Anda di halaman 1dari 17

Anatomi fisiologi

Sistem integument merupakan bagian dari tubuh manusia, khususnya organ yang
menutupi permukaan atau bagian luar tubuh manusia yang sering disebut kulit. Kulit
merupakan organ yang paling besar pada tubuh manusia dan terletak paling luar sehingga
mudah mengalami trauma atau terkontaminasi oleh mikroorganisme serta mudah dilihat
individu maupun orang lain. Kulit merupakan jalinan pembuluh darah, saraf, dan kelenjar
yang tidak berujung, semuanya memiliki potensi untuk terserang penyakit. Luas kulit
orang dewasa ±1,5 m dengan berat kira-kira 15% dari berat badan.

1. Lapisan Epidermis
Lapisan epidermis adalah lapisan paling atas dari kulit serta tidak mengandung
pembuluh darah dan saraf. Tebalnya di kulit biasa ±0,3 mm, Ditelapak tangan dan kaki
tebalnya ±1.5 mm. Waktu yang diperlukan untuk berubah dari lapisan yang paling bawah menjadi
paling luar ±30 hari.
2. Lapisan Dermis
Merupakan lapisan kulit di bawah epidermis yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Pars Papilaris (Stratum Papilar)
Bagian yang menonjol ke epidermis. Bagian ini berisi ujung serabut saraf dan
pembuluh darah yang menyokong dan memberi nutrisi pada epidermis. Lapisan papila hampir
tidak mengandung jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang tipis. Lapisan ini
dikenal dengan lapisan sub epitel karena terdapat di bawah lapisan epitel epidermis.
Lapisan ini disebut juga lapisan papilla karena terdapat papila (kecil, seperti jari-jari)
yang berikatan dengan epidermis. Kebanyakan papila mengandung kapiler untuk
memberi nutrisi pada epidermis. Papila dengan serabut dobel di telapak tangan dan
kaki membentuk sidik jari.
b. Pars Retikularis (Stratum Retikularis)
Lapisan retikuler terdiri dari jaringan ikat, memiliki serabut kolagen yang kasar
dan berkas serabut yang saling bersilangan membentuk seperti jaring. Garis-garis
serabut tersebut membentuk Cleavage yang penting dalam proses pembedahan.
Sayatan bedah yang memotong garis cleavage lebih sulit sembuh daripada yang
paralel dengan garis ini. Lapisan reticular sangat banyak mengandung pembuluh
darah, syaraf, ujung-ujung syaraf bebas, sel-sel adipose (lemak), kelenjar minyak dan
akar rambut, reseptor untuk tekanan dalam. Bagian terbawah lapisan ini mengandung
serabut otot polos (khususnya di dada dan putting susu genital) dan folikel rambut. Di
sekitar pembuluh darah yang kecil terdapat limfosit, histiosit, sel mast, dan leukosit
yang melindungi tubuh dari infeksi dan invasi benda-benda asing.
3. Lapisan Subkutis
Lapisan hypodermis atau lapisan subkutan terdiri dari jaringan adipose, banyak
mengandung pembuluh darah, pembuluh limfe dan syaraf, juga terdapat gulungan
kelenjar keringat dan dasar dari folikel rambut. Tidak seperti epidermis dan dermis, batas
dermis dengan lapisan ini tidak jelas. Pada bagian yang banyak bergerak, jaringan
hipodermis kurang. Pada bagian yang melapisi otot atau tulang mengandung anyaman
serabut yang kuat. Pada area tertentu yang berfungsi sebagai bantalan (payudara dan
tumit) terdapat lapisan sel-sel lemak yang tipis. Distribusi lemak pada lapisan ini banyak
berperan dalam pembentukan bentuk tubuh terutama pada wanita.
1. Fungsi Kulit
Kulit memiliki banyak fungsi diantaranya adalah:
1) Menutupi dan melindungi organ-organ dibawahnya
2) Melindungi tubuh dari masuknya mikroorganisme dan benda asing yang dapat
membahayakan tubuh.
Fungsi ini merupakan fungsi perlindungan pasif. Selain fungsi perlindungan pasif,
lapisan dermis berperan dalam proses menyiapkan limfosit yang di produksi oleh
sumsum tulang sebelum benar-benar dipakai untuk menyerang berbagai mikroorganisme
penyebab penyakit. Peran kulit dalam hal ini merupakan peran aktif dalam perlindungan
tubuh.
3) Pengaturan suhu
Kulit, jaringan sub kutan dan lemak merupakan penyekat panas dari tubuh. Lemak
menyalurkan panas sepertiga kecepatan jaringan lain atau dalam kata lain lemak
menghambat pengeluaran panas dari tubuh. Kecepatan aliran darah ke kulit
menyebabkan konduksi panas sangat efisien. Konduksi panas ke kulit diatur oleh system
syaraf simpatis. Syaraf simpatis mengatur kecepatan aliran darah dengan menstimulasi
vasokonstriksi dan vaso dilatasi.
4) Ekskresi: Melalui perspirasi/berkeringat, membuang sejumah kecil urea.
5) Sintesis: Konversi 7-dehydrocholesterol menjadi Vit D (cholecalciferol) dengan bantuan
sinar UV. Kekurangan UV dan Vit D mengakibatkan absorpsi Ca dari intestinal ke darah
menurun.
6) Sensori persepsi: mengandung reseptor terhadap panas, dingin, nyeri, sentuhan atau raba,
tekanan. Juga mengandung ujung-ujung syaraf bebas yang berfungsi sebagai homeostatis.

Definisi

Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
leprae (M.leprae) yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya menyerang kulit, mukosa
mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis, kecuali
susunan saraf pusat.Istilah kusta berasal dari bahasa India yakni kustha dikenal sejak 1400 tahun
sebelum Masehi. Penyakit kusta disebut juga lepra dan Morbus Hansen. Kata lepra disebut dalam
kitab injil, terjemahan dari bahasa Hebrew zaraath, yang sebenarnya mencakup beberapa
penyakit kulit lainnya. Morbus Hansen sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu Dr.
Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia sehingga penyakit ini disebut Morbus
Hansen (Kosasih, 2011).
Penyakit kusta adalah penyakit infeksi kronis granulamatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae (M.leprae) terutama menyerang saraf tepi, kemudian menyerang kulit,
mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang dan testis
kecuali susunan saraf pusat.(Rea and Modlin, 2008 dalam Sharma, et, al, 2013).
Soedarmo (2012) menyatakan bahwa kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik,
dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer
sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.

Epidemiologi
Menurut WHO Weekly Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2013.
Prevalensi tertinggi penyakit kusta terdapat di India, dengan jumlah penderita 91.743 jiwa pada
tahun 2012. Peringkat kedua terdapat di Brazil dengan jumlah penderita 29.311 jiwa pada tahun
2012. Indonesia sendiri berada di peringkat ketiga, dengan jumlah penderita 22.390 jiwa pada
tahun 2012 (WHO,2013). Menurut laporan WHO tersebut, selama tahun 2012 terdapat 18.994
kasus baru di Indonesia, dengan 15.703 kasus teridentifikasi sebagai kasus kusta tipe Multi
Basiler (MB) yang merupakan tipe yang menular. Dari data kasus kusta baru tahun 2012
tersebut, 6.667 kasus diantaranya oleh diderita oleh kaum perempuan, sedangkan 2.191 kasus
diderita oleh anak-anak (WHO,2013).

Menurut Ress (1975) dalam Zulfikli (2002), dapat ditarik kesimpulan bahwa penularan
dan perkembangan penyakit kusta hanya tergantung dari dua hal yakni bakteri Mycobacterium
Leprae itu sendiri dan daya tahan tubuh penderita. Disamping itu faktor-faktor yang berperan
dalam penularan ini adalah:
1. Usia, anak-anak lebih peka dari pada orang dewasa.

2. Jenis kelamin, laki-laki lebih banyak menderita kusta.

3. Ras, bangsa Asia dan Afrika lebih banyak menderita kusta.

4. Keadaan sosial, umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat sosial
ekonomi rendah.

5. Lingkungan, fisik, biologi dan sosial yang kurang sehat.

Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Organisme ini belum dapat
dibiakkan pada media bakteri atau kultur sel. Bakteri ini dapat dibiakkan pada jaringan telapak
kaki tikus dengan jumlaah mencapai 10⁶ per gram jaringan. Pada percobaan infeksi melalui
binatang armadillo, bakteri ini bisa tumbuh hingga 10⁹ sampai 10 pangkat 10 per gram jaringan.
(Djuanda, 2007)
Secara morfologis, M. leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi parallel
dengan kedua ujung bulat, ukuran 0.3-0.5 x 1-8 mikron. Basil ini berbentuk batang gram
positif, tidak bergerak, tidak berspora, dapt tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk
kelompok. Dengan mikroskop elektron, tampak M. leprae mempunyai dinding yang terdiri dari
2 lapisan, yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan
lipopolisakarida dan kompleks protein lipopolisalkarida pada bagian luar. (Riyaz, 2013).
Salah satu sifat khas dari M. leprae yang tidak didapatkan pada mikobakterium lain
adalah didapatkan (dalam suatu penelitian) dinding membrane ini tetap simetrik walaupun
dilakukan suatu fiksasi dengan pewarnaan. Untuk kriteria identifikasi ada lima sifat khas M.
leprae yaitu: (Rampengan, 2008)
1. M. leprae merupakan parasit intraseluler obligat yang tidak dapat dibiakkan pada
media buatan;
2. Sifat tahan asam M. leprae dapat di ekstraksi oleh piridin;
3. M. leprae merupakan satu-satunya mikrobaterium yang mengoksidasi (D-
Dihydroxyphenylalanin;
4. M. leprae merupakan satu-satunya spesies mikobakterium yang menginvasi dan
tumbuh dalam saraf perifer;
5. Ekstrak terlarut dan preparat m. leprae mengandung komponen antigenic yang stabil
dengan aktivitas imunologis yang khas, yaitu uji kulit positif pada penderita
tuberkuloid dan negatif pada penderita lepromatous.

Klasifikasi
A. Klasifikasi untuk kepentingan riset /klasfikasi Ridley-Jopling (1962); dalam Djuanda,
(2007)
1. Tipe tuberkuloid-tuberkuloid
Lesi ini mengenai kulit dan saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa
macula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
mengalami regresi atau penyembuhan ditengah. Permukaan lesi dapat bersisik dengan
tepi yang meninggi. Gejala dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.

Gambar 1. Lepra tipe tuberkuloid (Djuanda, 2007)


2. Tipe borderline tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa macula anestesi atau plak yang
sering disertai lesi satelit di pinggirnya, gambaran hipopigmentasi , kekeringan kulit atau
skuama tidak jelas seperti pada tipe tuberkuloid. Ganguan saraf tidak seberat tipe
tuberkuloid dan biasanya asimetrik. Biasanya ada lesi satelit yang terletak dekat saraf
perifer yang menebal.

Gambar 2. Kusta tipe borderline tuberkuloid (BT) (Djuanda, 2007)

3. Tipe borderline-borderline
LB merupakan kombinasi dari LT dan LL yang dapat dibagi lagi dalam 3 bentuk
peralihan. Tergantung dari cirinya masing-masing bentuk tuberculoid borderline (LTB),
lepromateus borderline (LLB) dan lepra tak tertentu. Tipe ini merupakan yang paling
tidak stabil kusta yang Pada tipe LB ini, permukaan lesi dapat mengkilat, batas lesi
kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe borderline tuberkuloid dan cenderung
simetrik. Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian
tengah, batas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini.

Gambar 3. Kusta borderline-borderline (Djuanda, 2007)


4. Tipe borderline lepromatous (BL)
Secara klasik lesi ini dimulai dengan macula.Awalnya hanya dalam jumlah sedikit,
kemudian dengan cepat menyebar keseluruh badan. Macula disini lebih jelas dan lebih
berfariasi bentuknya. Papel dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir
simetrik. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrate lebih jelas
dibamdingkan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched out.

Gambar 4. Kusta borderline lepromatous (BL) (Djuanda, 2007)

5. Tipe lepromatous-lepromatous
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat,
berbatas tidak tegas, dan tidak ditemukan ganguan anestesi anhidrosis pada stadium dini.
Distribusi lesi khas , yakni diwajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga,
sedangkan dibadan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, pungguang tangan,
dan permukaan ektensor tungkai bawah.

Gambar 5. Kusta lepromatous-lepromatou (Djuanda, 2007)


B. Klasifikasi untuk kepentingan program kusta/ menurut WHO
Pada tahun 1982, WHO mengembangkan klasifikasi untuk memudahkan pengobatan
di lapangan. Dalam klasifikasi ini seluruh penderita kusta hanya dibagi menjadi 2 type yaitu
tipe Pausibasiler (PB) dan tipe Multibasiler (MB). Sampai saat ini departemen kesehatan
Indonesia menerapkan klasifikasi ini sebagai pedoman pengobatan penderita lepra. Dasar
dari klasifikasi ini berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.
Table 1. Pedoman utama dalam menentukan klasifikasi WHO
Tanda Utama Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)
Bercak kusta Jumlah 1 sampai dengan 5 Jumlah lebih dari 5
Penebalan saraf tepi yang Hanya satu saraf Lebih dari satu saraf
disertai dengan gangguan
fungsi (gangguan fungsi bisa
berupa kurang/mati rasa atau
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh yang
bersangkutan
Pemeriksaan bakteriologi Tidak dijumpai basil Dijumpai basil tahan asam
tahan asam

Kelainan kulit dan hasil Pausibasiler (PB) Multibasiler (MB)


pemeriksaan
1. Bercak (macula) mati rasa
a. Ukuran Kecil dan besar Kecil-kecil
b. Distribusi Unilaterla atau Bilateral simteris
bilateral asimetris
c. Konsistensi Kering dan kasar Halus, berkilat
d. Batas Ntk Tegas Kurang tegas
e. Kehilangan rasa pada Selalu ada dan tegas Biasanya tidak jelas,
bercak jika ada, terjadi pada
yang sudah lanjut
f. Kehilangan kemampuan Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
berkeringat, rambut rontok jika ada, terjadi pada
pada bercak yang sudah lanjut
2. Infiltrat
a. Kulit Tidak ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
b. Membran Mukosa Tidak pernah ada Ada, kadang-kadang
tidak ada
c. Ciri-ciri Central healing - Punched out
lession
- Madarosis
- Ginekomasti
- Hidung pelana
- Suara sengau
d. Nodulus Tidak ada Kadang-kadang ada
e. Deformitas Terjadi dini Biasanya asimetris

Patofisiologi

Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala

dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20 tahun.
Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya. Umumnya

penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak orang punya

kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta (Agusni, 2001).

Berjuta-juta basil dikeluarkan melalui lendir hidung pada penderita kusta tipe

lepromatosa yang tidak diobati, dan hasil terbukti dapat hidup selama 7 hari pada lender hidung

yang kering. Ulkus kulit pada penderita kusta lepromatosa dapat menjadi sumber penyebar

basil. Organisme kemungkinan masuk melalui saluran pernafasan atas dan juga melalui kulit

yang terluka. Pada ksus anak-anak di bawah satu tahun, penularannya diduga melalui plasenta.

(Mansjoer, 2000)

Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di perineum,

karena basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit dengan suhu sekitar

27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD, yang

mampu berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann yaitu laminin -2 G receptor

sejenis -dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut merupakan cara invasi basil kusta pada

perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis fagosit yang bisa menangkap antigen seperti

M. leprae, tetapi tidak dapat menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC

klas II yang mampu berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang

biak di sel schwann (Agusni, 2003).

Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta dikenali oleh

sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas

non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari semua

yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated Immunity sebagai proteksi kedua tubuh

mulai mengenali DNA mengidentifikasi antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu
menelan M. leprae tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk

menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil.

Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh basil

kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta seperti tipe

Tuberkuloid – Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline –

Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous – Lepromatous (LL)

(Jopling, 2003).

Manifestasi klinis
Untuk menciptakan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda kardinal
(cardinal signs), yaitu:
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi (neuritis perifer)
kronis. Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa

b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot.

c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.

3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear)

Menurut WHO 1995, diagnosis kusta dapat ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda cardinal berikut:
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
Lesi kulit dapat tunggal atau multiple, biasanya hipopigmentasi tetapi kadang-
kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga. Lesi dapat bervariasi tetapi umumnya
berupa macula, papul, atau nodul.
Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan gambaran khas. Kerusakan
saraf terutama terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai kehilangan sensibilitas kulit
dan kelemahan otot.penebalan saraf tepi saja tanpa disertai kehilangan sensibilitas dan
kelemahan otot juga merupakan tanda kusta.
2. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan basil tahan asam dari kerokan jariingan kulit.
Jika ragu-ragu maka dianggap sebagai kasus dicurigai dan periksa ulang setip tiga
bulan sampai ditegakkan diagnosis kusta atau penyakit lain.
Manifestasi klinik organ lain yang dapat diserang :
1. Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai buta
2. Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
3. Tulang dan sendi: absorbs, mutilasi, artritis
4. Lidah : ulkus, nodus
5. Larings : suara parau
6. Testis : epididymitis akut, orkitis, atrofi
7. Kelenjar limpe : limfadenitis
8. Rambut : alopesia, madarosis
9. Ginjal : glomerulonephritis, nerfritis interstitial.

Gejala-gejala umum pada reaksi kusta :


1. Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil

2. Anoreksia

3. Nausea, kadang-kadang disertai vomitus

4. Nyeri kepala

5. Kadang-kadang disertai Neuritis dan Orchitis

Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan bakterioskopik
Pemeriksaan bakteriokopik digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Pertama-tama harus ditentukan lasi di kulit yang diharapkan
paling padat oleh basil, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan
diambil. M leprae tergolong bakteri tahan asam yang dibedakan bentuk utuh (solid),
batang, terputus (fragmented), dan butiran (granular).
a. Sediaan diambil kelainan kulit yang paling efektif
b. Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik
c. Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu ditambah
dengan lesi kulit yang baru timbul.
d. Lokasi pengambilan sedian apus untuk pemeriksaan M leprae ialah:
1) Cuping telinga kiri atau kanan
2) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
e. Sedian dari selaput lender hidung sebaiknya dihindari
f. Indikasi pengambilan sedian apus kulit :
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh atau karena resisten terhadap obat
d) Semua pasien MB setiap satu tahun setahun sekali.
g. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam yaitu Ziehl
Neelsen atau Kinyoun –Gabett,
h. Cara menghitung BTA dalam lapang mikroskop ada 3 metode yaitu zig zag, huruf
z, dan setengah atau seperempat lingkaran.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan Indeks bakteri(IB) dengan nilai dari 0 sampai 6+ menurut
RIDLEY.
1 + bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ bila ≥1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks Morfologi (IM) adalah presentase bentuk solid dibandingkan dengan
jumlah solid dan non solid.
Rumus :
Jumlah solid ×100% = ..%
Jumlah (solid+nonsolid)
syarat perhitungan :
 Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
 IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya
 Mulai dari IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.
2. Pemeriksaan hispatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan derivatnya. Gambaran hispatologik tipe
tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau
hanya sedikit dan non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi sub epidermal
yaitu daerah suatu daerah langsung bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow yang banyak basil.

Sumber : Riyaz, et, al, (2013)


3. Pemeriksaan serologic
Pemeriksaan serologic kusta didasarkan atas terbentuknya antibody pada tubuh
seseorang yang terinfeksi oleh M Leprae. Kegunaan pemeriksaan serologic ini ialah
dapat membantu diagnosis kusta yang meragukan , karena tanda klinis dan bakteriologik
tidak jelas. Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi pada kulit, misalnya pada narakontak serumah.
Macam macam pemeriksaan serologi kusta
1. Uji MLPA (mycobacterium leprae particle agglutination)
2. Uji ELISA ( enzyme linked immune sorbent assay)
3. ML diptick (mycobacterium leprae diptick)

Penatalaksanaan
1. Non farmakologi

 Pengobatan profilaksis dengan dosis yang lebih rendah dari pada dosis therapeutik.
 Vaksinasi dengan BCG yang juga mempunyai daya profilaksis terhadap lepra.
 Menjelaskan pada pasien bahwa penyakit ini bisa disembuhkan, tetapi pengobatan
akan berlangsung lama, antara 12-18 bulan, untuk itu pasien harus rajin mengambil
obat di puskesmas dan tidak boleh putus obat.
 Jika dalam masa pengobatan, tiba-tiba badan pasien menjadi demam, nyeri di seluruh
tubuh, disertai bercak-bercak kemerahan, maka harus segera mencari pertolongan ke
saranan pelayanan kesehatan.
 Penyakit ini mengganggu syaraf sehingga mungkin akan terjadi kecacatan jika tidak
ada tindakan pencegahan.
 Cuci tangan dan kaki setiap sesudah bekerja dengan sabun, terutama yang banyak
mengandung pelembab, bukan detergen.
 Rendam jari kaki/tangan sekitar 20 menit dengan air dingin. Apabila kulit sudah
lembut, gosok kaki dengan busa agar kulit kering terkelupas.
 Untuk menambah kelembaban dapat diolesin minyak (baby oil).
 Secara teratur periksa kaki, apakah ada luka, kemerahan atau nyeri dan segera mencari
pertolongan medis.
 Proteksi jari tangan dan kaki, misalnya memakai sepatu, hindari berjalan jauh atau
menghindari bersentuhan dengan benda-benda tajam.

2. Medikamentosa
Pada saat ini ada berbagai macam dan cara MDT dan yang dilaksanakan di Indonesia
sesuai rekomendasi WHO, dengan obat alternative sejalan dengan kebutuhan dan
kemampuan. Yang paling dirisaukan adalah resistensi terhadap DDS, karena DDS
adalah obat antikusta yang paling banyak dipakai dan paling murah.Obat ini sesuai
dengan para penderita dinegara berkembang, yaitu sebagai berikut.
a. Rifampisin
Rifampisin adalah obat yang menjadi salah satu komponen kombinasi DDS dengan
dosis 10 mg/ kg berat badan. Rifampisin tidak boleh digunakan sebagai
monoterapi.
b. Klofazimin
Obat ini mulai dipakai sebagai obat kusta pada tahun 1962 oleh BROWN dan
HOOGER. Dosis sebagi antikusta ialah 50 mgsetiap hari atau 100mg selang sehari
atau 3x 100mg setiap minggu.
c. Protionamid
Dosis yang diberikan 5-10mg/kg berat badan setiap hari dan untuk di Indonesia
obat ini tidak atau jarang dipakai.
d. Ofloksasin
Ofloksasin merupakan turunan fluorokuinolon yang paling aktif terhadap
mycobacterium leprae in vitro. Dosis optimal harian adalah 400mg. Dosis tunggal
diberikan dalam 22 dosis akan membunuh kuman mycobacterium leprae hidup
sebesar 99,99%.
d. Minosiklin
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin.Dosis standart harian 100mg.
e. Klaritromisin
Merupakan kelompok antibiotic makrolid, dengan pemberian dosis 500mg/hari.

Komplikasi
Gejala klinik reaksi reversal adalah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi makin lebih
eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama
menjadi bertambah luas. Terdapat nyeri saraf dan pembengkakan saraf tepi. Tanda-tanda
dari kerusakan saraf yaitu gangguan sensorik dan kelemahan otot, Demam dan malaise.
1. Lesi kulit Tambah aktif, menebal, merah, teraba panas, dan nyeri tekan. Makula
yang menebal dapat sampai membentuk plaque. Lesi membengkak sampai ada
yang pecah, merah, teraba panas dan nyeri tekan. Ada lesi kulit baru, tangan dan
kaki membengkak, sendi-sendi sakit
2. Saraf tepi Tidak ada nyeri saraf dan gangguan fungsi Nyeri tekan dan atau
gangguan fungsi, misalnya kelemahan otot. (Gustina, 2013)
Daftar pustaka
Arif, Mansjoer (et all ).2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius
Barakbah J. Prof. 2007. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga. Surabaya
Departemen Kesehatan RI Dirjen P2M dan PLP, 1996, Buku Pedoman Pemberantasan
Penyakit Kusta, Jakarta.
Djuanda, adi, Hamzah Mochtar, Aizah siti, 2007. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin edisi 4.
FK UI.Jakarta
Doull JA, Guinto RA, Rodriguez RS et al. (1942). "The incidence of leprosy in Cordova and
Talisay, Cebu, Philippines". International Journal of Leprosy 10: 107–131.
Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta
Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science, Australia
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta.
Gustina, Rina. 2013. Kusta. URL : http://fkunand2010.files.wordpress.com/2013/05/kusta-
revisi-dr-rina.ppt.
Rampengan, T.H. 2008. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta: EGC
Riyaz Najeeba, et, all. 2013. A study on histological features of lepra reactions in patients
attending the Dermatology Department of the Government Medical College, Calicut, Kerala,
India. Government Medical College, Calicut, Kerala, India. Accepted for publication 24
January 2013.
Soedarmo et all. 2012. Buku Ajar Infeksi dan Penyakit Tropis edisi 2. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
Sharma, Naela, Nirali. 2013. Lepra Reaction-A Clinical and Histopathological Study.
IJSR, International Journal of Scientific Research.

Anda mungkin juga menyukai