Anda di halaman 1dari 7

Latar Belakang

Laba merupakan suatu informasi yang terdapat disuatu laporan keuangan dan
merupakan informasi penting baik bagi pihak didalam perusahaan maupun diluar perusahaan
untuk mengetahui laba masa depan. Informasi yang terkandung didalam laba bertujuan untuk
mengetahui bagaimana kinerjadari manajemen apakah baik atau tidak, serta dapat membantu
memprediksi hasil laba dimasa datang, dan memprediksi kemampuan perusahaan dalam
meminjam dana kepada kreditor.

Seiring dengan laju perputaran waktu serta berkembangnya perekonomian di


Indonesia maka semakin banyak kiat-kiat pintar yang dilakukan para manajer dalam
mengembangkan perusahaannya. Seperti yang sering kita dengar dengan istilah manajemen
l.aba. Ada perbedaan pandangan antara praktisi dan akademisi mengenai manajemen l.aba.
Dari pandangan praktisi menganggap bahwa manajemen laba merupakan suatu kecurangan.
Dari pandangan akademisi menganggap bahwa manajemen laba bukanlah suatu kecurangan.
Manajemen laba adalah suatu kondisi dimana manajemen melakukan intervensi dalam proses
penyusunan laporan keuangan bagi pihak eksternal sehingga dapat meratakan, menaikkan,
dan menurunkan laba. Manajemen laba muncul sebagai dampak masalah keagenan yang
terjadi karena adanya ketidakselarasan kepentingan antara pemegang saham (principal) dan
manajemen perusahaan (agent). Bentuk dari manajemen laba yang kerap dilakukan oleh
manajer adalah perataan laba. Schroeder (2009) mendefinisikan income smoothing dilakukan
manajer karena terjadi fluktuasi laba didalam perusahaan dan perilaku manajer dianggap
normal bagi perusahaan. Menurut (Atik, 2008) manajemen tertarik melakukan praktik
perataan laba karena manajemen menyukai perusahaan yang memiliki laba rata begitu juga
investor karena laba yang rata dianggap perusahaan tersebut baik.

Faktor-faktor perataan laba ada berbagai macam yaitu ukuran perusahaan, risiko
keuangan, profitabilitas, nilai perusahaan dan struktur kepemilikan. Pada penelitian kali ini,
akan dibahas mengenai profitabilitas dan nilai perusahaan. Profitabilitas dapat mempengaruhi
perataan laba. Menurut Assih dkk, (2000) apabila perusahaan memiliki ROA yang tinggi
dianggap perusahaan tersebut memiliki laba yang tinggi sehingga investor tertarik
menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut.Karena hal tersebutlah manajer tertarik
melakukan perataan laba agar nilai perusahaan terlihat baik dimata investor.
Aji dan Mita (2010) menemukan semakin tinggi nilai perusahaan maka kecenderung
melakukan income smoothing lebih besar, dikarenakan nilai perusahaan yang baik dianggap
laba yang dihasilkan perusahaan tersebut stabil sehingga menarik minat manajemen untuk
melakukan perataan laba. Nilai perusahaan yang baik berarti citra perusahaan dianggap baik
bagi investor sehingga investor berkeinginan membeli saham tersebut.
Brochet dan Gildao (2004) mengemukakan ketika manajemen membeli saham
didalam suatu perusahaan maka manajemen tersebut mendapatkan informasi lebih banyak
dibandingkan dengan pemegang saham lainnya. Sehingga hal tersebut menyebabkan
manajemen memiliki kesempatan besar untuk melakukan perataan laba.

Rumusan Masalah
1. Apa pengaruh profitabilitas terhadap perilaku Income Smoothing (Perataan laba) ?
2. Apa pengaruh nilai perusahaan terhadap perilaku Income Smoothing (Perataan laba)?

Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh profitabilitas terhadap perilaku income smoothing
(perataan laba)
2. Untuk mengetahui pengaruh ukuran perusahan terhadap perilaku income smoothing
(perataan laba)

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:
1. Penulis
Penelitian ini dapat memberikan wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang
akuntansi, terutama dalam pengaruh profitabilitas dan nilai perusahaan terhadap
perilaku Income Smoothing
2. Pihak lain
Penelitian ini dapat menjadi referensi atau rujukan bagi penelitian lain yang
memiliki permasalahan yang serupa dan dapat dijadikan bahan penelitian lebih
lanjut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2.1 Landasan Teori


2.1.1 Teori Keagenan
Hubungan antara agen dan prinsipal terbentuk saat salah satu pihak yaitu prinsipal
menyewa jasa pihak lain yang dalam hal ini adalah agen untuk mengelola aset perusahaan.
Menurut Astika (2011) teori keagenan adalah salah satu teori ekonomi yang berusaha
memprediksikan dan menjelaskan perilaku seluruh pihak yang berusaha memprediksikan dan
menjelaskan perilaku seluruh pihak yang terkait dengan keberadaan suatu entitas dengan
menguji bagaimana pihak-pihak dalam hubungan keagenan tersebut memaksimalkan
utilitasnya melalui kerja sama tim. Dalam suatu perusahaan, posisi prinsipal diduduki oleh
pemegang saham sedangkan posisi CEO sebagai agen. Pada tingkat yang lebih rendah, CEO
merupakan prinsipal dan manajer merupakan agen mereka.
Para manajer diberi kekuasaan oleh pemilik perusahaaan dalam hal ini pemegang
saham untuk membuat keputusan, yang nantinya hal ini dapat menimbulkan potensi konflik
kepentingan yang dikenal dengan teori keagenan. Prinsipal dan agen memiliki tujuan yang
berbeda, dan dalam teori keagenan mengasumsikan bahwa individu akan bertindak sesuai
dengan kepentingan mereka. Prinsipal selaku pemilik perusahaan cenderung hanya tertarik
pada pengembalian investasi mereka di perusahan tersebut. Sedangkan agen, akan lebih
termotivasi dan menerima kepuasan dari besarnya kompensasi yang ia dapat, waktu luang
yang banyak, dan jam kerja yang fleksibel.
Masalah keagenan juga tercipta akibat adanya ketimpangan informasi dimana
prinsipal yang menginginkan laba sebesar-besarnya akan memberikan target yang tinggi
sehingga agen yang memiliki lebih banyak informasi akan berusaha untuk memaksimalkan
keuntungan pribadi misalnya dengan melakukan tindakan manipulasi. Sedangkan bagi pihak
prinsipal, tidak memiliki informasi secara luas mengenai kinerja agen karena tidak berada
dalam posisi untuk memantau setiap harinya. Kondisi ini dikenal dengan asimetri informasi,
yaitu suatu kondisi dimana terjadinya ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak
manajemen sebagai pihak penyedia informasi dengan pihak pemegang saham sebagai
pengguna informasi Satu-satunya informasi yang digunakan untuk mengukur kinerja yang
selanjutnya diinginkan sebagai dasar dalam pemberian reward adalah informasi akuntansi
karena informasi ini dianggap lebih objektif daripada informasi lainnya. Informasi akuntansi
juga digunakan oleh para principal untuk menilai kinerja para manajer, yang selanjutnya
dijadikan dasar dalam pemberian reward (biasanya dalam bentuk bonus). Konsekuensi logis
dari penggunaan informasi akuntansi sebagai satusatunya dasar dalam pemberian reward
tersebut adalah munculnya perilaku tidak semestinya (dysfunctional behaviour) dikalangan
manajer. Manajer cenderung melakukan perataan (smoothing) dengan memanipulasi
informasi sedemikian rupa agar kinerjanya tampak bagus.

2.1.2 Perataan Laba


Praktik perataan laba merupakan fenomena yang umum terjadi sebagai usaha
manajemen untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan (Nasir dkk., 2002). Menurut
Belkaoui perataan laba (income smoothing) adalah pengurangan fluktuasi laba dari tahun ke
tahun dengan memindahkan pendapatan dari tahun-tahun yang tinggi pendapatannya ke
periode-periode yang kurang menguntungkan. Fuddenberg dan Tirole dalam penelitian
Budileksamana dan Andriani berpendapat bahwa perataan laba adalah suatu proses
manipulasi waktu terjadinya laba atau laporan laba agar laba yang dilaporkan terlihat stabil.

Beidleman dalam Ghozali dan Chariri mengartikan perataan laba yang dilaporkan
dapat didefinisikan sebagai usaha yang disengaja untuk meratakan atau memfluktuasikan
tingkat laba sehingga pada saat sekarang dipandang normal bagi suatu perusahaan. Dalam hal
ini, perataan laba menunjukan suatu usaha manajemen perusahaan untuk mengurangi variasi
abnormal laba dalam batas-batas yang diijinkan dalam praktik akuntansi dan prinsip
manajemen yang wajar (sound).

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perataan laba adalah
suatu tindakan manipulasi yang sengaja, yang dilakukan oleh manajemen terhadap fluktuasi
laba yang dilaporkan agar laba perusahaan berada di tingkat yang dianggap normal oleh
perusahaan atau dengan kata lain agar laba yang dilaporkan perusahaan terlihat stabil
sepanjang diizinkan oleh prinsip akuntansi dan manajemen yang sehat. Dalam hubungan
keagenan, manajer memiliki asimetri informasi terhadap pihak eksternal perusahaaan seperti
kreditor dan investor. Hal ini terjadi ketika manajer memiliki informasi internal perusahaan
relatif lebih banyak dan mengetahui informasi tersebut relatif lebih cepat.

Manajemen sebagai agen yang mengetahui lebih banyak informasi, akan


memanfaatkan informasi yang tidak diketahui oleh prinsipal (pemilik) untuk memaksimalkan
kepentingannya. Dalam hal ini adalah pada nilai perusahaan dan manajer percaya bahwa
pasar mendasarkan pada angka akuntansi. Oleh karena itu, manajer dapat menggunakan
informasi yang diketahui untuk memanipulasi laporan keuangan dalam usaha
memaksimalkan kemakmuran.

Menurut Hepworth dalam penelitian Nasser dan Parulina mengungkapkan bahwa


manajer yang termotivasi untuk melakukan perataan laba karena ingin mendapatkan berbagai
keuntungan ekonomis dan psikologis, yaitu:

1. Mengurangi total pajak yang terutang.


2. Meningkatkan kepercayaan diri manajer karena penghasilan yang stabil
mendukung kebijakan deviden yang stabil.
3. Mengingkatkan hubungan antar manajer dan karyawan karena pelaporan laba
yang meningkat tajam memberi kemungkinan munculnya tuntutan kenaikan gaji
dan upah.
4. Siklus peningkatan dan penurunan penghasilan dapat ditandingkan dengan
gelombang optimisme dan pesimisme dapat diperlunak.

Ada dua jenis perataan laba, yaitu (Riahi-Belkaoui, 2004) :

a) Intentional atau designed smoothing


Intentional atau designed smoothing ialah keputusan atau pilihan yang dibuat
untuk mengatur fluktuasi earnings pada level yang diinginkan.
b) Natural smoothing
Natural smoothing adalah income generating process yang natural, bukan hasil
dari tindakan yang diambil oleh manajemen.

Berbagai teknik yang dilakukan dalam perataan laba, diantaranya ialah (Sugiarto,
2003):

a) Perataan melalui waktu terjadinya transaksi atau pengakuan transaksi. Pihak


manajemen dapat menentukan atau mengendalikan waktu transaksi melalui
kebijakan manajemen sendiri (accruals) misalnya: pengeluaran biaya riset dan
pengembangan. Selain itu banyak juga perusahaan yang menggunakan kebijakan
diskon dan kredit, sehingga hal ini dapat menyebabkan meningkatnya jumlah
piutang dan penjualan pada bulan terakhir tiap kuarter dan laba kelihatan stabil
pada periode tertentu.
b) Perataan melalui alokasi untuk beberapa periode tertentu. Manajer mempunyai
wewenang untuk mengalokasikan pendapatan atau beban untuk periode tertentu.
Misalnya: jika penjualan meningkat, maka manajemen dapat membebankan biaya
riset dan pengembangan serta amortisasi goodwill pada periode itu untuk
menstabilkan laba.
c) Perataan melalui klasifikasi. Manajemen memiliki kewenangan untuk
mengklasifikasikan pos-pos rugi laba dalam kategori yang berbeda. Misalnya: jika
pendapatan non-operasi sulit untuk didefinisikan, maka manajer dapat
mengklasifikasikan pos itu pada pendapatan operasi atau pendapatan non-operasi.

Pengukuran Perataan Laba

Perataan Laba diuji dengan indeks Eckel. Eckel menggunakan Coefficient


Variation (CV) variabel penghasilan dan variabel penghasilan bersih. Untuk menentukan
kelompok perusahaan yang melakukan tindakan perataan laba dan yang tidak melakukan
perataan laba. Adapun perhitungan indeks eckel dirumuskan sebagai berikut :
Indeks Perataan Laba =
CV Δ𝐼
CV Δ𝑆
Keterangan :

ΔI : Perubahan Laba dalam suatu periode

ΔS : Perubahan pendapatan dalam suatu periode

CV : Koefisien variasi dari variabel yaitu standar


deviasi dibagi dengan nilai yang diharapkan.

Jadi, CV ΔI = Koefesien variasi untuk perubahan laba

CV ΔS = Koefisien variasi untuk perubahan pendapatan

CV ΔI atau CV ΔS dapat dihitung sebagai berikut :

CV ΔI dan CV ΔS = √((Σ ( ΔX - ΔX ))/(n - 1))

Keterangan :

ΔX = perubahan laba (I) atau pendapatan (S)


ΔX = rata-rata perubahan laba (I) atau pendapatan (S)

n = banyaknya tahun yang diamati

- Jika nilai Indeks Eckel ≥ 1, maka perusahaan tidak melakukan perataan laba dan diberi

simbol 0.
- Jika nilai Indeks Eckel < 1, maka perusahaan melakukan praktik perataan laba dan diberi
simbol 1.
Perusahaan yang lebih besar cenderung memiliki dorongan yang lebih besar
untuk melakukan perataan laba dibandingkan dengan perusahaan yang lebih kecil. Untuk itu,
perusahaan besar kemungkinan melakukan praktik perataan laba untuk mengurangi fluktuasi
laba yang besar, fluktuasi laba yang besar menunjukkan risiko yang besar pula dalam
investasi sehingga mempengaruhi kepercayaan investor terhadap perusahaan.

Pengukuran Ukuran Perusahaan

Pengukuran Profitabilitas

Anda mungkin juga menyukai