Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DEMAM REUMATIK (ANAK)

Konsep Penyakit

A. Definisi

Demam reumatik adalah penyakit inflamasi serius yang dapat terjadi pada individu 1
sampai 4 minggu setelah infeksi tenggorokan oleh bakteri Streptococcus beta-hemolitik grup
A yang tidak diobati. Kondisi akut ditandai dengan demam dan inflamasi di persendian ,
jantung sistem saraf, dan kulit. Pada beberapa kasus, demam reumatik dapat secara permanen
memengaruhi struktur dan fungsi jantung, terutama katup jantung. Demam Reumatik adalah
jenis penyakit yang jarang terjadi, hanya menyerang 3% penderita infeksi streptokokus yang
tidak diobati.

Demam reumatik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem yang terjadi setelah
infeksi streptokokus grup A pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Penyakit ini
masih merupakan penyebab terpenting penyakit jantung didapat (acquired heart disease) pada
anak dan dewasa muda di banyak negara terutama negara sedang berkembang. Keterlibatan
kardiovaskular pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium
melalui suatu proses autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringan.

Serangan pertama demam reumatik akut terjadi paling sering antara umur 5-15 tahun.
Demam reumatik jarang ditemukan pada anak di bawah umur 5 tahun.

Demam reumatik akut menyertai faringitis Streptococcus beta hemolyticus grup A yang
tidak diobati. Pengobatan yang tuntas terhadap faringitis akut hampir meniadakan resiko
terjadinya demam reumatik. Diperkirakan hanya sekitar 3 % dari individu yang belum pernah
menderita demam reumatik akan menderita komplikasi ini setelah menderita faringitis
streptokokus yang tidak diobati.

B. Epidemiologi
Saat ini diperkirakan insiden demam reumatik di Amerika Serikat adalah 0,6 per
100.000 penduduk pada kelompok usia 5 sampai 19 tahun. Insidens yang hampir sama
dilaporkan di negara Eropa Barat. Angka tersebut menggambarkan penurunan tajam
apabila dibandingkan angka yang dilaporkan pada awal abad ini, yaitu 100-200 per
100.000 penduduk..
Sebaliknya insidens demam reumatik masih tinggi di negara berkembang. Data
dari negara berkembang menunjukkan bahwa prevalensi demam reumatik masih amat
tinggi sedang mortalitas penyakit jantung reumatik sekurangnya 10 kali lebih tinggi
daripada di negara maju. Di Srilangka insidens demam reumatik pada tahun 1976
dilaporkan lebih kurang 100-150 kasus per 100.000 penduduk. Di India, prevalensi
demam reumatik dan penyakit jantung reumatik pada tahun 1980 diperkirakan antara 6-
11 per 1000 anak. Di Yemen, masalah demam reumatik dan penyakit jantung reumatik
sangat besar dan merupakan penyakit kardiovaskular pertama yang menyerang anak-anak
dan menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Di Yogyakarta pasien dengan
demam reumatik dan penyakit jantung reumatik yang diobati di Unit Penyakit Anak
dalam periode 1980-1989 sekitar 25-35 per tahun, sedangkan di Unit Penyakit Anak RS.
Cipto Mangunkusumo tercatat rata-rata 60-80 kasus baru per tahun.
Insidens penyakit ini di negara maju telah menurun dengan tajam selama 6 dekade
terakhir, meskipun begitu dalam 10 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan kasus
demam reumatik yang mencolok di beberapa negara bagian Amerika Serikat. Hal
tersebut mengingatkan kita bahwa demam reumatik belum seluruhnya terberantas, dan
selalu terdapat kemungkinan untuk menimbulkan masalah kesehatan masyarakat baik di
negara berkembang maupun negara maju.

C. Etiologi

Demam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain merupakan akibat interaksi
individu, penyebab penyakit dan faktor lingkungan. Infeksi Streptococcus beta
hemolyticus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam reumatik, baik
pada serangan pertama maupun serangan ulangan. Untuk menyebabkan serangan demam
reumatik, Streptokokus grup A harus menyebabkan infeksi pada faring, bukan hanya
kolonisasi superficial. Berbeda dengan glumeronefritis yang berhubungan dengan infeksi
Streptococcus di kulit maupun di saluran napas, demam reumatik agaknya tidak
berhubungan dengan infeksi Streptococcus di kulit.
Hubungan etiologis antara kuman Streptococcus dengan demam reumatik
diketahui dari data sebagai berikut:
1. Pada sebagian besar kasus demam reumatik akut terdapat peninggian kadar antibodi
terhadap Streptococcus atau dapat diisolasi kuman beta-Streptococcus hemolyticus
grup A, atau keduanya.
2. Insidens demam reumatik yang tinggi biasanya bersamaan dengan insidens oleh beta-
Streptococcus hemolyticus grup A yang tinggi pula. Diperkirakan hanya sekitar 3%
dari individu yang belum pernah menderita demam reumatik akan menderita
komplikasi ini setelah menderita faringitis Streptococcus yang tidak diobati.
3. Serangan ulang demam reumatik akan sangat menurun bila penderita mendapat
pencegahan yang teratur dengan antibiotika..

Faktor predisposisi:

a) Faktor Individu

1. Faktor Genetik
Banyak demam reumatik/penyakit jantung reumatik yang terjadi pada satu keluarga
maupun pada anak-anak kembar. Karenanya diduga variasi genetik merupakan alasan
penting mengapa hanya sebagian pasien yang terkena infeksi Streptococcus
menderita demam reumatik, sedangkan cara penurunannya belum dapat dipastikan.
2. Jenis Kelamin
Tidak didapatkan perbedaan insidens demam reumatik pada lelaki dan wanita.
Meskipun begitu, manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada salah
satu jenis kelamin, misalnya gejala korea jauh lebih sering ditemukan pada wanita
daripada laki-laki. Kelainan katub sebagai gejala sisa penyakit jantung reumatik juga
menunjukkan perbedaan jenis kelamin. Pada orang dewasa gejala sisa berupa stenosis
mitral lebih sering ditemukan pada wanita, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering
ditemukan pada laki-laki
3. Golongan Etnik dan Ras
Belum bisa dipastikan dengan jelas karena mungkin berbagai faktor lingkungan yang
berbeda pada golongan etnik dan ras tertentu ikut berperan atau bahkan merupakan
sebab yang sebenarnya. Yang telah dicatat dengan jelas ialah terjadinya stenosis
mitral. Di negara-negara barat umumnya stenosis mitral terjadi bertahun-tahun setelah
serangan penyakit jantung reumatik akut. Tetapi data di India menunjukkan bahwa
stenosis mitral organik yang berat seringkali sudah terjadi dalam waktu yang relatif
singkat, hanya 6 bulan-3 tahun setelah serangan pertama.
4. Umur
Paling sering pada umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun.
Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum
umur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan
insidens infeksi Streptococcus pada anak usia sekolah.
5. Keadaan Gizi dan adanya penyakit lain
Belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi. Hanya sudah
diketahui bahwa penderita sickle cell anemia jarang yang menderita demam
reumatik/penyakit jantung reumatik3.

b) Faktor-faktor Lingkungan

1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk


Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk
terjadinya demam reumatik. Termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk
ialah sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat,
rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang sakit
sangat kurang, pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan
kurang dan lain-lain.
2. Iklim dan Geografi
Penyakit ini terbanyak didapatkan di daerah beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir
ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih
tinggi daripada yang diduga semula. Di daerah yang letaknya tinggi agaknya insidens
lebih tinggi daripada di dataran rendah.
3. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.

D. Patofisiologi

Demam reumatik adalah suatu hasil respon imunologi abnormal yang disebabkan
oleh kelompok kuman A beta-hemolitic treptococcus yang menyerang pada pharynx.
Streptococcus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang dari 20 prodak
ekstrasel; yang terpenting diantaranya ialah streptolisin O, streptolisin S, hialuronidase,
streptokinase, difosforidin nukleotidase, deoksiribonuklease serta streptococca
erythrogenic toxin. Produk-produk tersebut merangsang timbulnya antibodi. Demam
reumatik yang terjadi diduga akibat kepekaan tubuh yang berlebihan terhadap beberapa
produk tersebut.
Sensitivitas sel B antibodi memproduksi antistreptococcus yang membentuk imun
kompleks. Reaksi silang imun komleks tersebut dengan sarcolema kardiak menimbulkan
respon peradangan myocardial dan valvular. Peradangan biasanya terjadi pada katup
mitral, yang mana akan menjadi skar dan kerusakan permanen.
Demam rematik terjadi 2-6 minggu setelah tidak ada pengobatan atau pengobatan
yang tidak tuntas karena infeksi saluran nafas atas oleh kelompok kuman A
betahemolytic.
Mungkin ada predisposisi genetik, dan ruangan yang sesak khususnya di ruang
kelas atau tempat tinggal yang dapat meningkatkan risiko. Penyebab utama morbiditas
dan mortalitas adalah fase akut dan kronik dengan karditis.

E. Pathway

Bakteri Streptococcus Beta Hemolyticus group A

Menginfeksi tenggorokan

Sel B memproduksi antibody anti streptococcus

Reaksi antigen antibody

Demam rematik, hipertermi, menggigil

Sterptococcus menghasilkan enzim

Enzim merusak katup jantung

Penyakit katup jantung


Akut kronis
Demam terbentuk jaringan parut

Reaksi inflamasi (terjadi di persendian, jantung, system saraf dan kulit)

Katup membengkok kemerahan

Edema pada jantung

Obstruksi pembentukan darah

Gangguan sirkulasi darah

Gangguan aliran darah gangguan darah ke jaringan perifer gangguan aliran da

Substansi pengangkutan O2 berkurang berkurangnya O2 sianosis gangguan


perfusikekurangan o2
jaringan

O2 menuju paru paru berkurang metabolism anae

Sesak nafas penimbunan asam


laktat energi yang terbentuk berkurang

Pola nafas tidak efektif gangguan rasa nyaman / nyeri ke


Intoler
penurunan curah jantung
F. Klasifikasi

Penyakit reumatik merupakan sekelompok penyakit yang sebelumnya dikenal


sebagai penyakit jaringan ikat. Menurut kriteria American Rheumatism Association
(ARA) artritis reumatoid juvenil (ARJ) merupakan penyakit reumatik yang termasuk ke
dalam kelompok penyakit jaringan ikat yang terdiri lagi dari beberapa penyakit.9
Ada 2 klasifikasi yaitu klasifikasi yang dipakai AS dan klasifikasi menurut
EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dan telah direvisi tahun
1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan tahun 1995. Menurut kriteria ARJ
yang dipakai di AS, arthritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang
berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan. (1)Sistemik: ditandai dengan demam tinggi
yang mendadak disertai bercak kemerahan dan manifestasi ekstraartikular
lainnya.(2)Pausiartikular ditandai dengan arthritis yang mengenai ≤ 4,(3) Poliartikular
ditandai dengan nyeri sendi ≥ 5.

G. Manifestasi Klinis

Perjalanan klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat


dibagi dalam 4 stadium:

Stadium I
Stadium ini berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman beta-
Streptococcus hemolyticus grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit
waktu menelan, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi
diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda-
tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular seringkali membesar.
Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Para peneliti mencatat 50-90% riwayat infeksi saluran napas bagian atas pada
penderita demam reumatik/penyakit jantung reumatik, yang biasanya terjadi 10-14 hari
sebelum manifestasi pertama demam reumatik/penyakit jantung reumatik.

Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi Streptococcus
dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung 1-3 minggu,
kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.
Stadium III
Merupakan fase akut demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Manifestasi klinik tersebut dapat
digolongkan dalam gejala peradangan umum (gejala minor) dan manifestasi spesifik
(gejala mayor) demam reumatik/penyakit jantung reumatik.

Manifestasi Klinis Mayor

1. Karditis
Karditis pada demam reumatik akut ditemukan pada sekitar 50% pasien, yang
cenderung meningkat dengan tajam pada pengamatan mutakhir1,2. Dua laporan yang
paling baru, dari Florida dan Utah, melaporkan karditis pada 75% pasien demam
reumatik akut. Angka ini didasarkan kepada diagnosis yang ditegakkan hanya dengan
auskultasi, dan bahkan lebih tinggi bila alat ekokardiografi Doppler 91% pasien
menunjukkan keterlibatan jantung. Pada literatur lain menyebutkan yaitu sekitar 40-80%
dari demam reumatik akan berkembang menjadi pankarditis.
Karditis merupakan kelainan yang paling serius pada demam reumatik akut, dan
menyebabkan mortalitas paling sering selama stadium akut penyakit. Bahkan sesudah
fase akut, cedera sisa pada katup dapat menyebabkan gagal jantung yang tidak mudah
ditangani, dan seringkali memerlukan intervensi bedah. Selanjutnya mortalitas dapat
terjadi akibat komplikasi bedah atau dari infeksi berikut yang menyebabkan endokarditis
bakteri.
Banyak dokter memandang karditis sebagai manifestasi demam reumatik yang
paling khas. Karditis dengan insufisiensi mitral diketahui dapat berkaitan dengan infeksi
virus, riketsia, dan mikoplasma. Namun demam reumatik tetap merupakan penyebab
utama insufisiensi mitral didapat pada anak dan dewasa muda. Meskipun laporan dari
negara berkembang mengambarkan insidens penyakit jantung reumatik yang tinggi pada
anak muda, demam reumatik dan karditis reumatik jarang ditemukan pada anak umur di
bawah 5 tahun. Penyakit ini terkait dengan gejala nonspesifik meliputi mudah lelah,
anoreksia, dan kulit pucat kekuningan. Mungkin terdapat demam ringan dan mengeluh
bernapas pendek, nyeri dada, dan artralgia. Pemeriksaan jantung mungkin menunjukkan
keterlibatan jantung, dan pada sebagian pasien dapat terjadi gagal jantung.
Karditis dapat merupakan manifestasi tunggal atau terjadi bersamaan dengan satu
atau lebih manifestasi lain. Kadang artritis dapat mendahului karditis; pada kasus
demikian tanda karditis biasanya akan muncul dalam 1 atau 2 minggu; jarang terjadi
keterlibatan jantung yang jelas di luar interval ini.
Seperti manifestasi yang lain, derajat keterlibatan jantung sangat bervariasi.
Karditis dapat sangat tidak kentara, seperti pada pasien dengan korea, tanda insufisiensi
mitral dapat sangat ringan dan bersifat sementara, sehingga mudah terlewatkan pada
auskultasi. Karditis yang secara klinis ’mulainya lambat’ mungkin sebenarnya
mengambarkan progresivitas karditis ringan yang semula tidak dideteksi. Pasien yang
datang dengan manifestasi lain harus diperiksa dengan teliti untuk menyingkirkan adanya
karditis. Pemeriksaan dasar, termasuk elektrokardiografi dan ekokardiografi, harus selalu
dilakukan. Pasien yang ada pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan keterlibatan
jantung harus terus dipantau dengan ketat untuk mendeteksi adanya karditis sampai tiga
minggu berikutnya. Jikalau karditis tidak muncul dalam 2 sampai 3 minggu
pascaserangan, maka selanjutnya ia jarang muncul.
Takikardia merupakan salah satu tanda klinis awal miokarditis. Pengukuran
frekuensi jantung paling dapat dipercaya apabila pasien tidur. Demam dan gagal jantung
menaikkan frekuensi jantung; sehingga mengurangi nilai diagnostik takikardia. Apabila
tidak terdapat demam atau gagal jantung, frekuensi jantung saat pasien tidur merupakan
tanda yang terpercaya untuk memantau perjalanan karditis.
Miokarditis dapat menimbulkan disritmia sementara; blok atrioventrikular total
biasanya tidak ditemukan pada karditis reumatik. Miokarditis kadang sukar untuk dicatat
secara klinis, terutama pada anak muda yang tidak terdengar bising yang berarti. Pada
umumnya, tanda klinis karditis reumatik meliputi bising patologis, terutama insufisiensi
mitral, adanya kardiomegali secara radiologis yang makin lama makin membesar, adanya
gagal jantung dan tanda perikarditis.
Terdapatnya gagal jantung kongestif, yaitu tekanan vena leher yang meninggi,
muka sembab, hepatomegali, ronki paru, urin sedikit dan bahkan edema pitting,
semuanya dapat dipandang sebagai bukti karditis. Hampir merupakan aksioma, setiap
anak dengan penyakit jantung reumatik yang datang dengan gagal jantung pasti
menderita karditis aktif. Hal ini berbeda dengan orang tua, padanya gagal jantung
kongestif dapat terjadi sebagai akibat stres mekanik pada jantung karena keterlibatan
katup reumatik. Pada anak dengan demam reumatik, gagal jantung kanan, terutama yang
disertai dengan edema muka, mungkin terjadi sekunder akibat gagal jantung kiri. Gagal
jantung kiri pada anak reumatik relatif jarang ditemukan.
Endokarditis, radang daun katup mitral dan aorta serta kordae katup mitral,
merupakan komponen yang paling spesifik pada karditis reumatik. Katup-katup pulmonal
dan trikuspid jarang terlibat. Insufisiensi mitral paling sering terjadi pada karditis
reumatik, yang ditandai oleh adanya bising holosistolik (pansistolik) halus, dengan nada
tinggi. Bising ini paling baik terdengar apabila pasien tidur miring ke kiri. Pungtum
maksimum bising adalah di apeks, dengan penjalaran ke daerah aksila kiri. Apabila
terdapat insufisiensi mitral yang bermakna, dapat pula terdengar bising stenosis mitral
relatif yaitu bising mid-diastolik sampai akhir diastolik yang bernada rendah. Bising ini
disebut bising Carey-Coombs, terjadi karena sejumlah besar darah didorong melalui
lubang katup ke dalam ventrikel kiri selama fase pengisian, menghasilkan turbulensi yang
bermanifestasi sebagai bising aliran (flow murmur).
Insufisiensi aorta terjadi pada sekitar 20% pasien dengan karditis reumatik.
Insufisiensi ini dapat merupakan kelainan katup tunggal tetapi biasanya bersama dengan
infusiensi mitral. Infisiensi aorta ini ditandai oleh bising diastolik dini dekresendo yang
mulai dari komponen aorta bunyi jantung kedua. Bising ini bernada sangat tinggi,
sehinggga paling baik didengar dengan stetoskop membran (diafragma) pada sela iga
ketiga kiri dengan pasien pada posisi tegak, terutama jika pasien membungkuk ke depan
dan menahan napasnya selama ekspirasi. Bising ini mungkin lemah, dan karenanya
sering gagal dikenali oleh pemeriksa yang tidak terlatih. Pada infusiensi aorta yang berat,
bising terdengar keras dan mungkin disertai getaran bising diastolik. Pada kasus ini
tekanan nadi yang naik karena lesi aorta yang besar digambarkan sebagai nadi perifer
yang melompat-lompat (water-hammer pulse). Keterlibatan katup pulmonal dan trikuspid
jarang terjadi; ia ditemukan pada pasien dengan penyakit jantung reumatik yang kronik
dan berat. Pemeriksaan ekokardiografi-Doppler menunjukkan bahwa kelainan pada katup
trikuspid dan pasien demam reumatik pulmonoal ini lebih banyak daripada yang
dipekirakan sebelumnya.
Miokarditis atau insufisiensi katup yang berat dapat menyebabkan terjadinya
gagal jantung. Gagal jantung yang jelas terjadi pada sekitar 5% pasien demam reumatik
akut, terutama pada anak yang lebih muda. Di Yogyakarta pasien yang datang dengan
gagal jantung jelas dapat mencapai 65% karena kasus yang dapat berobat ke rumah sakit
terdiri atas pasien demam reumatik akut serangan pertama dan demam reumatik akut
serangan ulang. Lagipula pasien di Yogyakarta baru berobat apabila telah timbul gejala
dan tanda gagal jantung.
Manifestasi gagal jantung meliputi batuk, nyeri dada, dispne, ortopne, dan
anoreksia. Pada pemeriksaan terdapat takikardia, kardiomegali, dan hepatomegali dengan
hepar yang lunak. Edema paru terjadi pada gagal jantung sangat bervariasi.
Pembesaran jantung terjadi bila perubahan hemodinamik yang berat terjadi akibat
penyakit katup. Pembesaran jantung yang progresif dapat terjadi akibat pankarditis, yaitu
karena dilatasi jantung akibat miokarditis ditambah dengan akumulsi cairan perikardium
parietale dan viserale. Penggesekan permukaan yang meradang menimbulkan suara
gesekan yang dapat didengar. Bising gesek ini terdengar paling baik di midprekordium
pada pasien dalam posisi tegak, sebagai suara gesekan permukaan. Bising gesek dapat
didengar pada sistole atau diastole tergantung pada apakah pergeseran timbul oleh
kontraksi maupun relaksasi ventrikel. Pengumpulan cairan yang banyak menyebabkan
terjadinya pergeseran perikardium, sehingga dapat mengakibatkan menghilangnya bising
gesek. Bising gesek pada pasien parditis reumatik hampir selalu merupakan petunjuk
adanya pankarditis. Perikarditis yang tidak disertai dengan endokarditis dan miokarditis
biasanya bukan disebabkan demam reumatik.
Irama derap yang mungkin terdengar biasanya berupa derap protodiastolik, akibat
aksentuasi suara jantung ketiga. Derap presistolik agak jarang terjadi, akibat pengerasan
suara jantung keempat yang biasanya tidak terdengar, atau derap kombinasi, yaitu
kombinasi dari dua derap (summation gallop).

2. Artritis
Artritis terjadi pada sekitar 70% pasien dengan demam reumatik. Walaupun
merupakan manifestasi mayor yang paling sering, artritis ini paling tidak spesifik dan
sering menyesatkan diagnosis. Insidens artritis yang rendah dilaporkan pada penjangkitan
demam reumatik akhir-akhir ini di Amerika Serikat, mungkin akibat pedekatan diagnosis
yang berbeda. Kebanyakan laporan menunjukkan artritis sebagai manifestasi reumatik
yang paling sering, tetapi bukan yang paling serius, seperti kata Lasegue, ’demam
reumatik menjilat sendi namun menggigi jantung.
Artritis menyatakan secara tidak langsung adanya radang aktif sendi, ditandai oleh
nyeri yang hebat, bengkak, eritema, dan demam. Meskipun tidak semua manifestasi ada,
tetapi nyeri pada saat istirahat yang menghebat pada gerakan aktif atau pasif biasanya
merupakan tanda yang mencolok. Intensitas nyeri dapat menghambat pergerakan sendi
hingga mungkin seperti pseudoparalisis.
Artritis harus dibedakan dari artralgi, karena pada artralgia hanya terjadi nyeri ringan
tanpa tanda objektif pada sendi. Sendi besar paling sering terkena, yang terutama adalah
sendi lutut, pergelangan kaki, siku, dan pergelangan tangan. Sendi perifer yang kecil
jarang terlibat. Artritis reumatik bersifat asimetris dan berpindah-pindah (poliartritis
migrans). Proses radang pada satu sendi dapat sembuh secara spontan sesudah beberapa
jam serangan, kemudian muncul artritis pada sendi yang lain. Pada sebagian besar pasien,
artritis sembuh dalam 1 minggu, dan biasanya tidak menetap lebih dari 2 atau 3 minggu.
Artritis demam reumatik berespons dengan cepat terhadap salisilat bahkan pada dosis
rendah, sehingga perjalanan artritis dapat diperpendek dengan nyata dengan pemberian
aspirin.
Pemeriksaan radiologis sendi tidak menunjukkan kelainan kecuali efusi. Meskipun
tidak berbahaya, artritis tidak boleh diabaikan; ia harus benar-benar diperhatikan, baik
yang berat maupun yang ringan. Sebelum terburu-buru ke laboratorium untuk
memikirkan ’skrining kolagen’ yang lain, ia harus diperiksa dengan anamnesis yang rinci
serta pemeriksaan fisis yang cermat.

3. Korea Sydenham
Korea Sydenham, korea minor, atau St. Vitus dance, mengenai sekitar 15% pasien
demam reumatik. Manifestasi ini mencerminkan keterlibatan sistem saraf pusat, terutama
ganglia basal dan nuklei kaudati, oleh proses radang. Hubungan korea Sydenham dengan
demam reumatik tetap tidak jelas untuk waktu yang lama. Hubungan tersebut tampak
pada pasien dengan manifestasi reumatik, terutama insufisiensi mitral, yang semula
datang hanya dengan korea Sydenham. Sekarang jelas bahwa periode laten antara infeksi
streptokokus dan awal korea lebih lama daripada periode laten untuk artritis atau karditis.
Periode laten manifestasi klinis artritis atu karditis adalah sekitar 3 minggu, sedangkan
manifestasi klinis korea dapat mencapai 3 bulan atau lebih.
Pasien dengan korea datang dengan gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan,
inkoordinasi muskular, serta emosi yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien
dalam keadaan stres. Gerakan abnormal ini dapat ditekan sementara atau sebagian oleh
pasien dan menghilang pada saat tidur. Semua otot terkena, tetapi yang mencolok adalah
otot wajah dan ekstremitas. Pasien tampak gugup dan menyeringai. Lidah dapat terjulur
keluar dan masuk mulut dengan cepat dan menyerupai ’kantong cacing’. Pasien korea
biasanya tidak dapat mempertahankan kestabilan tonus dalam waktu yang pendek.
Biasanya pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak. Ekstensi lengan di atas
kepala menyebabkan pronasi satu atau kedua tangan (tanda pronator). Kontraksi otot
tangan yang tidak teratur tampak jelas bila pasien menggenggam jari pemeriksa
(pegangan pemerah susu). Apabila tangan diekstensikan ke depan, maka jari-jari berada
dalam keadaan hiperekstensi (tanda sendok atau pinggan). Koordinasi otot halus sukar.
Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap. Bila
disuruh membuka dan menutup kancing baju, pasien menunjukkan inkoordinasi yang
jelas, dan ia menjadi mudah kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah
menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak sesuai. Orangtua sering cemas oleh
kecanggungan pasien yang reaksi yang mendadak. Guru memperhatikan bahwa pasien
kehilangan perhatian, gelisah, dan tidak koperatif. Sebagai pasien mungkin
disalahtafsirkan sebagai menderita kelainan tingkah laku. Meskipun tanpa pengobatan
sebagian besar korea minor akan menghilang dalam waktu 1-2 minggu. Pada kasus yang
berat, meskipun dengan pengobatan, korea minor dapat menetap selama 3-4 bulan,
bahkan dapat sampai 2 tahun.
Insidens korea pada pasien demam reumatik sangat bervariasi dan cenderung
menurun, tetapi pada epidemi mutakhir di Utah korea terjadi pada 31% kasus. Korea
tidak biasa terjadi sesudah pubertas dan tidak terjadi pada dewasa, kecuali jarang pada
wanita hamil (’korea gravidarum’). Korea ini merupakan satu-satunya manifestasi yang
memilih jenis kelamin, yakni dua kali lebih sering pada anak wanita dibanding pada
lelaki. Sesudah pubertas perbedaan jenis kelamin ini bertambah.

4. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan khas untuk demam reumatik dan jarang ditemukan
pada penyakit lain. Karena khasnya, ia termasuk dalam manifestasi mayor. Data
kepustakaan menunjukkan bahwa eritema marginatum ini hanya terjadi pada lebih-
kurang 5% pasien. Pada literatur lain menyebutkan eritema ini ditemukan pada kurang
dari 10% kasus. Ruam ini tidak gatal, maskular, dengan tepi eritema yang menjalar dari
bagian satu ke bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter
sekitar 2,5 cm, tersering pada batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan
wajah. Pemasangan handuk hangat atau mandi air hangat dapat memperjelas ruam.
Eritema sukar ditemukan pada pasien berkulit gelap. Ia biasanya timbul pada stadium
awal penyakit, kadang menetap atau kembali lagi, bahkan setelah semua manifestasi
klinis lain hilang. Eritema biasanya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis, seperti
halnya nodul subkutan. Menurut literatur lain, eritema ini sering ditemukan pada wanita
dengan karditis kronis.
5. Nodulus Subkutan
Frekuensi manifestasi ini telah menurun sejak beberapa dekade terakhir, saat ini
jarang ditemukan, kecuali pada penyakit jantung reumatik kronik. Penelitian mutakhir
melaporkan frekuensi nodul subkutan kurang dari 5%. Namun pada laporan mutakhir dari
Utah nodul subkutan ditemukan pada sekitar 10% pasien. Nodulus terletak pada
permukaan ekstensor sendi, terutama pada siku, ruas jari, lutut dan persendian kaki.
Kadang nodulus ditemukan pada kulit kepala dan di atas kolumna vetrebralis. Ukurannya
bervariasi dari 0,5-2 cm, tidak nyeri, dan dapat bebas digerakkan. Nodul subkutan pada
pasien demam reumatik akut biasanya lebih kecil dan lebih cepat menghilang daripada
nodul pada reumatoid artritis. Kulit yang menutupinya tidak menunjukkan tanda radang
atau pucat. Nodul ini biasanya muncul sesudah beberapa minggu sakit dan pada
umumnya hanya ditemukan pada pasien dengan karditis.

Manifestasi Klinis Minor

Demam hampir selalu ada pada poliartritis reumatik; ia sering ada pada karditis yang
tersendiri (murni) tetapi pada korea murni. Jenis demamnya adalah remiten, tanpa variasi
diurnal yang lebar, gejala khas biasanya kembali normal atau hampir normal dalam
waktu 2/3 minggu, walau tanpa pengobatan. Artralgia adalah nyeri sendi tanpa tanda
objektif pada sendi. Artralgia biasanya melibatkan sendi besar. Kadang nyerinya terasa
sangat berat sehingga pasien tidak mampu lagi menggerakkan tungkainya.
Termasuk kriteria minor adalah beberpa uji laboratorium. Reaktan fase akut seperti
LED atau C-reactive protein mungkin naik. Uji ini dapat tetap naik untuk masa waktu
yang lama (berbulan-bulan). Pemanjangan interval PR pada elektrokardiogram juga
termasuk kriteria minor.
Nyeri abdomen dapat terjadi pada demam reumatik akut dengan gagal jantung oleh
karena distensi hati. Nyeri abdomen jarang ada pada demam reumatik tanpa gagal
jantung dan ada sebelum manifestasi spesifik yang lain muncul. Pada kasus ini nyeri
mungkin terasa berat sekali pada daerah sekitar umbilikus, dan kadang dapat
disalahtafsirkan sebagai apendistis sehingga dilakukan operasi.
Anoreksia, nausea, dan muntah seringkali ada, tetapi kebanyakan akibat gagal jantung
kongestif atau akibat keracunan salisilat. Epitaksis berat mungkin dapat terjadi. Kelelahan
merupakan gejala yang tidak jelas dan jarang, kecuali pada gagal jantung. Nyeri abdomen
dan epitaksis, meskipun sering ditemukan pada demam reumatik, tidak dianggap sebagai
kriteria diagnosis.
Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa.
Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan katup jantung,
gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini baik
penderita demam reumatik maupun penyakit jantung reumatik sewaktu-waktu dapat
mengalami reaktivasi penyakitnya.

Lama Serangan Demam Reumatik


Lama serangan demam reumatik secara keseluruhan (bukan lama masing-masing
manifestasi) berbeda tergantung pada kriteria yang digunakan, dan pada manifestasi
klinis. Serangan yang terpendek merupakan ciri artritis, yang lebih panjang terjadi pada
korea dan serangan terpanjang adalah karditis.
Pada serangan lebih pendek jikalau yang dianggap sebagai titik akhir adalah
hilangnya manifestasi klinis akut, dan lebih panjang jika titik akhir adalah kembalinya
laju endap darah manjadi normal. Walaupun demikian dalam beberapa kasus manifestasi
klinis mayor tertentu (misalnya korea, dan kadang eritema marginatum dan nodulus)
dapat menetap atau bahkan muncul pertama kalinya setelah fase akut telah kembali
normal.
Lama serangan pertama demam reumatik adalah mulai kurang dari 3 minggu (pada
sepertiga kasus) sampai 3 bulan. Namun pada pasien karditis berat, proses reumatik aktif
ini dapat berlanjut sampai 6 bulan atau lebih. Pasien ini menderita demam reumatik
”kronik”. Di negara Barat keadaan ini terjadi pada sebagian kecil kasus (3% atau kurang).
Sebagian besar pasien dengan demam reumatik yang berkepanjangan menderita beberapa
kali serangan. Di negara tempat karditis berat dan kumat sering terjadi, frekuensi demam
reumatik kronik mungkin sekali lebih tinggi.
Proses demam reumatik dianggap aktif terdapat salah satu dari tanda berikut: artritis,
bising organik baru, kardiomegali, nadi selama tidur melebihi 100/menit, korea, eritema
marginatum, atau nodulus subkutan. Gagal jantung tanpa penyakit katup yang berat juga
merupakan tanda karditis aktif. Karditis reumatik kronik dapat berlangsung berlarut-larut
dan menyebabkan kematian sesudah beberapa bulan atau tahun. Laju endap darah (LED)
yang terus tinggi lebih dari 6 bulan bukan aktivitas reumatik jika tidak disertai tanda lain.
H. Pemeriksaan Diagnostik/Penunjang

1) Pemeriksaan darah
- LED tinggi sekali
- Lekositosis
- Nilai hemoglobin dapat rendah
2) Pemeriksaan bakteriologi
- Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.
- Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti
hyaluronidase.
3) Pemeriksaan radiologi
- Elektrokardoigrafi dan ekokardiografi untuk menilai adanya kelainan jantung.

I. Kriteria Diagnostik

Demam reumatik tidak mempunyai organ sasaran tertentu. Demam reumatik


dapat mengenai sejumlah organ dan jaringan, secara tersendiri atau bersama. Tidak
adanya manifestasi (kecuali korea Sydenham ’murni) maupun uji laboratorium yang
cukup khas untuk diagnosis, karenanya diagnosis didasarkan pada kombinasi beberapa
penemuan. Makin banyak manifestasi, makin kuat pula diagnosis. Karena prognosis
bergantung pada manifestasi klinis, maka pada diagnosis harus disebut manifestasi
klinisnya, misalnya ’demam reumatik dengan poliartritis saja’.
Pada tahun 1994 Dr. T. Duckett Jones mengusulkan kriteria diagnosis yang
didasarkan kepada kombinasi manifestasi klinis dan penemuan laboratorium. Tanda
klinis yang paling berguna disebut sebagai manifestasi mayor, yakni karditis, poliartritis,
korea, nodulus subkutan, dan eritema marginatum. Istilah ’mayor’ berkaitan dengan
diagnosis dan bukan dengan frekuensi atau derajat kelainan. Tanda dan gejala lain, meski
kurang khas, masih dapat bermanfaat, disebut kriteria minor yang meliputi demam,
artralgia, riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik sebelumnya,
pemanjangan interval P-R dan reaktan fase akut (LED, PCR). Dua manifestasi mayor,
atau satu manifestasi mayor dan dua minor, menunjukkan kemungkinan besar demam
reumatik.
Pada kriteria Jones yang direvisi tahun 1965 diperlukan bukti adanya infeksi
sterptokokus yang baru untuk mandukung diagnosis. Terdapat dua pengecualian pada
perlunya dukungan ini; pertama pada beberapa pasien dengan korea Sydenham, dan
kedua pada pasien dengan karditis yang diam-diam (silent carditis). Antibodi
streptokokus mungkin telah kembali normal pada saat kedua golongan pasien tersebut
pertama diperiksa. Kriteria Jones ditinjau kembali pada tahun 1984 tanpa perubahan yang
berarti (Tabel 1). Tujuan semula Jones ini untuk mencegah kesalahan diagnosis demam
reumatik akut, yang sampai sekarang belum tercapai. Overdiagnosis masih sering terjadi,
paling sering pada pasien dengan poliartritis sebagai manifestasi tunggal. Manifestasi
minor sangat tidak spesifik dan infeksi sterptokokus terdapat dimana-mana, sehingga
kebutuhan pelengkap untuk diagnosis dengan mudah dapat dipenuhi sehingga
menyebabkan overdiagnosis.
Yang sering dirancukan dengan demam reumatik adalah golongan penyakit
kolagen vaskular, khususnya artritis reumatoid juvenil. Umumnya bukti adanya infeksi
streptokokus sebelumnya dapat membedakan penyakit ini. Penemuan klinis tertentu pada
artritis reumatoid juvenil yang khas meliputi keterlibatan sendi kecil perifer, keterlibatan
sendi besar yang simetris tanpa artritis migrans, sendi yang terkena pucat, perjalanan
penyakitnya lebih lamban dan responsif terhadap salisilat. Meski sebagian artritis
reumatoid berespons cepat terhadap salisilat, sebagian besar pasien sembuh lebih lambat,
walaupun dengan dosis salisilat yang besar. Jika pasien gagal berespons sesudah 24-48
jam setelah dimulainya terapi salisilat, ia lebih mungkin menderita artritis reumatoid
daripada demam reumatik akut.
Beberapa penyakit harus dimasukkan dalam diagnosis banding, termasuk lupus
eritematosus sistematik, penyakit jaringan ikat campuran, artritis reaktif yang mencakup
artritis pascasterptokokus, penyakit serum, dan artritis infeksi, terutama artritis akibat
gonokokus yang melibatkan beberapa sendi. Pemeriksaan serologis, termasuk panel
antibodi anti-nuklear (ANA), dan biakan biasanya dapat membantu membedakan
keadaan-keadaan tersebut. Pasien penyakit sel sikel atau hemoglobinopati lain, dan
kadang pasien leukemia, mungkin datang dengan keluhan poliartritis. Pemeriksaan darah
dan biopsi sumsum tulang biasanya memastikan diagnosis.
Karditis atau perikarditis reumatik harus dibedakan dengan karditis akibat
penyebab lain, termasuk infeksi bakteri, virus, atau mikoplasma, serta penyakit kolagen
vaskular. Endokarditis harus dibedakan dari endokarditis pada kelainan katup bawaan
atau prolaps katup mitral. Ekokardiografi berperan penting untuk identifikasi kelainan
bawaan dan prolaps katup mitral. Penyakit Libman Sacks, endokarditis yang bersamaan
dengan lupus eritematosus sistematik, jarang sekali terlihat pada anak. Pasien dengan
hipertiroidisme, terutama yang disertai dengan blok A-V derajat I dapat dirancukan
dengan insufisiensi mitral reumatik.
Berbagai penyakit neurologis degeneratif, koreoatetosis kongenital, spasme
habitualis, beberapa tumor otak, dan kelainan tingkah laku dapat dirancukan dengan
korea Sydenham. Penyembuhan spontan membantu diagnosis korea Sydenham, karena
biasanya pada kelainan lain apabila tidak diobati korea akan cendrung menetap atau
progresif. Teknik diagnosis yang lebih baru, antara lain computerized axial tomography
(CAT) scan dan magnetic resonance imaging (MRI) berguna dalam memastikan kelainan-
kelainan tersebut.
Seperti dinyatakan di atas, masalah utama dalam diagnosis adalah bila pasien
yang hanya menunjukan satu kriteria mayor, khususnya pasien poliartritis. Masalah
jarang timbul apabila ditemukan dua kriteria mayor. Pengamatan cermat terhadap pasien
sementara pemberian profilaksis antibiotik dapat menyelesaikan dilema, terutama bila
terdapat artritis kumat tanpa bukti faringitis streptokokus sebelumnya.

Peninjauan Kembali Kriteria Diagnosis

Kesulitan untuk menegakkan diagnosis dengan tepat menyebabkan Kelompok


Studi WHO secara berhati-hati meninjau kembali kriteria Jones dan memandang perlu
untuk mengadakan beberapa perubahan. Kelompok ini menyimpulkan bahwa bukti
adanya infeksi sterptokokus grup A sebelumnya adalah menyimpulkan penting,
mengingat fasilitas laboratorium telah banyak tersedia di banyak negara selama dua
puluh tahun terakhir ini. Uji laboratorium untuk biakan dan antibodi sterptokokus saat ini
sudah dapat diperoleh di banyak negara. Juga disimpulkan bahwa artralgia harus
dipertahankan sebagai manifestasi minor, bila tidak maka akan terjadi overdiagnosis.
Di negara sedang berkembang tidak jarang pasien didiagosis untuk pertama
kalinya sebagai karditis reumatik aktif tanpa dukungan anamnesis, pemeriksaan fisis,
ataupun pemeriksaan laboratorium untuk memenuhi kriteria Jones yang direvisis. Untuk
membuat kriteria benar-benar lebih sesuai dengan pengalaman klinikus, disetujui bahwa
pada pasien dengan karditis yang datang diam-diam atau datang terlambat, diagnosis
demam reumatik dimungkinkan pada pasien yang manifestasi satu-satunya adalah
karditis aktif, sebagaimana halnya pada diagnosis korea Sydenham. Namun harus
ditekankan bahwa dasar diagnosis tersebut haruslah secara hati-hati ditentukan untuk
membedakan dari penyakit jantung valvular kronik yang diduga reumatik, dari
mioperikarditis, dan dari kerdiomiopati.
Akhirnya kelompok studi menyimpulkan bahwa diagnosis demam reumatik akut
kumat pada pasien yang telah diketahui pernah menderita demam reumatik harus
ditentukan secara tersendiri. Pada pasien dengan riwayat demam reumatik atau penyakit
jantung reumatik yang dapat dipercaya, diagnosis haruslah didasarkan atas manifestasi
minor ditambah bukti adanya infeksi sterptokokus yang baru. Diagnosis demam reumatik
kumat mungkin baru dapat ditegakkan sesudah waktu yang cukup lama untuk
menyingkirkan diagnosis lain. Dalam mengevaluasi pasien seperti ini harus diingat
kemungkinkan endokarditis infektif yang mungkin secara klinis menyerupai demam
reumatik kumat. Kelambatan diagnosis endokarditis infektif dapat berakibat amat serius.

Kriteria yang Dianjurkan


Kelompok studi WHO menganjurkan bahwa kriteria Jones yang direvisi tahun
1982 (Tabel 1) dengan tambahan catatan di bawah, diambil sebagai pegangan umum.
Pada tiga golongan pasien yang diuraikan di bawah, diagnosis demam reumatik diterima
tanpa adanya dua manifestasi mayor atau satu manifestasi mayor dan dua manifestasi
minor. Hanya pada dua yang pertama persyaratan untuk infeksi streptokokus sebelumnya
dapat dikesampingkan.
 Korea dalam praktek diagnosis korea reumatik ditegakan apabila korea merupakan
manifestasi klinis tunggal, sesudah sindrom grenyet (tic) dan penyebab gerakan
koreiform lain (misalnya lupus) disingkirkan. Kelompok WHO secara tegas
menyatakan bahwa korea murni dapat dikecualikan dari pemakaian kriteria Jones.
 Karditis datang diam-diam atau datangnya terlambat. Pasien kelompok ini biasanya
mempunyai riwayat demam reumatik yang samar-samar atau tidak ada sama sekali,
tetapi selama periode beberapa bulan timbul gejala dan tanda umum seperti rasa tidak
enak badan, lesu, anoreksia, dengan penampakan sakit kronik. Mereka sering datang
dengan gagal jantung, dan pemeriksaan fisis dan laboratorium menunjukkan adanya
penyakit jantung valvular. Jenis miokarditis akibat kelainan lain harus disingkirkan.
Tanda radang aktif (biasanya reaksi fase akut seperti LED dan PCR) diperlukan
untuk membedakannya dari penyakit katup reumatik inaktif. Pemeriksaan
ekokardiografi bermanfaat untuk memperkuat atau menyingkirkan adanya penyakit
katup kronik. Endokarditis infektif mudah dirancukan dengan keadaan ini.
 Demam reumatik kumat. Pada pasien penyakit reumatik yang telah menetap
(establihed) yang telah tidak minum obat antiradang (salisilat atau kortikosteroid)
selama paling sedikit dua bulan, terdapatnya satu kriteria mayor atau demam,
artralgia, atau naiknya reaktan fase akut memberikan kesan dugaan diagnosis demam
reumatik kumat, asalkan terdapat bukti adanya infeksi sterptokokus sebelumnya
(misalnya peninggian titer ASTO). Namun untuk diagnosis yang tepat diperlukan
pengamatan yang cukup lama untuk menyingkirkan penyakit lain dan komplikasi
penyakit jantung reumatik seperti endokarditis infektif.
Seringkali sukar membuktikan adanya karditis akut selama serang kumat.
Munculnya bising baru, bertambahnya kardiomegali, atau adanya bising gesek perikadial
biasanya membuktikan diagnosis karditis. Adanya nodul subkutan atau eritema
marginatum juga merupakan bukti terpercaya untuk terdapatnya karditis aktif.

Adanya dua kriteria mayor, atau satu kriteria mayor dan dua kriteria minor,
menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik akut, jika didukung oleh adanya
infeksi streptokokus grup A sebelumnya.

* Committee on Rheumatic Fever and Bacterial Endocarditis, 1982

Diagnosa Banding
Tidak ada satupun gejala klinis maupun kelainan laboratorium yang khas untuk
demam reumatik/penyakit jantung reumatik. Banyak penyakit lain yang mungkin
memberi gejala yang sama atau hampir sama dengan demam reumatik/penyakit jantung
reumatik. Yang perlu diperhatikan ialah infeksi piogen pada sendi yang sering disertai
demam serta reaksi fase akut. Bila terdapat kenaikan yang bermakna titer ASTO akibat
infeksi Streptococcus sebelumnya (yang sebenarnya tidak menyebabkan demam
reumatik), maka seolah-olah kriteria Jones sudah terpenuhi. Evaluasi terhadap riwayat
infeksi Streptococcus serta pemeriksaan yang teliti terhadap kelainan sendinya harus
dilakukan dengan cermat agar tidak terjadi diagnosis berlebihan.
Reumatoid artritis serta lupus eritrmatosus sistemik juga dapat memberi gejala
yang mirip dengan demam reumatik (Tabel 2). Diagnosis banding lainnya ialah purpura
Henoch-Schoenlein, reaksi serum, hemoglobinopati, anemia sel sabit, artritis pasca
infeksi, artritis septik, leukimia dan endokarditis bakterialis sub akut.

J. Penatalaksanaan

Karena demam rematik berhubungan erat dengan radang Streptococcus beta-


hemolyticus grup A, maka pemberantasan dan pencegahan ditujukan pada radang
tersebut. Ini dapat berupa :

a. Eradikasi kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A


Pengobatan adekuat harus dimulai secepatnya pada DR dan dilanjutkan dengan
pencegahan. Erythromycin diberikan kepada mereka yang alergi terhadap penicillin.
b. Obat anti rematik
Baik cortocisteroid maupun salisilat diketahui sebagai obat yang berguna untuk
mengurangi/menghilangkan gejala-gejala radang akut pada DR.
c. Diet
Makanan yang cukup kalori, protein dan vitamin.
d. Istirahat
Istirahat dianjurkan sampai tanda-tanda inflamasi hilang dan bentuk jantung mengecil
pada kasus-kasus kardiomegali. Biasanya 7-14 hari pada kasus DR minus carditis.
Pada kasus plus carditis, lama istirahat rata-rata 3 minggu – 3 bulan tergantung pada
berat ringannya kelainan yang ada serta kemajuan perjalanan penyakit.
e. Obat-obat Lain
Diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada kasus dengan dekompensasi kordis
diberikan digitalis, diuretika dan sedative. Bila ada chorea diberikan largactil dan
lain-lain.
K. Komplikasi

1. Dekompensasi Cordis
Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya
sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan metabolic
termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot jantung yang berlebihan,
biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan otot jantung sendiri seperti proses
inflamasi atau gabungan kedua faktor tersebut.
Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan digitalis
dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan gejala
(simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.

2. Pericarditis
Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi radang
yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard.

L. Pencegahan

Jika kita lihat di atas bahwa penyakit jantung paru sangat mungkin terjadi dengan adanya
kejadian awal yaitu demam rematik (DR). tentu saja pencegahan yang terbaik adlah bagaimana
upaya kita jangan sampai mengalami demam rematik (terserang infeksi kuman streptokokus beta
hemolyticus ). Ada beberapa factor yang dapat mendukung seseorang terserang kuman tersebut,
diantaranya factor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang
berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam
distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai peranan yang besar dalam terjadinya
infeksi streptokokus untuk terjadi DR.
Seseorang yang terinfeksi kuman streptokokus beta hemolyticus dan mengalami demam
rematik harus diberikan terapi yang maksimal dengan antibiotiknya. Hal ini menghindarkan
kemungkinan serangan kedua kalinya atau bahkan menyebabkan penyakit jantung rematik.

M. Prognosis

Prognosis RHD terdiri dari lama penyakit, kesempatan komplikasi dari penyakit,
kemungkinan hasil, prospek untuk pemulihan, pemulihan periode untuk penyakit, harga hidup,
tingkat kematian, dan hasil kemungkinan lainnya dalam keseluruhan prognosa dari penyakit
jantung reumatik.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PADA

PASIEN DEMAM REUMATIK (ANAK)

A. Pengkajian

Data fokus:

1. Peningkatan suhu tubuh tidak terlalu tinggi kurang dari 39 derajat celcius namun tidak
terpola
2. Adanya riwayat infeksi saluran nafas.
3. Tekanan darah menurun, denyut nadi meningkat, dada berdebar-debar.
4. Nyeri abdomen, Mual, anoreksia dan penurunan hemoglobin.
5. Arthralgia, gangguan fungsi sendi.
6. Kelemahan otot.
7. Akral dingin.
8. Mungkin adanya sesak.
9. Manifestasi khusus:

o carditis:
 takikardia terutama saat tidur ( sleeping pulse )
 kardiomegali
 suara bising katup ( suara sistolik )
 perubahan suara jantung
 perubahan ECG (PR memanjang)
 Precordial pain
 Precardial friction rub
 Lab : leukositosis, LED meningkat, peningkatan ASTO.

o Polyarthritis
Nyeri dan nyeri tekan disekitar sendi menyebar pada sendi lutut, siku, bahu, lengan
( gangguan fungsi sendi )

o Nodul subcutaneous:
 Timbul benjolan dibawah kulit, teraba lunak dan bergerak bebas, muncul sesaat,
pada umumnya langsung diserap.
 Terdapat pada permukaan ekstensor persendian
o Khorea:
 Pergerakan ireguler pada ekstremitas, involunter dan cepat.
 Emosi labil
 Kelemahan otot
o Eritema marginatum:
 bercak kemerahan umum pada batang tubuh dan telapak tangan.
 Bercak merah dapat berpindah lokasi tidak permanen
 eritema bersifat non pruritus

B. Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul

1. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan pada penutupan pada katup mitral
( stenosis katup )
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan metabolisme
terutama perifer akibat vasokonstriksi pembuluh darah
3. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada membran sinovial
4. Hipertermia berhubungan dengan Peradangan pada membran sinovial dan peradangan
katup jantung
5. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan asam lambung akibat kompensasi sistem saraf simpatis.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau imobilisasi
7. Syndrome kurang perawatan diri berhubungan Gangguan muskuloskeletal :
Poltarthritis/arthalgia dan therapi bed rest.
8. Kerusakan integritas kulit behubungan dengan peradangan pada kulit dan jaringan
subcutan.
9. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan darah diparu akibat
pengisian atrium yang meningkat
10. Resiko cidera berhubungan dengan Gerakan involunter,irrigulaer, cepat dan kelemahan
otot/khorea
C. Rencana Tindakan Keperawatan

1. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan pada penutupan katup mitral
( stenosis katup )
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan,penurunan curah jantung dapat
diminimalkan.
Kriteria hasil : Menunjukkan tanda-tanda vital dalam batas yang dapat diterima
(disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung (mis : parameter
hemodinamik dalam batas normal, haluaran urine adekuat). Melaporkan penurunan
episode dispnea, angina. Ikut serta dalam akyivitas yang mengurangi beban kerja jantung.

Intervensi dan rasional :

Rasional
Intervensi
1. Kaji frekuensi nadi, RR, TD secara
1. Memonitor adanya perubahan sirkulasi
teratur setiap 4 jam. jantung sedini mungkin dan terjadinya
takikardia-disritmia sebagai kompensasi
meningkatkan curah jantung

2. Pucat menunjukkan adanya penurunan


perfusi perifer terhadap tidak adekuatnya
curah jantung. Sianosis terjadi sebagai akibat
2. Kaji perubahan warna kulit terhadap adanya obstruksi aliran darah pada ventrikel.
sianosis dan pucat.
3. Istirahat memadai diperlukan untuk
memperbaiki efisiensi kontraksi jantung dan
menurunkan komsumsi O2 dan kerja
berlebihan.

4. Stres emosi menghasilkan vasokontriksi


yang meningkatkan TD dan meningkatkan
kerja jantung.
3. Batasi aktifitas secara adekuat.
5. Meningkatkan sediaan oksigen untuk
fungsi miokard dan mencegah hipoksia.

6. Diberikan untuk meningkatkan


kontraktilitas miokard dan menurunkan
beban kerja jantung.

4. Berikan kondisi psikologis


lingkungan yang tenang.

5. Kolaborasi untuk pemberian oksigen

6. Kolaborasi untuk pemberian digitalis

2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan perubahan metabolism


terutama perifer akibat vasokonstriksi pembuluh darah
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan , perfusi jaringan perifer efektif
Kriteria hasil : Klien tidak pucat, Tidak ada sianosis, Tidak ada edema

Intervensi dan rasional :

Intervensi Rasional
1. Selidiki perubahan tiba-tiba atau gangguan1. Perfusi serebral secara langsung
mental kontinyu, contoh: cemas, bingung, sehubungan dengan curah jantung dan
letargi, pingsan. juga dipengaruhi oleh elektrolit atau
variasi asam basa, hipoksia, atau emboli
sistemik.

2. Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh


2. Lihat pucat, sianosis, belang, kulit dingin penurunan curah jantung mungkin
atau lembab. Catat kekuatan nadi perifer. dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit
dan penurunan nadi.

3. Indikator trombosis vena dalam.

4. Pompa jantung gagal dapat mencetuskan


distress pernapasan. Namun dispnea tiba-
3. Kaji tanda edema. tiba atau berlanjut menunjukkkan
komplikasi tromboemboli paru.
4. Pantau pernapasan, catat kerja pernapasan.
5. Indikator perfusi atau fungsi organ

5. Pantau data laboratorium, contoh: GDA,


BUN, creatinin, dan elektrolit.

3. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada membran sinovial

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, masalah nyeri teratasi.

Kriteria hasil : Skala nyeri 0-1, tanda-tanda vital dalam batas normal, klien tidak
mengeluh nyeri, tidak ada nyeri tekan dan klien tidak membatasi gerakanya. Klien
tampak rileks.
Intervensi dan rasional :

Intervensi Rasional

1. Kaji keluhan nyeri. Perhatikan 1. Memberikan informasi sebagai dasar dan


intensitas ( skala 1-10 ) pengawasan intervensi

2.Mengetahui keadaan umum dan


memberikan informasi sebagai dasar dan
2. Pantau tanda-tanda vital (TD,
pengawasan intervensi
Nadi, RR , suhu)
3. Menurunkan spasme/ tegangan sendi dan
jaringan sekitar

3. Pertahankan posisi daerah sendi


4. Menghambat kerja reseptor nyeri
yang nyeri dan beri posisi yang
nyaman 5. Membantu menurunkan spasme sendi-
sendi, meningkatkan rasa kontrol dan
4. Kompres dengan air hangat jika
mampu mengalihkan nyeri.
diindikasikan
6. Menghilangkan nyeri
5. Ajarkan teknik relaksasi
progresif ( napas dalam, Guid
imageri,visualisasi )

6. Kolaborasi untuk pemberian


analgetik
4. Hipertermia berhubungan dengan Peradangan pada membran sinovial dan
peradangan katup jantung.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah hiperteemia teratasi
Kriteria hasil : Suhu normal ( 26-37 derajat celcius ), nadi normal,leukosit normal
(4.300-11.400 per mm³ darah), tidak ditemukan steptococcus hemolitikus b grup A pada
hapusan tenggorokan.

Intervensi dan rasional :

Intervensi Rasional

1.Kaji suhu tubuh klien dan ukur tanda-tanda1. Mengetahui data dasar terhadap
vital lain seperti nadi, TD dan respirasi perencanaan tindakan yang tepat

2.Berikan klien kompres hangat pada lipatan2. Membantu meberikan evek


tubuh dan terdapat banyak pembuluh darah vasodilatasi pembuluh darah sehungga
besar seperti aksilla, perut ) pengeluaran panas terjadi secara
evaporasi
3.Anjurkan klien untuk minum 2 liter/hari jika
memungkinkan 3. Peningkatan suhu juga dapat
meyebabkan kehilangan cairan akibat
evaporasi
4.Anjurkan klien untuk tirah baring ( bed
4. Mencegah terjadinya peningkatan
rest )
reaksi peradangan dan
hipermetabolisme.

5. Mengurangi proses peradangan


sehingga peningkatan suhu tidak
5.Kolaborasi untuk pemberian antipiretik dan terjadi serta streptococus hemolitikus
antiradang seperti salisilat/ prednison serta b grup A akan mampu dimatikan
pemberian Benzatin penicillin

5. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


peningkatan asam lambung akibat kompensasi sistem saraf simpatis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan dapat teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengatakan mual dan anoreksia berkuarang / hilang, masukan
makanan adekuat dan kelemahan hilang. BB dalam rentang normal.

Intervensi dan Rasional :

Intervensi Rasional

1. Kaji status nutrisi( perubahan BB<1. Menyediakan data dasar untuk memantau
pengukuran antropometrik dan nilai HB perubahan dan mengevaluasi intervensi
serta protein
2. Membantu dalam mempertimbangkan
2. Kaji pola diet nutrisi klien( riwayat diet, penyusunan menu sehingga klien berselera
makanan kesukaan) makan

3. Menyediakan informasi mengenai faktor yang


harus ditanggulangi sehingga asupan nutrisi
3. Kaji faktor yang berperan untuk
adekuat.
menghambat asupan nutrisi ( anoreksia,
mual) 4. Membantu mengurangi produksi asam
lambnung/HCl akibat faktor-faktor perangsang
4. Anjurkan makan dengan porsi sedikit
dari luar tubuh
tetapi sering dan tidak makan makanan
yang merangsang pembentukan Hcl seperti
terlalu panas, dingin, pedas

5. Kolaborasi untuk pemberian obat penetral


asam lambung seperti antasida
5. Membantu mengurangi produksi HCL oleh
6. Kolaborasi untuk penyediaan makanan
epitel lambung
kesukaan yang sesuai dengan diet klien

6. Mendorong peningkatan selera makan.


6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau
imobilisasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan intoleransi aktivitas teratasi
Kriteria hasil : klien tidak mudah lelah , klien dapat melakukan aktivitas sesuai batas
toleransi.

Intervensi dan rasional :

Intervensi Rasional

1. Periksa tanda vital sebelum dan segera1. Hipertensi ortostatik dapat terjadidengan
setelah aktivitas, khususnya bila pasien aktivitas karena efek obat (vasodilasi),
menggunakan vasolidator, diuretik, perpindahan cairan (diuretik) atau
penyekat beta. pengaruh fungsi jantung

2. Catat respon kardiopulmonal terhadap2. Penurunan /ketidakmampuan


aktifitas, catat takikardi, disritmia, miokardium untuk meningkatkan volume
dispnea, berkeringat, pucat. sekuncup selama aktivitas, dapat
menyebabkan peningkatan segera pada
frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen,
juga peningkatan kelelahan dan
kelemahan.

3. Dapat menunjukkan peningkatan


dekompensasi jantung daripada kelebihan
3. Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas aktivitas.
4.
Peningkatan bertahap pada aktivitas
menghindari kerja jantung/konsumsi
oksigen berlebihan. Penguatan dan
perbaikan fungsi jantung dibawah stres,
4. Kolaborasi Implementasikan program
bila disfungsi jantung tidak dapat
rehabilitasi jantung/aktifitas.
membaik kembali.
7. Syndrome kurang perawatan diri berhubungan Gangguan muskuloskeletal ;
Polyarthritis / Arthralgia dan therapi bed rest.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah pemenuhan ADL klien
teratasi.
Kriteria hasil : Klien mengatakan perawatan diri / ADL terpenuhi, Klien dapat
melakukan perawatan diri dalam batas toleransi.

Intervensi dan Rasional :

Intervensi Rasional

1. Bantu pemenuhan ADL klien 1.Memenuhi kebutuhan klien sehingga


klien tetap bed rest dan tenang

2.Kebutuhan klien akan l;ebih terpenuhi


sehingga klien merasa tetap
2. Libatkan keluarga untuk membantu diperhatikan

memenuhi kebutuhan klien 3.Mencegah adanya komplikasi


peradangan sampai ketingkat gagal
jantung.
3. Beri penjelasan kepada klien bahwa

klien harus tirah baring sesuai dengan

waktu yang diindikasikan

8. Kerusakan integritas kulit behubungan dengan peradangan pada kulit dan jaringan
subcutan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan,kerusakan integritas kulit teratasi.


Kriteria hasil : Eritema hilang pada tangan dan tubuh klien, mempertahanakan integritas
kulit. Mendemonstrasikan perilaku / teknik mencegah kerusakan kulit.

Intervensi dan Rasional :

Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat kerusakan kulit 1.Memberikan pedoman untuk


memberikan intervensi yang tepat

2.Terlalu kering adan lembab merusak


2. Berikan perawatan kulit sering,
kulit dan mempercepat kerusakan
minimalkan dengan kelembaban/ ekskresi
3.Memperbaiki sirkulasi/ menurunkan
3. Ubah posisi sering di tempat tidur / kursi,
waktu satu area yang mengganggu aliran
bantu latihan rentang gerak pasif/aktif
darah
4. Berikan bantalan yang lembut pada
4.Mencegah penekanan pada eritema
badan
sehingga tidak meluas
5. Kolaborasi untik pemberian obat
5.Mengurangi reaksi peradangan sehingga
antiradang ( prednison )
eritema hilang.

9. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan darah diparu


akibat pengisian atrium yang meningkat
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan masalah resiko kerusakan pertukaran
gas tidak terjadi
Kriteria hasil : Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenasi adekuat pada jaringan
ditunjukkan oleh GDA/ oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress
pernafasan. Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam batas kemampuan/situasi.

Intervensi dan rasional :


Rasional
Intervensi
1. Auskultasi bunyi nafas, catat
1. Menyatakan adanay kongesti
krekels, mengii. paru/pengumpulan sekret
menunjukkan kebutuhan untuk
intervensi lanjut.

2. Membersihkan jalan nafas dan


2. Anjurkan pasien batuk efektif, memudahkan aliran oksigen.
nafas dalam.
3. Menurunkan komsumsi
3. Pertahankan posisi semifowler, oksigen/kebutuhan dan
sokong tangan dengan bantal Jika meningkatkan ekspansi paru
memungkinkan maksimal.

4. Meningkatkan konsentrasi oksigen


alveolar, yang dapat
4. Kolaborasi dalam pemberian memperbaiki/menurunkan
oksigen tambahan sesuai indikasi. hipoksemia jaringan.

5.
Hipoksemia dapat menjadi berat
5. Kolaborasi untuk pemeriksaan selama edema paru
AGD 6.Menurunkan kongesti alveolar,
6. Kolaborasi untuk pemberian obat meningkatkan pertukaran gas.
diuretik. 7.Meningkatkan aliran oksigen dengan
7. Kolaborasi untuk pemberian obat mendilatasibjalan nafas kecil dan
bronkodilator mengeluarkan efek diuretic ringan
untuk menurunkan kongesti paru

10. Resiko cidera berhubungan dengan Gerakan involunter, irrigulaer, cepat dan
kelemahan otot/khorea
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan resiko cidera tidak terjadi.
Kriteria hasil : Menyatakan pemahaman factor yang terlibat dalam kemugkinan cedera.
Menunnjukkan perubahan perilaku, pola hidup untuk menurunkan factor resiko dan
untuk melindungi diri dari cedera. Mengubah lingkungan sesuai indikasi untuk
meningkatkan keamanan
Intervensi dan Rasional :

Intervensi Rasional

1. Kaji tingkat gerakan klien yang berlebihan 1.Menentukan dalam memberikan intervensi

2. Pantau dan bila mungkin temani klien 2.Mencegah terjadinya cidera akibat terjatuh
selama serangan khorea dan jauhkan benda- atau terkena bahan berbahaya
benda berbahaya dari klien

3. Pasang pengaman tempat tidur klien


3.Mengurangi resiko klien terjatuh dari
4. Anjurkan keluarga untuk menemani klien tempat tidur

5. Kolaborasi intuk pemberian obat penenang 4.Memberikan rasa aman klien sehingga
( klorpromazine atau diazepam ) sesuai cidera tidak terjadi
indikasi
5.Memberikan efek rileks pada otot sehingga
klien tenang.

D. Evaluasi

1. Penurunan curah jantung b/d adanya gangguan pada penutupan pada katup mitral (
stenosis katup ) dapat teratasi.dengan kriteria evaluasi : Menunjukkan tanda-tanda vital
dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal
jantung (mis : parameter hemodinamik dalam batas normal, haluaran urine adekuat).
Melaporkan penurunan episode dispnea,angina. Ikut serta dalam akyivitas yang
mengurangi beban kerja jantung.
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan metabolism
terutama perifer akibat vasokonstriksi pembuluh darah dapat teratasi dengan criteria
evaluasi : klien tidak pucat, tidak ada sianosis, tidak ada edema
3. Nyeri akut berhubungan dengan peradangan pada membran sinovial dapat teratasi
dengan kriteria evaluasi : Skala nyeri 0-1, tanda-tanda vital dalam batas normal, klien
tidak mengeluh nyeri, tidak ada nyeri tekan dan klien tidak membatasi gerakanya.Klien
tampak rileks
4. Hipertermia berhubungan dengan Peradangan pada membran sinovial dan peradangan
katup jantung. Dapat teratasi dengan kriteria evaluasi : Suhu normal ( 26-37 derajat
celcius ), nadi normal,leukosit normal (4.300-11.400 per mm³ darah), tidak ditemukan
steptococcus hemolitikus b grup A pada hapusan tenggorokan.
5. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
peningkatan asam lambung akibat kompensasi sistem saraf simpatis. Dapat teratasi
dengan kriteria evaluasi : Klien mengatakan mual dan anoreksia berkuarang / hilang,
masukan makanan adekuat dan kelemahan hilang. BB dalam rentang normal.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan otot, tirah baring atau imobilisasi
dapat teratasi dengan criteria evaluasi : klien tidak cepat lelah, dapat beraktivitas sesuai
dengan batas toleransi
7. Syndrome kurang perawatan diri berhubungan Immobilitas fisik akibat Gangguan
muskuloskeletal : arthralgia dan therapi.dapat terpenuhi dengan kriteria evaluasi : Klien
mengatakan perawatan diri / ADL terpenuhi, Klien dapat melakukan perawatan diri
dalam batas toleransi
8. Kerusakan integritas kulit behubungan dengan peradangan pada kulit dan jaringan
subcutan. Dapat teratasi dengan kriteria evaluasi : Eritema hilang pada tangan dan tubuh
klien, mempertahanakan integritas kulit. Mendemonstrasikan perilaku / teknik mencegah
kerusakan kulit
9. Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penumpukan darah diparu akibat
pengisian atrium yang meningkat tidak menjadi aktual dengan kritera evaluasi:
Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenasi adekuat pada jaringan ditunjukkan oleh
GDA/ oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan.
Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam batas kemampuan/situasi
10. Resiko cidera berhubungan dengan Gerakan involunter,irrigulaer, cepat dan kelemahan
otot/khorea tidak menjadi aktual dengan kritera evaluasi: Menyatakan pemahaman factor
yang terlibat dalam kemugkinan cedera. Menunnjukkan perubahan perilaku, pola hidup
untuk menurunkan factor resiko dan untuk melindungi diri dari cedera. Mengubah
lingkungan sesuai indikasi untuk meningkatkan keamanan
KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN An.Mw

A Pengkajian

1. Identitas
Nama : An. Mw
Umur : 5 thn
Jenis Kelamin : Perempuan
Status :-
Suku Bangsa : Indonesia
Alamat : Papua
Diagnosa Medis : Demam Reumatik

2. Riwayat Kesehatan.
 Keluhan utama.
Badan panas, nyeri, dan pembengkakan sendi
 Riwayat penyakit dahulu.
Tidak pernah mengalami penyakit yang sama, hanya demam biasa
 Riwayat penyakit sekarang.
Kardiomegali, bunyi jantung muffled dan perubahan EKG

3. Riwayat kesehatan keluarga.


-
4. Riwayat kehamilan dan persalinan.
-
5. Riwayat kesehatan lingkungan.

 Keadaan sosial ekonomi yang buruk


 Iklim dan geografi
 Cuaca

6. Imunisasi.
-
7. Riwayat nutrisi.
Adanya penurunan nafsu makan selama sakit sehingga dapat mempengaruhi status nutrisi
berubah.

8. Pengkajian persistem.
a. Sistem pernapasan.
Adanya takipneu, suara tambahan dan cuping hidung.
b. Sistem kardiovaskuler.
Biasanya pada pasien yang mengalami Rheumatic Heart Disease ditemukan suara
abnormal yaitu murmur, kemudian adanya takikardi.
c. Sistem persarafan.
Apakah kesadaran itu penuh atau apatis, somnolen atau koma pada penderita RHD.
d. Sistem perkemihan.
Apakah di dalam penderita RHD mengalami konstipasi, produksi kemih mengalami
oligurie.
e. Sistem pencernaan.
Adanya gangguan pencernaan karena disebabkan perubahan pola makan akibat
anorexsia.
f. Sistem muskuloskeletal.
Apakah ada gangguan pada ekstermitas atas maupun ekstermitas bawah.
g. Sistem integumen.
Integritas turgor kulit menurun, pucat, berkeringat banyak.
h. Sistem endokrin
Pada penderita RHD tidak ditemukan pembesaran kelenjar tiroid.

9. Persepsi orang tua


Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.

10. Pemeriksaan Fisik


Tanda Vital : BP = 140/100 HR = 88x/mnit
RR = 28x/mnt T = 38°C

a. Breathing
Inspeksi : terdapat sesak nafas, adanya otot bantu pernapasan, adanya cuping
hidung.
Auskultasi : terdapat penumpukan cairan ( krekels ), adanya efusi pleura.
Palpasi : terdapat retraksi interkosta.
Perkusi : terdapat suara redup.
b. Blood
Inspeksi : adanya sianosis.
Auskultasi : terdapat suara jantung murmur.
Palpasi : akral dingin, tekanan darah., kapileir refill.
Perkusi : terdapat pergeseran suara jantung.

c. Brain
Inspeksi : tidak tampak
Palapsi : tampak

d. Blader
1. Kaji adanya poliurine
2. Urine apakah ada keton.

e. Bowel
1. BAB berapa kali.
2. Jumlah input dan output
3. Apakah ada kelainan pada organ pencernaan.

f. Bone
1. Adanya nyeri sendi/kelemahan sendi karena tirah baring.

11. Diet pada Penyakit Demam Rhematik


Tujuan Diet :
Memberikan makanan secukupnya tanpa memberatkan kerja jantung, mencegah
penimbunan garam atau air

Syarat – syarat Diet :


 Energi cukup untuk mempertahankan BB normal
 Protein cukup, 0,8 gram/kg BB
 Lemak sedang, 25 – 30 % kebutuhan total kalori (10 % lemak jenuh, 15 % lemak tak
jenuh)Vitamin dan mineral cukup
 Rendah garam, 2-3 gram perhari
 Cairan cukup 2 liter perhari
 Bila makanan per oral tdk cukup berikan enteral atau parenteral
 Bentuk makanan sesuai keadaan pasien
 Cara menghidangkan menarik

B. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium darah


b. Foto rontgen menunjukkan pembesaran jantung
c. Elektrokardiogram menunjukkan aritmia E
d. Echokardiogram menunjukkan pembesaran jantung dan lesi

C. Analisis Data

NO DATA INTERPRETASI MASALAH

1 Ds : orang tua klien Streptoccocus Beta Hemolicus Tipe A Hipertermi


mengatakan badan klien Demam rematik
teraba panas
Do : badan klien teraba
kerusakan katub jantung
panas, suhu badan klien
: 38,5 o C
respon sistem hipotalamus

Demam

Hipertermi
2 Ds : Pasien mengatakan Streptoccocus Beta Hemolicus Tipe A
nyeri di siku kanan
Do : pembengkakan Demam rematik
sendi.
P: klien mengatakan kerusakan katub jantung
nyeri terasa berat ketika
melakukan aktivitas,
mempengaruhi otak
klien mengatakan nyeri
terasa ringan ketika
atrofi
beristirahat.
Q : nyeri terasa tertusuk
– tusuk nyeri sendi
R : siku tangan kiri
S : skala nyeri 6 nyeri akut
T: klien mengatakan
nyeri terasa berat saat
melakukan aktivitas.
3 Ds : orang tua klien Kurang
Kurangnya informasi tentang
selalu menanyakan pengetahuan
penyakit yang diderita
tentang penyebab dari
penyakit yang diderita
Kurangnya pengetahuan
anaknya dan apa yang
akan dilakukan terhadap
anaknya
Do : orang tua klien
terlihat bingung.
Do : -

D. DIAGNOSA

1. Peningkatan suhu tubuh b.d proses infeksi penyakit ditandai dengan badan klien teraba
panas, suhu badan : 38,5oC
2. Nyeri akut b.d proses inflamasi ditandai dengan klien mengeluh nyeri, skala nyeri : 6.
3. Kurang pengetahuan b.d kurang informasi tentang penyakit ditandai dengan orang tua
klien mengatakan bingung dengan penyakit anaknya dan tidak tau apa yang harus
dilakukan.
E. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO. TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL


Dx HASIL
1. Setelah dilakukan tindakan Kaji suhu tubuh klien Mengetahui data
keperawatan diharapkan dan ukur tanda-tanda dasar terhadap
masalah hipertermia teratasi vital lain seperti nadi, perencanaan tindakan
dengan kriteria hasil: TD dan respirasi. yang tepat.
Suhu normal(36,5-37,5)ºC. Berikan klien Membantu meberikan
nadi normal (80 -100/mnt). kompres hangat pada efek vasodilatasi
lipatan tubuh. pembuluh darah
Anjurkan klien untuk sehingga pengeluaran
minum 2 liter/hari jika panas terjadi secara
memungkinkan. evaporasi.
Kolaborasi untuk Peningkatan suhu
pemberian antipiretik juga dapat meyebabkan
dan antiradang seperti kehilangan cairan akibat
salisilat/ prednison serta evaporasi.
pemberian Benzatin Mengurangi proses
penicillin, ASA peradangan sehingga
(aspirin), asetaminofen peningkatan suhu tidak
(Tylenol). terjadi serta
streptococus
hemolitikus b grup A
akan mampu dimatikan

2. Setelah dilakukan tindakan Kaji keluhan nyeri. Memberikan


keperawatan diharapkan Perhatikan intensitas ( informasi sebagai dasar
masalah nyeri teratasi dengan skala 1-10 ). dan pengawasan
kriteria hasil: Pantau tanda-tanda intervensi.
Skala nyeri 0-1 vital (TD, Nadi, RR , Mengetahui keadaan
tanda-tanda vital dalam batas suhu). umum dan memberikan
normal Pertahankan posisi informasi sebagai dasar
klien tidak mengeluh nyeri daerah sendi yang nyeri dan pengawasan
tidak ada nyeri tekan dan dan beri posisi yang intervensi.
klien tidak membatasi nyaman. Menurunkan spasme/
gerakanya. Ajarkan teknik tegangan sendi dan
Klien tampak rileks relaksasi progresif ( jaringan sekitar.
napas dalam, Guid Membantu
imageri, menurunkan spasme
Visualisasi). sendi-sendi,
Kolaborasi untuk meningkatkan rasa
pemberian analgetik kontrol dan mampu
mengalihkan nyeri.
Menghilangkan nyeri

3. Setelah dilakukan asuhan Auskultasi bunyi Mengetahui suara


keperawatan diharapkan jantung untuk jantung.
pengetahuan orang tua /anak mengetahui adanya Mencegah penularan
bertambah dengan Kriteria perubahan irama. bakteri atau virus.
hasil: Pemberian antibiotik Membantu untuk
Orang tua mengetahui sesuai program. mengurangi nyeri saat
tentang proses penyakit dan Pembatasan aktivitas beraktivitas.
efek dari penyakit. sampai manifestasi Membantu anak agar
Orang tua mau klinis demam reumatik lupa dengan nyerinya.
berpartisipasi dalam program tidak ada dan berikan
pengobatan. periode istirahat.
Orang tua mengetahui Berikan terapi
pentingnya pembatasan bermain yang sesuai
aktifitas pada anak. dan tidak membuat
lelah.

F. IMPLEMENTASI

Implementasi sesuai dengan inervensi


G. EVALUASI

NO.
EVALUASI
DX
Dx 1 Suhu normal(36,5-37,5)ºC

Nadi normal (80 -100/mnt)

Dx 2 Skala nyeri 0-1

Tanda-tanda vital dalam batas normal

klien tidak mengeluh nyeri tidak ada nyeri tekan dan klien tidak membatasi
gerakanya.

Klien tampak rileks

Dx 3 Orang tua mengetahui tentang proses penyakit dan efek dari penyakit.

Orang tua mau berpartisipasi dalam program pengobatan.

Orang tua mengetahui pentingnya pembatasan aktifitas pada anak.


DAFTAR PUSTAKA

http://learntogether-aries.blogspot.com/2011/09/askep-reumatoid-heart-disease-rhd.html

http://netiinetiari.blogspot.com/2011/12/laporan-pendahuluan-pada-pasien-demam.html

http://perawatyulius.blogspot.com/2012/04/asuhan-keperawatan-anak-demam-rematik.html

http://sikkahoder.blogspot.com/2012/02/penyakit-jantung-rematik.html

http://sanirachman.blogspot.com/2009/09/juvenile-rheumatoid-arthritis_01.html

Anda mungkin juga menyukai