Anda di halaman 1dari 7

Nama Kerinci berasal dari bahasa Tamil, yaitu nama bunga Kurinji (Strobilanthes

kunthiana) yang tumbuh di India Selatan pada ketinggian di atas 1800 M, yang mekarnya
satu kali selama dua belas tahun. Karena itu Kurinji juga merujuk pada kawasan pegunungan,
dapat dipastikan bahwa hubungan Kerinci dengan India telah terjalin sejak lama dan nama
Kerinci sendiri diberikan oleh pedagang India Tamil
Para peneliti dan budayawan menyebutkan, hamparan luas renah alam Kerinci
merupakan bahagian pusat alam Melayu, menurut Anthoni J. Whitten Kawasan alam Kerinci
telah didiami manusia semenjak 10.000.Tahun SM. Hasil penelitian dan catatan sejarah
menyebutkan, kelompok manusia yang pertama kali datang ke alam Kerinci disebut dengan
nama ” kecik wok gedang wok, kelompok ini menurut pakar diduga kuat merupakan manusia
pertama yang mendiami Pulau Sumatera. Penyebutan kecik wok gedang wok diberikan karena
kelompok manusia ini belum memiliki nama panggilan di antara sesama mereka, dan mereka
bertegur sapa dengan sebutan wok.
Peneliti asal Amerika Serikat yang melakukan penelitian pada tahun 1973 bersama
tim lembaga purbakala dan peninggalan nasional menyebutkan suku bangsa Kerinci lebih tua
dibandingkan dari suku bangsa INCA (Indian) di Amerika, dengan salah satu bukti adalah
tentang manusia kecik wok gedang wok yang belum memiliki nama panggilan secara individu,
sedangkan bangsa/suku India telah memiliki nama seperti big buffalo ( Kerbau besar ), little
fire (Api kecil). Para ahli arkeologi menyatakan manusia “homo sapiens” telah menghuni
alam melayu sejak 35.000 tahun yang silam. Kelompok manusia ini dapat digolongkan dalam
ras dan rumpun “melayu polinesia”, maka diduga manusia yang masuk ke alam Kerinci
termasuk ke dalam rumpun melayu polinesia. Pendapat DR. Bennet Bronson yang
menyebutkan manusia ”kecik wok gedang wok” telah ada jauh sebelum kedatangan
gelombang perpindahan suku suku bangsa dari Asia Tenggara ke Indonesia sangat beralasan.
Suku Kerinci sebagaimana juga halnya dengan suku-suku lain di Sumatera adalah
penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan bahasa dan adat-istiadat suku Kerinci termasuk
dalam kategori proto melayu, dan paling dekat dengan Minangkabau deutro melayu dan
Jambi deutro melayu. Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang
memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup jauh antar satu dusun dengan dusun
lainnya di dalam wilayah Kabupaten.
Menurut tambo Minangkabau, tanah Kerinci merupakan bagian dari
rantau Minangkabau. Dalam tambo tersebut dikatakan bahwa rantau pesisir alam
Minangkabau meliputi wilayah-wilayah sepanjang pesisir barat Sumatera bagian tengah,
mulai dari Sikilang Air Bangis, Tiku, Pariaman, Padang, Bandar Sepuluh, Air Haji,
Inderapura, Muko-muko, dan Kerinci.
Pada abad ke-14 hingga ke-18, Kerinci merupakan bagian dari kerajaan Inderapura,
yang berpusat di Inderapura, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Setelah runtuhnya Kerajaan
Inderapura, Kerinci merupakan kawasan yang memiliki kekuasaan politik tersendiri. Pada
masa pemerintahan Hindia-Belanda, Kerinci masuk ke dalam Karesidenan Jambi (1904-
1921)setelah itu pada tahun 1922 dipindahkan ke dalam kekuasaan Keresidenan Sumatera
Barat. Tahun 1927 Kerinci pernah menyuarakan keinginannya agar kembali lagi ke dalam
Keresidenan Jambi, namun aspirasi itu tidak mendapat tanggapan dari pemerintahan Belanda
yang menjajah Jambi saat itu. Ketika rakyat Riau dan Jambi mengajukan otonomi daerah
tingkat I, rakyat Kerinci kembali menyampaikan keinginannya bersatu dalam Propinsi Jambi.
Alasan dan pertimbangan yang mendorong rakyat Kerinci untuk bergabung dengan
Propinsi Jambi antara lain:
1. Daerah Kerinci, seluruh Kerinci rendah dan sebagian daerah Kerinci tinggi berada dalam
satu kesatuan dengan keresidenan Jambi. Dengan demikian maka daerah Kerinci
sekarang yang pada mulanya merupakan satu kesatuan dengan yang lainnya, menjadi
terpisah dari kesatuan luak nan XVI dan Kerinci rendah.
2. Secara historis pada masa lalu Kerinci mempunyai hubungan persahabatan yang erat
dengan Jambi, persahabatan tersebut terjalin baik antara depati empat alam Kerinci
dengan ke sultanan Jambi.
3. Daerah Keresidenan Sumatera Barat mempunyai wilayah yang sangat luas, hal ini telah
menyebabkan daerah kecil dan terisolir yang dinaunginya seperti daerah Kerinci menjadi
kurang mendapat perhatian senarai sejarah kebudayaan suku Kerinci
4. Sehubungan dengan poin 3 diatas, maka bila daerah Kerinci berada dalam propinsi yang
relatif kecil wilayahnya, diharapkan gerak pembangunan dapat berjalan relatif lebih cepat
dan aspirasi rakyat akan mudah disalurkan.
Menurut Prof. H. Idris Jakfar, SH, perjuangan dalam mengupayakan otonomi daerah
ini, secara resmi disuarakan rakyat Kerinci pada tahun 1939 dalam Minangkabau Raad di
Padang oleh tokoh rakyat Kerinci saat itu yakni H. Muchtaruddin dan Sati Depati
Anum. Penyampaian aspirasi yang disampaikan oleh tokoh rakyat Kerinci saat itu ditanggapi
dengan baik oleh pemerintahan Belanda, pada prinsipnya pemerintah Belanda pada saat itu
tidak berkeberatan atas adanya keinginan itu, hanya saja pemerintahan Belanda saat itu
menangguhkan untuk mengabulkan aspirasi itu dengan pertimbangan menunggu jalan Jambi
ke Kerinci selesai dibuka, pentingnya jalan tersebut agar memudahkan dalam koordinasi
Pemerintahan.
Alasan yang disampaikan oleh pemerintahan Belanda saat itu dapat diterima dengan
baik oleh rakyat Kerinci, dan untuk beberapa tahun lamanya masalah ini tidak muncul
kepermukaan, rakyat Kerinci dengan sabar menunggu janji Belanda. Tetapi dalam
kenyataannya sampai Belanda takluk kepada Jepang (1942), jalan Jambi-Kerinci yang ingin
dibuka itu belum kelihatan akan direalisir dan daerah Kerinci tetap masih berada dalam
Keresidenan Sumatera Barat.
Pada masa penjajahan Jepang, rakyat tidak berani menyuarakan masalah ini, karena rakyat
takut akan kekejaman Jepang, disamping itu keadaan ekonomi rakyat waktu itu sangat
menyedihkan, dan rakyat Kerinci tidak sempat memikirkan hal itu. Setelah terhenti sekian
lama, perjuangan ini dimunculkan kembali pada awal tahun 1947 oleh Sati
Depati Anum bersama istrinya Supik Bakri dan Gento. Mereka menemui Residen
Jambi Raden Inu Kertapati, dengan membawa surat pernyataan partai politik, organisasi
masa, kepala mendapo seluruh Kerinci dan perorangan yang berpengaruh, guna
menyampaikan keinginan rakyat Kerinci untuk bergabung dengan Keresidenan Jambi.
Residen Jambi menyambut baik aspirasi itu dan melalui suratnya Nomor 112 tanggal 14
Maret 1947 Keinginan rakyat tersebut diteruskan kepada Gubernur Sumatera dan Gubernur
Muda Sumatera Tengah agar dapat dipertimbangan. Tindakan Sati Depati Anum ternyata
mendapat reaksi dari Residen Sumatera Barat. Sati Depati Anum dan Supik Bakri
diamankan ke Bukit Tinggi karena dianggap menciptakan pergolakkan. Tidak beberapa lama
kemudian (Maret 1947) H. Muchtaruddin ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Cabang
Kerinci dipanggil menghadap residen Sumatera Barat MR.Muhammad Rasyid guna
membicarakan masalah tersebut. residen Sumatera Barat meminta agar keinginan rakyat
Kerinci untuk berdiri sendiri dibicarakan setelah perjuangan fisik dengan Belanda selesai.
Pada awal tahun 1948 gerakkan otonomi daerah gencar disuarakan lagi, akibatnya
dalam sidang KNI Sumatera Barat, hal itu menjadi pokok pembicaraan. Kemudian
diputuskan menghapuskan status keresidenan dengan membentuk Kabupaten Kerinci-
Indrapura bersama Ranah Pesisir menjadi Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci. Keputusan
tersebut disampaikan kepada delegasi rakyat Kerinci yang dipanggil menghadap residen
Sumatera Barat di Bukit Tinggi, diantara yang hadir memenuhi panggilan tersebut adalah
H.Muchtaruddin, A.Rahman Dayah, Djanan Thaib Bakri dan H.Adnan Thaib di damping
Letnan Kolonel. A.Thalib.
Setelah mendapat penjelasan perubahan status pemerintahan tersebut, maka
H.Muchtaruudin atas nama rakyat Kerinci kembali menegaskan aspirasi rakyat yang tetap
menginginkan otonomi sendiri terlepas dari Pesisir Selatan. Menanggapi pernyataan tersebut,
secara diplomatis residen Sumatera Barat menyatakan bahwa pada prinsipnya dapat
menerima dan berjanji akan memprosesnya, namun sampai Belanda meninggalkan Kerinci 29
Desember 1949 keinginan rakyat tersebut belum terealisir.
Setelah dilakukan penyerahan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah
Indonesia 29 Desember 1949, Kerinci tetap berada dalam naungan pemerintahan Kabupaten
Pesisir Selatan dan Kerinci dengan ibukotanya Sungai Penuh. Pada saat itu roda
pemerintahan mulai berjalan normal, struktur organisasi pemerintahan mulai diisi dan unsur
aparatur pemerintahan didatangkan dari Sumatera Barat.
Pada tanggal 16 Maret 1954 rakyat Kerinci kembali menyuarakan aspirasinya dengan
cara kembali mengirimkan surat kepada pemerintah pusat di Jakarta agar memperhatikan
keinginan rakyat Kerinci. Surat tersebut ditandatangani oleh seluruh Kepala Mendapo, Partai
partai Politik dan MKAAK. Selanjutnya, pada sidang Pleno DPRS ke 4 Kabupaten PSK surat
rakyat Kerinci kembali dibicarakan, sidang kemudian memutuskan membentuk komisi
beranggotakan lima orang yang selanjutnya dikenal dengan nama ”komisi lima” dan sebagai
ketuanya ditunjuk Bupati PSK, Komisi ditugaskan mengumpulkan data yang lengkap perihal
pemekaran Kabupaten PSK.
Hasil pemantaun komisi lima ini pada bulan Februari 1956 dibahas di dalam sidang
pleno DPRS Kabupaten PSK. Kesimpulan akhir sidang menyetujui untuk membagi
Kabupaten PSK menjadi Kabupaten Kerinci dan Kabupaten Pesisir Selatan, dan pada bulan
September 1956 Kabupaten PSK mengutus delegasi yang dipimpin Bupati PSK Oedin
menghadap Gubernur Sumatera Tengah dan Menteri Dalam Negeri yang pada saat itu sedang
berada di Sumatera Barat, guna membicarakan hal tersebut.
Dilain pihak para tokoh-tokoh dan pemuda putra daerah Kerinci yang berada di
Padang dan Jambi, secara aktif ikut melakukan perjuangan melalui pendekatan informal
kepada Kabinet dan DPR-RI di Jakarta. Tokoh tokoh pemuda saat itu antara lain adalah:
Djanan Thaib Bakri, Idris Djakfar, Amry Payung dan Yatim Abas dari Padang, sedangkan to-
koh tokoh Pemuda Kerinci dari Jambi yang terlibat secara aktif antara lain adalah: H.Husein
Bakri (Majsyumi), H.Ramli Depati Parbo Singo, Chatib Nurdin( N U), H.Samin Ali (PERTI),
Zainal Abidin Sati (PSII) dan Affan Murad (PNI).
Akibat gencarnya tuntutan rakyat akhirnya pemerintah pusat mengutuskan MR.Amrah
Muslimin ke Kerinci untuk menyelesaikannya, didamping Patih Amir Hamzah Datuk Tongga
(Mewakili Gubernur Sumatera Tengah) rombongan sampai di Sungai Penuh pada tanggal 26
September 1956, dan pada hari juga dilaksanakan rapat khusus dengan seluruh kepala
djawatan/instansi, tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin partai partai politik, pemuka pemuka
adat, dan alim ulama bertempat di Gedung Nasional Sungai Penuh. Pada kesempatan rapat itu
telah berbicara wakil rakyat Pesisir Selatan Ma’arifat Umar dan wakil rakyat Kerinci
H.Muchtaruddin, para wakil-wakil rakyat dari masing masing daerah itu menyampaikan
aspirasi dan kehendak rakyat agar segera merealisir pemekaran Kabupaten PSK menjadi
Kabupaten Kerinci dengan ibukotanya Sungai Penuh dan Kabupaten Pesisir Selatan dengan
ibu kotanya Painan. Kebijaksanaan ini dipandang perlu mengingat luasnya wilayah
Kabupaten PSK, sehingga dengan pemekaran ini diharapkan dapat menghindari
keterlambatan dalam pembangunan.
Pada saat perjuangan otonomi mulai menampakkan titik terang, terjadilah peristiwa
pengambilan kekuasaan oleh ketua dewan Banteng, Letkol Ahmad Husein dari Gubenur
Ruslan Muljoharjo pada tanggal 20 Desember 1956 yang melahirkan pemerintah
revolusioner RI (PRRI). Peristiwa ini telah mempengaruhi konsentrasi perjuangan. Untuk
menjaga kesatuan maka pada awal Januari 1957 dibentuk Badan Kongres Rakyat Kerinci
(BKRK) dan H.Muchtaruddin terpilih sebagai Ketua BKRK. H.Djafar Sidik Bakri (DASIBA-
Dalam Kehidupan dan Perjuangan 1926-1995) menyebutkan situasi politik di daerah
Sumatera Tengah pada saat itu semakin gawat dengan terbentuknya Dewan Banteng. Setelah
dewan banteng dibentuk oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein yang juga dibelakangnya berdiri
Partai Masyumi dan PSI, maka kegiatan PKI Sumatera Tengah tetap diincar setiap saat.
Setelah itu Partai Nasional Indonesia (PNI) juga menjadi inceran. Pada pertengahan bulan
Maret 1957, termuat berita dari Singapura (sumber berasal dari wartawan Antara), bahwa
Letnan Kolonel Ahmad Husein berada di Singapura dalam rangka droping senjata dari
Singapura untuk persiapan terbentuknya pemerintah revolusioner republik Indonesia di
Sumatera Tengah
Sekitar Pertengahan bulan Maret 1956, terdengar kabar Propinsi Sumatera Tengah
bakal dijadikan 3 daerah Propinsi yakni Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Riau dan Propinsi
Jambi. Dasiba yang saat itu menjadi wartawan antara, mengadakan wawancara khusus dengan
Gubernur Propinsi Sumatera Tengah Ruslan Mulyohardjo di kantornya di Bukit Tinggi, pada
kesempatan itu Wartawan “Antara” Dasiba menanyakan rencana Pemerintah terhadap daerah
kewedanaan Kerinci apabila rencana pembentukan tiga daerah Propinsi tersebut jadi
dilaksanakan. Dengan tegas Gubernur menjawab, bahwa Kerinci akan dimasukan ke dalam
daerah Jambi berdasarkan historis, sebelum tahun 1914 Kerinci masuk Keresidenan
Jambi. Hal ini juga dimaksudkan untuk mendukung penduduk Jambi yang pada saat itu
kurang dari 500.000 Jiwa yang merupakan standar minimal untuk pendirian sebuah Propinsi
seperti yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Jambi pada waktu itu hanya berpenduduk
400.000 jiwa, sedangkan Kerinci berpenduduk 120.000 Jiwa.
Pada tanggal 25 hingga 27 Januari 1957 diadakan Konggres Rakyat Kerinci di Sungai
Penuh yang pertama, konggres ini dihadiri oleh wakil rakyat dari semua golongan,dan
mengundang wakil wakil masyarakat dari Padang, Jambi, Pekanbaru, Medan dan Jakarta,
akan tetapi karena kondisi sarana transportasi Jalan yang buruk, tidak semua wakil wakil
rakyat di luar daerah yang hadir. Diantara wakil wakil rakyat yang hadir itu antara lain Idris
Djakfar, Amry Payung dan Dasiba dari Sumatera Barat tokoh wakil rakyat Kerinci dari
Sumatera Barat ini pada Kongres tersebut menyampaikan pidato ilmiah tentang masalah
otonomi daerah dari tinjauan peraturan dan undang undang, dengan kesimpulan bahwa daerah
Kerinci telah memenuhi persyaratan dalam hal ini, dan pada akhir kongres secara aklamasi
diputuskan untuk memperjuangkan kembali kepada pemerintah Sumatera Tengah dan
pemerintah pusat di Jakarta perihal otonomi daerah Kerinci.
Selanjtnya konggres rakyat Kerinci telah berhasil menetapkan beberapa
keputusan sebagai berikut:
1. Menuntut terwujudnya dengan segera Kabupaten otonomi tingkat II Kerinci dalam satu
daerah Propinsi yang akan dikeluarkan instelling besluitnya oleh pemerintah Pusat.
2. Menuntut kepada pemerintahan Propinsi Sumatera Tengah untuk mendesak agar secepat
mungkin instelling besluit mengenai putusan pasal diatas dikeluarkan
Pembicaraan yang hangat dalam kongres rakyat Kerinci ini adalah status daerah
Kabupaten Kerinci yang akan datang, apakah masuk daerah tingkat I Jambi atau tetap masuk
kedalam Propinsi Sumatera Barat, akhirnya melalui perdebatan yang cukup serius dan
menegangkan itu, akhirnya peserta rapat menerima usulan dari ketua rapat yaitu Djanan Thaib
Bakri yang berbunyi sebagai berikut “Menuntut terwujudnya dengan segera Kabupaten
otonomi tingkat II Kerinci dalam salah satu daerah Propinsi Jambi yang akan dikeluarkan
instelling besluitnya oleh pemerintah pusat”.
Untuk menyalurkan usul-usul anggota konggres, maka oleh kongres berhasil dibentuk
suatu tim Komisi Perumus yang terdiri dari 7 orang anggota yang terdiri dari H.
Muchtaruddin, H.Abdul Kadir Djamil, M.Yahu, Djanan Thaib Bakri, Idris Djakfar. H.Usman
Djamal dan DASIBA.
Selanjutnya Konggres berhasil pula memilih Badan Harian Konggres (DASIBA) yang
terdiri dari 7 orang dan 31 orang badan pleno konggres Rakyat Kerinci, adapun 7 orang badan
harian konggres yang berhasil dipilih adalah:
1. H.Muchtaruddin, ketua
2. Miftah Yunus, sekretaris
3. H.Usman Djamal, anggota
4. A.Hamid Muhadid, anggota
5. Sati Depati Anom, anggota
6. Abu Thalib, anggota
7. Hamid Arifin sebagai anggota.
Sedangkan 31 orang badan peno kongres terdiri dari 15 wali negeri, 9 orang wakil
partai Politik, 5 orang wakil masyarakat Kerinci di luar daerah dan 2 orang wakil pemuda dan
wanita. Karena pemerintah pusat di Jakarta masih belum menanggapi himbauan rakyat
Kerinci, maka pada tanggal 9 Februari 1957 seluruh partai politik mengirimkan telegram
kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya minta dengan segera merealisir otonomi daerah
Tingkat II Kerinci dalam Propinsi Jambi, tindakan ini diketahui oleh Ketua Dewan Banteng,
yang kemudian segera mengambil langkah melokalisir masalah dengan mengirim radiogram
kepada Bupati PSK tanggal 3 April 1957 yang isinya sebagai berikut:
“ Bup Seipenuh no: 368 kp harap sampaikan pada H.Muchtaruddin sbb tk dua berhubung Dg
sob segala perubahan ketatanegaraan tidak dapat dibenarkan koma dari itu pelantikan Badan
persiapan otonomi Kerinci tanggal 17 ib tidak dapat dilaksanakan koma rencana Bpl stof sipil
ke Kerinci tetap seperti yang telah ditetapkan .
Dengan adanya radiogram tersebut berarti PRRI telah ikut dalam masalah ini,
perkembangan situasi itu sangat merisaukan pemimpin Kerinci karena bisa menimbulkan
berbagai masalah baru dan ketidak pastian. Sungguh pun demikian berbagai pendekatan
terutama kepada pemerintah pusat di Jakarta tetap aktif dilakukan para tokoh masyarakat
Kerinci yang berada di Jambi dan Padang.
Perjuangan panjang yang tidak mengenal lelah itu akhirnya pada awal Agustus 1957
membuahkan hasil dengan keluarnya Undang undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957. Dalam
pasal I ayat 1 sub b menyatakan bahwa Kecamatan Kerinci Hulu, Kerinci Tengah dan Kerinci
Hilir digabungkan dengan Jambi. Setelah itu diikuti pula dengan keluarnya Undang Undang
Darurat Nomor 21 tahun 1957 yang mengukuhkan ketiga Kecamatan tersebut dijadikan
sebuah daerah Swatantera Tingkat II Kabupaten Kerinci dengan ibukotanya Sungai Penuh.
Undang undang tersebut akhirnya menjadi undang-undang nomor 61 tahun 1958.
Sehari setelah Gubernur Jambi kembali dari Jakarta, maka pada tanggal 8 November
1958, delegasi bersama Gubernur Jambi bertolak ke Padang melalui Penerbangan GIA ,
setelah mendarat di Padang rombongan melanjutkan perjalanan melalui jalan darat dengan
dikawal pasukan banteng raider karena situasi pada waktu itu masih belum terlalu kondusif
dari gangguan PRRI. Pada malam tanggal 9 November 1958 rombongan selamat sampai di
Sungai Penuh, keesokan harinya tanggal 10 November 1958 Gubernur/KDH Propinsi Jambi,
M.Yusuf Singadekane atas nama Menteri Dalam Negeri meresmikan daerah otonom Tingkat
II Kerinci dalam Propinsi Jambi. Peresmian dilakukan di lapangan Merdeka Sungai
Penuh yang dihadiri puluhan ribu rakyat Kerinci, pada malam harinya dilakukan serah terima
dari Gubernur/KDH Tingkat I Sumatera Barat kepada Gubernur KDH Tingkat I Jambi
bertempat di Gedung Nasional. Kemudian Gubernur menunjuk Muhamad Nuh sebagai
Pejabat Bupati dengan Sekretaris Daerah H.Ijazi Yahya. Pada tanggal 13 November 1958
Gubernur Jambi melantik anggota DPRD Kerinci dengan ketuanya Djafar Sutan Marajo dan
sekaligus pula meresmikan badan penasehat koordinator pemerintahan sipil atau dewan
pemerintah daerah peralihan, dan sejak tanggal 10 November 1958 resmilah Kerinci menjadi
daerah otonom Kabupaten Kerinci yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Propinsi Jambi.
Pada tanggal 3 Januari tahun1972, dilaksanakan serah terima jabatan antara Bupati
KDH Tingkat II Kerinci dari pejabat lama Drs.Achmad Daud kepada Rusdi Sayuti,BA yang
dilaksanakan dihadapan Gubernur Jambi M.Nur Atmadibrata. Setelah Rusdi Sayuti
mengakhir jabatannya, pada tahun tahun selanjutnya jabatan Bupati Kabupaten Kerinci
dijabat Letkol.Nazar Efendi, Drs.H.Mohd.Awal. Drs.H. Hasmi Mukhtar, Kolonel H.Bambang
Sukowinarno, selanjutnya Bupati Kerinci selama 2 periode dijabat oleh Letkol.Czi (.Purn)
H.Fauzi Siin dan setelah itu Bupati Kerinci pasca pemekaran dijabat oleh H.Murasman, S.Pd.,
MM dan sekarang dipimpin oleh : Dr. H. Adi Rozal dan wakil bupati Zainal Abidin,
S.H,MH.
Selanjutnya sebagai akibat dari perkembangan zaman dan tuntutan pembangunan
ketatanegaraan, pada tahun 2008 Kabupaten Kerinci secara admisitrasi telah dimekarkan
menjadi dua daerah otonom, yakni Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Kedua daerah
otonom itu secara adat dan kebudayaan merupakan“satu kesatuan hukum adat dan satu kultul
budaya“ yang tidak dapat dipisahkan, kedua daerah ini ibarat denyut nadi dan nafas
kehidupan yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Antara masyarakat Kota
Sungai Penuh dan masyarakat Kabupaten Kerinci meski secara administrasi bersifat otonom
namun dalam kehidupan dan kebudayaan tetap satu dan menyatu dalam satu dialeg,
satu bahasa, satu adat istiadat dan satu kebudayaan yang sama yakni “Kerinci”.
Secara historis, kota Sungai Penuh merupakan daerah otonom baru hasil pemekaran
Kabupaten Kerinci,terbentuk berdasarkan undang-undang Nomor 25 tahun 2008 dan
disyahkan oleh DPR-RI Tanggal 21 Juli 2008, dan diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri
H.Mardiyanto. Pada tanggal 8 November 2008 hingga tahun 2013, Kota Sungai Penuh
memiliki 8 Kecamatan yakni : Kecamatan Sungai Penuh, Kecamatan Tanah Kampung,
Kecamatan Sungai Bungkal, Kecamatan Kumun Debai, Kecamatan Pondok Tinggi,
Kecamatan Pesisir Bukit, Kecamatan Hamparan Rawang, Kecamatan Koto Baru.
Kota Sungai Penuh memiliki total luas wilayah 391,5 Km2 meliputi kawasan TNKS
seluas 231,776Km2( 59,2%) dan lahan budidaya/luas hunian seluas
159,724Km2(40,8%).Kota Sungai Penuh merupakan salah satu dari dua kota yang ada di
Propinsi Jambi (salah satu dari 11 Kabupaten/Kota di Propinsi Jambi.
Posisi Kota Sungai Penuh cukup uniek dan berbeda dengan daerah daerah lain di
Propinsi Jambi, Kota Sungai Penuh berada di tengah tengah tengah Kabupaten Induk (
Kerinci) Kota ini berbatasan lansung dengan Kabupaten Kerinci di sebelah Utara, Sebelah
Selatan dan Sebelah Timur, hanya wilayah yang berada di sebelah Barat yang berbatasan
dengan wilayah Tapan Kabupaten Pesisir Selatan ( Propinsi Sumatera Barat), Memiliki
ketinggian 500 - 1500 M.Dpl dengan kondisi iklim sejuk dan memiliki panorama alam yang
menawan
Kota Sungai Penuh merupakan sebuah kota kecil yang bernuansa agraris berada
dikawasan dataran tinggi puncak pengunungan andalas ( bukit barisan), membentang
sepanjang gugus barat Pulau Sumatera. Kota kecil yang berada dalam wilayah alam Kerinci
memiliki kondisi alam yang indah dengan panoramapempesona, tempat kehidupan berbagai
spesies flora dan fauna langka, telah menginspirasikan seorang pujangga Ghazali Burhan Rio
Djayo mengumpamakan daerahnya bagaikan Sekepal tanah dari surga. Bentang alamnya -
yang terdiri dari gugus pegunungan senantiasa diselimuti awan putih dan embun serta lembah
menawan yang terhampar luas membentuk kantung (Engclave) yang uniek spesifik dan
merupakan bahagian engclave yang terluas yang pernah di huni manusia di dunia. sebahagian
dari kawasan ini diselimuti hutan belantara liar dan basah dengan berbagai tingkat keragaman
hayati yang tumbuh pada ketinggian yang berbeda dengan tiga ekosistim.

Anda mungkin juga menyukai