Anda di halaman 1dari 87

LEMBARAN DAERAH

KABUPATEN TAPANULI TENGAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH


NOMOR 8 TAHUN 2013

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH


TAHUN 2013 - 2033

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


BUPATI TAPANULI TENGAH,

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 26 Tahun


2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
maka perlu disusun rencana tata ruang kabupaten;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan visi dan misi Pemerintah
Kabupaten, keterpaduan pembangunan antar sektor daerah dan
masyarakat, dengan memanfaatkan ruang wilayah secara serasi,
selaras, seimbang, berdaya guna, berhasil guna, dan
berkelanjutan perlu disusun rencana tata ruang wilayah
kabupaten;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu membentuk Peraturan
Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Tapanuli Tengah Tahun 2013-2033;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Drt Tahun 1956 tentang Pembentukan


Daerah Otonom Kabupaten-Kabupaten Dalam Lingkungan
Daerah Propinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1956 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 1092);
2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 164, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4421);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844);

Hal 1 dari 87
4. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5188);
7. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5254);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005
Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4593);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4817);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103);
12. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan
Tata Cara Peran Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160);
13. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5103;
14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2012 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota;
15. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2010 – 2030;
16. Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah Nomor 4 Tahun
1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli
Tengah.

Hal 2 dari 87
Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN TAPANULI TENGAH

dan

BUPATI TAPANULI TENGAH

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH NOMOR


8 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH
KABUPATEN TAPANULI TENGAH TAHUN 2013 – 2033

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:


1. Kabupaten adalah Kabupaten Tapanuli Tengah.
2. Kecamatan adalah wilayah Kecamatan yang ada di Kabupaten Tapanuli Tengah.
3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah.
4. Bupati adalah Bupati Tapanuli Tengah.
5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah yang merupakan Lembaga
Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.
6. Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggara Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut azas otonomi dan
tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
7. Provinsi adalah Provinsi Sumatera Utara.
8. Wilayah adalah Ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau
fungsional.
9. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya;
10. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
11. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
12. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
13. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
14. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang.
15. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi
pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam penataan ruang.

Hal 3 dari 87
16. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang
yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.
17. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang
melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
18. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang
dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
19. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan
pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
20. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program
beserta pembiayaannya.
21. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
22. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
23. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah yang selanjutnya disebut
RTRW Kabupaten adalah rencana tata ruang yang bersifat umum dari wilayah
Kabupaten, yang berisi tujuan, kebijakan, strategi penataan ruang wilayah Kabupaten,
rencana struktur ruang wilayah Kabupaten, rencana pola ruang wilayah Kabupaten,
penetapan kawasan strategis Kabupaten, arahan pemanfaatan ruang wilayah
Kabupaten dan ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten.
24. Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah tujuan yang ditetapkan pemerintah
daerah kabupaten yang merupakan arahan perwujudan visi dan misi pembangunan
jangka panjang kabupaten pada aspek keruangan, yang pada dasarnya mendukung
terwujudnya ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan
berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
25. Kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah
yang ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten guna mencapai tujuan penataan
ruang wilayah kabupaten dalam kurun waktu 20 (dua puluh) tahun.
26. Strategi penataan ruang wilayah Kabupaten adalah penjabaran kebijakan penataan
ruang ke dalam langkah-langkah pencapaian tindakan yang lebih nyata yang menjadi
dasar dalam penyusunan rencana struktur dan pola ruang wilayah Kabupaten.
27. Rencana struktur ruang wilayah Kabupaten adalah rencana yang mencakup sistem
perkotaan wilayah Kabupaten yang berkaitan dengan kawasan perdesaan dalam
wilayah pelayanannya dan jaringan prasarana wilayah Kabupaten yang dikembangkan
untuk mengintegrasikan wilayah Kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala
Kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan
kelistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya air, termasuk
seluruh daerah hulu bendungan atau waduk dari daerah aliran sungai, dan sistem
jaringan prasarana lainnya.
28. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/atau aspek fungsional.
29. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kabupaten atau beberapa Kecamatan.
30. Pusat Kegiatan Lokal promosi yang selanjutnya disebut PKLp adalah Pusat Pelayanan
Kawasan yang dipromosikan untuk di kemudian hari ditetapkan sebagai PKL.
31. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa.
32. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa.
33. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan jaringan jalan yang terdiri dari sistem
jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder yang terjalin dalam hubungan
hierarki.
34. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang

Hal 4 dari 87
berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah
dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan
kabel.
35. Jalan arteri primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antar
pusat kegiatan nasional atau antara pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan
wilayah.
36. Jalan kolektor primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna antara
pusat kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lokal, antar pusat kegiatan wilayah,
antar pusat kegiatan wilayah dengan pusat kegiatan lokal.
37. Jalan lokal primer adalah jalan yang menghubungkan secara berdaya guna pusat
kegiatan nasional dengan pusat kegiatan lingkungan, antar pusat kegiatan lokal, atau
pusat kegiatan lokal dengan pusat kegiatan lingkungan, serta antar pusat kegiatan
lingkungan.
38. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang selanjutnya disebut LLAJ adalah satu kesatuan
sistem yang terdiri atas Lalu Lintas, Angkutan Jalan, Jaringan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Kendaraan, Pengemudi,
Pengguna Jalan, serta pengelolaannya.
39. Terminal adalah pangkalan Kendaraan Bermotor Umum yang digunakan untuk
mengatur kedatangan dan keberangkatan, menaikkan dan menurunkan orang
dan/atau barang, serta perpindahan moda angkutan.
40. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan
yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai, yang berfungsi
menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau
atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas
daratan.
41. Daerah Irigasi yang selanjutnya disebut DI adalah kesatuan lahan yang mendapat air
dari satu jaringan irigasi.
42. Rencana pola ruang wilayah Kabupaten adalah rencana distribusi peruntukan ruang
wilayah Kabupaten yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan budi daya
yang dituju sampai dengan akhir masa berlakunya RTRW Kabupaten yang
memberikan gambaran pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten hingga 20 (dua puluh)
tahun mendatang.
43. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung dan budidaya.
44. Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.
45. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
46. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung,
baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
47. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.
48. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan
pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber
daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
49. Kawasan minapolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan
pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengolahan sumber

Hal 5 dari 87
daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem minabisnis.
50. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
51. Kawasan Strategis Kabupaten yang selanjutnya disebut KSK adalah wilayah yang
penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam
lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi
serta sumber daya alam.
52. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,
yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
53. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh
pemerintah, untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
54. Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,
mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
55. Kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi, untuk
meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian akuifer yang berguna
bagi sumber air baku.
56. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kanan kiri sungai, yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
57. Kawasan sekitar waduk dan situ adalah kawasan di sekeliling waduk dan situ yang
mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsinya.
58. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan di sekeliling mata air yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi mata air.
59. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
60. Kawasan rawan bencana adalah kawasan dengan kondisi atau karakteristik geologis,
biologis, hidrologis, klimatologis dan geografis pada satu wilayah untuk jangka waktu
tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan dan
mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu.
61. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi
hasil hutan.
62. Hutan Produksi Tetap adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis
tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka
penimbang mempunyai jumlah nilai di bawah 125, di luar kawasan hutan lindung,
hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru.
63. Hutan Produksi Terbatas adalah kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng,
jenis tanah, dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka
penimbang mempunyai jumlah nilai antara 125-174, di luar kawasan hutan lindung,
hutan suaka alam, hutan pelestarian alam, dan taman buru.
64. Kawasan peruntukan pertanian adalah kawasan yang dialokasikan dan memenuhi
kriteria untuk budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan.
65. Kawasan budidaya hortikultura adalah kawasan lahan kering potensial untuk
pemanfaatan dan pengembangan tanaman hortikultura secara monokultur maupun
tumpang sari.
66. Kawasan budidaya perkebunan adalah kawasan yang memiliki potensi untuk
dimanfaatkan dan dikembangkan baik pada lahan basah dan atau lahan kering untuk
komoditas perkebunan.
67. Kawasan budidaya peternakan adalah kawasan yang secara khusus diperuntukkan
untuk kegiatan peternakan atau terpadu dengan komponen usaha tani (berbasis
tanaman pangan, perkebunan, hortikultura atau perikanan) berorientasi ekonomi dan
berakses dari hulu sampai hilir

Hal 6 dari 87
68. Kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan
pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
69. Kawasan peruntukan pertambangan adalah wilayah yang memiliki sumber daya bahan
tambang yang berwujud padat, cair atau gas berdasarkan peta/data geologi dan
merupakan tempat dilakukannya seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang
meliputi: penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi dan pasca tambang, baik di
wilayah darat maupun perairan.
70. Kawasan Peruntukan Industri adalah bentangan lahan yang diperuntukan bagi
kegiatan industri berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
71. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan Industri yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola
oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.
72. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah ruang ditetapkan secara nasional yang
digunakan untuk kepentingan pertahanan..
73. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas
serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan
Pemerintah Daerah.
74. Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi,
dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak
lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta
kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain.
75. Limbah bahan berbahaya dan beracun, yang selanjutnya disebut Limbah B3, adalah
sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
76. Arahan pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten adalah arahan pengembangan wilayah
untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang wilayah Kabupaten sesuai dengan
RTRW Kabupaten melalui penyusunan dan pelaksanaan program
penataan/pengembangan Kabupaten beserta pembiayaannya, dalam suatu indikasi
program utama jangka menengah lima tahunan Kabupaten yang berisi rencana
program utama, sumber pendanaan, instansi pelaksana dan waktu pelaksanaan.
77. Indikasi program utama jangka menengah lima tahunan adalah petunjuk yang memuat
usulan program utama, lokasi, besaran, waktu pelaksanaan, sumber dana, dan
instansi pelaksana dalam rangka mewujudkan ruang Kabupaten yang sesuai dengan
rencana tata ruang.
78. Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten adalah ketentuan-
ketentuan yang dibuat atau disusun dalam upaya mengendalikan pemanfaatan ruang
wilayah Kabupaten agar sesuai dengan RTRW Kabupaten yang berbentuk ketentuan
umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta
arahan sanksi untuk wilayah Kabupaten.
79. Ketentuan umum peraturan zonasi sistem Kabupaten adalah ketentuan umum yang
mengatur pemanfaatan ruang/penataan Kabupaten dan unsur-unsur pengendalian
pemanfaatan ruang yang disusun untuk setiap klasifikasi peruntukan/fungsi ruang
sesuai dengan RTRW Kabupaten.
80. Ketentuan perizinan adalah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah Kabupaten sesuai kewenangannya yang harus dipenuhi oleh setiap pihak
sebelum pemanfaatan ruang, yang digunakan sebagai alat dalam melaksanakan
pembangunan keruangan yang tertib sesuai dengan rencana tata ruang yang telah
disusun dan ditetapkan.
81. Ketentuan insentif dan disinsentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan
imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan
juga perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan
yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.

Hal 7 dari 87
82. Arahan sanksi adalah arahan untuk memberikan sanksi bagi siapa saja yang
melakukan pelanggaran pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang yang berlaku.
83. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan
ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
84. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi;
85. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat
hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan nonpemerintah lain dalam
penyelenggaraan penataan ruang.
86. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
87. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya disebut BKPRD adalah
badan bersifat ad-hoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mempunyai fungsi membantu
tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah.

BAB II
LINGKUP WILAYAH PERENCANAAN DAN SUBSTANSI

Bagian Kesatu
Lingkup Wilayah Perencanaan

Pasal 2

(1) Lingkup wilayah perencanaan RTRW Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi seluruh
wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah dengan luas daratan kurang lebih 2.194,98 Km2
(dua puluh tiga ribu seratus lima puluh lima kilometer persegi) dan luas lautan kurang
lebih 4.000 Km2 (empat ribu kilometer persegi) sebagaimana tercantum dalam
lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
(2) Lingkup wilayah perencanaan merupakan daerah dengan batas yang ditentukan
berdasarkan aspek administratif mencakup wilayah daratan, wilayah pesisir dan laut,
perairan lainnya, serta wilayah udara dengan batas wilayah meliputi
a. Sebelah utara berbatas dengan Provinsi Nangroe Aceh Darusalam ;
b. Sebelah selatan berbatas dengan Kabupaten Tapanuli Selatan;
c. Sebelah timur berbatas dengan Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang
Hasudutan dan Kabupaten Pakpak Bharat; dan
d. Sebelah barat berbatas dengan Kota Sibolga dan Samudera Hindia.
(3) Lingkup wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi ;
a. Kecamatan Suka Bangun;
b. Kecamatan Sibabangun;
c. Kecamatan Lumut;
d. Kecamatan Pinangsori;
e. Kecamatan Badiri;
f. Kecamatan Pandan;
g. Kecamatan Tukka;
h. Kecamatan Sarudik;
i. Kecamatan Tapian Nauli;
j. Kecamatan Sitahuis;
k. Kecamatan Kolang;
l. Kecamatan Sorkam;
m. Kecamatan Sorkam Barat;
n. Kecamatan Pasaribu Tobing;
o. Kecamatan Sosor Gadong;
p. Kecamatan Barus;
q. Kecamatan Barus Utara;

Hal 8 dari 87
r. Kecamatan Andam Dewi;
s. Kecamatan Sirandorung; dan
t. Kecamatan Manduamas.

Bagian Kedua
Substansi

Pasal 3

Substansi RTRW Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi:


a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah;
b. rencana struktur ruang wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah yang meliputi sistem pusat
kegiatan dan sistem jaringan prasarana wilayah;
c. rencana pola ruang wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah yang meliputi kawasan
lindung dan kawasan budidaya;
d. penetapan kawasan strategis kabupaten yang merupakan bagian wilayah kabupaten
yang penataan ruangnya diprioritaskan, karena mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup kabupaten terhadap ekonomi, sosial budaya, dan/atau lingkungan;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang terdiri dari indikasi program utama,
jangka menengah lima tahun; dan
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi peraturan
zonasi kawasan, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta sanksi.

Bagian Ketiga
Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah

Pasal 4

(1) Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah adalah untuk
mewujudkan ruang kabupaten sebagai salah satu pusat perdagangan, jasa, perikanan,
industri, dan pariwisata di Kawasan Barat Sumatera Utara
(2) Kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten Tapanuli Tengah meliputi:
a. pengembangan prasarana wilayah kabupaten;
b. pengembangan pusat-pusat pelayanan yang mampu mendorong pertumbuhan dan
pemerataan perkembangan ekonomi wilayah;
c. pengembangan dan pembangunan kawasan-kawasan perdagangan dan jasa;
d. peningkatan produksi dan produktivitas hasil perikanan;
e. pengembangan kawasan-kawasan industri yang mendukung kegiatan perikanan,
pertanian, perkebunan, dan pertambangan;
f. pengembangan sektor pariwisata;
g. pengembangan sistem pencegahan dan penanganan bencana yang terintegrasi;
dan
h. pengembangan sumber daya manusia dengan pengembangan bidang pendidikan
dan kesehatan.
(3) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 4 ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. meningkatkan kualitas jaringan jalan yang menghubungkan simpul-simpul kawasan
produksi dengan kawasan pusat pemasaran;
b. meningkatkan pelayanan sistem energi dan telekomunikasi yang berada di
kawasan perdesaan;
c. mengembangkan sistem prasarana sumberdaya air;
d. mengembangkan sistem jaringan limbah yang berada di permukiman perkotaan
dan kawasan peruntukan industri;
e. mengembangkan jalur dan ruang evakuasi bencana alam; dan

Hal 9 dari 87
f. mengembangkan sistem sanitasi lingkungan yang berada di kawasan perkotaan.
(4) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 4 ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. membagi wilayah fungsional Kabupaten berdasarkan morfologi dan kondisi sosial
ekonomi Kabupaten;
b. mengembangkan pusat pelayanan baru yang mampu berfungsi sebagai PKLp;
c. mengoptimalkan peran ibukota kecamatan sebagai PPK dan PPL.
d. membentuk pusat pelayanan permukiman perdesaan pada tingkat dusun dan
permukiman perdesaan yang berbentuk kluster;
e. mengembangkan pusat kawasan perdesaan secara mandiri;
f. mengembangkan kawasan perdesaan potensial secara ekonomi dan desa pusat
pertumbuhan; dan
g. meningkatkan interaksi antara pusat kegiatan perdesaan dan perkotaan secara
berjenjang.
(5) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 4 ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. meningkatkan potensi kawasan perkotaan sebagai pusat perdagangan dan jasa
yang utama di Kabupaten;
b. meningkatkan pengembangan sarana transporatasi udara, laut, dan darat; dan
c. menyediakan lahan bagi pengembangan kawasan industri, perdagangan, jasa, dan
pariwisata.
(6) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 4 ayat (2) huruf d terdiri atas:
a. mengembangkan lokasi pengolahan hasil perikanan yang dilengkapi dengan
sarana dan prasarana pendukung yang lengkap;
b. mengembangkan perekonomian kelautan dan perikanan dengan pendekatan
minapolitan; dan
c. meningkatkan hasil perikanan dengan memperluas teknologi penangkapan ikan
dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.
(7) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 4 ayat (2) huruf e terdiri atas:
a. mengembangkan industri pengolahan hasil perikanan pada kawasan industri;
b. mengembangkan dan membangun pusat industri dan simpul transportasi
pemasaran hasil produksi sebagai kawasan strategis ekonomi;
c. meningkatkan produksi hasil perkebunan dan pertanian melalui pendekatan
agropolitan;
d. melakukan revitalisasi dan pembangunan prasarana pertanian dan perkebunan
secara memadai; dan
e. melakukan survei pertambangan dan memanfaatkannya secara maksimal dengan
tetap memperhatik an kelestarian lingkungan.
(8) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 4 ayat (2) huruf f terdiri atas:
a. memperluas kawasan-kawasan wisata dengan memanfaatkan potensi alam dan
laut;
b. membangun sarana dan prasarana di kawasan pariwisata; dan
c. menciptakan jaringan antar kawasan wisata.
(9) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 4 ayat (2) huruf g terdiri atas:
a. menetapkan kawasan-kawasan lindung; dan
b. menetapkan jalur-jalur evakuasi bencana.

Hal 10 dari 87
(10) Strategi penataan ruang untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana yang dimaksud
Pasal 4 ayat (2) huruf h terdiri atas:
a. pengembangan pendidikan perguruan tinggi dan lembaga pendidikan non formal;
dan
b. pendekatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang tinggal di daerah
kawasan-kawasan miskin dan terpencil.

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 5

(1) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten meliputi:


a. sistem pusat kegiatan;
b. sistem jaringan tranportasi;
c. sistem jaringan energi;
d. sistem jaringan telekomunikasi;
e. sistem jaringan sumber daya air; dan
f. sistem jaringan prasarana wilayah lainnya.
(2) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digambarkan dalam peta rencana struktur ruang kabupaten dengan tingkat ketelitian
minimal 1:50.000 sebagaimana tercantum dalam lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Sistem Pusat Kegiatan

Pasal 6

Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. sistem perkotaan; dan
b. sistem perdesaan.

Pasal 7

(1) Sistem perkotaan terdiri atas:


a. penetapan sistem pusat kegiatan; dan
b. fungsi pelayanan pusat kegiatan.
(2) Penetapan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri
atas:
a. PKL;
b. PPK; dan
c. PPL.
(3) Penetapan batas kawasan PKL, PPK, dan PPL diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.

Hal 11 dari 87
Pasal 8

(1) PKL sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf a diarahkan pada kawasan
perkotaan yang meliputi:
a. pusat Kecamatan Pandan; dan
b. pusat Kecamatan Barus.
(2) Fungsi pelayanan pusat kegiatan PKL meliputi:
a. PKL Pandan, dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kabupaten,
perdagangan, jasa, pariwisata, pendidikan, kesehatan, olah raga, permukiman,
transportasi;
b. PKL Barus dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan,
perdagangan, jasa, pariwisata, perikanan, pelabuhan, kesehatan, pendidikan,
permukiman dan transportasi;

Pasal 9

(1) PPK sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf b meliputi:
a. Pusat Kecamatan Pinangsori
b. pusat Kecamatan Manduamas;
c. pusat Kecamatan Sorkam Barat;
d. pusat Kecamatan Tapian Nauli; dan
e. pusat Kecamatan Sarudik.
(2) Fungsi pelayanan pusat kegiatan PPK meliputi:
a. PPK Pinangsori diarahkan dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan
kecamatan, perdagangan jasa, pariwisata, perhubungan, perkebunan, kesehatan,
pendidikan dan permukiman
b. PPK Manduamas dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan
kecamatan, pertanian perkebunan, pariwisata, perdagangan, permukiman,
pendidikan dan kesehatan, industri
c. PPK Sorkam Barat dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan
kecamatan, pertanian, perkebunan, pariwisata, perikanan, permukiman, pendidikan,
dan kesehatan
d. PPK Tapian Nauli dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan
kecamatan, kawasan industri, perikanan, pelabuhan, pembangkit tenaga listrik,
pariwisata dan permukiman;
e. PPK Sarudik dengan fungsi pelayanan sebagai pusat pemerintahan kecamatan,
industri, perdagangan, jasa, perikanan, pariwisata dan permukiman;
(3) PPK Kecamatan Tapian Nauli dan Kecamatan Sarudik diarahkan untuk ditingkatkan
menjadi PKLp

Pasal 10

(1) PPL sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) huruf c meliputi:
a. Kecamatan Sibabangun;
b. Kecamatan Sukabangun;
c. Kecamatan Lumut;
d. Kecamatan Badiri;
e. Kecamatan Tukka;
f. Kecamatan Sitahuis;
g. Kecamatan Kolang;
h. Kecamatan Sorkam;
i. Kecamatan Pasaribu Tobing;
j. Kecamatan Sosorgadong;
k. Kecamatan Barus Utara

Hal 12 dari 87
l. Kecamatan Andam Dewi; dan
m. Kecamatan Sirandorung.
(2) Fungsi pelayanan pusat kegiatan PPL meliputi fungsi pelayanan sebagai pusat
pemerintahan kecamatan, permukiman, perkebunan, pertanian, perikanan, dan
pariwisata.
Pasal 11

(1) Sistem perdesaan terdiri atas:


a. penetapan sistem pusat kegiatan; dan
b. fungsi pelayanan pusat kegiatan.
(2) Sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf (a) terdiri atas PPL
Kecamatan Kolang, PPL Kecamatan Sukabangun dan PPP Kecamatan Pasaributobing
(3) Fungsi pelayanan pusat kegiatan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf (b) terdiri atas
kawasan agropolitan di Kecamatan Kolang dan Kecamatan Sibabangun serta kawasan
minapolitan di Kecamatan Sarudik, Kecamatan Tapian Nauli, Kecamatan Sorkam Barat
dan Kecamatan Barus

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi

Paragraf 1
Sistem dan Pengembangan Jaringan Transportasi

Pasal 12

(1) Sistem jaringan tranportasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf b
meliputi:
a. sistem jaringan transportasi darat;
b. sistem jaringan transportasi laut; dan
c. sistem jaringan transportasi udara.
(2) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana ayat (1) huruf a meliputi:
a. jaringan jalan;
b. jaringan jalur kereta api (perkeretaapian)
c. jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan barang dan penumpang; dan
d. jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana ayat (1) huruf b meliputi:
a. tatanan kepelabuhanan; dan
b. alur pelayaran.
(4) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana ayat (1) huruf c meliputi:
a. tatanan kebandarudaraan; dan
b. ruang udara untuk penerbangan.

Paragraf 2
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Darat

Pasal 13

(1) Jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) huruf a meliputi:
a. jaringan jalan nasional;
b. jaringan jalan provinsi;
c. jaringan jalan kabupaten;
d. jaringan jalan strategis kabupaten ;dan
e. jaringan jalan bebas hambatan kabupaten.
(2) Jaringan jalan nasional sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a meliputi:
a. jalan K 1 Saragih – Manduamas - Barus (SP. Husor) sepanjang 50,015 Km;

Hal 13 dari 87
b. jalan K 1 Barus - Batas Kota Sibolga sepanjang 60,607 Km;
c. jalan K 1 batas Kota Sibolga – Batangtoru sepanjang 31,484 Km;dan
d. jalan K 1 rampa – Poriaha/Mungkur sepanjang 18,500 Km.
(3) Jaringan jalan provinsi sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b meliputi:
a. ruas jalan K2 Barus – Batas Humbahas sepanjang 19,60 Km;
b. ruas jalan K2 Sorkam Kiri – Sigambo-gambo – Barus sepanjang 27,85 Km.
(4) Jaringan jalan kabupaten sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf c meliputi:
kolektor skunder dan jalan strategis kabupaten
(5) Jaringan jalan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d meliputi:
a. ruas jalan lingkar perkotaan pandan (tugu ikan – terminal pandan – aek horsik);
b. ruas jalan lingkar pinangsori (pinangsori – karet merah – sijagojago – lopian).
(6) Jaringan jalan bebas hambatan kabupaten sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf e
meliputi:
a. ruas jalan pondok batu – sibolga – rampa – sitahuis;
b. ruas jalan labuan angin – sibolga – tugu ikan – terminal pandan – aekhorsik –
pinangsori.
(7) Ketentuan tentang sistem jaringan jalan kabupaten lebih lanjut ditetapkan dengan
peraturan bupati

Pasal 14

(1) Sistem jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf
b merupakan bagian dari rencana pengembangan jaringan Kereta Api Trans Sumatera
terdiri atas:
a. jalur kereta api antar kota bagian barat yang menghubungkan batas Aceh – Sibolga
– batas Sumatera Barat;
b. jalur kereta api antar kota di bagian tengah utara yang menghubungkan Rantau
parapat – Gunung Tua – Padangsidimpuan – Sibolga;
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan perkeretapian mencakup kepentingan lintas
sektoral dan lintas wilayah yang memerlukan keterpaduan tindak dilakukan melalui
koordinasi dengan mengintegrasikan kepentingan berbagai sektor, wilayah, dan para
pemilik kepentingan dalam bidang perkeretaapian.

Pasal 15

(1) Jaringan prasarana lalu lintas dan angkutan barang dan penumpang sebagaimana
dimaksud pada pasal 12 ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. pengembangan dan pembangunan terminal;
b. penempatan alat pengawasan dan pengamanan jalan; dan
c. pengembangan perlengkapan jalan.
(2) Pengembangan dan pembangunan terminal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. penetapan terminal angkutan barang yaitu Terminal Kargo Labuan Angin
b. penetapan terminal angkutan penumpang yaitu Terminal Pandan
c. pembangunan terminal pembantu di Kecamatan Pinangsori, Kecamatan Tapian
Nauli, Kecamatan Barus, dan Kecamatan Manduamas.
(3) Penempatan alat pengawasan dan pengamanan jalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b berupa pembangunan jembatan timbang berada di Kecamatan Barus
dan Kecamatan Badiri.
(4) Pengembangan perlengkapan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. rambu lalu lintas;
b. rambu pendahulu penunjuk jurusan;
c. marka parkir;

Hal 14 dari 87
d. marka jalan;
e. zebra cross;
f. cermin tikungan;
g. penerangan jalan umum;dan
h. pengaman jalan / guard rail.

Pasal 16

(1) Jaringan pelayanan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12 ayat (2) huruf d berupa pengembangan jaringan trayek angkutan penumpang.
(2) Pengembangan jaringan trayek angkutan penumpang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas :
a. Angkutan Penumpang Antar Kota Luar Provinsi (AKLP) melayani angkutan
penumpang dari Kabupaten Tapanuli Tengah ke luar Provinsi Sumatera Utara
meliputi:
1. Pandan - Bukit Tinggi - Padang - Bengkulu;
2. Pandan - Pekanbaru - Jambi - Palembang;
3. Pandan - Manduamas - Singkil - Banda Aceh; dan
b. Angkutan Penumpang Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) melayani Kota Pandan ke
kota-kota lain di dalam Provinsi Sumatera Utara meliputi:
1. Pandan - Sibolga - Tarutung – Tobasa - Siantar – Tebing Tinggi - Medan;
2. Pandan – Sibolga – Tarutung – Tobasa – Siantar – Kisaran – BatuBara -
Tanjung Balai;
3. Pandan - Sidimpuan – Padang Lawas Utara - Rantauparapat
4. Pandan - Batangtoru – Sidempuan - Panyabungan
5. Sibabangun - Penyabungan;
6. Sibabangun - Gunungtua;
7. Sibabangun - Rantau Parapat
8. Sibabangun - Sipirok;
9. Sibabangun - Natal;
10. Barus - Humbanghasudutan - Sidikkalang - Kabanjahe - Medan;
11. Barus - Doloksanggul - Balige - Siantar;

Paragraf 3
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Laut

Pasal 17

(1) Pengembangan tatanan kepelabuhan adalah pelabuhan laut sebagaimana dimaksud


dalam pasal 12 ayat (3) huruf a, meliputi:
a. pelabuhan pengumpan regional; dan
b. pelabuhan pengumpan lokal.
(2) Pelabuhan pengumpan regional sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a
meliputi:
a. Barus;
b. Labuan Angin.
(3) Pelabuhan pengumpan lokal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi:
a. Manduamas
b. Muara Tapus
(4) Alur pelayaran laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (3) huruf b ditetapkan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hal 15 dari 87
Paragraf 4
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi Udara

Pasal 18

Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pasal 12 ayat (4) terdiri atas:
a. tatanan kebandar udaraan; dan
b. ruang udara untuk penerbangan.

Pasal 19

(1) Tatanan kebandar udaraan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 huruf a meliputi
pengembangan dan pembangunan fasilitas Bandara Dr. Ferdinand Lumban Tobing di
Kecamatan Pinangsori sebagai bandara pengumpan.
(2) Ruang udara untuk penerbangan sebagaimana dimaksud pada pasal 18 huruf b terdiri
atas ruang udara diatas bandar udara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan.
(3) Ruang udara di sekitar bandara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. kawasan pendaratan dan lepas landas;
b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;
c. kawasan di bawah permukaan transisi;
d. kawasan di bawah permukaan horizontal dalam;
e. kawasan di bawah permukaan kerucut;
f. kawasan di bawah pemukaan horizontal luar; dan
g. kawasan di sekitar penempatan alat bantu navigasi penerbangan.
(4) Pengembangan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(3) mengacu terhadap rencana induk bandar udara sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan penerbangan.

Bagian Keempat
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Energi

Paragraf 1
Sistem dan Tujuan Pengembangan Jaringan Energi

Pasal 20

Sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. pembangkit tenaga listrik dan gardu induk;
b. jaringan transmisi tenaga listrik; dan
c. jaringan minyak dan gas bumi.

Paragraf 2
Rencana Pengembangan Jaringan Energi

Pasal 21

(1) Pembangkit tenaga listrik dan gardu induk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
huruf a terdiri atas:
a. pembangkit tenaga listrik; dan
b. gardu induk.

Hal 16 dari 87
(2) Pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. mengoptimalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Labuhan Angin,
Kecamatan Tapian Nauli dengan kapasitas daya terpasang sebesar 230 (dua ratus
tiga puluh) MW;
b. mengoptimalkan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Sipan Sihaporas dengan
kapasitas daya terpasang 50 (lima puluh) MW;
c. mengoptimalkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Aek Raisan I dan
Aek Raisan II di Kecamatan Sitahuis;
(3) Rencana pembangunan pembangkit listrik baru berbasiskan pertambangan batubara,
panas bumi meliputi:
a. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuan Angin;
b. Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sitardas;
(4) Rencana pengembangan energi listrik berupa energi terbaru yang bisa dikembangkan
meliputi energi gelombang laut, energi surya, energi angin, Bioenergy, Microhydro, dan
Biomasa tersebar di wilayah kabupaten.
(5) Gardu induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Kecamatan Tapian Nauli;
b. Kecamatan Sitahuis;
c. Kecamatan Pandan
d. Kecamatan Pinangsori; dan
e. Kecamatan Barus.
(6). Rencana pengembangan gardu induk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
berlokasi pada pusat-pusat kegiatan.

Pasal 22

(1) Jaringan transmisi tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada pasal 20 huruf b terdiri
atas:
a. Saluran Udara Tenaga Energi Tinggi (SUTET) dengan kapasitas 150 kV, meliputi:
1. Kecamatan Tapian Nauli; dan
2. Kecamatan Pandan.
b. peningkatan dan pengembangan jaringan transmisi listrik berupa pemerataan
pelayanan listrik di seluruh desa dalam wilayah kabupaten; dan
c. pengembangan sistem jaringan kabel listrik bawah tanah pada kawasan perkotaan
dalam wilayah kabupaten.
(2) Jaringan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada pasal 20 huruf c berupa
stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tersebar di wilayah kabupaten.

Bagian Kelima
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Telekomunikasi

Paragraf 1
Sistem dan Tujuan Pengembangan Jaringan Telekomunikasi

Pasal 23

(1) Sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf d
meliputi:
a. jaringan terestrial meliputi sistem kabel dan sistem nirkabel; dan
b. jaringan satelit.
(2) Jaringan terestrial, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diarahkan pada:
a. pengembangan secara berkesinambungan untuk menyediakan pelayanan
telekomunikasi di seluruh wilayah kabupaten;
b. menata lokasi menara telekomunikasi dan Base Transceiver Station (BTS) untuk
pemanfaatan secara bersama sama antar operator; dan

Hal 17 dari 87
c. pemanfaatan jaringan terestrial sistem nirkabel dengan penutupan wilayah
blankspot pada wilayah berbukit, pegunungan atau wilayah terpencil.
(3) Jaringan satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dikembangkan untuk
melayani kawasan perkotaan nasional, kawasan andalan, kawasan perbatasan
negara, kawasan tertinggal dan terisolasi, termasuk pulau-pulau kecil serta melengkapi
sistem jaringan telekomunikasi melalui satelit komunikasi dan stasiun bumi.
(4) Pengembangan jaringan telekomunikasi bertujuan untuk mewujudkan sarana
komunikasi dan informasi yang menjangkau seluruh wilayah dalam kapasitas dan
pelayanannya guna untuk peningkatan kualitas hidup masyarakat, mendukung aspek
politik dan pertahanan negara.

Paragraf 2
Rencana Pengembangan Jaringan Telekomunikasi

Pasal 24

(1) Pengembangan sistem jaringan telekomunikasi meliputi:


a. Pengembangan sistem jaringan teristerial kabel serat optik di kawasan perkotaan
b. pengembangan sistem jaringan terestrial kabel dan nirkabel di jaringan pusat
pelayanan wilayah pantai.
c. pengembangan menara bersama telekomunikasi dikawasan perkotaan, daerah
komersil, dan blankspot jaringan wilayah perdesaan; dan
d. peningkatan sinergi dan integrasi prasarana jaringan telekomunikasi

Bagian Keenam
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Sumber Daya air

Paragraf 1
Sistem dan Tujuan Pengembangan Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 25

(1) Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat 1 huruf e,
meliputi:
a. jaringan sumber daya air; dan
b. Prasarana sumber daya air.
(2) Jaringan sumber daya air sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a, meliputi:
a. Sistim jaringan daerah aliran sungai;
b. Sistem jaringan irigasi;
c. Sistem air baku untuk air bersih;
d. Sistem jaringan air bersih untuk kelompok pengguna; dan
e. Sistem pengendalian banjir.
(3) Prasarana sumber daya air sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf b
meliputi:
a. prasarana irigasi;
b. prasarana air minum; dan
c. prasarana pengendalian daya rusak air.
(4) Pengembangan jaringan sumber daya air dan prasarana sumber daya air bertujuan
untuk mendukung ketahanan pangan, ketersediaan air baku, pengendalian banjir dan
pengamanan pantai

Hal 18 dari 87
Paragraf 2
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 26

(1) Sistem jaringan daerah aliran sungai sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2)
huruf a meliputi:
a. Pengembangan jaringan sumber daya air permukaan yang terdiri dari induk sungai,
anak sungai dari Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi:
1. DAS Bangop seluas kurang lebih 27.065 (dua puluh tujuh ribu enam puluh lima)
hektar;
2. DAS Batang Toru seluas kurang lebih 55 (lima puluh lima) hektar;
3. DAS Batu Gerigis seluas kurang lebih 39.404 (tiga puluh sembilan ribu empat
ratus empat) hektar;
4. DAS Garoga seluas kurang lebih 17.236 (tujuh belas ribu dua ratus tiga puluh
enam) hektar
5. DAS Kalimantong Nagodang seluas kurang lebih 134 (seratus tiga puluh empat)
hektar;
6. DAS Lau Kandang seluas kurang lebih 10 (sepuluh) hektar;
7. DAS Kolang seluas kurang lebih 58.218 (lima puluh delapan ribu dua ratus
delapan belas) hektar;
8. DAS Lumut seluas kurang lebih 43.298 (empat puluh tiga ribu dua ratus sembilan
puluh delapan) hektar ;
9. DAS Mursala seluas kurang lebih 7.551 (tujuh ribu lima ratus lima puluh satu)
hektar;
10. DAS Nabirong seluas kurang lebih 43.919 (empat puluh tiga ribu sembilan ratus
sembilan belas) hektar ;
11. DAS Sibin seluas kurang lebih 12.305 ; (dua belas ribu tiga ratus lima) hektar;
12. DAS Sibundong seluas kurang lebih 116.790(seratus enam belas ribu tujuh ratus
sembilan puluh) hektar;
13. DAS Silabu-labu seluas kurang lebih 22 (dua puluh dua) hektar;
14. DAS Silabu-labu na menek seluas kurang lebih 29 (dua puluh sembilan)hektar;
15. DAS Silabu-labu nagodang seluas kurang lebih 168 (seratus enam puluh
delapan) hektar;
16. DAS Sitaban Barat seluas kurang lebih 257 (dua ratus lima puluh tujuh) hektar;
dan
17. DAS Tungka seluas kurang lebih 7.185 (tujuh ribu seratus delapan puluh lima)
hektar.
b. pengembangan sumber daya air meliputi danau dan waduk yang meliputi Danau
Pandan di Kecamatan Pinangsori, Danau Sorkam di Kecamatan Sorkam dan
Waduk Sipan Sihaporas di Kecamatan Pandan;
c. pengembangan sumber daya air pada kawasan rawa tersebar di Kecamatan Suka
Bangun, Kecamatan Lumut, Kecamatan Badiri, Kecamatan Tapian Nauli,,
Kecamatan Kolang, Kecamatan Sorkam Barat, Kecamatan Sosorgadong,,
Kecamatan Andamdewi, dan Kecamatan Manduamas,
(2) Sistem jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2) huruf b
meliputi:
a. DI kewenangan pemerintah yaitu DI Badiri Lopian kurang lebih 1.283 (seribu dua
ratus delapan puluh tiga) hektar di Kecamatan Badiri.
b. DI kewenangan pemerintah provinsi yang meliputi :
1. DI Siaili Tukka seluas kurang lebih 1.057 (seribu lima puluh tujuh) hektar;
2. DI Pandurungan/Sitandiang seluas kurang lebih 1.769 (seribu tujuh ratus enam
puluh sembilan) hektar di kecamatan pinangsori;
3. DI Sihiong seluas kurang lebih 2.000 (dua ribu) hektar di Kecamatan Lumut;

Hal 19 dari 87
4. DI Mombang boru seluas kurang lebih 890 (delapan ratus sembilan puluh)hektar
di kecamatan sibabangun yang merupakan lintas kabupaten/kota dengan
batangtoru.
c. DI kewenangan pemerintah kabupaten yang meliputi:
1. DI Sitakurak seluas kurang lebih 1.057 (seribu lima puluh tujuh) hektar di
kecamatan barus.
(3) Sistem air baku untuk air bersih sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (2)
huruf c dilakukan dengan cara:
1. perlindungan terhadap sumber-sumber air dan daerah resapan air; dan
2. optimalisasi pemanfaatan potensi air baku.
(4) Sistem jaringan air bersih untuk kelompok pengguna sebagaimana dimaksud dalam
pasal 25 ayat (2) huruf d meliputi:
a. jaringan air bersih di PKL Pandan dan Barus;
b. jaringan air bersih di PPK Manduamas, Sorkam Barat, Pinangsori, Sarudik dan
Tapian Nauli;dan
c. jaringan air bersih di PPL Sirandorung, Andam Dewi, Barus Utara, Sosorgadong,
Pasaribu Tobing, Sorkam, Kolang, Sitahuis, Tukka, Badiri, Lumut, Sibabangun,
dan Sukabangun.
(5) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 ayat (2) huruf e
meliputi:
a. rehabilitasi dan reboisasi kawasan hulu dan DAS;
b. normalisasi sungai, pengerukan sungai, pengaturan sistem drainase, sumur
resapan, penghijauan dan pemberdayaan masyarakat;
c. menetapkan sebagian dari kawasan banjir sebagai kawasan lindung karena
merupakan bagian dari ekosistem rawa/tanah basah (wet land);
d. pengembangan tanggul untuk abrasi pada jalur pantai

Bagian Ketujuh
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Wilayah Lainnya
Paragraf 1

Pasal 27

Sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf f
meliputi:
a. Rencana sistem penyediaan dan pengelolaan air minum;
b. Rencana sitem jaringan drainase
c. Rencana sistem pengelolaan persampahan;
d. Rencana sistem pengelolaan air limbah; dan
e. Rencana sistem pengembangan jalur dan ruang evakuasi bencana alam .

Paragraf 2

Pasal 28

(1) Rencana sistem penyediaan dan pengelolaan air minum, dikembangkan pada pusat-
pusat permukiman dengan memanfaatkan air permukaan pada kawasan pusat
kegiatan wilayah, lokal dan kawasan, yaitu ;
a. PKL Pandan dan Barus;
b. PPK Manduamas, Sorkam Barat, Pinangsori, Sarudik dan Tapian Nauli;
c. PPL Sirandorung, Andam Dewi, Barus Utara, Sosorgadong, Pasaribu Tobing,
Sorkam, Kolang, Sitahuis, Tukka, Badiri, Lumut, Sukabangun, dan Sibabangun.

Hal 20 dari 87
(2) Rencana sistem jaringan drainase di Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi ;
a. pembangunan saluran drainase skala tersier di PKL dan PPK;
b. pemeliharaan saluran drainase;
c. perbaikan dan normalisasi saluran drainase; dan
d. perencanaan drainase terpadu dengan jaringan jalan.
(3) Rencana sistem pengelolaan persampahan di Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi:
a. pembangunan Tempat Penampungan Sementara (TPS) 3 R di setiap wilayah
kecamatan sebagai tempat pembuangan sampah pasar dan rumah tangga;
b. optimalisasi tempat pemrosesan Tempat Pengelolaan Akhir (TPA) Sampah
Regional di Aek Nabobar Kecamatan Pinangsori dan TPA sampah di Kecamatan
Sosorgadong dengan sistem sanitari landfill ;
c. pengembangan sistem pengelolaan dan pemrosesan sampah secara terpadu,
mandiri dan berkelanjutan di sumber penghasil sampah; dan
d. pengelolaan persampahan rumah tangga berbasis masyarakat dengan konsep
3R, yaitu reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), dan recyle
(mendaur ulang).
(4) Rencana sistem pengembangan pengelolaan air limbah meliputi:
a. Pengelolaan Limbah Rumah Tangga
b. Pengelolaan Limbah Cair dan Limbah B3
(5) Pengelolaan Limbah Rumah Tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a
meliputi :
a. peningkatan pengelolaan limbah rumah tangga di kawasan permukiman;
b. penyediaan sarana pendukung pengelolaan limbah rumah tangga;
c. penanganan limbah secara on site dengan pembangunan jamban keluarga, jamban
komunal dan Mandi Cuci Kakus umum;
d. penanganan limbah secara off site dengan sistem perpipaan dengan membangun
Instalasi Pengolah Air limbah (IPAL) Komunal;
e. penanganan limbah tinja dengan Instalasi Pengolah Lumpur Tinja (IPLT); dan
f. menyediakan sarana pengangkutan limbah ke lokasi pengolahan limbah.
(4) Pengelolaan limbah cair dan limbah B3 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b
meliputi:
a. pengembangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) terpadu untuk kegiatan
industri besar dan menengah di Kecamatan Tapian Nauli
b. pengembangan instalasi pengelolaan limbah B3 di kawasan industri sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(5) Rencana sistem pengembangan jalur dan ruang evakuasi bencana di Kabupaten
Tapanuli Tengah adalah :
a. jalur evakuasi diarahkan pada jalan poros desa dan jalan kolektor;
b. pengembangan ruang evakuasi bencana diarahkan pada balai desa/keluarahan,
lapangan terbuka, bangunan sekolah, dan bangunan fasilitas umum lainnya.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 29

(1) Rencana pola ruang wilayah kabupaten meliputi:


a. kawasan lindung; dan
b. kawasan budidaya.
(2) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a meliputi :
a. kawasan hutan lindung;

Hal 21 dari 87
b. kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya ;
c. kawasan perlindungan setempat;
d. kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. kawasan rawan bencana alam;
f. kawasan lindung geologi; dan
g. kawasan lindung lainnya.
(3) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b terdiri atas :
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan pertanian;
c. kawasan peruntukan perikanan dan kelautan;
d. kawasan peruntukan pertambangan;
e. kawasan peruntukan industri;
f. kawasan peruntukan pariwisata;
g. kawasan peruntukan permukiman;dan
h. kawasan peruntukan lainnya.
(4) Penetapan kawasan lindung dilakukan dengan mengacu pada pola ruang kawasan
lindung yang telah ditetapkan secara nasional sebagaimana tercantum dalam lampiran
III merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan daerah
ini
(5) Rencana pola ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
digambarkan dalam peta rencana pola ruang kabupaten dengan tingkat ketelitian
minimal 1:50.000 sebagai tercantum dalam lampiran IV peta rencana pola ruang
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan daerah ini.
Bagian Kedua
Rencana Pengembangan Pola Kawasan Lindung
Paragraf 1
Rencana Pengembangan Kawasan Hutan Lindung
Pasal 30

Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf a berupa
hutan lindung dengan luas kurang lebih 58.647 (lima puluh delapan ribu enam ratus empat
puluh tujuh) hektar meliputi:
a. Kecamatan Badiri seluas kurang lebih 3.038 (tiga ribu tiga puluh delapan) hektar;
b. Kecamatan Sibabangun seluas kurang lebih 988 (sembilan ratus delapan puluh delapan)
hektar;
c. Kecamatan Lumut seluas kurang lebih 939 (sembilan ratus tiga puluh sembilan) hektar;
d. Kecamatan Tukka seluas kurang lebih 6.811 (enam ribu delapan ratus sebelas) hektar;
e. Kecamatan Sarudik seluas kurang lebih 3.644 (tiga ribu enam ratus empat puluh empat)
hektar;
f. Kecamatan Tapian Nauli seluas kurang lebih 7.768 (tujuh ribu tujuh ratus enam puluh
delapan) hektar;
g. Kecamatan Sitahuis seluas kurang lebih 6.114 (enam ribu seratus empat belas) hektar;
h. Kecamatan Kolang seluas kurang lebih 5.797 (lima ribu tujuh ratus sembilan puluh tujuh)
hektar;
i. Kecamatan Sorkam Barat seluas kurang lebih 1.010 (seribu sepuluh) hektar;
j. Kecamatan Pasaribu Tobing seluas kurang lebih 1.136 (seribu seratus tiga puluh enam)
hektar;
k. Kecamatan Sosor Gadong seluas kurang lebih 16.353 (enam belas ribu tiga ratus lima
puluh tiga) hektar;
l. Kecamatan Andam Dewi 2.341 (dua ribu tiga ratus empat puluh satu) hektar;
m.Kecamatan Maduamas 182 (seratus delapan puluh dua) hektar;
n. Kecamatan Sirandorung 632 (enam ratus tiga puluh dua) hektar;
o. Kecamatan Barus Utara 316 (tiga ratus enam belas) hektar; dan
p. Kecamatan Pandan 1.578 (seribu lima ratus tujuh puluh delapan) hektar.

Hal 22 dari 87
Paragraf 2
Rencana Pengembangan Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap
Kawasan Dibawahnya

Pasal 31

(1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b meliputi:
a. kawasan bergambut; dan
b. kawasan resapan air;
(2) Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Kecamatan Badiri;
b. Kecamatan Kolang;
c. Kecamatan Sosorgadong;
d. Kecamatan Andamdewi;
e. Kecamatan Manduamas.
(3) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Kecamatan Sibabangun;
b. Kecamatan Tukka;
c. Kecamatan Sarudik;
d. Kecamatan Sitahuis;
e. Kecamatan Tapian Nauli;
f. Kecamatan Kolang;
g. Kecamatan Pasaributobing;
h. Kecamatan Sorkam; dan
i. Kecamatan Manduamas.

Paragraf 3
Rencana Pengembangan Kawasan Perlindungan Setempat

Pasal 32

(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf
c terdiri atas:
a. sempadan pantai;
b. sempadan sungai;
c. kawasan sekitar waduk dan danau;
d. kawasan sekitar mata air ;dan
e. Ruang Terbuka Hijau kawasan perkotaan.
(2) Sempadan pantai, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi:
a. daratan sepanjang tepian pantai ditetapkan minimal 200 meter dari titik pasang
tertinggi kearah darat. Pengecualiannya adalah kawasan-kawasan terbangun,
seperti pelabuhan, TPI, dan lain sebagainya, dikeluarkan dari kawasan sempadan
pantai dan merupakan bagian dari kawasan budidaya;
b. kawasan pesisir Pantai Barat yaitu Kecamatan Badiri, Kecamatan Pandan,
Kecamatan Sarudik, Kecamatan Tapian Nauli, Kecamatan Kolang, Kecamatan
Sorkam, Kecamatan Sorkam Barat, Kecamatan Sosorgadong, Kecamatan Barus,
Kecamatan Andam Dewi, Kecamatan Sirandorung dan Kecamatan Manduamas.
(3) Sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, meliputi seluruh
sungai yang melewati Kabupaten Tapanuli Tengah.
(4) Kawasan sekitar waduk atau danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c,
terdiri atas:
a. Danau Pandan meliputi Kecamatan Pinangsori; dan
b. Waduk Sipan Sihaporas meliputi Kecamatan Pandan.
c. Kawasan sekitar mata air kurang lebih radius 200 meter.

Hal 23 dari 87
(5) RTH kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dengan luas
RTH kurang lebih 30% (tiga puluh persen) dari luas seluruh perkotaan meliputi:
a. RTH Perkotaan Pandan;
b. RTH Perkotaan Pinangsori;
c. RTH Perkotaan Tapian Nauli;
d. RTH Perkotaan Sarudik;
e. RTH Perkotaan Sorkam Barat;
f. RTH Perkotaan Barus;dan
g. RTH Perkotaan Manduamas.

Paragraf 4
Rencana Pengembangan Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam dan Cagar Budaya

Pasal 33

(1) Kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 29 ayat (2) huruf d terdiri atas:
a. kawasan suaka alam;
b. kawasan pelestarian alam;
c. kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; dan
d. kawasan lindung wilayah laut.
(2) Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hutan
bakau yang meliputi :
a. Kecamatan Pinangsori;
b. Kecamatan Badiri;
c. Kecamatan Tapian Nauli;
d. Kecamatan Sosorgadong;
e. Kecamatan Sirandorung; dan
f. Kecamatan Manduamas.
(3) Kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi
kawasan Hutan Batangtoru dan kawasan jajaran Bukit Barisan.
(4) Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi :
a. situs bersejarah islam di Barus
b. benteng portugis di Barus
c. perairan laut
d. pegunungan bukit barisan
(5) Kawasan lindung wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi
a. Kawasan Konservasi Kekayaan Laut Daerah (KKLD);
b. Kawasan perlindungan mangrove (bakau) di kecamatan Badiri dan Kecamatan
Sosorgadong serta diseluruh muara sungai besar;
c. Kawasan perlindungan pulau-pulau kecil dan terumbu karang.

Paragraf 5
Rencana Pengembangan Kawasan Rawan Bencana

Pasal 34

(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf
e, terdiri atas:
a. kawasan rawan longsor;
b. kawasan rawan banjir;
c. kawasan rawan gelombang pasang surut;
d. kawasan rawan gempa bumi;

Hal 24 dari 87
e. kawasan rawan tsunami;dan
f. kawasan rawan gerak tanah.
(2) Kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksud dalam ayar (1) huruf a meliputi :
a. Kecamatan Andam Dewi;
b. Kecamatan Badiri;
c. Kecamatan Kolang;
d. Kecamatan Lumut;
e. Kecamatan Maduamas;
f. Kecamatan Pandan;
g. Kecamatan Pasaribu Tobing;
h. Kecamatan Pinangsori;
i. Kecamatan Sarudik;
j. Kecamatan Sibabangun;
k. Kecamatan Sirandorung;
l. Kecamatan Sitahuis;
m. Kecamatan Sorkam;
n. Kecamatan Sorkam Barat;
o. Kecamatan Sosorgadong; dan
p. Kecamatan Tukka.
(3) Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Kecamatan Pandan;
b. Kecamatan Sarudik;
c. Kecamatan Sorkam;
d. Kecamatan Barus;
e. Kecamatan Sorkam Barat;dan
f. Kecamatan Kolang.
(4) Kawasan rawan gelombang pasang surut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c meliputi :
a. Kecamatan Badiri;
b. Kecamatan Pandan;
c. Kecamatan Sarudik;
d. Kecamatan Sorkam;
e. Kecamatan Sosorgadong;
f. Kecamatan Barus;dan
g. Kecamatan Andamdewi.
(5) Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi :
a. Kecamatan Andam Dewi;
b. Kecamatan Badiri;
c. Kecamatan Kolang;
d. Kecamatan Lumut;
e. Kecamatan Manduamas;
f. Kecamatan Pinangsori;
g. Kecamatan Sibabangun;
h. Kecamatan Sirandorung;
i. Kecamatan Sorkam;
j. Kecamatan Sosorgadong;
k. Kecamatan Tukka; dan;dan
l. Kecamatan Tapian Nauli.
(6) Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e , meliputi :
a. Kecamatan Andam Dewi;
b. Kecamatan Badiri;
c. Kecamatan Barus;
d. Kecamatan Kolang;
e. Kecamatan Manduamas;
f. Kecamatan Pandan;

Hal 25 dari 87
g. Kecamatan Pinangsori;
h. Kecamatan Sarudik;
I . Kecamatan Sirandorung;
j . Kecamatan Sorkam;
k. Kecamatan Sorkam Barat;
l. Kecamatan Sibabangun;
m. Kecamatan Sosorgadong; dan
n. Kecamatan Tapian Nauli.
(7) Kawasan rawan gerak tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f berada
disepanjang ruas jalan Sibolga-Tarutung meliputi Kecamatan Sitahuis.

Paragraf 6
Rencana Pengembangan Kawasan Lindung Geologi
Pasal 35

(1) Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf f, terdiri
atas kawasan rawan bencana alam geologi.
(2) Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri
atas:
a. kawasan rawan bencana gempa bumi;
b. kawasan rawan tsunami.;
c. kawasan rawan gerakan tanah.

Paragraf 7
Kawasan Lindung Lainnya

Pasal 36

(1) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf g,
terdiri atas:
a. Kawasan terumbu karang; dan
b. Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
(2) Kawasan terumbu karang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a yang meliputi :
a. Kawasan Pulau Pulau Mursala di Kecamatan Tapian Nauli
b. Kecamatan Badiri.
(3) Kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
akan diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)
kabupaten.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Pola Kawasan Budi Daya
Paragraf 1
Rencana Pengembangan Pola Kawasan Peruntukan Hutan Produksi

Pasal 37

(1) Kawasan peruntukkan hutan produksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
huruf a, terdiri atas:
a. kawasan hutan produksi terbatas; dan
b. kawasan hutan produksi tetap.
(2) Kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dengan
luas kurang lebih 52.280 (lima puluh dua ribu dua ratus delapan puluh) hektar meliputi:
a. Kecamatan Manduamas;
b. Kecamatan Sirandorung;

Hal 26 dari 87
c. Kecamatan Andam Dewi;
d. Kecamatan Sosorgadong;
e. Kecamatan Pasaribu Tobing; ;
f. Kecamatan Sorkam Barat;
g. Kecamatan Sorkam;
h. Kecamatan Kolang;dan
i. Kecamatan Tapian Nauli.
(3) Hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dengan luas kurang
lebih 7.662 (tujuh ribu enam ratus enam puluh dua) hektar meliputi:
a. Kecamatan Kolang;
b. Kecamatan Tapian Nauli
c. Kecamatan Tukka;dan
d. Kecamatan Sibabangun.

Paragraf 2
Rencana Pengembangan Kawasan Peruntukan Pertanian

Pasal 38

(1) Kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf
b terdiri atas pertanian lahan basah seluas 12.458 (dua belas ribu empat ratus lima
puluh delapan) hektar dan pertanian lahan kering seluas 26.653 (dua puluh enam ribu
enam ratus lima puluh tiga) hektar yang meliputi:
a. kawasan budidaya tanaman pangan;
b. kawasan budidaya hortikultura;
c. kawasan budidaya perkebunan; dan
d. kawasan budidaya peternakan.
(2) Kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. Kecamatan Kolang;
b. Kecamatan Sorkam;
c. Kecamatan Sorkam Barat;
d. Kecamatan Tukka; dan
e. Kecamatan Sibabangun.
(3) Kawasan budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Kecamatan Kolang; dan
b. Kecamatan Sibabangun.
(4) Kawasan budidaya hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan
komoditas unggulan terdiri atas mangga dan durian.
(5) Kawasan budidaya perkebunan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dengan
luas kurang lebih 40.386 (empat puluh ribu tiga ratus delapan puluh enam) hektar
meliputi:
a. Kecamatan Kolang
b. Kecamatan Sibabangun;
c. Kecamatan Pinangsori;
d. Kecamatan Tukka;
e. Kecamatan Sosorgadong;
f. Kecamatan Manduamas.
(6) Kawasan budidaya perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan
komoditas unggulan terdiri atas kelapa sawit, coklat, karet, kelapa, dan kopi.
(7) Kawasan budidaya peternakan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, terdiri
atas:
a. Ternak besar yang dikelola rakyat dengan jenis hewan sapi potong, sapi perah dan
kerbau meliputi:

Hal 27 dari 87
1. Kecamatan Tapian Nauli;
2. Kecamatan Tukka ;dan
3. Kecamatan Barus.
b. Ternak kecil yang dikelola rakyat dengan jenis hewan kambing, dan babi meliputi:
1. Kecamatan Sitahuis
2. Kecamatan Tukka
3. Kecamatan Lumut; dan
4. Kecamatan Barus Utara.
c. Ternak unggas meliputi:
1. Kecamatan Badiri; dan
2. Kecamatan Barus.

Paragraf 3
Rencana Kawasan Peruntukan Perikanan dan Kelautan

Pasal 39

(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf
c, terdiri atas:
a. Kawasan perikanan tangkap;
b. Kawasan budidaya perikanan; dan
c. kawasan peruntukan pengolahan ikan.
(2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Kecamatan Sarudik;
b. Kecamatan Tapian Nauli;
c. Kecamatan Pandan;
d. Kecamatan Badiri;
e. Kecamatan Sorkam;
f. Kecamatan Sorkam Barat;
g. Kecamatan Barus;
h. Kecamatan Andam Dewi; dan
i. Kecamatan Manduamas.
(3) Kawasan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. Kecamatan Tapian Nauli;
b. Kecamatan Badiri;
c. Kecamatan Andam Dewi;
d. Kecamatan Pinangsori;
e. Kecamatan Lumut; dan
f. Kecamatan Sibabangun.
(4) Kawasan peruntukan pengolahan ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
berada di Kecamatan Sarudik dan Kecamatan Tapian Nauli
(5) Kawasan Pengembangan Pangkalan Ikan (PPI) dan Tempat Penangkapan Ikan (TPI)
yaitu di TPI Labuan Angin, PPI Sorkam dan PPI Barus

Paragraf 4
Rencana Kawasan Peruntukan Pertambangan

Pasal 40

(1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
huruf d, terdiri atas:
a. kawasan pertambangan mineral logam;
b. kawasan pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan batuan;
c. kawasan pertambangan batubara;
d. kawasan pertambangan rakyat.

Hal 28 dari 87
(2) Kawasan pertambangan mineral logam sebagimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
terdiri atas emas, timah, seng dan perak meliputi:
a. Kecamatan Manduamas,
b. Kecamatan Barus Utara,
c. Kecamatan Sirandorung,
d. Kecamatan Sorkam Barat,
e. Kecamatan Sorkam,
f. Kecamatan Kolang,
g. Kecamatan Tapian Nauli,
h. Kecamatan Sitahuis,
i. Kecamatan Tukka,
j. Kecamatan Badiri,
k. Kecamatan Pinangsori,
l. Kecamatan Lumut,
m. Kecamatan Sibabangun,
n. Kecamatan Sukabangun,
o. Kecamatan Andam Dewi.
(3) Kawasan pertambangan mineral bukan logam dan pertambangan batuan sebagimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas batu gamping, batu cadas dan pasir
sedimen meliputi:
a. Kecamatan Manduamas,
b. Kecamatan Andamdewi,
c. Kecamatan Sirandorung,
d. Kecamatan Barus,
e. Kecamatan Sosorgadong,
f. Kecamatan Pasaributobing,
g. Kecamatan Sorkam,
h. Kecamatan Sorkam Barat,
i. Kecamatan Kolang,
j. Kecamatan Tapian Nauli,
k. Kecamatan Sarudik,
l. Kecamatan Pandan,
m. Kecamatan Tukka,
n. Kecamatan Badiri,
o. Kecamatan Pinangsori,
p. Kecamatan Lumut,
q. Kecamatan Sibabangun, dan
r. Kecamatan Sukabangun.
(4) Kawasan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
meliputi:
a. Kecamatan Badiri;
b. Kecamatan Kolang; dan
c. Kecamatan Sosorgadong.
(5) Kawasan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf d meliputi:
a. Kecamatan Sibabangun;
b. Kecamatan Pinangsori; dan
c. Kecamatan Tukka;
d. Kecamatan Tapian Nauli;
e. Kecamatan Sitahuis;
f. Kecamatan Kolang;
g. Kecamatan Manduamas;
h. Kecamatan Andamdewi;
i. Kecamatan Barus;
j. Kecamatan Sorkam;
k. Kecamatan Sorkam Barat;

Hal 29 dari 87
l. Kecamatan Pasaributobing;
m. Kecamatan Sosorgadong;
n. Kecamatan Pandan;
o. Kecamatan Sarudik;
p. Kematan Badiri; dan
(6) Pengembangan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud ayat (1)
ditetapkan dengan Peraturan Bupati.

Paragraf 5
Rencana Kawasan Peruntukan Industri

Pasal 41

(1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf e,
terdiri atas:
a. kawasan peruntukan industri besar;
b. kawasan peruntukan industri menengah; dan
c. kawasan peruntukan industri kecil dan mikro.
(2) Kawasan peruntukan industri besar, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
berada di Pusat Industri Labuan Angin Kecamatan Tapian Nauli.
(3) Kawasan peruntukan industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
meliputi kawasan pesisir berlokasi di :
a. Kecamatan Sarudik; dan
b. Kecamatan Barus;
(4) Kawasan peruntukan industri kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
tersebar di seluruh kecamatan;
(5) Penetapan jenis komoditas dan lokasi kawasan peruntukan industri besar dan
menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b ditetapkan dengan
Peraturan Bupati.

Paragraf 6
Rencana Pengembangan Kawasan Peruntukan Pariwisata

Pasal 42

(1) Kawasan peruntukkan pariwisata, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 29 ayat
(3) huruf f terdiri atas:
a. pariwisata alam
b. pariwisata budaya dan sejarah;dan
c. pariwisata buatan.
(2) Pariwisata alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. Kecamatan Pinangsori dengan objek wisata adalah danau pandan, pemandian
sungai lubuk nabolon, sungai ramayana, dan air terjun aek nabobar;
b. Kecamatan Badiri dengan objek wisata adalah pantai ujung batu pari, pantai
kampung sawah sitandus, pantai maloko, pantai sikapas, pantai kampung danau,
pulau situngkus, pulau batu mandi, pulau batu layar,pantai bottot, pantai monyet,
pulau bakar, pulau ungge dan pantai sijago-jago;
c. Kecamatan Pandan dengan objek wisata adalah pantai bosur, bukit pondok batu,
air terjun labuan nasonang, sungai sibuluan, pantai labuan mandailing, pantai
sibuluan, pantai muara sibuluan, pantai muara nibung, pantai kalangan, pantai
hajoran, pantai pandan cerita;
d. Kecamatan Sarudik dengan objek wisata adalah bukit pondok batu, sungai sarudik,
pantai ujung batu, pantai labuan nasonang, pantai batu lubang, pulau poncan
gadang, pulau poncan ketek, air terjun sibuni-buni;

Hal 30 dari 87
e. Kecamatan Sitahuis dengan objek wisata adalah bukit anugerah, puncak bonan
dolok, sungai aek maranti, sungai aek raisan, air terjun batu lobang dan air terjun
bonan dolok;
f. Kecamatan Tapian Nauli dengan objek wisata pantai labuan angin, pantai mela,
pulau mursala, air terjun mursala, pulau silaban barat, pulau talam, pulau silabu na
menek, pulau silabu na godang, pulau kalimatung na menek, pulau kalimatung na
godang, pulau putri runduk, pulau raja janggi, pulau putih, air terjun aloban dan
pantai kuta;
g. Kecamatan Kolang dengan objek wisata adalah air terjun silaklak, sungai aek
sibundong, pantai muara kolang, pantai kayu putih, pantai tanah hitam, pantai rintis,
pantai bandang;
h. Kecamatan Sorkam Barat dengan objek wisata adalah pantai aek raso, pantai
binasi,pantai pasar sorkam
i. Kecamatan Barus dengan objek wisata adalah pantai pasar tarandam, pantai pasar
batu gerigis, pantai kade gadang,
j. Kecamatan Sorkam dengan objek wisata adalah sungai aek sibundong, pantai teluk
roban/bottot, pulau sorkam.
k. Kecamatan Andam Dewi dengan objek wisata adalah sungai aek husor, pantai
sitiris-tiris, pantai sipaubat, pantai aek busuk, pantai kinati, pantai kedai tiga, pulau
karang, pulau panjang, pulau dundun
l. Kecamatan Manduamas dengan objek wisata adalah pantai sitiris tiris, pantai
simanuk manuk.
(3) Pariwisata budaya dan sejarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa
situs sejarah meliputi:
a. Kecamatan Sitahuis dengan objek wisata adalah tugu peringatan perang gerilia,
makam raja panggabean,batu lobang;
b. Kecamatan Kolang dengan objek wisata adalah liang gorga, makam pahlawan
Dr. Ferdinan Lumbantobing;
c. Kecamatan Barus dengan objek wisata adalah makam papan tinggi, makam
mahligai, makam tuan madhdud, makam ibrahim syeh, makam tuan ambar,
benteng portugis, pasar tarandam, rumah tradisional barus, desa nelayan pasar
tarandam;
d. Kecamatan Barus Utara dengan objek wisata adalah batu cawan perjamuan kudus;
e. Kecamatan Andamdewi dengan objek wisata adalah batu ping, makam raja uti, lobu
tua, sungai aek busuk, permandian putri andam dewi, dan aek raja;
f. Kecamatan Sorkam dengan objek wisata adalah makam tuan hidayat;
g. Kecamatan Tukka dengan objek wisata adalah liang pagar gunung;
h. Kecamatan Tapian Nauli dengan objek wisata adalah makam raja sasi hutagalung.
(4) Pariwisata buatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa taman rekreasi
meliputi:
a. Kecamatan Pinangsori dengan objek wisata adalah bandara Dr. Ferdinan L.Tobing;
b. Kecamatan Pandan dengan objek wisata adalah PLTA Sipansihaporas;
c. Kecamatan Tapian Nauli dengan objek wisata adalah kawasan labuan angin;
d. Kecamatan Sorkam dengan objek wisata adalah lapangan terbang sat radar TNI.

Paragraf 7
Rencana Pengembangan Kawasan Peruntukan Permukiman

Pasal 43

(1) Kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3)
huruf g dengan luas kurang lebih 15.247 (lima belas ribu dua ratus empat puluh tujuh)
hektar terdiri atas:

Hal 31 dari 87
a. kawasan permukiman perkotaan; dan
b. kawasan permukiman perdesaan.
(2) Kawasan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. kawasan permukiman perkotaan ibukota Kabupaten;
b. kawasan permukiman perkotaan ibukota kecamatan; dan
c. pengembangan kawasan permukiman perkotaan khusus.
(3) Kawasan permukiman perkotaan ibukota Kabupaten sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a berupa kawasan permukiman perkotaan Pandan.
(4) Kawasan permukiman perkotaan ibukota Kecamatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf b berada di seluruh kecamatan.
(5) Pengembangan kawasan permukiman perkotaan khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf c berupa kawasan pengembangan perumahan skala besar mencakup
perumahan mewah, menengah dan sederhana yang ditunjang dengan fasilitas
rekreasi, olahraga dan fasilitas sosial umum lainnya secara terpadu.
(6) Pengembangan kawasan permukiman perkotaan khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (5) berada di Kecamatan Sarudik
(7) Kawasan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
tersebar di seluruh wilayah Kabupaten.

Paragraf 8
Kawasan Peruntukan Lainnya

Pasal 44

(1) Kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) huruf h
berupa kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan.
(2) Kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. kawasan pangkalan militer angkatan laut berada di Kecamatan Tapian Nauli.
b. Kawasan Sat Radar Angkatan Udara di Kecamatan Sorkam

BAB V
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Bagian Kesatu
Kawasan Strategis Kabupaten

Pasal 45

(1) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) terdiri atas:


a. kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi;
b. kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan sosial budaya; dan
c. kawasan strategis kabupaten dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup.
(2) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dari sudut kepentingan ekonomi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. KSK Labuan Angin berada di Kecamatan Tapian Nauli;
b. KSK Minapolitan berada di Kecamatan Sarudik, Kecamatan Tapian Nauli,
Kecamatan Sorkam Barat dan Kecamatan Barus; dan
c. KSK Agropolitan meliputi Kecamatan Manduamas, Kecamatan Kolang, Kecamatan
Badiri dan Kecamatan Sibabangun.

Hal 32 dari 87
(3) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dari sudut kepentingan sosial dan budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi Kawasan Strategis Kabupaten
(KSK) Cagar Budaya Barus berada di Kecamatan Barus dan Kecamatan Barus Utara.
(4) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) dari sudut kepentingan lingkungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Pulau
Mursala berada di Kecamatan Tapian Nauli.
(5) Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) ditindaklanjuti dengan penyusunan
Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.
(6) Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) digambarkan dalam peta
sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Daerah ini.

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 46

(1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten merupakan perwujudan rencana tata
ruang yang dijabarkan ke dalam indikasi program utama yang memuat uraian program
atau kegiatan, sumber pendanaan, instansi pelaksana, dan tahapan pelaksanaan.
(2) Arahan pemanfaatan ruang terdiri atas:
a. arahan perwujudan struktur ruang;
b. arahan perwujudan pola ruang ;
c. arahan perwujudan kawasan strategis; dan
d. indikasi program.
(3) Pelaksanaan RTRW Kabupaten terbagi dalam 4 (empat) tahapan terdiri atas:
a. tahap I (tahun 2013-2017);
b. tahap II (tahun 2018-2022);
c. tahap III (tahun 2023-2027); dan
d. tahap IV (tahun 2028-2033).
(4) Dalam setiap tahapan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah dilaksanakan
penyelenggaraan penataan ruang secara berkesinambungan yang meliputi :
a. sosialisasi RTRW;
b. perencanaan rinci;
c. pemanfaatan ruang;
d. pengawasan dan pengendalian; dan
e. evaluasi dan peninjauan kembali.
(5) Dalam hal pemanfaatan ruang yang telah mendapatkan hak pemanfaatan ruang yang
sah, sebelum diterbitkan perda ini, masih dibenarkan untuk melakukan kegiatan hingga
akhir massa haknya dan dapat mengajukan kembali perjanjian sesuai dengan rencana
pola ruang sebagaimana ditetapkan Perda ini
(6) Matrik indikasi program utama pemanfaatan ruang kabupaten tercantum dalam
Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua
Perwujudan Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 47

Perwujudan rencana struktur ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 46 ayat (2) huruf a terdiri atas:

Hal 33 dari 87
a. perwujudan sistem pusat kegiatan; dan
b. perwujudan sistem jaringan prasarana wilayah.

Pasal 48

(1) Perwujudan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a
terdiri atas:
a. penyusunan rencana rinci tata ruang untuk setiap PKL, PPK, PPL; dan
b. penataan PKL, PPK, dan PPL.
(2) Perwujudan sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana dimaksud Pasal 47 huruf
b terdiri atas:
a. perwujudan sistem jaringan transportasi;
b. perwujudan sistem jaringan energi;
c. perwujudan sistem jaringan telekomunikasi;
d. perwujudan sistem jaringan sumber daya air; dan
e. perwujudan sistem prasarana wilayah lainnya
(3) Perwujudan sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
terdiri atas:
a. program pembangunan jalan dan jembatan meliputi:
1. pembangunan jalan bebas hambatan;
2. peningkatan jalan nasional;
3. pembangunan dan peningkatan jalan provinsi;
4. pembangunan dan peningkatan jalan kabupaten;
5. pembangunan dan peningkatan jalan desa; dan
6. pembangunan dan peningkatan jembatan.
b. program rehabilitasi/pemeliharaan jalan dan jembatan meliputi:
1. rehabilitasi/pemeliharaan jalan nasional;
2. rehabilitasi/pemeliharaan jalan provinsi;
3. rehabilitasi/pemeliharaan jalan kabupaten;
4. rehabilitasi/pemeliharaan jalan desa; dan
5. rehabilitasi/pemeliharaan jembatan.
c. program pembangunan sarana dan prasarana perhubungan meliputi:
1. pembangunan terminal;
2. peningkatan pelayanan angkutan melalui pengembangan trayek angkutan
umum;
3. optimalisasi sarana pengawasan dan pengamanan jalan;
4. peningkatan ketersediaan dan kualitas perlengkapan jalan;
5. pembangunan jalan pintas jalur kereta api;
6. peningkatan kualitas fisik jalur kereta api;
7. pengembangan stasiun kereta api;
8. peningkatan dan rehabilitasi sarana dan prasarana angkutan laut; dan
9. Peningkatan dan rehabilitasi sarana dan prasarana angkutan udara.
(4) Perwujudan sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri
atas:
a. program pengembangan ketenagalistrikan meliputi:
1. pengembangan pembangkit tenaga listrik dan gardu induk; dan
2. pengembangan transmisi tenaga listrik;
b. program pengembangan energi berupa pengembangan prasarana energi lainnya.
(5) Perwujudan sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
c terdiri atas:
a. pengembangan jaringan serat optik; dan
b. pengembangan sistem telekomunikasi nirkabel.
(6) Perwujudan sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf d terdiri atas :

Hal 34 dari 87
a. program pengembangan, pengelolaan, dan konservasi sungai, danau dan sumber
daya air lainnya meliputi:
1. pengelolaan DAS;
2. pengelolaan danau; dan
3. pemeliharaan waduk.
4. pengembangan sistem pengendalian banjir.
b. program penyediaan dan pengelolaan air baku untuk air bersih meliputi:
1. penyediaan dan pengelolaan jaringan air baku untuk air bersih; dan
2. penyediaan dan pengelolaan air bersih ke kelompok pengguna.
c. program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi dan jaringan pengairan
lainnya meliputi:
1. pengelolaan daerah irigasi kewenangan Pemerintah;
2. pengelolaan daerah irigasi kewenangan provinsi; dan
3. pengelolaan daerah irigasi kewenangan kabupaten.
(7) Perwujudan sistem jaringan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf e terdiri atas:
a. program pengembangan pengelolaan persampahan meliputi:
1. penyusunan rencana induk pengelolaan persampahan kabupaten;
2. penyediaan TPS di setiap pusat kegiatan; dan
3. pengkajian dan pengembangan TPPAS.
b. program pengembangan pengelolaan drainase meliputi:
1. perencanaan drainase terpadu;
2. pembangunan saluran drainase skala tersier; dan
3. perbaikan dan normalisasi saluran drainase.
c. program pengembangan pengelolaan penyediaan air bersih meliputi:
1. pengembangan dan peningkatan air minum perkotaan; dan
2. peningkatan prasarana dan perluasan air bersih perdesaan.
d. program pengembangan pengelolaan limbah meliputi:
1. peningkatan pengelolaan limbah rumah tangga;
2. pengembangan instalasi pengolahan air limbah terpadu;
3. pengembangan instalasi pengolahan limbah B3; dan
4. pengembangan kerjasama pengelolaan limbah lintas Kabupaten/Kota.
e. program pengembangan jalur dan ruang evakuasi bencana meliputi:
1. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam
gerakan tanah;
2. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam
longsor;
3. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam banjir;
4. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam gempa
bumi; dan
5. pengembangan dan peningkatan jalur dan ruang evakuasi bencana alam
tsunami.

Bagian Ketiga
Perwujudan Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 49

Perwujudan rencana pola ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal
46 ayat (2) huruf b terdiri atas:
a. perwujudan kawasan lindung; dan
b. perwujudan kawasan budidaya.

Hal 35 dari 87
Pasal 50

(1) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf a terdiri
atas:
a. perwujudan kawasan hutan lindung;
b. perwujudan kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya;
c. perwujudan kawasan perlindungan setempat;
d. perwujudan kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya;
e. perwujudan kawasan rawan bencana alam;
f. perwujudan kawasan lindung geologi; dan
g. perwujudan kawasan lindung lainnya.
(2) Perwujudan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
meliputi:
a. penetapan batas kawasan hutan lindung;
b. rehabilitasi fungsi-fungsi lindung pada kawasan lindung;
c. pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan hutan lindung;
d. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya;
e. pemberian insentif pengelolaan kawasan; dan
f. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan hutan
lindung.
(3) Perwujudan kawasan lindung yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya berupa kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
b meliputi:
a. penetapan batas kawasan lindung yang memberikan perlindungan terhadap
kawasan bawahannya;
b. pengendalian kegiatan budidaya;
c. pemberian insentif terhadap kegiatan budidaya yang menunjang fungsi lindung
kawasan;
d. pengaturan kegiatan di kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya yang dimiliki masyarakat;
e. pengendalian kegiatan yang bersifat menghalangi masuknya air hujan ke dalam
tanah;
f. pengolahan sistem terasering dan vegetasi yang mampu menahan dan
meresapkan air; dan
g. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan.
(4) Perwujudan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c terdiri atas:
a. perlindungan sempadan sungai dan saluran irigasi meliputi :
1. penetapan sempadan sungai dan irigasi di kawasan perkotaan dan perdesaan;
2. penetapan pemanfaatan ruang sempadan sungai dan irigasi;
3. penertiban bangunan di atas saluran irigasi;
4. penghijauan; dan
5. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan.
b. perlindungan kawasan sekitar danau dan waduk meliputi:
1. penetapan batas kawasan danau, waduk dan embung serta sempadannya;
2. penetapan batas kawasan pasang surut;
3. penghijauan; dan
4. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan.
c. perlindungan kawasan sekitar mata air meliputi:
1. penetapan batas sempadan sumber mata air;
2. penghijauan; dan
3. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan.
(5) Perwujudan kawasan lindung suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:

Hal 36 dari 87
a. perlindungan kawasan pantai berhutan bakau meliputi:
1. penetapan batas kawasan pantai berhutan bakau;
2. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya;
3. pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan pantai berhutan bakau; dan
4. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan cagar
alam.
b. perlindungan kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan meliputi:
1. penetapan batas kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
2. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya;
3. pengawasan dan pemantauan pelestarian kawasan cagar budaya dan ilmu
pengetahuan;dan
4. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan cagar
budaya dan ilmu pengetahuan.
(6) Perwujudan kawasan lindung rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf e terdiri atas:
a. perlindungan kawasan rawan bencana alam banjir meliputi:
1. penetapan batas kawasan rawan banjir;
2. pengendalian pembangunan kawasan permukiman dan fasilitas pendukungnya;
3. pengembangan jalur dan ruang evakuasi;
4. perkuatan lereng;
5. pembangunan jaringan drainase lereng; dan
6. pengaturan geometri lereng dengan pelandaian lereng atau pembautan
terasering pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat
di kawasan rawan banjir.
b. perlindungan kawasan rawan bencana alam longsor meliputi:
1. penetapan batas kawasan rawan bencana alam longsor;
2. pengendalian pembangunan kawasan permukiman dan fasilitas pendukungnya;
3. pengembangan jalur dan ruang evakuasi; dan
4. pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di
kawasan rawan bencana alam longsor.
(7) Perwujudan kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f
terdiri atas kawasan rawan bencana alam geologi meliputi:
a. penetapan batas kawasan rawan bencana alam geologi;
b. pengembangan jalur dan ruang evakuasi;
c. penyediaan sistem peringatan dini;
d. penggunaan bangunan peredam bencana;
e. penyediaan fasilitas penyelamatan diri;
f. penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana;
g. penyediaan prasarana dan sarana kesehatan;
h. vegetasi pantai; dan
i. pengelolalan ekosistem.
j. pengendalian kegiatan budi daya di kawasan rawan bencana alam geologi;
k. perlindungan jenis batuan dan tanah yang berpengaruh terhadap keseimbangan
lingkungan kawasan;
l. pelaksanaan program pembinaan dan penyuluhan kepada masyarakat di kawasan
rawan bencana alam geologi.
(8) Perwujudan kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g
terdiri atas:
a. kawasan terumbu karang meliputi:
1. penetapan batas kawasan terumbu karang;
2. pengendalian kegiatan budidaya di kawasan terumbu karang; dan
3. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan
perlindungan terhadap kawasan terumbu karang.

Hal 37 dari 87
b. kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi:
1. penetapan batas kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil;
2. pengendalian kegiatan budi daya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
3. pelaksanaan program pembinaan dan sosialisasi pelestarian kawasan
perlindungan terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 51

(1) Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b terdiri
atas:
a. perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi;
b. perwujudan kawasan peruntukan pertanian;
c. perwujudan kawasan peruntukan perikanan;
d. perwujudan kawasan peruntukan pertambangan;
e. perwujudan kawasan peruntukan industri;
f. perwujudan kawasan peruntukan pariwisata;
g. perwujudan kawasan peruntukan permukiman; dan
h. perwujudan kawasan peruntukan lainnya.
(2) Perwujudan kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a meliputi:
a. penetapan kawasan dan strategi penanganan kawasan hutan produksi;
b. pelibatan masyarakat sekitar dalam pengelolaan hutan;
c. mensinergikan pengelolaan hutan produksi dengan kegiatan pertanian dan
peternakan bagi masyarakat sekitarnya; dan
d. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan hutan produksi.
(3) Perwujudan kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. pengembangan agrobisnis tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan;
b. pengembangan sentra-sentra pertanian berbasis agropolitan;
c. peningkatan produksi tanaman perkebunan;
d. pengendalian secara ketat kegiatan budidaya lainnya yang merusak fungsi
pertanian;
e. pemberian insentif kepada petani yang pengelolaannya menunjang program
pertanian pangan berkelanjutan;
f. peningkatan sarana prasarana produksi dan pemasaran hasil pertanian;
g. mensinergikan kegiatan budi daya pertanian campuran;
h. pemberian insentif kepada petani hortikultura; dan
i. sosialisasi dan workshop pengelolaan pertanian pangan berkelanjutan.
(4) Perwujudan kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf c meliputi:
a. pengembangan agribisnis perikanan;
b. peningkatan pengelolaan budidaya perikanan;
c. peningkatan pengolahan perikanan tangkap;
d. penetapan batas kawasan;
e. pengembangan kawasan minapolitan;
f. pengendalian baku mutu perairan kawasan; dan
g. pengembangan sarana prasarana produksi dan pemasaran hasil perikanan.
(5) Perwujudan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana pada ayat (1) huruf d
meliputi:
a. identifikasi potensi tambang;
b. penetapan kawasan pertambangan yang dapat dieksploitasi;
c. reklamasi dan rehabilitasi lahan pasca tambang;
d. pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan tambang;
e. penyusunan program penelitian deposit sumber daya mineral dan energi;
f. pemantauan dan pengendalian kegiatan usaha penambangan;

Hal 38 dari 87
g. pengelolaan kawasan peruntukan pertambangan secara berkelanjutan; dan
h. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan peruntukan pertambangan.
(6) Perwujudan kawasan peruntukan industri sebagaimana pada ayat (1) huruf e meliputi:
a. identifikasi dampak lingkungan kegiatan industri;
b. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang kawasan;
c. pengembangan dan pengelolaan kawasan peruntukan industri secara
berkelanjutan;
d. pemberian insentif terhadap pengelolaan industri secara berkelanjutan; dan
e. peningkatan kualitas sumber daya manusia lokal untuk mendukung penyediaan
tenaga kerja.
(7) Perwujudan kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana pada ayat (1) huruf f
meliputi:
a. penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah (RIPPDA);
b. pengoptimalan potensi budaya, alam dan keunikan lokal sebagai potensi obyek
wisata;
c. peningkatan sarana dan prasarana penunjang kepariwisataan;
d. mensinergikan kegiatan lainnya yang memiliki potensi sebagai daya tarik wisata;
e. peningkatan sumber daya manusia baik kualitas maupun kuantitas untuk
menunjang kepariwisataan; dan
f. peningkatan sistem informasi wisata.
(8) Perwujudan kawasan peruntukan permukiman sebagaimana pada ayat (1) huruf g
meliputi:
a. pengembangan dan peningkatan jaringan infrastruktur penunjang permukiman;
b. identifikasi permasalahan kawasan permukiman di kawasan perkotaan dan
perdesaan;
c. penyusunan masterplan kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan; dan
d. penyediaan berbagai fasilitas pendukung yang mampu mendorong perkembangan
kawasan permukiman.
(9) Perwujudan kawasan peruntukan lainnya sebagaimana pada ayat (1) huruf h berupa
kawasan pertahanan dan keamanan negara meliputi:
a. penetapan batas kawasan;
b. pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana kawasan;
c. pengendalian perkembangan kegiatan di sekitar kawasan;
d. mensinergikan dengan kegiatan budidaya masyarakat sekitar; dan
e. sosialisasi dan workshop pengelolaan kawasan pertahanan dan keamanan negara.

Bagian Keempat
Perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten

Pasal 52

Perwujudan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46


ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. perwujudan KSK dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi;
b. perwujudan KSK dengan sudut kepentingan sosial budaya; dan
c. perwujudan KSK dengan sudut kepentingan lingkungan hidup.

Pasal 53

(1) Perwujudan KSK dengan sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 52 huruf a terdiri atas:
a. penyusunan rencana rinci kawasan;
b. penyusunan peraturan zonasi;
c. pembangunan infrastruktur air bersih, limbah, sampah, drainase;
d. pembangunan perumahan; dan

Hal 39 dari 87
e. pembangunan sarana prasarana sosial ekonomi.
(2) Perwujudan KSK dengan sudut kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 huruf b terdiri atas:
a. penyusunan rencana rinci kawasan;
b. penyusunan peraturan zonasi;
c. peningkatan fungsi kawasan; dan
d. pengawasan fungsi pemanfaatan kawasan.
(3) Perwujudan KSK dengan sudut kepentingan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 52 huruf c terdiri atas:
a. penyusunan rencana rinci kawasan;
b. penyusunan peraturan zonasi;
c. peningkatan fungsi konservasi kawasan; dan
d. pengawasan fungsi pemanfaatan kawasan untuk air baku.

BAB VII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 54

Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten terdiri atas:


a. ketentuan umum peraturan zonasi;
b. ketentuan perizinan;
c. ketentuan pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. arahan pengenaan sanksi.
Bagian Kedua
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi

Pasal 55

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf a
disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi disusun berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk
setiap zona pemanfaatan ruang.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah
daerah dalam menerbitkan perizinan.
(4) Indikasi arahan peraturan zonasi Kabupaten Tapanuli Tengah meliputi indikasi arahan
peraturan zonasi untuk struktur ruang, pola ruang dan kawasan strategis yang meliputi :
a. sistem pusat kegiatan;
b. sistem jaringan prasarana wilayah;
c. kawasan lindung;
d. kawasan budidaya;dan
e. kawasan strategis kabupaten.
(5) Indikasi arahan peraturan zonasi lebih lanjut akan ditetapkan menjadi Peraturan Zonasi
yang diatur melalui Peraturan Daerah.

Paragraf 1
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Pusat Kegiatan

Pasal 56

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (4) huruf a terdiri atas:

Hal 40 dari 87
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mendukung berfungsinya sistem perkotaan
dan jaringan prasarana;
b. diperbolehkan kegiatan pemerintahan, permukiman, pendidikan, pelayanan fasilitas
umum dan sosial, perdagangan dan jasa kawasan perkotaan; dan
c. intensitas pemanfaatan ruang kawasan permukiman diatur dengan intensitas
kepadatan tinggi hingga menengah.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mendukung berfungsinya sistem
perdesaan dan jaringan prasarana;
b. diperbolehkan kegiatan pemerintahan, permukiman, pendidikan, pelayanan fasilitas
umum dan sosial, perdagangan dan jasa kawasan perdesaan; dan
c. intensitas pemanfaatan ruang kawasan permukiman diatur dengan intensitas
kepadatan rendah.

Paragraf 2
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Sistem Jaringan Prasarana Wilayah

Pasal 57

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) huruf b terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi;
c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi;
d. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air; dan
e. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalur kereta api;
c. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana terminal penumpang;
d. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana pelabuhan; dan
e. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana bandara.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan arteri;
b. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan kolektor; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan lokal.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan arteri sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah
hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b. tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan;
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai
sarana fasilitas umum;
d. pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan, serta
penerangan jalan;
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang
pengawasan jalan; dan

Hal 41 dari 87
f. tidak diperbolehkan kegiatan lalu lintas lokal yang mengganggu lalu lintas jarak
jauh.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan kolektor sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah
hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b. tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan;
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai
sarana fasilitas umum;
d. diperbolehkan pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan,
serta penerangan jalan;
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang
pengawasan jalan; dan
f. jalan kolektor yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan
pengembangan perkotaan tidak boleh terputus.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalan lokal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan dengan tingkat intensitas menengah
hingga rendah;
b. tidak diperbolehkan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan;
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang memanfaatkan ruang manfaat jalan sebagai
sarana fasilitas umum;
d. diperbolehkan pemasangan rambu-rambu, marka, pengarah dan pengaman jalan,
serta penerangan jalan;
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan yang memenuhi ketentuan ruang
pengawasan jalan; dan
f. jalan lokal yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf b disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api disusun dengan
intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya
dibatasi;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat
mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian;
c. diperbolehkan secara terbatas pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak
lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api;
d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan;
dan
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan
memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur
kereta api.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana terminal penumpang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan untuk prasarana terminal bagi pergerakan orang dan kendaraan;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja terminal yang
dapat mengganggu kegiatan tersebut; dan
c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja terminal yang
harus memperhatikan kebutuhan ruang, agar tidak menggangu pergerakan
kendaraan lainnya.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana pelabuhan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d disusun dengan ketentuan:
a. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan dan keamanan
angkutan pelabuhan;
b. tidak diperbolehkan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang
berdampak pada keberadaan alur pelayaran pelabuhan;

Hal 42 dari 87
c. tidak diperbolehkan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan
angkutan pelabuhan;
d. pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur
pelayaran, termasuk pemanfaatan ruang di pelabuhan;
e. Pembatasan pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran
dibatasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. Pembatasan pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di
sekitar badan air di sepanjang alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu
aktivitas pelayaran.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana bandara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf e disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang bandara disusun dengan intensitas menengah
hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan dan keamanan
angkutan penerbangan;
c. tidak diperbolehkan kegiatan di ruang udara untuk operasi penerbangan;
d. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di dalam lingkungan kerja bandara sisi
darat yang harus memperhatikan kebutuhan ruang.
e. pemanfaatan ruang untuk ruang udara untuk penerbangan disusun dengan
memperhatikan pembatasan pemanfaatan ruang udara yang digunakan untuk
penerbangan agar tidak mengganggu sistem operasional penerbangan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.

Pasal 58

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi pembangkit tenaga listrik dan jalur transmisi; dan
b. ketentuan umum peraturan zonasi jaringan minyak dan gas bumi;
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi pembangkit listrik dan jalur transmisi sebagaimana
dimaksud ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit tenaga listrik yang
tidak sesuai dengan fungsinya; dan
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi jaringan pipa gas dan minyak bumi sebagaimana
dimaksud ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan :
a. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang di sekitar jaringan minyak dan gas bumi
yang tidak sesuai dengan fungsinya; dan
b. pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar jaringan minyak dan gas bumi dengan
memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan kawasan di sekitarnya.

Pasal 59

Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 57 ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan pertanian tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan serta
ruang terbuka hijau dengan syarat tidak menganggu batas yang ditetapkan;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang bebas di sekitar stasiun bumi dan menara
pemancar; dan
c. pembatasan pemanfaatan ruang untuk penempatan stasiun bumi dan menara pemancar
telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktivitas
kawasan di sekitarnya.

Hal 43 dari 87
Pasal 60

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan sumber daya air sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf d terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana air bersih;
b. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana irigasi; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi prasarana waduk/bendungan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana air bersih sebagaimana dimaksud ayat
(1) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak tatanan lingkungan
dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar sumber daya air
yang dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan
c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai dan waduk.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana irigasi sebagaimana dimaksud ayat (1)
huruf b disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak tatanan lingkungan
dan bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar Daerah Irigasi yang
dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan
c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai agar tetap
dapat dijaga kelestariannya.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi prasarana waduk/bendungan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan perikanan sepanjang tidak merusak tatanan lingkungan dan
bentang alam yang akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar waduk/bendungan
yang dapat mengganggu kualitas sumber daya air; dan
c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar wilayah waduk agar tetap dapat
dijaga kelestariannya.

Pasal 61

(1)Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana wilayah lainnya


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf e terdiri atas:
a. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana persampahan;
b. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana drainase;
c. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana pengelolaan limbah;
dan
d. ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana jalur dan ruang
evakuasi bencana.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana persampahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan daur ulang sampah sepanjang tidak merusak lingkungan
dan bentang alam maupun perairan setempat;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar TPPAS yang dapat
mengganggu kualitas lingkungan; dan
c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar TPPAS.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan drainase sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan pertanian/RTH sepanjang tidak merusak tatanan lingkungan
dan bentang alam yang akan mengganggu badan air;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar sungai/saluran
utama untuk kegiatan yang akan merusak perairan; dan

Hal 44 dari 87
c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar sungai dan saluran utama agar
tetap dapat dijaga kelestariannya.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana pengelolaan limbah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan pertanian dengan syarat tidak merusak lingkungan dan
bentang alam yang akan mengganggu unit pengolahan limbah domestik;
b. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang dan kegiatan di sekitar pengolahan limbah
dengan radius 100 (seratus) meter persegi; dan
c. pembatasan terhadap pemanfaatan ruang di sekitar pengolahan limbah agar tetap
dapat dijaga keberlanjutannya.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi sistem jaringan prasarana jalur dan ruang evakuasi
bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. dibolehkan kegiatan perhubungan dan komunikasi; dan
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang menghambat kelancaran akses jalur evakuasi.

Paragraf 3
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Lindung

Pasal 62

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan lindung sebagaimana tercantum dalam
Pasal 55 ayat (4) huruf c meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air;
c. ketentuan umum peraturan zonasi sempadan pantai;
d. ketentuan umum peraturan zonasi sempadan sungai;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar waduk/danau;
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air;
g. ketentuan umum peraturan zonasi ruang terbuka hijau kawasan perkotaan;
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pantai berhutan bakau;
i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
j. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam banjir;
k. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana longsor
l. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam gerakan tanah;
m. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana letusan gempa bumi;
n. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana tsunami;
o. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan terumbu karang; dan
p. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan wisata alam dengan syarat tidak merubah bentang alam;
b. diperbolehkan pemanfaatan ruang budidaya bagi penduduk asli dengan syarat
luasan tetap dan tidak mengurangi fungsi kawasan lindung; dan
c. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk mendukung sistem jaringan transportasi,
sistem jaringan energi, sistem jaringan telekomunikasi, sistem jaringan sumber daya
air dan sistem jaringan prasarana wilayah lainnya yang diatur sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku
d. tidak diperbolehkan kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan
tutupan vegetasi.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budidaya tidak terbangun yang
memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;

Hal 45 dari 87
b. diperbolehkan penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun
yang sudah ada;
c. penerapan prinsip kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan (zero delta
Q policy) terhadap setiap kegiatan budidaya terbangun yang diajukan izinnya; dan
d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengurangi daya serap tanah terhadap air.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. garis sempadan pantai ditetapkan sekurang-kurangnya 200 (dua ratus) meter dari
titik pasang tertinggi ke arah darat;
b. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan pantai berupa Ruang Terbuka Hijau;
c. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah
abrasi;
d. diperbolehkan pendirian bangunan di sempadan pantai dengan syarat untuk
pengelolaan kegiatan perikanan, pelabuhan, dan pariwisata;
e. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak bentang alam,
kondisi fisik kawasan, serta kelestarian lingkungan hidup; dan
f. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan kegiatan
perikanan, pelabuhan, dan pariwisata.
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi sempadan sungai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan sungai berupa Ruang Terbuka Hijau;
b. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah
longsor/erosi dan mempertahankan bentuk badan air /sungai;
c. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air
dan/atau pemanfaatan air dan/atau menunjang fungsi rekreasi; dan
d. diperbolehkan pendirian bangunan dengan syarat hanya untuk pengelolaan badan
air dan/atau pemanfaatan air.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar waduk/danau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan:
a. garis sempadan waduk/danau ditetapkan sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) meter
dari titik pasang tertinggi ke arah darat;
b. diperbolehkan pemanfaatan ruang sempadan waduk/danau berupa Ruang Terbuka
Hijau;
c. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah
longsor/erosi dan mempertahankan bentuk badan air waduk/danau;
d. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air
dan/atau pemanfaatan air dan/atau menunjang fungsi rekreasi;
e. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk pengelolaan badan air dan/atau
pemanfaatan air; dan
f. bila sempadan waduk/situ juga berfungsi sebagai taman rekreasi, maka dapat
didirikan bangunan yang terbatas untuk menunjang fungsi rekreasi.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan sekitar mata air sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf f disusun dengan ketentuan:
a. garis sempadan mata air ditetapkan sekurang-kurangnya dengan radius 200 (dua
ratus) meter di sekitar mata air;
b. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk RTH;
c. diperbolehkan pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah
longsor/erosi dan mempertahankan bentuk mata air;
d. tidak diperbolehkan kegiatan pemanfaatan hasil tegakan;
e. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak bentang alam,
kondisi fisik kawasan dan daerah tangkapan air, serta kelestarian lingkungan hidup;
dan
f. tidak diperbolehkan pendirian bangunan selain untuk pengelolaan badan air
dan/atau pemanfaatan air dan/atau menunjang fungsi perlindungan air tanah.

Hal 46 dari 87
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau perkotaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan izin pemanfaatan ruang terbuka hijau sebagai konservasi lingkungan,
peningkatan keindahan kota, rekreasi, dan sebagai penyeimbang guna lahan
industri dan permukiman;
b. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengubah dan/atau merusak bentang alam,
keseimbangan ekosistem dan kelestarian lingkungan hidup;
c. ketentuan pendirian bangunan yang menunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum
lainnya; dan
d. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bersifat permanen.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf h disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk kepentingan penelitian dan pengembangan,
ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan lain yang menunjang budidaya;
b. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan kawasan pantai berhutan bakau;
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengubah bentang alam kawasan yang
mengusik atau mengganggu kehidupan.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk pendidikan, penelitian, dan pariwisata;
b. tidak diperbolehkan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan
fungsi kawasan;
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat merusak kekayaan budaya;
d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengubah bentukan geologi tertentu yang
mempunyai manfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan;
e. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang yang mengganggu kelestarian lingkungan
di sekitar peninggalan sejarah; dan
f. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu upaya pelestarian budaya
masyarakat setempat.
(11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam banjir sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf j disusun dengan ketentuan:
a. penetapan batas dataran banjir;
b. diperbolehkan pemanfaatan dataran banjir bagi RTH dan pembangunan fasilitas
umum dengan kepadatan rendah; dan
c. tidak diperbolehkan kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting.
(12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana longsor sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf k disusun dengan ketentuan:
a. penetapan batas rawan bencana longsor;
b. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan pada kelerengan lebih besar dari 40
(empat puluh) persen;
c. pembatasan kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah sekitar rawan bencana
longsor;
d. diperbolehkan pemanfaatan jalur evakuasi; dan
e. tidak diperbolehkan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan
ancaman bencana dan kepentingan umum.
(13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam/gerakan tanah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l disusun dengan ketentuan:
a. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan pada kelerengan lebih besar dari 40
(empat puluh) persen;
b. tidak diperbolehkan melakukan penggalian dan pemotongan lereng pada
kelerengan lebih besar dari 40 (empat puluh) persen;
c. diperbolehkan pengembangan hunian terbatas pada kelerengan 20-40 (dua puluh
sampai dengan empat puluh) persen;

Hal 47 dari 87
d. diperbolehkan transportasi lokal dan wisata alam dengan ketentuan tidak
mengganggu kestabilan lereng dan lingkungan; dan
e. diperbolehkan kegiatan pertanian, perkebunan, perikanan, hutan kota dan hutan
produksi dengan penanaman vegetasi yang tepat.
(14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan rawan gempa bumi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf m disusun dengan ketentuan:
a. tidak diperbolehkan pemanfaatan ruang pada jalur sesar untuk kegiatan
permukiman, industri, perdagangan dan jasa;
b. tidak diperbolehkan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan
ancaman bencana dan kepentingan umum; dan
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan dan perusakan
terhadap keutuhan kawasan dan ekosistemnya.
d. diperbolehkan kegiatan hutan produksi;
e. diperbolehkan pemanfaatan jalur evakuasi.
(15) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana tsunami
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n disusun dengan ketentuan:
a. penetapan deliniasi kawasan rawan bencana tsunami
b. pengendalian izin kegiatan wisata alam, pendidikan, penelitian dalam rangka
mengembangkan ilmu penegetahuan;
c. tidak diperbolehkan kegiatan pemanfaatan ruang yang mengubah dan/atau
merusak bentang alam;
d. diperbolehkan penyediaan sistem peringatan dini;
e. diperbolehkan penggunaan bangunan peredam tsunami;
f. diperbolehkan penyediaan fasilitas penyelamatan diri;
g. diperbolehkan penyediaan prasarana dan sarana kesehatan;dan
h. diperbolehkan penggunaan konstruksi bangunan ramah bencana tsunami;
(16) Ketentuan umum peraturan zonasi peruntukan kawasan terumbu karang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf o ditetapkan dengan ketentuan:
a. pengendalian pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang
alam;
b. pelestarian flora, fauna dan ekosistem unik kawasan; dan
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi kawasan terumbu
karang.
(17) Ketentuan umum peraturan zonasi peruntukan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf p ditetapkan dengan ketentuan:
a. pengendalian pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang
alam;
b. pelestarian flora, fauna dan ekosistem unik kawasan;
c. pengelolaan ekosistem kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
d. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi kawasan.

Paragraf 4
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya

Pasal 63

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya sebagaimana tercantum dalam
Pasal 55 ayat (4) huruf d meliputi:
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi tetap;
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya tanaman pangan;
d. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya hortikultura;
e. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya perkebunan
f. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya peternakan;
g. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan perikanan;

Hal 48 dari 87
h. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertambangan;
i. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri;
j. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pariwisata;
k. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan;
l. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan; dan
m. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan.
(2) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi terbatas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan:
a. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bukan untuk menunjang kegiatan
pemanfaatan hasil hutan atau menganggu fungsi kawasan;
b. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kelestarian neraca sumber
daya kehutanan dan ikut menjaga fungsi perlindungan;
c. diperbolehkan kegiatan penghijauan dan rehabilitasi kawasan dalam upaya
mempertahankan dan memelihara kawasan sebagai cadangan kawasan lindung;
d. diperbolehkan kegiatan wisata alam; dan
e. diperbolehkan penetapan sebagai usulan hutan lindung.
f. dilarang aktivitas pengembangan budidaya lainnya yang mengurangi luas hutan.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan produksi tetap sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b disusun dengan ketentuan:
a. tidak diperbolehkan pendirian bangunan yang bukan untuk menunjang kegiatan
pemanfaatan hasil hutan atau menganggu fungsi kawasan;
b. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kelestarian neraca sumber
daya kehutanan dan ikut menjaga fungsi perlindungan;
c. diperbolehkan kegiatan penghijauan dan rehabilitasi kawasan dalam upaya
mempertahankan dan memelihara kawasan sebagai cadangan kawasan lindung;
d. diperbolehkan kegiatan wisata alam;
e. diperbolehkan penetapan sebagai usulan hutan lindung;
f. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber
daya kehutanan; dan
g. ketentuan jarak penebangan pohon yang diperbolehkan adalah:
1. lebih dari 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk;
2. lebih dari 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air;
3. kiri kanan sungai di daerah rawa;
4. lebih dari 100 (seratus) meter dari tepi kiri kanan sungai;
5. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
6. lebih dari 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
7. ketentuan luas kawasan hutan dalam setiap DAS minimal 30 (tiga puluh) persen
dari luas daratan; dan
8. ketentuan luas hutan kurang dari 30 (tiga puluh) persen perlu menambah luas
hutan, dan luas hutan lebih dari 30 (tiga puluh) persen tidak boleh secara bebas
mengurangi luas kawasan hutan.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan budidaya tanaman pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan mendirikan rumah tinggal dengan syarat tidak mengganggu fungsi
pertanian dengan intensitas bangunan berkepadatan rendah;
b. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan
rendah;
c. diperbolehkan aktivitas pendukung pertanian;
d. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi luas kawasan sawah
beririgasi;
e. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan
dan kualitas tanah untuk perkebunan;
f. tidak diperbolehkan mendirikan bangunan pada kawasan sawah irigasi yang
terkena saluran irigasi; dan

Hal 49 dari 87
(5) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan pertanian lahan basah dan kering; dan
b. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan
dan kualitas tanah untuk hortikultura.
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan mendirikan perumahan dengan syarat tidak mengganggu fungsi
perkebunan;
b. diperbolehkan aktivitas pendukung perkebunan, misalnya penyelenggaraan
aktivitas pembenihan; dan
c. tidak diperbolehkan aktivitas budi daya yang mengurangi atau merusak fungsi lahan
dan kualitas tanah untuk perkebunan.
(7) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf f disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan potensi peternakan di wilayah pemeliharaan;
b. diperbolehkan pengkajian daur kehidupan ternak dan pengukuran produktivitas
ternak komersial;
c. diperbolehkan peningkatan nilai tambah peternakan melalui pengembangan industri
pengelolaan hasil peternakan;
d. tidak diperbolehkan pengelolaan yang merusak kawasan lingkungan; dan
e. tidak diperbolehkan pengembangan dan pemeliharaan ternak pada kawasan
permukiman perkotaan.
(8) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf g disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk pembudidaya ikan air tawar;
b. diperbolehkan pemanfaatan ruang untuk kawasan penangkapan ikan di perairan
umum;
c. diperbolehkan pemanfaatan sumber daya perikanan dengan memperhatikan
kelestariannya;
d. diperbolehkan pemanfaatan kawasan budidaya ikan di kolam air tenang, kolam air
deras, kolam jaring apung, sawah dan tambak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(9) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf h disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan bagi peningkatan kemampuan untuk melakukan pengawasan volume
produksi;
b. diperbolehkan bagi peningkatan kemampuan untuk mengendalikan dampak
lingkungan dan sosial;
c. diperbolehkan pemanfaatan sumber daya mineral, energi, dan bahan galian lainnya
untuk kemakmuran rakyat;
d. diperbolehkan upaya rehabilitasi lahan pasca kegiatan pertambangan;
e. diperbolehkan kegiatan usaha pertambangan sumber daya mineral, energi, dan
bahan galian lainnya sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup;
f. tidak diperbolehkan kegiatan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan;
g. wajib melaksanakan reklamasi pada lahan-lahan bekas galian/penambangan;
h. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi sesuai dengan zona
peruntukan yang ditetapkan, sehingga menjadi lahan yang dapat digunakan kembali
sebagai kawasan hijau, ataupun kegiatan budi daya lainnya dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup;
i. pada kawasan yang teridentifikasi keterdapatan minyak dan gas bumi serta panas
bumi yang bersifat strategis nasional dan bernilai ekonomi tinggi, sementara lahan
pada bagian atas kawasan tersebut meliputi kawasan lindung atau kawasan budi
daya sawah yang tidak boleh alih fungsi, maka pengeboran eksplorasi dan/atau

Hal 50 dari 87
eksploitasi minyak dan gas bumi serta panas bumi dapat dilaksanakan, namun
harus disertai AMDAL;
j. tidak diperbolehkan menambang batuan di perbukitan yang di bawahnya terdapat
mata air penting atau pemukiman;
k. tidak diperbolehkan menambang bongkah-bongkah batu dari dalam sungai yang
terletak di bagian hulu dan di dekat jembatan;
l. percampuran kegiatan penambangan dengan fungsi kawasan lain diperbolehkan
sejauh mendukung atau tidak merubah fungsi utama kawasan; dan
m. penambangan pasir atau sirtu di dalam badan sungai hanya diperbolehkan pada
ruas-ruas tertentu yang dianggap tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
lingkungan.
(10) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan peruntukan industri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf i disusun dengan ketentuan:
a. kegiatan industri yang dikembangkan diprioritaskan pada industri yang menyerap
tenaga kerja, menggunakan bahan baku lokal dan tidak menggunakan air bawah
tanah;
b. untuk rencana pengembangan kegiatan industri yang baru diarahkan berada di
dalam kawasan industri sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
c. tidak diperbolehkan kegiatan yang dapat memberikan dampak
merusak/menurunkan kualitas lingkungan, terutama yang berkaitan dengan limbah
industri;
d. diperbolehkan secara terbatas kegiatan yang dapat berdampak pada kualitas
lingkungan sebagai kawasan peruntukan industri;
e. diperbolehkan pengembangan jenis industri yang ramah lingkungan dan memenuhi
kriteria ambang limbah;
f. diperbolehkan pengelolaan limbah terpadu dengan syarat sesuai standar
keselamatan internasional bagi industri yang lokasinya berdekatan;
g. diperbolehkan secara terbatas pembangunan perumahan baru di sekitar kawasan
peruntukan industri;
h. tidak diperbolehkan pengembangan industri yang menyebabkan kerusakan
kawasan resapan air; dan
i. diperbolehkan pengembangan industri yang tidak mengakibatkan kerusakan atau
alih fungsi kawasan lindung dan lahan pertanian basah.
j. lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan kawasan
permukiman;
k. pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang kegiatan
industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
l. pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana wilayah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
m. pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau
sebagai usaha penyangga antar fungsi kawasan, dan sarana pengolahan limbah;
n. pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor
harus dilengkapi dengan frontage road untuk kelancaran aksesibilitas;
o. setiap kegiatan industri harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan,
sistem pengelolaan limbah dan upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi
AMDAL; dan
p. limbah industri dilarang dibuang ke perairan atrau dipendam di dalam tanah secara
langsung tanpa melalui proses pengolahan limbah terlebih dahulu; dan
q. instalasi pengolahan limbah mutlak ada.
(11) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf j disusun dengan ketentuan:
a. pembatasan kegiatan dan pendirian bangunan hanya untuk yang menunjang
kegiatan wisata pada lokasi yang bersangkutan;
b. diperbolehkan untuk pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat;

Hal 51 dari 87
c. penentuan lokasi wisata alam dan wisata minat khusus yang tidak mengganggu
fungsi kawasan lindung;
d. pengendalian pertumbuhan sarana dan prasarana penunjang wisata yang
mengganggu fungsi kawasan lindung, terutama resapan air;
e. tidak diperbolehkan mengubah dan/atau merusak bentuk arsitektur setempat,
bentang alam dan pandangan visual;
f. persyaratan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sesuai ketentuan
perundang-undangan; dan
g. pelestarian lingkungan hidup dan cagar budaya yang dijadikan kawasan pariwisata
sesuai prinsip-prinsip pemugaran.
(12) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perkotaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf k disusun dengan ketentuan:
a. diperbolehkan kegiatan perkotaan didukung fasilitas dan prasarana yang sesuai
dengan skala pelayanannya
b. Intensitas pemanfaatan ruang tinggi hingga menengah, dan mulai dikembangkan
bangunan vertikal/bertingkat serta kasiba/lisiba;
c. pengembangan kawasan ruang terbuka hijau (RTH) paling sedikit 30 (tiga puluh)
persen dari luas kawasan perkotaan;
d. tidak diperbolehkan terhadap kegiatan yang tidak sesuai dan/atau dapat
menurunkan kualitas lingkungan perkotaan;
e. pembatasan terhadap kegiatan budidaya bukan perkotaan yang dapat mengurangi
fungsi sebagai kawasan perkotaan; dan
f. penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan, ruang terbuka, taman dan
lapangan olahraga sesuai kriteria yang ditentukan.
(13) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan permukiman perdesaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf l disusun dengan ketentuan:
a. kegiatan permukiman perdesaan dengan intensitas pemanfaatan rendah-sedang;
b. tidak diperbolehkan kegiatan yang tidak sesuai dan/atau dapat menurunkan kualitas
lingkungan permukiman perdesaan;
c. pembatasan terhadap kegiatan budidaya yang dapat mengurangi fungsi sebagai
kawasan permukiman perdesaan;
d. ketentuan pemanfaatan ruang di kawasan permukiman perdesaan yang sehat dan
aman dari bencana alam, serta kelestarian lingkungan hidup dengan
memperhatikan kaidah konservasi dan ekoarsitektur; dan
e. penyediaan sarana pendidikan, kesehatan, perdagangan, ruang terbuka, taman dan
lapangan olahraga sesuai kriteria yang ditentukan.
(14) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan kawasan peruntukan pertahanan dan
keamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m dengan ketentuan:
a. diperbolehkan peningkatan dominasi hunian dengan fungsi utama sebagai kawasan
peruntukan pertahanan dan keamanan negara;
b. diperbolehkan peningkatan akses menuju pusat kegiatan pertahanan dan
keamanan negara baik yang terdapat di dalam maupun di luar kawasan;
c. diperbolehkan mengembangkan kawasan lindung dan/atau kawasan budi daya
tidak terbangun sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan pertahanan
dan keamanan dengan kawasan budi daya terbangun; dan
d. diperbolehkan secara terbatas kegiatan budi daya di dalam dan di sekitar kawasan
pertahanan dan keamanan negara untuk menjaga fungsi pertahanan dan
keamanan negara.

Hal 52 dari 87
Paragraf 5
Ketentuan Umum Peraturan Zonasi Kawasan Strategis Kabupaten

Pasal 64

(1) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten sebagaimana


dimaksud dalam pasal 55 ayat (4) huruf e terdiri atas :
a. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut
kepentingan pertumbuhan ekonomi;
b. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut
kepentingan sosial budaya; dan
c. ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut
kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
(2) ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut
kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
adalah:
a. kawasan strategis dari sudut kepentingan ekonomi harus ditunjang sarana dan
prasarana yang memadai sehingga menimbulkan minat investasi yang besar;
b. pada setiap bagian dari kawasan harus diupayakan untuk mengefisienkan
perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan bangunan
vertikal sesuai kondisi kawasan masing-masing;
c. diperbolehkan mengalokasikan ruang atau zona secara khusus untuk industri,
perdagangan-jasa dan jasa wisata perkotaan sehingga secara keseluruhan menjadi
kawasan yang menarik;
d. diperbolehkan mengalokasikan kawasan khusus pengembangan sektor informal
pada pusat-pusat kegiatan masyarakat;
e. pada zona dimaksud harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau untuk
memberikan kesegaran di tengah kegiatan yang intensitasnya tinggi serta zona
tersebut harus tetap dipertahankan;
f. diperbolehkan diadakan perubahan ruang pada zona yang bukan zona inti (untuk
pergadangan–jasa, dan industri) tetapi harus tetap mendukung fungsi utama
kawasan sebagai penggerak ekonomi dan boleh dilakukan tanpa merubah fungsi
zona utama yang telah ditetapkan;
g. diperbolehkan melakukan perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada
ruang terbuka di kawasan ini sepanjang masih dalam batas ambang penyediaan
ruang terbuka (tetapi tidak boleh untuk RTH kawasan perkotaan);
h. tidak diperbolehkan melakukan perubahan fungsi dasar zona yang dinilai penting;
i. pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai permukiman bila didekatnya akan
diubah menjadi fungsi lain yang kemungkinan akan mengganggu (misalnya industri)
permukiman harus disediakan fungsi penyangga sehingga fungsi zona tidak boleh
bertentangan secara langsung pada zona yang berdekatan; dan
j. tidak diperbolehkan melakukan kegiatan pembangunan di luar area yang telah
ditetapkan sebagai bagian dari rumija atau ruwasja, termasuk melebihi ketinggian
bangunan seperti yang telah ditetapkan untuk menjaga kenyamanan dan keamanan
pergerakan pada kawasan terbangun.
(3) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut
kepentingan sosial budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah:
a. kawasan ini harus dilindungi dengan salah satu fungsi yang ditingkatkan adalah
untuk wisata budaya dan penelitian. Untuk itu pada radius tertentu harus dilindungi
dari perubahan fungsi yang tidak mendukung keberadaan kawasan atau dari
kegiatan yang intensitasnya tinggi sehingga menggagu estetika dan fungsi
kawasan;
b. bila sekitar kawasan ini sudah terdapat bangunan misalnya perumahan harus
dibatasi pengembanganya;

Hal 53 dari 87
c. diperbolehkan menambahkan fungsi penunjang untuk kepentingan pariwisata
misalnya souvenir shop atau atraksi wisata yang saling menunjang tanpa
menghilangkan identitas dan karakter kawasan;
d. tidak diperbolehkan melakukan perubahan dalam bentuk peningkatan kegiatan atau
perubahan ruang disekitarnya yang dimungkinkan dapat mengganggu fungsi
dasarnya; dan
e. tidak diperbolehkan melakukan penambahan fungsi tertentu yang bertentangan,
misalnya perdagangan dan jasa yang tidak terkait dengan fungsi kawasan.
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan strategis kabupaten dengan sudut
kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c adalah:
a. pada kawasan ini yang termasuk dalam kategori zona inti harus dilindungi dan tidak
dilakukan perubahan yang dapat mengganggu fungsi lindung;
b. pada kawasan yang telah ditetapkan memiliki fungsi lingkungan dan terdapat
kerusakan baik pada zona inti maupun zona penunjang harus dilakukan
pengembalian ke rona awal sehingga kehidupan flora dan fauna dilindungi dapat
lestari;
c. dilakukan percepatan rehabilitasi lahan untuk menunjang kelestarian dan mencegah
kerusakan dalam jangka panjang;
d. diperbolehkan melakukan kegiatan pariwisata alam sekaligus menanamkan
gerakan cinta alam;
e. pembuatan sumur-sumur resapan pada kawasan yang didalamnya memiliki
kemampuan tanah untuk peresapan air;
f. pada kawasan hutan lindung yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau fungsi produksi
tertentu (misalnya terdapat komoditas durian, manggis) boleh dimanfaatkan buah
atau getahnya tetapi tidak boleh mengambil kayu yang mengakibatkan kerusakan
fungsi lindung;
g. tidak diperbolehkan melakukan alih fungsi lahan yang mengganggu fungsi lindung
apalagi bila didalamnya terdapat kehidupan berbagai satwa maupun tanaman
langka yang dilindungi; dan
h. pada zona inti maupun penunjang bila terlanjur untuk kegiatan budidaya khususnya
permukiman dan budidaya tanaman semusim, tidak boleh dikembangkan lebih
lanjut atau dibatasi dan secara bertahap dialihfungsikan kembali ke zona lindung.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 65

(1) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf b merupakan


proses administrasi dan teknis yang harus dipenuhi sebelum kegiatan pemanfaatan
ruang dilaksanakan untuk menjamin kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana
struktur ruang dan pola ruang sebagaimana yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah
ini;.
(2) Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. izin prinsip;
b. izin lokasi;
c. Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT);
d. izin Mendirikan Bangunan Gedung; dan
e. izin lainnya.
(3) ketentuan perizinan lebih lanjut diatur melalui peraturan daerah

Hal 54 dari 87
Pasal 66

(1) Segala bentuk kegiatan dan pembangunan prasarana harus memperoleh izin
pemanfaatan ruang yang mengacu pada RTRW Kabupaten.
(2) Izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah izin yang
berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata bangunan yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan, hukum adat dan kebiasaan yang berlaku.
(3) Pelaksanaan izin pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan atas pertimbangan dan tujuan sebagai berikut:
a. melindungi kepentingan umum (public interest);
b. menghindari eksternalitas negatif; dan
c. menjamin pembangunan sesuai dengan rencana, serta standar dan kualitas
minimum yang ditetapkan pemerintah daerah.
(4) Setiap orang atau badan hukum yang memerlukan tanah dalam rangka penanaman
modal wajib memperoleh izin pemanfaatan ruang dari Bupati.
(5) Pelaksanaan prosedur izin pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang
berwenang dengan mempertimbangkan rekomendasi hasil forum koordinasi BKPRD.

Pasal 67

(1) Izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf a merupakan
persetujuan pendahuluan yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk
menanamkan modal atau mengembangkan kegiatan atau pembangunan di wilayah
kabupaten, yang sesuai dengan arahan kebijakan dan alokasi penataan ruang
wilayah.
(2) Izin prinsip dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan izin lainnya,
yaitu izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan, dan
izin lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin prinsip akan ditetapkan dengan peraturan Bupati.

Pasal 68

(1) Izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf b merupakan izin
yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk memperoleh
tanah/pemindahan hak atas tanah/menggunakan tanah yang diperlukan dalam rangka
penanaman modal.
(2) Izin lokasi diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk luas 1 (satu) hektar sampai 25 (dua puluh lima) hektar diberikan izin selama 1
(satu) tahun;
b. untuk luas lebih dari 25 (dua puluh lima) hektar sampai dengan 50 (lima puluh)
hektar diberikan izin selama 2 (dua) tahun; dan
c. untuk luas lebih dari (lima puluh) hektar diberikan izin selama 3 (tiga) tahun.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lokasi akan ditetapkan dengan peraturan Bupati.

Pasal 69

(1) Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
ayat (2) huruf c adalah izin yang diberikan kepada pengusaha untuk kegiatan
pemanfaatan ruang dengan kriteria batasan luasan tanah lebih dari 5.000 (lima ribu)
meter per segi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penggunaan pemanfaatan tanah akan ditetapkan
dengan peraturan Bupati.

Hal 55 dari 87
Pasal 70

(1) Izin mendirikan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2)
huruf d merupakan izin yang diberikan kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat
bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin mendirikan bangunan ditetapkan dengan
peraturan perundang – undangan tersendiri.

Pasal 71

(1) Izin lainnya terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat
(2) huruf e merupakan ketentuan izin lingkungan serta izin usaha pertambangan,
perkebunan, pariwisata, industri, perdagangan dan pengembangan sektoral lainnya,
yang disyaratkan sesuai peraturan perundangan.
(2) Setiap permohonan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
harus melalui pengkajian mendalam untuk menjamin bahwa manfaatnya jauh lebih
besar dari kerugiannya bagi semua pihak terkait sebelum dapat diberikan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha pengembangan sektoral akan ditetapkan
dengan peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Ketentuan Pemberian Insentif dan Disinsentif

Pasal 72

(1) Pemerintah daerah dapat memberikan insentif dan disinsentif terhadap kegiatan yang
memanfaatkan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 huruf c.
(2) Ketentuan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat atau
upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan
dengan rencana tata ruang.
(3) Ketentuan disinsentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat
untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak
sejalan dengan rencana tata ruang.

Paragraf 1
Insentif

Pasal 73

(1) Insentif dapat berupa insentif fiskal dan/atau insentif non fiskal.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. keringanan atau pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi;
b. kompensasi;
c. subsidi silang;
d. imbalan;
e. sewa ruang; dan
f. kontribusi saham.
(3) Insentif non fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pembangunan dan pengadaan prasarana;
b. kemudahan prosedur perizinan; dan
c. penghargaan.
(4) Insentif yang diberikan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana
tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) terdiri atas:

Hal 56 dari 87
a. insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat dalam pelaksanaan
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang; dan
b. insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada pengusaha dan swasta dalam
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang.
(5) Insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat dalam pelaksanaan
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) huruf a terdiri atas:
a. keringanan biaya sertifikasi tanah;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur; dan
c. pemberian penghargaan kepada masyarakat.
(6) Insentif yang diberikan pemerintah daerah kepada pengusaha dan swasta dalam
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
a. kemudahan prosedur perizinan;
b. kompensasi;
c. subsidi silang;
d. imbalan;
e. sewa ruang;
f. kontribusi saham; dan
g. pemberian penghargaan.

Paragraf 2
Disinsentif

Pasal 74

(1) Pemberian disinsentif diberikan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam
pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.
(2) Disinsentif yang diberikan kepada masyarakat, pengusaha dan swasta dalam
pelaksanaan kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengenaan pajak daerah dan/atau retribusi yang tinggi, disesuaikan dengan
besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pemanfaatan ruang;
b. pembatasan penyediaan infrastruktur;
c. penghentian izin; dan
d. penalti.

Pasal 75

(1) Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilaksanakan oleh instansi berwenang.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif dan disinsentif akan
diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Arahan Pengenaan Sanksi

Pasal 76

Arahan pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 huruf d merupakan


acuan dalam pengenaan sanksi terhadap:
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang;
b. pelanggaran ketentuan umum peraturan zonasi;
c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW
Kabupaten;

Hal 57 dari 87
d. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan
berdasarkan RTRW Kabupaten;
e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten;
f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan
perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

Pasal 77

(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf a, huruf b, huruf
d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf c dikenakan
sanksi administratif terdiri atas:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam
peraturan bupati.
Pasal 78

(1) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang
dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten.
(2) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar dan
atau tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten, dibatalkan oleh pemerintah menurut
kewenangan masing-masing sesuai ketentuan perundang-undangan.
(3) Izin pemanfaatan ruang yang telah diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi
kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten, termasuk akibat adanya
perubahan RTRWK, dapat dibatalkan dan / atau dapat dimintakan perbaikan sesuai
ketentuan peraturan perundang – undangan.

Hal 58 dari 87
BAB VIII
HAK KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Hak Masyarakat

Pasal 79

Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk:


a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
e. mengajukan tuntutan pembatalan ijin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang ijin apabila
kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan
kerugian.

Pasal 80

(1) Untuk mengetahui rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 huruf a
masyarakat dapat memperoleh melalui:
a. lembaran daerah kabupaten;
b. papan pengumuman di tempat-tempat umum;
c. penyebarluasan informasi melalui brosur;
d. instansi yang menangani penataan ruang; dan/atau
e. Sistem Informasi Tata Ruang Wilayah (SITRW) Kabupaten.
(2) Sistem Informasi Tata Ruang Wilayah (SITRW) Kabupaten dikembangkan secara
bertahap melalui berbagai media elektronik untuk mempermudah akses informasi tata
ruang dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam penataan ruang.

Pasal 81

(1) Untuk menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 huruf b didasarkan pada hak atas dasar pemilikan,
penguasaan atau pemberian hak tertentu yang dimiliki masyarakat sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan, ataupun atas hukum adat dan kebiasaaan atas ruang
pada masyarakat setempat.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang melembaga pada masyarakat secara
turun temurun dapat dilanjutkan sepanjang telah memperhatikan faktor daya dukung
lingkungan, estetika, struktur pemanfaatan ruang wilayah yang dituju, serta dapat
menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan.

Bagian Kedua
Kewajiban Masyarakat

Pasal 82

Dalam pemanfaatan ruang, masyarakat wajib:


a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang;

Hal 59 dari 87
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 83

(1) Pemberian akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 huruf d untuk kawasan milik
umum yang aksesibilitasnya memenuhi syarat:
a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan
b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.
(2) Kawasan milik umum tersebut, diantaranya adalah sumber air, ruang terbuka publik
dan fasilitas umum lainnya sesuai ketentuan dan perundang-undang yang berlaku.

Bagian Ketiga
Peran Masyarakat

Pasal 84

Peran masyarakat dalam penataan ruang dilakukan antara lain melalui:


a. partisipasi dalam perencanaan tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 85

Bentuk peran masyarakat dalam perencanaan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 huruf a terdiri atas:
a. memberi masukan mengenai:
1. persiapan penyusunan rencana tata ruang;
2. penentuan arah pengembangan wilayah atau kawasan;
3. pengidentifikasian potensi dan masalah pembangunan wilayah atau kawasan;
4. perumusan konsepsi rencana tata ruang; dan/atau
5. penetapan rencana tata ruang.
b. bekerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur
masyarakat dalam perencanaan tata ruang.

Pasal 86

Bentuk peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal
84 huruf b terdiri atas:
a. masukan mengenai kebijakan pemanfaatan ruang;
b. kerja sama dengan Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau sesama unsur masyarakat
dalam pemanfaatan ruang;
c. kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan kearifan lokal dan rencana tata
ruang yang telah ditetapkan;
d. peningkatan efisiensi, efektivitas, dan keserasian dalam pemanfaatan ruang darat, ruang
laut, ruang udara, dan ruang di dalam bumi dengan memperhatikan kearifan lokal serta
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
e. kegiatan menjaga kepentingan pertahanan dan keamanan serta memelihara dan
meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan sumber daya alam; dan
f. kegiatan investasi dalam pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Hal 60 dari 87
Pasal 87

Bentuk peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 84 huruf c terdiri atas:
a. masukan terkait arahan dan/atau peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan
disinsentif serta pengenaan sanksi;
b. keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan;
c. pelaporan kepada instansi dan/atau pejabat yang berwenang dalam hal menemukan
dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar
rencana tata ruang yang telah ditetapkan; dan
d. pengajuan keberatan terhadap keputusan pejabat yang berwenang terhadap
pembangunan yang dianggap tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 88

Pelaksanaan tata cara peran masyarakat dalam penataan ruang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.

BAB IX
PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 89

(1) Penyelesaian sengketa penataan ruang diupayakan berdasarkan prinsip musyawarah


untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian sengketa tidak diperoleh kesepakatan, para pihak dapat
menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang undangan

BAB X
PENYELIDIKAN

Pasal 90

(1) Selain pejabat penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai negeri sipil
tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya
di bidang penataan ruang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk membantu
pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan yang berkenan
dengan tindak pidana dalam bidang pentaan ruang;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana
dalam penataan ruang;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang sehubungan dengan peristiwa
tindak pidana dalam bidang penataan ruang;
d. melakukan pemeriksaan atas dokumen-dokumen yang berkenan dengan tindak
pidana dalam bidang penataan ruang;
e. melakukan pemeriksaan ditempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan
dokumen lain serta melakukan penyitaan dan penyegelan terhadap bahan dan
barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana
dalam bidang penataan ruang; dan
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidik tindak
pidana dalam bidang penataan ruang.

Hal 61 dari 87
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan
dimulainya penyidikan kepada pejabat penyidik kepolisian Republik Indonesia.
(4) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memerlukan
tindakan penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan
koordinasi dengan pejabat penyidik kepolisian negara Republik Indonesia sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
(5) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan
hasil penyidik kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian negara
Republik Indonesia.
(6) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil dan tata cara serta proses
penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang undangan.

BAB XI
KELEMBAGAAN

Pasal 91

(1) Kelembagaan pemanfaatan ruang dilakukan secara terpadu dan komprehensif melalui
kerjasama antara Pemerintah Daerah dan pihak-pihak lain yang terkait dengan
pemanfaatan ruang dan pelaksanaan kegiatan pembangunan.
(2) Dalam rangka mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang di wilayah
Kabupaten dan kerjasama antar sektor/ antar daerah bidang penataan ruang dibentuk
Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD).
(3) Tugas, susunan organisasi dan tata kerja BKPRD sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Bupati.

BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 92

(1) RTRW Kabupaten berlaku untuk jangka 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau
kembali satu kali dalam 5 (lima) tahun.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala
besar, perubahan batas teritorial wilayah kabupaten, yang ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten dapat ditinjau kembali
lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(3) Peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan apabila terjadi
perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang
kabupaten dan/atau dinamika internal kabupaten.
(4) Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten dilengkapi dengan Buku Rencana dan
Album Peta yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(5) Dalam hal terdapat penetapan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan terhadap bagian
wilayah kabupaten yang kawasan hutannya belum disepakati pada saat Peraturan
Daerah ini ditetapkan, rencana dan album peta sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
disesuaikan dengan peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil kesepakatan
Menteri Kehutanan.

Pasal 93

(1) Untuk operasionalisasi RTRW Kabupaten, disusun rencana rinci tata ruang terdiri atas:
a. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten; dan
b. Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Kabupaten.
(2) Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a meliputi:

Hal 62 dari 87
a. kawasan perkotaan Pandan;
b. kawasan perkotaan Pinangsori;
c. kawasan perkotaan Barus;
d. kawasan perkotaan Tapian Nauli;
e. kawasan perkotaan Sarudik;
f. kawasan perkotaan Manduamas; dan
g. kawasan perkotaan Sorkam Barat.
(3) Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. KSK Labuan Angin;
b. KSK Minapolitan Sarudik;
c. KSK Agropolitan Kolang;
d. KSK Agropolitan Sibabangun;
e. KSK Cagar Budaya Barus; dan
f. KSK Pulau Mursala.
(4) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
Peraturan Daerah.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 94

(1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka semua peraturan pelaksanaan yang
berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan
Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; dan
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan
dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini;
2. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang dilakukan
sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian dengan
fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan
3. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk
dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah
ini, ijin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul
sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian yang layak.
(3) Pada kawasan hutan yang belum mendapatkan revisi penunjukan, tidak dapat
terbitkan alas hak dan perijinan apapun hingga diterbitkan penunjukan kawasan hutan
yang baru.
(4) Pada kawasan hutan yang belum mendapatkan revisi penunjukan, pemanfaatannya
tidak diperbolehkan dilakukan perluasan dan peningkatan pemanfaatan hingga
diterbitkannya penunjukan kawasan hutan yang baru
(5) Setelah diterbitkan revisi penunjukan kawasan hutan yang baru, rencana peruntukan
kawasan lindung dan kawasan budidaya akan diintegrasi ke dalam rencana pola ruang
melalui peraturan gubernur.

Hal 63 dari 87
BAB XIV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 95

Setiap orang yang melakukan pelanggaran terhadap rencana tata ruang yang telah
ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-
Undangan.

BAB XV
PENCABUTAN

Pasal 96

Dengan ditetapkannya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten Tapanuli
Tengah Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Tapanuli
Tengah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 97

(1)RTRW Kabupaten Tapteng sebagaimana digambarkan pada peta-peta dan tabel yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2)Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis
pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah atau Peraturan
Bupati.

Pasal 98

(1)Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


(2)Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah.

Ditetapkan di Pandan
pada tanggal 31 Desember 2013

BUPATI TAPANULI TENGAH,

ttd

RAJA BONARAN SITUMEANG

Diundangkan di Pandan
Pada tanggal 31 Desember 2013
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH

HENDRI SUSANTO LUMBANTOBING


PEMBINA UTAMA MUDA
NIP. 19680321 199402 1 001
LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH
TANGGAL 31 DESEMBER 2013 NOMOR 8 TAHUN 2013 SERI E

Hal 64 dari 87
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH
NOMOR 8 TAHUN 2013

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH


TAHUN 2013–2033

I. UMUM
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang bahwa penataan ruang wilayah Nasional, wilayah Propinsi dan wilayah
Kabupaten/Kota dilakukan secara terpadu dan tidak dipisah-pisahkan. Penataan ruang
wilayah Propinsi dan wilayah Kabupaten/Kota, disamping meliputi ruang daratan, juga
mencakup ruang perairan dan ruang udara sampai batas tertentu yang diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Dalam `Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan
bahwa wilayah Kabupaten yang berkedudukan sebagai wilayah administrasi, terdiri atas
wilayah darat dan wilayah perairan.
Dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah antara lain disebutkan bahwa pemberian kedudukan Kabupaten
sebagai daerah otonom dan sekaligus sebagai wilayah administrasi dilakukan dengan
pertimbangan untuk memelihara hubungan serasi antara pusat, propinsi dan daerah,
untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang bersifat lintas Kabupaten.
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota sebagai daerah
otonom menyebutkan bahwa kewenangan Kabupaten sebagai daerah otonom
mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan dan kewenangan dalam bidang
tertentu, termasuk bidang penataan ruang. Dalam menentukan kewenangan Kabupaten
digunakan kriteria yang berkaitan dengan pelayanan pemanfaatan ruang dan konflik
kepentingan pemanfaatan ruang di setiap wilayah Kecamatan.
Ruang merupakan suatu wadah atau tempat bagi manusia dan mahluk lainnya hidup
dan melakukan kegiatannya yang perlu disyukuri, dilindungi dan dikelola. Ruang wajib
dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi
kelangsungan hidup yang berkualitas.
Ruang sebagai salah satu sumberdaya alam tidak mengenal batas wilayah. Berkaitan
dengan pengaturannya, diperlukan kejelasan batas, fungsi dan sistem dalam satu
ketentuan.
Wilayah Kabupaten meliputi daratan, perairan dan udara, meliputi wilayah kecamatan
yang merupakan suatu ekosistem. Wilayah kecamatan sebagai suatu subsistem
memiliki kegiatan meliputi aspek politik, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan
kelembagaan dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda satu dengan yang
lainnya.
Penataan Ruang Kabupaten meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang yang diselenggarakan oleh pemerintah
kabupaten di wilayah yang menjadi kewenangan Kabupaten, dalam rangka optimalisasi
dan mensinergikan pemanfaatan sumberdaya daerah untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat di Kabupaten .
Penataan ruang Kabupaten yang didasarkan pada karakteristik dan daya dukungnya
serta didukung oleh teknologi yang sesuai, akan meningkatkan keserasian, keselarasan
dan keseimbangan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem yang
lainnya dan pada pengelolaan subsistem yang satu akan berpengaruh pada subsistem
yang lainnya, sehingga akhirnya akan mempengaruhi sistem ruang secara keseluruhan

Hal 65 dari 87
serta dalam pengaturan ruang yang dikembangkan perlu suatu kebijakan penataan
ruang Kabupaten yang memadukan berbagai kebijaksanaan pemanfaatan ruang.
Selanjutnya dengan maksud tersebut, maka pelaksanaan pembangunan di Kabupaten
harus sesuai dengan rencana tata ruang, agar dalam pemanfaatan ruang tidak
bertentangan dengan substansi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang
disepakati.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Pengertian yang dirumuskan dalam pasal ini dimaksudkan untuk menghindari
pemahaman yang multi tafsir dalam peraturan daerah ini.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup Jelas
Pasal 4
Tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten disesuaikan
dengan visi dan misi pembangunan daerah.
Yang dimaksud “tujuan penataan ruang wilayah kabupaten adalah untuk
mewujudkan kabupaten sebagai salah satu pusat perdagangan, jasa,
perikanan, industri, dan pariwisata di kawasan barat sumatera.
Yang dimaksud dengan “kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten”adalah
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan pemanfaatan ruang
darat, laut, dan udara termasuk ruang didalam bumi untuk mencapai tujuan
penataan ruang.
Yang dimaksud “strategi penataan ruang wilayah kabupaten adalah langkah-
langkah dalam pelaksanaan kebijakan penataan ruang.
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Ayat 8
Cukup jelas
Ayat 9
Cukup jelas
Ayat 10
Cukup jelas

Hal 66 dari 87
Pasal 5
Ayat 1
Yang dimaksud “rencana struktur ruang” adalah memuat rencana struktur
ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan
rencana tata ruang wilayah provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten.
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat 1
Pusat kegiatan disusun secara berhierarki menurut fungsi dan besarannya
sehingga pengembangan sistem pusat kegiatan yang meliputi penetapan
fungsi wilayah dan hubungan hierarkisnya berdasarkan penilaian kondisi
sekarang dan antisipasi perkembangan di masa yang akan datang sehingga
terwujud pelayanan prasarana dan sarana yang efektif dan efisien, yang
persebarannya disesuaikan dengan jenis dan tingkat kebutuhan ruang yang
ada.
Pengembangan pusat kegiatan dilakukan secara selaras dan seimbang, saling
memperkuat, dalam ruang wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah sehingga
membentuk satu sistem yang menunjang pertumbuhan serta penyebaran
berbagai usaha dan/atau kegiatan dalam ruang wilayah Kabupaten Tapanuli
Tengah.
Pengembangan pusat kegiatan Kabupaten Tapanuli Tengah diserasikan
dengan sistem jaringan transportasi, sistem jaringan prasarana dan sarana,
dengan memperhatikan peruntukan ruang kawasan budi daya di wilayah
sekitarnya, baik yang ada sekarang maupun yang direncanakan sehingga
pengembangannya dapat meningkatkan kualitas pemanfaatan ruang.
Dalam pusat kegiatan Kabupaten Tapanuli Tengah dikembangkan kawasan
untuk peningkatan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, dan pelestarian
lingkungan hidup secara harmonis, serta jaringan prasarana dan sarana
pelayanan penduduk yang sesuai dengan kebutuhan dalam menunjang fungsi
pusat kegiatan di wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, adapun pusat kegiatan
Kabupaten Tapanuli Tengah mempunyai fungsi:
a. ekonomi, yaitu sebagai pusat produksi dan pengolahan barang;
b. jasa perekonomian, yaitu sebagai pusat pelayanan kegiatan keuangan/bank,
dan/atau sebagai pusat koleksi dan distribusi barang, dan/atau sebagai
pusat simpul transportasi, pemerintahan, yaitu sebagai pusat jasa pelayanan
pemerintah; dan
c. jasa sosial, yaitu sebagai pusat pemerintahan, pusat pelayanan pendidikan,
kesehatan, kesenian, dan/atau budaya.
Ayat 2
Huruf a
Penetapan PKL perkotaan di Kabupaten Tapanuli Tengah mengacu
pada draft RTRW Provinsi Sumatera Utara.
Kriteria PKL perkotaan adalah kawasan perkotaan yang berperan
sebagai pusat kegiatan lokal dengan fungsi ekonomi utama berupa
perdagangan dan jasa.
Penetapan Kota Pandan sebagai PKL perkotaan memperhatikan
potensi dengan kegiatan-kegiatan utama saat ini yang sudah berciri
perkotaan seperti permukiman perkotaan, perdagangan/jasa, pusat
jasa pemerintahan dan pusat jasa publik lainnya.
Fasilitas minimum yang tersedia di PKL adalah:
a. Sarana pendidikan setingkat SMA
b. Rumah sakit umum tipe C

Hal 67 dari 87
c. Sarana olahraga
Penetapan Pandan, Pinangsori dan Barus sebagai PKL perkotaan
memperhatikan peran dan fungsinya sebagai pusat koleksi dan
distribusi lokal yang menghubungkan desa sentra produksi baik di
kecamatan yang bersangkutan maupun kecamatan yang berdekatan
atau sebagai pusat kegiatan koleksi dan distribusi bagi wilayah-wilayah
belakangnya.
Huruf b
Kriteria Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) adalah : Kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kecamatan atau
beberapa desa.
Fasilitas minimum yang tersedia di PPK adalah:
a. Sarana pendidikan setingkat SMP
b. Puskesmas rawat inap
c. Sarana olahraga
Huruf c
Kriteria Pusat Pelayanan Kawasan (PPL) adalah : Kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala Kecamatan atau
beberapa desa.
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat 1
Untuk meningkatkan kinerja dan keterpaduan antar moda sistem transportasi
serta meningkatkan pelayanan transportasi umum kepada masyarakat maka
dikembangkan keterpaduan sistem antar moda secara terintegrasi.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Yang dimaksud tatanan kepelabuhanan adalah suatu sistem kepelabuhanan
nasional yang memuat hirarkis, peran, fungsi, klasifikasi, jenis

Hal 68 dari 87
penyelenggaraan kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda, serta
keterpaduan dengan sektor lainnya.
Yang dimaksud alur pelayaran adalah bagian dari perairan baik yang alami
maupun buatan yang terdiri dari segi kedalaman, lebar dan hambatan
pelayaran lainnya yang dianggap aman untuk dilayari.
Ayat 4
Yang dimaksud dengan ketata bandara udaraan adalah suatu sistim
kebandara udaraan nasional yang memuat hirarkis, peran, fungsi, klasifikasi,
jenis penyelenggaraan kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda, serta
keterpaduan dengan sektor lainnya.
Yang dimaksud dengan ruang udara untuk penerbangan adalah ruang udara
yang dimanfaatkan untuk kegiatan transportasi udara atau kegiatan
penerbangan sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi
nasional.
Pasal 13
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat 1
Yang dimaksud pelabuhan laut adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk
melayani kegiatan angkutan laut atau angkutan penyeberangan yang terletak
di laut atau di sungai

Hal 69 dari 87
Ayat 2
Yang dimaksud pelabuhan pengumpan regional adalah pelabuhan yang fungsi
pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam dan luar negeri, alih muat
angkutan laut, merupakan pengumpul bagi pelabuhan utama dan pelabuhan
pengumpul dan sebagai tempat asal tujuan penumpang atau barang
Ayat 3
Yang dimaksud pelabuhan pengumpan lokal adalah pelabuhan yang fungsi
pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan
laut, merupakan pengumpul bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul
dan sebagai tempat asal tujuan penumpang atau barang
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 20
Yang dimaksud dengan pembangkit listrik adalah fasilitas untuk kegiatan
memproduksi tenaga listrik
Pembangkit listrik antara lain, pembangkit listrik tenaga air (PLTA), pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), pembangkit
listrik tenaga gas (PLTG), pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP),
pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH))
Pasal 21
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat 1
Jaringan terrestrial antara lain meliputi jaringan mikrodigital, fiber optic, mikro
analog dan kabel laut
Ayat 2
Cukup jelas

Hal 70 dari 87
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat 1
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Kawasan lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya buatan.
Ayat 3
Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Penetapan kawasan budi
daya dimaksudkan untuk memudahkan pengelolaan dan pemantauan kegiatan

Hal 71 dari 87
termasuk penyediaan prasarana dan sarana maupun penanganan dampak
lingkungan penerapan, mekanisme, insentif, dan sebagainya akibat kegiatan
budi daya.
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 30
Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai
perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata guna air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah itrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah.
Pasal 31
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Gambut adalah tanah organik atau bahan organik yang tertimbun secara alami
dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan hanya sedikit
mengalami perombakan yang umumnya terbentuk pada ekosistem hutan rawa
marina tau payau.
Ayat 3
Kawasan resapan air adalah daerah yang mempunyai kemampuan tinggi untuk
meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi yang
berguna sebagai sumber air.
Pasal 32
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Kawasan sempadan pantai yang meliputi daratan sepanjang tepian pantai
ditetapkan minimal 200 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat.
Ayat 3
Kawasan sempadan sungai ditetapkan dengan ketentuan :
a. sekurang-kurangnya 100 meter di kiri kanan sungai besar dan 50 meter di
kiri kanan anak sungai yang berada di luar pemukiman;
b. untuk sungai di kawasan permukiman sempadan sungai diperkirakan cukup
untuk dibangun jalan inspeksi antara 10-15 meter;
c. daratan sepanjang aliran sungai tidak bertanggul di luar kawasan
permukiman dengan lebar sempadan minimal 50 meter dari tepi sungai,
sedang untuk sungai bertanggul lebar sempadan minimal 100 meter dari
tepi sungai;
d. Pada sungai bertanggul di kawasan perdesaan sekurang-kurangnya 5 meter
diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul;
e. Pada sungai bertanggul di kawasan perkotaan ditetapkan sekurang-
kurangnya 3 meter diukur dari sebelah luar sepanjang kaki tanggul;
f. Garis sempadan sungai tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan
berdasarkan kriteria:
- Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih besar dari 3 meter, garis
sempadan yang ditetapkan sekurang-kurangnya 10 meter dihitung dari tepi
sungai.
- Sungai yang mempunyai kedalaman lebih besar dari 3 meter sampai
dengan 20 meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 meter
dihitung dari tepi sungai.
- Sungai yang mempunyai kedalam maksimum lebih dari 20 meter, garis
sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 30 meter dihitung dari tepi
sungai.

Hal 72 dari 87
g. Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan,
adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan.
Ayat 4
Kawasan sempadan danau ditetapkan dengan ketentuan :
a. daratan dengan jarak 50 meter dari titik pasang tertinggi air danau/waduk ke
arah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian danau/waduk yang lebarnya proporsional dengan
bentuk dan kondisi fisik tepian danau/waduk.
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan suaka alam yang karena
keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan dan ekosistemnya atau
ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung
secara alami
Kriteria kawasan adalah :
a. Kawasan darat dan atau perairan yang ditunjuk mempunyai luas tertentu
yang menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga cukup
luas serta mempunyai kekhasan jenis tumbuhan bakau.
b. Kondisi alam, baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum
diganggu manusia
c. Perlindungan terhadap kawasan pantai berhutan bakau dilakukan untuk
melindungi kekhasan biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi
kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada
umumnya.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah kawasan yang
merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia yang bernilai tinggi maupun
bentukan geologi alam yang khas.
Kriteria kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah :
a. Benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan
atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 tahun atau mewakili masa gaya yang khas dan
sekurang-kurangnya 50 tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
b. Lokasi yang mengandung atau diduga mengandung benda cagar budaya
Perlindungan terhadap kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan
dilakukan untuk melindungi kekayaan budaya bangsa berupa peninggalan
sejarah, bangunan arkeologi, bangunan monumental dan adat istiadat yang
berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dari ancaman kepunahan
yang disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia.
Ayat 5
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas

Hal 73 dari 87
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Kawasan sekitar pantai yang memiliki kecepatan gelombang 10-100 km yang
diakibatkan oleh angin, dan grafitasi bulan atau matahari.
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 37
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Hutan produksi terbatas adalah hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu
dengan itensitas rendah
Ayat 3
Hutan produksi tetap merupakan hutan yang di eksploitasi dengan pola cara
tebang pilih maupun dengan cara tebang habis
Pasal 38
Ayat 1
Yang dimaksud dengan kawasan peruntukan pertanian meliputi kawasan
pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.
Pengembangan kawasan perkebunan diarahkan dengan pemanfaatan potensi
lahan yang memiliki kesesuaian untuk perkebunan, berada pada kawasan
budidaya, dan menghindarkan timbulnya konflik pemanfaatan lahan dengan
kawasan lindung, kawasan hutan produksi tetap dan produksi terbatas,
kawasan industri, dan kawasan permukiman.
Penerapan kriteria kawasan peruntukan pertanian secara tepat diharapkan
akan mendorong terwujudnya kawasan pertanian yang dapat memberikan
manfaat berikut:
a. memelihara dan meningkatkan ketahanan pangan nasional;
b. meningkatkan daya dukung lahan melalui pembukaan lahan baru untuk
pertanian tanaman pangan (padi sawah, padi gogo, palawija, kacang-
kacangan, dan umbi-umbian),
c. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor
serta kegiatan ekonomi sekitarnya;
d. meningkatkan upaya pelestarian dan konservasi sumber daya alam untuk
pertanian;
e. menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan serta
kesejahteraan masyarakat;

Hal 74 dari 87
f. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
g. mendorong perkembangan industri hulu dan hilir melalui efek kaitan;
h. mengendalikan adanya alih fungsi lahan dari pertanian ke non pertanian;
i. melestarikan nilai sosial budaya dan daya tarik kawasan perdesaan;
dan/atau
j. mendorong pengembangan sumber energi terbarukan.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Tanaman lahan berkelanjutan merupakan bidang lahan tanaman yang
ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten.
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat 1
Penerapan kriteria kawasan peruntukan perikanan secara tepat diharapkan
akan mendorong terwujudnya kawasan perikanan yang dapat memberikan
manfaat berikut:
a. meningkatkan produksi perikanan dan mendayagunakan investasi;
b. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor
serta kegiatan ekonomi sekitarnya;
c. meningkatkan upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
d. meningkatkan pendapatan masyarakat;
e. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
f. meningkatkan kesempatan kerja;
g. meningkatkan ekspor; dan/atau
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Perikanan budidaya merupakan kegiatan untuk memelihara, membesarkan
atau membiakkan ikan serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang
terkontrol, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat,
mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan
mengawetkannya.
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat 1
Penerapan kriteria kawasan peruntukan pertambangan secara tepat
diharapkan akan mendorong terwujudnya kawasan pertambangan yang
diharapkan dapat memberikan manfaat berikut:
a. meningkatkan produksi pertambangan dan mendayagunakan investasi;
b. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan sub sektor
serta kegiatan ekonomi sekitarnya;
c. tidak mengganggu fungsi lindung;
d. memperhatikan upaya pengelolaan kemampuan sumber daya alam;

Hal 75 dari 87
e. meningkatkan pendapatan masyarakat;
f. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
g. menciptakan kesempatan kerja;
h. meningkatkan ekspor; dan/atau
i. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat 1
Yang dimaksud dengan jenis atau klasifikasi industri pada kawasan peruntukan
industri pada ayat tersebut, diantaranya:
a. Industri besar, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal sangat besar,
teknologi canggih dan modern, organisasi teratur, tenaga kerja dalam jumlah
banyak dan terampil, pemasarannya berskala nasional atau internasional.
Misalnya: industri barang-barang elektronik, industri otomotif, industri
transportasi, dan industri persenjataan.
b. Industri menengah, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif besar,
teknologi cukup maju tetapi masih terbatas, pekerja antara 10-200 orang,
tenaga kerja tidak tetap, dan lokasi pemasarannya relative lebih luas
(berskala regional). Misalnya: industri bordir, industri sepatu, dan industri
mainan anak-anak.
c. Industri kecil dan mikro, yaitu industri yang memiliki ciri-ciri: modal relatif
kecil, teknologi sederhana, pekerjanya kurang dari 10 orang biasanya dari
kalangan keluarga, produknya masih sederhana, dan lokasi pemasarannya
masih terbatas (berskala lokal). Misalnya: industri kerajinan dan industri
makanan ringan.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 42
Ayat 1
Penerapan kriteria kawasan peruntukan pariwisata secara tepat diharapkan
akan mendorong terwujudnya kawasan pariwisata yang diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut:
a. meningkatkan devisa dari pariwisata dan mendayagunakan investasi;
b. meningkatkan perkembangan pembangunan lintas sektor dan subsektor
serta kegiatan ekonomi sekitarnya;
c. tidak mengganggu fungsi lindung;
d. tidak mengganggu upaya pelestarian kemampuan sumber daya alam;
e. meningkatkan pendapatan masyarakat;
f. meningkatkan pendapatan nasional dan daerah;
g. menciptakan kesempatan kerja;

Hal 76 dari 87
h. melestarikan nilai warisan budaya, adat istiadat, kesenian dan mutu
keindahan lingkungan alam; dan/atau
i. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 43
Ayat 1
Kawasan peruntukan permukiman adalah kawasan yang diperuntukan untuk
tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
bagi perikehidupan dan penghidupan.
Ayat 2
Pengembangan kawasan permukiman perkotaan, ditetapkan dengan
ketentuan berikut :
a. Memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan;
b. Memiliki kelengkapan prasarana, sarana dan utilitas pendukung;
c. Sesuai dengan kriteria teknis kawasan peruntukan permukiman yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. Pengendalian perkembangan permukiman perkotaan, melalui:
1. Pengembangan Kasiba/Lisiba;
2. Penyediaan lingkungan siap bangun (lisiba) untuk pembangunan hunian
vertikal dengan peran serta swasta dan masyarakat; dan
3. Revitalisasi kawasan permukiman kumuh.
e. Pengembangan kawasan permukiman perkotaan diarahkan untuk:
1. Mengembangkan kawasan permukiman vertikal pada kawasan perkotaan
dengan intensitas pemanfaatan ruang menengah hingga tinggi; dan
Mengendalikan kawasan permukiman horizontal pada kawasan
perkotaan dengan intensitas pemanfaatan ruang menengah.
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Pengembangan kawasan permukiman pedesaan, ditetapkan dengan ketentuan
sebagai berikut :
a. Optimalisasi potensi lahan budidaya dan sumber daya alam setempat guna
mendorong pertumbuhan sosial ekonomi di wilayah-wilayah yang belum
berkembang;
b. Menata kawasan permukiman perdesaan dengan prinsip konservasi dan
penanggulangan bencana;
c. Meningkatkan sarana dan prasarana dasar permukiman di desa
tertinggal/terpencil, desa perbatasan dengan kabupaten/kota, permukiman
kumuh dan kawasan rawan bencana; dan
Mengembangkan ruang permukiman horizontal dengan mempertimbangkan
keserasian dengan kegiatan perdesaan, mencakup kegiatan pertanian,
perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, pengelolaan sumber daya
alam, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi

Hal 77 dari 87
Pasal 44
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat 1
Kawasan strategis adalah kawasan yang didalamnya berlangsung kegiatan
yang berpengaruh terhadap ekonomi, sosial, budaya atau lingkungan yang
dilakukan untuk mengembangkan, melestarikan, melindungi, atau
mengkoordinasikan keterpaduan pembangunan nilai strategis.
Ayat 2
Penetapan kawasan strategis dari aspek kepentingan pertumbuhan ekonomi
ditetapkan dengan kriteria :
a. memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh; dan atau
b. memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi;
c. berpotensi ekspor
d. didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi;
e. berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi pangan dalam rangka
mewujudkan ketahanan pangan;
f. diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal dalam
wilayah Kabupaten.
Ayat 3
Penetapan kawasan strategis dari aspek kepentingan sosial budaya ditetapkan
dengan kriteria :
a. merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau
budaya;
b. prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya;
c. aset yang harus dilindungi dan dilestarikan;
d. tempat perlindungan peninggalan budaya;
e. tempat yang memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya;
atau
f. tempat yang memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial
Ayat 4
Penetapan kawasan strategis dari aspek kepentingan fungsi dan daya dukung
lingkungan hidup ditetapkan dengan kriteria :
a. merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;
b. kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan ekosistem, flora
dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang
harus dilindungi dan/atau dilestarikan;
c. kawasan yang memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang
setiap tahun berpeluang menimbulkan kerugian;
d. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim
makro;
e. kawasan yang menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan
hidup;
f. kawasan rawan bencana alam; atau
g. kawasan yang sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan
mempunyai dampak luas terhadap kelangsungan kehidupan.
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas

Hal 78 dari 87
Pasal 46
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Indikasi program utama menggambarkan kegiatan yang harus dilaksanakan
untuk mewujudkan rencana struktur dan pola ruang wilayah. Selain itu juga
terdapat kegiatan lain, baik yang dilaksanakan sebelumnya, bersamaan
dengan, maupun sesudahnya, yang tidak disebutkan dalam peraturan daerah
ini.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Ayat 8
Cukup jelas

Hal 79 dari 87
Pasal 51
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Ayat 8
Cukup jelas
Ayat 9
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 56
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas

Hal 80 dari 87
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Ayat 8
Cukup jelas
Ayat 9
Cukup jelas
Ayat 10
Cukup jelas
Pasal 58
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas

Hal 81 dari 87
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Ayat 8
Cukup jelas
Ayat 9
Cukup jelas
Ayat 10
Cukup jelas
Ayat 11
Cukup jelas
Ayat 12
Cukup jelas
Ayat 13
Cukup jelas
Ayat 14
Cukup jelas
Ayat 15
Cukup jelas
Ayat 16
Cukup jelas
Ayat 17
Cukup jelas
Pasal 63
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayatl 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Ayat 8
Cukup jelas
Ayat 9
Cukup jelas
Ayat 10
Cukup jelas
Ayat 11
Cukup jelas
Ayat 12
Cukup jelas
Ayat 13
Cukup jelas
Ayat 14
Cukup jelas

Hal 82 dari 87
Pasal 64
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 65
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 67
Ayat 1
Prinsip dasar penerapan mekanisme perizinan dalam pemanfaatan ruang
adalah sebagai berikut:
a. setiap kegiatan dan pembangunan yang berpeluang menimbulkan
gangguan bagi kepentingan umum, pada dasarnya dilarang kecuali dengan
izin dari pemerintah daerah;
b. setiap kegiatan dan pembangunan harus memohon izin dari pemerintah
setempat yang akan memeriksa kesesuaiannya dengan rencana, serta
standar administrasi legal; dan
c. setiap permohonan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang harus melalui pengkajian mendalam untuk menjamin bahwa
manfaatnya jauh lebih besar dari kerugiannya bagi semua pihak terkait
sebelum dapat diberikan izin
Jenis perizinan yang harus dimiliki ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Organisasi perangkat daerah yang menerbitkan perizinan harus sesuai
dengan pemberian kerja dan kompetensinya, dan tidak boleh tumpang
tindih.
Ketentuan lembaga/dinas pemberi izin adalah sebagai berikut:
a. perizinan kegiatan menjadi kewenangan dinas sektoral yang sesuai dengan
kegiatan yang dimohon;
b. perizinan pemanfaatan ruang dan bangunan menjadi kewenangan dinas
yang menangani perencanaan, perancangan, penataan, dan lingkungan
wilayah Kabupaten;
c. perizinan konstruksi menjadi kewenangan dinas yang menangani bangunan;
d. perizinan lingkungan menjadi kewenangan dinas/badan yang menangani
lingkungan hidup;

Hal 83 dari 87
e. perizinan kegiatan khusus menjadi kewenangan dinas sektoral yang sesuai
dengan kegiatan yang dimohon;
f. untuk efisiensi perizinan, pemerintah daerah perlu mengefektifkan
pelayanan perizinan terpadu satu atap.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 69
Ayat 1
Izin Prinsip adalah surat izin yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah
daerah untuk menyatakan suatu kegiatan secara prinsip diperkenankan untuk
diselenggarakan atau beroperasi, dengan ketentuan:
a. Izin prinsip merupakan pertimbangan pemanfaatan lahan berdasarkan
aspek teknis, politis dan sosial budaya sebagai dasar dalam pemberian izin
lokasi.
b. Izin prinsip dapat berupa surat penunjukan penggunaan lahan (SPPL).
c. Izin prinsip diberikan berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten.
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 71
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat 1
Penerapan insentif atau disintensif secara terpisah dilakukan untuk perizinan
skala kecil/individual sesuai dengan peraturan zonasi.
Adapun penerapan insentif dan disinsentif secara bersamaan diberikan untuk
perizinan skala besar/kawasan karena di dalam skala besar/kawasan
dimungkinkan adanya pemanfaatan ruang yang dikendalikan dan didorong
pengembangannya secara bersamaan.
Insentif dapat diberikan antar-pemerintah daerah yang saling berhubungan
berupa subsidi silang dari daerah yang penyelenggaraan penataan ruangnya
memberikan dampak kepada daerah yang dirugikan, atau antara pemerintah
dan swasta dalam hal pemerintah memberikan preferensi kepada swasta
sebagai imbalan dalam mendukung perwujudan rencana tata ruang.
Pemberian insentif ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang
memuat ketentuan pengenaan pemberian insentif dan disintensif yang
selanjutnya diatur dalam peraturan bupati dan atau keputusan bupati dalam

Hal 84 dari 87
bentuk tata cara dan prosedur, norma, standar, pedoman dan kebijakan
daerah.
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Pasal 74
Ayat 1
Disinsentif berupa pengenaan pajak yang tinggi dapat dikenakan untuk
pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang melalui
penetapan nilai jual objek pajak (NJOP) dan nilai jual kena pajak (NJKP)
sehingga pemanfaat ruang membayar pajak lebih tinggi.
Pengenaan disintensif ini mengacu kepada peraturan perundang-undangan
yang memuat ketentuan pengenaan pemberian insentif dan disintensif yang
selanjutnya diatur dalam peraturan bupati dan atau keputusan bupati dalam
bentuk tata cara dan prosedur, norma, standar, pedoman dan kebijakan
daerah.
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 78
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas

Hal 85 dari 87
Pasal 80
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Pasal 91
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat 1
Cukup jelas

Hal 86 dari 87
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 93
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Pasal 94
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Cukup jelas
Pasal 97
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Pasal 98
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TAPANULI TENGAH NOMOR 8


TAHUN 2013 SERI E

Hal 87 dari 87

Anda mungkin juga menyukai