2539.764
5-6 0.045 2.68056 2.7302 2.70538 52.02836 2719.450863
7-8 0.027 2.75502 2.7302 2.74261 43.906015 1609.521144
8-9 0.045 2.82948 2.87912 2.8543 41.10756 2577.56647 2251.165
9-10 0.045 2.80466 2.92876 2.86671 38.247055 2566.408173
Diketahui k literatur Stainless Steel, Aluminium, dan Magnesium berturut-turut adalah 73,
202, dan 158. Maka dengan menggunakan persamaan,
diperoleh kesalahan relatif untuk stainless steel, aluminium dan magnesium berturut-turut
adalah 50,19%; 1157,31% dan 1322.627%
Unit 2
18
Node Q air Q bahan Q loss
1-2 129,0996 247,8403 118,7407
4. Menghitung nilai hc
Asumsi : fluida yang terperangkap di dalam ruang kosong adalah udara, sehingga harga kf
sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai kA dan kB. Dengan demikian nilai hc dapat
dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
% KL hc alumunium-magnesium = 1244.95 %
19
5. Menghitung nilai β
dihitung dengan membuat grafik k vs. T node avg (metode least square) dengan
menggunakan data k dan T nodeavg dari aluminium dan magnesium berdasarkan rumus :
2000
y = -168.45x + 9172.4
1500
k
Alumunium
1000
Magnesium
500
0
0 20 40 60 80
T node avg (oC)
Alumunium y = -42,024x + 4848,6
Magnesium y = -168.45x + 9172.4
Dengan demikian nilai untuk aluminium dan magnesium adalah
Alumunium (Al)
20
Magnesium (Al)
4.2 Unit 3
o
C. Persamaan yang digunakan untuk mengkonversi TI dan TII adalah
Node Temperatur air keluar Tegangan (mV) Volume air keluar Temperatur (oC) Temperat
(oC) (ml)
Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan Percobaan 1 2 Rata-rata
1 2 1 2 1 2 (oC)
1 34.5 35 3.516 3.520 21 22 117.00712 117.1064 117.056
2 35 35 3.141 3.162 21 22 107.69962 108.22084 107.960
3 35 35 2.756 2.758 22 22 98.14392 98.19356 98.168
4 35 35 2.397 2.396 22 21 89.23354 89.20872 89.221
5 35 35 2.090 2.090 21 21 81.6138 81.6138 81.61
6 35 35 1.834 1.830 21 21 75.25988 75.1606 75.210
7 35 35 1.575 1.577 21 21 68.8315 68.88114 68.856
8 35 35 1.360 1.352 21 22 63.4952 63.29664 63.395
9 35 35 1.178 1.177 22 21 58.97796 58.95314 58.965
10 21
35 35 1.007 1.006 22 21 54.73374 54.70892 54.721
Laju alir massa dapat diperoleh dengan mengolah data dari volume air keluar yang diukur
selama 5 detik:
dimana :
Q = laju alir volume
V = volume
T = waktu
Kemudian, persamaan yang digunakan untuk mencari laju alir massa adalah:
dimana :
Q = laju alir volume
= laju alir massa
ρ = massa jenis
Dengan menggunakan nilai ρ = 1000 kg/m3 dan t = 5s maka laju alir massa dapat
diperoleh dengan hasil sebagai berikut:
Dari tabel diatas, dapat diketahui bahwa nilai laju alir massa yang diperoleh adalah sebesar:
0.00428 kg/s.
Besar jari-jari dan luas dari setiap node kemudian dapat dituliskan sebagai berikut :
23
4. Menghitung nilai k
24
6. Menghitung nilai dan dari grafik dengan metode Least Square menggunakan
data nilai dan dari Tembaga (Cu). Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut :
12000
10000
k
y = 12.912x + 9987.3
8000 R² = 0.0724
6000
0 20 40 60 80 100 120 140
T node (rata-rata)
25
Maka nilai
BAB V
ANALISIS
Percobaan konduksi ini merupakan bentuk aplikasi dari pembelajaran dan pendalaman
materi perpindahan kalor (heat transfer). Tujuan percobaan ini adalah untuk menentukan nilai
koefisien perpindahan panas logam (k) dan pengaruh suhu terhadap nilai k itu sendiri
(melibatkan dengan nilai β). Dalam hal ini, percobaan dilakukan dengan menganalisa,
mekanisme perpindahan panas konduksi baik untuk kondisi steady maupun untuk kondisi
non-steady. Selain itu, percobaan ini juga bertujuan untuk menghitung nilai koefisien kontak
yang terjadi antara dua logam. Untuk memenuhi tujuan ini, dilakukan percobaan dengan
menggunakan unit 2 dan unit 3 yang masing-masing unit memiliki spesifikasi tertentu terkait
perpindahan panas konduksi. Unit 2 merupakan terdiri atas gabungan 3 logam yang saling
dihubungkan (Stainless Steel, Fe – Alumunium, Al – Magnesium, Mg), dimana ujung yang
satu (Fe) dihubungkan dengan suatu pemanas yang bersumber dari listrik
Percobaan pertama dilakukan pada unit 2. Unit 2 tersusun dari material yang berbeda
yaitu baja, alumunium, dan magnesium. Pada percobaan unit 2 ini dilakukan pengamatan
tentang kemampuan masing-masing dari ketiga logam tersebut dalam menghantarkan panas
secara konduksi. Energi kalor antar logam dan melintasi node-node seperti pada skema di
bawah ini.
heater 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Baja Al Mg
Pada setiap node dipasang sebuah termokopel yang berfungsi sebagai sensor suhu pada titik
tersebut. Termokopel ini dihubungkan dengan konektor dan voltmeter sehingga pada titik
tersebut dapat dilakukan pembacaan suhu. Karena yang digunakan adalah voltmeter, suhu
yang terbaca ditransformasikan menjadi besaran tegangan atau potensial listrik dengan satuan
mV. Data suhu dapat diperoleh dengan cara mengkonversikan data potensial listrik. Switch
pada voltmeter digunakan untuk mengubah pembacaan suhu dari satu node ke node lainnya di
sepanjang batang.
26 Pada percobaan unit 2 akan dipelajari bagaimana cara menentukan koefisien kontak
dan pengaruhnya terhadap perpindahan panas konduksi. Prinsipnya adalah adanya driving force
berupa gradien suhu di antara gabungan logam tersebut. Di sepanjang gabungan logam
akan terjadi suatu profil temperatur yang cenderung turun dari arah Fe menuju Mg. Dari profil
ini, kita bisa menentukan nilai tahanan termal konduksi dari masing-masing logam dan juga
tahanan kontak termal yang terjadi di antara pertemuan antara 2 logam (Fe-Al dan Al-Mg).
Penurunan ini disebabkan fluks kalor yang melewati dua jenis bahan yang berbeda akan
terhambat karena adanya tahanan kontak termal yang akan menyebabkan penurunan suhu
yang tiba-tiba pada bidang logam yang kedua. Penurunan suhu juga terjadi karena faktor
kekasaran antara dua permukaan benda tersebut akan menyebabkan terbentuknya celah udara
yang sempit yang menimbulkan tahanan kontak termal. Ini akan memicu penurunan suhu di
antara sambungan logam. Panas dialirkan dari pemanas menuju stainless steel, yang akan
menyebabkan peningkatan suhu dari logam tersebut. Molekul-molekul yang bergerak lebih
cepat karena dipanaskan kemudian juga mentransfer sebagian energi mereka dengan molekul-
molekul lain sepanjang benda tersebut. Dengan demikian, energi gerak termal ditransfer oleh
tumbukan molekul sepanjang benda.
Pada unit 2 ini, dilakukan pengambilan data suhu keluaran air dan suhu yg dibaca di
voltmeter untuk sepuluh node. Pengambilan data untuk setiap node, dilakukan tiap selang
waktu 1 menit. Hal ini bertujuan agar suhu yang dibaca sudah stabil. Pembacaan suhu di
voltmeter dan suhu air keluaran dilakukan pada waktu yang sama. Pengambilan data
dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada menit ke 1 setelah perubahan node dan 30 detik
setelahnya. Hal ini bertujuan untuk melihat pengaruh waktu terhadap konduksi. Dalam
perhitungan, data yang digunakan adalah rata-rata dari nilai suhu yang diperoleh dari dua data
tersebut.
Konduktivitas thermal dipengaruhi oleh jenis material dan temperatur. Semakin besar
konduktivitas thermalnya, material tersebut akan semakin mudah menghantarkan kalor.
Dengan asumsi bahwa fluks kalor tetap, pada material batang yang sama, suhu batang akan
semakin menurun seiring bertambahnya jarak dari sumber kalor. Pada material batang yang
berbeda, besarnya gradient suhu akan berbanding terbalik dengan konduktivitas thermal
batang kedua. Semakin besar konduktivitasnya, gradient suhu akan semakin kecil.
Hubungan dari satu batang ke batang lainnya tidak benar-benar rapat. Hal ini dilakukan
agar suatu batang tidak menjadi heat sink bagi batang lainnya. Ada dua unsur pokok yang
27 menentukan perpindahan kalor pada sambungan. Yang pertama adalah konduksi antara zat
padat dengan zat padat pada titik singgung. Yang kedua adalah konduksi melalui gas yang
terkurung pada ruang-ruang kosong yang terbentuk karena persambungan tersebut.Ruang-
ruang kosong di persambungan logam ini akan diisi oleh fluida (biasanya udara) yang
memiliki konduktivitas thermal lebih kecil dibandingkan dengan konduktivitas logam.
Selain itu, pada percobaan ini, dilakukan pengukuran terhadap suhu yang
direpresentasikan pada tegangan yang terukur pada masing-masing node yang terpasang pada
ketiga logam (node 1-2 : Fe, 3-6 : Al, 7-10 : Mg). Pada setiap node dipasang sebuah
termokopel yang berfungsi sebagai sensor suhu pada titik tersebut Termokopel ini
dihubungkan dengan konektor dan voltmeter sehingga pada titik tersebut dapat dilakukan
pembacaan suhu dengan satuan mV karena digunakan voltmeter. Kita akan menghitung
koefisien β dari data yang diperoleh ; nilai ini selanjutnya dapat digunakan untuk menghitung
nilai konduktivitas bahan (nilai k).
Perbedaan konduktivitas thermal yang cukup besar ini memberikan suatu tahanan
terhadap perpindahan kalor yang terjadi. Tahanan ini disebut sebagai tahanan kontak thermal
(thermal contact resistance). Akibatnya pada bagian tersebut akan terjadi penurunan suhu
yang cukup drastis. Kuantifikasi dari besarnya tahanan kontak dinyatakan sebagai koefisien
kontak, hc. Berdasarkan skema alat percobaan, tahanan kontak thermal terhadap perpindahan
kalor akan terjadi di antara node 2-3 (persambungan baja – alumunium) dan antara node 6
dan 7 (persambungan alumunium – magnesium).
28 tembaga (Cu) dalam menghantarkan panas secara konduksi. Unit 3 ini merupakan suatu
sistem dari logam tembaga (Cu) yang dihubungkan dengan plat pemanas yang berdiri secara
vertikal dengan luas penampang yang mengkerucut menjadi kecil atas ke bawah. Perubahan
nilai perubahan konduktivitas termal yang terjadi sepanjang logam dapat dideteksi dengan
menggunakan profil temperatur tertentu. Variabel yang berpengaruh terhadap perpindahan
kalor pada unit 3 adalah jarak antara node dengan sumber kalor dan luas penampang.
Di dalam sistem unit 3 ini digunakan air pendingin yang dialirkan dengan laju yang
kecil sehingga perubahan temperatur pada tiap node dapat diamati dengan mudah sesuai
dengan Azas Black dan mencegah terjadinya rugi kalor akibat dari perpindahan panas secara
koveksi. Selain itu, air pendingin ini juga berguna untuk merepresentasikan daya panas yang
mengalir sepanjang sistem dan juga mempertahankan kondisi steady dari sistem.
Laju alir yang dibutuhkan dalam sistem ini adalah laju alir yang kecil, karena apabila
air dialirkan dengan laju yang terlalu besar maka kalor yang akan diserap semakin besar pula
sehingga tidak mudah untuk dapat mengamati distribusi temperatur pada tiap-tiap node.
Dalam percobaan unit 3 ini, perlu diperhatikan beberapa komponen yang ada yaitu: 1.
Memilih unit yang akan dicari temperaturnya yaitu unit 2 dan unit 3. Kemudian,
thermocouple selector yang menunjukkan node-node dari node 1 sampai node 10 dan
kemudian divariasikan nodenya sehingga temperatur tiap node pada suatu unit dapat dibaca
dengan menggunakan temperature recorder. Kemudian, terdapat tombol untuk mengatur
29 voltmeter yang digunakan untuk mengubah pembacaan temperatur dari satu node ke node
lainnya. Selanjutnya, air keliaran akan diukur suhu nya dengan menggunakan termometer
dengan cara menampung air keluaran dari selang unit yang telah dipilih sebelumnya (apakah
selang yang berasal dari unit 2 atau unit 3) dalam gelas beaker dan menunggu selama 1 menit.
Pengambilan data dilakukan dengan menunggu selama 1 menit ini bertujuan agar suhu air
yang keluar selang sesudahnya sudah stabil dan data yang diperoleh akan lebih akurat, serta
distribusi temperatur pada tiap node sudah merata.
Data hasil yang diperoleh dari percobaan secara laboratorium yang ditunjukkan pada
Bab 4 menunjukkan bahwa ada nya pengaruh node dan temperature, dimana dengan semakin
besarnya node, maka temperature akan semakin rendah, phenomena ini ditunjukkan pada unit
percobaan 2 dan 3. Adapun penyebab nya dikarenakan jarak antar node dengan heater.
Dimana, heater yang berfungsi sebagai pemanas terlebih dahulu akan mengalirkan panas ke
node 1, lalu dialirkan ke node 2 dan seterus nya hingga node ke 10. Aliran panas ini
bergantung pada nilai koefisien konduksi logam masing-masing node, yang disimbolkan
dengan sebagai k.
Nilai k, merupakan konstanta perpindahan laju kalor konduksi pada suatu bahan
material,dimana dalam percobaan yang kami lakukan adalah bahan material logam pada unit
2 dan 3 adalah bahan Aluminum, Stainless Steel dan Magnesium serta tembaga untuk unit 3.
Untuk memperoleh nilai k, kami melakukan perhitungan dengan menggunakan metode Asas
Black dimana kalor yang diterima air untuk menaikkan suhunya dianggap sama dengan kalor
dilepas logam yang terjadi akibat dari adanya perbedaan suhu kontak antar dua permukaan
(yakni air dan logam).
Konstanta kontak permukaan sangat berpengaruh terhadap laju perpindahan kalor yang
terjadi. Pada percobaan ini dihitung dengan:
Dimana nilai k yang digunakan adalah nilai k dari hasil perhitungan sebelumnya untuk tiap-
tiap logam. Nilai kf merupakan konduktifitas fluida dalam ruang fluida sebagai akibat ketidak
sempurnaan kontak dapat kita abaikan karena nilai kf ini dianggap terlalu kecil dibandingkan
konstanta logam A dan konstanta logam B yakni kA dan kB. untuk pengolahan data ini, kami
melakukan asumsi terhadap nilai Ac dan Lg. dimana Lg merupakan tebal ruang kosong antara
A dan B bernilai 5.10-6 m sedangkan Ac merupakan luas penampang batang kontak bernilai
0.5 A. Untuk nilai A adalah luas penampang batang total dan Av merupakan luas penampang
batang tidak kontak.
Nilai hc yang kami peroleh cukup jauh dari nilai hc secara literature , sehingga kami
memiliki kesalahan listeratur yang cukup besar. Hal ini akan dibahas pada analisa kesalahan.
Adapun relative kesalahan yang kami peroleh adalah; 84.4% untuk hc bahan Aluminum
Stainless Steel dan Aluminum. Sedangkan relative kesalahan untuk hc bahan Aluminum –
Magnesium adalah 74.358%.
Tujuan kami melakukan perhitungan nilai adalah untuk mengetahui hubungan nilai
konduktifitas kalor (k) terhadap suhu. Nilai koefisien untuk setiap bahan percobaan dapat
diperoleh dari plot data ke grafik antara nilai k dan Tnode average dengan metode least
square, persamaan yang digunakan yaitu;
Persamaan yang diatas dapat diturunkan dari persamaan regresi grafik yang telah
diplot sebelum nya, dimana nilai k sebagai sb.y , ko sebagai intersept sedangkan Ko. sebagai
slope. Sehingga kita akan memperoleh nilai koefisien B pada bahan material logam adalah;
Aluminum= -0.00559
Tembaga = 0.051
Pada unit dua terdapat tiga jenis logam yaitu stainless steel, aluminium, dan magnesium.
Pada perhitungan diperoleh harga kavg stainless steel yaitu sebesar 109,6391 J/msoC, kavg
alumunium sebesar 2539,764 J/msoC, dan kavg magnesium sebesar 2251.165. Sedangkan nilai
k literature untuk stainless steel, alumunium, dan magnesium secara berurutan yaitu 73
J/msoC, 202 J/msoC, dan 158 J/msoC.
Nilai k menunjukkan kemampuan suatu benda dalam menghantarkan panas secara
konduksi, semakin besar nilai k maka benda tersebut semakin mudah dalam menghantarkan
panas dan jumlah kalor yang dipindahkan juga akan semakin banyak. Berdasarkan literatur,
logam alumunium mempunyai nilai k yang paling besar dibanding stainless steel dan
magnesium sehingga alumunium juga paling mudah menghantarkan panas secara konduksi
dibanding kedua logam lain. Kesalahan literatur k percobaan unit 2 untuk logam stainless
steel, alumunium, dan magnesium secara berurutan adalah 50,1905%, 1157,309% dan
1322.627%.
Dari data hasil percobaan diatas dapat disimpulkan bahwa nilai dari konduktivitas termal
yang didapatkan mempunyai kesalahan literatur yang cukup besar. Hal ini kemungkinan dapat
disebabkan oleh kesalahan dalam mengambil data atau pada unit 2 terdapat Heat Loss yang
besar dan tidak dilibatkan dalam perhitungan untuk mencari nilai k. Selain itu dari hasil diatas
dapat disimpulkan bahwa nilai konduktivitas termal terbesar adalah nilai konduktivitas termal
dari Magnesium, lebih tinggi dari stainless steal dan juga alumunium. Artinya Magnesium
sangat baik dalam mengantarkan panas. Hal ini terbutkti dengan data literatur maupun data
yang didapatkan pada percobaan
Nilai hc yang dihasilkan pada percobaan pada logam stainless steel-alumunium dan
alumunium-magnesium secara berurutan yaitu 21020381,9 m20C/Watt dan 238677225
m20C/Watt. Sedangkan berdasarkan literatur pada logam stainless steel-alumunium dan
alumunium-magnesium secara berurutan yaitu 10724363.6 m20C/Watt 17746213.6
m20C/Watt. Kesalahan literatur untuk logam stainless steel-alumunium dan alumunium-
magnesium secara berurutan yaitu 96,00587% dan 1244.947%. Nilai Koefisien kontak (hc)
yang besar menunjukan luas penampang node yang besar. Namun nilai hc yang didapatkan
pada percobaan masih terlalu kecil dari literatur hal ini dapat disebabkan oleh permukaan
kontak sudah tidak sebesar sebelum-belumnya ketika alat masih baru dan sebagainya.
-0,00867 dan -0.001836. Nilai β akan berpengaruh terhadap nilai k yang terpengaruh oleh
suhu. Apabila nilai β makin besar maka nilai k yang terpengaruh oleh suhu juga akan besar.
Nilai β yang negatif menunjukkan bahwa nilai k pada suhu tertentu lebih kecil daripada k
pada suhu standar. Hal ini sesuai dengan persamaan:
k = k0 (1+ βT)
Nilai β yang negatif menandakan telah terjadi penyusutan luas penampang logam. Hal ini
dapat terjadi karena telah terjadi korosi pada logam tersebut sehingga logam menjadi keropos
dan dapat disebabkan pula terdapat pengotor-pengotor pada logam tersebut.
Pada analisis ini akan dijelaskan mengenai grafik yang telah didapatkan pada pengolahan
data. Berikut ini adalah grafik yang didapatkan:
2000
y = -168.45x + 9172.4
1500
k
Alumunium
1000
Magnesium
500
0
0 20 40 60 80
T node avg (oC)
Pada grafik diatas (Unit 2) terlihat bahwa nilai k akan semakin turun seiring dengan
kenaikan suhu dimana hal tersebut bertentangan dengan teori dimana nilai semakin meningkat
seiring dengan meningkatnya suhu (T). Penurunan grafik atau nilai k dapat menunjukan
bahwa terjadinya kontak termal terhadap logam magnesium karena perpindahan panas hanya
dalam arah aksial sehingga terjadi penurunan suhu tiba-tiba.
Pada grafik alumunium juga mengalami hal yang sama, yaitu akibat adanya tahanan
kontak termal yang cukup besar. tahanan Tahanan kontak termal ini terjadi karena adanya
ketidaksempurnaan kontak antara alumunium dan magnesium sehingga terdapat fluida yang
33 terperangkap di dalam ruangan yang kosong antara kedua logam sehingga penghantaran
panas antar logam terdapat gangguan.
Selanjutnya adalah percobaan pada Unit 3. Pada unit ini hanya terdapat satu bahan
penyusun node yaitu tembaga (Cu). Berikut ini adalah hasil pengolahan data unit 3:
Unit 3
Bahan Node k avg (W/m oC) k literature (W/m oC) Kesalahan
Relatif
Stainless Steel 11078.312 385 2777.48 % 0.00129
Dari hasil yang diperoleh, dapat dilihat bahwa nilai kesalahan relatif sangatlah besar.
Hal ini menunjukkan bahwa ketidak-idealan sistem konduksi yang terjadi tinggi sehingga data
yang diperoleh oleh praktikuan kurang akurat sehingga menyebabkan besarnya nilai
kesalahan literatur.
Berdasarkan teori, dapat diketahui bahwa semakin besar nilai konduktivitas termal (k),
makin baik pula kemampuan material tersebut untuk menghantarkan panas baik dalam bentuk
melepaskan maupun menerima kalor. Berdasarkan pada nilai k hasil percobaan dan nilai k
literatur, dimana nilai k tembaga termasuk besar, maka barang tentu kemampuan logam
tembaga dalam menghantarkan panas sangat baik. Pada unit 3 tidak terdapat koefisien kontak
(hc) dikarenakan hanya terdapat satu bahan.
Selain k, data yang diperoleh dari percobaan unit 3 ini adalah yang diperoleh sebesar
0.00129. Pada perhitungan β diperoleh nilai yang positif yang menunjukkan tidak adanya
korosi pada logam tembaga sebagai bahan node. Tetapi hal ini bisa dikatakan kurang akurat,
karena pada umumnya nilai β bernilai negatif, karena logam selalu mengalami korosi bahkan
korosi karena air.
Pada percobaan ini, diperoleh nilai kesalahan relatif yang sangat besar yang dapat
disebabkan oleh indikasi alat percobaan yang digunakan gagal memberikan insulasi yang baik
untuk mencegah adanya heat loss. Kenyataannya, heat loss yang terjadi sangat besar
sedemikian hingga nilai perhitungan k menjadi tidak akurat.
Rumus berikut:
34 m. Cp air. T air = k. A. T / x
adalah rumus yang berlaku bilamana heat loss yang dialami oleh sistem adalah 0 atau paling
tidak sangat kecil hingga dapat diabaikan. Kenyataan yang terjadi adalah bahwa heat loss
yang terjadi pada alat percobaan konduksi terlalu besar, sehingga rumus di atas harus
dikoreksi/diperbaiki menjadi :
heat loss + m. Cp air. T air = k. A. T / x
Jika heat loss pada sistem dapat diukur, maka tentu nilai k yang akan kami peroleh
tidak akan jauh beda dengan apa yang ditunjukkan oleh literatur. Hal ini juga berlaku pada
perhitungan-perhitungan lain termasuk dan lain-lain.
BAB VI
6.1.KESIMPULAN
1. Perpindahan panas secara konduksi adalah proses perpindahan kalor dimana panas
mengalir dari tempat yang suhunya tinggi ke tempat yang suhunya lebih rendah, tetapi
medianya tetap. Perpindahan kalor secara konduksi tidak hanya terjadi pada padatan
saja tetapi bisa juga terjadi pada cairan ataupun gas, hanya saja konduktivitas terbesar
pada padatan.
2. Rumus umum untuk perpindahan panas secara konduksi adalah
dengan k0 adalah konduktivitas termal pada saat T = 0 °C dan β adalah koefisien muai
termal untuk dua dimensi (luas).
36
5. Pada proses konduksi yang diamati, sangat besar kemungkinan terjadinya suatu
penyimpangan akibat adanya interaksi lingkungan dengan sistem, dimana sistem akan
melepaskan panas ke lingkungan dengan laju tertentu, yang disebut dengan heat loss.
Heat loss dirumuskan sebagai selisih antara qteoritis dan qeksperimen.
6. Pada percobaan ini diperoleh hasil:
7. Unit 2
Untuk perhitungan nilai konduktivitas termal:
k aluminium = W/m.oC dengan KR = 1157.31 % k magnesium =
W/m.oC dengan KR = 1322.627%
β alumunium = -0.008667
β magnesium = -0.01836
8. Unit 3
k tembaga = W/m.oC dengan KR = 2777.48 %
β tembaga =
6.2. SARAN
37
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun. Buku Panduan Praktikum POT 1. 1989. Depok : Jurusan Teknik Gas &
De Nevers, Noel. 1951. Fluid Mechanics Chemical Engineering. New York : McGraw-Hill
Inc.
38